Imobilisasi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar di bidang
geriatri yang timbul sebagai akibat dari penyakit atau masalah psikososial yang diderita.
Di ruang rawat inap geriatri RSUPN Dr.Ciptomangunkusumo Jakarta pada tahun 2000
didapatkan prevalensi imobilisasi sebesar 33,6% dan pada tahun 2001 sebesar 31,5%. 1
1.2 Epidemiologi
Imobilisasi lama bisa terjadi pada semua orang tetapi kebanyakan terjadi pada
orang – orang lanjut usia, pasca operasi yang membutuhkan tirah baring lama. Di
ruang rawat inap geriatri RSUPN Dr.Ciptomangunkusumo Jakarta pada tahun 2000
didapatkan prevalensi imobilisasi sebesar 33,6% dan pada tahun 2001 sebesar 31,5%.
1.3 Etiologi
Berbagai faktor fisik, psikologis dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi
pada lanjut usia. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,
kekakuan otot, ketidak seimbangan dan masalah psikologis. Rasa nyeri, baik dari
tulang (osteoporosis, osteomalasia, Paget’s Disease, metastase kanker tulang,
trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot (polimialgia,
pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi. Rasa
lemah sering kali disebabkan oleh malnutrisi, gangguan elektrolit, tidak
digunakannya otot, anemia, gangguan neurologis atau miopati. Osteoartritis
merupakan penyebab utama kekakuan pada lanjut usia. Penyakit Parkinson, artritis
reumatoid, gout dan obat – obatan antipsikotik seperti haloperidol juga dapat
menyebabkan kekakuan. Ketidakseimbangan dapat disebabkan karena kelemahan,
faktor neurologis (stroke, kehilangan refleks tubuh, neuropati DM, malnutrisi dan
gangguan vestibuloserebral), hipotensi ortostatik, atau obat-obatan (diuretik,
antihipertensi, neuroleptik dan antidepresan.
Kekhawatiran keluarga yang berlebihan atau kemalasan petugas kesehatan dapat
pula menyebabkan orang usia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di
rumah maupun di rumah sakit. Obat-obat hipnotik sedatif menyebabkan rasa kantuk
dan ataksia yang mengganggu mobilisasi.
1. Perubahan metabolik
Ada tiga perubahan utama yang dapat terjadi pada pasien imobilisasi
terkait sistem kardiovaskuler, yaitu :
Satu macam kontraktur umum dan lemah yang terjadi adalah foot
drop. Jika foot drop terjadi maka kaki terfiksasi pada posisi plantar fleksi
secara permanen. Mobilitas akan menjadi sulit pada kaki dengan posisi ini.
5. Perubahan sistem integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan
elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilisasi dan
terjadinya iskemia, serta hipoksia jaringan. Jaringan yang tertekan, darah
membelok, dan konstriksi kuat pada pembuluh darah akibat tekanan
persisten pada kulit dan struktur di bawah kulit, sehingga respirasi selular
terganggu, dan sel menjadi mati.
Urine yang pekat ini meningkatkan risiko terjadi batu dan infeksi.
Perawatan perineal yang buruk setelah defekasi, terutama pada wanita,
meningkatkan risiko kontaminasi. Penyebab lain infeksi saluran perkemihan
pada pasien imobilisasi adalah pemakaian kateter urine menetap.
Lansia berjalan lebih lambat dan tampak kurang terkoordinasi. Lansia juga
membuat langkah yang lebih pendek, menjaga kaki mereka lebih dekat bersamaan, yang
mengurangi dasar dukungan. Sehingga keseimbangan tubuh tidak stabil, dan mereka
sangat berisiko jatuh dan cedera.
Evaluasi Keterangan
Gastrointertinal
Genitourinarius
Status Antara lain dengan pemeriksaan indeks aktivitas kehidupan sehari
fungsional - hari (AKS) Barthel
1.8 Komplikasi
Komplikasi pada pasien imobilisasi antara lain :
1. Trombosis
gambar 1. Trombosis
Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular perifer yang
disebabkan oleh banyak faktor, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Terdapat tiga
faktor yang meningkatkan risiko trombosis vena dalam yaitu karena adanya luka di
vena dalam karena trauma atau pembedahan, sirkulasi darah yang tidak baik pada
vena dalam, dan berbagai kondisi yang meningkatkan resiko pembekuan darah.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena dalam
meliputi gagal jantung kongestif, imobilisasi lama, dan adanya gumpalan darah yang
telah timbul sebelumnya.
3. Kelemahan Otot
Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan
kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan 1-3% sehari. Kelemahan
otot pada pasien dengan imobilisasi seringkali terjadi dan berkaitan dengan
penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh. Terdapat beberapa faktor lain yang
menyebabkan atrofi otot yaitu perubahan biologis karena proses penuaan,
akumulasi penyakit akut dan kronik, serta malnutrisi. Massa otot berkurang
setengah dari pada ukuran semula setelah mengalami 2 bulan imobilisasi. Posisi
imobilisasi juga berperan terhadap pengurangan otot.
4. Kontraktur otot dan sendi
Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur
karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul nyeri yang menyebabkan
seseorang semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut.
Kontraktur dapat terjadi karena perubahan patologis pada bagian tulang sendi,
pada otot, atau pada jaringan penunjang di sekitar sendi. Faktor posisi dan
mekanik juga dapat menyebabkan kontraktur pada pasien usia lanjut dengan
imobilisasi. Kontraktur artrogenik seringkali disebabkan karena inflamasi, luka
sendi degeneratif, infeksi dan trauma. Kolagen sendi dan jaringan lunak sekitar
akan mengerut. Kontraktur akan menghalangi pergerakan sendi dan mobilisasi
pasif yang akan memperburuk kondisi kontraktur.
5. Osteoporosis
Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorpsi
tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan resorpsi tulang,
meningkatkan kalsium serum, menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin
D3 aktif. Faktor utama yang menyebabkan kehilangan masa tulang pada
imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi tulang. Penurunan massa tulang
membuat tulang manjadi rapuh dan dapat mengakibatkan fraktur patologis. Massa
tulang menurun tetapi komponen rasio antara matriks inorganik dan organik tidak
berubah. Konsentrasi kalsium, fosfor dan hidrosiprolin di urin meninggat pada
minggu pertama imobilisasi.
6. Ulkus dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan di bawah
kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan
pada suatu area yang secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan
sirkulasi darah setempat. Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas
tonjolan tulang dan tidak dilindungi cukup dengan lemak subkutan, misalnya
daerah sacrum, trokanter mayor, dan spina ischiadica superior anterior, tumit dan
siku.2
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada
pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi
mikrosirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar antara 25 mmHg. Tekanan lebih dari
25 mmHg secara terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu lama
akan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam
waktu lama akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang
secara permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan
mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya terbentuk luka
akibat tekanan.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya dekubitus meliputi faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik tersebut yaitu penipisan sel kulit,
elastisitas kulit yang berkurang, penurunan perfusi kulit secara progresif, sejumlah
penyakit seperti DM yang menunjukkan insufisiensi kardiovaskuler perifer,
penurunan fungsi kardiovaskuler, sistem pernapasan sehingga tingkat oksigenisasi
darah pada kulit menurun, status gizi underweight atau kebalikannya overweight,
anemia, penyakit-penyakit neurologik, penyakit-penyakit yang merusak pembuluh
darah, keadaan dehidrasi. Sedangkan faktor ekstrinsik yang menyebabkan dekubitus
antara lain kebersihan tempat tidur yang kurang, posisi yang tidak tepat, perubahan
posisi yang kurang, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang
menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga memudahkan
terjadinya dekubitus.3
Untuk mendeteksi dini adanya resiko terjadinya dekubitus ini antara lain
dengan memakai sistem skor Norton. Skor dibawah 10 menunjukkan adanya
risiko sangat tinggi untuk terjadinya dekubitus, skor 10-14 memiliki risiko tinggi,
skor 14-18 menunjukan adanya risiko sedang, lebih besar dari 18 menunjukan
adanya risiko rendah 2,8 :
Item Skor
Kondisi fisik
Baik 4
Sedang 3
Buruk 2
Sangat Buruk 1
Kesadaran
Kompos mentis 4
Apatis 3
Konfus/soporus 2
Stupor/koma 1
Aktivitas
Ambulan 4
Bergerak dengan bantuan 3
Hanya bisa duduk 2
Tiduran 1
Mobilitas
Bergerak bebas 4
Sedikit terbatas 3
Sangat terbatas 2
Inkontinensia
Tidak 4
Kadang-kadang 3
Sering inkontinensia urin 2
Selain itu, untuk mengukur tingkat risiko terjadinya ulkus dekubitus juga
dapat digunakan skala Branden, skala Braden memiliki sensitifitas 88,2% dan spesifitas
72,7% sehigga skala Braden merupakan skala yang efektif dalam memprediksi luka
tekan. Berikut merupakan tabel skala Braden: 4-6
Parame Temuan Skor
ter
Persep 1. Tidak 2. Gangguan 3. Gangguan 4. Tidak ada
si merasakan sensori sensori pada gangguan
sensori atau tidak ada pada ½ 1 atau 2 sensori,
respon permukaan ekstremitas berespon
terhadap tubuh atau atau berespon penuh
stimulus hanya pada perintah terhadap
nyeri, berespon verbal tetapi perintah
kesadaran pada tidak selalu verbal
menurun stimulus bisa
nyeri mengatakan
ketidaknyam
anan
Kelem 1. Selalu 2. Sangat 3. Kadang 4. Kulit
bapan terpapar oleh lembab lembab kering
keringat atau
urine basah
Aktivit 1. Terbaring di 2. Tidak bisa 3. Berjalan 4. Dapat
as tempat tidur berjalan dengan atau berjalan di
tanpa sekitar
bantuan ruangan
Mobilit 1. Tidak mampu 2. Tidak 3. Dapat 4. Dapat
as bergerak dapat membuat merubah
mengubah perubahan posisi
posisi posisi tubuh tanpa
secara atau bantuan
tepat dan ekstremitas
teratur dengan
mandiri
Nutrisi 1. Tidak dapat 2. Jarang 3. Menghabiska 4. Mengkons
menghabiskan menghabis n lebih dari umsi
1/3 porsi kan ½ porsi sebagian
makanannya, makanan makanan besar dari
sedikit minum dan yang makanan
, puasa atau umumnya diberikan, yang
tidak ada hanya terkadang disediakan,
asupan oral separuh menolak tidak
tetap hanya dari porsi makanan, pernah
mengkonsums makanan, dan biasa menolak
i air putih atau mendapatk mengkonsum makanan,
IV dalam an asupan si makanan tidak
>5hari cairan tambahan membutuh
kurang jika kan
dari diet ditawarkan makanan
cairan atau makan tambahan
optimum melalui
atau selang dan
makan diperkirakan
melalui memenuhi
selang sebagian
besar
kebutuhan
nutrisi
Perges 1. Sangat 2. Membutuh 3. Tidak
ekan membutuhkan kan lebih membutuhka
bantuan untuk sedikit n
melakukan bantuan, pertolongan
pergerakan, tetapi, saat sama sekali,
sering untuk pergerakan dapat
merosot dari , masih bergerak
kursi saat terjadi dengan aktif
didudukan gesekan dengan
atau dari antara sendirinya
kasur, tidak kulit dan dapat
dapat dengan mempertahan
mempertakan kursi, kan posisi
kan posisi ranjang. baik di
tubuh ranjang
sehingga maupun di
terjadi kursi
gesekan terus-
menerus
Tabel.2 Skor Braden
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan derajat dan berikan tindakan medik dan
perawatan dekubitus sesuai dengan derajat yang terjadi. Berikut adalah derajat pada
dekubitus beserta penatalaksanaanya2,3 :
7. Hipotensi postural
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20 mmHg
dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul
adalah iskemia serebral, khusunya sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-
800 ml darah dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran
cairan tubuh tersebut menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%,
penurunan volume sekuncup 35% dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%.
Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi
dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan tekanan darah tidak turun.
Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor menurun.1,4 Tirah baring total selama
paling sedikit 3 minggu akan mengganggu kemampuan seseorang untuk
menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih
terlihat pada lansia. Tirah baring lama akan membalikkan respons kardiovaskular
normal menjadi tidak normal yang akan mengakibatkan penurunan volume
sekuncup jantung dan curah jantung. Curah jantung rendah akan mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural.
Akibat tirah baring lama, aliran urin juga akan terganggu yang kemudian
menyebabkan infeksi saluran kemih. Pengisian kandung kemih yang berlebihan
akan menyebabkan mengembangnya dinding kandung kemih yang kemudian
akan meningkatkan kapasitas kandung kemih dan retensi urin. Dari retensi urin
inilah yang akan memudahkan terjadinya ISK. Inkontinensia urin juga sering
terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi yang disebabkan
ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna, gangguan status
mental, dan gangguan sensasi kandung kemih.
10. Konstipasi
Imobilisasi lama akan meningkatkan waktu menetap feses di kolon. Semakin
lama feses tinggal di usus besar, absorpsi cairan akan lebih besar sehingga feses
akan menjadi lebih keras. Asupan cairan yang kurang, dehidrasi, dan penggunaan
obat-obatan juga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi
1.9 Penatalaksanaan
Non Farmakologis
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting untuk mencegah terjadinya
komplikasi dari imobilisasi. Edukasi yang pentung disampaikan
kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah
ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari–
hari sendiri, semampu pasien.
2. Terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur.
Mobillisasi Dini
Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi
secara teratur dan latihan di tempat tidur dapat dilakukan sebagai
upaya mencegah terjadinya kelemahan dan kontraktur otot serta
kontraktur sendi.
Untuk mencegah kontraktur otot dapat dilakukan gerakan pasif
sebanyak satu atau dua kali sehari selama 20 menit.
Untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus, hal yang dapat
dilakukan:
o Menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas
tekanan pada kulit, dengan perubahan posisi lateral 30o,
penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan kasur
berongga
Farmakologis