Anda di halaman 1dari 28

PENDAHULUAN

Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian bagi


seseorang. Imobilisasi didefinisikan secara luas sebagai tingkat aktivitas yang kurang dari
normal. Imobilisasi dan intoleran aktivitas sering sekali terjadi pada lansia. Sebagian
besar lansia mengalami imobilisasi dengan bermacam-macam penyebab. Seperti tingkat
aktivitas yang kurang dari mobilitas optimal.

Imobilisasi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar di bidang
geriatri yang timbul sebagai akibat dari penyakit atau masalah psikososial yang diderita.
Di ruang rawat inap geriatri RSUPN Dr.Ciptomangunkusumo Jakarta pada tahun 2000
didapatkan prevalensi imobilisasi sebesar 33,6% dan pada tahun 2001 sebesar 31,5%. 1

Imobilisasi seringkali tidak dapat dicegah, namun beberapa komplikasi akibat


imobilisasi dapat dicegah. Perubahan beberapa sistem organ dan fungsi metabolik akan
terjadi sebagai akibat imobilisasi. Perubahan-perubahan tersebut akan menimbulkan
berbagai komplikasi yang akan memperberat kondisi dan memperlambat proses
penyembuhan serta dapat menyebabkan kematian.
1.1 Definisi
Imobilisasi adalah intervensi untuk menahan pasien di tempat tidur untuk alasan
terapeutik. Pasien yang memiliki keadaan yang bervariasi diletakkan dalam keadaan
tirah baring. Durasi tirah baring tersebut bergantung pada penyakit atau cedera dan
keadaan kesehatan pasien sebelumnya.
NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) international
mendefinisikan gangguan mobilitas fisik sebagai keterbatasan pada kemandirian,
gerakan fisik pada tubuh, satu atau lebih ekstremitas. Gangguan tingkat mobilisasi
fisik sering disebabkan oleh gerakan dalam bentuk tirah baring, retriksi fisik karena
peralatan eksternal (misalnya gips atau traksi rangka), retraksi gerakan volunter, atau
gangguan fungsi motorik dan rangka.

Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan yang tidak bergerak/tirah baring selama


3 hari atau lebih dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi
fisiologik. Imobilisasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti fisik, psikologis,
dan lingkungan.

1.2 Epidemiologi
Imobilisasi lama bisa terjadi pada semua orang tetapi kebanyakan terjadi pada
orang – orang lanjut usia, pasca operasi yang membutuhkan tirah baring lama. Di
ruang rawat inap geriatri RSUPN Dr.Ciptomangunkusumo Jakarta pada tahun 2000
didapatkan prevalensi imobilisasi sebesar 33,6% dan pada tahun 2001 sebesar 31,5%.

1.3 Etiologi
Berbagai faktor fisik, psikologis dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi
pada lanjut usia. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,
kekakuan otot, ketidak seimbangan dan masalah psikologis. Rasa nyeri, baik dari
tulang (osteoporosis, osteomalasia, Paget’s Disease, metastase kanker tulang,
trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot (polimialgia,
pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi. Rasa
lemah sering kali disebabkan oleh malnutrisi, gangguan elektrolit, tidak
digunakannya otot, anemia, gangguan neurologis atau miopati. Osteoartritis
merupakan penyebab utama kekakuan pada lanjut usia. Penyakit Parkinson, artritis
reumatoid, gout dan obat – obatan antipsikotik seperti haloperidol juga dapat
menyebabkan kekakuan. Ketidakseimbangan dapat disebabkan karena kelemahan,
faktor neurologis (stroke, kehilangan refleks tubuh, neuropati DM, malnutrisi dan
gangguan vestibuloserebral), hipotensi ortostatik, atau obat-obatan (diuretik,
antihipertensi, neuroleptik dan antidepresan.
Kekhawatiran keluarga yang berlebihan atau kemalasan petugas kesehatan dapat
pula menyebabkan orang usia lanjut terus menerus berbaring di tempat tidur baik di
rumah maupun di rumah sakit. Obat-obat hipnotik sedatif menyebabkan rasa kantuk
dan ataksia yang mengganggu mobilisasi.

1.4 Jenis imobilisasi 2


 Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan
mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada pasien
dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di daerah
paralisis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi
tekanan.
 Imobilitas intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami gangguan sistem
saraf pusat.
 Imobilitas emosional, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
keterbatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam
menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan stress berat dapat disebabkan karena
bedah amputasi ketika seseorang mengalami kehilangan bagian anggota tubuh
atau kehilangan sesuatu yang paling dicintai.
 Imobilitas sosial, keadaan idividu yang mengalami keterbatasan dalam melakukan
interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat memengaruhi
perannya dalam kehidupan sosial
1.5 Patogenesis
Patogenesis dari imobilisasi, bergantung pada jenis etiologi yang menyebabkan
imobilisisasi. Secara garis besar, patogenesis dari imobilisasi itu sendiri berawal dari
penyakit yang diderita oleh pasien dan faktor lingkungan pasien yang akhirnya akan
menyebabkan imobilisasi sehingga menimbulkan berbagai macam komplikasi.

1.6 Maninfestasi klinis 3


Individu dengan berat dan tinggi badan rata- rata dan tanpa penyakit kronis yang
dalam keadaan tirah baring, akan kehilangan kekuatan otot sebanyak 3% setiap hari.
Immobilisasi juga dihubungkan dengan perubahan kardiovaskuler, rangka dan organ
lainnya
Keparahan perubahan sistem bergantung pada kesehatan secara umum, derajat
lama mobilisasi, dan usia. Pada lansia dengan penyakit kronis dapat menimbulkan
dampak mobilisasi yang lebih cepat dari pada pasien yang lebih muda dengan
masalah imobilisasi yang sama. Diantara dampak yang terjadi terhadap imobilisasi
adalah
Terjadinya imobilisasi dalam tubuh dapat berpengaruh pada sistem tubuh,
seperti :

1. Perubahan metabolik

Perubahan mobilisasi dapat dan akan mempengaruhi sistem


metabolisme endokrin reabsorbsi kalsium dan fungsi gastrointestinal.
Sistem endokrin merupakan penghasil hormon-sekresi kelenjar, membantu
mempertahankan dan mengatur fungsi vital seperti :

1. Respons terhadap stress dan cedera


2. Pertumbuhan dan perkembangan
3. Reproduksi
4. Produksi, pembentukan dan penyimpanan energi.
Sistem endokrin berpengaruh dalam mempertahankan homeostasis
ion. Sistem endokrin berperan dalam pengaturan lingkungan eksternal
dengan memperpertahankan keseimbangan elektrolit seperti natrium,
kalium, air, dan keseimbangan asam-basa. Sehingga sistem endokrin
bekerja sebagai pengatur metabolisme energi. Hormon tiroid meningkatkan
laju metabolik basal (basal metabolic rate, BMR), dan energi dibuat
sehingga dapat dipakai sel-sel melalui intergasi kerja antara hormone
gastrointestinal dan pankreas.

Imobilisasi mengganggu fungsi metabolik normal, antara lain laju


metabolik, metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, ketidak seimbangan
cairan dan elektrolit, ketidak seimbangan kalsium, dan gangguan
pencernaan. Keberadaan proses infeksius pada pasien imobilisasi
mengalami peningkatan BMR diakibatkan karena demam atau
penyembuhan luka. Demam dan penyembuhan luka meningkatkan
kebutuhan oksigen selular.

Perubahan metabolisme imobilitas dapat mengakibatkan proses


anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Proses imobilitas dapat
juga menyebabkan penurunan eksresi urine dan peningkatan nitrogen. Pada
umumnya keadaan ini dapat dijumpai pada pasien yang mengalami
imobilitas pada hari kelima dan keenam. Beberapa dampak perubahan
metabolisme, diantaranya adalah pengurangan jumlah metabolisme, atropi
kelenjar dan katabolisme protein, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit,
demineralisasi tulang, gangguan dalam mengubah zat gizi, dan gangguan
gastrointestinal.

2. Perubahan sistem respirasi

Pasien yang mengalami imobilisasi berisiko tinggi pada terjadinya


komplikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum adalah
atelektasis dan pneumonia hipostatik. Pada atelektasis, bronkiolus menjadi
tertutup oleh adanya sekresi dan kolpas alveolus distal karena udara yang
diabsorbsi, sehingga menghasilkan hipoventilasi. Bronkus utama atau
beberapa bronkiolus kecil dapat terkena. Luasnya atelektasis ditentukan oleh
bagian yang tertutup. Pneumonia hipostatik adalah peradangan paru-paru
akibat statisnya sekresi. Atelektasis dan pneumonia hipostatik, keduanya
sama-sama menurunkan oksigenasi, memperlama penyembuhan, dan
menambah ketidak nyamanan pasien

3. Perubahan sistem kardiovaskuler

Ada tiga perubahan utama yang dapat terjadi pada pasien imobilisasi
terkait sistem kardiovaskuler, yaitu :

1) Hipotensi ortostatik, adalah penurunan tekanan darah sistolik 25


mmHg dan diastolik 10 mmHg ketika pasien yang bangun dari posisi
berbaring atau perubahan posisi dari duduk ke posisi berdiri. Pada
pasien imobilisasi, terjadi penurunan sirkulasi volume cairan,
pengumpulan darah pada ekstremitas bawah, dan penurunan respons
otonom. Faktor- faktor tersebut mengakibatkan penurunan aliran balik
vena, diikuti oleh penurunan curah jantung yang terlihat pada
penurunan tekanan darah
2) Peningkatan beban kerja jantung, merupakan efek kompensasi dari
penurunan volume cairan yang dikarenakan pengumpulan darah pada
ekstremitas bawah menyebabkan jantung harus meningkatkan denyut
jantung.
3) Pembentukan trombus.

4. Perubahan sistem muskuloskeletal

Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi gangguan


imobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot pasien
melalui kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atrofi, dan penurunan
stabilitas. Pengaruh lain dari keterbatasan mobilisasi yang mempengaruhi
sitem muskuloskeletal adalah gangguan metabolisme kalsium dan gangguan
mobilitas sendi.
Pengaruh otot. Akibat pemecahan protein, pasien mengalami
penurunan massa tubuh dan massa otot, karena tubuh tidak dapat
mempertahankan metabolisme tanpa adanya aktivitas. Jika imobilisasi
berlanjut dan otot tidak dilatih, maka akan terjadi penurunan massa yang
berkelanjutan.

Penurunan mobilisasi dan gerakan mengakibatkan kerusakan


muskuloskeletal yang besar, yang perubahan patofisiologi utamanya adalah
atrofi.

Penurunan stabilitas terjadi akibat kehilangan daya tahan, penurunan


massa otot, atrofi dan kerusakan sendi. Sehingga pasien tersebut tidak
mampu bergerak terus-menerus dan sangat berisiko untuk jatuh.

Pengaruh tulang. Imobilisasi menyebabkan dua perubahan terhadap


tulang, yaitu : gangguan metabolisme kalsium dan kelainan sendi. Karena
imobilisasi berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang menjadi
kurang padat, dan terjadi osteoporosis. Apabila ossteoporosis terjadi maka
pasien berisiko terjadi fraktur patologis. Imobilisasi dan aktivitas yang tidak
menyangga tubuh meningkatkan kecepatan resorpsi tulang. Resorpsi tulang
juga menyebabkan kalsium terlepas ke dalam darah, sehingga menyebabkan
terjadi hiperkalsemia.

Imobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur sendi, kontraktur sendi


adalah kondisi abnormal dan biasa permanen yang ditandai oleh sendi fleksi
dan terfikasi. Hal ini disebabkan tidak digunakannya, atrofi, dan
pemendekan secara otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat
mempertahankan rentang gerak dengan penuh. Sayangnya kontraktur sering
menjadikan sendi pada posisi yang tidak berfungsi.

Satu macam kontraktur umum dan lemah yang terjadi adalah foot
drop. Jika foot drop terjadi maka kaki terfiksasi pada posisi plantar fleksi
secara permanen. Mobilitas akan menjadi sulit pada kaki dengan posisi ini.
5. Perubahan sistem integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan
elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilisasi dan
terjadinya iskemia, serta hipoksia jaringan. Jaringan yang tertekan, darah
membelok, dan konstriksi kuat pada pembuluh darah akibat tekanan
persisten pada kulit dan struktur di bawah kulit, sehingga respirasi selular
terganggu, dan sel menjadi mati.

6. Perubahan eliminasi urine


Pada keadaan imobilisasi, pasien dalam posisi rekumben atau datar,
ginjal atau ureter membentuk garis datar, urine harus masuk ke dalam
kandung kemih melawan gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang
tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi
sebelum urine masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut stasis urine dan
meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal. Batu ginjal
dapat diakibatkan karena adanya gangguan metabolisme kalsium dan akibat
hiperkalsemia.

Sejalan dengan masa imobilisasi yang berlanjut, asupan cairan yang


terbatas, dan penyabab lain, seperti demam akan meningkatkan risiko
dehidrasi. Akibatnya pengeluaran urine menurun sekitar pada hari kelima
atau keenam.

Urine yang pekat ini meningkatkan risiko terjadi batu dan infeksi.
Perawatan perineal yang buruk setelah defekasi, terutama pada wanita,
meningkatkan risiko kontaminasi. Penyebab lain infeksi saluran perkemihan
pada pasien imobilisasi adalah pemakaian kateter urine menetap.

Selain mengakibatkan perubahan pada sistem tubuh, imobilisasi juga dapat


menyebabkan terjadinya perubahan perkembangan khususnya pada lansia. Pada
umumnya lansia akan mengalami kehilangan total masaa tulang progresif. Beberapa
kemungkinan yang dapat menyebabkan kondisi tersebut, meliputi aktivitas fisik,
perubahan hormonal, dan resorpsi tulang aktual. Dampak dari kehilangga massa tulang
adalah tulang menjadi lebih lemah, tulang belakang lebih lunak, dan tertekan, tulang
panjang kurang resisten ketika membungkuk.

Lansia berjalan lebih lambat dan tampak kurang terkoordinasi. Lansia juga
membuat langkah yang lebih pendek, menjaga kaki mereka lebih dekat bersamaan, yang
mengurangi dasar dukungan. Sehingga keseimbangan tubuh tidak stabil, dan mereka
sangat berisiko jatuh dan cedera.

1.7 Pengkajian imobilisasi

Evaluasi Keterangan

Anamnesis • Riwayat dan lama disabilitas/imobilisasi


• Kondisi medis yang merupakan faktor risiko dan penyebab
imobilisasi
• Kondisi premorbid
• Nyeri
• Obat – obatan yang dikonsumsi
• Interaksi sosial
• Faktor psikologis
• Faktor lingkungan

Pemeiksaan Status kardiopolmonal


fisik
Kulit

Muskuloskeletal: kekuatan dan tonus otot, lingkup gerak sendi,


lesi dan deformitas kaki

Neurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorik

Gastrointertinal

Genitourinarius
Status Antara lain dengan pemeriksaan indeks aktivitas kehidupan sehari
fungsional - hari (AKS) Barthel

Status Antara lain penapisan dengan pemeriksaan geriatri depression


Mental scale (GDS)

Status Antara lain penapisan dengan pemeriksaan mini-mental state


kognitif examination (MMSE)

Tingkat Mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di kursi


Mobilitas roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri, cara berjalan (gait),
nyeri saat bergerak

Pemeriksaan Penilaian berat ringannya kondisi medis penyebab imobilisasi


Penunjang (xray lutut, ekokardiografi, MRI kepala) dan komplikasi akibat
imobilsasi (pemeriksaan albumin, elektrolit, glukosa darah,
hemostasis, xray paru-paru, dan lain-lain)

1.8 Komplikasi
Komplikasi pada pasien imobilisasi antara lain :

1. Trombosis

gambar 1. Trombosis
Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular perifer yang
disebabkan oleh banyak faktor, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Terdapat tiga
faktor yang meningkatkan risiko trombosis vena dalam yaitu karena adanya luka di
vena dalam karena trauma atau pembedahan, sirkulasi darah yang tidak baik pada
vena dalam, dan berbagai kondisi yang meningkatkan resiko pembekuan darah.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena dalam
meliputi gagal jantung kongestif, imobilisasi lama, dan adanya gumpalan darah yang
telah timbul sebelumnya.

gambar 2. Deep vein thrombosis

Kondisi imobilisasi akan menyebabkan terjadinya akumulasi leukosit


teraktivasi dan trombosit yang teraktivasi. Kondisi tersebut menyebabkan
gangguan pada sel-sel endotel dan juga memudahkan terjadinya trombosis. Selain
itu, imobilisasi akan menyebabkan stasis akan menyebabkan timbulnya hipoksia
lokal pada sel endotel yang selanjtunya akan menghasilkan aktivator faktor X dan
merangsang akumulasi leukosit dan trombosit.

Gejala trombosis vena bervariasi, dapat berupa rasa panas, bengkak,


kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai. Sebagian besar trombosis vena dalam
timbul hanya pada satu kaki, trombosis vena dalam pada betis menimbulkan
gejala hanya pada betis, sedangkan trombosis vena dalam pada paha
menimbulkan gejala pada paha atau betis.
2. Emboli Paru

gambar 3. Deep vein thombosis menjadi emboli

Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan mengakibatkan


nafas berhenti secara tiba-tiba. Sebagian besar emboli paru disebabkan oleh
emboli karena trombosis vena dalam. Berkaitan dengan trombosis vena dalam,
emboli paru disebabkan oleh lepasnya trombosis yang biasanya berlokasi pada
tungkai bawah yang pada gilirannya akan mencapai pembuluh darah paru dan
menimbulkan sumbatan yang dapat berakibat fatal. Emboli paru sebagai akibat
trombosis merupakan penyebab kesakitan dan kematian pada pasien lanjut usia.

3. Kelemahan Otot
Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan
kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan 1-3% sehari. Kelemahan
otot pada pasien dengan imobilisasi seringkali terjadi dan berkaitan dengan
penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh. Terdapat beberapa faktor lain yang
menyebabkan atrofi otot yaitu perubahan biologis karena proses penuaan,
akumulasi penyakit akut dan kronik, serta malnutrisi. Massa otot berkurang
setengah dari pada ukuran semula setelah mengalami 2 bulan imobilisasi. Posisi
imobilisasi juga berperan terhadap pengurangan otot.
4. Kontraktur otot dan sendi
Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur
karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul nyeri yang menyebabkan
seseorang semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur tersebut.
Kontraktur dapat terjadi karena perubahan patologis pada bagian tulang sendi,
pada otot, atau pada jaringan penunjang di sekitar sendi. Faktor posisi dan
mekanik juga dapat menyebabkan kontraktur pada pasien usia lanjut dengan
imobilisasi. Kontraktur artrogenik seringkali disebabkan karena inflamasi, luka
sendi degeneratif, infeksi dan trauma. Kolagen sendi dan jaringan lunak sekitar
akan mengerut. Kontraktur akan menghalangi pergerakan sendi dan mobilisasi
pasif yang akan memperburuk kondisi kontraktur.

5. Osteoporosis
Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorpsi
tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan resorpsi tulang,
meningkatkan kalsium serum, menghambat sekresi PTH, dan produksi vitamin
D3 aktif. Faktor utama yang menyebabkan kehilangan masa tulang pada
imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi tulang. Penurunan massa tulang
membuat tulang manjadi rapuh dan dapat mengakibatkan fraktur patologis. Massa
tulang menurun tetapi komponen rasio antara matriks inorganik dan organik tidak
berubah. Konsentrasi kalsium, fosfor dan hidrosiprolin di urin meninggat pada
minggu pertama imobilisasi.

6. Ulkus dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan di bawah
kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan
pada suatu area yang secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan
sirkulasi darah setempat. Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat diatas
tonjolan tulang dan tidak dilindungi cukup dengan lemak subkutan, misalnya
daerah sacrum, trokanter mayor, dan spina ischiadica superior anterior, tumit dan
siku.2

gambar 4. Area yang memiliki risiko penekanan.7

Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada
pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang dapat mempengaruhi
mikrosirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar antara 25 mmHg. Tekanan lebih dari
25 mmHg secara terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu lama
akan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam
waktu lama akan mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang
secara permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan
mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya terbentuk luka
akibat tekanan.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan timbulnya dekubitus meliputi faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik tersebut yaitu penipisan sel kulit,
elastisitas kulit yang berkurang, penurunan perfusi kulit secara progresif, sejumlah
penyakit seperti DM yang menunjukkan insufisiensi kardiovaskuler perifer,
penurunan fungsi kardiovaskuler, sistem pernapasan sehingga tingkat oksigenisasi
darah pada kulit menurun, status gizi underweight atau kebalikannya overweight,
anemia, penyakit-penyakit neurologik, penyakit-penyakit yang merusak pembuluh
darah, keadaan dehidrasi. Sedangkan faktor ekstrinsik yang menyebabkan dekubitus
antara lain kebersihan tempat tidur yang kurang, posisi yang tidak tepat, perubahan
posisi yang kurang, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau peralatan medik yang
menyebabkan penderita terfiksasi pada suatu sikap tertentu juga memudahkan
terjadinya dekubitus.3
Untuk mendeteksi dini adanya resiko terjadinya dekubitus ini antara lain
dengan memakai sistem skor Norton. Skor dibawah 10 menunjukkan adanya
risiko sangat tinggi untuk terjadinya dekubitus, skor 10-14 memiliki risiko tinggi,
skor 14-18 menunjukan adanya risiko sedang, lebih besar dari 18 menunjukan
adanya risiko rendah 2,8 :

Item Skor
Kondisi fisik
 Baik 4
 Sedang 3
 Buruk 2

 Sangat Buruk 1

Kesadaran
 Kompos mentis 4
 Apatis 3
 Konfus/soporus 2

 Stupor/koma 1

Aktivitas
 Ambulan 4
 Bergerak dengan bantuan 3
 Hanya bisa duduk 2

 Tiduran 1

Mobilitas
 Bergerak bebas 4
 Sedikit terbatas 3
 Sangat terbatas 2

 Tak bisa bergerak 1

Inkontinensia
 Tidak 4
 Kadang-kadang 3
 Sering inkontinensia urin 2

 Inkontinensia alvi dan urin 1

Tabel 1. Skor Norton

Selain itu, untuk mengukur tingkat risiko terjadinya ulkus dekubitus juga
dapat digunakan skala Branden, skala Braden memiliki sensitifitas 88,2% dan spesifitas
72,7% sehigga skala Braden merupakan skala yang efektif dalam memprediksi luka
tekan. Berikut merupakan tabel skala Braden: 4-6
Parame Temuan Skor
ter
Persep 1. Tidak 2. Gangguan 3. Gangguan 4. Tidak ada
si merasakan sensori sensori pada gangguan
sensori atau tidak ada pada ½ 1 atau 2 sensori,
respon permukaan ekstremitas berespon
terhadap tubuh atau atau berespon penuh
stimulus hanya pada perintah terhadap
nyeri, berespon verbal tetapi perintah
kesadaran pada tidak selalu verbal
menurun stimulus bisa
nyeri mengatakan
ketidaknyam
anan
Kelem 1. Selalu 2. Sangat 3. Kadang 4. Kulit
bapan terpapar oleh lembab lembab kering
keringat atau
urine basah
Aktivit 1. Terbaring di 2. Tidak bisa 3. Berjalan 4. Dapat
as tempat tidur berjalan dengan atau berjalan di
tanpa sekitar
bantuan ruangan
Mobilit 1. Tidak mampu 2. Tidak 3. Dapat 4. Dapat
as bergerak dapat membuat merubah
mengubah perubahan posisi
posisi posisi tubuh tanpa
secara atau bantuan
tepat dan ekstremitas
teratur dengan
mandiri
Nutrisi 1. Tidak dapat 2. Jarang 3. Menghabiska 4. Mengkons
menghabiskan menghabis n lebih dari umsi
1/3 porsi kan ½ porsi sebagian
makanannya, makanan makanan besar dari
sedikit minum dan yang makanan
, puasa atau umumnya diberikan, yang
tidak ada hanya terkadang disediakan,
asupan oral separuh menolak tidak
tetap hanya dari porsi makanan, pernah
mengkonsums makanan, dan biasa menolak
i air putih atau mendapatk mengkonsum makanan,
IV dalam an asupan si makanan tidak
>5hari cairan tambahan membutuh
kurang jika kan
dari diet ditawarkan makanan
cairan atau makan tambahan
optimum melalui
atau selang dan
makan diperkirakan
melalui memenuhi
selang sebagian
besar
kebutuhan
nutrisi
Perges 1. Sangat 2. Membutuh 3. Tidak
ekan membutuhkan kan lebih membutuhka
bantuan untuk sedikit n
melakukan bantuan, pertolongan
pergerakan, tetapi, saat sama sekali,
sering untuk pergerakan dapat
merosot dari , masih bergerak
kursi saat terjadi dengan aktif
didudukan gesekan dengan
atau dari antara sendirinya
kasur, tidak kulit dan dapat
dapat dengan mempertahan
mempertakan kursi, kan posisi
kan posisi ranjang. baik di
tubuh ranjang
sehingga maupun di
terjadi kursi
gesekan terus-
menerus
Tabel.2 Skor Braden

Setelah dilakukan pengkajian dan perhitungan, skor braden dapat


diinterpretasikan sebagai, nilai 19-23 yaitu tidak memiliki risiko atau memiliki risiko
yang sangat kecil untuk kemungkinan terjadinya ulkus dekubitus, nilai 15-18,
memiliki risiko kecil dan harus dilakukan intervensi untuk prevensi terjadinya ulkus
dekubitus. Skor 13-14, risiko sedang/ moderat, skor 10-12 memiliki risiko yang
tinggi terjadinya ulkus dekubitus, skor 6-9 memiliki risiko yang sangat tinggi untuk
terjadinya ulkus dekubitus. 9-11
Tindakan berikutnya adalah menjaga kebersihan penderita khususnya kulit,
dengan memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu digosok dengan
pelembab seperti lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan
tulang. Semua sekret yang ada harus dibersihkan dengan hati-hati agar tidak
menyebabkan lecet pada kulit penderita.3
Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah
terjadinya dekubitus meliputi3:
1. Meningkatkan status kesehatan penderita dan mengatasi penyakit yang dapat
memperberat, misalnya mengatasi anemia, mengoreksi hipoalbuminemia, nutirisi
dan hidrasi yang cukup, pemberian vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn), serta
mencoba mengatasi/mengoabati penyakit-penyakit yang ada pada penderita,
misalnya diabetes melitus dengan mengontrol gula darah secara berkala karena
diabetes dapat memperburuk kondisi pasien apabila terdapat luka.
2. Mengurangi faktor tekanan yang mengganggu aliran darah, melalui:
 Merubah posisi/alih baring/tidur berbolak-balik kiri dan kanan, paling
lama tiap dua jam. Agar tidak terjadi tumpuan pada 1 sisi yang lama
 Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi pada tubuh
penderita, misalnya: kasur dengan gelembung tekan udara yang naik
turun, kasur air yang temperatur airnya dapat diatur (kasur dekubitus).
 Mengurangi regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi
darah setempat terganggu.

Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan derajat dan berikan tindakan medik dan
perawatan dekubitus sesuai dengan derajat yang terjadi. Berikut adalah derajat pada
dekubitus beserta penatalaksanaanya2,3 :

 Dekubitus derajat pertama:


Merupakan dekubitus dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis.
Kulit yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun, diberi
lotion, kemudian dilakukan massage 2 sampai 3 kali/hari.

 Dekubitus derajat kedua


Pada dekubitus ini sudah terjadi ulkus yang lebih mendalam, sebagian dari
epidermis dan dermis sudah hilang. Perawatan luka harus memperhatikan aseptik
dan antiseptik. Ulkus dibersihkan dengan menggunakan kasa bersih dan bersihkan
dengan larutan NaCl. Dapat dilakukan dengan pemberian cream/ salep topikal,
mungkin juga untuk merangsang tumbuhnya jaringan muda/granulasi.
Penggantian balut dan salep ini tidak boleh terlalu sering karena dapat
merusakkan pertumbuhan jaringan yang diharapkan.
 Dekubitus derajat ketiga
Derajat ini memiliki ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada fascia
otot/ lapisan pembungkus otot dan sering sudah ada infeksi. Luka diharapkan
sebisa mungkin untuk selalu bersih dan eksudat diharapkan dapat mengalir keluar,
karena dapat menjadi sarang bakteri yang tubuh. Balutan tidak boleh terlalu tebal
dan sebaiknya sehingga permeabel untuk masukknya udara/oksigen dan
penguapan dan diusahakan untuk balutan tersebut transparan untuk dapat
memantau perkambangan ulkus. Kelembaban luka dijaga tetap lembab, karena
akan mempermudah regenerasi sel-sel kulit. Jika luka kotor dapat dicuci dengan
larutan NaCl fisiologis. Antibiotik sistemik mungkin diperlukan.

 Dekubitus derajat keempat


Ada perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering disertai jaringan
nekrotik. Semua langkah-langkah diatas tetap dikerjakan dan jaringan nekrotik
yang ada harus dibersihkan, sebab adanya jeringan nekrotik tersebut akan
menghalangi pertumbuhan jaringan/epitelisasi. Setelah jaringan nekrotik dibuang
dan luka bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan. Angka
mortalitas dekubitus derajat 4 ini dapat mencapai 40% dan komplikasi terbesar
dari ulkus dekubitus itu sendiri adalah sepsis.

gambar 5. Derajat ulkus dekubitus


gambar 6. Stadium ulkus dekubitus

7. Hipotensi postural
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20 mmHg
dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering timbul
adalah iskemia serebral, khusunya sinkop. Pada posisi berdiri, secara normal 600-
800 ml darah dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran
cairan tubuh tersebut menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%,
penurunan volume sekuncup 35% dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%.
Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi
dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan tekanan darah tidak turun.
Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor menurun.1,4 Tirah baring total selama
paling sedikit 3 minggu akan mengganggu kemampuan seseorang untuk
menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih
terlihat pada lansia. Tirah baring lama akan membalikkan respons kardiovaskular
normal menjadi tidak normal yang akan mengakibatkan penurunan volume
sekuncup jantung dan curah jantung. Curah jantung rendah akan mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural.

Pelepasan hormon antidiuretik berkurang selama minggu awal imobilisasi


yang kemudian akan mengakibatkan diuresis dan penurunan volume plasma.
Penurunan volume plasma mencapai 10% selama 2 minggu pertama imobilisasi
dan bisa mencapai 20% setelah itu.
Gejala dan tanda dari hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah
sistolik dari tidur ke duduk lebih dari 20 mmHg, berkeringat, pucat, kebingungan,
peningkatan denyut jantung, letih, dan pada keadaan berat dapat menyebabkan
jatuh yang pada akhirnya akan mengakibatkan fraktur, hematoma jaringan lunak
dan pendarahan otak.

8. Pneumonia dan infeksi saluran kemih (ISK)


Akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada
pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak
berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang
menyebabkan sputum sulit keluar dan pasien mudah terkena pneumonia. Selain
itu, hal ini juga disertai dengan daya pegas (recoil) elastik yang sudah berkurang
(karena proses menua) yang mengakibatkan perubahan pada tekanan penutup
saluran udara kecil.

Akibat tirah baring lama, aliran urin juga akan terganggu yang kemudian
menyebabkan infeksi saluran kemih. Pengisian kandung kemih yang berlebihan
akan menyebabkan mengembangnya dinding kandung kemih yang kemudian
akan meningkatkan kapasitas kandung kemih dan retensi urin. Dari retensi urin
inilah yang akan memudahkan terjadinya ISK. Inkontinensia urin juga sering
terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi yang disebabkan
ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna, gangguan status
mental, dan gangguan sensasi kandung kemih.

9. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)


Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan endokrin yang
akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu yang
terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi
pada usia lanjut yang imobilisasi sehingga menyebabkan metabolisme menjadi
katabolisme, sehingga metabolisme protein akan lebih rendah pada pasien usia
lanjut dengan imobilisasi. Keadaan tidak beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari
akan meningkatkan ekskresi nitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia,
edema, dan penurunan berat badan. Keadaan kehilangan nitrogen meningkat
hingga 12 gram pada keadaan imobilisasi dengan malnutrisi, trauma, fraktur
pinggul atau infeksi.

Penekanan sekresi hormon antidiuretik hormon selama imobilisasi juga


akan meningkatkan diuresis dan pemecahan otot sehingga akan mengakibatkan
penurunan berat badan.

10. Konstipasi
Imobilisasi lama akan meningkatkan waktu menetap feses di kolon. Semakin
lama feses tinggal di usus besar, absorpsi cairan akan lebih besar sehingga feses
akan menjadi lebih keras. Asupan cairan yang kurang, dehidrasi, dan penggunaan
obat-obatan juga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi

1.9 Penatalaksanaan

Non Farmakologis

Tatalaksana umum pada pasien imobilisasi membutuhkan kerjasama tim


medis interdisiplin dengan partisipasi pasien dan keluarga. Secara umum, tatalaksana
untuk pasien imobilisasi agar mencegah terjadinya berbagai komplikasi yaitu:

1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting untuk mencegah terjadinya
komplikasi dari imobilisasi. Edukasi yang pentung disampaikan
kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah
ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari–
hari sendiri, semampu pasien.
2. Terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur.
 Mobillisasi Dini
Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi
secara teratur dan latihan di tempat tidur dapat dilakukan sebagai
upaya mencegah terjadinya kelemahan dan kontraktur otot serta
kontraktur sendi.
 Untuk mencegah kontraktur otot dapat dilakukan gerakan pasif
sebanyak satu atau dua kali sehari selama 20 menit.
 Untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus, hal yang dapat
dilakukan:
o Menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas
tekanan pada kulit, dengan perubahan posisi lateral 30o,
penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan kasur
berongga

o Pada pasien dengan kursi roda, dapat dilakukan reposisi


tiap jam atau diistirahatkan dari duduk.

o Melatih pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan


ke kanan.

o Memberikan minyak setelah mandi atau mengompol dapat


dilakukan untuk mencegah laserasi.
gambar 7. Posisi lateral 30 derajat

gambar 8. Posisi miring kanan

gambar 9. Kasur berongga

3. Kontrol tekanan darah secara teratur dan penggunaaan obat-obatan


yang dapat menyebabkan penurunan tekanan darah serta mobilisasi
dini perlu dilakukan untuk mencegah hipotensi.

4. Untuk mencegah terjadinya trombosis, dapat dilakukan tindakan


kompresi intermiten pada tungkai bawah. Teknik tersebut dapat
meningkatkan aliran darah dari vena kaki dan menstimulasi aktivitas
fibrinolitik. Teknik ini bebas dari efek samping, namun merupakan
kontraindikasi pada pasien dengan penyakit vaskuler perifer.
gambar 10. Teknik kompresi intermiten tungkai bawah

5. Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu


dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi dan malnutrisi.

Farmakologis

Penatalaksanaan farmakologis dapat diberikan sebagai salah satu upaya


pencegahan komplikasi akibat imobilisasi, terutama pencegahan terhadap
terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan merupakan terapi farmakologik
yang dapat diberikan untuk mencegah terjadinya trombosis pada pasien geriatri
dengan imobilisasi. Low Dose Heparin (LDH) dan Low Molecular Weight
Heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien
geriatri dengan imobilisasi dan resiko trombosis non pembedahan terutama syok.
Namun pemberian antikoagulan pada pasien geriatri perlu dilakukan dengan hati-
hati dan pertimbangan. Penurunan faal organ ginjal dan hati serta adanya interaksi
obat terutama antara warfarin dengan beberapa obat analgetik atau NSAID
merupakan hal yang harus amat diperhatikan.

Anda mungkin juga menyukai