Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Berdasarkan UNCLOS 1982 Indonesia merupakan Negara Kepulauan. Indonesia memiliki


laut yang luas yaitu lebih kurang 5,6 juta km 2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan
berbagai potensi sumber daya, terutama perikanan laut yang cukup besar.

Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas dan kurang terjaga sehingga
mudah mendatangkan ancaman sengketa batas wilayah dengan negara tetangga.Untuk landas
kontinen Negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat di laut sampai
dengan kedalaman 200 meter.Batas laut teritorial sejauh 12 mil dari garis dasar lurus dan
perbatasan zona ekonomi ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil dari garis dasar laut.

Secara geografis Indonesia mem-bentang dari 60 LU sampai 110 LS dan 920 sampai 1420 BT,
terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya kurang lebih 17.504 pulau. Tiga per-
empat wilayahnya adalah laut (5,9 juta km2), dengan panjang garis pantai 95.161 km, terpanjang
kedua setelah Kanada. Melalui Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, Indonesia menyata-kan
kepada dunia bahwa laut Indonesia (laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia)
menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Dan Indonesia sebagai negara kepulauan, telah diakui
dunia internasional melalui konvensi hukum laut PBB ke tiga, United Nation Convention on the
Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982), kemudian diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-
Undang No.17 Tahun 1985.

Hal tersebut tidak terlepas dari semakin meningkatnya aktifitas pelayaran di wilayah perairan
Indonesia, khususnya di laut teritorial.Peningkatan intensitas pelayaran, sebagian diantaranya
kapal barang dan penangkap ikan, tidak menutup kemungkinan terjadinya kecelakaan laut.
Selain itu Indonesia masih banyak mengalami sengketa perbatasan dengan Negara tetangga
Untuk itu diperlukan peraturan yang baku mengenai hukum laut Indonesia khususnya dilaut
teritorial yang sering dilalui oleh kapal asing dan banyak menimbulkan konflik yang
berkepanjangan dengan negara tetangga. Kurang seriusnya pemerintah dalam meyelesaikan
sengketa perbatasan mengenai laut teritorial telah banyak menyebabkan lepasnya wilayah laut
teritorial dari pangkuan Negara Indonesia. Selain itu kurangnya pengawasan terhadap laut
teritorial diwilayah Indonesia telah banyak menyebabkan hilangnya kekayaan alam yang
terkandung didalamnya terutama potensi perikanan yang banyak dicuri nelayan asing.

Pasal 25A UUD 1945 (hasil amandemen kedua UUD 1945), menyebutkan bahwa “NKRI
adalah negara kepulauan yang berciri nusan-tara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-
haknya ditetapkan dengan Undang-undang”. Ini semakin mengu-kuhkan eksistensi Indonesia
sebagai negara maritim. Apalagi dengan lahir-nya UU N0.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, lebih jelas mengakui eksistensi sektor kelautan dan peri-
kanan serta pengelolaan wilayah pesi-sir dan pulau-pulau kecil sebagai salah satu agenda
pembangunan nasional. Namun faktanya, pembangunan bidang kelautan dan perikanan hingga
saat belum dimanfaatkan secara optimal,padahal tersimpan potensi SDA dan jasa-jasa
lingkungan yang sangat besar. Sehingga untuk menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai
arus utama pembangunan nasional dibutuhkan kebijakan pembangunan yang terpadu dan
berbasiskan ekosistem.

2. Rumusan masalah

1. Potensi – potensi apa saja yang di miliki oleh Indonesia?


2. Apakah yang dimaksud laut teritorial dan hak lintas damai dilaut teritorial disertai disertai
pengaturannya?
3. Bagaimana cara menentukan garis batas laut teritorial?
4. Bagaimana pengaturan hukum laut di Indonesia?
5. Bagaimana pengaturan hukum laut Internasional mengenai laut teritorial ?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Potensi – potensi yang di miliki oleh Indonesia

Potensi wilayah

Posisi geografis kepulauan Indonesia sangat strategis karena merupakan pusat lalu lintas
maritim antar benua. Indonesia juga memiliki kedaulatan terhadap laut wilayahnya meliputi;
perairan pedalaman, perairan nusantara, dan laut teritorial (sepanjang 12 mil dari garis dasar).
Disamping itu ada juga zona tambahan Indonesia, yang memiliki hak-hak berdaulat dan
kewenangan tertentu. Selain itu, ada juga Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) sejauh
200 mil dari garis pangkal, dimana Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat atas kekayaan
alam (perikanan), kewenangan untuk meme-lihara lingkungan laut, mengatur dan
mengizinkan penelitian ilmiah kelautan, pemberian ijin pembangunan pulau – pulau buatan,
instalasi dan bangunan2 lainnya

Potensi sumberdaya hayati

Indonesia sebagai negara tropis, kaya akan sumberdaya hayati, yang dinyatakan dengan
tingkat keaneka-ragaman hayati yang tinggi. Dari 7000 spesies ikan di dunia, 2000 jenis
diantaranya terdapat di Indonesia. Potensi lestari sumberdaya perikanan laut Indonesia kurang
lebih 6,4 juta ton per tahun, terdiri dari : ikan pelagis besar (1,16 juta ton), pelagis kecil (3,6 juta
ton), demersal (1,36 juta ton), udang penaeid (0,094 juta ton), lobster (0,004 juta ton) , cumi-
cumi (0,028 juta ton), dan ikan-ikan karang konsumsi (0,14 juta ton). Dari potensi tersebut
jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB) sebanyak 5,12 juta ton per tahun, atau sekitar 80% dari
potensi lestari. Potensi sumberdaya ikan ini tersebar di 9 (sembilan) wilayah Pengelolaan
Perikanan Indonesia. Potensi budidaya laut, terdiri dari potensi budidaya ikan (kakap, kerapu,
gobia); udang, moluska (kerang-kerangan, mutiara, teripang); dan rumput laut, potensi luasan
budidaya-nya sebesar 2 juta ha (20% dari total potensi lahan perairan pesisir dan laut berjarak 5
km dari garis pantai) dengan volume 46,73 juta ton per tahun. Sedangkan potensi budidaya
payau (tambak) mencapai 913.000 ha. Untuk potensi bioteknologi kelautan masih besar
peluangnya untuk dikembang-kan, seperti industri bahan baku untuk makanan, industri bahan
pakan alami, dan benih ikan dan udang. Perairan Indo-Pasifik, yang seba-gian besar terletak di
perairan Indone-sia merupakan pusat keanekaragaman terumbu karang dunia, dengan lebih dari
400 spesies. Juga berbagai jenis ganggang laut tersebar di berbagai wilayah pantai. Sumberdaya
hayati laut kita, selain memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi juga mempunyai luas habitat
yang besar, yaitu : 2,4 juta ha kawasan hutan bakau dan 8,5 juta ha terumbu karang. Secara
biologi, kawa-san pesisir dan laut Indonesia juga mempunyai nilai global, karena pera-iran
Indonesia merupakan tempat ber-telur ikan-ikan yang bermigrasi (highly migratory species)
seperti tuna, lumba-lumba dan berbagai jenis ikan paus serta penyu.

Potensi kelautan dan perikanan di atas, guna mendorong pertumbuhan ekonomi diperkirakan
mempunyai nilai potensi ekonomi masing-masing : perikanan tangkap US$ 15,1 miliar per
tahun; budidaya laut US$ 46,7 miliar per tahun; budidaya tambak US$ 10 miliar per tahun dan
bioteknologi kelautan sebesar US$ 4 miliar per tahun.

Potensi sumberdaya mineral dan energy

Sekitar 70 % produksi minyak dan gas bumi Indonesia berasal dari kawasan pesisir dan
laut. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai,
14 di kawasan pesisir, hanya 6 yang di daratan. Dari seluruh cekungan tersebut, potensinya
diperkirakan sebe-sar 11,3 miliar barel minyak bumi. Cadangan gas bumi di kawasan ini
diperkirakan sebesar 101,7 triliun kubik. Selain itu kawasan ini juga kaya akan berbagai jenis
bahan tambang dan mineral seperti : emas, perak, timah, bijih besi, dan mineral berat. Di
perairan pesisir dan laut Indonesia, juga ditemu-kan jenis energi baru pengganti BBM, berupa
gas hidrat dan gas bionik di lepas pantai barat Sumatera, selatan Jawa Barat serta bagian utara
Selat Makassar dengan potensi yang sangat besar, melebihi seluruh potensi minyak dan gas bumi
Indonesia.

Selain sumber energi diatas, terdapat juga sumber-sumber energi non konvensional
seperti : energi pasang surut, energi gelombang, OTEC (ocean thermal energy conversion),
tenaga surya dan angin. Potensi sumberdaya mineral lainnya yang dapat dikembangkan adalah
air laut da-lam (deep ocean water). Air laut dalam merupakan air di kedalaman 200 m,
memiliki karakteristik yang berguna untuk kepentingan perikanan, kosme-tika dan air mineral.

Potensi industri dan jasa maritim

Sehubungan dengan Indonesia adalah negara kepulauan dengan wila-yah pesisir dan lautan
yang luas, maka industri dan jasa maritim yang potensi untuk dikembangkan adalah : a)
Galangan (pembuatan) kapal dan dock-yard; b) Industri mesin dan peralatan kapal; c) Industri
alat penangkapan ikan (fishing gears) seperti jaring, pancing, fish finders, tali tambang, dll; d)
Industri kincir air tambak (pedal wheel), pompa air, dll; e) Offshore engineering and
structures; f) Coastal engineering and structures; g) Kabel bawah laut dan fiber optics; h)
Remote sensing, GPS, GIS, dan ICT lainnya.

Potensi transportasi laut dan jasa lingkungan

Seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari poros Atlantik ke Asia-Pasifik, dewasa
ini, 70% perda-gangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Sekitar 75% produk dan
komoditas perdagangan di transporta-sikan melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar US$ 1.300
triliun per tahun. Sejak 1987, Indonesia menghamburkan devisa rata-rata US$ 14 miliar/tahun
untuk membayar armada pelayaran asing. Sekitar 97% dari total barang dan komoditas yang
diekspor dan diimpor oleh Indonesia, diangkut oleh kapal-kapal asing dan sekitar 55% dari total
barang dan komoditas yang ditransportasikan antar pulau di perairan laut Indonesia, diangkut
juga oleh kapal-kapal asing.

Dengan potensi total muatan nasional 502 juta ton per tahun (200 juta ton batubara; 55 juta
ton crude oil; 60 juta ton CPO; 7 juta ton produk perikanan; 8 juta ton LNG; 2 juta ton LPG; 120
juta ton containers dan 50 juta ton general cargo), melalui pendekatan cluster maritime kita bisa
meraup devisa perhubungan laut US$ 15 miliar setiap tahun-nya (IMPC, 2008 dalam Dahuri
2009). Untuk dapat melayani kebutuhan angkutan muatan sebesar itu, diperlukan sekitar 650
kapal tambahan, dengan total investasi sebesar US$ 5 miliar. Selain mening-katkan pendapatan
negara, cluster maritime juga menciptakan lapangan kerja baru sedikitnya 1 juta orang,
membangkitkan sejumlah multiplier effects, mendongkrak daya saing ekonomi nasional, juga
dapat memper-cepat pembentukan 24 pelabuhan hub port. Dari 114 pelabuhan umum yang kita
miliki, tidak satupun memenuhi standar pelayanan internasional. Tahun 2000, Jepang dengan
panjang garis pantai 34.000 km memiliki 3000 pelabuhan perikanan, artinya setiap 11 km garis
pantai terdapat 1 (satu) pelabuhan perikanan. Thailand dengan panjang garis pantai 2.600 km
memiliki 52 pelabuhan perikanan, artinya setiap 50 km garis pantai mempunyai 1 (satu) buah
pelabuhan perikanan. Sementara, Indonesia dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km,
hanya memiliki 17 pelabuhan perikanan, artinya setiap 4.500 km garis pantai hanya memiliki 1
(satu) buah pelabuhan perikanan. Negara bagian Queensland, Australia dengan panjang garis
pantai 2.100 km, tahun 2007 pariwisata baharinya meraup devisa sebesar US$ 3 milyar.
Indonesia dengan panjang garis pantai 95.200 km dan 6 terumbu karang (Raja Ampat, Wakatobi,
Tukang Besi, Bunaken, Gili IMT, dan P. Rubiah) dari 10 terumbu karang terindah di dunia, total
devisa pariwisata nya hanya US$ 5 milyar.

Posisi Indonesia yang strategis, dengan memiliki estetika lingkungan yang sulit ditandingi
oleh negara kepulauan lain, seperti gugusan pulau yang indah dan kekayaan keaneka-ragaman
sumberdayahayati lautnya, menjanjikan potensi ekonomi dari kegi-atan pariwisata alam dan
pariwisata bahari dengan segala variannya. Prospek ini tentu didukung oleh bergesernya
kebutuhan masyarakat global akan kehidupan back to nature, dimana mereka telah jenuh dengan
kehidupan dalam lingkungan buatan. Estimasi nilai potensi ekonomi pari-wisata bahari di
Indonesia sebesar US$ 54.3 miliar per tahun.

Potensi kultural

Salah satu potensi kelautan Indonesia adalah benda peninggalan budaya masa lalu yang
memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu, Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT). Saat ini
diperkirakan terdapat 463 titik lokasi kapal tenggelam, yang terjadi sejak abad 14 sampai abad
19. Pemerintah telah membentuk Panitia Nasional BMKT melalui Keppres No.107 Tahun
2000, agar pemanfaatan BMKT dapat memberikan manfaat kepada masya-rakat dan negara,
serta mencegah pengangkatan BMKT secara illegal. Nilai BMKT secara keseluruhan diper-
kirakan mencapai US$ 40 juta. Dari potensi sumberdaya pesisir dan lautan di atas, sedikitnya
terkait dengan 11 sektor ekonomi kelautan yang dapat dikembangkan yaitu : 1) perikanan
tangkap, 2) perikanan budidaya, 3) industri pengolahan hasil perikanan, 4) industri
bioteknologi kelautan, 5) pertambangan dan energi, 6) pariwisata bahari, 7) perhubungan laut,
8) industri dan jasa maritim, 9) sumberdaya pulau-pulau kecil, 10) coastal forestry
(mangrove), dan 11) SDA non konvensional. Sektor ekonomi kelautan adalah kegiatan
ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan/atau yang menggunakan SDA
dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk mengha-silkan goods and services yang dibu-tuhkan
umat manusia (Kildow, 2005 dalam Dahuri 2010). Menurut PKSPL-IPB 2009, total potensi
ekonomi kelautan Indonesia : sebesar US$ 1.200 miliar/tahun

2. Pengertian laut teritorial

Konsep laut teritorial muncul karena kebutuhan untuk menumpas pembajakan dan untuk
mempromosikan pelayaran dan perdagangan antar negara.Prinsip ini mengijinkan negara untuk
memperluas yurisdiksinya melebihi batas wilayah pantainya untuk alasan keamanan.Secara
konseptual, laut teritorial merupakan perluasan dari wilayah teritorial darat.Sejak Konferensi
Den Haag 1930 kemudian Konferensi Hukum Laut 1958, negara-negara pantai mendukung
rencana untuk konsep laut teritorial ditetapkan dalam doktrin hukum laut.Kemudian ketentuan
laut teritorial dikodifikasikan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS).UNCLOS
mengijikan negara pantai untuk menikmati yurisdiksi eksklusif atas tanah dan lapisan tanah
dibawahnya sejauh 12 mil laut diukur dari garis dasar sepanjang pantai yang mengelilingi negara
tersebut. Pengertian laut teritorial menurut hukum laut Internasional maupun nasional adalah
sebagai berikut :

Menurut UNCLOS, laut teritorial adalah garis-garis dasar (garis pangkal / baseline), yang
lebarnya 12 mil laut diukur dari garis dasar laut teritorial didefinisikan sebgai laut wilayah yang
terletak disisi luar dari garis pangkal.

Yang dimaksud dengan garis dasar disini adalah garis yang ditarik pada pantai pada waktu
air laut surut .Negara pantai mempunyai kedaulatan atas laut teritorial, ruang udara di atasnya,
dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dimana
dalam pelaksanaannya kedaulatan atas laut teritorial ini tunduk pada ketentuan Hukum
Internasional.

Menurut Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996, laut teritorial adalah jalur laut selebar 12
(dua belas) mil yang diukur dari garis pangkal Kepulauan Indonesia sebagaimana yang dimaksud
Pasal 5 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 menyebutkan.

1) Garis pangkal Kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis pangkal


lurus kepulauan.

2) Dalam hal garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus.

3) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis -
garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan
karang- karang kering terluar dari kepulauan Indonesia.

4) Panjang garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak
boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah
keseluruhan garis -garis pangkal yang mengelilingi Kepulauan Indonesia dapat melebihi
kepanjangan tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima)
mil laut.

5) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh
ditarik dari dan ke elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercu suar
atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan laut atau apabila
elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak
melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.

6) Garis pangkal biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis air rendah
sepanjang pantai.

7) Garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis lurus yang
menghubungkan titik-titik terluar pada garis pantai yang menjorok jauh dan menikung ke
daratan atau deretan pulau yang terdapat di dekat sepanjang pantai.

Dalam laut teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing.
Kapal asing yang menyelenggarakan lintas laut damai di laut teritorial tidak boleh melakukan
ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan
politik negara pantai serta tidak boleh melakukan kegiatan survey atau penelitian, mengganggu
sistem komunikasi, melakukan pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada
hubungan langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut harus
dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya, sedangkan berhenti dan membuang
jangkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan navigasi yang normal atau kerena keadaan
memaksa atau dalam keadaan bahaya atau untuk tujuan memberikan bantuan pada orang, kapal
atau pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya.

Terkait dengan pelaksanaan hak lintas damai bagi kapal asing tersebut, Negara pantai
berhak membuat peraturan yang berkenaan dengan keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas
laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas navigasi, perlindungan kabel dan pipa bawah laut,
konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan terhadap pelanggaran atas peraturan perikanan,
pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran,
penelitian ilmiah kelautan dan survei hidrografi dan pencegahan pelanggaran peraturan bea
cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.

Di laut teritorial kapal dari semua negara, baik negara berpantai ataupun tidak berpantai,
dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial, demikian dinyatakan dalam pasal 17
UNCLOS 1982. Dalam pasal 18 UNCLOS 1982, disebutkan pengertian lintas, berarti suatu
navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan :

1) Melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di
tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman, atau

2) Berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut
(roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut.

Termasuk dalam pengertian lintas ini harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin, dan
mancakup juga berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan
navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force majure atau memberi pertolongan kepada
orang lain, kapal atau pesawat udara yang dalam keadaan bahaya.
Selanjutnya dalam pasal 19 Konvensi menyatakan, bahwa lintas adalah damai, sepanjang tidak
merugikan bagi kedamaian, ketertiban alat keamanan Negara pantai.sedangkan lintas suatu kapal
asing dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau keamanan suatu Negara pantai,
apabila kapal tersebut dalam melakukan navigasi di laut teritorial melakukan salah satu kegiatan
sebagai berikut :

1) Setiap ancaman penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau


kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan
pelanggaran atas Hukum Internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB.

2) Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun.

3) Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan infomasi yang merugikan


bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai.

4) Peluncuran, pendaratan atau penerimaan pesawat udara di atas kapal.

5) Perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan dan keamanan


Negara pantai.

6) Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan
dengan peraturan bea cukai dan imigrasi.

7) Perbuatan pencemaran laut yang disengaja.

8) Kegiatan perikanan.

9) Kegiatan riset.

10) Mengganggu sistem komunikasi.

11) Kegiatan yang berhubungan langsung dengan lintas.

Pasal 32 UNCLOS memberikan pengecualian bagi kapal perang atau kapal pemerintah
yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial. Pasal 29 UNCLOS memberikan definisi kapal
perang yaitu suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memakai
tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang
perwira, yang diangkat oleh pemerintah Negaranya dan namanya terdaftar dinas militer yang
tepat atau daftar yang serupa yang diawasi oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan
bersenjata reguler.

Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorialnya,
kecuali dengan ketentuan Konvensi atau Perundang-undangan yang dibuat sesuai dengan
ketentuan Konvensi.Negara pantai juga tidak boleh menetapkan persyaratan atas kapal asing
yang secara praktis berakibat penolakan atau pengurangan hak lintas damai.Lain dari pada itu
Negara pantai tidak boleh mengadakan diskriminasi formil atau diskriminasi nyata terhadap
kapal Negara manapun.Untuk keselamatan pelayaran, Negara pantai harus secepatnya
mengumumkan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang diketahuinya.

Selanjutnya Pasal 25 UNCLOS, mengenai hak perlindungan bagi keamanan Negaranya,


Negara pantai dapat mengambil langkah yang diperlakukan untuk mencegah lintas yang tidak
damai di laut teritorialnya. Negara pantai juga berhak untuk mengambil langkah yang diperlukan
untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal
ke perairan pedalaman atau ke persinggahan demikian.Tanpa diskriminasi formil atau
diskriminasi nyata di antara kapal, Negara pantai dapat menangguhkan sementara pada daerah
tertentu di laut teritorialnya untuk perlindungan keamanannya termasuk keperluan latihan
senjata.

1. Cara Menentukan Lebar Dan Garis Batas Laut Teritorial

Seperti yang diuraikan diatas bahwa penentuan laut teritorial suatu Negara pantai dilakukan
dengan cara penarikan sejauh 12 mil dari garis pangkal terluar yang merupakan titik pasang surut
terendah seperti yang diatur dalam Pasal 5 UNCLOS dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996.
Namun UNCLOS dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 memberikan pengecualian terhadap
wilayah laut yang memiliki pantai yang saling berhadapan antar Negara pantai.

1) Pasal 10 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 menyebutkan bahwa :[7]


(1) Dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain,
kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis batas laut teritorial antara Indonesia dengan
negara tersebut adalah garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik- titik terdekat pada
garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak
historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial
antara kedua Negara menurut suatu cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut.

2) Pasal 83 UNCLOS 1982, menetapkan bahwa penentuan batas landasan kontinental antar
negara dengan pesisir yang berhadapan atau berdekatan akan dilaksanakan melalui perjanjian
berdasarkan Hukum Internasional dengan tujuan untuk mencapai suatu penyelesaian yang pantas
dan fair.

Berdasarkan peraturan diatas dapat dinyatakan bahwa penentuan batas laut teritorial antara
Negara pantai yang memiliki wilayah pantai dapat dilakukan melalui perundingan atau
kesepakatan antar kedua belah pihak.

1. Pengaturan Hukum Laut Indonesia

Secara nasional pengaturan mengenai hak lintas damai terdapat dalam :

a) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.

b) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai kendaraan Air
Asing.

c) Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention of


the Law of the Sea 1982.

d) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan.

e) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing
dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia.
f) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian dan Perusakan Laut.

Namun melihat peraturan yang ada mengatur tentang laut teritorial di Indonesia masih
banyak terdapat berbagai kekurangan diantaranya tidak adanya pengaturan batas laut Indonesia.

1. Pengaturan Hukum Laut Internasional Mengenai Laut Teritorial Dalam UNCLOS 1982

Dalam UNCLOS, Laut Teritorial diatur dalam :

Bagian 1. Pendahuluan (Pasal 1 sampai Pasal 3)

Bagian 2. Batas Laut Teritorial

Bagian 3. Lintas damai di Laut Teritorial

1) Sub bagian a.

Peraturan yang berlaku bagi semua kapal (Pasal 17 sampai Pasal 26).

2) Sub bagian b.

Peraturan yang berlaku bagi kapal dagang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan
komersial (Pasal 27 sampai Pasal 28).

3) Sub bagian c.

Peraturan yang berlaku bagi kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk
tujuan non-komersial (Pasal 29 sampai Pasal 32).
BAB 3

KESIMPULAN

Laut teritorial menurut Hukum Laut Internasional maupun nasional adalah sebagai
berikut :

Menurut UNCLOS, garis-garis dasar (garis pangkal / baseline), yang lebarnya 12


mil laut diukur dari garis dasar laut teritorial didefinisikan sebagai laut wilayah yang
terletak disisi luar dari garis pangkal.

Menurut Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996, laut teritorial adalah jalur laut selebar 12
(dua belas) mil yang diukur dari garis pangkal Kepulauan Indonesia sebagaimana yang dimaksud
Pasal 5 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996.

Dalam laut teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing
penentuan laut teritorial suatu Negara pantai dilakukan dengan cara penarikan sejauh 12 mil dari
garis pangkal terluar yang merupakan titik pasang surut terendah seperti yang diatur dalam Pasal
5 UNCLOS dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996.

Secara nasional pengaturan mengenai hak lintas damai terdapat dalam :

a) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.

b) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai kendaraan Air
Asing.

c) Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention of


the Law of the Sea 1982.

d) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan.


e) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing
dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia.

f) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian dan Perusakan Laut.

Dalam UNCLOS, Laut Teritorial diatur dalam :

Bagian 1.Pendahuluan (Pasal 1 sampai Pasal 3.

Bagian 2. Batas Laut Teritorial

Bagian 3. Lintas damai di laut territorial


DAFTAR PUSTAKA

Anonimus.Konvensi PBB tentang Hukum Laut, Direktorat Perjanjian Internasional,

Departemen Luar Negeri, 1983.

Jurnal Ilmiah Platax. Vol 2. Januari 2003: ISSN:2302-3589

Kusumaatmadja Mochtar. Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1978

Kusumaatmadja Mochtar. Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1978, hal.173.

Konvensi PBB tentang Hukum Laut, hal.7.

Konvensi PBB tentang Hukum Laut, Op.cit, hal.15.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996, hal.3.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996, Op.cit, hal.5.


TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER HUKUM LAUT INTERNAASIONAL

ANALISA IMPLEMENTASI UNLOS BESERTA KETENTUAN –


KETENTUANNYA

DISUSUN OLEH :

Bahtiar Juniarto Prastyadi 11010115120110


Dicky Aries Pratama 11010115130493

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2018

Anda mungkin juga menyukai