Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gawat darurat merupakan suatu keadaan yang perlu penanganan
yang cepat dan tepat. Akut abdomen merupakan suatu terminologi yang
menunjukan adanya keadaan darurat dalam abdomen yang dapat berakhir
dengan kematian apabila tidak tertangani dengan cepat dan tepat. Akut
abdomen dapat disebabkan oleh peradangan, perforasi, perdarahan, maupun
obstruksi pada saluran pencernaan. Perlu dilakukan pemeriksaan fisik serta
penunjang dalam mendiagnosis dan pertimbangkan etiologi yang dapat
mengancam nyawa.
Dengan mengetahui etiologi serta penyulit-penyulit yang ada pada
nyeri abdomen, diharapkan seorang klinisi dapat mengetahui manajemen
perawatan atau penatalaksanaan awal yang tepat sebelum memberikan rujukan
perawatan untuk mencegah terjadinya penyulit-penyulit yang lebih berat yang
mengakibatkan kematian.

1.2 Tujuan Modul


Berdasarkan hasil diskusi kelompok kecil yang kami lakukan dengan
membahas skenario “nyeri perut hebat” ini kami telah manentukan tujuan
pembelajaran kami, yaitu :
1. Mengetahui dan memahami bagaimana patomekanisme terjadinya nyeri
abdomen dan penyebabya serta penatalaksanaannya.
2. Mengetahui dan memahami mengenai appendicitis dan peritonitis, serta
batasan kompetensi dokter umum dalam menghadapi kasus-kasus
tersebut.

1
BAB II
ISI
SKENARIO

Nyeri Perut Hebat

Pak fahri, 45 tahun datang ke praktik dokter dengan keluhan demam disertai mual
dan muntah sejaj 2 hari yang lalu. Saat inj demanya bertambah tinggi dan rasa
nyeru terasa diseluruh perut. Dari hasil anamnesa diperoleh informasi, awalnya
pak fahri merasakan nyeri perut kanan bawah, untuk mengurangi rasa sakitnya
pak fahri minum obat pereda rasa nyeri yang diperoleh dari warung, tetapi nyeri
tidak kunjung mereda, bila berjalan atau menarik nafas, nyeri semakin parah. Dari
hasil pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan diseluruh lapangan perut dengan
defams muskular, dan bising usus menghilang, oleh dokter yang memeriksa pak
fajri segera dirujuk ke rumah sakit terdekat.

Step 1 Terminologi Sulit

1. Defans Muskular : ketegangan atau kekakuan otot yang merupakan suatu


mekanisme perlindungan mekanis. Ditemukan saat dilakukan penekanan
atau palpasi
2. Bising usus menghilang : tidak terdengarnya bising usus saat auskultasi
abdomen yang menandakan gerakan peristaltik usus mungkin menghilang
karna paralisis atau terjadi ileus obstruktif.

Step 2 Identifikasi Masalah

1. Bagaimana mekanisme keluhan-keluhan yang ada diskenario?


2. Mengapa terjadi nyeri diseluruh perut?
3. Mengapa demamnya semakin tinggi?
4. Apa saja organ yang berada dikanan bawah?

2
5. Mengapa pasien minum obat tetapi nyeri tidak mereda? Dan mengapa saat
menarik nafas atau berjalan, nyeri bertambah?
6. Apa saja pemeriksaan untuk mendiagnosis keluhan tersebut?
7. Apa kemungkinan diagnosis dari kasus tersebut?
8. Bagaimana tatalaksana keluhan tersebut?

Step 3 Brainstorming

1. Demam : Bisa saja terjadi karna ada infeksi ditubuh yang toksin-toksinnya
mengeluarkan mediator-mediator kimia yang salah satunya prostaglandin
yang selanjutnya merangsang pusat demam (set point) dihipotalamus.
Mual-muntah : adanya peningkatan tekanan intra abdomen yang
menyebabkan terjadinya refluks gaster. Atau karna adanya defans
muskukar dan penurunan peristaltik sehingga makanan tidak bisa masuk
tetapi malah dimuntahkan. Defans muskular : abdomen merupakan organ
berongga yang jika mengalami masalah bisa terjadi perforasi dan
menginfeksi sekitar dan menyebabkan tegang pada peritonium visceral.
Nyeri : karna disetiap organ dirubuh memiliki saraf. Ketika terjadi radang
maka saraf bebas akan terpicu dan terasa nyeri
2. Terjadi nyeri diseluruh tubuh karena saraf berjalan sesuai dermatom, jika
1 saraf terkena maka bisa terjadi nyeri alih. Atau bisa karena radang telah
mengenai organ lain dan meyebar di ruang abdomen.
3. Demam semakin tinggi karna tidak diatasi dengan antipiretik, hanya
analgesik dan penyebabnya belum ditanganj dengan baik sehingga set
point semakin tinggi dan tubuh pun semakin demam.
4. Organ dikanan bawah adalah apendiks, sebagian colon asenden, ginjal
dextra, ureter, pada wanita ada ovarium dan tuba falopi kanan
5. Karena obat yang diminum adalah analgesik yang tidak mengatasi
penyebab dan gejalanya nyerinya bisa timbul terus jika penyebabnya tidak
teratasi dan sudah berat. Semakin nyeri saat bernafas atau berjalan karna
ada persarafan yang berjalan bersamaan, dan jika sudah terjadi peritonitis
akan nyeri jika bergesekan dengan otot ato organ sekitar krna banyak saraf

3
disitu. Bisa juga karna apendisitis yang letaknya retrosekal, sehingga nyeri
alih ke otot psoas atau obturator.
6. Anamnesis : Socrates dan riwayat penyakit sekarang, dahulu, dan keluarga
Pemeriksaan fisik abdomen
Pemeriksaan penunjang : Darah lengkap, Foto polos abdomen, teknik
DPL, USG abdomen.
7. Apendisitis akut, Perforasi apendiks, Peritonitis, Torsio testis, Kehamilan
ektopik terganggu
8. Menstabilkan Keadaan umum dengan mencegah dehidrasi. Pantau ABC.
Bedrest dan kaki ditekuk dengan posisi fowler, tidak diberikan apa-apa
lewat mulut (puasa) dan jika didiagnosis apendisitis maka dilakukan
apendektomi.

Step 4 MIND MAP

Demam, mual
muntah, nyeri
perut

Penatalaksanaan
Anamnesis DD Rujuk
awal

Pem. Fisik dan Penatalaksanaan


Apendisitis akut Cek ABC
penunjang lanjutan

nyeri tekan Perforasi apendiks Rehidrasi Bedah

defams muskular Peritonitis Pasang Kateter

bising usus
menghilang

4
Step 5 Learning Objective

Menjelaskan tentang definisi, etiologi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi


klinis, penegakan diagnosis, tatalaksana dan komplikasi dari :

1. Apendisitis

2. Peritonitis

Step 6 Belajar Mandiri


Mahasiswa melakukan belajar mandiri dan hasil belajar akan disampaikan
pada Diskusi Kelompok Kecil II

Step 7 Sintesis
APPENDISITIS AKUT
DEFINISI
Appendisitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen
oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi
lumen merupakan penyebab utama appendisitis. Erosi membran mukosa
appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris
trichiura, dan Enterobius vermikularis.26 Penelitian Collin (1990) di Amerika
Serikat pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang
disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda
asing 4%, dan sebab lainnya 1%.

EPIDEMIOLOGI

Insidens apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara


berkembang. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan
berserat dalam menu sehari-hari. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur,

5
hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada laki-laki dan
perempuan umumnya sembanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, pada laki-laki
lebih tinggi.

ETIOLOGI
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit
merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah
hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah
serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena
colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi apendisitis
juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal. Frekuensi
obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit ditemukan
pada 40% dari kasus apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis
gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus apendisitis gangrenous dengan
rupture. Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi
mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan
mempermudah terjadinya apendisits akut.

PATOFISIOLOGI
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi lumen yang tertutup
disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan berlanjut pada
peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi
tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks

6
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen.
Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5
dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan
salah satu dari sedikit binatang yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi
yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks).
Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut
dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor. Bila sekresi
mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan
apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi
abses atau menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,

7
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh
darah.
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,
uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila
proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup
kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut.

GAMBARAN KLINIS

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
terjadinya peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda
setempat, baik disertai maupun tidak disertai dengan rangsang peritoneum lokal.
Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya, nafsu akan menurun. Dalam
beberapa jam, nyeri dirasa lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi

8
terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.
Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.
Bila terdapat perangsangan peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit perut bila
berjalan atau batuk (Riwanto, Hamami, Pieter, Tjambolang, & Ahmadsyah,
2010).

Bila apendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut kanan


bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena
apendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau
nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang
dari dorsal (Riwanto, et al., 2010).

Radang pada apendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan


gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat
dan pengosongan rektum menjadi lebih cepat serta berulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningktan frekuensi kencing akibat
rangsangan apendiks terhadap dinding kandung kemih (Riwanto, et al., 2010).

Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Pada walnya, anak sering
hanya menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa
melukiskan rasa yerinya. Beberapa jam kemudian, anak akan muntah sehingga
menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, apendisitis sering
baru diketahui setelah terjadi perforasi (Riwanto, et al., 2010).

Pada orang berusia lanjut, gejalanya sering samar-samar saja sehingga


lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi. Pada
kehamilan, keluhan utama adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Hal ini perlu
dicermati karena pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan
muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral
sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih di regio
lumbal kanan (Riwanto, et al., 2010).

PENEGAKAN DIAGNOSIS

9
Pemeriksaan

Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5-38,50 C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan
rektal sampai 10 C. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan
perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikuler (Riwanto,
et al., 2010).

Pada palpasi, didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa
disertai nyeri lepas. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci dagnosis.
Pada penekanan perut kiri bawah, akan dirasakan nyeri diperut kanan bawah yang
disebut tanda rovsing (Riwanto, et al., 2010).

Pada auskultasi, peristalsis usus sering normal tetapi juga dapat


menghilang akibat adanya ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang
disebabkan oleh apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan
nyeri bila daerah infeksi dapat dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada
apendisitis pelvika (Riwanto, et al., 2010).

Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang


lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendks. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang
menempel di otot psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji
obturator digunakan untuk melihat bilamana apendiks yang meradang bersentuhan
dengan otot obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan
fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan
nyeri pada apendisitis pelvika (Riwanto, et al., 2010).

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan foto barium namun


kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dapat meningkatkan akurasi diagnosis.
Pemeriksann jumlah leukosit membantu menegakkan diagnosis apendisitis akut.

10
Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada kasus dengan
komplikasi (Riwanto, et al., 2010).

PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF

Pasien yang telah terdiagnosis apendisitis akut harus segera dirujuk ke layanan
sekunder untuk dilakukan operasi cito.

Penatalaksanaan di pelayanan kesehatan primer sebelum dirujuk:


1. Bed rest total posisi fowler (anti Trandelenburg)
2. Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui
mulut.
3. Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.
4. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi
distensi abdomen dan mencegah muntah.

KOMPLIKASI
1. Perforasi apendiks
2. Peritonitis umum
3. Sepsis

Kriteria Rujukan

Pasien yang telah terdiagnosis harus dirujuk ke layanan sekunder untuk dilakukan
operasi cito.
Peralatan
Laboratorium untuk pemeriksaan darah perifer lengkap

Prognosis
Prognosis pada umumnya bonam tetapi bergantung tatalaksana dan kondisi
pasien.

PERITONITIS

11
Definisi
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan
pembungkus visera dalam rongga perut. Peritonitis adalah suatu respon inflamasi
atau supuratif dari peritoneum yang disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi
bakteri. Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial.
Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu
coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding
enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm,
dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian
menjadi peritonium.
Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesoepitelial diatas dasar
fibroelastik. Terbagi menjadi bagian viseral, yang menutupi usus dan
mesenterium; dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen dan
berhubungan dengan fasia muskularis.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem
saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian
sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien.
Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi
yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau
radang seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri
viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya
ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri.
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat
timbul karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang.
Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat
menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri.
Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya
konsisten dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil
dapat bergerak kedua arah. Molekul-molekul yang lebih besar dibersihkan
kedalam mesotelium diafragma dan limfatik melalui stomata kecil.

12
Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar,
vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan
appendix (intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden,
ginjal dan ureter (retroperitoneum).
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis,
salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi
post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Pada keadaan
normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecil-
kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang
menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-
faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.

EPIDEMIOLOGI
Infeksi peritonitis relatif sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit
yang mendasarinya.Penyebab utama peritonitis ialah spontaneous bacterial
peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik. Sekitar 10-30% pasien dengan
sirosis hepatis yang mengalami asites akan berakhir menjadi SBP. Peritonitis
bakterial spontan dapat terjadi baik pada anak-anak maupun dewasa.

ETIO-PATOMEKANISME
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa.Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi
dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi
usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti

13
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ.Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk.Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi.Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum
dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitonealmenyebabkan
hipovolemia.Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu,masukan
yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen
usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha
pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik;
usus kemudian menjadi atoni dan meregang.Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan
oliguria.Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa
ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh
darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen

14
apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena
fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena
sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general.

MANIFESTASI KLINIS

 Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada
peritonitis.Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan
pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian
abdomen.
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak
ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai
gerakan.Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi
peradangan peritoneum.
 Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti
dengan muntah.Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa
seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang
timbul.Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38oC sampai 40oC.
 Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates.Gejala ini
termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong,
kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.

15
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya
berada pada stadium pre terminal.Hal ini ditandai dengan posisi mereka
berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas
karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen.
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat
kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis
dan perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak
berkurang
 Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua
factor.Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum
peritoneum atau ke lumen dari intestinal.Yang kedua dikarenakan
terjadinya sepsis generalisata.
Yang utama dari septikemia pada peritonitis generalisata melibatkan
kuman gram negative dimana dapat menyebabkan terjadinya tahap yang
menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi
dari penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat
memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip seperti gambaran
yang terlihat pada manusia.

PENEGAKKAN DIAGNOSIS

Pemeriksaan fisik

 Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah
adanya distensi dari abdomen.Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi
abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika
penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3
hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat
penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi

16
akibat ileus paralitik (Oetomo, 2013).
 Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian.
Suara usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi
intestinal sampai hamper tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis
berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang
terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut yang tenang.
Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut,
penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami
strangulasi (Oetomo, 2013).
 Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman
pemeriksa.Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi
intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum
peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami
perforasi.Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis (Oetomo,
2013).
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ
berongga, udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah
diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang
(Oetomo, 2013).
 Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen
pada kondisi ini.Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi
daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah
yang dicurigai terdapat nyeri tekan.Ini terutama dilakukan pada anak
dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri membuat
semua pemeriksaan tidak berguna.Kelompok orang dengan kelemahan
dinding abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan
banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya
kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen.Penemuan yang paling

17
penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada
stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya
didapatkan spasme otot abdomen secara involunter (Oetomo, 2013).
Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup
gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari
peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada
apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar seperti
pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada
daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang maksimal
(Oetomo, 2013).
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut
melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan.Pada
peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan.
(Oetomo, 2013).
Pemeriksaan penunjang

Laboratorium

Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara


riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik.Tes yang paling sederhana
dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis.Pada kasus
peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali
pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat
infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya
(Oetomo, 2013).

Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan


didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya
peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang
nyata (Oetomo, 2013).

Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes

18
fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan (Oetomo, 2013).

Pemeriksaan juga dapat dilakukan pada cairan peritoneal dengan


menggunakan Diagnostic Peritoneal Lavage. Pada peritonitis tuberculosa
cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan
banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum
per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma
yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat
(Oetomo, 2013).

Radiologis

Gambaran radiologis pada peritonitis secara umum yaitu adanya


kekaburan pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang,
dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal (Oetomo, 2013).

Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas


pada foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG
(Oetomo, 2013).

Sedangkan gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat


dilihat pada pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi
apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain,
tanda utama radiologi adalah:

 Posisi tidur, didapatkan preperitoneal fat menghilang, psoas line


menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen
 Posisi duduk atau berdiri, di datpkan free air subdiafragma berbentuk
bulan sabit ( semilunar shadow)
 Posisi LLD, didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut yang
paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau
antara pelvis dengan dinding abdomen.

19
PENATALAKSANAAN
Secara umum, penatalaksanaan peritonitis melingkupi hal berikut :
1. Dekompresi pencernaan
2. Resusitasi cairan
3. Antibiotik sistemik
4. Kontrol sumber Kontaminan
Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok dan
kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena yang
berupa infuse NaCl atau Ringer Laktat untuk mengganti elektrolit dan kehilangan
protein. Lakukan nasogastric suction melalui hidung ke dalam usus untuk
mengurangi tekanan dalam usus. Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama
24 jam yaitu Ampisilin 2g IV, kemudian 1g setiap 6 jam, ditambah gantamisin 5
mg/kg berat badan IV dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV setiap 8
jam.
Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan
perbaikan dapat diupayakan. Pembedahan atau laparotomi mungkin dilakukan
untuk mencegah peritonitis. Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan
mayor adalah insisi dan drainase terhadap abses.
Mengingat kejadian umum dan kematian yang tinggi dari peritonitis
primer dalam sebagai bagian yang memungkinkan mengenai manusia. Sirosis
dengan ascites, pencegahan adalah strategi yang diinginkan. Hal ini terutama
berlaku untuk pasien yang menunggu transplantasi hati.
Dekontaminasi selektif bagian usus dengan norfloksasin oral (400mg
setiap hari) telah terbukti mengurangi kejadian spontan peritonitis bakteri.
Norfloksasin memilikikeuntungan dari memilih untuk organisme gram positif,
termasuk S.aureus dan kuinolon (tahan Gram negatif). Baru-baru ini,
trimethoprim- sulfametoksazol (kekuatan ganda, givenoncedaily selama 5 hari
setiap minggu) telah terbukti dengan baik ditoleransi dan mengurangi timbulnya
peritonitis.
Pedoman Infeksi Bedah untuk pengobatan antibiotik untuk peritonitis
Agen tunggal:

20
- Ampisilin sulbaktam
- Sefalosporin (menurut antibiogram)
- Imipenem-cilastatin
- Meropenem
- Piperasilin-Tazobactam
- Asam tikarsilin-klavulanat
Rejimen kombinasi:
- Aminoglikosida ditambah antianaerobe
- Aztreonam ditambah klindamisin
- Cefuroxime ditambah metronidazol
- Ciprofloxacin ditambah metronidazol
- Sefalosporin generasi II dan III ditambah anti bakteri anaerob.

KOMPLIKASI
Dua komplikasi pasca operasi paling umum adalah eviserasi luka dan
pembentukan abses. Komplikasi pembedahan dengan laparotomi eksplorasi
memang tidak sedikit. Secara bedah dapat terjadi trauma di peritoneum, fistula
enterokutan, kematian dimeja operasi, atau peritonitis berulang jika pembersihan
kuman tidak adekuat. Namun secara medis, penderita yang mengalami
pembedahan laparotomi eksplorasi membutuhkan narkose dan perawatan intensif
yang lebih lama. Perawatan inilah yang sering menimbulkan komplikasi, bias
berupa pneumonia akibat pemasangan ventilator, sepsis, hingga kegagalan
reanimasi dari status narkose penderita pascaoperasi.

PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis local dan ringan adalah baik, sedangkan pada
peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organism virulen.

21
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, didapatkan kesimpulan


bahwa appendicitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya lumen
oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi
lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa
appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris
trichiura, dan Enterobius vermikularis.
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.Bila infeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis
umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oligouria.

3.2 Saran

Dengan memahami tujuan belajar yang didapat, penulis mengharapkan


pembaca dapat termotivasi untuk mendalami materi yang kami bahas, sehingga
nantinya saat di rotasi klinik atau dimanapun dalam keadaan yang
memungkinkan para mahasiswa dapat menerapkannya. Mengingat masih
banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi kelompok,
penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik
dan saran dari dosen dan rekan- rekan angkatan 2013.

22

Anda mungkin juga menyukai