Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Asma adalah penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat penyempitan saluran napas
yang sifatnya reversibel (penyempitan dapat hilang dengan sendirinya) yang ditandai oleh
episode obstruksi pernapasan di antara dua interval asimtomatik. Jumlah penderita asma rawat
jalan dan rawat tinggal menduduki tingkat kedua setelah penyakit infeksi TB paru.

Bronkitis Kronis dan Emfisema Paru merupakan kelainan paru yang tergabung dalam
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Penyakit ini berlangsung seumur hidup dan makin
memburuk secara lambat laun dari tahun ke tahun. PPOK dengan kanker paru merupakan salah
satu tragedi medis besar dari abad ke-20 dan 21. Pada sebagian besar dapat dicegah, merupakan
penyebab utama keempat kematian di Amerika Serikat. Negara berkembang tidak terhindar;
tempat-tempat seperti Cina memiliki tingkat merokok pada manusia setinggi 60%.

MANFAAT MODUL
Adapun manfaat modul ini ialah diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan tentang
definisi, etiologi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding,
komplikasi serta penatalaksanaan dari Asma dan PPOK.
Dengan demikian, setelah kita mampelajari tentang penyakit-penyakit ini, diharapkan kita
mampu sebagai seorang dokter untuk bisa mendiagnosis keluhan-keluhan pasien sesuai dengan
skenario ini.
BAB II

ISI

Skenario

Sesak Napas Berbunyi

Amir (23 tahun) dengan tergopoh-gopoh malam itu memasuki ruang UGD sebuah RS
membopong ayahnya. Pak Said (67 tahun) yang tampak sesak napas dan gelisah. Segera perawat
membantu Amir untuk menempatkan Pak Said di tempat tidur ruang UGD dan memasang selang
oksigen. Pak Said tampak berusaha mengambil napas sambil kedua tangannya memegang
pinggiran tempat tidur. Amir menjelaskan pada dokter bahwa ayahnya itu punya sakit batuk dan
sesak napas sejak usia 60 tahun. Sejak itu sering dirawat dirumah sakit jika sesak napasnya
memberat. Saat ini sesak napasnya memberat sejak 3 hari yang lalu. Pak said merokok sejak usia
20 tahun dan sudah berhenti 8 tahun yang lalu. Pekerjaan Pak Said dulu adalah seorang pekerja
tambang batu bara liar. Pada pemeriksaan dokter mendapati Pak Said yang tempak kurus,
frekuensi napas Pak Said 35x / menit, frekuensi nadi 100x / menit dan tendi darah 140/80
mmHg. Didapatkan adanya retraksi interkostal dan pelebaran sela iga serta suara napas
wheezing. Kemudian dilakukan pemeriksaan foto ronsent thorax dan didapatkan gambaran
emphysematous lung. Selanjutnya dokter memberi penanganan dengan memberi obat-obatan
lewat selang infus dan lain-lainnya.

Beberapa jam menjaga ayahnya di ruangan UGD malam itu. Amir tiba-tiba merasa sesak
napas. Segera Amir memimnta bantuan ke petugas medis di ruangan UGD, kepada dokter Amir
menjelaskan dengan kalimat terputus-putus kalau dirinya sering timbul sesak napas tiba-tiba
sejak usia 5 tahun. Sesak napasnya timbul terutama bila malam hari. Kecapekan atau terhisap
debu rumah. Amir menjelaskan kalau almarhumah ibunya adalah penderita asma. Pada
pemeriksaan dokter mendapati frekuensi napas Amir 30x/menit dan didapatkan suara napas
wheezing. Sedangkan pada hasil foto ronsen didapatkan corakan bronkovaskuler yang
meningkat.
Step 1 Identifikasi Istilah
1. Wheezing : suara pernafasan seperti bersiul dengan frekuensi tinggi di akhir
ekspirasi akibat udara melewati jalan yang sempit
2. Emphysematous lung : Ductus alveoli yang mengalami penebalan dan
pelebaran,kerusakan pada septum alveoli
3. Bronkovaskular : Peningkatan vaskularisasi dari bronkusnya
4. Retraksi Intercostal : Tertariknya interkostal saat inspirasi untuk mempertahankan
udara di paru

Step 2 Identifikasi Masalah

1. Hubungan usia, merokok, riwayat pekerjaan dan keluhan yang dirasakan?


2. Mengapa Pak Said terlihat berusaha mengambil napas?
3. Apa yang menyebabkan Pak Said berulang-ulang dirawat di RS?
4. Kenapa kecapean, terkena debu, dan malam hari dapat menyebabkan sesak napas pada
Amir?
5. Hubungan keluhan Amir dengan ibunya yang menderita Asma?
6. Apakah penyebab asma Pak Said dan Amir sama?

Step 3 Analisis Masalah

1. Faktor usia dapat menyebabkan defisiensi alfa 1 antitrypsin Gas polutan (rokok, dll) dapat
menginduksi radikal bebas sehingga dapat membuat percabangan bronkus menjadi mudah
terinfeksi
Didalam rokok terdapat kandungan nikotin, nikotin merubah epitel kuboid bersilia menjadi
epitel pipih, dan merangsang hipereksresi mukus. Nantinya gas polutan yang masuk dapat
menyebabkan inflamasi kronik, n terjadi penyumbatan akibat mukus di epitel pipih tersebut.
Dan akhirnya dapat menyebabkan obstruksi bronkiolus.

2. Terjadi gangguan di ventilasi. Didalam paru terjadi peningkatan CO2 menyebabkan asidosis
lalu terdeteksi oleh kemoreseptor, menyebabkan hiperventilasi.
3. Akibat perbaikan yang irreversibel, daya tahan tubuh yang menurun, perubahan struktur
anatomis (emfisema), dan kerusakan pada alveolar (kerusakan pada elastin)
4. Faktor-faktor pencetus terjadinya asma :
- bahan-bahan dalam rumah : debu, tungau
- bahan-bahan diluar ruangan ; serbuk sari bunga
- makanan ; bahan pengawet, penyedap makanan, dll.
- obat-obatan tertentu
- iritan ; bau-bauan yang menyengat
- ekspresi emosi yang berlebihan
- asap rokok/ polusi udara
- infeksi saluran pernafasan
- melakukan aktivitas tertentu
- perubahan cuaca

5. Faktor pejamu sangat berperan di Asma, seorang ibu yang memiliki asma dapat menurunkan
gennya yang alergi terhadap gas polutan tertentu (Riwayat atopi)
6. Berbeda. Pada Pak Said faktor pencetusnya adalah Asap rokok dan debu/gas dalam tambang
batubara yang dia hirup, sedangkan pada Amir memang telah memiliki gen turunan yang
sensitif terhadap alergen tertentu. Ataupum bisa dikarenakan kelelahan, dan perubahan suhu
yang tiba-tiba.
Step 4 Strukturisasi Konsep

Step 5 Learning Objective

Mahasiswa mampu menjelaskan penyakit Asma dan COPD/PPOK

a. Definisi
b. Etiologi
c. Patogenesis
d. Manifestasi Klinis
e. Diagnosis
f. Penatalaksanaan

Step 6 Belajar Mandiri

Dalam tahap belajar mandiri ini, setiap individu kelompok melakukan kegiatan belajar baik
mandiri maupun kelompok dengan mempelajari semua hal yang berkaitan dengan learning
objectives dari berbagai sumber referensi yang bisa didapat.

Step 7 Learning Objective

LO.1 ASMA

A. DEFINISI
Menurut ‘United states National Tuberculosis Association” 1967, Asma: merupakan
penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap
berbagai macam rangsangan degan manifestasi berup kesukaran bernafas yang disebabkan oleh
penyemitan yang menyeluruh dari saluran nafas.
Penyempitan saluan ini bersifat dinamis, dan derajat penyempitan dapat berubah, baik
secara spontn maupun karena pemberian obat, dan kelainan dasarnya berupa kelainan
imunologis. Namun untuk mencapai batasan yang sesuai dengan para hli dibidang klinik,
fisiologi, imunologi dan patologi pada bulan September 1991 dibuat suatu kesepakatan baru
mengenai batasan asma,yakni; asma bronchial adalah suatu penyakit paru dengan tanda-tanda
khas berupa :
1. Obstruksi saluran pernfasan yang dapat pulih kembali ( namun tidak pulih kembali secara
sempurna pada beberapa penderita ) baik secara spontan atau dengan pengobatan
2. Keradangan saluran pernafasan
3. Peningkatan kepekaan dan/ atau tanggapan yang berlebihan dari saluran pernafasan
terhadap berbagai rangsangan.
Asma adalah gangguan inflamasi kronik yang melibatkan berbagai sel inflamasi dengan
akibat penyempitan saluran nafas yang bervariasi, ditandai dengan wheezing, sesak napas, rasa
berat di dada, batuk terutama pada malam atau pagi hari. Penyempitan dan gejala dapat bersifat
reversible baik secara spontan.

B. ETIOLOGI
1. Rangsangan alergi. Pada penderita asma alergi timbul dapat akibat menghirup allergen atau
setelah mengkonsumsi bahan alergik tersebut.
2. Rangsangan bahan toksik dan iritan. Kelompok ini meliputi asap rokok, polutan,
pembuangan pabrik, gasoline dan uap cat.
3. Infeksi. Pada umunya infeksi virus, jamur dan bakteri dapat memicu timbulnya serangan
asma namun dapat pula bertindak sebagai allergen. Sinusitis bacterial dan infeksi virus
(common cold) merupakan factor terjadinya serangan asma.
4. Obat. Banyak obat yang dikonsumsi menimbulkan serangan asma. Golongan terbanyak
adalah penisilin dan golongan vaksen. Penderita yang sensitive terhadap aspirin umumnya
20 menit setelah konsumsi timbul serangan.
5. Penyebab lainnya. Factor fisik dan psikologis. Misalnya kelelahan, perubahan cuaca dan
kesedihan.

Faktor Resiko
Resiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara factor host dengan factor
lingkungan. Interaksi factor denetik /penjamu dengan lingkungan dipikirkan melalui
kemungkinan :
 Pajanan lingkungan hanya meningkatkan resiko asma pada individu genetic sama
 Lingkungan maupun genetic masing-masing meningkatkan resiko penyakit asma.

 Faktor pejamu
Asma adalah penyakit yang diturunkan. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan
dengan ukuran subjectif (gejala) dan objectif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau
keduanya. Banyak gen yang terlibat dalam pathogenesis asma antara lain CD28, IGPB5, CCR4,
CD22, IL9R, reseptor beta agonis : dan gen yang telibat dalam menimbulkan asma dan atopi
yaitu IRF2,IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2, GRL1, CD14, HLAD, TMOD, dan sebagainya.

Genetik mengontrol respons imun


Gen yang berlokasi pada kompleks HLA mempunyai cirri dalam memberikan respons
imun terhadap aeroallergen. Kompleks gen HLA berlokasi pada kromosom 6p dan terdiri atas
gen kelas I,II dan III dan lainnya seperti gen TNF-α.

Genetic mengontrol sitokin proinflamasi


Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalamm berkembangnya atopi
dan asma. Fenotip alergik dikaitkan dengan kromosom 11, kromosom 12 mengandung gen yang
mengkode IFN-, niast cell growth factor, insulin-like growth factor dan nictric oxide synthase.
Studi berkesinambungan menunjukkan ada ikatan postif antara petanda-petanda pada lokus 12q,
asma dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.
Interleukin-4 sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam menimbulkan
diferensiasi sel Th2 maupun merangsang produksi IgE pleh sel B. Gen IL-4 dan gen-gen lain
yang mengatur regulasi ekspresi IL-4 adalah gen yang berpredisposisi untuk terjadi asma dan
atopi.

 Faktor lingkungan
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah penyebab utama
asma, dengan perngertian factor lingkungan tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan napas
dan memperthankan kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau
menyebabkan menetapnya gejala.

 Faktor pencetus
Penyempitan saluran nafas pad asma bronchial, bukanlah penyempitan yang diakibatkan
oleh penyakit infeksi yang menahun pada saluran nafas (seperti bronchitis menahun) ataupun
penyempitan sebagai akibat kerusakan dinding saluran nafas (missal pada bronkiektasis ataupun
emfisema paru), namun karena reaksi inflamasi yang didahului oleh factor pencetus.
C. PATOGENESA
Pada saat ini konsep baru yang banyak diperhatikan untuk menerangkan pengertian dasar
timbulnya asma bronchial dan manifestasi klinisnya adalah konsep inflamasi. Inflamasi sluran
nafas, baik yang dirangsang oleh mekanisme imunologi maupun non-imunologi merupakan
proses penting untuk menerangkan perkembangan pengertian asma pada umumnya.

Hipereaktivitas bronkus dan inflamasi


Gambaran histopatologi sel saluran nafas penderiita asma, merupakan factor penting
pendukung konsep inflamasi sebagai dasar pathogenesis asma bronchial. Pada asma berat hasil
biopsy saluran nafas akan tampak pengelupasan epitel, mucous plug di sluran nafas, penebalan
membrane basil infiltrasi. Sel-sel raang (terutama eosinofil) pada dinding saluran nafas dan
hipertrofi otot-otot polos. Pada asma ringan pun menunjukkan kerusakan eitel, penebalan
membrane basalis, degranulasi sel mast, menempelnya eosinofil, neutrofl monosit dan platelet
pada endotel pembuluh darah saluran nafas serta didapatkan infiltrasi eosinofil pada pada lamina
propria.
Hipereaktivitas bronkus merupakan gambaran klinis yang pnting pada asma. Bila
dibndingkan dengan orang normal, penderita asma menunjukkan sesitivitas yang sangat ekstrem
terhadap berbagai rangsangan saluran nafas baik secara spesifik maupun non-spesifik. Derajat
hipereaktivitas saluran nafas tersebut mempunyai korelasi positif dengan berat ringannya gejala
klinis dan obat yang diperlukan untuk pengobatan.
Dari beberapa penelitian telah diketahui bahwa hipereaktivitas brnku pada manusia dan
hewan percobaan dapat terjadi Karen saluran nafas terpapar oleh antigen, infeksi virus atau
inhalasi gas seperti ozon. Namun bagaimana tepatnya tiap-tiap agen tersebut menginduksi
terjadinya hipereaktivitas belum diketahui sevara pasti. Banyak pakar mengatakan bahwa
inflamasi saluran nafas oleh rangsangan imunologi maupun non-imunologi mendasari
perkembangan hipereaktivitas bronkus.
Kebanyakan penderita asma yang sensitive terhadap antigen spesifik menunjukkan
respon bronkokonstriksi ganda setelah inhalasi antigen. Respon bronkokonstriksi seger
(immediate) mencapai puncaknya dalam waktu 30 menit dan menghilanng dalam wwaktu 1-2
jam. Respon bronkokonstriksi lambat (late) mencapai puncaknya secara lambat dalam 4-6 jam
dan menghilang dalam 12-24 jam. Pada manusia dan hewan percobaan, selama respon
bronkokonstriksi lambat, timbul hipereaktivitaas bronkus dan peningkatan tersebut hilang dalam
beberapa minggu.
Dua tipe bronkokonstriksi tersebut mempunyai karakteristik masing-masing. Respon
segera terjadi sebelum iflamasi saluran nafas, tidak sensitive terhadap obat anti inflamasi
kortikosteroid dan tidak berhubungan dengn peningkatan hipereaktivitas bronkus. Sebaliknya
fase lambat terbukti berhubungan dengan inflamasi saluran nafas, relative resisten terhadap
bronkodilator, namun dapat dihilangkan dengan kortikosteroid dan berkaitan dengan terjadinya
hipereaktivitas bronkus.
Inflamasi oleh saluran nafa oleh sebab-sebab nonimunologi juga dihubungkan dengan
timbulnya hipereaktivitas bronkus. Sebagai contoh, inhalasi ozon dan infeksi virus merusak
epitel bronkus dan menyebabkan respon inflamasi di saluran nafas.
Akibat paparan alergen, virus atau noxious gas akan terjadi pelepasan mediator dari sel-
sel saluran nafas seperti sel mast, sel epitel dan sel saraf. Mediator-mediator seperti histamine
dapat menimbulkan bronkospasme dengan merangsang kontraksi otot polos saluran nafas atau
peningkatan pelepasan neurotransmiter dari saraf kolinergik terminal yang menginervasi otot.
Mediator lain seperti PAF (platelet activating factor) mungkin tidak menyebabkn
bronkospasme langsung, namun bersifat menarik sel radang yang nantinya akan melepaskan
mediator yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler, produksi mucus dan timbulnya
hipereaktivitas bronkus.

Sel-sel yang terlihat pada pathogenesis asma bronchial


Pada beberapa penderita asma, terdapat antigen spesifik yang dapat menimbulkan
inflamasi dan hipreaktivits bronkus, melalui mekanisme IgE independen. Reaksi radang yang
diperankan oleh IgE adalah hasil aktivasi sel mast, basofil, dan platelet. Beberapa mediator yang
dilepaskan oleh sel mast dan makrofag bersifat menarik sel radang lain seperti eosinofil dan sel-
sel radang lain tersebut juga melepaskan mediator baru.

Mediator sel mast.


Mediator Sasaran Gejala
Histamine Otot polos Kontraksi
Kelenjar Sekresi
Pembuluh darah Perebesan
Saraf kolinergik Pelepasan neurotransmiter

Prostaglandin D2 Otot polos Kontraksi


Kelenjar sekresi
Lekotrien B4 Sel darah putih Kemotaksis
Lekotrien C4, D4 Otot polos Kontraksi
Kelenjar Sekresi
Pembuluh darah perembesan
Adenosin Otot polos Kontraksi
NCF dan ECF Sel darah putih Kemotaksis
Chymase, trypase Otot polos Mudah kontraksi
Kelenjar sekresi

Namun sampai sekarang hrus diakui bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan, tetapi
hanya dapat dikendalikan. Pada penderita asma telah terjadi perubahan periodic yang dapat
menimbulkan kontraksi otot polos dengan intensitas berubah-ubah disertai hipersekresi mucus.
Keadaan ini disebabkan oleh perubahan factor imunologis, sedangkan pada penderita lain
mungkin factor keturunan yang lebih berperan, malahan pada sebagian penderita lain tidak jelas
factor apa yang menjadi penyebab. Tetpi kalau dilihat dari factor keturunan, maka untuk
menegakkan diagnosis asma bronchial yang penting diketahui adalah riwayat atopi di dalam
keluarga penderita.

Reseptor adrenergic
Sungguh pun persyarafan simpatik untuk jaringan paru sangat sedikit (hapir tidak ada)
kecuali persyarafan untuk jaringan vaskuler, namun bahan kimiawi circulating catecholamine
yang dihasilkan mempunyai peranan amat besar dalam jaringan paru. Secara farmakologis bahan
kimia ini mempunyai dua reseptor dasar yakni reseptor beta adrenergic dan reseptor alfa
adrenegik. Alfa adrenergic mempunya reseptor yang terletak di dalam otot polos dan kelenjar
eksokrin. Sedangkan beta adrenergic secara farmakologik dapat dibedakan antara beta-1 yang
berada di otot jantung dan beta-2 yang berada di otot polos di seluruh tubuh, termasuk otot polos
yang berada di jaringan bronkus dan pembuluh darah.
Secara umum rangsangan pada alfa reseptor berakhir dengan timbulnya proses
pembangkitan,sedangkan rangsangan pada reseptor beta berakhir dengan dua bentuk reaksi,yaitu
penghambatan (missal terjadi relaksasi dari bronkus) dan dapat juga berakhir dengan proses
pembangkitan (missal terjadi peningkatan denyut dan kontraksi jantung) dan di dalam tubuh
manusia terdapat jaringan tertentu yang memiliki kedua reseptor di atas. Sedangkan akhir suatu
kejadian atau proses dalam jaringan paru tergantung dari peran katekolamin dan pebandingan
relative dari dua reseptor tersebut. Dalam tubuh manusia terdapat tiga bentuk katekolamin yaitu:
dopamine, Nor-Epinefrin dan Epinefrin. Dopamine merupakan neurotransmitter saraf
ekstrapiramidal. Norepinefrin adalah neurotransmiter pos-ganglion dari serabur saraf simpatik
yang merupakan precursor metabolic dari epinefrin.
Dalam tubuh orang normal,tegangan dinding saluran napas merupakan keseimbangan
antara kekuatan bronkorelaksasi yang dipengaruhi oleh rangsangan pada reseptor beta adrenergic
dn bronkokontriksi yang dipengaruhi rangsangan vagal. Rangsangan pada beta adrenergic akan
mengaktifkan Adenilsiklase,yaitu suatu enzim yang terdapat pada dinding sel otot dan sel
mast,tetapi enzim ini tidak sama dengan enzim yang terdapat pada reseptor beta adrenergic.
Adenilsiklase yang aktif ini merupakan katalisator pada pembentukan siklik adenosine
monofosfat (cyclic 3’,5’-AMP atau CAMP) dari adenosintrifosfat (ATP),CAMP kemudian
merembes masuk ke dalam sel dan di dalam sel ini CAMP mempunyai bermacam-macam fungsi.
Salah satu fungsi CAMP yang sangat penting dalam sel otot polos bronkus adalah mengaktifkan
suatu mekanisme yang mencegah timbulnya kontraksi otot polos atau mekanisme yang
membangkitkan relaksasi otot tersebut. Di dalam sel mast,CAMP merupakan bahan cadangan
yang menghambat pelepasan mediator. Reseptor ini dapat mengatur tinggi rendah aktivitas
adenilsiklase,engan cara mengatur kadar CAMP dan karena itu merupakan gambaran dari fungsi
metabolismedari sel tersebut.
Bahan kimia lain yaitu CGMP mempunyai fungsi biologis sebagai zat yang bekerja
berlawanan dengan CAMP serta mempunyai reseptor pada permukaan sel yang peka pada
rangsangan spesifik rangsangan spesifik dapat mengaktifkan siklinukleotida, 3’,5’ guanosin
monofosfat (CGMP) meningkat akan terjadi bronkokontriksi otot polos saluran napas.

Penghambat Beta-adrenergik (Beta Adrenergik Blockade)


Dapat terjadi bila ada malfungsi atau defisiensi enzim adenilsiklse dalam sel otot polos
saluran napas,kelenjar,pembuluh drah paru dan sel mast. Defisiensi enzim adenilsiklase tersebut
dapat terjadi dapat terjadi karena bawaan sejak lahir dan dapat pula diperoleh karena pengaruh
bahan metabolit lain.keadaan lain yang mungkin timbul adalah kemapuan yang rendah dari
adenilsiklase mengkatalisasi pembentukan CAMP,sedangkan kerja adrenergic cukup baik. Bila
keaaan ini terjadi akan timbul tonus konriksi dari saluran napas yang berlebihan dan berlangsung
lama, seolah-olah terjadi counter balance dalam sel mast,dengan akibat terjadi pelepasan
mediator yang cukup besar. Blockade adrenergic dapat juga terjadi karena pengaruh obat-obatan
yang termasuk dalam kelompok adrenergic blocking agent misal propanlol, yaitu obat penurun
tekanan darah.

Peranan N.Vagus
Bronkostriksi yang terjadi adalah sebagai akibat refleks saraf otonom. Serabut-serabut
aferen berasal dari reseptor yang terletak di permukaan sinus paranasalis dan sinus maksilaris.
Serabut-serabut saraf aferen membawa kembali rangsangan motorik menuju paru melalui
n.vagus dan berakhir pada otot polos bronkus. Daerah ini merupakan pusat refleks untuk
rangsangan yang bersifat iritan,perubahan diameter saluran napas dapat terjadi karena ada
perubahan PaO2 dan PaCO2. Perubahan ini kemungkinan disebabkan oleh emboli paru,serangan
asma atau dapat juga karena serangan langsung oleh bahan-bahan kimia yang bersifat mediator
pada otot polos bronkus. Rangsangan sentral,juga dapat menyebabkan kenaikan tonus motorik
otot polos bronkus dengan akibat bronkostriksi. Engan demikian jelas bahwa bahn kimia yang
bersifat kolinergik yang konsentrasinya dipengaruhi oleh n.Vagus dapat diterima sebagai
penyebab asma.

Pelepasan dan Aktivitas Meditor


Seperti telah diungkapkan di atas bhwa paparan ulang alergen akan mengakibtkan
pelepasan bahan mediator kimia baik oleh sel mast yang berada pada mukosa saluran napas atau
oleh sel basofil yang berada dalam sirkulasi. Dalam hal demikian komplemen tidak
terlibat,demikian pula tidak terjadi peristiwa sitolisis. Pelepasan miator dari dalam sel mast sel
basofil dipengaruhi oleh CAMP dan CGMP dalam sel.
Kenaikan kadar CAMP akan menghambat pelepasan bahan meditor dari dalam sel mast
dan basofil serta mencegah terjadinya bonkokontriksi dan memberi kemudahan kepda otot polos
bronkus untuk relaksasi. Sedangkan kenaikan CGMP juga dapat terjadi bila reseptor kolinergik
terangsang oleh asetilkolin. Kenaikan kadar CGMP ini mendorong sel mast dan sel basofil
mengeluarkan mediator. Oleh karena itu,tinggi rendahnya sel mast dan basofil yang tersensitisasi
sangat tergantung dari kepekaan otot polos saluran napas. Selain itu bahan-bahan yang
menstabilkan dinding sel mast dan mengubah kesimbangan CAMP dan CGMP, dapat pula
menghambat pelepasan mediator. Pengertian ini secara imunologi dapat diterima sebagai
pengobatan asma yang rasional.

Mediator kimia yang banyak telibat dalam peristiwa serangan asma adalah:
1. Histamin
Histamine merupakan amin vasoaktif yang tersebar luas dalam jaringan tubuh,terutama di
jaringan paru. Histamine ini terampung dalam bentuk granula did lam jaringan sel mast,terutama
pada bagian paling depan dari endotel kapiler yang terdapat di submukosa bronkus. Histamine
juga dijumpai sebagai granula dalam sel basofil dan sel netrofil,tetapi juga paling penting justru
mukosa saluran napas dan daerah perivskuler,karena kaya sel mast,sehingga daerah ini
mempunyai potensi untuk timbul alergi bila terjadi paparan ulang terhadap alergen yang spesifik.
Pelepasan histamine oleh sel mast dan basofil menyebabkan kenaikan permeailitas pembuluh
darah dan vasodilatasi,yang akhirnya akan menyebabkan sembab dan infiltrasi sel-sel radang.
Histamine menyebabkan kontraksi otot polos bronkus dengan akibat terjadi bronkospasme serta
sekresi kelenjar bronkus bertambah. Pada orang normal pengaruh histamine ini kecil sekali
sehingga dapat diabaikan.

2. Slow Recting Substance of Anaphylaxis (SRS-A)


SRS-A adalah bahan kimia yang bersifat asam,termostabil (pada keadaan basa) dan
meupakan mediator yang terbesar. SRS-A mulai tampak dalam darah 30 enit setelah terjadi
ikatan antara IGE dengan alergen ulang(rangsangan ulang). Segera setelah terjadi reaksi akibat
rangsangan ulang,dimulai metilasi pada sel membrane yang terdiri dari fosfolopid sel mast atau
basofil maupun sel imunokompeten lain. Fosfolipid yang mengalami metilasi akan menarik
enzim fosfolipase ke tempat terebut dan selanjutnya terjadilah proses metabolisme. Scara
farmakologis SRS-A memberikan pengaruh bronkostriksi lebih lama,300-400 kali lebih kuat
dibandingkan dengan histamine. Kerjanya juga tidak dipengaruhi oleh histamine,walaupun
secara in vitro peristiwa ini belum dapat dibuktikan. Pengaruh bronkostriksi histamine,timbul
lebih cepat.

3. Eosinophyl Chemotatic Factor of Anaphylaxis (ECF-A)


ECF-A terdapat di dalam jaringn paru yang baru mengalami paparan ulang dengan
alergen serta mempunyai aktivitas menarik eosinofil ke tempat terjadinya peristiwa alergi
tersebut. Demikian juga netrofil Chemotataic Factor of Anaphylaxis (NCF-A) mempunyai
aktivitas menarik netrofil ke tempat alergi terjadi, ECF-A dan NCF-A dapat menyebbkan sel
radang bermigrasi dan mentap ke dalam sel mukosa bronkus. Kedua sel ini mengeluarkan Major
Basic Protein (MBP) dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) yang dapat merusak membrane
basalis sluran pernapasan dan pengelupasan epitel mukosa bronkus dengan akibat serangan asma
menjadi lebih lama dan berat.

4. Serotonin
Zat ini menyebabkan kenaikan permeabilitas kapiler dan konstriksi otot plos,walaupun
kadar dalam jaringan paru sedikit. Sedangkan pemberian serotonin perinhalasi tidak
menunjukkan reaksi nyata.

5. Prostaglandin (PG)
PG merupakan metabolit asam arakidonat yang juga dilepaskan oleh jaringan
paru,sebagai akibat dari berbagai macam angsangan termasuk paparan ulang alergen yang
spesifik. PGE bronkodilator sedangkan PGF2a dan tromboksan bersifat bronkokontriksor. Kedua
PG diatas perlu dijaga keseimbangan konsentrasinya dalam serum,karena keduanya mempunyai
efek yang berlawanan dalam mempengaruhi ketegangan otot polos bronkus. Interaksi komlek
dari semua mediator ini dapat dapat timbul dalam suatu peristiwa,misalnya kontraksi otot polos
yang disebabkan oleh histamine akan diperkuat oleh SRS-A atau oleh PGF2a. sebaliknya kerja
histamin akan diperlunak oleh PGE sehingga pelepasan mediator berikutnya tidak terjadi.
6. Platelet Activating Factor (PAF)
PAF merupakan bahan kimia yang dikeluarkan oleh makrofag yang pada permukaannya
telah terjadi ikatan antara IGE-Alergen. Dalam 10 tahun terakhir ini PAF dianggap merupakan
mediator yang kuat sebagai penyebab keradangan saluran pernapasan sehingga dapat
menimbulkan berbagai macam gambaran patologi dalam saluran pernapasan yang khas pada
asma, yakni sembab mukosa. Pengelompokan eosinofil dan peningkatan tanggapan yang
berlebihan.

7. Kortikosteroid Adrenal
Zat ini adalah suatu hormone yang dihasilkan anak ginjal dan ikut dalam proses serangan
asma,walaupun begitu jalur yang dipergunakan masih belum jelas. Namun pengaruh hormone ini
dalam proses penyembuhan sangat dominan, karena berfungsi sebagai anti inflamasi,mengurangi
sekresi mukosa,mempertahankan stabilitas lisosom,menghmbat pembentukan antibody. Selain
itu,hormone anak ginjal ini diduga dapat menghambat kerja histamine dalam jaringan serta
bersifat potensiator terhadap keja bronkodilator.
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan
terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag , neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan
dan berbagai factor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada
penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten
maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma
alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang di cetuskan aspirin.

 Hubungan Pengobatan Asma Dengan Kortikosteroid


Di dalam sitoplasma sel mast,CAMP mengalami perubahan menjadi 5’-AMP oleh
fosfodiesterase. Penurunan kadar CAMP ini dapat dicegah dengan pemberian derivate santin
yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap fosfodieratase. Fungsi CAMP ini dapat diperkuat oleh
obat beta-adrenergik,sedangkan fungsi ortikosteroid ialah meningkatkan kerja adrenergik.
Peningkatan kerja adrenergik,mediator-mediator yang dapat mengakibatkan perubahan patologi
pada jaringan saluran napas,baik pembentukan atau pelepasan dapat ditekan serta dihambat
peredarannya.
Obat-obat yang tergolong dalam beta blocking agent,seperti propanolol,akan
memperberat asma. Dalam tubuh,bahan kimia yang mempunyai sifat seperti betabloker ialah
CGMP yang kerjanya dipengaruhi oleh n.vagus. jadi secara rasional pemakaian obat asma
(termasuk kortikosteroid baik aeroso,oral dan injeksi) seyogyanya ditujukan untuk menghambat
pembentukan dan pelepasan mediator oleh sel mast serta supaya terjadi relaksasi otot polos.

 Perubahan Patologi Pada Asma


Perubahan yang terjadi pada sediaan secara makroskopik dan mikroskopik dari penderita
status asmatikus yang telah diotopsi,mudah diamati. Perubahan tersebut berupa sembab mukosa
dan submukosa,penebalan membrane basalis,infiltrasi sel radang (terutama eosinofil dan
netrofil),hiperplasi otot polos,mucus plug yang terdapat di dalam lumen bronkus dan kontraksi
otot polos bronkus. Pada sediaan mikroskopik paru tampak kepucatan,menggelembung (over
distended). Selain itu dijumpai pula daerah ateletaksis,yaitu bagian paru yang tidak terisi udara
atau kolaps, sehingga daerah tadi ditandai dengan jaringan paru yang mengeras,kaku,dan disertai
dahak kental (mucus plug). Mucus plug mengandung sek PMN,sel eosinofil,kristal “Charcot
Leyden” ,dan campuran sel eosinofil bersama sel epitel yang membentuk spiral
dariChurschmann. Pada dahak penderita asma,sering dijumpai sel epitel bersilia memadat dan
membentuk massa sferis yang disebut Badan Creola (Creola Bodies) sebagai akibat adanya
deskuamasi.
D. MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS
(GINA, 2016)
1. Awal diagnosis
Membuat diagnosis asma, 10 seperti yang ditunjukkan dalam Kotak 1-1 (p16) didasarkan
pada identifikasi kedua pola karakteristik gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas
(dyspnea), sesak dada atau batuk, dan variabel Keterbatasan aliran udara ekspirasi. Pola gejala
penting, sebagai gejala pernapasan mungkin karena akut atau kondisi kronis selain asma. Jika
memungkinkan, bukti yang mendukung diagnosis asma didokumentasikan ketika pasien pertama
kali datang, sebagai fitur yang merupakan ciri khas dari asma dapat membaik Secara spontan
atau dengan pengobatan; sebagai hasilnya, sering lebih sulit untuk mengkonfirmasi diagnosis
asma setelah pasien telah dimulai pada pengobatan terkontrol. Pola gejala pernapasan yang
merupakan ciri khas dari asma

Tanda-tanda berikut merupakan khas asma dan, jika ada, meningkatkan kemungkinan bahwa
pasien memiliki asma:
 Lebih dari satu gejala (mengi, sesak napas, batuk, sesak dada), terutama pada orang dewasa
 Gejala sering lebih buruk pada malam hari atau di pagi hari
 Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitas
 Gejala yang dipicu oleh infeksi virus (pilek), olahraga, paparan alergen, perubahan cuaca,
tertawa, atau iritasi seperti asap knalpot mobil, asap atau bau yang kuat.

Fitur berikut mengurangi kemungkinan bahwa gejala pernapasan yang disebabkan asma:
 Terisolasi batuk tanpa gejala pernapasan lainnya (lihat hal.21)
 Produksi kronis dahak
 Sesak napas berhubungan dengan pusing, pusing atau kesemutan perifer (paresthesia)
 Sakit dada
 Exercies-induced dyspnea dengan suara napas bising.

2. Riwayat Atopi dan Riwayat Keluarga


Dimulainya gejala pernafasan pada anak, riwayat rhinitis alergi atau eksim, atau riwayat
keluarga asma atau alergi, meningkatkan kemungkinan bahwa gejala pernapasan adalah karena
asma. Namun, gejala ini tidak spesifik untuk asma dan tidak terlihat di semua fenotipe asma.
Pasien dengan rhinitis alergi atau dermatitis atopik harus bertanya secara khusus tentang gejala-
gejala pernapasan

3. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru


Pemeriksaan fisik pada orang dengan asma seringkali normal. Yang paling sering
kelainan adalah mengi ekspirasi (Ronki) pada auskultasi, tapi ini mungkin tidak ada atau hanya
mendengar dari ekspirasi paksa. Mengi juga dapat tidak terdengan selama eksaserbasi asma
berat, karena sangat berkurang aliran udara (disebut 'silent chest'), tetapi pada saat seperti itu,
tanda-tanda fisik lain dari kegagalan pernafasan biasanya timbul. Mengi juga dapat didengar
pada disfungsi saluran napas atas, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), infeksi saluran
pernapasan, tracheomalacia, atau obstruksi akibat benda asing .

Uji fungsi/faal paru harus dilakukan oleh operator yang terlatih dan merawat dan
mengkalibrasi peralatan secara teratur. Volume paksa ekspirasi dalam 1 detik (FEV1) dari
spirometri lebih dapat diandalkan dibandingkan arus puncak ekspirasi (PEF). Jika PEF
digunakan, meter yang sama harus digunakan setiap waktu, karena pengukuran mungkin berbeda
dari meter satu ke meter lain sampai 20% perbedaannya.

Klasifkasi asma
Ditinjau dari segi imunologi, yaitu :
A. Asma ekstrinsik.
A.1Asma ekstrinsik atopic, dengan sifat sebagai berikut :
 Penyebabnya adalah rangsangan allergen eksternal spesifik dan dapat
diperlihkan dengan reaksi kulit tipe 1.
 Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehidupan; 85 kasus
timbul sebelum usia 30 tahun
 Sebagian besar asma tipe ini mengalami perubahan degan tiba-tiba pada waktu
puber, dengan serangan asma yang berbeda-beda
 Prognosis tergantung pada serangan pertaa dan berat ringannya gejala yang
timbul. Jika serangan pertama pada usia muda disertai gejala yang lebih berat,
maka prognosis menjadi jelek
 Perubahan alamiah terjadi karena ada kelainan dari kekebalan tubuh pada IgE,
yang timbul erutma paa awal kehidupan dan cenderung berkurang disore hari
 Asma bentuk ini memberikan tes kulit yang positif
 Dala darah menunjukkan kenaikan kadar IgE spesifik
 Ada riwayat keluarga yang menderita asma
 Terhadap pengobatan memberikan perbaikan yang cepat.

A.2Asma ekstrinsik non-Atopik, dengan sifat sebagai berikut :


 Serangan asma timbul karena berhubungan dengan bermacam-macam allergen
yang spesifik, seringkali terjadi pada waktu melakukan pekerjaan atau timbul
setelah mengalami paparan dengan allergen yang berlebihan
 Tes kulit memberikan reaksi alergi tipe segera, tipe lambat, dan ganda
terhadap alergi yang tersensitasi dapat menjadi positif
 Dalam serum didapatkan IgE dan IgG yang spesifik
 Timbulnya gejala, cenderung pada saat akgir masa kehidupan atau dikemudian
hari. Hal ii dapat diterangkan karena sekali sensitasi terjadi, maka respon asma
dapat dicetuskan oleh berbagai mcam rangsangan non imunlogik seperi emosi,
infeksi, kelelahan an factor sikardian dari siklus biologis.

B. Asma Kriptogenik, yang dibagi menjadi :


B.1Asma intrinsic
B.2Asma idiopatik
 Asma jenis ini, allergen pencetus sukar ditentukan
 Tidak ada aleren ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kullit member hasil
negative
 Merupakan kelompok yang heterogen, respon untuk terjadi asma dicetuskan
oleh penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-bed
 Sering ditemukan pada penderita dewas, dimullai pada umur diatas 30 tahun
dan disebut jugan late onset asthma.
 Serangan sesak pada asa tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali
menimbulkan kematian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid
 Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik namun tidak
dapat dibutikan keterlibatan IgE
 Kadar IgE dalam serum normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih
tinggi disbandingkan dengan asma ekstrinsik
 Selain itu tes serologi data eunjukkan adanya fakor rematoid, missal sel SLE
 Perbedaan lain dengan ekstrinsik asma ialah riwayat keluarga aleri yang jauh
lebih sedikit, sekitr 12 sampai 48 %.
 Polip hidung dan sensitivitas terhadap aspirin lebih sering dijumpai pada asma
jenis ini.

E. PENATALAKSANAAN
Katagori pengobatan asma :
1. Controller medication
2. Reliever(rescue) medication
3. Terapi tambahan untuk pasien dengan asma berat.

a. Initial Controller Treatment


Untuk hasil terbaik, biasa pengobatan pengontrol setiap hari harus dimulai sesegera mungkin
setelah diagnosis
asma dibuat, sebagai bukti menunjukkan bahwa:
 Inisiasi dini ICS dosis rendah pada pasien dengan asma mengarah ke peningkatan
yang
lebih besar dalam fungsi paru-paru daripada jika gejala telah hadir selama lebih dari
tahun. Satu studi menunjukkan bahwa setelah waktu ini, ICS lebih tinggi dosis yang
diperlukan, dan fungsi paru-paru lebih rendah adalah achieved.148
 Pasien tidak mengambil ICS yang mengalami eksaserbasi parah memiliki
penurunan jangka panjang yang lebih besar dalam fungsi paru-paru daripada mereka
yang sudah mulai ICS.
 Untuk pasien dengan asma pekerjaan, penghapusan awal dari paparan agen
sensitisasi dan pengobatan dini meningkatkan kemungkinan penyembuhan

Dosis ICS(Inhaled Corticosteroid)


b. Reliever medication
disediakan untuk semua pasien dengan
‘breakthrough symptoms’, termasuk
selama memburuknya asma atau
eksaserbasi. Mereka juga dianjurkan untuk pencegahan jangka pendek
latihan-induced bronkokonstriksi. Mengurangi dan, idealnya, menghilangkan kebutuhan untuk
perawatan pereda adalah baik untuk tujuan penting dalam manajemen asma dan ukuran
keberhasilan pengobatan asma.

c. Penambahan obat pada asma berat


Digunakan pada pasien yang memiliki gejala persisten dan / atau eksaserbasi yang meskipun
pengobatan dioptimalkan dengan dosis tinggi obat pengontrol (Biasanya ICS dosis dan LABA)
dan pengobatan yang dapat mengurangi faktor resiko.
LO 2. PPOK

A. DEFINISI

Penyakit Paru Obstruktif Kronik ( PPOK ), sebuah penyakit yang dapat dicegah dan
penyakit yang dapat diobati ,penyakit ini ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-
menerus yang biasanya progresif dan terkait dengan peningkatan respon inflamasi kronis di
saluran udara dan paru-paru terhadap partikel atau gas. Eksaserbasi dan komorbiditas
berkontribusi pada tingkat keparahan pada pasien. Pengertian PPOK saat ini tidak menggunakan
istilah bronkhitis kronik dan emfisema. Definisi ini tidak menggunakan istilah bronkitis kronis
dan emfisema dan tidak termasuk asma (pembatasan aliran udara reversibel). (Gina,2015)

B. ETIOLOGI

Di seluruh dunia, faktor risiko yang paling sering ditemui untuk COPD adalah
merokok.Polutan di Lingkungan, pekerjaan, dan indoor merupakan faktor resiko utama lainmya
untuk PPOK. Bukan perokok juga dapat menjadi COPD. Salah satunya adalah faktor genetik
yang mempengaruhi seseorang terkena PPOK yaitu adanya defisiensi alfa-1 antitrypsin. risiko
PPOK berhubungan dengan total partikel yang terhirup seseorang selama hidupnya:

 asap tembakau, termasuk rokok, pipa, cerutu, dan jenis lainnya, serta asap tembakau
lingkungan
 polusi udara dalam ruangan dari bahan bakar biomassa yang digunakan untuk memasak dan
pemanas di tempat tinggal yang berventilasi buruk
 debu Kerja dan bahan kimia (uap, iritasi, dan asap) ketika eksposur yang cukup intens dan
berkepanjangan
 polusi udara terbuka juga berkontribusi terhadap total beban paru-paru dari menghirup
partikel, meskipun tampaknya memiliki efek yang relatif kecil dalam menyebabkan PPOK
Selain itu, faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan paru-paru selama kehamilan (berat
badan lahir rendah, infeksi pernapasan, dll) memiliki potensi untuk meningkatkan risiko individu
mengembangkan COPD.
C. PATOGENESIS

Emfisema
Pajanan terhadap substansi toksik seperti asap rokok dan polutan yang terhirup
menginduksi inflamasi yang berlangsung terus menerus disertai akumulasi neutrofil, makrofag,
dan limfosit di paru. Elastase, sitokin, dan oksidab yang dilepaskan menyebabkan jejas epitelial
dan proteolisis dari matriks ekstraselular (MES). Tetapi alveolus menghasilkan antielastase
misalnya anti tripsin alfa 1 yang menghambat kerja enzim elastase. Karena semakin lama
neutrofil, makrofag, dan limfosit semakin menumpuk di tempat tersebut, maka akan terjadi
ketidakseimbangan antara antiprotease dan protease dimana kerja protease lebih tinggi daripada
antiprotease yang akan menyebabkan kerusakan jaringan elastin pada alveolus, dinding alveolus,
dan kapiler kapiler sehingga terjadi peningkatan volume akhir respirasi ,sesak , dan penurunan
perfusi.

Bronkitis kronis

Gambaran khas bronkitis adalah hipersekresi mukus, mulai dari jalan napas besar.
Meskipun penyebab tunggal terpenting adalah merokok, polutan udara yang lain, misalnya sulfur
dioksida, dan nitrogen dioksida, juga dapat berperan. Iritan lingkungan menginduksi hipertrofi
kelenjar mukus di trakea dna bronkus utama, mengakibatkan peningkatan yang nyata jumlah sel
goblet yang mensekresikan mucus yang menyebabkan obstruksi saluran napas dan menimbulkan
wheezing.Selain itu, iritan iritan ini menyebabkan inflamasi disertai infiltrasi limfosit cd8+,
makrofag, dan neutrofil.

(Patologi robin,.....)
D. MANIFESTASI KLINIS

gejala PPOK menurut Gina dapat mencakup:

1. dispneu yang progresif dan memburuk saat aktivitas atau olahraga


2. Batuk kronis yang mungkin intermitten dan biasanya tidak produktif
3. Batuk kronis yang dapat menghasilkan lendir (dahak) yang mungkin jelas, putih, kuning
atau kehijauan.
4. Selain itu dalam beberapa referensi lain adalah dengan munculnya penampilan pink
puffer atau blue bloater
 Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed - lips breathing
 Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer

E. DIAGNOSIS

Diagnosis klinis PPOK harus dipertimbangkan dalam setiap pasien yang memiliki dyspnea,
batuk kronis atau produksi sputum, dan riwayat paparan faktor risiko untuk penyakit ini.

Pikirkan kemungkinan PPOK dan Lakukan pemeriksaan spirometri, apabila ada gejala dibawah
ini pada individu dengan usia diatas 40. Gejala gejala tersebut bukan merupakan hal pasti untuk
diagnosis itu sendiri, tetapi gejala gejala tersebut meningkatkan kemungkinan diagnosis PPOK
itu sendiri.
Dyspnea Progressive

Biasanya memburuk saat olahraga

Persisten

Chronic cough Bisa Intermitten atau tidak productive

Chronic sputum Production Any Pattern of chronic sputum production may


indicate PPOK

Riwayat Paparan Faktor Resiko Merokok

Riwayat Keluarga PPOK

Spirometri diperlukan untuk membuat diagnosis klinis PPOK. kehadiran dari FEV1 / FVC <0.70
menegaskan kehadiran Keterbatasan aliran udara dan dengan demikian PPOK itu sendiri.

Diagnosis Banding
Diagnosis diferensial utama adalah asma. dalam beberapa pasien dengan asma kronis, Sangat
sulit dibedakan dengan PPOK. Diagnosa potensial lainnya biasanya lebih mudah untuk
dibedakan dari PPOK

F.

PENATALAKSANAAN

 Terapi Farmakologi
Terapi Farmakologi digunakan untuk mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan keparahan
dari exarserbasi, dan peningkatan status kesehatan dan toleransi olahraga.
1. Broncodilators
merupakan obat utama untuk manajemen gejala pada copd
 terapi hirup lebih dianjurkan
 pilihan antara beta agonist, anticholinergic, theophylline, atau terapi kombinasi tergantung
pada obat yang tersedia dan respons dari pasien yaitu respon terhadap gejala dan efek
samping yang ditimbulkan
 long lasting bronchodilator lebih mudah dan efisien daripada short acting bronchodilator
 kombinasi bronchodilator dari kelas farmakologi yang berbeda meningkatkan efisiensi
dan mengurangi efek samping

2. Inhaled corticosteroid
Pengobatan reguler dengan obat tersebut meningkatkan fungsi paru, dan kualitas hidup,
dan mengurangi frekuensi dari eksaserbasi. Pemberhentian pengobatan dengan obat ini dapat
menimbulkan eksaserbasi pada beberapa pasien. Pengobatan jangka panjang menggunakan obat
ini tidak dianjurkan.

3. Combination Inhaled Corticosteroid/bronchodilator therapy


Kombinasi inhaled corticosteroid dan long acting beta agonist lebih efektif dari kedua
obat tersebut saat digunakan terpisah dalam meningkatkan fungsi paru dan status kesehatan, dan
juga mengurangi eksaserbasi pada pasien COPD moderate hingga very severe ( sangat parah )

4. Oral corticosteroid
Penggunaan jangka panjang obat ini tidak dianjurkan

5. Phosphodiesterase-4 inhibitors
6. Methylxanthines
Methylxanthines ini kurang efektif dan kurang toleransi daripada long acting bronchodilator dan
tidak dianjurkan jika obat lainnya masih ada dan dapat dibeli
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Asma adalah penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat penyempitan saluran napas
yang sifatnya reversibel (penyempitan dapat hilang dengan sendirinya) yang ditandai oleh
episode obstruksi pernapasan di antara dua interval asimtomatik. Jumlah penderita asma rawat
jalan dan rawat tinggal menduduki tingkat kedua setelah penyakit infeksi TB paru.
Emfisema adalah suatu kelainan anatomik paru yang ditandai oleh pelebaran secara
abnormal saluran napas bagian distal bronkus terminalis, disertai dengan kerusakan dinding
alveolus yang ireversibel. Penyebab utama penyakit ini adalah rokok. Meskipun emfisema tidak
menyebabkan disabilitas sampai usia sekitar lima puluh hingga delapan puluh tahun, deficit
ventilasi sudah dapat bermanifestasi klinik beberapa decade sebelumnya.

Bronkitis kronik merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus


trakeobronkial yang berlebihan shingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi
selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.
Walaupun perokok merupakan faktor etiologi tunggal yang paling penting, pemajanan akibat
kerja dan lingkungan sekarang ini mendapatkan perhatian yang cukup banyak, terutama sebagai
unsur penambah bagi efek yang ditimbulkan oleh merokok.

SARAN

Mengingat masih banyaknya kekurangan dari laporan ini, baik dari segi diskusi
kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor maupun dosen yang memberikan materi
kuliah, dari rekan-rekan angkatan 2014, dan dari berbagai pihak demi kesempurnaan laporan ini.

Daftar Pustaka
http://ginasthma.org/2016-pocket-guide-for-asthma-management-and-prevention (tahun 2016)

Anda mungkin juga menyukai