Anda di halaman 1dari 19

PRESENTASI KASUS

Kolelitiasis

Disusun oleh
Muhammad Irfan Rizaldy
20174011105
Pembimbing : dr. H. Adi Sihono, Sp.B

BAGIAN ILMU BEDAH


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
BAB I
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 52 tahun
No. CM : 14-90-13
Suku : jawa
Agama : Islam
Alamat : sleman

I. SUBJECTIVE
a. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan atas.

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak 4 hari
SMRS. Nyeri dirasakan tiba-tiba dan menetap dengan intensitas
berat selama ± 1-3 jam kemudian menghilang perlahan-lahan.
Selanjutnya nyeri muncul kembali. Nyeri dirasakan dari perut
kanan atas hingga bagian ulu hati namun tidak menjalar sampai ke
bahu kanan dan punggung. Nyeri dirasakan bertambah apabila
pasien menarik napas dalam. Sesak dan nyeri dada disangkal.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah. Pasien muntah 2 kali,
isi makanan, darah (-). Setiap kali makan pasien mengaku sering
merasa mual. Nafsu makan menjadi menurun semenjak sakit.
Pasien juga mengatakan mengalami demam sejak 2 hari SMRS.
Demam dirasakan terus menerus, naik-turun, dan tidak disertai
menggigil. Demam meningkat terutama saat nyeri muncul. Demam
turun jika diberi obat penurun panas.
Pasien juga mengeluhkan matanya menjadi kuning. Namun sejak
di rumah sakit selama 3 hari ini, makin hari makin terlihat jelas
mata menjadi semakin kuning.
Frekuensi buang air besar 2 kali/hari, padat, nyeri saat BAB (-),
darah/ kehitaman (-). Selain itu, menurut pasien warna kencing
menjadi kuning kecoklatan seperti teh (gelap) sejak 4 hari hingga
saat ini dengan frekuensi BAK 2-3x/hari, nyeri saat BAK (-),
kencing berpasir (-).

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Akan
tetapi, pasien mengaku memiliki riwayat sakit maag sejak lama
namun jarang kambuh. Jika terasa nyeri biasanya hanya di bagian
ulu hati saja dan sembuh jika minum antasid.
Riwayat hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-) dan keganasan
(-). Riwayat sakit kuning (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada di keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa
dengan pasien. Riwayat hipertensi (-), DM (-), penyakit jantung (-),
riwayat asma (-). Riwayat keganasan (+) pada paman dan kakak
pasien. Riwayat batu empedu (-).

e. Riwayat Pengobatan
Pasien hanya minum antasid dan paracetamol untuk mengatasi
keluhannya tersebut. Riwayat minum obat penghilang rasa nyeri
atau obat rematik disangkal.

f. Riwayat Alergi :
Pasien tidak pernah memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan
dan makanan tertentu.

g. Riwayat Pribadi dan Sosial


Pasien bekerja sebagai ibu rumahtangga
II. OBJECTIVE
a. Status Present
Keadaan Umum : Sedang
Kesan Sakit : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis / E4V5M6
BeratBadan : 50 kg
Tinggi badan : 155 cm
IMT : 20,81 (Normal)

b. Vital Sign
Tekanandarah : 100/ 60 mmHg
Nadi : 92 x / menit, kuat angkat, teratur
Pernapasan : 18 x / menit
Suhu : 37,1° C

c. Status Generalis
Kepala  Bentuk dan ukuran kepala : Normosefali.
 Permukaan Kepala : tidak tampak benjolan, lesi, malar
rash, edema, maupun hiperpigmentasi.
 Ekspresi wajah normal : tidak tampak paralisis fasialis.
 Rambut : berwarna hitam, tidak mudah dicabut.
 Nyeri tekan kepala : negatif
Mata  Bentuk : dalam batas normal
 Alis : dalam batas normal
 Bola mata : kesan eksoftalmus - /- dan anoftalmus -
/-
 Palpebra : edema - / - , ptosis - / -
 Konjungtiva : anemis - / - , hiperemi - / -
 Sklera : ikterik + / +, perdarahan - / - , pterygium
-/ -
 Pupil : refleks cahaya + / +, isokor +
 Lensa : tampak jernih
Telinga  Bentuk aurikula : normal
 Lubang telinga : sekret (-)
Hidung  Bentuk : normal, simetris, deviasi septum (-)
Mulut  Bentuk : simetris
 Bibir : sianosis (-), edema (-), perdarahan (-)
 Lidah : leukoplakia (-)
Leher  Tidak tampak deviasi trakea
 Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar getah bening.
 Tidak tampak hipertrofi SCM dan SCM tidak aktif
 JVP : 5 ± 2 cm
Toraks  Pada keadaan statis, bentuk dinding dada kanan dan kiri
terlihat simetris. Bentuk dan ukuran dinding dada kanan dan
kiri terlihat sama.
 Pada keadaan dinamis, dinding dada kanan dan kiri terlihat
simetris dan tidak terlihat pergerakan dinding dada kanan
maupun kiri tertinggal pada waktu pernafasan.
 Tidak terdapat retraksi atau penggunaan otot pernapasan
tambahan.
 Pada permukaan dada : massa (-), jaringan sikatrik (-), jejas (-),
spider naevi (-)
 Fossa supraklavikula dan infraklavikula tidak cekung dan
simetris.
 Fossa jugularis : tidak tampak deviasi trakea.
 Pulsasi ichtus kordis tidak tampak
 Tipe pernafasan : torako-abdominal dengan frekuensi nafas 18
kali/ menit

 Bunyi paru vesikuler +/-, ronki -/-, wheezing -/-.

Abdomen Inspeksi :
LOKALIS  Dinding abdomen simetris, massa (-), distensi (-),

Auskultasi :
 Bising Usus (+) normal, metalic sound ( -),

Palpasi :
 Turgor : Normal
 Tonus : Normal
 Nyeri tekan (+) di epigatrik dan hipokondrium dextra , Murphy
sign (+), distensi abdomen (-), defense muscular (-), Nyeri
tekan mac burney (-), rovsing sign (-), psoas sign (-), obturator
sign (-), Hepar / Lien / Ren : tidak teraba

+ + -

- - -

- - -

Perkusi :
 Timpani di seluruh lapangan abdomen

Punggung  Tampak dalam batas normal.


 Tidak terlihat kelainan bentuk tulang belakang.
Ekstremitas + +
atas dan bawah  Akral hangat
+ +

- an direct
 Deformitas meningkat
ium
dextra,
serta
murphy
 Sianosis -sign-
positif.eri
- -
tekan ejak
4 hari
SMRS.
- -
 Edema
sar 2
- -
kali/hari,
padat,
Genetelia Tidak dievaluasi nyeri saat
BAB (-
-
d. Pemeriksaan Penunjang
- -
 Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap

Parameter Hasil Normal


HGB 12,0 L : 13,0-18,0 g/dL
RBC 6,36 L : 4,5 – 5,8 [106/µL]
NEU↑ 80 50-70 [103/ µL]
HCT 34,6 L : 40-50 [%]
MCV 81 82,0 – 92,0 [fL]
MCH ↓ 26.7 27,0-31,0 [pg]
MCHC 33 32,0-37,0 [g/dL]
PLT 285 150- 400 [103/ µL]

 ICT Malaria (-)


 Widal (-)
 HbSAg : (-) / non-reaktif
 Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik:

Parameter Hasil Normal


GDS 107 <160 mgl/dl
Bilirubin total 0,473 <1,0
Bilirubin direct ↑ 0,27 <0,2
Bilirubin indirect 0,20 <0,75

 Hasil Pemeriksaan USG Abdomen :


-- Hati normal
-- Empedu tidak membesar, dinding normal, pada leher empedu
terdapat batu ukuran 20,2; 10,2; 9,2 mm
Kesan : Batu empedu dengan multiple choleistitis
III. RESUME
Pasien Wanita datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak
4 hari SMRS. Nyeri dirasakan tiba-tiba dan menetap dengan
intensitas berat selama ± 1-3 jam kemudian menghilang perlahan-
lahan. Selanjutnya nyeri muncul kembali. Nyeri dirasakan dari
perut kanan atas hingga bagian ulu hati namun tidak menjalar
sampai ke bahu kanan dan punggung. Nyeri dirasakan bertambah
apabila pasien menarik napas dalam. Sesak dan nyeri dada
disangkal.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah. Pasien muntah 2 kali,
isi makanan, darah (-). Setiap kali makan pasien mengaku sering
merasa mual. Nafsu makan menjadi menurun semenjak sakit.
Pasien juga mengatakan mengalami demam sejak 2 hari SMRS.
Demam dirasakan terus menerus, naik-turun, dan tidak disertai
menggigil. Demam meningkat terutama saat nyeri muncul. Demam
turun jika diberi obat penurun panas.
Pasien juga mengeluhkan matanya menjadi kuning. Namun sejak
di rumah sakit selama 3 hari ini, makin hari makin terlihat jelas
mata menjadi semakin kuning.
Frekuensi buang air besar 2 kali/hari, padat, nyeri saat BAB (-),
darah/ kehitaman (-). Selain itu, menurut pasien warna kencing
menjadi kuning kecoklatan seperti teh (gelap) sejak 4 hari hingga
saat ini dengan frekuensi BAK 2-3x/hari, nyeri saat BAK (-),
kencing berpasir (-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan : sklera ikterik +/+, nyeri tekan di
epigastrium dan hipokondrium dextra, serta murphy sign positif.

IV. IDENTIFIKASI MASALAH


SUBYEKTIF OBYEKTIF
 Nyeri perut kanan atas hingga  Sklera ikterik +/+
 Nyeri tekan epigastrium dan
ulu hati
 Mual dan muntah hipkondrium dextra
 Demam  Murphy sign (+)
 Mata kuning  Leukositosis
 BAK kuning kecoklatan  Bilirubin total dan direct
(gelap) meningkat
 USG abdomen : kesan batu
empedu dengan kolesistitis

V. ASSESSMENT
 kolelitiasis
VI. PLANNING
a. Diagnostik
 DL, SGOT, SGPT
 Bilirubin total, bilirubin direct, bilirubin indirect
 USG abdomen
 BUN, creatinin
 Kultur darah dan cairan empedu

b. Terapi
Medikamentosa
 IVFD RL 20 tpm
 Inj. cefotaxime 1 gr/8 jam
 Diclofenac 75 mg IM
 Inj. Ondansentron 4 mg/hari
Non- Medikamentosa
 Konsultasi spesialis bedah pro kolesistektomi
 Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Lemak

c. Monitoring
 KU dan Vital sign

VII. PROGNOSIS
Dubia et bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang
membentuk suatu material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung
empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis)
atau pada keduanya.1
Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, tetapi
batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran
empedu menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran
empedu sekunder.2
B. Epidemiologi
Kasus batu empedu sering ditemukan di Amerika Serikat, yaitu
mengenai 20% penduduk dewasa. Setiap tahunnya, beberapa ratus ribu orang
yang menderita penyakit ini menjalani pembedahan saluran empedu.3
Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko
tinggi yang disebut ”5 F’s” : female (wanita), fertile (subur)-khususnya
selama kehamilan, fat (gemuk), fair (orang kulit putih), dan forty (empat
puluh tahun).4 Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko.
Namun, semakin banyak faktor resiko, semakin besar pula kemungkinan
untuk terjadinya kolelitiasis. 5,6
Faktor resiko tersebut antara lain:
1. Genetik
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik.
Kecenderungan membentuk batu empedu bisa berjalan dalam
keluarga.7 Di negara Barat penyakit ini sering dijumpai, di USA 10-
20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu. Batu
empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih
dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga sering ditemukan di
negara lain selain USA, Chili dan Swedia.8
2. Umur
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-
50 tahun. Sangat sedikit penderita batu empedu yang dijumpai pada
usia remaja, setelah itu dengan semakin bertambahnya usia
semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan batu empedu,
sehingga pada usia 90 tahun kemungkinannya adalah satu dari tiga
orang.2,9
3. Jenis Kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada
laki-laki dengan perbandingan 4:1. Di USA 10- 20 % laki-laki
dewasa menderita batu kandung empedu, sementara di Italia 20 %
wanita dan 14 % laki-laki. Sementara di Indonesia jumlah penderita
wanita lebih banyak dari pada laki-laki.7
4. Beberapa faktor lain
Faktor lain yang meningkatkan resiko terjadinya batu
empedu antara lain: obesitas, makanan, riwayat keluarga, aktifitas
fisik, dan nutrisi jangka vena yang lama.7,10
C. Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan
jarang pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan
sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya
adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan
empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan
empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu
empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu.
Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi
progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi
bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan
batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus.11
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu.
Pada kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan
pembentukan batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan
pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu,
terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu
banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu
sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik
mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam
tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam
waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu.12
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus
melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau
komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di
dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh
striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus.3

D. Patofisiologi Batu Empedu


1. Batu Kolesterol
Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung
jawab bagi lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar
empedu ini merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung
paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi
jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik lain.
Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik micelle,
sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan
lesitin.7
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat
tahap:
a. Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
b. Pembentukan nidus.
c. Kristalisasi/presipitasi.
d. Pertumbuhan batu oleh agregasi/presipitasi lamelar
kolesterol dan senyawa lain yang membentuk matriks
batu.
2. Batu pigmen
Batu pigmen terdiri atas garam kalsium dan salah satu dari keempat
anion ini: bilirubinat, karbonat, fosfat, dan asam lemak rantai panjang.9
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika
Serikat. Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan
batu kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2-5 mm),
multipel, sangat keras dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu
tersebut mengandung dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat,
polimer bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil kolesterol (3-26%)
dan banyak senyawa organik lain. Di daerah Timur, batu kalsium
bilirubinat dominan dan merupakan 40-60% dari semua batu empedu.
Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam.7
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol.
Kemungkinan mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat
atau pembentukan pigmen abnormal yang mengendap dalam empedu.
Sirosis dan stasis biliaris merupakan predisposisi pembentukan batu
pigmen. Pasien dengan peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi
(anemia hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni. Di negara
Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa berhubungan
dengan invasi bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang di
infeksi parasit Clonorchis sinensis atau Ascaris lumbricoides. E.coli
membentuk B-glukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan
bilirubin di dalam empedu, yang bisa menyokong pembentukan kalsium
bilirubinat yang tak dapat larut.11
3. Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium.
Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita
kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian
besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme yang sama
dengan batu kolesterol.7
E. Pemeriksaan Penunjang
Studi imaging merupakan kunci utama dalam mendiagnosis batu empedu
dan kondisi yang berkaitan. Masing-masing modalitas memiliki kelebihan
dan keterbatasan beserta metode yang bervariasi dengan biaya yang relatif
dan risiko terhadap pasien. Studi imaging yang tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis batu pada traktus biliaris adalah foto polos abdomen. Meskipun
berguna untuk mengevaluasi pasien dengan nyeri abdomen, foto polos
abdomen memiliki keterbatasan sensitivitas dan spesifisitas. Hanya 50% batu
pigmen dan 20% batu kolesterol yang mengandung cukup kalsium yang dapat
terlihat pada foto polos abdomen. Hal ini terjadi karena 80% batu empedu
adalah jenis batu kolesterol dan hanya 25% yang dapat terdeteksi melalui
radiografi sederhana. 3

a. Ultrasonography (US)
Dewasa ini US merupakan pencitraan pilihan pertama untuk mendiagnosis
batu kandung empedu dengan sensitivitas tinggi melebihi 95% sedangkan
untuk deteksi batu saluran empedu sensitifitasnya relatif rendah berkisar
antara 18-74%.3 Diagnosis batu empedu bergantung pada terdeteksinya objek
echogenik pada lumen kandung empedu yang menghasilkan bayangan
acoustic shadow.
Gambar 3.1

b. Endoscopic Ultrasonography (EUS)


EUS adalah suatu metode pemeriksaan dengan memakai instrumen
gastroskop dengan echoprobe di ujung skop yang dapat terus berputar. EUS
memberikan gambaran pencitraan yang jauh lebih jelas sebab echoprobe-nya
diletakkan di dekat organ yang diperksa. Pada satu studi, sensitivitas EUS
dalam mendeteksi batu saluran empedu adalah sebesar 97% dibandingkan
dengan ultrasoud yang hanya sebesar 25% dan CT 75%. Selanjutnya EUS
mempunyai nilai prediktif negatif sebesar 97% % untuk US dan sebesar
75% untuk CT. 9
c. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)
MRCP adalah teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan
zat kontras, instrumen, dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan
terlihat sebagai struktur yang terang karena mempunyai intensitas sinyal
tinggi sedangkan batu saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal
rendah yang dikelilingi empedu dengan intensitas sinyal tinggi, sehingga
metode ini cocok untuk mendiagnosis batu saluran empedu. Studi terkini
MRCP menunjukkan nilai sensitivitas atara 91% sampai dengan 100%, nilai
spesifisitas antara 92% sampai dengan 100% dan nilai prediktif positif antara
93% sampai dengan 100% pada keadaan dengan dugaan batu saluran
empedu. Nilai diagnostik MRCP yang tinggi membuat teknik ini makin
sering digunakan untuk diagnosis atau eksklusi batu saluran empedu
khususnya pada pasien dengan kemungkinan kecil menderita batu. 8

F. Penatalaksanaan
Batu di dalam kandung empedu yang tidak memberikan keluhan atau gejala
(asimtomatik) dibiarkan saja. Apabila timbul gejala, biasanya karena batu
tersebut migrasi ke leher kandung empedu atau masuk ke duktus koledokus,
maka batu ini harus dikeluarkan. Migrasi batu ke leher kandung empedu akan
menyebabkan obstruksi duktus sistikus. Keadaan ini mengakibatkan
terjadinya iritasi kimiawi mukosa kandung empedu oleh cairan empedu yang
tertinggal sehingga terjadilah kolesistitis akut atau kronis, tergantung dari
beratnya perubahan pada mukosa12 . Pada pasien dengan batu kandung
empedu yang simtomatik ini dapat dilakukan kolesistektomi secara
konvensional ataupun dengan cara laparoskopi. Batu empedu yang terjepit di
duktus sistikus, di muara duktus sistikus pada duktus koledokus, dapat
menekan duktus koledokus atau duktus hepatikus komunis sehingga
mengakibatkan obstruksi (sindroma Mirizzi) 13. Batu ini harus dikeluarkan
dengan cara operasi. Bila tidak dikeluarkan akan menyebabkan obstruksi
dengan penyulit seperti kolangitis atau sepsis dan ikterus obstruktif yang bisa
mengakibatkan gagal hati atau sirosis bilier.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2005: 570-9.
2. Lesmana L. Batu Empedu. In: Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi IV Jilid 1.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000:
479-81.
3. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis. Dalam : Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi IV. Jakarta : EGC, 1995: 430-44.
4. Reeves CJ. Penyakit Kandung Empedu. Dalam : Keperawatan Medika
Bedah. Edisi I. Jakarta : Salemba Medika, 2001: 149-51.
5. Clinic Staff. Gallstones. Available from:
http:/www.6clinic.com/health/digetivesystyem/DG9999.htm. Last update 25
Juli 2007.
6. Sarr MG, Cameron JL. Sistem empedu. Dalam : Buku Ajar Bedah Esentials
of Surgery. Edisi II. Jakarta: EGC, 1996: 121-123.
7. Garden Jet et al. Gallstone. Dalam: Principle and Practice of Surgery. China:
Elseiver, 2007:23.
8. Bateson M. Batu Empedu dan Penyakit Hati. Jakarta: Arcan, 1991. 35-41.
9. Latchie M. Cholelitiasis. Dalam : Oxford Handbook of Clinical Surgery.
Oxford University, 1996: 162.
10. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis. Dalam : Patofisiolog
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi IV. Jakarta : EGC, 1995: 430-44.
11. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu. Dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi IX. Jakarta: EGC, 1997: 1028-1029.
12. Greenbergen N.J., Isselbacher K.J.Diseases of the Gallbladder and BileDucts,
dari Harrison’s Princi-ples of Internal Medicine, Edisi ke-14,hal.1725-1736,
Editor Fauci dkk. McGraw Hill, 1998
13. Nurman A. dkk. Sindroma Mirizzi diRS Husada; laporan dua kasus. KonasV
PGI/PEGI, Pertemuan Ilmiah VIPPHI, Medan, 1991

Anda mungkin juga menyukai