Anda di halaman 1dari 17

PRESENTASI KASUS

Peritonitis et causa Apendisitis Perforasi

Disusun oleh

Muhammad Irfan Rizaldy


20174011105
Pembimbing : dr. H. R. Nurul Jaqin, Sp.B

BAGIAN ILMU BEDAH


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018

1
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. E
Usia : 22 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Sidomoyo, Sleman
Pendidikan : Mahasiswa
Status : Belum menikah
Tanggal Masuk RS : 03/01/2017

B. Anamnesis
 Keluhan Utama: Nyeri seluruh lapang perut
 Riwayat Penyakit Sekarang :
An. E mengeluh demam tinggi dan nyeri perut di seluruh lapang perut, nyeri
dirasakan terus menerus dan tidak menjalar dengan skala 4, keluhan semakin memberat
setelah menunggu mendapat kamar di RS PKU selama 6 hari. Pasien mengatakan nyeri
tidak bertambah dengan aktivitas ataupun berkurang dengan istirahat, dan tidak ada
keluhan lain..
Pasien kemudian mondok RS PKU Gamping Yogyakarta (tanggal 3 Jnauari 2017)
dengan keluhan tidak membaik, pasien mengaku merasakan nyeri terus menerus
diseluruh lapang perut, nyeri bertambah dalam skala 5, tampak kesakitan. Pasien
mengatakan perut seperti kram, nyeri apabila bergerak sedikit saja, terasa kembung, nafsu
makan menurun.

 Riwayat Penyakit Dahulu : riwayat HT, DM, Asma, riwayat trauma disangkal

2
 Riwayat Penyakit Keluarga: riwayat HT pada keluarga (-), DM pada keluarga (-
), asma pada keluarga (-)
 Riwayat Personal Sosial: merokok (-), alcohol (-)

C. Pemeriksaan Fisik / Objective


 Keadaan Umum : Compos mentis, tampak kesakitan
 Vital Sign
 TD : 126/78 mmHg
 T : 37,9oC
 HR : 105 x/menit
 RR : 18 x/menit
 Sa O2 : 99%
 GCS : E4 V5 M6
 Kepala dan Leher
 Kepala : Simetris, jejas (-)
 Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-)
 Hidung : discharge (-/-)
 Telinga : discharge (-/-)
 Mulut : lidah tidak kotor, faring hiperemis (-), mukosa bibir kering
 Leher :Tidak ada pembesaran kelenjar lymphonodi, jejas (-)
 Thorax
 Jantung : S1 S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
 Paru : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
 Dinding thorax : jejas (-)

 Status Lokalis Abdomen


 Inspeksi : bentuk simetris, perut tampak distended, jejas (-)
 Auskultasi : peristaltic usus (+) menurun
 Palpasi : nyeri tekan (+) seluruh lapang perut, defence muscular pada
dinding abdomen (+), teraba massa (-)
 Perkusi : hipertimpani seluruh lapang perut,

3
 Ekstremitas
 akral hangat, edema (-), rubor (-), jejas (-)

D. Pemeriksaan Penunjang / Objective


 Laboratorium (Darah rutin)
 Leukosit :14.600mm3 (↑)
 Neutrofil :90% (↑)
 Limfosit% :6% (↓)
 Eritrosit :5,34 juta/mm3 (N)
 Hb :13,6g/dl (N)
 HMT : 41 (N)
 Laboraturium (Urin rutin)
 Kekeruhan : kemerahan
 Bakteri : (-)
 Eritrosit sedimen: 2-3 (N)
 Glukosa urin : (-)
 Protein urin: (-)
E. Diagnosis Kerja Pra Bedah
Peritonitis umum
F. Planning / Penatalaksanaan
1. Operatif : Laparotomi Eksplorasi
2. Ketorolac 1 amp prn
3. Ceftriaxone IV 2x 1g
4. Metronidazole 250mg IV/8 jam
G. Diagnosis Kerja Post Bedah
Peritonitis umum et causa apendisitis perforasi

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Peritonitis
1. Definisi
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa yang menutupi rongga
abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya) biasanya disertai dengan gejala
nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi, dan demam. Peradangan
biasanya disebabkan oleh infeksi pada peritonium. Peritonitis merupakan suatu
kegawatdaruratan yang biasanya disertai dengan bakterimia atau sepsis.
2. Anatomi dan Fisiologi
Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling komleks yang terdapat
dalam tubuh. Membran serosa tersebut membentuk suatu kantung tertutup (coelom)
dengan batas-batas:
* anterior dan lateral : permukaan bagian dalam dinding abdomen
* posterior : retroperitoneum
* inferior : struktur ekstraperitoneal di pelvis
* superior : bagian bawah dari diafragma

Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:

 Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa)
 Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
 Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.

Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu:

 Gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon
sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum)
 Pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan ureter
(retroperitoneum)

5
Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat ± 100cc cairan peritoneal yang
mengandung protein 3 g/dl.Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel normal adalah
33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel
B, eosinofil, dan sel mast serta sekretnya terutama prostasiklin dan PGE2.Bila terjadi
peradangan jumlah PMN dapat meningkat sampai > 3000/mm3. Dalam keadaan
normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe diafragma sedang
sisanya melalui peritoneum parietalis.

3. Patofisiologi

6
grade I : grade II : grade III : grade IV : grade V :
simple supurative gangrenosa perforated abscess

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi


akibat penyebaran infeksi dari organ – organ abdomen (misalnya: apendisitis,
salpingitis), rupture saluran cerna atau dari luka tembus abdomen. Organisme yang
sering menginfeksi adalah organisme yang hidup dalam kolon pada kasus ruptur
apendiks, sedangkan staphilococcus dan streptococcus sering masuk dari luar.
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Abses terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi
satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita – pita fibrosa,
yang kelak dapat mengakibatkan obstruksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamasi, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen
usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen
termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan

7
tekanan intraabdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan
menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian
menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Pada apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan, makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis
bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian
aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan
akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.
4. Etiologi
Infeksi peritonia dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari
rongga peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah
spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-
30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi
peritonitis bakterial.
2. Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis,
perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering
kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus.

8
3. Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan
akibat tindakan operasi sebelumnya
5. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam
rongga abdomen. Gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya
penyakit, perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk
melawan, usia serta tingkat kesehatan penderita secara umum.
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi tanda abdomen yang berasal dari awal
peradangan dan manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri
abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas
pada cavum peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi
dari peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi
demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria,
disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.
a) Gejala
 Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada
peritonitis. Nyeri biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan
pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian
abdomen.
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-
menerus, tidak ada henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan
berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi
peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri
menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika
intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri
menandakan penyebaran dari peritonitis.
 Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat
diikuti dengan muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan

9
terasa seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul.
Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38o C sampai 40oC .
 Hippocrates face
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala
ini termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata
cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya
berada pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka
berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas
karena setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen.
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan
tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal
diagnosis dan perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih
banyak berkurang.
 Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua
factor. Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum
peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Kedua, dikarenakan terjadinya
sepsis generalisata.
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata
melibatkan kuman gram negative diman dapat menyebabkan terjadinya
tahap yang menyerupai syok.
b) Tanda
 Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau
komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic
dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal
sebagai mekanisme kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal.
Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi yang
menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini
harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan

10
dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan
yang lebih buruk.
 Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya
distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak
menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada
awal dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda
distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi
kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik .

 Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara
usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal
sampai hampir tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan
ileus. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut,
penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami
strangulasi .
 Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman
pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi
intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum
yang berasal dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan
tanda awal dari peritonitis.
 Palpasi

11
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada
kondisi ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah
yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang
dicurigai terdapat nyeri tekan. Kelompok orang dengan kelemahan dinding
abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan
orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari
otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri
tekan yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan
menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen secara
involunter. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh suatu
proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi
local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan
lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik
peradangan yang maksimal.
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut
melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada
peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan.
6. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Selain anamnesa dan pemeriksaan fisik, hitung lekosit dapat digunakan
sebagai informasi yang bermanfaat dalam mendiagnosis appendisitis akut dan
appendisitis perforasi. Lekosit merupakan petanda yang sensitif pada proses
inflamasi. Berbagai penelitian mempublikasikan tentang evaluasi peran
lekositosis dalam diagnosis appendisitis akut. Hasil laboratorium pada
appendisitis akut biasanya didapatkan angka lekosit diatas 10.000/mm3dengan
pergeseran kekiri pada hemogramnya (>70% netrofil). Penderita appendisitis akut
umumnya ditemukan jumlah lekosit antara 12.000-20.000/mm3dan bila sudah
terjadi perforasi atau peritonitis jumlah lekosit antara 20.000-30.000/mm3.
Namun, pendapat lain menyatakan jika angka lekosit lebih dari 18.000/mm3saja
maka sudah dapat terjadi perforasi dan peritonitis, tetapi bila lebih dari
20.000/mm3perlu dilakukan reevaluasi diagnosis.

12
2) Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup
foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat
memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan
proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat
terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam
cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen.
7. Tata Laksana
a) Penanganan Preoperatif
 Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum
menyebabkan perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum
dan ruang intersisial. Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar
melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap
baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat
penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red
Cells) atau WB (Whole Blood).Larutan kristaloid dan koloid harus
diberikan untuk mengganti cairan yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi
kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan
cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah
yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.
 Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan
menjadi bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan
Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes
spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam
terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan
kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum.
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi
seperti: besar kecilnya kontaminasi bakteri, penyebab dari peritonitis trauma

13
atau nontrauma, ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar
terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu,
selama dan setelah operasi. Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita
tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal.
 Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis
cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari
metabolisme tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi
paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti
ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat ditandai
dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, hipoksemia
yang ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, adanya nafas yang cepat
dan dangkal.
8. Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya
dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Prosedur operasi
yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta
membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu,
darah, mucus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah
dari bakteri virulen.
9. Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis
lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak
efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan
penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi.
10. Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak
stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi
organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian
cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan
peritonitis.Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal,

14
penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum
membaik.Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan
peritonitis.Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat
menurunkan resiko infeksi sekunder.
11. Komplikasi
Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi
lokal dan sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal,
pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama
postoperasi.Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan distensi
abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator adanya infeksi abdomen
residual.Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-Scan abdomen.
Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel yaitu
organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun .
12. Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor
yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain tipe penyakit primer dan
durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel sebelum pengobatan, serta usia dan
kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan
ulkus perforata atau apendisitis, pada usia muda, pada pasien dengan sedikit

15
kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih awal.

16
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999.Principles of Surgery sevent edition. Mc-Graw Hill a
Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic Publication.

De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.EGC. Jakarta.

Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara. Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai