Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring dengan terjadinya krisis energi (kelangkaan BBM), khususnya
produksi minyak bumi yang semakin menurun sehingga menyebabkan harga
minyak bumi melambung tinggi, sedangkan jumlah pengguna bahan bakar
semakin tahun semakin meningkat. Menurut Direktur Hulu Minyak dan Gas
Bumi Kementerian ESDM Edy Hermantoro, kebutuhan BBM di Indonesia
pada tahun 2012 diperkirakan mencapai 1,242 juta barel per hari, sedangkan
BBM yang mampu diprodusi hanya mencapai 705.000 barel per hari. Dengan
demikian, Indonesia akan mengalami defisit BBM sekitar 537.00 barel per
hari atau 43% dari total kebutuhan 1,242 juta barel per hari. Salah satu cara
untuk mengurangi keterbatasan bahan bakar fosil, perlu adanya energi
alternatif yang dapat diproduksi secara massal dan kontinu (Fajariah, 2014).
Produksi bahan kimia dan bahan bakar dari sumber daya terbarukan
adalah salah satu target dari “white biotechnology”. Fokus dalam
bioteknologi untuk produksi adalah mengacu pada beberapa driving force:
pemanasan global, peningkatan harga minyak mentah, dan pembatasan
legislatif terkait penggunaan sumber energi tak terbarukan (Naik et al., 2010
dalam Procentese, 2014). Solusi potensial untuk permintaan bahan bakar
yang terus meningkat dari sumber daya terbarukan adalah butanol yang
diproduksi sesuai dengan bioteknologi. Masalah utama yang memerlukan
penyelidikan lebih lanjut adalah: pencarian sumber daya terbarukan untuk
dapat digunakan sebagai butanol, pemilihan strain yang dicirikan oleh
produktivitas pelarut yang tinggi, pengembangan sistem karakterisasi
bioreaktor oleh produktivitas spesifik yang tinggi, pengembangan strategi
hilir proses untuk meningkatkan pelarut yang dapat digunakan kembali
(Procentese, 2014).
Biofuel merupakan salah satu contoh energi terbarukan yang paling
mudah untuk diimplementasikan, salah satunya adalah biobutanol.
Biobutanol adalah jenis alkohol ikatan C-4 (C4H9OH) atau butil alkohol yang
terbuat dari biomassa. Biomassa merupakan energi yang tersimpan dalam
bahan organik yang berasal dari pohon, tanaman pertanian, dan materi hidup
tanaman lainnya yang pada proses fotosintersis menghasilkan senyawa
karbohidrat. Sedangkat karbohidrat merupakan senyawa organic yang
membentuk biomassa (Fajariah, 2014).
Pabrik ini menggunakan lignoseluosa tandan kosong kelapa sawit
karena tidak berkompetensi dengan pangan maupun pakan, tersedia
melimpah, murah, dan terbarukan. Menurut Irawati (2006) dalam Darsono
(2014), tandan kosong kelapa sawit merupakan limbah industri sampai saat
ini belum dimanfaatkan secara optimal dan sering menimbulkan pencemaran
lingkungan. Saat ini hanya dipakai sesbagai pupuk, bahan baku matras, dan
media tumbuh tanaman jamur. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar limbah
tandan kosong kelapa sawit dapat menjadi produk yang lebih bermanfaat.
Tandan kosong kelapa sawit merupakan limbah terbesar pada industri kelapa
sawit yaitu mencapai 22% sampai dengan 25% dari bobot buah segar
(Purwantana dan Prastowo, 2011; Subiyanto, dkk. 2004). Menurut Syafina,
dkk. (2002) dalam Darsono (2014), tandan kosong kelapa sawit mengandung
selulosa 41,3%, sampai dengan 46,5%; hemiselulosa 25,3% sampai dengan
33,8%; dan lignin 27,6% sampai dengan 32,5%. Tandan kosong kelapa sawit
cocok dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan biobutanol karena
menghasilkan rendemen yang cukup besar sehingga harga jual lebih murah.
1.2 Kapasitas Perancangan
Dalam menentukan kapasitas produksi pabrik, diperlukan beberapa
pertimbangan antara lain:
1. Proyeksi Kebutuhan, Produksi, dan Impor Bahan Bakar di Indonesia
Tabel 1.1 Produksi, Konsumsi, dan Impor Bahan Bakar di Indonesia
Produksi Konsumsi Impor
Tahun Ribu Ribu Ribu
Kiloliter Kiloliter Kiloliter
Barel barel Barel
2012 514,09 82.114,617 939,876 149.424 227,755 36.209
2013 566,46 90.303,921 998,311 158.714 373,205 59.933
2014 545,07 86.893,969 974.246 154.888 404,460 64.302
2015 627,34 100.009,288 1.753,387 278.758 1.076,678 171.173
2016 300,13 47.846,124 1.830,101 290.954 1.360,458 216.289
(Sumber: Direktorat Jendral Minyak dan Gas Bumi, Kementerian Energi dan
Summber Daya Mineral, 2016)

Produksi
107000

87000
Kiloliter

y = -5883.2x + 1E+07
67000 R² = 0.2188

47000
2012 2013 2014 2015 2016
Tahun

Gambar 1.1 Produksi bahan bakar di Indonesia tahun 2012 sampai 2016
Konsumsi
296,000
y = 40310x - 8E+07
R² = 0.7904

Kiloliter 246,000

196,000

146,000
2012 2013 2014 2015 2016
Tahun

Gambar 1.2 Konsumsi bahan bakar di Indonesia tahun 2012 sampai


2016

Impor
230,000
y = 47140x - 9E+07
R² = 0.8861
180,000
Kiloliter

130,000

80,000

30,000
2012 2013 2014 2015 2016
Tahun

Gambar 1.3 Impor bahan bakar di Indonesia tahun 2012 sampai 2016
2. Kapasitas Pabrik yang Telah Beroperasi
Di Indonesia, belum ada pabrik biobutanol yang telah
beroperasi, namun biobutanol dapat dibangun untuk menggantikan
gasoline 88 yang biasanya digunakan oleh masyarakat. Sesuai
dengan Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2006, Indonesia
menargetkan untuk menggunakan bahan bakar alternatif sebanyak 5%
dari konsumsi di tahun 2020 mendatang.
3. Ketersediaan Bahan Baku
Tabel 1.2 Menjelaskan bahwa potensi sawit di Indonesia terus
mengalami peningkatan sebesar 6% setiap tahunnya. Pada tahun
2016 wilayah Sumatra Utara telah memprodusi sawit sebesar
5.440.594 ton dan diproyeksikan pada tahun 2020 dapat mencapai
6.800.000 ton. Tandan kosong kelapa sawit memiliki massa sebesar
22% dari total produksi kelapa sawit. Dari produksi kelapa sawit
sebanyak 6.800.000 ton dapat menghasilkan massa tandan kosong
sebesar 1.510.000 ton setiap tahunnya.
Tabel 1.2 Produksi Kelapa Sawit Menurut Provinsi di
Indonesia
Ton/Tahun Pertum
No Provinsi -buhan
2013 2014 2015 2016 2017
(%)
1. 817.525 945.617 896.313 954.186 1.077.099 5,21
Aceh
2. 4.549.202 4.870.202 5.193.135 5.440.594 5.760.147 6,63
Sumatra
Utara
3. 1.022.332 924.813 926.618 988.133 1.069.020 0,2
Sumatra
Barat
4. 6.646.997 6.993.241 8.059.846 8.506.646 8.721.148 15,25
Riau
5. 36.774 45.001 45.062 52.331 59.426 0,14
Kepulauan
Riau
6. 1.749.617 1.773.735 1.794.874 1.910.028 2.078.463 1,19
Jambi
7. 2.690.620 2.791.816 2.821.938 3.063.197 3.268.528 1,08
Sumatra
Selatan
8. 508.125 516.597 523.089 549.066 586.883 1,26
Kepulauan
Bangka
9. 787.050 798.818 747.521 767.019 809.681 6,42
Bengkulu
10. 424.054 455.904 434.314 455.878 490.985 4,74
Lampung
11. - - - - - -
DKI Jakarta
12. 32.643 33.020 34.985 35.227 39.221 5,95
Jawa Barat
13. 27.077 24.300 25.525 29.164 35.297 5,04
Banten
14. - - - - - -
Jawa
15. Tengah - - - - - -
DI
16. Yogyakarta - - - - - -
17. Jawa Timur - - - - - -
18. Bali - - - - - -
19. NTB - - - - - -
20. NTT 1.794.466 1.965.515 2.168.136 2.346.241 2.658.702 10,31
Kalimantan
21. Barat 3.127.138 3.158.239 3.572.982 2.821.087 3.924.780 13,13
Kalimantan
22. Tengah 1.244.040 1.460.566 1.049.463 1.198.191 1.311.134 28,15
Kalimantan
23. Selatan 1.514.504 1.407.337 1.586.624 1.780.509 1.959.042 12,74
Kalimantan
24. Timur - 255.703 268.087 301.548 367.952 -
Kalimantan
Utara
25. Sulawesi - - - - - -
Utara
26. Gorontalo - - 80 121 303 -
27. Sulawesi 244.074 254.363 275.349 303.200 335.782 8,25
Tengah
28. Sulawesi 49.818 78.893 111.548 117.250 127.463 41,39
Selatan
29. Sulawesi 282.738 285.523 294.617 319.454 346.316 3,19
Barat
30. Sulawesi 71.278 70.974 71.414 85.098 96.127 2,03
Tenggara
31. Maluku 14.740 - 25 50 331 -
32. Maluku - - - - - -
Utara
33. Papua 93.476 94.022 93.477 118.229 135.563 0,58
34. Papua Barat 53.716 73.991 73.991 86.934 99.970
Total 4729.887 4729.887 9459.774 18919.548 37839.096
(Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2017)
Dari ketiga pertimbangan yang telah diuraikan, maka pabrik biobutanol
ini akan dibangun dengan kapasitas sebesar 100.000 ton setiap tahunnya,
dimana akan membantu memenuhi kebutuhan nasional sebesar 5%.
1.3 Penentuan Lokasi
Dalam menentukan lokasi pabrik biobutanol dari tandan kosong kelapa
sawit terdapat beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan, antara lain:
a. Faktor Primer
Faktor primer secara tidak langsung mempengaruhi tujuan
utama dari pendirian suatu pabrik. Tinjauan ini meliputi proses
produksi dan distribusi produk yang dibutuhkan konsumen.
Berikut faktor-faktor primer yang dapat dipertimbangkan:
1. Ketersediaan bahan baku
Lokasi yang dipilih untuk pembangunan pabrik
adalah di daerah Balikpapan, Kalimantan Timur karena
memiliki potensi bahan baku kelapa sawit yang besar
dilihat dari angka pertumbuhan produksi, dimana daerah
ini memproduksi hingga 1.959.040 ton setiap tahunnya.
2. Letak pabrik dengan pasar
Pendirian pabrik dilakukan didekat RU Pertamina
Balikpapan agar nantinya produk biobutanol dapat dijual
ke Pertamina atau dibantu distribusinya oleh Pertamina.
Gambar 1.4 Peta daerah rencana pembangunan pabrik
dengan RU Pertamina
3. Letak pabrik dengan bahan baku
Posisi Pabrik di Balikpapan dekat dengan sumber bahan
baku yaitu Tandan Kelapa Sawit yang didapatkan dari
perkebunan Kelapa Sawit PT. CDM di Kalimantan Timur.

Gambar 1.5 Letak perkebunan sawit di Kalimantan Timur


4. Tersedianya sarana dan prasarana berupa listrik, air, dan
sarana transportasi.
Lokasi pabrik yang dipilih berada di dekat Pelabuhan
Semayang di Balikpapan sehingga akan memudahkan
transportasi untuk produk biobutanol didistribusikan ke
pulau-pulau di seluruh Indonesia.

Gambar 1.6 Peta daerah rencana pembangunan pabrik


5. Tersedianya tenaga kerja
Tenaga kerja diperoleh dari penduduk sekitar maupun
dari provinsi lain. Jumlah tenaga terlatih dan
berpendidikan akan menigkatkan minat tenaga kerja antar
pulau.
b. Faktor Sekunder
Penempatan lokasi pabrik juga harus memperhatikan aspek
sekunder. Faktor-faktor sekunder antara lain:
1. Harga tanah dikaitkan dengan rencana di masa depan
Harga tanah di Kalimantan terhitung lebih murah
dibandingkan dengan tanah di Pulau Jawa.
2. Kemungkinan perluasan pabrik
Karena berada di daerah yang luas, maka untuk perluasan
pabrik akan lebih mudah.
3. Peraturan daerah setempat
4. Keadaan masyarakat daerah
5. Iklim
6. Keadaan tanah untuk pondasi bangunan
7. Adanya perumahan penduduk
1.4 Tinjauan Pustaka
1.4.1 Macam-macam Pre-treatment
Telah banyak diketahui bahwa adanya lignin dan hemiselulosa
membuat selulosa lebih mudah dibuat oleh selulase. Untuk
meningkatkan konversi biomassa lignoselulosa ke biobutanol,
pretreatment diperlukan untuk mengubah struktur dan komposisi kimia
dari biomassa, sehingga effisiensi hidrolisis dari karbohidrat menjadi
gula yang dapat difermentasi dapat ditingkatkan dengan hasil dan
tingkat yang tinggi. Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai metode
pra-perlakukan, dibagi secara umum menjadi empat kategori:
pretreatment fisik, pretreatment kimia, fraksinasi pelarut dan
dekomposisi biologis, telah dikembangkan untuk meningkatkan tingkat
hidrolisis. Sebagai proses pre-treatment yang ideal, proses harus
memaksimalkan hasil gula dari biomassa pre-treated, dan
meminimalkan konsumsi energi dan dampaknya bagi lingkungan.
Namun, tidak satupun dari mereka dapat memenuhi semua kriteria ini.
Misalnya, metode pretreatment kimia yang banyak digunakan saat ini
seperti hidrolisis asam dan basa dan ozonalisis yang membutuhkan
penggunaan berlebihan bahan kimia seperti asam pekat, alkalin dan
oksidasi yang dapat mengganggu proses hidrolisis berikutnya. Bahkan,
bahan kimia ini beracun, korosif dan berbahaya, dan membuat pre-
treatment lebih mahal karena kebutuhan peralatan anti-korosi.
Demikian pula, metode fisik-kimia seperti ledakan uap, amonia fier
expansion (AFEX), dan oksidasi udara basah yang dioperasikan pada
suhu dan tekanan tinggi, menjadikan prosesnya energi-intensif dan
ekonomi menjadi tidak layak. Selain itu, operasi pada suhu yang tinggi
dan tekanan mengarah pada pembentukan senyawa beracun seperti
furfural dan 5-hydroxymethylfurfural (HMF) berasal dari degradasi
gula, asetat dari hemiselulosa, dan sejumlah senyawa aromatik larut
(asam, aldehid, dan alkohol) dari lignin, yang dikenal sebagai
penghambat untuk hidrolisis enzimatik dan fermentasi. Tantangan
utama untuk pretreatment adalah menghindari degradasi atau
kehilangan karbohidrat, dan meminimalkan biaya perawatan sehingga
membuat proses layak secara ekonomi (Cao et. al., 2016).
Tabel 1.3 Perbandingan Proses Pre-treatment
Kekurangan dan
Proses Kelebihan
Batasan
Mechanical Mengurangi Daya yang
comminution kristalitas selulosa dibutuhkan lebih
banyak daripada
energi biomassa
inheren
Steam explosion Membuat Dapat merusak
hemiselulosa beberapa bagian dari
terdegradasi dan fraksi xylan,
lignin gangguan matriks
bertransformasi; lignin-karbohidrat
biaya lebih efektif yang tidak lengkap,
menghasilkan
inhibitor dari
mikroorganisme
AFEX Meningkatkan luas Tidak efektif untuk
permukaan, biomassa yang
menghilangkan memiliki komposisi
lignin dan lignin yang tinggi
hemiselulosa sampai
batas tertentu, tidak
menghasilkan
inhibitor untuk
proses hilir
CO2 explosion Meningkatkan luas Tidak cocok untuk
permukaan, biaya lignin atau
lebih efektif, tidak hemiselulosa
menghasilkan
inhibitor
Ozonolysis Mengurangi Membutuhkan ozon
komposisi lignin, yang sangat banyak,
tidak memproduksi biaya mahal
residu yang beracun
Acid hydrolysis Menghidrolia Biaya mahal,
hemiselulosa dan memerlukan
lignin, meningkatkan peralatan anti korosi,
luas permukaan dapat menghasilkan
substansi yang
korosif
Alkaline hydrolysis Menghilangkan Waktu tinggal sangat
hemiselulosa dan lama, pembentukan
lignin, meningkatkan garam tidak dapat
luas permukaan dikembalikan lagi,
tidak cocok untuk
biomassa
Organosolv Menghidrolsa lignin Pelarut perlu diambil
dan selulosa dari reaktor,
diuapkan,
dikondensasi dan
digunakan kembali,
membutuhkan biaya
yang banyak
Biological Mengurangi lignin Laju hidrolisa sangat
dan hemiselulosa, rendah
tidak membutuhkan
energi yang banyak
(Sumber: Cao et. al., 2016)
1.4.2 Macam-macam Proses
1. Separate Hydrolsis and Fermentation (SHF)
Selulosa dihidrolisa menjadi glukosa menggunakan enzim
selulase dengan kondisi optimum, yakni pada suhu 50°C, dan hasil
glukosa ditransfer ke reaktor fermentasi menggunakan
mikroorganisme yang menghasilkan butanol pada suhu 35°C
(Hipolito, 2007). Proses SHF merupakan proses yang paling sering
diaplikasikan pada produksi butanol dari lignoselulosa. Contohnnya,
pada penelitian Cheng et al. dievaluasi produksi butanol dari sekam
padi dan ampas tebu dengan mencampur kultur menggunakan proses
SHF. Dalam proses SHF, saat selulosa dihidrolisa dan fermentasi
diproses pada kondisi optimum yang berbeda. Namun, akumulasi
dari glukosa selama hidrolisis enzimatik dapat menghalangi aktivitas
selulase pada proses hidrolisis. Bahkan, dua hidrolisa enzimatik dan
fermentasi yang terpisah dapat berakibat pada kenaikan biaya dan
resiko kontaminasi mikroba yang membuat proses menjadi tidak
ekonomis (Cao, et. al., 2016).
2. Simultaneous Saccharifiaction and Fermentation (SSF)
Berbeda dengan proses SHF, proses SSF adalah proses
hidrolisa selulosa dan fermentasi dalam satu langkah. Ketika proses
serupa diterapkan dalam produksi butanol dari biomassa
lignoselulosa dengan mempertimbangkan sifat unik dari hidrolisat
yang meliputi gula C5 dan C6, istilah sakarifikasi simultan dan ko-
fermentasi (SSCF) digunakan (Ranjan, 2013).
Dibandingkan dengan SHF, SSF memiliki keuntungan dari
segi biaya peralatan yang lebih sedikit dan inhibisi gula. Namun,
suhu untuk hidrolisis enzimatik dan fermentasi butanol sangat
berbeda, karena suhu optimum untuk hidrolisa selulosa
menggunakan selulase berkisar 50°C, sementara suhu optimum
untuk produksi butanol sekitar 35°C. Hal ini membuat optimasi
simultan untuk dua unit operasi sangat tidak mungkin. Secara umum,
SSF memproduksi butanol pada suhu operasi yang rendah untuk
mengakomodasi pertumbuhan mikroba dan fermentasi butanol,
biasanya pada suhu 35-37°C. Akibatnya, efisiensi hidrolisa
enzimatik mau tidak mau berkompromi, dan dibutuhkan waktu yang
lebih lama untuk hidrolisa (Cao et. al., 2016).
3. Simultaneous Saccharification and Co-fermentation (SSCF)
Hidrolisis enzimatik dapat dilakukan bersamaan dengan co-
fermentation dari glukosa dan xilosa dalam proses disebut sebagai
simultaneous saccharification and co-fermentation (SSCF). Selain
mengurangi biaya kapital, proses SSCF menawarkan beberapa
keuntungan yang meliputi penghilangan kontinyu dari produk akhir
hidrolisis enzimatik yang menghambat selulase atau β-glukosidase
dan menghasilkan produktivitas etanol yang lebih tinggi dan hasil
dari hidrolisis terpisah dan fermentasi. Operasi SSCF dalam mode
fedbatch pada konten WIS yang tinggi tidak hanya membantu
kemudahan mencampur dan menghasilkan konsentrasi etanol tinggi
tetapi juga menawarkan kemungkinan untuk mempertahankan
glukosa pada level rendah memungkinkan co-fermentasi glukosa
dan xilosa yang efisien. Menurunkan konsentrasi glukosa dapat
dicapai dengan memfermentasi heksosa bebas sebelum
menambahkan enzim. Proses SSCF dalam konsep yang disebut
meningkatkan serapan xylose terlepas dari batch atau fedbatch SSCF.
Fleksibilitas ini ditawarkan oleh SSCF yang membuat proses ini
menjadi pilihan yang menjanjikan untuk produksi bioetanol dari
bahan lignoselulosa. (Koppram, et. al., 2013).
4. Consolidated Bioprocesing/Direct Microbial Conversion
(CBP/DMC)
Menurut Cao, et. al. (2016), walaupun proses SHF dan SSF
saat ini adalah yang paling banyak digunakan untuk memproduksi
butanol dari lignoselulosa, satu dari mayoritas hambatan untuk SHF
dan SSF adalah penambahan enzim selulase eksogen yang akan
meningkatkan biaya produksi butanol disebabkan oleh tingginya
biaya selulase seiring tingginya dosis enzim yang dibutuhkan untuk
proses produksi. Selain itu, perkembangan biaya yang efektif dan
efisien untuk teknologi saccharifikasi dan fermentasi adalah kunci
keberhasilan dari produksi butanol.
Untuk proses alternatif bertujuan untuk mengurangi biaya
yang tinggi adalah consolidated bioprocessing (CBP) atau yang
sering disebut pula dengan direct microbial conversion (DMC).
Dimana saat produksi selulosa, hidrolisa selulosa dan fermentasinya
dilakukan dalam satu proses. Hal ini mengintegrasi proses yang
sudah diusulkan sebagai proes yang paling ekonomis untuk biaya
hidrolisa dan fermentasi yang rendah. Diperikirakan CBP memiliki
potensial untuk mengurangi biaya produksi berlebih sebanyak 50%
bila dibandingkan dengan SSF dan SHF yang disebabkan oleh
pengurangan biaya operasi dan capital yang berhubungan dengan
proses produksi selulosa dan hidrolisas enzimatik. Namun, tidak ada
mikroorganisme CBP yang dapat mendegradasi lignoselulosa secara
efisienn pada waktu yang sama untuk memproduksi bioetanol sesuai
dengan yield yang diinginkan. Diperlukan banyak usaha untuk
memproduksi butanol menggunakan proses CBP. Secara
keseluruhan, perkembangan mikroorganisme CBP adalah inti dari
proses CBP.
Tabel 1.4 Produksi Biobutanol dari Berbagai Macam Substrat
Konsen- Yield
Proses Produktivi-
trasi Butanol
Mikroorganisme Fermen- Substrat tas Butanol
Butanol (g/g
tasi (g/L-h)
(g/L) susbtrat)
Acclaimed mixed Jerami 2.92 - 0.042
bacteria SHF Ampas 2.29 - 0.059
microflora tebu
C. thermocellum CBP Kristal 7.9 0.198 0.037
+ C. selulosa
saccharoperbutyl
acetonicum N1-4
C. beijenrinckii SHF Serat 6.4 0.138 0.073
BA101 jagung
C. beihenickii SHF Bonggol 5.6 0.13 0.057
NCIMB8052 jagung
C. SHF Pati sagu 10.4 0.29 0.072
saccharoperbutyl
acetonicum N1-4
C. acetobutylicum SHF Jerami 2.1 1.04 0.017
MTCC 481
C. acetobutylicum SSF Suaeda 3.5 0.101 0.101
ATCC824
C. beijenrickii SSF 7.4 0.113 0.164
Jerami
P260 SHF 8.09 0.193 0.085
C. acetobutylicum SHF 7.05 0.155 0.141
Jerami
ATCC824 SSF 7.05 0.127 0.08
Sumber: Cao et. al. 2016
(Sumber: Cao et. al. 2016)
Gambar 1.4 Proses Fermentasi untuk Produksi Biobutanol dari Lignoselulosa
1.4.3 Kegunaan Produk
Butanol (etil alkohol) adalah alkohol empat karbon yang terutama
digunakan sebagai pelarut, intermediet kimia, dan ekstrak dalam
industri kosmetik dan farmasi dan juga untuk produksi butil akrilat dan
metakrilat. Alkohol ini kadang-kadang dikenal sebagai bio-butanol
ketika diproduksi secara biologis dari fermentasi pati dan bahan baku
gula. Butanol terutama terdiri dari empat struktur isomer, yaitu n-
butanol (n-C4H9OH), sek-butanol (sec-C4H9OH), iso-butanol (iso-
C4H9OH) dan tert-butanol (tert-C4H9OH). Dalam beberapa tahun
terakhir, n-butanol telah menarik perhatian peneliti sebagai biofuel
alternatif untuk bioetanol. Meskipun sebagian besar peneliti dan
industri sebelumnya berfokus pada etanol sebagai bahan bakar daripada
butanol, butanol bisa menjadi pilihan langsung yang lebih baik. Alkohol
rantai lurus (n-butanol) dianggap sebagai biofuel generasi berikutnya
karena banyak keunggulan dibandingkan etanol (lihat Tabel 1), seperti
kandungan energi yang lebih tinggi, volatilitas yang lebih rendah, dan
tidak mudah menyerap kelembaban. Keuntungan lain yang
ditambahkan adalah atom karbon butanol dua kali lipat dari etanol.
Diketahui bahwa semakin tinggi jumlah atom karbon, semakin banyak
energi yang terkandung (sekitar 30% lebih banyak energi) dalam
butanol dibandingkan dengan etanol (Ndaba, 2015).
Tabel 1.5 Karakteristik Butanol Dibandingkan dengan Etanol
Karakteristik Etanol Butanol
Formula C2H5OH C4H9OH
Titik didih (°C) 78 118
Densitas energi
26.9 33.1
(MJ/kg)
Air fuel ratio 9.0 11.2
Research octane
129 96
number
Motor octane number 102 78
Panas penguapan
0.92 0.43
(MJ/kg)
Sumber: Ndaba, 2015
STRATEGI UNTUK MENINGKATKAN BUTANOL DARI
LIGNOSELULOSA
Detoksifikasi inhibitor
Selain gula monomer diproduksi selama pretreatmentdan
langkah-langkah hidrolisis, beberapa produk degradasi yang tidak
diinginkan, termasuk asam alifatik (asam asetat, formik dan levulinat),
turunan furan (furfural, 5-hydroxymethyl-furfural (5-HMF)), dan
fenolik senyawa (seperti asam syringaldehyde, ferulic dan pcoumaric),
juga dihasilkan. Inhibitor ini telah diidentifikasi memberikan pengaruh
besar pada keefektifan konversi biomassa, penghilangan senyawa
inhibitor ini sebelum fermentasi. Oleh karena itu penghilangan senyawa
inhibitor penting untuk keberhasilan produksi biofuel. Metode
tradisional untuk menghilangkan inhibitor sebagian besar
menggunakan proses adsorpsi, ekstraksi, pengendapan, dan
kombinasinya, misalnya, vacuum evaporation dan overliming
menggunakan kalsium hidroksida.
Biologic abetement (atau bio-abatement) dapat menjadi metode
alternatif
untuk mengurangi senyawa inhibitor dari biomassa hidrolisat.
Bioabatement, di mana inhibitor dihilangkan oleh metabolisme
mikroba, memiliki keuntungan mengobati campuran cair-padat tanpa
membutuhkan pemasukan bahan kimia dan tanpa pemborosan bahan
kimia.
Cao et. al. memanfaatkan jamur, Coniochaeta ligniaria
NRRL30616, untuk memperlakukan asam encer dan cairan air panas
yang diberi perlakuan awal minuman keras dan menemukan
kebanyakan asetat dan lebih dari 50% HMF, furfural, dan senyawa
fenolik berhasil dihilangkan. Meskipun detoksikasi untuk
menghilangkan inhibitor dari hidrolisat lignoselulosa telah terbukti
meningkatkan fermentabilitas, hanya sebagian inhibitor yang
dihilangkan dalam banyak kasus.
Jadi, pemilihan metode detoksifikasi yang tepat bergantung pada
jenis hidrolisat yang akan diperlakukan sehubungan dengan efisiensi
detoksifikasi pada jenis hidrolisat dan fermentasi mikroorganisme yang
digunakan dalam produksi butanol berkenaan dengan inhibitor mana
yang perlu dihilangkan.

1.4.4 Sifat Fisis dan Kimia


1.4.4.1 Bahan Baku
a. Tandan Kosong Kelapa Sawit
Tandan kosong kelapa sawit merupakan limbah
utama dari industri pengolahan kelapa sawit. Tandan kelapa
sawit merupakan bagian dari pohon kelapa sawit yang
berfungsi sebagai tempat untuk buah kelapa sawit. Setiap
tandan mengandung 62 – 70% buah dan sisanya adalah
tandan kosong yang belum termanfaatkan secara optimal
(Naibaho, 1998 dalam Ningsih, 2012).
Padahal tandan kosong kelapa sawit berpotensi untuk
dikembangkan menjadi barang yang lebih berguna, salah
satunya menjadi bahan baku bioetanol. Hal ini karena
tandan kosong kelapa sawit banyak mengandung selulosa
yang dapat dihirolisis menjadi glukosa kemudian
difermentasi menjadi bioetanol. Kandungan selulosa yang
cukup tinggi yaitu sebesar 45% menjadikan kelapa sawit
sebagai prioritas untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan bioetanol (Aryafatta, 2008).
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan
limbah utama dari industri pengolahan kelapa sawit. Basis
satu ton tandan buah segar (TBS) yang diolah akan
dihasilkan minyak sawit kasar (CPO) sebanyak 0,21 ton
(21%) serta minyak inti sawit (PKO) sebanyak 0,05 ton (5%)
dan sisanya merupakan limbah dalam bentuk tandan buah
kosong, serat, dan cangkang biji yang jumlahnya masing-
masing 23%, 13,5%, dan 5,5% dari tandan buah segar
(Darnoko cit Anwar, 2008 dalam Toiby, 2015).
Tabel 1.? Kandungan Unsur Hara dalam Tandan Kosong Kelapa Sawit
C N P K C/N Mg B Cu Zn
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
42,8 0,80 0,22 2,90 9,4 0,30 10 23 51
(Sumber: Damorsarkoro dan Winarna, 2007)

b. Bakteri mungkin
c. Lalala
1.4.4.2 Produk
1.4.5 Tinjauan Proses Secara Umum
Secara umum proses yang dilakukan adalah hidrolisa dan fermentasi.
1.5 Kegunaan Produk
Meskipun Biobutanol memiliki banyak manfaat di antaranya dapat
digunakan sebagai Produk yang dihasilkan yaitu Biobutanol mempunyai
manfaat sebagai sumber energi terbarukan untuk bahan bakar kendaraan
bermotor (fuel gade). Biobutanol ini diproduksi untuk pengganti bahan bakar
konvensional dari fossil. Pada penggunaannya, biobutanol dapat digunakan
langsung atau dicampur dengan gasoline tanpa harus mengubah jenis mesin
pada kendaraan bermotor yang sudah ada saat ini dan cara mensulplainya pun
bisa menggunakan pipa untuk gasoline yang sudah ada sekarang (Cao et. al.,
2016).

Anda mungkin juga menyukai