Anda di halaman 1dari 9

A.

Teknik Autopsi

Terdapat empat teknik autopsi dasar yang dikenal dalam pembedahan mayat

namun pada umumnya setiap teknik autopsi hanya memiliki sedikit perbedaan

atau merupakan modifikasi dari empat teknik autopsi dasar tersebut. Perbedaan

terutama dalam hal pengangkatan keluar organ, baik dalam hal urutan

pengangkatan maupun jumlah atau kelompok organ yang dikeluarkan pada satu

waktu, serta bidang pengirisan pada organ yang diperiksa.

Adapun keempat teknik autopsi dasar tersebut adalah sebagai berikut3-7 :

1. Teknik Virchow

Teknik ini mungkin merupakan teknik autopsi yang tertua. Setelah

dilakukan pembukaan rongga tubuh, organ – organ dikeluarkan satu persatu dan

langsung diperiksa. Dengan demikian kelainan – kelainan yang terdapat pada

masing – masing organ dapat segera dilihat, namun hubungan anatomik antar

beberapa organ yang tergolong dalam satu sistim menjadi hilang. Dengan

demikian, teknik ini kurang baik bila digunakan pada autopsi forensik, terutama

pada kasus penembakan dengan senjata api dan penusukan dengan senjata tajam,

yang perlu dilakukan penentuan saluran luka, arah serta dalamnya penetrasi yang

terjadi.

2. Teknik Rokitansky

Setelah rongga tubuh dibuka, organ dilihat dan diperiksa dengan melakukan

beberapa irisan in situ, baru kemudian seluruh organ – organ tersebut dikeluarkan

dalam kumpulan – kumpulan organ (en bloc). Teknik ini jarang dipakai karena
tidak menunjukkan keunggulan yang nyata atas teknik lainnya. Teknik ini pun

tidak baik digunakan untuk autopsi forensik.

3. Teknik Letulle

Setelah rongga tubuh dibuka, organ leher, dada, diafragma dan perut

dikeluarkan sekaligus (en masse). Kepala diletakkan di atas meja dengan

permukaan posterior menghadap ke atas. Plexus coeliacus dan kelenjar para aorta

diperiksa, aorta dibuka sampai arcus aortae dan Aa. Renales kanan dan kiridibuka

serta diperiksa.

Aorta diputus di atas muara arteri renalis. Rectum dipisahkan dari sigmoid.

Organ urogenital dipisahkan dari organ lain. Bagian proksimal jejunum diikat

pada dua tempat dan kemudian diputus antara dua ikatan tersebut dan usus dapat

dilepaskan. Esofagus dilepaskan dari trakea, tetapi hubungannya dengan lambung

dipertahankan. Vena cava inferior serta aorta diputus di atas diafragma dan

dengan demikian organ leher dan dada dapat dilepas dari organ perut.

Dengan pengangkatan organ – organ tubuh secara en masse ini, hubungan

antar organ tetap dipertahankan setelah seluruh organ dikeluarkan dari tubuh.

Kerugian teknik ini adalah sukar dilakukan tanpa pembantu, serta agak sukar

dalam penanganan karena panjangnya kumpulan organ – organ yang dikeluarkan

sekaligus.

4. Teknik Ghon

Setelah rongga tubuh dibuka, organ leher dan dada, organ pencernaan

bersama hati dan limpa, organ urogenital diangkat keluar sebagai tiga kumpulan

organ (bloc).
Saat ini berkembang teknik autopsi yang merupakan modifikasi dari teknik

Letulle. Organ tidak dikeluarkan secara en masse, tetapi dalam 2 kumpulan.

Organ leher dan dada sebagai satu kumpulan, organ perut serta urogenital sebagai

kumpulan yang lain, setelah terlebih dahulu usus diangkat mulai dari perbatasan

duodenojejunal sampai perbatasan rectosigmoid.

Gambar 1. Skema Perbedaan Teknik Autopsi

(Diambil dari kepustakaan no.3)

1. Tes emboli udara

 Buat sayatan ”I”, dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah sampai

ke symphisis pubis,

 Potong rawan iga mulai dari iga ke-3 kiri dan kanan, pisahkan rawan iga

dan tulang dada keatas sampai ke perbatasan antara iga ke-2 dan iga ke-3,

 Potong tulang dada setinggi perbatasan antara tulang iga ke-2 dan ke-3,

 Setelah kandung jantung tampak, buat insisi pada bagian depan kandung

jantung dengan insisi ”I”, sepanjang kira-kira 5-7 sentimeter; kedua ujung

sayatan tersebut dijepit dan diangkat dengan pinset (untuk mencegah air

yang keluar)
 Masukkan air ke dalam kandung jantung, melalui insisi yang telah dibuat

tadi, sampai jantung terbenam; akan tetapi bila jantung tetap terapung, maka

hal ini merupakan pertanda adanya udara dalam bilik jantung,

 Tusuk dengan pisau organ yang runcing, tepat di daerah bilik jantung kanan,

yang berbatasan dengan pangkal a. Pulmonalis, kemudian putar pisau itu 90

derajat; gelembung-gelembung udara yang keluar menandakan tes emboli

hasilnya positif,

 Bila tidak jelas atau ragu-ragu, lakukan pengurutan pada a. Pulmonalis,

ke arah bilik jantung, untuk melihat keluarnya gelembung udara,

 Bila kasus yang dihadapi adalah kasus abortus, maka pemeriksaan

dengan prinsip yang sama, dilakukan mulai dari rahim dan berakhir pada

jantung,

 Semua yang disebut di atas adalah untuk melakukan tes emboli

pulmoner, untuk tes emboli sistemik, pada prinsipnya sama, letak

perbedaannya adalah pada tes emboli sistemik tidak dilakukan

penusukan ventrikel, tetapi sayatan melintang pada a. Coronaria sinistra

ramus desenden, secara serial beberapa tempat, dan diadakan pengurutan

atas nadi tersebut, agar tampak gelembung kecil yang keluar,

 Dosis fatal untuk emboli udara pulmoner 150-130 ml, sedangkan untuk

emboli sistemik hanya beberapa ml.

Emboli udara, baik yang sistemik maupun emboli udara pulmoner, tidak

jarang terjadi.Pada emboli sistemik udara masuk melalui pembuluh vena yang ada
di paru-paru, misalnya pada trauma dada dan trauma daerah mediastinum yang

merobek paru-paru dan merobek pembuluh venanya.

Emboli pulmoner adalah emboli yang tersering, udara masuk melalui

pembuluh-pembuluh vena besar yang terfiksasi, misalnya pada daerah leher

bagian bawah, lipat paha atau daerah sekitar rahim (yang sedang hamil); dapat

pula pada daerah lain, misalnya pembuluh vena pergelangan tangan sewaktu

diinfus, dan udara masuk melalui jarum infus tadi. Fiksasi ini penting, mengingat

bahwa tekanan vena lebih kecil dari tekanan udara luar, sehingga jika ada robekan

pada vena, vena tersebut akan menguncup, hal ini ditambah lagi dengan

pergerakan pernapasan, yang ”menyedot”.

2. Tes Apung Paru-paru

 Keluarkan alat-alat dalam rongga mulut, leher dan rongga dada dalam

satu kesatuan, pangkal dari esophagus dan trakea boleh diikat.

 Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada bak yang berisi air.

 Bila terapung lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang

kanan.

 Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan

pemisahan masing-masing lobus, kanan terdapat lima lobus dan kiri dua

lobus.

 Apungkan semua lobus tersebut, catat yang mana yang tenggelam dan

mana yang terapung.

 Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong

dengan ukuran 5 mm x 5 mm, dari tempat yang terpisah dan perifer.


 Apungkan ke 25 potongan kecil-kecil tersebut, bila terapung, letakkan

potongan tersebu pada dua karton, dan lakukan penginjakan dengan

menggunakan berat badan, kemudian dimasukkan kembali ke dalam air.

 Bila terapung berarti tes apung paru positif, paru-paru mengandung

udara, bayi tersebut pernah dilahirkan hidup.

 Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan

partial, bayi tetap pernah dilahirkan hidup.

Tes apung paru-paru dikerjakan untuk mengtahui apakah bayi yang

diperiksa itu pernah hidup. Untuk melaksanakan test ini, persyaratannya sama

dengan test emboli udara, yakni mayatnya harus segar. Cara melakukan tes apung

paru-paru:

Tes Pada Pneumothoraks

 Buka kulit dinding dada pada bagian yang tertinggi dari dada, yaitu

sekitar iga ke 4 dan 5 ( udara akan berada pada tempat yang tertinggi ),

 Buat ”kantung” dari kulit dada tersebut mengelilingi separuhnya dari

daerah iga 4 dan 5 ( sekitar 10 x 5 cm )

 Pada kantung tersebut kemudian diisi air, dan selanjutnya tusuk dengan

pisau, adanya gelembung udara yang keluar berarti ada pneumothorax;

dan bila diperiksa paru-parunya, paru-paru tersebut tampak kollaps,

 Cara lain; setelah dibuat kantung , kantung ditusuk dengan spuit besar

dengan jarum besar yang berisi air separuhnya pada spuit tersebut; bila

ada pneumothorax, tampak gelembung-gelembung udara pada spuit tadi.


Pada trauma di daerah dada, ada kemungkinan jaringan paru robek,

sedemikian rupa sehingga terjadi mekanisme ”ventil” di mana udara yang masuk

ke paru-paru akan diteruskan ke dalam rongga dada, dan tidak dapat keluar

kembali, sehingga terjadi kumulasi udara, dengan akibat paru-paru akan kolaps

dan korban akan mati. Diagnosa pneumothorax yang fatal semata-mata atas dasar

test ini, bila test ini tidak dilakukan, diagnosa sifatnya hanya dugaan. Cara

melakukan test ini adalah sebagai berikut:

3. Tes Alpha Naphthylamine

 Kertas saring Whatman direndam dalam larutan alpha-naphthylamine,

dan keringkan dalamoven, hindari jangan sampai terkena sinar matahari,

 Pakaian yang akan diperiksa, yaitu yang diduga mengandung butir-butir

mesiu, dipotong dan di atasnya diletakkan kertas saring yang telah diberi

alpha-naphthylamine,

 Di atas kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine tadi ditaruh

lagi kertas saring yang dibasahi oleh aquadest,

 Keringkan dengan cara menyeterika tumpukan tersebut, yaitu kain yang

akan diperiksa, kertas yang mengandung alpha-naphthylamine dan kertas

saring yang basah,

 Test yang positif akan terbentuk warna merah jambu (pink colour), pada

kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine; bintik-bintik

merah jambu tadi sesuai dengan penyebaran butir-butir mesiu pada

pakaian. Test ini dilakukan untuk mengetahui adanya butir-butir mesiu

khususnya pada pakaian korban penembakan.


Setelah otopsi selesai, semua organ tubuh dimasukkan kembali ke dalam

rongga tubuh. Lidah dikembalikan ke dalam rongga mulut sedangkan jaringan

otak dikembalikan ke dalam rongga tengkorak. Jahitkan kembali tulang dada dan

iga yang dilepaskan pada saat membuka rongga dada. Jahitkan kulit dengan rapi

menggunakan benang yang kuat, mulai dari dagu sampai ke daerah simfisis. Atap

tengkorak diletakkan kembali pada tempatnya dan difiksasi dengan menjahit otot

temporalis, baru kemudian kulit kepala dijahit dengan rapi. Bersihkan tubuh

mayat dari darah sebelum mayat diserahkan kembali pada pihak keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

1. Finkbeiner WE, Ursell PC, Davis RL. The Autopsy Past And Present dalam
Autopsy Pathology A Manual And Atlas 2nd Edition. Philadelphia :
Saunders;2009.Hal.1-11

2. Sadelman HC. The Autopsy dalam Kobilinsky L: editor : Forensic Medicine.


New York : Chelsea House Publisher;2007.Hal. 28 – 34
3. Tim Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Teknik Autopsi Forensik.
Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik FKUI;2010.Hal.1 – 45

4. Shepherd R. The Autopsy dalam Simpson’s Forensic Medicine 12th Edition.


London : Arnold – Hodder Headline Group;2003.Hal.34 – 5

5. Sheaff MT, Hopster DJ. General Inspection and Initial Stages of Evisceration
dalam Post Mortem Technique Handbook 2nd Edition. London :
Springer;2005.Hal.56 – 81

6. ----------------------------------. Evisceration Technique dalam Post Mortem


Technique Handbook 2nd Edition. London : Springer;2005.Hal 82 – 110

7. Ludwig J. Principles of Autopsy Techniques. Immediate, and Restricted


Autopsies, and Other Special Procedures dalam Handbook of Autopsy Practice
3rd Edition. New Jersey : Human Press;2002.Hal.3

8. Finkbeiner WE, Ursell PC, Davis RL. Basic Postmortem Examination dalam
Autopsy Pathology A Manual And Atlas 2nd Edition. Philadelphia :
Saunders;2009.Hal.34-55

9. Collins KA, Hutchins GM. An Introduction To Autopsy Technique : Step-by-


Step Diagram. College of American Pathologists : Advancing
Excellence;2005.Hal.1-22

10. Mozayani A. Toxicology in The Crime Laboratory. In: Mozayani A,


Noziglia C, editors. The Forensic Laboratory Handbook Procedures and
Practice. New Jersey: Humana Press; 2006.p.249-264

Anda mungkin juga menyukai