Anda di halaman 1dari 10

PAPER

Syok hipovolemik
Disusun Untuk Melengkapi Persyaratan Dalam Mengikuti Kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Anastesi

Oleh :

Alwin Kusuma

71170891260

Dokter Pembimbing :

dr. M. Winardi , Sp.AN

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ANASTESIOLOGI


RUMAH SAKIT HAJI MEDAN SUMATERA UTARA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
2018
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Syok Hipovolemik

2.1.1 Definisi

Syok hipovolemik didefinisikan sebagai penurunan perfusi dan oksigenasi


jaringan disertai kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh hilangnya volume
intravaskular akut akibat berbagai keadaan bedah atau medis (Greenberg, 2005).

2.1.2 Etiologi

Penurunan volume intravaskular yang terjadi pada syok hipovolemik dapat


disebabkan oleh hilangnya darah, plasma atau cairan dan elektrolit (Tierney,
2001). Menurut Sudoyo et al. (2009), penyebab syok hipovolemik, antara lain:

1. Kehilangan darah

o Hematom subkapsular hati


o Aneurisma aorta pecah
o Perdarahan gastrointestinal
o Trauma

2. Kehilangan plasma

o Luka bakar luas


o Pankreatitis
o Deskuamasi kulit
o Sindrom Dumping

3. Kehilangan cairan ekstraselular

o Muntah (vomitus)
o Dehidrasi
o Diare
o Terapi diuretik yang agresif
o Diabetes insipidus
o Insufisiensi adrenal

2.1.3 Patofisiologi

Respon dini terhadap kehilangan darah adalah mekanisme kompensasi


tubuh yang berupa vasokonstriksi di kulit, otot, dan sirkulasi viseral untuk
menjaga aliran darah yang cukup ke ginjal, jantung, dan otak. Respon terhadap
berkurangnya volume sirkulasi akut yang berkaitan dengan trauma adalah
peningkatan detak jantung sebagai usaha untuk menjaga cardiac output. Dalam
banyak kasus, takikardi adalah tanda syok paling awal yang dapat diukur
(American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pelepasan katekolamin endogen akan meningkatkan tahanan vaskular


perifer. Hal ini akan meningkatkan tekanan darah diastolik dan menurunkan
tekanan nadi tetapi hanya sedikit meningkatkan perfusi organ. Hormon-hormon
lainnya yang bersifat vasoaktif dilepaskan ke sirkulasi selama kondisi syok,
termasuk histamin, bradikinin, dan sejumlah prostanoid dan sitokin-sitokin
lainnya. Substansi-substansi ini mempunyai pengaruh besar terhadap
mikrosirkulasi dan permeabilitas vaskular (American College of Surgeons
Committee on Trauma, 2008).

Pada syok perdarahan yang dini, mekanisme pengembalian darah vena


dilakukan dengan mekanisme kompensasi dari kontraksi volume darah dalam
sistem vena yang tidak berperan dalam pengaturan tekanan vena sistemik. Namun
kompensasi mekanisme ini terbatas. Metode yang paling efektif dalam
mengembalikan cardiac output dan perfusi end-organ adalah dengan menambah
volume cairan tubuh/darah (American College of Surgeons Committee on
Trauma, 2008).

Pada tingkat selular, sel-sel dengan perfusi dan oksigenasi yang tidak
memadai mengalami kekurangan substrat esensial yang diperlukan untuk proses
metabolisme aerobik normal dan produksi energi. Pada tahap awal, terjadi
kompensasi dengan proses pergantian menjadi metabolisme anaerobik yang
mengakibatkan pembentukan asam laktat dan berkembang menjadi asidosis
metabolik. Bila syok berkepanjangan dan pengaliran substrat esensial untuk
pembentukan ATP tidak memadai, maka membran sel akan kehilangan
kemampuan untuk mempertahankan kekuatannya dan gradien elektrik normal pun
akan hilang (American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Pembengkakan retikulum endoplasma adalah tanda struktural pertama dari


hipoksia seluler, menyusul segera kerusakan mitokondria, robeknya lisosom, dan
lepasnya enzim-enzim yang mencerna elemen-elemen struktur intraseluler
lainnya. Natrium dan air masuk ke dalam sel dan terjadilah pembengkakan sel.
Penumpukan kalium intraseluler juga terjadi. Bila proses ini tidak membaik, maka
akan terjadi kerusakan seluler yang progresif, penambahan pembengkakan
jaringan, dan kematian sel. Proses ini meningkatkan dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi jaringan (American College of Surgeons Committee on Trauma,
2008).

2.1.4 Gejala Klinis

Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat


nonperdarahan serta perdarahan adalah sama meskipun ada sedikit perbedaan
dalam kecepatan timbulnya syok (Baren et al., 2009).

Gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan
darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat
dikompensasi oleh tubuh. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak
mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara
umum, syok hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan
nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek,
ujung-ujung ekstremitas dingin, dan pengisian kapiler lambat (Hardisman, 2013).

Pasien hamil bisa saja menunjukkan tanda dan gejala syok hipovolemik
yang atipikal hingga kehilangan 1500 ml darah tanpa terjadi perubahan tekanan
darah (Strickler, 2010). Keparahan dari syok hipovolemik tidak hanya tergantung
pada jumlah kehilangan volume dan kecepatan kehilangan volume, tetapi juga
usia dan status kesehatan individu sebelumnya (Kelley, 2005).

Secara klinis, syok hipovolemik diklasifikasikan menjadi ringan, sedang dan


berat. Pada syok ringan, yaitu kehilangan volume darah 20%, vasokonstriksi dimulai dan
distribusi aliran darah mulai terhambat. Pada syok sedang, yaitu kehilangan volume
darah 20-40%, terjadi penurunan perfusi ke beberapa organ seperti ginjal, limpa, dan
pankreas. Pada syok berat, dengan kehilangan volume darah lebih dari 40%, terjadi
penurunan perfusi ke otak dan jantung (Kelley, 2005).

Perubahan dari syok hipovolemik ringan menjadi berat dapat terjadi bertahap atau
malah sangat cepat, terutama pada pasien lanjut dan yang memiliki penyakit berat
(Baren et al., 2009).

2.1.5 Diagnosa

Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa


ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan (Baren et
al., 2009). Ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok
hipovolemik berupa penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah,
peningkatan tahanan pembuluh darah, dan penurunan tekanan vena sentral
(Leksana, 2015).
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya
syok hipovolemik tersebut dapat berupa pemeriksaan pengisian dan frekuensi
nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-ujung jari, suhu
dan turgor kulit (Hardisman, 2013).

Berdasarkan persentase volume kehilangan darah, syok hipovolemik dapat


dibedakan menjadi 4 tingkatan atau stadium:

Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya


mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awal-awal
terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf simpatis yang
mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan
demikian, pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun
kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuluh perifer sehingga terjadi
penurunan diastolik dan penurunan tekanan nadi. Oleh sebab itu, pemeriksaan
klinis yang seksama sangat penting dilakukan karena pemeriksaan yang hanya
berdasarkan pada perubahan tekanan darah sistolik dan frekuensi nadi dapat
menyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosa dan penatalaksanaan
(Harisman, 2013).

Setelah pemeriksaan fisik dilakukan, langkah diagnosis selanjutnya tergantung


pada penyebab yang mungkin pada hipovolemik dan stabilitas dari kondisi pasien
itu sendiri. Pemeriksaan laboratorium awal yang mungkin ditemukan pada
keadaan syok hipovolemik, antara lain (Schub dan March, 2014):

1. Complete Blood Count (CBC), mungkin terjadi penurunan hemoglobin,


hematokrit dan platelet.
2. Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan adanya
disfungsi ginjal. 3. Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan
abnormalitas.
3. Produksi urin, mungkin

Untuk pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara


lain (Kolecki dan Menckhoff, 2014):

1. Ultrasonografi, jika dicurigai terjadi aneurisma aorta abdominalis.


2. Endoskopi dan gastric lavage, jika dicuriga adanya perdarahan
gastrointestinal.
3. Pemeriksaan FAST, jika dicurigai terjadi cedera abdomen.
4. Pemeriksaan radiologi, jika dicuriga terjadi fraktur.

2.1.6 Komplikasi

Komplikasi dari syok hipovolemik meliputi sepsis, sindrom gawat napas


akut, koagulasi intravaskular diseminata, kegagalan multiorgan, hingga kematian
(Greenberg, 2005).

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal pada syok hipovolemik meliputi penilaian ABC,


yaitu pada airway dan breathing, pastikan jalan napas paten dengan ventilasi dan
oksigenasi yang adekuat. Pemberian oksigen tambahan dapat diberikan untuk
mempertahankan saturasi oksigen di atas 95%. Pada circulation, hal utama yang
perlu diperhatikan adalah kontrol perdarahan yang terlihat, lakukan akses
intravena, dan nilai perfusi jaringan (American College of Surgeons Committee
on Trauma, 2008).

Akses intravena dilakukan dengan memasang 2 kateter intravena ukuran


besar (minimal nomor 16) pada vena perifer. Lokasi terbaik untuk intravena
perifer pada orang dewasa adalah vena di lengan bawah atau kubiti. Namun, bila
keadaan tidak memungkinkan pada pembuluh darah perifer, maka dapat
digunakan pembuluh darah sentral. Bila kaketer intravena sudah terpasang, contoh
darah diambil untuk pemeriksaan golongan darah dan crossmatch, pemeriksaan
laboratorium yang sesuai, dan tes kehamilan pada semua wanita usia subur.
(American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Setelah akses intravena terpasang, selanjutnya dilakukan resusitasi cairan.


Tujuan resusitasi cairan adalah untuk mengganti volume darah yang hilang dan
mengembalikan perfusi organ (Kelley, 2005).

Tahap awal terapi dilakukan dengan memberikan bolus cairan secepatnya.


Dosis umumnya 1-2 liter untuk dewasa. Cairan resusitasi yang digunakan adalah
cairan isotonik NaCl 0,9% atau Ringer Laktat. Pemberian cairan terus dilanjutkan
bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamik (Hardisman, 2013).

Jumlah darah dan cairan yang diperlukan untuk resusitasi sulit diprediksi
dalam evaluasi awal pasien. Namun, Tabel 2.2 dapat menjadi panduan untuk
menentukan kehilangan volume darah yang harus digantikan. Adalah sangat
penting untuk menilai respon pasien terhadap resusitasi cairan dengan adanya
bukti perfusi dan oksigenasi yang adekuat, yaitu produksi urin, tingkat kesadaran,
dan perfusi perifer serta kembalinya tekanan darah yang normal (American
College of Surgeons Committee on Trauma, 2008).

Jika setelah pemberian cairan tidak terjadi perbaikan tanda-tanda


hemodinamik, maka dapat dipersiapkan untuk memberi transfusi darah
(Harisman, 2013). Tujuan utama transfusi darah adalah untuk mengembalikan
kapasitas angkut oksigen di dalam intravaskular (American College of Surgeons
Committee on Trauma, 2008).

Untuk melakukan transfusi, harus didasari dengan jumlah kehilangan


perdarahan, kemampuan kompensasi pasien, dan ketersediaan darah. Jika pasien
sampai di IGD dengan derajat syok yang berat dan golongan darah spesifik tidak
tersedia, maka dapat diberikan tranfusi darah dengan golongan O. Golongan darah
spesifik biasanya dapat tersedia dalam waktu 10-15 menit (Kelley, 2005).

Evaluasi harus dilakukan untuk melihat perbaikan pasien syok


hipovolemik. Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif dari
perfusi ginjal karena menandakan aliran darah ke ginjal yang adekuat. Jumlah
produksi urin yang normal sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa
(American College of Surgeons Committee on Trauma, 2008). Defisit basa juga
dapat digunakan untuk evaluasi resusitasi, prediksi morbiditas serta mortalitas
pada pasien syok hipovolemik (Privette dan Dicker, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta

American College of Surgeons Committee on Trauma. 2008. Shock. In:


Advanced Trauma Life Support for Doctors (Student Course Manual).
8th Edition. USA: American College of Surgeons.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta: Rineka Cipta.

Baren, J. M., Rothrock, S. G., Brennan, J. A., and Brown, L. 2007. Circulatory
Emergencies: Shock. In: Pediatric Emergency Medicine. 1st Edition.
Philadelphia: Elsevier Saunders.

Greenberg, M. I. 2005. Hypovolemic Shock. In: Greenberg's Text Atlas of


Emergency Medicine. Philadelphia: Lippicott Williams & Willkins.

Kelley, D. M. 2005. Hypovolemic Shock: An Overview. Critical Care Nursing


Quarterly. 28(1): 2-19.

Kolecki, P. and Menckhoff, C. R. 2014. Hypovolemic Shock. Medscape


Reference. http://emedicine.medscape.com/article/760145-overview.
Diakses pada tanggal 15 Mei 2015.

Anda mungkin juga menyukai