Anda di halaman 1dari 17

PEMANFAATAN KULIT DAN BIJI DURIAN (Durio

zibethinus) SEBAGAI BAHAN DASAR EDIBLE FILM PADA


BUAH STROBERI

I.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makanan terutama buah-buahan umumnya dikonsumsi sebagai penghasil
vitamin dan mineral. Buah-buahan banyak ditemukan di pasar, swalayan, mall
dan di tempat lainnya. Umumnya daya simpan buah relatif rendah sehingga jika
tidak dilakukan pengemasan akan cepat mengalami pembusukan dan tidak dapat
dikonsumsi lagi. Memang buah-buahan dan produk hortikultur lainnya memiliki
sifat khas, yaitu cepat rusak dan masih terus berespirasi setelah dipanen kemudian
akan mengalami penguraian kandungan nutrisinya (Wahyono, 2009). Salah
satunya buah yang cepat membusuk adalah stroberi (Fragaria sp). Sementara
spesies lainnya yaitu Fragaria vesca L. tersebar lebih luas dibandingkan spesies
lainnya. Jenis stroberi Fragaria vesca yang pertama kali masuk di Indonesia
(Mu’min, 2012). Stroberi adalah tanaman subtropis yang dapat beradaptasi
dengan baik di dataran tinggi tropis yang memiliki temperatur 17-20°C dan
disertai dengan curah hujan 600-700 mm/tahun (Dwipayana, 2016). Stroberi
adalah satu di antara buah-buahan yang tergolong klimaterik, yaitu buah yang
proses respirasinya terjadi selama pematangan, sehingga memiliki peningkatan
CO2 yang mendadak. Adapun buah yang tergolong non-klimaterik yaitu repirasi
CO2 pada buah tersebut semakin menurun (Wahyono, 2009). Selain itu, gas-gas
yang berperan utama selama pascapanen adalah O2 dan etilen (Widodo, 2005).

Padahal, perkembangan komoditi buah stroberi di Indonesia berjalan cukup


pesat.Hal ini didukung oleh introduksi buah stroberi yang dapat tumbuh dan
bereproduksi baik dalam kondisi iklim di Indonesia khususnya dataran tinggi
(Hanif dan Ashari, 2013). Akan tetapi pada tahun 2012, Data Badan Pusat Statistik
(BPS) mencatat impor stroberi di Indonesia mencapai 210 ton dengan nilai
$480.602 yang setara dengan Rp 4.325.418.000. Dari data tersebut dapat
dikatakan Indonesia belum dapat mencukupi kebutuhan stroberi dalam negeri. Hal
ini berarti tingginya permintaan stroberi di Indonesia tidak dapat diimbangi dengan
produksi stroberi serta kualitas stroberi di Indonesia sehingga harganya menjadi tidak
stabil (Susianti, 2015). Permasalahan pascapanen stroberi saat ini adalah rantai pasok
yang panjang dan tidak adanya dukungan teknologi yang memadai sehingga buah stroberi
mudah rusak (perishable) selama proses transportasi. Buah stroberi pada suhu ruang
normal rusak setelah 3-4 hari panen dan varietas tertentu justru ada yang hanya bertahan 1
hari saja (Lestari, 2016). Usaha untuk mempertahankan kualitas stroberi dan memperoleh
umur simpan yang lebih panjang yang ditawarkan oleh penulis yaitu menggunakan edible
film berbahan dasar biji dan kulit durian sebagai alternatif pengemasan buah stroberi
untuk meningkatkan masa simpan. Edible film merupakan suatu lapisan tipis yang
melapisi buah dan dapat terdegradasi oleh alam secara biologis serta dapat dikonsumsi
karena terbuat dari nabati. (Kusumawati, 2013). Salah satu bahan dasar yang dapat
digunakan sebagai edible film adalah pati (Maulana, 2009).

Durian (Durio zibethinus) yang dijuluki “The King of Fruit” merupakan


salah satu buah cukup populer di Indonesia. Buah yang memiliki rasa dan aroma
yang khas ini sangat digemari oleh sebagian banyak orang. Rasa buahnya yang
manis dan aroma harum buahnya menjadi daya tarik tersendiri bagi pencinta
durian. Warna daging buahnya bervariasi, ada yang berwarna putih, kuning, dan
oranye serta buah ini dilengkapi dengan adanya kandungan kalori, vitamin, lemak,
dan protein. Akan tetapi kurang dalam hal pemanfaatannya (Darmawan, 2013).
Tanaman durian berasal dari hutan Malaysia, Sumatra, dan Kalimantan yang
berupa tanaman liar. Penyebaran durian ke arah Barat adalah ke Thailand, Birma,
India dan Pakistan (Sejati, 2015). Buah durian sudah dikenal di Asia Tenggara
sejak abad 7 M. Ada puluhan durian yang diakui keunggulannya oleh Menteri
Pertanian dan disebarluaskan kepada masyarakat untuk dikembangkan.

Macam varietas durian tersebut adalah: durian Sukun (Jawa Tengah),


Petruk (Jawa Tengah), Si Tokong (Betawi), Si Mas (Bogor), Sunan (Boyolali),
Otong (Thailand), Kani (Thailand), Si Dodol (Kalimantan Selatan), Si Japang
(Betawi) dan Si Hijau (Kalimantan Selatan) (Rofaida, 2008). Indonesia memiliki
potensi besar untuk pasaran ekspor durian. Hal ini disebabkan karena durian lokal
memiliki penampakan luar, ukuran buah, warna daging buah, dan aroma yang
tidak kalah dari durian impor. Setidaknya ada 22 varietas durian unggul, dan
sepanjang tahun Indonesia memiliki masa panen durian (Wahyono, 2009).
Produksi durian di Indonesia sendiri semakin meningkat. Menurut data dari Badan
Pusat Statistik dan Direktorat Jenderal Hortikultura sendiri, produksi durian tahun
2014 adalah 859.118, sedangkan di tahun 2015 meningkat menjadi 1.020.595 ton.
Di Kalimantan Barat sendiri, produksi durian mencapai 23.650 ton pada tahun
2015.
Selama ini, bagian buah durian yang lebih umum dikonsumsi adalah
bagian salut buah atau dagingnya. Persentase berat bagian ini termasuk rendah
yaitu hanya 20-35%. Hal ini berarti kulit (60-75%) dan biji (5-15%) belum
termanfaatkan secara maksimal (Wahyono, 2009). Umumnya kulit dan biji
menjadi limbah yang hanya sebagian kecil dimanfaatkan sebagai pakan ternak,
bahkan sebagian besar dibuang begitu saja. Dari bijinya, kita dapat merebus atau
membakarnya dan dapat dijadikan camilan sehat karena mengandung pati yang
sangat tinggi (Djaeni, 2010).

Tapi perlu diingat, tidak diperbolehkan memakan biji mentah dari buah
yang berasal dari genus Durio ini, karena asam lemak siklopropena
(cyclopropene) yang terkandung dalam biji durian bersifat racun bagi tubuh
(Ferawati, 2015) Padahal jika diolah lebih lanjut biji durian dapat bermanfaat
lebih sebagai bahan baku berbagai hal yang tentunya akan memberikan nilai
tambah (Prasetyaningrum, 2010). Biji dari tanaman yang famili Bombacaceae
kaya akan karbohidrat terutama patinya yang cukup tinggi sekitar 42,1%
dibanding dengan ubi jalar (27,9%) atau singkong (34,7%). Pati adalah bahan
kimia utama komponen tepung biji durian, yang terdiri dari sekitar 56% dari berat
kering (Pimpa, 2015)
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana sifat fisik dan sifat mekanik edible film berbahan dasar kulit dan
biji durian (Durio zibethinus)?
2. Bagaimana kemampuan film tersebut dalam menahan berat susut stroberi dan
besar transmisi uap air setelah diaplikasikan?
3. Bagaimana lama waktu edible film dapat terdegradasi oleh mikroba pengurai
dalam keadaan normal (dibiarkan dalam keadaan bebas)?

1.3 Tujuan
1. Mengkaji sifat fisik dan sifat mekanik edible film berbahan dasar kulit dan biji
durian (Durio zibethinus).
2. Mengkaji kemampuan film tersebut dalam menahan berat susut stroberi dan
besar transmisi uap air setelah diaplikasikan.
3. Mengetahui lama waktu edible film dapat terdegradasi oleh mikroba pengurai
dalam keadaan normal (dibiarkan dalam keadaan bebas).
1.4 Manfaat

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai


penggunaan kulit dan biji durian (Durio zibethinus) sebagai bahan dasar
pembuatan edible film untuk buah stroberi.
2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan alternatif pemanfaatan dari kulit
dan biji durian (Durio zibethinus).
3. Diharapkan dengan adanya perpaduan tersebut dapat meningkatkan masa
simpan buah stroberi dan ekspor ke luar daerah dan negeri.
II.KAJIAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Tanaman Durian (Durio zibethinus)

Durian (Durio zibethinus) adalah salah satu buah yang sangat popular di
Indonesia. Buah dengan julukan “The King of fruits” ini termasuk dalam famili
Bombacaceae dan banyak ditemukan di daerah tropis. Nama Durian adalah
diperkirakan berasal dari istilah Melayu yang "Duri" mendapatkan akhiran -an
menjadi durian. Di Indonesia, tanaman durian terdapat di seluruh pelosok Jawa
dan Sumatra. Sedangkan di Kalimantan dan Irian Jaya umumnya hanya terdapat
di hutan. Tiap pohon durian dapat menghasilkan 80 sampai 100 buah, bahkan
hingga 200 buah terutama pada pohon yang tua (Putri, 2011).

Durian (Durio zibethinus) termasuk famili Bombacaceae yang berkerabat


dekat dengan kapuk randu. Durian sudah terkenal dan banyak dibudidayakan.
Namun banyak masyarakat belum mengenal varietas apa yang mereka tanam dan
apakah jenis durian yang mereka tanam termasuk yang unggul (Sidauruk, 2015).
Buah durian berbentuk bulat hingga lonjong atau tidak beraturan, dengan ukuran
kecil sampai besar.

Gambar 2.1 Tanaman Durian (Sobir, 2014)


Buah durian mempunyai duri yang rapat dan tajam, dan pada setiap buah
terdiri dari 5-7 ruang dimana setiap ruang mengandung 2-5 biji. Buah yang sudah
matang, daging buah rasanya manis atau manis kepahit-pahitan disertai aroma
harum khas (Ambarita, 2012).

Pengembangan budidaya durian paling baik dilakukan di daerah dataran


rendah sampai ketinggian 800 meter di atas permukaan laut dan keadaan iklim
basah, suhu udara antara 250-320°C, kelembaban udara (rH) sekitar 50-80%, dan
intensitas cahaya matahari 45-50%. Kedudukan taksonomi tanaman durian dapat
dilihat pada Tabel 2.1. (Darmawan, 2013)

Tabel 2.1 Klasifikasi Tanaman Durian (Darmawan, 2013)


Kingdom Plantae
Kelas Angiospermae
Ordo Agnoliophyta
Famili Bombacea
Genus Durio
Spesies Durio zibethinus

Durian yang dapat dikonsumsi ada sembilan spesies, yaitu D. zibethinus, D. kutejensis
(lai), D. excelsus (apun), D. graveolens (tuwala), D. dulcis (lahong), D. grandiflorus
(sukang), dan D. testudinarum (sekura), D. lowianus (teruntung), dan D.oxleyanus
(kerantungan). Dari sembilan jenis tersebut yang paling banyak dibudidayakan adalah D.
zibethinus (Muliani, 2014).
Tabel 2.2 Kandungan Gizi Buah Durian per 100g Bahan (Darmawan, 2013)
Kandungan Satu Juml
Gizi an ah
Energi Gram 92,6
Protein Gram 0,44
Lemak Gram 2,09
Karbohidrat Mgra 0,17
m
Kalsium Mgra 0,36
m
Fosfor Mgra 0,16
m
Air % 65
Vitamin A SI 175
Vitamin B1 Mgra 0,1
m
Vitamin C Mgra 53
m

2.1.1 Biji Durian

Selama ini, bagian buah durian yang lebih umum dikonsumsi adalah
bagian salut buah atau dagingnya. Presentase berat bagian ini termasuk
rendah yaitu hanya 20-35%. Hal ini berarti kulit (60-75%) dan biji (5-15%)
belum termanfaatkan secara maksimal (Djaeni, 2010).

Gambar 2.2 Biji Durian (Putri, 2015)

Biji durian juga banyak mengandung zat-zat gizi seperti lemak, protein,
karbohidrat dan lain-lain. Kandungan karbohidrat terutama patinya yang cukup
tinggi sekitar 43,6% dibanding dengan ubi jalar 27,9% atau singkong 34,7%
(Handayani, 2015). untuk memperjelas zat yang dikandung oleh biji durian
dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.3 Komposisi Kimia Biji Durian Segar (Putri, 2015)


Komponen Bahan
Karbohidrat 43,6 g
Lemak 0,4 g
Protein 2,6 g
Kalsium 17 mg
Abu 1,9 g

Umumnya kulit dan biji menjadi limbah yang hanya sebagian kecil
dimanfaatkan sebagai pakan ternak, dan bahkan sebagian besar dibuang
begitu saja. Biji durian mentah tidak dapat dimakan karena mengandung
asam lemak siklopropena yang beracun. Asam lemak siklopropena yang
terdapat dalam biji durian akan hilang dengan sendirinya ketika biji durian
direbus atau dipanaskan pada suhu 80°C (Ambarita, 2012).

2.1.2 Kulit Durian

Kulit durian merupakan limbah rumah tangga yang dibuang sebagai


sampah dan tidak memiliki nilai ekonomi, Kulit durian secara proporsional
mengandung unsur selulosa yang tinggi (50-60%) dan kandungan lignin
(5%). (Priyambodo, 2014) Selain itu, Albedo durian yang merupakan bagian
putih dibawah lapisan kulit durian mengandung beberapa gizi seperti terlihat
pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Komposisi Kimia Kulit Durian (Lumbantoruan, 2013)


Komponen Bahan
(%)
Pati 18,5
Gula total 1,85
Ethanol 0,16
Lemak 0,22
Air 57,60
Serat Kasar 19,40
Protein 0,35

Selain itu, limbah kulit durian mengandung sel serabut dengan


dimensi yang panjang serta dinding serabut yang cukup tebal sehingga akan
mampu berikatan dengan baik apabila diberi bahan perekat sintetis atau
bahan perekat mineral. Lebih lanjut disebutkan bahwa apabila dihubungkan
dengan kebiasaan orang-orang tua zaman dulu yang memanfaatkan kulit
durian ini untuk bahan bakar pengusir nyamuk (Darmawan, 2013).
2.2 Pektin

Pektin merupakan produk karbohidrat yang dimurnikan dan diperoleh dari


ekstrak asam encer dari bagian dalam kulit buah jeruk sitrus atau apel, terutama
terdiri dari asam poligalakturonat yang termetoksilasi sebahagian. Berbentuk
serbuk kasar atau halus, berwarna putih kekuningan, hampir tidak berbau dan
memiliki rasa seperti musilago (Syah, 2010). Pektin merupakan senyawa
polisakarida dengan bobot molekul tinggi yang banyak terdapat pada tumbuhan.

Pektin digunakan sebagai pembentuk gel dan pengental dalam pembuatan jelly,
marmalade, makanan rendah kalori dan dalam bidang farmasi digunakan untuk
obat diare (Novitarini, 2015). Kata pektin berasal dari bahasa Latin “pectos” yang
berarti pengental atau yang membuat sesuatu menjadi keras/ padat. Pektin
ditemukan oleh Vauquelin dalam jus buah sekitar 200 tahun yang lalu.

Pada tahun 1790, pektin belum diberi nama. Nama pektin pertama kali digunakan
pada tahun 1824, yaitu ketika Braconnot melanjutkan penelitian yang dirintis oleh
Vauquelin. Braconnot menyebut substansi pembentuk gel tersebut sebagai asam
pektat (Fitria, 2013).
Senyawa-senyawa pektin berfungsi sebagai perekat antara dinding sel
yang satu dengan yang lain. Pektin secara umum terdapat di dalam dinding sel
primer tanaman, khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa
(Lumbantoruan, 2013).

Gambar 2.3 Struktur Kimia Pektin (Taylor, 2014)


2.2.1 Sifat Pektin

Ditinjau dari sifat fisika pektin dapat bersifat koloid reversibel, yaitu
dapat dilarutkan dalam air, diendapkan, dikeringkan dan dilarutkan kembali
tanpa perubahan sifat fisiknya. Pada penambahan air pada pektin kering
akan terbentuk gumpalan seperti pasta yang kemudian menjadi larutan
(Puspitasari, 2017).

Siregar (2014), menyatakan bahwa pektin sebagian besar tersusun


atas metil ester dari asam poligalakturonat dan sodium, potasium, kalsium
dan garam ammonium. Pektin merupakan zat berbentuk serbuk kasar hingga
halus yang berwarna putih, kekuningan, kelabu atau kecoklatan dan banyak
terdapat pada buah-buahan dan sayuran matang.

Berat molekul rata-rata preparat pektin sangat bervariasi, berkisar


antara 30.000 hingga 300.000, tergantung pada sumber, metode pembuatan
dan metode pengukuran. Sedangkan viskositas larutan pektin bergantung
pada berat molekul, derajat esterifikasi, pH, temperatur dan konsentrasi
elektrolit. Peningkatan konsentrasi elektrolit akan menyebabkan
menurunnya viskositas (Yuniarta, 2015).

Pektin digunakan dalam bidang industri makanan dan dalam bidang


farmasi. Dalam bidang makanan pektin digunakan sebagai bahan
pembentuk gel untuk pembuatan jelly. Dimana kemampuan pektin
membentuk gel tergantung pada kandungan gugus metoksilnya.
Kemampuan pektin untuk dapat membentuk gel merupakan sifat yang unik
dari pektin (Haryati, 2014). Kadar metoksil didefinisikan sebagai jumlah
metanol yang terdapat dalam pektin. Pektin disebut bermetoksil tinggi jika
memiliki nilai kadar metoksil sama dengan 7% atau lebih. Jika kadar
metoksil kurang dari 7% maka pektin disebut bermetoksil rendah
(Maulidiyah, 2014).
2.3 Pati

Starch atau pati merupakan polisakarida hasil sintesis dari tanaman hijau
melalui proses fotosintesis. Pati memiliki bentuk kristal bergranula yang tidak
larut dalam air pada temperatur ruangan yang memiliki ukuran dan bentuk
tergantung pada jenis tanamannya. Pati digunakan sebagai pengental dan penstabil
dalam makanan (Indra, 2010). Pati adalah karbohidrat yang terdiri atas amilosa
dan amilopektin (Herawati, 2011).
Amilosa adalah polisakarida berantai lurus (tidak bercabang) dan larut dalam air,
dengan berat molekul berkisar antara 10.000 – 50.000, amilosa ini disusun oleh
sekitar 250-300 unit glukosa yang satu sama ainnya dihubungkan oleh ikatan 1-4
alpha glikosida melalui atom C-1 dan C-4 (Jepro, 2011). Pati merupakan glukan
yang terdiri dari dua macam fraksi. Granula pati tersusun secara berlapis-lapis
mengelilingi nukleus. Pembentukan granula pati dikontrol untuk endogeneus.
Granula pati dapat mengalami perubahan bila dipanaskan. Salah satu perubahan
tersebut adalah gelatinisasi (Wahyono, 2009).

Gambar 2.4 Struktur Molekul Amilosa dan Amilopektin (Jepro, 2011)

Pati yang kadar amilosanya tinggi banyak digunakan untuk berbagai


produk seperti pada edible film yang berfungsi sebagai substrat enzim maupun
sebagai pengikat pada pembuatan tablet (Wahyono, 2009).

2.4 Edible Film

Edible packaging pada bahan pangan pada dasarnya dibagi menjadi tiga
jenis bentuk, yaitu: edible film, edible coating, dan enkapsulasi. Hal yang
membedakan edible coating dengan edible film adalah cara pengaplikasiannya.
Edible coating langsung dibentuk pada produk, sedangkan pada edible film
pembentukannya tidak secara langsung pada produk yang akan dilapisi/dikemas.
Enkapsulasi adalah edible packaging yang berfungsi sebagai pembawa zat flavor
berbentuk serbuk. Edible film didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan
yang ditempatkan di atas atau di antara komponen makanan (Wahyu, 2009)

Film dapat diartikan sebagai lapisan tipis dari material. Biasanya tersusun dari
polimer yang memungkinkan untuk menguatkan secara mekanik pada stand yang
terstruktur. Tiap sheet adalah film yang tipis. Film dapat berbentuk wadah,
bungkus, kapsul, kantong, atau pelindung lapisan luar selama proses di pabrik.
(Fathony dkk., 2011)
Edible film dapat mengontrol kelembaban, oksigen, karbon dioksida, rasa
dan aroma perpindahan antara komponen makanan atau suasana di sekitar
makanan. Edible film dapat digunakan sebagai pembungkus makanan. Film-film
ini bertindak sebagai sistem kemasan baru dan mengontrol pelepasan senyawa
aktif seperti antioksidan, rasa dan agen antimikroba. Penggunaan edible film
dalam perlindungan dan pelestarian makanan baru-baru ini meningkat karena
mereka menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan dengan bahan sintetis,
seperti menjadi biodegradable dan ramah lingkungan (Herawan, 2015).

2.4.1 Bahan Pembuat Edible Film

Komponen penyusun edible film dapat dibagi menjadi tiga macam


yaitu; hidrokoloid, lipida, dan komposit (Wahyu, 2009). Bahan utama
pembentuk edible film adalah biopolimer seperti protein, karbohidrat, lipid
dan campurannya. Sumber protein yang dapat digunakan untuk bahan baku
edible film adalah jagung, gandum, kacang kedelai, gelatin, kolagen dan
sumber protein lainnya. Sumber karbohidrat yang biasa digunakan untuk
bahan edible film adalah pati, alginat, seluosa, dan derivatnya (Herawan,
2015).

Umumnya film yang dibuat dari hidrokoloid memiliki sifat mekanis


yang baik, namun tidak efisien sebagai penahan uap air karena bersifat
hidrofil. Untuk mengatasi hal tersebut pada pembuatan edible film sering
ditambahkan bahan plasticizer. Plastik edible yang dibentuk dari polimer
murni bersifat rapuh sehingga digunakan plastisizer untuk meningkatkan
fleksibilitasnya (Fathony dkk., 2011).

Edible film paling tidak harus mengandung sau komponen yaitu


berat molekul tinggi, terutama bila diharapkan akan membentuk film yang
relatif kuat. Struktur polimer rantai panjang diperlukan untuk menghasilkan
material film dengan kekuatan kohesif yang tepat. Faktor yang
mempengaruhi dalam pembentukan edible film adalah (Wahyudi, 2009):
1. Suhu
Perlakuan panas diperlukan untuk membentuk pati tergelatinasi
sehingga terbentuk pasta pati yang merupakan bentuk awal edible
film. Suhu pemanasan akan menentukan tingkat gelatinisasi yang
terjadi yang pada akhirnya menentukan sifat fisik dari pasta yang
terbentuk.
2. pH
3. Konsentrasi Pati
Konsentrasi pati memberikan kontribusi terhadap kadar amilosa
dalam larutan pati sehingga berpengaruh terhadap sifat pasta yang
dihasilkan
4. Plasticizer
Konsentrasi plasticizer dan bahan aditif lain yang ditambahkan ke
dalam formula film akan berpengauh terhadap sifat film.

2.4.2 Teknik Pembentukan Film

Plastik dan bahan edible lain di kombinasikan dengan film-forming


biopolimer untuk modifikasi properti fisikal atau fungsional pada film. Film
tersusun secara mekanisme dari biopolimer seperti intermolekular seperti
ikatan kovalen (disufida dan rantai silang) dan elektrostastik hidrofobik atau
ion interaksi. Pembuatan edible film berbasis pati dilakukan dengan
mencampur pati alami maupun pati termodifikasi dengan bahan-bahan
tambahan seperti plasticizer, minyak (lipida), dan bahan lainnya, termasuk
bahan aktif/antimikroba (Fathony dkk., 2011).

Produser fabrikasi mengindikasikan susunan film secara mekanisme


dibentuk dalam fabrikasi pada proses pengemasan makanan, yaitu pH
modifikasi, penambahan garam, pemanasan modifikasi enzimatik,
pengeringan menggunakan pelarut makanan bertingkat, dan penambahan
bahan kimia lainnya (Fathony dkk., 2011). Teknik pembentukan film dari
hidrokoloid, yaitu (Wahyudi, 2009):
1. Coacervation
Penggumpalan yang melibatkan pemisahan material pelapis pelapis
biopolimer dari larutan dengan pemanasan, pengubahan pH,
penambahan pelarut atau pengubahan polimer.

2. Penghilangan pelarut
Penghilangan ini dilakukan dengan pengeringan. komponen
penyusun pati yang paling berperan adalah amilosa, karena amilosa
dapat dengan mudah membentuk gel, sedangkan amilopektin
mempunyai percabangan sehingga sulit terbentuk.
2.4.3 Sifat Fisik Edible Film

1. Ketebalan film
Ketebalan sangat mempengaruhi sifat fisik dan mekanik edible
film, seperti tensile strength, elongation, dan water vapor
transmission rate (WVTR). Faktor yang dapat mempengaruhi
ketebalan edible film adalah konsentrasi padatan terlarut pada
larutan pembentuk film dan ukuran pelat pencetak (Anugrah, 2014).
Semakin tinggi konsentrasi padatan terlarut, maka ketebalan film
akan meningkat. Sebagai kemasan, semakin tebal edible film maka
kemampuan penahanannya semakin besar, sehingga umur simpan
produk akan semakin panjang. Edible film dengan gliserol sebagai
plasticizer mempunyai ketebalan paling tipis jika dibandingkan
dengan yang lain, berat molekulnya paling kecil, mempunyai

konsentrasi padatan terlarut paling rendah. Edible film yang terlalu


tebal dapat memberikan efek yang merugikan (Krisna, 2011).
2. Tensile strength (MPa) / kekuatan renggang putus (%)
Tensile Strength adalah ukuran untuk kekuatan film secara spesifik,
merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film tetap
bertahan sebelum putus/sobek (Epriyanti, 2015). Pengukuran ini
untuk mengetahui besarnya gaya yang diperlukan untuk mencapai
tarikan maksimum pada setiap luas area film. Sifat tensile strength
tergantung pada konsentrasi dan jenis bahan penyusun edible film
terutama sifat kohesi struktural. Kohesi struktural adalah
kemampuan polimer untuk menentukan kuat atau tidak ikatan antar
rantai molekul antar rantai polimer (Krisna, 2011).
3. Elongasi
Film dengan bahan dasar pati bersifat rapuh, sehingga makin tinggi
konsentrasi pati akan menurunkan fleksibilitas film yang dihasilkan
(Ramadhan, 2016). Meningkatnya kadar air akan menurunkan
tensile strength film yang tidak menggunakan wax, tetapi dengan
adanya wax akan meningkatkan tensile strength dan menurunkan
elongation. Peningkatan konsentrasi gliserol dan sorbitol tidak
memberi pengaruh secara signifikan terhadap tensile strength film,
tetapi meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas film (Krisna,
2011). Penambahan plasticizer seperti gliserol akan meningkatkan
permeabilitas film terhadap uap air karena gliserol bersifat
hidrofilik (Coniwanti, 2014).
4. Daya larut (%)
Daya larut merupakan salah satu sifat fisik edible film yang
menunjukkan persentase berat kering terlarut setelah dicelupkan
dalam air selama 24 jam. Daya larut film sangat ditentukan oleh
sumber bahan dasar pembuatan film (Aprilia, 2014). Edible film
berbahan dasar pati tingkat kelarutannya dipengaruhi oleh ikatan
gugus hidroksi pati. Makin lemah ikatan gugus hidroksil pati,
makin tinggi kelarutan film. Edible film dengan daya larut yang
tinggi menunjukkan film tersebut mudah dikonsumsi. (Krisna,
2011).

2.5 Gliserol Sebagai Plasticizer


Salah satu kelemahan edible film adalah bersifat rapuh. Plasticizer
merupakan bahan yang sering ditambahkan dalam pembentukan edible film, akan
memperbaiki karakteristik edible film menjadi elastis, fleksibel dan tidak mudah
rapuh (Ningsih, 2015).

Ada beberapa jenis plasticizer yang sering digunakan dalam pembuatan


edible film yaitu: a) mono, di-, dan oligosakarida; b) poliol (seperti gliserol dan
turunannya, polyetilen glikol, sorbitol); dan c) lipid dan turunannya (asam lemak,
monogliserida dan esternya, asetogliserida, pospholipida dan emulsifier lain).
(Krisna, 2011)

Gliserol merupakan salah satu plasticizer yang sering digunakan dalam


pembuatan edible film. Gliserol memiliki berat molekul rendah dan bersifat
hidrofilik. Gliserol adalah plasticizer terbaik untuk polimer yang dapat larut
dalam air di antara beberapa penelitian yang telah dilakukan, didasarkan gliserol
banyak digunakan sebagai plasticizer (Ningsih, 2015). Gliserol adalah plasticizer
dengan titik didih yang tinggi, larut dalam air, polar, nonvolatil dan dapat
bercampur dengan protein. Gliserol lebih cocok digunakan sebagai plasticizer
karena berbentuk cair. Bentuk cair gliserol lebih menguntungkan karena mudah
tercampur dalam larutan film dan terlarut dalam air. Sorbitol sulit bercampur dan
mudah mengkristal pada suhu ruang, hal tersebut tidak disukai konsumen
(Awwaly dkk., 2010).
Molekul plastizicer akan mengganggu kekompakan pati, menurunkan
interaksi intermolekuler dan meningkatkan mobilitas polimer. Selanjutnya
mengakibatkan peningkatan elongation dan penurunan tensile strength seiring
dengan peningkatan konsentrasi gliserol (Fatma, 2015). Penurunan interaksi
intermolekuler dan peningkatan mobilitas molekul akan memfasilitasi migrasi
molekul uap air (Huri dan Fithri., 2014).

Hipotesis Penelitian

Hingga saat ini, belum ditemukan edible film yang sempurna untuk
pengemasan buah stroberi. Hal tersebut sangat disayangkan karena buah
stroberi termasuk buah yang cukup diminati di Indonesia, tetapi kendala
pendistribusian akibat masa simpan stroberi yang tidak lama membuat
stroberi cukup sulit untuk di ekspor ke luar daerah.

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah :


1. Diduga bahwa edible film dari biji dan kulit durian dapat
menambah masa simpan dan menjaga kualitas buah stroberi dan
memiliki standar sifat fisik dan sifak mekanik edible film.
2. Diduga bahwa dibutuhkan waktu yang lama untuk edible film dapat
terdegradasi oleh mikroba pengurai dalam keadaan normal.
3. Diduga bahwa edible film biji dan kulit durian dapat menahan berat
susut stroberi dan besar transmisi uap air setelah diaplikasikan.

Anda mungkin juga menyukai