DEFINISI
A. PELAYANAN DARAH
Pelayanan Darah adalah upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan
darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak
untuk tujuan komersial.
E. PENDONOR DARAH
Pendonor Darah adalah orang yang menyumbangkan darah atau
komponennya kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan.
1
F. JEJARING PELAYANAN TRANFUSI DARAH
Palang Merah Indonesia yang selanjutnya disingkat PMI, adalah organisasi
sosial yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kepalangmerahan
berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.
2
BAB II
RUANG LINGKUP
1 Gedung Permanen
o Ruang laboratorium
a. Laboratorium
4
b. Penyimpanan
5
b. Persyaratan minimal peralatan dan bahan habis pakai bank darah rumah
sakit
No Jenis Peralatan Jumlah
minimal
I Peralatan Utama dan Bahan Habis Pakai
A. Penyimpanan
1. Blood bank 100-280 L (tergantung kebutuhan) 1
2. Medical refrigerator
3. Platelet agitator 1
4. Freezer dengan suhu penyimpanan ≤-300C (RS 1
tipe A dan B pendidikan) 1
B. Pemeriksaan serologi
1. Golongan darah ABO dan rhesus pada resipien
dan donor (metode pemeriksaan cell typing dan
serum typing) :
6
Mikroskop binokuler 1
• Reagen Bovine Albumin, coombs serum secukupnya
C. Distribusi
• Cool box dengan fasilitas 2-5 kantong 5-10
• Cool box untuk transportasi dengan fasilitas 1
minimal 20 kantong (untuk kebutuhan diluar
pengiriman rutin dari UTD)
7
o NaCl 0,9 % secukupnya
8
pengolahan, penyimpanan, distribusi darah dengan lingkup
pekerjaan pada laboratorium uji saring serologi pratransfusi.
d. Tenaga administrasi;
Kualifikasi :
paling rendah mempunyai keterampilan dalam manajemen data,
pencatatan dan pelaporan.
e. tenaga penunjang lain antara lain tenaga humas, tenaga
teknologi informasi, sopir, dan/atau pekarya sesuai kebutuhan.
3. BDRS mempunyai tugas:
d. melakukan rujukan bila ada kesulitan hasil uji silang serasi dan
golongan darah ABO/rhesus ke UTD secara berjenjang;
9
Transfusi Darah sebagaimana dibentuk berjenjang dari tingkat nasional,
provinsi dan kabupaten/kota.
1. Pembentukan Jejaring Pelayanan Tranfusi Darah
a. Jejaring Pelayanan Transfusi Darah tingkat nasional dibentuk
oleh Menteri.
b. Jejaring Pelayanan Transfusi Darah tingkat provinsi dibentuk
oleh Gubernur.
c. Jejaring Pelayanan Transfusi Darah tingkat kabupaten/kota
dibentuk oleh Bupati/Walikota.
Pembentukan jejaring Pelayanan Transfusi Darah harus didukung
oleh sistem informasi sesuai dengan perkembangan teknologi.
2. Koordinasi antara UTD dan BDRS :
a. Setiap UTD dan BDRS harus terdaftar dalam jejaring
Pelayanan Transfusi Darah. UTD tingkat provinsi
berkoordinasi dengan UTD tingkat kabupaten/kota dan dinas
kesehatan provinsi setempat dalam jejaring Pelayanan Darah
tingkat provinsi serta merupakan bagian dari jejaring
Pelayanan Transfusi Darah UTD tingkat nasional.
b. UTD tingkat kabupaten/kota berkoordinasi dengan BDRS dan
dinas kesehatan kabupaten/kota setempat dalam jejaring
Pelayanan Darah tingkat kabupaten/kota serta merupakan
bagian dari jejaring Pelayanan Transfusi Darah tingkat
provinsi.
c. Sebagai bagian dari jejaring Pelayanan Transfusi Darah, UTD
sebagai penyedia darah dan BDRS sebagai pengguna darah
aman harus melakukan perjanjian kerja sama.
d. Perjanjian kerja sama tersebut paling sedikit berisi pemenuhan
kebutuhan darah rumah sakit, pengembalian darah yang tidak
terpakai dan kadaluarsa, dan kondisi khusus dalam hal UTD
tidak dapat memenuhi kebutuhan darah rumah sakit.Perjanjian
10
kerja sama tersebut harus diberitahukan kepada dinas
kesehatan kabupaten/kota setempat.
3. Bimbingan teknis Pelayanan Transfusi Darah dilakukan secara
berjenjang dalam jejaring Pelayanan Transfusi Darah. Bimbingan
teknis Pelayanan Transfusi Darah termasuk Pelayanan Darah melalui
sistem distribusi tertutup dan sistem rantai dingin.
4. Penanggungjawab BDRS terdiri atas:
a. Komite Pelayanan Darah, untuk tingkat nasional :
b. gubernur melalui kepala dinas kesehatan provinsi, untuk
tingkat provinsi;
c. bupati/walikota melalui kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota, untuk tingkat kabupaten/kota.
5. Anggota jejaring Pelayanan Transfusi Darah tingkat nasional
meliputi :
a. Dinas kesehatan provinsi,
b. UTD tingkat provinsi,
c. Badan Pengawas Obat dan Makanan,
d. BDRS,
e. unsur rumah sakit,
f. PMI,
g. organisasi profesi,
h. organisasi kemasyarakatan dalam bidang pendonor darah.
6. Anggota jejaring Pelayanan Transfusi Darah tingkat provinsi
meliputi:
a. dinas kesehatan provinsi,
b. dinas kesehatan kabupaten/kota,
c. UTD,
d. Balai POM,
e. BDRS,
f. unsur rumah sakit,
g. PMI,
11
h. organisasi profesi,
i. organisasi kemasyarakatan dalam bidang pendonor darah.
7. Anggota jejaring Pelayanan Transfusi Darah tingkat kabupaten/kota
meliputi :
a. dinas kesehatan kabupaten/kota,
b. UTD,
c. Balai POM,
d. BDRS,
e. unsur rumah sakit,
f. PMI,
g. organisasi profesi,
h. organisasi kemasyarakatan dalam bidang pendonor darah.
8. Kegiatan jejaring Pelayanan Transfusi Darah dilakukan melalui:
a. pertemuan secara berkala paling sedikit 2 (dua) kali setahun;
b. pembinaan dan evaluasi terhadap kegiatan jejaring;
c. pengembangan sistem informasi ketersediaan darah.
9. Pembiayaan kegiatan jejaring Pelayanan Transfusi Darah :
a. Pemerintah/Pemerintah Daerah;
b. sumber dana lain yang tidak meningkat
10. Pembiayaan sebagaimana berasal dari:
a. Biaya penggantian pengolahan darah di BDRS merupakan
biaya yang dibebankan kepada masyarakat atas
penyelenggaraan kegiatan pengolahan darah dari UTD dan
biaya penyelenggaraan pelayanan darah di BDRS dan
ditetapkan oleh kepala/direktur rumah sakit.
Biaya penggantian pengolahan darah di BDRS meliputi
komponen biaya penyelenggaraan pelayanan transfusi darah di
rumah sakit dan komponen biaya operasional. Komponen
biaya penyelenggaraan pelayanan transfusi darah di rumah
sakit merupakan imbalan yang diterima oleh BDRS atas biaya
12
bahan non medis dan bahan/alat kesehatan habis pakai yang
digunakan langsung dalam rangka Pelayanan Darah.
Komponen biaya operasional sebagaimana dimaksud
diatas merupakan imbalan yang diterima oleh BDRS atas biaya
utilities, biaya sumber daya manusia, transportasi, bahan cetak,
dan biaya investasi.
b. Biaya penggantian pengolahan darah paling tinggi 50% (lima
puluh persen) dari biaya penggantian pengolahan darah
perkantong dari UTD yang memiliki kemampuan pelayanan
dengan metode konvensional. Pelayanan dengan metode
konvensional merupakan pengolahan darah lengkap menjadi
komponen darah berupa sel darah merah pekat, plasma segar
beku, plasma cair, dan thrombosit pekat, serta uji saring
menggunakan rapid test, dan Chemiluminescence Immuno
Assay (ChLIA)/Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
(ELISA).
13
BAB III
TATA LAKSANA
PEMBERIAN DARAH DAN KOMPONEN DARAH
Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah
dimasukkan sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam sistem
kardiovaskular, tersusun dari komponen korpuskuler atau seluler, dan komponen
non korpuskuler atau non seluler. Darah berfungsi sebagai organ transportasi
(dilakukan oleh hemoglobin didalam sel darah merah), sebagai organ pertahanan
tubuh/imunologik (dilakukan oleh leukosit dan immunoglobulin) dan dalam
menghentikan perdarahan/ mekanisme homeostasis(dilakukan oleh mekanisme
fibrinolisis).
Apabila terjadi pengurangan darah yang cukup bermakna dari komponen
darah korpuskuler maupun non korpuskuler akibat kelainan bawaan ataupun
karena penyakit yang didapat, yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme
homeostasis tubuh dalam waktu singkat maka diperlukan penggantian dengan
transfusi darah. Penggunaan darah untuk transfusi dilakukan secara rasional dan
efisien yaitu dengan memberikan hanya komponen darah yang dibutuhkan. Hal ini
didasarkan bahwa darah terdiri dari bermacam-macam elemen selular dan protein
plasma dengan fungsi yang berbeda-beda.
A. KOMPONEN DARAH
1. Darah lengkap (whole blood)
Darah lengkap terdiri dari sel darah merah, leukosit, trombosit
dan plasma. Satu unit darah lengkap berisi 450 ml darah dan 63 ml
antikoagulan. Namun di Indonesia satu unit darah berisi 250 ml darah
dengan 37 ml antikoagulan atau 350 ml darah dengan 49 ml
antikoagulan. Pemberian darah lengkap tergantung pada keadaan klinis
pasien.
Menurut WHO dalam The clinical use of blood, pemberian darah
lengkap diindikasikan pada keadaan :
14
Perdarahan akut dengan hipovolemik,
Transfusi tukar dan pada pasien yang membutuhkan transfusi sel
darah merah di mana sel darah merah konsentrat atau suspensi
tidak tersedia.
Sedangkan menurut Djoerban Z, pemberian darah lengkap pada
keadaan perdarahan akut dengan hipovolemik tidak menjadi pilihan
utama. Pemulihan segera volume darah pasien jauh lebih penting dari
pada penggantian sel darah merah, sedangkan menyiapkan darah untuk
transfusi memerlukan waktu. Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan
pada pasien dengan anemia kronik yang normovolemik atau yang
bertujuan meningkatkan sel darah merah.
Pada orang dewasa, 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb
sekitar 1 g/dl atau hematokrit 3-4%. Saat ini pemberian darah lengkap
bukan menjadi pilihan, karena risiko yang dapat terjadi lebih tinggi
daripada pemberian transfusi komponen darah, terutama penularan
infeksi. Untuk menghindari hal tersebut pemberian sebaiknya
menggunakan filter darah dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan
klinis pasien, namun sebaiknya dalam 4 jam.
2. Sel darah merah pekat (packed red blood cell/PRC)
Sel darah merah pekat (packed red blood cell/PRC) berisi
eritrosit, trombosit, leukosit dan sedikit plasma, dengan nilai hematokrit
55-75%. Dalam satu unit sel darah merah diperkirakan volume 150-300
ml dengan massa PRC 100-200 ml.Transfusi PRC hampir selalu
diindikasikan pada kadar hemoglobin (Hb) <7 g/dl, terutama pada
anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimptomatik dan/atau
penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, sehingga batas kadar Hb yang
lebih rendah dapat diterima. Transfusi dapat dilakukan pada kadar Hb
7-10 g/dl apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna
secara klinis dan laboratorium. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb
≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang
15
membutuhkan kapasitas transport oksigen lebih tinggi (contoh: penyakit
paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat).
Faktor lain yang harus menjadi pertimbangan adalah keadaan
klinis, tanda dan gejala hipoksia, kehilangan darah, risiko anemia
karena penyakit yang diderita oleh pasien dan risiko transfusi.Faktor
spesifik yang perlu menjadi pertimbangan transfusi adalah riwayat
menderita penyakit kardiopulmonal, dimana transfusi diberikan pada
batas kadar Hb yang lebih tinggi. Kondisi kardiovaskuler pasien
menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan transfusi. Sesuai
dengan systematic review oleh Carson et al (2012) yang menunjukkan
pentingnya transfusi restriktif pada pasien tanpa penyakit
kardiovaskuler yang serius. Satu unit PRC diberikan kepada orang
dewasa rata-rata akan meningkatkan hemoglobin dengan sekitar 1 g/dL
dan hematokrit sekitar 3%.
Cochrane systematic review pada tahun 2011, menyimpulkan dari
19 penelitian dengan 6264 pasien bahwa transfusi darah restriktif pada
pasien dengan kadar hemoglobin (Hb) 7-8 mg/dL menunjukkan klinis
yang sama dengan transfusi restriktif pada kadar Hb 9-10 mg/dL. Hal
ini sesuai dengan penelitian The Transfusion Requirement in Critical
Care (TRICC) yang lebih dahulu dilakukan pada tahun 1999, yaitu
tidak terdapat perbedaan tingkat kematian dalam 30 hari pada pasien
rawatan intensive care yang ditransfusi dengan kisaran Hb 7-9 mg/dL
dibandingkan dengan kisaran Hb 10-12 mg/dL. Namun berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mudumbai (2011), dimana pasien
dengan kadar hematokrit < 25% tanpa transfusi dihubungkan dengan
tingkat kematian jangka panjang.
Pada tahun 2012 American Association of Blood Banks (AABB)
merilis pedoman praktek klinis untuk transfusi PRC berdasarkan
penelaahan sistematis beberapa uji klinis acak. AABB
merekomendasikan bahwa di rumah sakit, pasien stabil dengan ambang
batas 7 sampai 8 g/dL harus dilakukan transfusi. Sedangkan pasien
16
dengan penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya dengan ambang
batas 8 g/dL atau kurang, dan transfusi dilakukan sesuai dengan
keadaan klinis pasien.Secara garis besar hal ini sesuai dengan beberapa
pedoman terdahulu dimana kisaran kadar Hb antara 7-8 g/dL.
17
4. Trombosit
Trombosit dapat diperoleh dengan cara sentrifugasi darah lengkap
(Whole blood) atau dengan cara tromboferesis. Satu unit trombosit yang
berasal dari 450ml darah lengkap berisi sekitar 5,5x1010 trombosit
dengan volume ±50 ml. Sedangkan secara tromboferesis satu donor
berisi sekitar 3x1011 trombosit, setara dengan 6 unit trombosit dengan
volume antara 150-400 ml.
Transfusi trombosit dapat diindikasikan baik sebagai profilaksis
untuk mengurangi risiko perdarahan atau sebagai terapi untuk
mengontrol perdarahan pada pasien dengan trombositopenia.Namun
transfusi trombosit tidak diindikasikan untuk pasien dengan autoimun
trombositopenia purpura (ITP), dan trombotik trombositopenia purpura
(TTP).
Pedoman awal pada perkembangan transfusi trombosit di tahun
1980-an dan 1990-an merekomendasikan transfusi trombosit untuk
pasien tanpa perdarahan dengan kadar trombosit 20.000/mm3, karena
dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan.Namun
beberapa penelitian dipopulasi lain menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan risiko perdarahanantara kadar trombosit 10.000/mm3 dan
20.000/mm3. Sedangkan Slighter SJ (2010) yang menyimpulkan bahwa
dosis trombosit tidak berefek pada kejadian perdarahan.
Dibutuhkan 6 unit trombosit atau 1 unit apheresis untuk
menaikkan sekitar 40.000-60.000/L.Sama halnya dengan transfusi PRC,
hingga saat ini sudah terdapat beberapa pedoman dalam transfusi
trombosit, yang pada umumnya merekomendasikan kadar trombosit
10x109/L sebagai indikasi untuk transfusi trombosit profilaksis. Namun
menurut survey (Estcourt) pada tahun 2012 di Inggris, 34% transfusi
trombosit profilaksis tidak sesuai dengan pedoman dan 10% diberikan
dengan dosis ganda. Hal ini disebabkan karena bukti terbaru dari
ambang dan dosis transfusi trombosit yang tepat, tidak jelas. Sedangkan
kepentingan transfusi trombosit sebagai profilaksis dapat terlihat dari
18
penelitian Stanworth S (2013) bahwa insiden perdarahan berkurang
pada pasien dengan transfusi trombosit sebagai profilaksis, dari 50%
menjadi 43%.
19
belum ada konsensus mengenai dosis efektif yang ditetapkan, namun
menurut Massey E bersama The Granulocyte Working Group (2012),
dosis harian sekitar 2 x 1010 sel dianggap memberikan hasil klinis
yang bermakna.
6. Plasma segar beku (fresh frozen plasma/FFP)
Plasma segar beku (fresh frozen plasma/FFP) berisi plasma, semua
faktor pembekuan stabil dan labil, komplemen dan protein plasma.
FFPdipisahkan dari darah lengkap lalu dibekukan dalam waktu 8 jam
setelah pengambilan darah dan lalu disimpan pada suhu -18ºC atau
lebih rendah dengan masa simpan 1 tahun, dengan volume 200-250 ml.
20
Pada tahun 2011 di Inggris 43% transfusi FFP diberikan untuk
profilaksis pada gangguan faktor koagulasi.
7. Kriopresipitat (Crioprecipitated)
Biasa disebut cryoprecipitated antihemophilic factor.Didapatkan
dengan mencairkan FFP pada suhu 1-60C. Mengandung 150-300 mg
fibrinogen, 80-100 IU faktor VIII, 40-70% faktor vWF (von Willebrand
factor), 20-30% faktor XIII, fibronektin, dan 5-20 mL plasma.
Indikasi untuk penggunaan kriopresipitat telah berubah sejak
beberapa dekade yang lalu. Pada pertengahan tahun 1960-an,
kriopresipitat awalnya dikembangkan untuk memberikan faktor VIII
pada pasien dengan defisiensi faktor VIII kongenital. Penggunaan ini
kemudian diperluas untuk pengobatan pasien dengan Penyakit von
Willebrand (VWD) dan hipofibrinogenemia dengan beberapa manfaat.
Saat ini, indikasi yang paling umum pada pasien dengan
hipofibrinogenemia didapat dan perdarahan untuk meningkatkan nilai
fibrinogen serum.
Produk yang diberikan harus cocok dengan sistem ABO, tidak
perlu uji silang dan diberikan dengan saringan standar. Association of
Anaesthetists of Great Britain and Ireland (AAGBI) Guidelines – Blood
Transfusion and the Anaesthetist: Management of Massive
Haemorrhage (2010) menyarankan dosis 30 - 60 mg/kgBB untuk kadar
fibrinogen dengan nilai target fibrinogen lebih dari 1,5 g/L namun tidak
ada aturan dosis kriopresipitat yang direkomendasikan. Sedangkan
European Guidelines (2010) merekomendasikan dosis kriopresipitat
15-20 unit atau 50 mg/kg untuk rata-rata dewasa (70 kg).
B. TRANSFUSI DARAH
Transfusi darah merupakan pemberian darah atau komponen darah dari
donor ke resipien, dengan tujuan terapeutik, dimana dapat menjadi
penyelamat nyawa tapi dapat pula berbahaya dengan berbagai
komplikasi.Menurut Shubha Allard (2013), istilah transfusi darah mengacu
21
pada penggunaan terapi darah utuh atau komponen-komponennya (sel darah
merah, trombosit, plasma beku segar dan kriopresipitat).
1. Komplikasi
Transfusi darah dapat menyelamatkan nyawa dalam banyak situasi,
tapi bukan berarti tidak bebas risiko. Walaupun jarang terjadi, transfusi
darah dapat mengancam jiwa. Menurut Kleinman S (2014) di Amerika
Serikat, tingkat kematian jangka panjang setelah transfusi sekitar 31% di
tahun pertama, 14% pada tahun kedua, dan 10% per tahun dalam
beberapa tahun setelah transfusi. Sedangkan tingkat kematian jangka
pendek setelah transfusi sekitar 1-1,2 per 100.000 pasien yang menerima
transfusi. Jumlah ini sekitar 35 kematian terkait transfusi per tahun di
Amerika Serikat. Namun pada tahun 2011, di Amerika Serikat dilaporkan
43% kematian dan 25% di Inggris yang secara pasti dikaitkan dengan
transfusi.
Sejak berdirinya French haemovigilance network pada tahun 1949
dan Serious Hazards of Transfusion (SHOT) di Inggris pada tahun 1996,
TRALI telah menjadi penyebab paling umum kematian dan morbiditas
terkait dengan transfusi. Hal ini sesuaiFDA yang melaporkan bahwa
antara 2007 dan 2011 di Amerika Serikat, TRALI merupakan penyebab
kematian tertinggi pada kematian terkait transfusi (43%), diikuti oleh
reaksi transfusi hemolitik (23%) disebabkan inkompatibilitas non-ABO
(13%) atau inkompatibilitas ABO (10%).
Secara garis besar, komplikasi transfusi dapat dibagi 2, yaitu:
infeksi dan non infeksi.
Infeksi
Saat ini komplikasi transfusi infeksi jarang terjadi karena
kemajuan dalam proses penyaringan darah, risiko tertular infeksi
dari transfusi telah menurun 10.000 kali lipat sejak tahun 1980-an.
Namun, belum ada kemajuan dalam mencegah bahaya serius dari
komplikasi transfusi infeksi.
22
Dari semua komplikasi infeksi, hepatitis B merupakan infeksi
yang paling sering terjadi. Di Inggris, dari semua darah donor yang
dilakukan skrining, pada tahun 2008-2010 ditemukan virus
hepatitis Bdengan insiden 1 dari 1 juta donor.8 Sesuai dengan
penelitian Hendrickson (2009) dimana hepatitis B merupakan
komplikasi infeksi tersering.
a. Hepatitis
Hepatitis pasca transfusi adalah penyakit yang paling
umum ditularkan melalui darah transfusi. Hepatitis pasca
transfusi dapat disebabkan oleh virus hepatitis A (HAV),
virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV),
cytomegalovirus(CMV), atau Epstein-Barr virus (EBV) atau
dapat didefinisikan sebagai non-A, non-B,non-C, yang berarti
hepatitis karena tidak ada agen yang tercantum di atas.
Di masa lalu, hepatitis B adalah komplikasi utama dari
transfusi darah. Penelitian tentang HBV di Australia
memberikan langkah besar pertama dalam mengurangi
infeksi yang ditularkan lewat transfusi. Penerapan skrining
rutin donor darah untuk hepatitis B surface antigen
mengurangi kejadian hepatitis B pasca transfusi. Namun,
masih merupakan hepatitis pasca transfusi yang paling umum
terjadi. Pada tahun 1987, skrining rutin antibodi darah donor
ke inti antigen hepatitis B (anti-HBc) diperkenalkan dalam
upaya untuk mengurangi penularan non-A, non-B hepatitis.
Keuntungan tambahan dari skrining ini adalah pengurangan
lebih lanjut dari hepatitis B pasca transfusi.
Sedangkan tes skrining donor untuk anti-HCV
diperkenalkan pada tahun 1992. Dampak dari skrining donor
untuk anti-HCV sangat besar. Saat ini diperkirakan bahwa tes
generasi pertama dapat mencegah sekitar 40.000 kasus
hepatitis pasca transfusi per tahun di Amerika Serikat. Risiko
23
yang ditularkan lewat transfusi HCV kini diperkirakan hanya
sekitar 6 kasus per tahun.
Perkiraan frekuensi hepatitis pasca transfusi rumit
karena ini tergantung pada populasi donor darah. Hepatitis
pasca transfusi masih merupakan masalah kesehatan utama.
Menurut Shahshahani HJ (2013) tingkat prevalensi hepatitis
B, dan C pada darah donor di Iran mengalami penurunan dari
tahun 2004 sebesar 0,37% dan 0,14% menjadi 0,14%, dan
0,05% pada tahun 2010. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan Flichman (2014), yang melaporkan
penurunan kejadian hepatitis B di Argentina dari 0.336%
pada tahun 2004 menjadi 0.198% pada tahun 2011.
26
d. Infeksi Parasit
Infeksi parasit melalui transfusi relatif jarang. Infeksi
parasit yang paling sering ditularkan lewat transfusi adalah
malaria, terutama di negara-negara tropis sedangkan
Babesiosis dan penyakit Chagas merupakan ancaman terbesar
bagi donor di Amerika Serikat. Penularan malaria telah
dilaporkan terjadi terutama dari produk-donor tunggal: sel
darah merah, trombosit atau konsentrat sel darah putih
(karena kontaminasi dengan sel darah merah residual),
kriopresipitat, dan WRC. Transmisi dari donor tunggal FFP
belum dilaporkan. Penularan dari kriopresipitat jarang dan
cenderung mencerminkan persiapan transfusi.
Tidak ada tes serologi dapat diandalkan tersedia sehingga
fokus untuk pencegahan tetap pada kepatuhan terhadap
pedoman skrining donor yang membahas riwayat perjalanan
dan infeksi sebelumnya dengan agen etiologi. Salah satu
tujuan adalah mengembangkan tes yang mampu menyaring
dan mengidentifikasi donor berpotensi menular untuk infeksi
parasit tanpa menyebabkan penangguhan sejumlah besar
donor non-menular atau secara signifikan meningkatkan
biaya. Idealnya, metode untuk menonaktifkan organisme
menular akan memberikan unsur keamanan tambahan untuk
pasokan darah.
Non Infeksi
Komplikasi non infeksi lebih mungkin terjadi sampai 1.000
kali dibandingkan komplikasi infeksi. meskipun perbaikan dalam
tes skrining darah dan kemajuan medis terkait lainnya. Oleh
karena itu, jauh lebih mungkin untuk terjadi bahaya yang serius
dari komplikasi non infeksi daripada komplikasi infeksi.
a. Reaksi Transfusi Hemolitik
27
Reaksi transfusi hemolitik merupakan komplikasi
serius yang dapat terjadi setelah transfusi darah, yang
umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah merah
yang ditransfusikan oleh antibodi resipien. Biasanya,
hemolisis sel darah merah resipien terjadi sebagai hasil
transfusi antibodi sel darah merah. Tanda-tanda dan gejala
yang dapat menyertai reaksi transfusi hemolitik yang paling
umum adalah demam dan menggigil.
Penatalaksanaan reaksi hemolitik adalah dengan segera
menghentikan transfusi, tetap menjaga akses vena untuk
manajemen darurat, pertahankan status hidrasi, pertahankan
urin output 100cc/jam, dan mengantisipasi hipotensi, gagal
ginjal dan DIC. Tindakan profilaksis untuk mengurangi risiko
gagal ginjal dapat diberikan dopamin dosis rendah (1-5 mcg /
kg / menit), hidrasi kuat dengan larutan kristaloid (3000
mL/m2/24jam), dan diuresis osmotik dengan manitol 20%
(100 mL/m2/bolus, diikuti oleh 30 mL/m2/jam selama 12
jam). Jika terjadi DIC dan perdarahan, transfusi plasma segar
beku (FFP), cryoprecipitates dan / atau konsentrat trombosit
dapat diindikasikan.
Kematian disebabkan oleh reaksi transfusi hemolitik
jarang terjadi. Menurut Fastman (2011) terjadi pada 1 dari 1,5
juta hingga 1,8 juta transfusi. Diantara tahun 2005-2007,
sebesar 69,2% kematian akibat reaksi transfusi hemolitik
disebabkan oleh inkompatibilitas non-ABO.
b. Reaksi Transfusi Hemolitik Akut
Pada reaksi transfusi hemolitik akut, terjadi
penghancuran sel darah merah donor dalam waktu 24 jam
setelah transfusi. Hemolisis dapat terjadi intravaskular
maupun ekstravaskular. Hemolisis intravaskular akut pada
umumnya berhubungan dengan inkompatibilitas ABO.
28
Penyebab yang paling umum adalah misidentifikasi pasien,
spesimen darah, atau unit transfusi.
Gejala reaksi transfusi hemolitik akut berupa demam,
menggigil, menggigil, mual, muntah, dyspnea, hipotensi,
perdarahan difus, hemoglobinuria, oliguria, anuria, nyeri di
tempat infus, dan nyeri dada, nyeri punggung, dan nyeri
perut. Dengan komplikasi yang dapat terjadi anemia yang
signifikan, gagal ginjal akut, koagulasi intravaskular
diseminata, hemodialisa, dan kematian sekunder komplikasi.
Kejadian yang sebenarnya dari reaksi transfusi
hemolitik akibatinkompatibilitas ABO tidak diketahui.
Insiden reaksi hemolitik akut adalah sekitar 1-5 per 50.000
transfusi. Dari tahun 1996 sampai 2007, terdapat 213
transfusi sel darah merah yang inkompatibilitas ABO dengan
24 kematian. Dalam laporan 2008 oleh Janatpour,
inkompatibilitas ABO diperkirakan mencapai 1:38,000
sampai 1:100.000 transfusi, dan risiko kematian akibat
hemolitik akut adalah 1:1,5 juta.
c. Reaksi Transfusi Hemolitik Tertunda(Delayed hemolytic
transfusion reactions)
Delayed hemolytic transfusion reactions (DHTR)
terjadi 3-10 hari setelah transfusi sel darah merah yang
tampaknya kompatibel secara serologis. Reaksi ini terjadi
pada pasien yang telah alloimmunized terhadap antigen sel
darah merah kecil selama transfusi dan/atau kehamilan
sebelumnya, pengujian sebelum transfusi gagal untuk
mendeteksi alloantibodies ini karena titer yang rendah.
Setelah paparan ulang antigen sel darah merah yang positif,
respon anamnestic terjadi, dengan peningkatan pesat dalam
titer antibodi. Penurunan kelangsungan hidup sel darah merah
ditransfusikan bisa terjadi, terutama karena hemolisis
29
ekstravaskular. Pada kebanyakan kasus, bagaimanapun,
produksi antibodi anamnestic tidak menyebabkan hemolisis
terdeteksi. Istilah delayed serologictransfusion
reaction (DSTR) mendefinisikan reaksi di mana antibodi
anamnestic diidentifikasi secara serologis, dengan tidak
adanya bukti klinis dimana terjadi percepatan kehancuran sel
darah merah. Antigen terlibat paling sering terlibat dalam
DHTR dan DSTR berada di Kidd, Duffy, Kell, dan MNS
sistem, dalam urutan frekuensi menurun.
d. Reaksi Febris
Reaksi ini sangat umum, biasanya tidak mengancam
nyawa dan terjadi 2 jam setelah transfusi dimulai. Reaksi ini
disebabkan oleh 2 mekanisme yang berbeda, yang pertama
adalah transfusi antigen leukosit yang menyebabkan aktivasi
dari kaskade sitokin pada resipien. Kedua adalah transfusi
sitokin dari produk darah yang disimpan yang memiliki
kemampuan untuk menyebabkan respon imun inflamasi pada
resipien.
Reaksi febris pada transfusi trombosit telah dilaporkan
dengan tingkat berkisar antara 1% sampai 38%, sedangkan
untuk transfusi PRC 0,3% menjadi 6%. Premedikasi dengan
acetaminophen dan diphenhydramine berguna untuk
mencegah reaksi febril ini. Namun, terdapat kontroversi
apakah premedikasi bermanfaat untuk pasien. Sebuah studi
oleh Wang dan rekan (2002) menemukan bahwa premedikasi
tidak bermakna mengurangi kejadian reaksi febril pada saat
transfusi trombosit. Sebaliknya, pada tahun 2008 Kennedy
dan rekan menemukan bahwa pemberian premedikasi
sebelumnya dapat menekan reaksi demam, terutama pada
pasien yang menerima beberapa transfusi. Namun, hal itu
tidak mengurangi reaksi transfusi secara keseluruhan. Hingga
30
saat ini belum ada pendapat yang pasti ditawarkan tentang
penggunaan premedikasi sebelum transfusi, sehingga
keputusan untuk menggunakan premedikasi harus
ditangguhkan tergantung pada keputusan dokter.
Gejala reaksi demam termasuk demam, menggigil,
sakit kepala, mialgia dan malaise umum. Jarangterjadi
hipotensi, muntah dan gangguan pernapasan. Onset adalah
selama, atau beberapa jam setelah, transfusi dan tingkat
keparahan reaksi tergantung pada beban leukosit dan tingkat
transfusi.
Biasanya, demam sembuh dalam 15-30 menit tanpa
pengobatan khusus. Jika demam menyebabkan
ketidaknyamanan, acetaminophen oral (325-500 mg) dapat
diberikan. Hindari aspirin karena efek samping yang
berkepanjangan pada fungsi trombosit. Kontroversi yang ada
dalam literatur saat ini pada apakah transfusi harus
dihentikan; Namun, ada konsensus bahwa tingkat transfusi
hanya dikurangi.
e. Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute
Lung Injury/TRALI)
Transfusion-Related Acute Lung Injury pertama kali
dikemukakan oleh Brittingham pada tahun 1957, yaitu
hubungan antara gejala cedera paru-paru akut atau Acute
Lung Injury(ALI), transfusi dan leukoagglutinins didalam
komponen darah. Tiga dekade lalu, TRALI dianggap sebagai
komplikasi yang jarang pada transfusi. Namun saat ini, FDA
mengakui sebagai suatu sindrom dengan penyebab utama
kematian terkait transfusi, dengan kejadian 43% dari semua
reaksi transfusi fatal antara 2007 dan 2011.
Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute
(NHLBI), TRALI sebagai ALI yang terjadi selama atau
31
dalam waktu 6 jam setelah transfusi, dengan hubungan
temporal yang jelas untuk transfusi, pada pasien dengan atau
tanpa atau faktor risiko selain transfusi ALI. Pada April 2004,
Canadian Consensus Confrence memodifikasi definisi dan
kriteria TRALI menurut NHLBI, modifikasi tersebut
memperluas definisi hipoksia dengan memasukkan bukti
klinis dari hipoksia dan menciptakan kategori kemungkinan
terjadi TRALI untuk mengatasi kasus-kasus di mana pasien
memiliki faktor risiko lain untuk ALI seperti sepsis, aspirasi,
tenggelam, disseminated intravascular coagulation, trauma,
pneumonia, overdosis narkoba, fraktur, luka bakar dan
cardiopulmonary bypass.
Patogenesis belum sepenuhnya dipahami, tampaknya
menjadi proses multifaktorial yang berpuncak pada aktivasi
neutrofil dan cedera paru akut. Pemahaman patogenesis
TRALI telah menghasilkan desain strategi pencegahan dari
perspektif bank darah. Sebuah terobosan besar dalam upaya
untuk mengurangi kejadian TRALI dan menghindari donor
dari perempuan dengan volume plasma yang tinggi,
mengakibatkan penurunan kira-kira dua pertiga kejadian.
Namun, strategi ini belum sepenuhnya menghilangkan
komplikasi.
Pengobatan TRALI yang utama adalah dengan
tambahan oksigen dan dalam kebanyakan kasus ventilasi
mendukung. Berbeda dengan sindrom gangguan pernapasan
akut dari penyebab lain, pasien biasanya kembali pulih
dengan cepat, dengan resolusi infiltrat paru dalam 96 jam dari
transfusi. Dengan tidak adanya tanda-tanda kelebihan cairan
yang akut atau edema paru kardiogenik, diuretik tidak
diindikasikan. Tidak ada bukti bahwa kortikosteroid atau
antihistamin bermanfaat.
32
f. Transfusion-related Immunomodulator
Transfusion-related Immunomodulator (TRIM)
merupakan fenomena biologis yang nyata mengakibatkan
setidaknya satu efek klinis yang menguntungkan pada
manusia, namun keberadaan efek klinis TRIM yang
merugikan menjelaskan bahwa transfusi sel darah merah
berhubungan dengan peningkatan proinflamasi atau efek
imunosupresif yang dapat meningkatkan morbiditas pada
setidaknya pada beberapa kelompok pasien.
Awalnya, TRIM merupakan efek yang timbul saat
transfusi darah alogenik oleh mekanisme imunomodulator
(misalnya, kambuhnya kanker, infeksi pasca operasi, atau
aktivasi virus). Baru-baru ini, TRIM juga termasuk efek yang
timbul saat transfusi darah alogenik oleh mekanisme pro-
inflamasi (misalnya, kegagalan multi-organ atau kematian).
Efek TRIM dapat dimediasi oleh: (1) sel mononuklear
alogenik; (2) sel darah putih (WBC) yang diturunkan
mediator larut; dan/atau (3) peptida human leucocyte antigen
(HLA) yang larut beredar di plasma alogenik.
g. Penyakit terkait transfusi graft-versus-host (Transfusion
Related-Graft versus Host Disease)
Graft-versus-host disease (GVHD) merupakan
komplikasi terkenal transplantasi sumsum tulang alogenik.
Transfusi terkait graft-versus-host penyakit (Transfusion
Related-Graft versus Host Disease/TA-GVHD) lebih jarang
terjadi dan mirip komplikasi fatal transfusi darah, yang terjadi
2-30 hari setelah transfusi. TA-GVHD terjadi 0.1-1.0% dari
transfusi pada penerima rentan, dengan angka kematian TA-
GVHD sekitar 87-100%.
Gambaran klinis klasik dari TA-GVHD termasuk
demam, pruritus, ruam kulit, nyeri kuadran kanan atas, tes
33
fungsi hati yang abnormal, diare, mual, muntah, batuk dan
dyspnea. Faktor risiko yang mendasari terjadi TA-GVHD
umumnya terjadi pada individu dengan bawaan atau acquired
immunodeficiency, transfusi darah dari kerabat, transfusi
intrauterin dan HLA yang cocok dengan transfusi trombosit.
Diagnosis TA-GVHD mungkin sulit karena jarang terjadi dan
gambaran klinis yang tumpang tindih dengan berbagai infeksi
dan reaksi obat. Tingkat kecurigaan yang tinggi, asosiasi
transfusi terakhir dengan gambaran klinis diperlukan untuk
diagnosis dini.
34
Ditingkat kabupaten/kota dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota dan
jejaring kabupaten/kota dan unit pelaksana teknis Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
b. teguran tertulis;
c. penundaan perpanjangan izin penyelenggaraan UTD;
d. pencabutan sementara izin penyelenggaraan UTD;
e. pencabutan izin penyelenggaraan UTD;
f. penundaan perpanjangan izin operasional rumah sakit;
g. pencabutan sementara izin operasional rumah sakit; dan/atau
h. pencabutan izin operasional Rumah Sakit
35
BAB IV
DOKUMENTASI
a. persediaan darah;
c. reaksi transfusi.
36
B. EVALUASI
Setiap BDRS wajib dilakukan audit penyelenggaraan Pelayanan
Darah. Audit penyelenggaraan Pelayanan Darah merupakan audit teknis
Pelayanan Darah. Audit penyelenggaraan Pelayanan Darah bertujuan untuk
melakukan evaluasi mutu Pelayanan Darah, mengetahui penerapan standar
Pelayanan Darah, dan acuan untuk melakukan perbaikan standar Pelayanan
Darah.
Audit penyelenggaraan Pelayanan Darah harus dilaksanakan secara
terbuka, transparan, tidak konfrontasional, tidak menghakimi dan
konfidensial. Audit penyelenggaraan Pelayanan Darah dilakukan melalui
audit internal dan audit eksternal.
Pelaksanaan audit internal pada BDRS harus dilakukan oleh petugas
terkait yang mempunyai kompetensi, pengetahuan dan keterampilan sesuai
dengan bidang pelayanan yang diaudit. Audit internal berupa review,
surveilance dan asesmen terhadap seluruh rangkaian Pelayanan Darah yang
diberikan. Hasil audit internal dapat digunakan BDRS sebagai hasil evaluasi
kerja organisasi.
Audit penyelenggaraan Pelayanan Darah pada BDRS meliputi audit
terhadap mutu kegiatan Pelayanan Transfusi Darah yang dilakukan oleh
BDRS. Audit internal pada BDRS dilakukan oleh petugas BDRS yang
ditunjuk oleh penangung jawab BDRS. Audit internal pada BDRS terintegrasi
dengan audit medis yang dilakukan rumah sakit. Hasil audit internal BDRS
dilaporkan secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali kepada kepala/direktur
rumah sakit.
Audit eksternal pada BDRS dilakukan oleh Komite Pelayanan Darah,
Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan beserta unit
pelaksana teknis, dinas kesehatan provinsi atau kabupaten/kota, dan UTD
secara berjenjang. Audit eksternal pada BDRS dilakukan secara berkala
paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun.
Penilaian audit eksternal dilakukan untuk menilai pemenuhan
persyaratan fasilitas dan sarana, implementasi pemastian mutu rekrutmen
37
pendonor, seleksi pendonor, pengambilan darah, pengamanan darah,
pengolahan darah, penyimpanan darah, uji silang serasi, pendistribusian darah
dan pemusnahan darah serta menjadi bagian dari tim pembinaan dan
pengawasan di daerah. Penilaian audit eksternal dilakukan berdasarkan
analisis risiko.
38
DAFTAR PUSTAKA
6. WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002. Diunduh dari
URL http://www.who.int/bloodsafety/clinical_use/en/Handbook_EN
(diakses Juli 2014)
11. Murphy MF, Waters JH, Wood EM, et al. Transfusion blood safely and
appropriately. British Medical Journal 2013; 347: 1- 12.
39
12. Storry JR, Castilho L, Daniels G, et al. International society of blood
transfusion working party on red cell immunogenetics and blood group
terminology: Cancun report.Vox Sang 2014; 107(1) : 90-6.
15. Djoerban Z. Dasar-dasar transfusi darah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi IV. Balai Penerbit FKUI 2007 : 682-4.
19. Carson JL, Grossman BJ, Kleinman S, et al. Red blood cell transfusion: A
clinical practice guideline from the AABB. Annals of Internal Medicine
2012; 157: 49-58.
40
23. Yang L, Stanworth S, Hopewell S, Doree C, Murphy M. Is fresh-frozen
plasma clinically effective? An update of a systematic review of
randomized controlled trials. Transfusion 2012; 52: 1673–86.
26. Stanworth SJ, Brunskill SJ, Hyde CJ, McClelland DB, Murphy MF. Is
fresh frozen plasma clinically eff ective? A systematic review of
randomized controlled trials. Br J Haematol 2004; 126: 139–52.
31. Flichman D, Blejer JL, Livellara B, et al. Prevalence and trends of markers
of hepatitis B virus, hepatitis C virus and human immunodeficiency virus
in Argentine blood donor. BMC Infectious Disease 2014; 14: 218-27.
35. Choat JD, Maitta RW, Tormey CA, et al. Transfusion reactions to blood
and cell therapy products. In: Hoffman R, Benz EJ Jr, Silberstein LE,
Heslop HE, Weitz JI, eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 6th
ed. Philadelphia, PA: Saunders Elsevier 2012:120.
39. Patel K, Patel A, Ranjan R, et al. Transfusion associated graft versus host
disease following whole blood transfusion from an unrelated donor in an
immunocompetent patient. Indian Journal Hematology Blood Transfusion,
2010 ; 26(3) : 92–95.
42
Lampiran 1
FORMULIR LAPORAN BULANAN BANK DARAH RUMAH SAKIT
NAMA BDRS :
ALAMAT :
TELEPON :
FAX :
EMAIL :
43
B. PEMBERIAN DARAH OLEH UTD
NO TGL WHOLE BLOOD Packed Red Cell Fresh Frozen Plasma Jenis komponen
lainnya
A B AB O A B AB O A B AB O A B AB O
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
44
C. LAPORAN PEMAKAIAN KOMPONEN DARAH
N JENIS BAG. PENY. DALAM BAG. PENY. kebidanan BAG. PENY. Bedah BAG. PENY. BAG. Lain Lain Jumlah total
O KOMPONEN Anak
Yang diberikan Yang diberikan Yang diberikan Yang diberikan Yang diberikan Yang diberikan
JML A B A O JML A B A O JML A B A O JML A B A O JML A B A O JML A B A O
TOTA B TOTAL B TOTAL B TOTAL B TOTAL B TOTAL B
L YG YG YG YG YG YG
DIBER DIBERI DIBERI DIBERI DIBERI DIBERI
IKAN KAN KAN KAN KAN KAN
1 WB kantong
2 Jml ps
3 PRC kantong
4 Jml ps
5 FFP kantong
6 Jml ps
7 AFP kantong
8 Jml ps
9 TC kantong
10 Jml ps
11 WK kantong
12 Jml ps
13 BC kantong
Jml ps
14 PRC kantong
REFF
Jml ps
JML
45
WB : Whole Blood
PRC : Packed Red Cell
FFP : Fresh Frozen Plasma
TC : Thrombocyte Concentrate
AHF : Anti Haemophilic Concentrate
LP : Liquid Plasma
WE : Washed Erythrocyte
BF : Buffy Coat
PRC REFF : PRC Refferal
D. REAKSI TRANSFUSI
NO Tanggal Jam Usia Jenis Diagnosis Riwayat Tranfusi Jenis No Gejala
Kelamin Sebelumnya Komponen Kantong
1
2
3
4
5
46
E. LAPORAN DARAH KEMBALI KE UTD
NO TANGGAL JENIS KOMPONEN JUMLAH ALASAN DIKEMBALIKAN
…………………………….
47