Anda di halaman 1dari 47

BAB I

DEFINISI

A. PELAYANAN DARAH
Pelayanan Darah adalah upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan
darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak
untuk tujuan komersial.

B. PELAYANAN TRANFUSI DARAH


Pelayanan Transfusi Darah adalah upaya pelayanan kesehatan yang meliputi
perencanaan, pengerahan dan pelestarian pendonor darah, penyediaan darah,
pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian darah kepada pasien
untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.

C. UNIT TRANFUSI DARAH


Unit Transfusi Darah, yang selanjutnya disingkat UTD, adalah fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pendonor darah, penyediaan
darah, dan pendistribusian darah.

D. BANK DARAH RUMAH SAKIT


Bank Darah Rumah Sakit, yang selanjutnya disingkat BDRS, adalah suatu
unit pelayanan di rumah sakit yang bertanggung jawab atas tersedianya darah
untuk transfusi yang aman, berkualitas, dan dalam jumlah yang cukup untuk
mendukung pelayanan kesehatan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya.

E. PENDONOR DARAH
Pendonor Darah adalah orang yang menyumbangkan darah atau
komponennya kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan.
1
F. JEJARING PELAYANAN TRANFUSI DARAH
Palang Merah Indonesia yang selanjutnya disingkat PMI, adalah organisasi
sosial yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kepalangmerahan
berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.

2
BAB II
RUANG LINGKUP

A. UNIT TRANFUSI DARAH (UTD)


UTD hanya diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
atau PMI. UTD yang diselenggarakan oleh Pemerintah sebagaimana
dimaksud dapat berbentuk unit pelaksana teknis atau unit pelayanan di
rumah sakit milik Pemerintah. UTD yang diselenggarakan oleh Pemerintah
dapat berbentuk lembaga teknis daerah, Unit pelaksana teknis daerah, atau
unit pelayanan di rumah sakit milikpemerintah daerah
Berdasarkan tingkatannya, UTD terdiri atas UTD:
1. tingkat nasional; UTD tingkat nasionalberjumlah 1 (satu) di
Indonesia dan ditetapkan oleh Menteri. UTD tngkat naonal n harus
memiliki kemampuan pelayanan kelas utama.
2. tingkat provinsi; dan
3. tingkat kabupaten/kota.
Berdasarkan kemampuan pelayanan, UTD sebagaimana dimaksud terdiri
atas:
1. kelas utama;
2. kelas madya;dan
3. kelas pratama.

B. BANK DARAH RUMAH SAKIT (BDRS)


Setiap rumah sakit wajib memiliki BDRS. Dalam hal rumah sakit
telah memiliki izin penyelenggaraan UTD, pelayanan darah yang dilakukan
BDRS harus merupakan pelayanan yang terintegrasi dengan pelayanan
UTD.
BDRS merupakan unit pelayanan yang ditetapkan oleh
kepala/direktur rumah sakit dan dapat menjadi bagian dari laboratorium
medik di rumah sakit. BDRS wajib memasang papan nama sebagai petunjuk
3
pelayanan darah yang diberikannya. Selain itu BDRS harus melakukan
perencanaan kebutuhan darah di rumah sakit setiap tahun. Perencanaan
kebutuhan tersebut harus dilaporkan kepada UTD di wilayahnya.
BDRS dan laboratorium di rumah sakit dilarang melakukan
pemeriksaan uji saring Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD)
ulang pada darah pendonor.
1. Persyaratan BDRS

a. BDRS harus memenuhi persyaratan bangunan, sarana dan


prasarana, peralatan, dan ketenagaan.

NO JENIS KELENGKAPAN BDRS

1 Gedung Permanen

2 Ventilasi /3 x luas lantai


Suhu 20-24° C (Guidelines for Blood
Center WHO 2010)

3 Penerangan (lampu) 5 watt/m2

Air mengalir, bersih 50 L/pekerja/hari

Daya listrik 1300 W


Jaminan supply listrik 24 jam
dengan alat back up (Generator)
Tata Ruang Luas keseluruhan 20 m2
o Ruang administrasi
a. Loket permintaan
b. Loket penerimaan dan
pendistribusian darah
c. Ruang petugas (ruang
kepala, ruang staf)

o Ruang laboratorium
a. Laboratorium
4
b. Penyimpanan

Fasilitas Pembuangan limbah Sesuai ketentuan peraturan


a. tempat perundang-undangan tentang
penampungan/pengolahan kesehatan lingkungan di rumah
sederhana limbah cair/padat sakit
b. sistem pembuangan limbah

5
b. Persyaratan minimal peralatan dan bahan habis pakai bank darah rumah
sakit
No Jenis Peralatan Jumlah
minimal
I Peralatan Utama dan Bahan Habis Pakai
A. Penyimpanan
1. Blood bank 100-280 L (tergantung kebutuhan) 1
2. Medical refrigerator
3. Platelet agitator 1
4. Freezer dengan suhu penyimpanan ≤-300C (RS 1
tipe A dan B pendidikan) 1
B. Pemeriksaan serologi
1. Golongan darah ABO dan rhesus pada resipien
dan donor (metode pemeriksaan cell typing dan
serum typing) :

Metode pemeriksaan golongan darah:


• Blood grouping plate atau Sesuai
kebutuhan
• Tabung reaksi ukuran 12x75 mm sesuai
kebutuhan
• Reagen anti ABO dan rhesus (yang sudah sesuai
direkomendasikan oleh instansi yang kebutuhan
berwenang)
2. Uji silang serasi
• Metode tabung
Dry incubator 1
Serofuge (dengan 2 macam rotor tabung 1
kecil ukuran 12x75 mm dan besar ukuran 5
ml)

6
Mikroskop binokuler 1
• Reagen Bovine Albumin, coombs serum secukupnya
C. Distribusi
• Cool box dengan fasilitas 2-5 kantong 5-10
• Cool box untuk transportasi dengan fasilitas 1
minimal 20 kantong (untuk kebutuhan diluar
pengiriman rutin dari UTD)

c. Peralatan Penunjang dan Bahan Habis Pakai

N JENIS PERALATAN JUMLAH MINIMAL


O
1 Peralatan Penunjang dan Bahan
Habis Pakai
o Rak tabung 5 buah
o Gunting 2 buah
o Pipet Pasteur plastik 2 buah
o Object glass 3 box
o Timer 2 buah
o Labu semprot 4 buah
o Baskom stainless steel 4 buah
o Jas laboratorium 2 x jumlah petugas
o Masker sekali pakai 1 box
o Wadah infeksius 1 buah
o Termometer pengukur suhu untuk sesuai kebutuhan
kalibrasi alat rutin
o Desinfektan kulit secukupnya
o Desinfektan peralatan secukupnya
o Sarung tangan sekali pakai sesuai kebutuhan

7
o NaCl 0,9 % secukupnya

2. Organisasi BDRS terdiri dari :


a. Penanggung jawab BDRS (dapat merangkap sebagai staff
medis;
kualifikasi Penanggung jawab BDRS :

 paling rendah pendidikan dokter


 sertifikat pelatihan teknis dan manajemen Pelayanan
Transfusi Darah.
Tugas dan tanggung jawab penanggung jawab BDRS :
 menyusun rencana kerja BDRS;
 memimpin pelaksanaan kegiatan teknis BDRS;
 melaksanakan pengawasan, pengendalian, dan evaluasi
kegiatan BDRS;
 merencanakan, melaksanakan dan mengawasi kegiatan
pemantapan mutu.
b. Staf medis;
Kualifikasi staff medis :
 paling rendah pendidikan dokter
 telah mendapatkan pelatihan di bidang transfusi darah
 mempunyai keterampilan dalam bidang teknis dan
manajerial pengelolaan Pelayanan Darah di BDRS
c. Pelaksana teknis;
Kualifikasi paling rendah :
 teknisi transfusi darah; dan/atau
 tenaga lain dengan latar belakang pendidikan Diploma Tiga
AhliTeknologi Laboratorium Medik yang mempunyai
sertifikat pengetahuan dan keterampilan tentang

8
pengolahan, penyimpanan, distribusi darah dengan lingkup
pekerjaan pada laboratorium uji saring serologi pratransfusi.
d. Tenaga administrasi;
Kualifikasi :
paling rendah mempunyai keterampilan dalam manajemen data,
pencatatan dan pelaporan.
e. tenaga penunjang lain antara lain tenaga humas, tenaga
teknologi informasi, sopir, dan/atau pekarya sesuai kebutuhan.
3. BDRS mempunyai tugas:

a. menerima darah yang sudah di uji saring oleh UTD;

b. menyimpan darah dan memantau persediaan darah;

c. melakukan uji silang serasi darah pendonor dan darah pasien;

d. melakukan rujukan bila ada kesulitan hasil uji silang serasi dan
golongan darah ABO/rhesus ke UTD secara berjenjang;

e. menyerahkan darah yang cocok bagi pasien di rumah sakit;

f. melacak penyebab reaksi transfusi atau kejadian ikutan akibat


transfusi darah yang dilaporkan dokter rumah sakit; dan
g. mengembalikan darah yang tidak layak pakai ke UTD untuk
dimusnahkan.
Dalam hal BDRS belum mampu melakukan tugas sebagaimana
disebutkan diatas, BDRS dapat melakukan kerja sama dengan BDRS
lain atau merujuk ke UTD wilayahnya.

C. JEJARING PELAYANAN TRANSFUSI DARAH


Untuk menjamin ketersediaan darah, mutu, keamanan, sistem
informasi pendonor darah, akses, rujukan dan efisiensi Pelayanan Darah
dibentuk jejaring Pelayanan Transfusi Darah. Jejaring Pelayanan Transfusi
Darah merupakan wadah dan sarana komunikasi aktif antar UTD, BDRS,
dan dinas kesehatan dalam pelayanan transfusi darah. Jejaring Pelayanan

9
Transfusi Darah sebagaimana dibentuk berjenjang dari tingkat nasional,
provinsi dan kabupaten/kota.
1. Pembentukan Jejaring Pelayanan Tranfusi Darah
a. Jejaring Pelayanan Transfusi Darah tingkat nasional dibentuk
oleh Menteri.
b. Jejaring Pelayanan Transfusi Darah tingkat provinsi dibentuk
oleh Gubernur.
c. Jejaring Pelayanan Transfusi Darah tingkat kabupaten/kota
dibentuk oleh Bupati/Walikota.
Pembentukan jejaring Pelayanan Transfusi Darah harus didukung
oleh sistem informasi sesuai dengan perkembangan teknologi.
2. Koordinasi antara UTD dan BDRS :
a. Setiap UTD dan BDRS harus terdaftar dalam jejaring
Pelayanan Transfusi Darah. UTD tingkat provinsi
berkoordinasi dengan UTD tingkat kabupaten/kota dan dinas
kesehatan provinsi setempat dalam jejaring Pelayanan Darah
tingkat provinsi serta merupakan bagian dari jejaring
Pelayanan Transfusi Darah UTD tingkat nasional.
b. UTD tingkat kabupaten/kota berkoordinasi dengan BDRS dan
dinas kesehatan kabupaten/kota setempat dalam jejaring
Pelayanan Darah tingkat kabupaten/kota serta merupakan
bagian dari jejaring Pelayanan Transfusi Darah tingkat
provinsi.
c. Sebagai bagian dari jejaring Pelayanan Transfusi Darah, UTD
sebagai penyedia darah dan BDRS sebagai pengguna darah
aman harus melakukan perjanjian kerja sama.
d. Perjanjian kerja sama tersebut paling sedikit berisi pemenuhan
kebutuhan darah rumah sakit, pengembalian darah yang tidak
terpakai dan kadaluarsa, dan kondisi khusus dalam hal UTD
tidak dapat memenuhi kebutuhan darah rumah sakit.Perjanjian

10
kerja sama tersebut harus diberitahukan kepada dinas
kesehatan kabupaten/kota setempat.
3. Bimbingan teknis Pelayanan Transfusi Darah dilakukan secara
berjenjang dalam jejaring Pelayanan Transfusi Darah. Bimbingan
teknis Pelayanan Transfusi Darah termasuk Pelayanan Darah melalui
sistem distribusi tertutup dan sistem rantai dingin.
4. Penanggungjawab BDRS terdiri atas:
a. Komite Pelayanan Darah, untuk tingkat nasional :
b. gubernur melalui kepala dinas kesehatan provinsi, untuk
tingkat provinsi;
c. bupati/walikota melalui kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota, untuk tingkat kabupaten/kota.
5. Anggota jejaring Pelayanan Transfusi Darah tingkat nasional
meliputi :
a. Dinas kesehatan provinsi,
b. UTD tingkat provinsi,
c. Badan Pengawas Obat dan Makanan,
d. BDRS,
e. unsur rumah sakit,
f. PMI,
g. organisasi profesi,
h. organisasi kemasyarakatan dalam bidang pendonor darah.
6. Anggota jejaring Pelayanan Transfusi Darah tingkat provinsi
meliputi:
a. dinas kesehatan provinsi,
b. dinas kesehatan kabupaten/kota,
c. UTD,
d. Balai POM,
e. BDRS,
f. unsur rumah sakit,
g. PMI,
11
h. organisasi profesi,
i. organisasi kemasyarakatan dalam bidang pendonor darah.
7. Anggota jejaring Pelayanan Transfusi Darah tingkat kabupaten/kota
meliputi :
a. dinas kesehatan kabupaten/kota,
b. UTD,
c. Balai POM,
d. BDRS,
e. unsur rumah sakit,
f. PMI,
g. organisasi profesi,
h. organisasi kemasyarakatan dalam bidang pendonor darah.
8. Kegiatan jejaring Pelayanan Transfusi Darah dilakukan melalui:
a. pertemuan secara berkala paling sedikit 2 (dua) kali setahun;
b. pembinaan dan evaluasi terhadap kegiatan jejaring;
c. pengembangan sistem informasi ketersediaan darah.
9. Pembiayaan kegiatan jejaring Pelayanan Transfusi Darah :
a. Pemerintah/Pemerintah Daerah;
b. sumber dana lain yang tidak meningkat
10. Pembiayaan sebagaimana berasal dari:
a. Biaya penggantian pengolahan darah di BDRS merupakan
biaya yang dibebankan kepada masyarakat atas
penyelenggaraan kegiatan pengolahan darah dari UTD dan
biaya penyelenggaraan pelayanan darah di BDRS dan
ditetapkan oleh kepala/direktur rumah sakit.
Biaya penggantian pengolahan darah di BDRS meliputi
komponen biaya penyelenggaraan pelayanan transfusi darah di
rumah sakit dan komponen biaya operasional. Komponen
biaya penyelenggaraan pelayanan transfusi darah di rumah
sakit merupakan imbalan yang diterima oleh BDRS atas biaya

12
bahan non medis dan bahan/alat kesehatan habis pakai yang
digunakan langsung dalam rangka Pelayanan Darah.
Komponen biaya operasional sebagaimana dimaksud
diatas merupakan imbalan yang diterima oleh BDRS atas biaya
utilities, biaya sumber daya manusia, transportasi, bahan cetak,
dan biaya investasi.
b. Biaya penggantian pengolahan darah paling tinggi 50% (lima
puluh persen) dari biaya penggantian pengolahan darah
perkantong dari UTD yang memiliki kemampuan pelayanan
dengan metode konvensional. Pelayanan dengan metode
konvensional merupakan pengolahan darah lengkap menjadi
komponen darah berupa sel darah merah pekat, plasma segar
beku, plasma cair, dan thrombosit pekat, serta uji saring
menggunakan rapid test, dan Chemiluminescence Immuno
Assay (ChLIA)/Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
(ELISA).

13
BAB III
TATA LAKSANA
PEMBERIAN DARAH DAN KOMPONEN DARAH

Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah
dimasukkan sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam sistem
kardiovaskular, tersusun dari komponen korpuskuler atau seluler, dan komponen
non korpuskuler atau non seluler. Darah berfungsi sebagai organ transportasi
(dilakukan oleh hemoglobin didalam sel darah merah), sebagai organ pertahanan
tubuh/imunologik (dilakukan oleh leukosit dan immunoglobulin) dan dalam
menghentikan perdarahan/ mekanisme homeostasis(dilakukan oleh mekanisme
fibrinolisis).
Apabila terjadi pengurangan darah yang cukup bermakna dari komponen
darah korpuskuler maupun non korpuskuler akibat kelainan bawaan ataupun
karena penyakit yang didapat, yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme
homeostasis tubuh dalam waktu singkat maka diperlukan penggantian dengan
transfusi darah. Penggunaan darah untuk transfusi dilakukan secara rasional dan
efisien yaitu dengan memberikan hanya komponen darah yang dibutuhkan. Hal ini
didasarkan bahwa darah terdiri dari bermacam-macam elemen selular dan protein
plasma dengan fungsi yang berbeda-beda.

A. KOMPONEN DARAH
1. Darah lengkap (whole blood)
Darah lengkap terdiri dari sel darah merah, leukosit, trombosit
dan plasma. Satu unit darah lengkap berisi 450 ml darah dan 63 ml
antikoagulan. Namun di Indonesia satu unit darah berisi 250 ml darah
dengan 37 ml antikoagulan atau 350 ml darah dengan 49 ml
antikoagulan. Pemberian darah lengkap tergantung pada keadaan klinis
pasien.
Menurut WHO dalam The clinical use of blood, pemberian darah
lengkap diindikasikan pada keadaan :

14
 Perdarahan akut dengan hipovolemik,
 Transfusi tukar dan pada pasien yang membutuhkan transfusi sel
darah merah di mana sel darah merah konsentrat atau suspensi
tidak tersedia.
Sedangkan menurut Djoerban Z, pemberian darah lengkap pada
keadaan perdarahan akut dengan hipovolemik tidak menjadi pilihan
utama. Pemulihan segera volume darah pasien jauh lebih penting dari
pada penggantian sel darah merah, sedangkan menyiapkan darah untuk
transfusi memerlukan waktu. Darah lengkap sebaiknya tidak diberikan
pada pasien dengan anemia kronik yang normovolemik atau yang
bertujuan meningkatkan sel darah merah.
Pada orang dewasa, 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb
sekitar 1 g/dl atau hematokrit 3-4%. Saat ini pemberian darah lengkap
bukan menjadi pilihan, karena risiko yang dapat terjadi lebih tinggi
daripada pemberian transfusi komponen darah, terutama penularan
infeksi. Untuk menghindari hal tersebut pemberian sebaiknya
menggunakan filter darah dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan
klinis pasien, namun sebaiknya dalam 4 jam.
2. Sel darah merah pekat (packed red blood cell/PRC)
Sel darah merah pekat (packed red blood cell/PRC) berisi
eritrosit, trombosit, leukosit dan sedikit plasma, dengan nilai hematokrit
55-75%. Dalam satu unit sel darah merah diperkirakan volume 150-300
ml dengan massa PRC 100-200 ml.Transfusi PRC hampir selalu
diindikasikan pada kadar hemoglobin (Hb) <7 g/dl, terutama pada
anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimptomatik dan/atau
penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, sehingga batas kadar Hb yang
lebih rendah dapat diterima. Transfusi dapat dilakukan pada kadar Hb
7-10 g/dl apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna
secara klinis dan laboratorium. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb
≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang

15
membutuhkan kapasitas transport oksigen lebih tinggi (contoh: penyakit
paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat).
Faktor lain yang harus menjadi pertimbangan adalah keadaan
klinis, tanda dan gejala hipoksia, kehilangan darah, risiko anemia
karena penyakit yang diderita oleh pasien dan risiko transfusi.Faktor
spesifik yang perlu menjadi pertimbangan transfusi adalah riwayat
menderita penyakit kardiopulmonal, dimana transfusi diberikan pada
batas kadar Hb yang lebih tinggi. Kondisi kardiovaskuler pasien
menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan transfusi. Sesuai
dengan systematic review oleh Carson et al (2012) yang menunjukkan
pentingnya transfusi restriktif pada pasien tanpa penyakit
kardiovaskuler yang serius. Satu unit PRC diberikan kepada orang
dewasa rata-rata akan meningkatkan hemoglobin dengan sekitar 1 g/dL
dan hematokrit sekitar 3%.
Cochrane systematic review pada tahun 2011, menyimpulkan dari
19 penelitian dengan 6264 pasien bahwa transfusi darah restriktif pada
pasien dengan kadar hemoglobin (Hb) 7-8 mg/dL menunjukkan klinis
yang sama dengan transfusi restriktif pada kadar Hb 9-10 mg/dL. Hal
ini sesuai dengan penelitian The Transfusion Requirement in Critical
Care (TRICC) yang lebih dahulu dilakukan pada tahun 1999, yaitu
tidak terdapat perbedaan tingkat kematian dalam 30 hari pada pasien
rawatan intensive care yang ditransfusi dengan kisaran Hb 7-9 mg/dL
dibandingkan dengan kisaran Hb 10-12 mg/dL. Namun berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Mudumbai (2011), dimana pasien
dengan kadar hematokrit < 25% tanpa transfusi dihubungkan dengan
tingkat kematian jangka panjang.
Pada tahun 2012 American Association of Blood Banks (AABB)
merilis pedoman praktek klinis untuk transfusi PRC berdasarkan
penelaahan sistematis beberapa uji klinis acak. AABB
merekomendasikan bahwa di rumah sakit, pasien stabil dengan ambang
batas 7 sampai 8 g/dL harus dilakukan transfusi. Sedangkan pasien
16
dengan penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya dengan ambang
batas 8 g/dL atau kurang, dan transfusi dilakukan sesuai dengan
keadaan klinis pasien.Secara garis besar hal ini sesuai dengan beberapa
pedoman terdahulu dimana kisaran kadar Hb antara 7-8 g/dL.

Pedoman transfusi sel darah merah menurut beberapa


organisasi

3. Washed red cell(WRC) dapat diindikasikan untuk neonatus yang


menjalani transfusi tukar/transfusi masif, transfusi intrauterin, pasien
dengan anti-IgA atau pasien dengan defisiensi IgA dengan sejarah
reaksi alergi yang parah ketika sel darah merah dari donor kekurangan
IgA tidak tersedia dan pasien dengan riwayat reaksi parah pada
komponen darah (tidak responsif terhadap premedikasi).

17
4. Trombosit
Trombosit dapat diperoleh dengan cara sentrifugasi darah lengkap
(Whole blood) atau dengan cara tromboferesis. Satu unit trombosit yang
berasal dari 450ml darah lengkap berisi sekitar 5,5x1010 trombosit
dengan volume ±50 ml. Sedangkan secara tromboferesis satu donor
berisi sekitar 3x1011 trombosit, setara dengan 6 unit trombosit dengan
volume antara 150-400 ml.
Transfusi trombosit dapat diindikasikan baik sebagai profilaksis
untuk mengurangi risiko perdarahan atau sebagai terapi untuk
mengontrol perdarahan pada pasien dengan trombositopenia.Namun
transfusi trombosit tidak diindikasikan untuk pasien dengan autoimun
trombositopenia purpura (ITP), dan trombotik trombositopenia purpura
(TTP).
Pedoman awal pada perkembangan transfusi trombosit di tahun
1980-an dan 1990-an merekomendasikan transfusi trombosit untuk
pasien tanpa perdarahan dengan kadar trombosit 20.000/mm3, karena
dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan.Namun
beberapa penelitian dipopulasi lain menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan risiko perdarahanantara kadar trombosit 10.000/mm3 dan
20.000/mm3. Sedangkan Slighter SJ (2010) yang menyimpulkan bahwa
dosis trombosit tidak berefek pada kejadian perdarahan.
Dibutuhkan 6 unit trombosit atau 1 unit apheresis untuk
menaikkan sekitar 40.000-60.000/L.Sama halnya dengan transfusi PRC,
hingga saat ini sudah terdapat beberapa pedoman dalam transfusi
trombosit, yang pada umumnya merekomendasikan kadar trombosit
10x109/L sebagai indikasi untuk transfusi trombosit profilaksis. Namun
menurut survey (Estcourt) pada tahun 2012 di Inggris, 34% transfusi
trombosit profilaksis tidak sesuai dengan pedoman dan 10% diberikan
dengan dosis ganda. Hal ini disebabkan karena bukti terbaru dari
ambang dan dosis transfusi trombosit yang tepat, tidak jelas. Sedangkan
kepentingan transfusi trombosit sebagai profilaksis dapat terlihat dari
18
penelitian Stanworth S (2013) bahwa insiden perdarahan berkurang
pada pasien dengan transfusi trombosit sebagai profilaksis, dari 50%
menjadi 43%.

5. Granulosit feresis (granulocytes pheresis)


Granulosit diperoleh dengan cara sitaferesis dari donor tunggal,
yang berisi granulosit, limfosit, trombosit dan sedikit plasma. Setiap
unit berisi sekitar 1.0x1010 granulosit, dengan volume 200-300 ml.
Transfusi granulosit diindikasikan kepada :
a. Sebagai terapi suportif pada pasien dengan neutropenia yang
mengancam jiwa disebabkan oleh kegagalan sumsum tulang
b. Pada pasien dengan disfungsi neutrofil.
Infeksi bakteri dan jamur terus menjadi penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada pasien neutropeniaparah yang
menjalani rejimen kemoterapi agresif atau transplantasi sel induk
hematopoietik. Sejak dulu terapi transfusi granulosit mengobati
infeksi dan beberapa studi terkontrol telah menunjukkan terapi ini
berguna.
Namun, terapi transfusi granulosit secara klinis tidak
mengesankan. Hasil ini mengecewakan, karena dosis rendah dari
granulosit yang tersedia. Penelitian yang lebih baru telah berusaha
untuk meningkatkan jumlah sel yang ditransfusikan dengan
merangsang donor granulosit normal dengan granulocyte colony-
stimulatingfactor atau G-CSF (dengan atau tanpa kortikosteroid).
Dengan teknik ini, jumlah granulosit ditransfusikan dapat
meningkat 3-4 kali lipat. Transfusi sehari mampu mempertahankan
jumlah neutrofil darah normal atau mendekati normal pada pasien
yang sebelumnya sangat neutropenia. Sel-sel berfungsi secara normal
in vitro dan in vivo.
Transfusi diberikan menggunakan saringan darah standar dan
sistem ABO–nya harus cocok dengan darah pasien. Hingga saat ini

19
belum ada konsensus mengenai dosis efektif yang ditetapkan, namun
menurut Massey E bersama The Granulocyte Working Group (2012),
dosis harian sekitar 2 x 1010 sel dianggap memberikan hasil klinis
yang bermakna.
6. Plasma segar beku (fresh frozen plasma/FFP)
Plasma segar beku (fresh frozen plasma/FFP) berisi plasma, semua
faktor pembekuan stabil dan labil, komplemen dan protein plasma.
FFPdipisahkan dari darah lengkap lalu dibekukan dalam waktu 8 jam
setelah pengambilan darah dan lalu disimpan pada suhu -18ºC atau
lebih rendah dengan masa simpan 1 tahun, dengan volume 200-250 ml.

Plasma segar beku digunakan untuk gangguan/defisiensi faktor


pembekuanterkait dengan perdarahan parah dan/atau dengan
koagulopati intravascular, pada penggantian faktor koagulasi plasma
labil selama transfusi masif, bypass jantung, penyakit hati akut atau
disseminated intravascular coagulation(DIC) dengan adanya
perdarahan dan koagulasi abnormal, kasus-kasus overdosis warfarin
dengan keadaan perdarahan yang mengancam jiwa, dan padathrombotic
thrombositopenia purpura (TTP).FFP tidak digunakan untuk
mempertahankan ekspansi volume karena risiko penularan yang tinggi.
Produk ini diberikan dalam 6 jam setelah pencairan, dengan
memakai saringan standar. Plasma harus cocok dengan sistem ABO dan
tidak perlu uji silang. Pemberian plasma sebagai pengganti faktor
koagulasi dengan dosis 10-20 ml/kgBB dapat meningkatkan faktor
koagulasi sebesar 20-30% dan faktor VIII 2%.
Stanworth (2004) dan Yang L (2012) menunjukkan kurangnya
bukti tentang efektivitas plasma, dimana tidak terdapat bukti yang
konsisten akan keuntungan dari kegunaan profilaksis dan terapeutik
pada banyak manifestasi klinik. Namun walaupun tidak terdapat bukti
yang konsisten, penggunaan plasma meningkat pada tahun 2011-2013.

20
Pada tahun 2011 di Inggris 43% transfusi FFP diberikan untuk
profilaksis pada gangguan faktor koagulasi.

7. Kriopresipitat (Crioprecipitated)
Biasa disebut cryoprecipitated antihemophilic factor.Didapatkan
dengan mencairkan FFP pada suhu 1-60C. Mengandung 150-300 mg
fibrinogen, 80-100 IU faktor VIII, 40-70% faktor vWF (von Willebrand
factor), 20-30% faktor XIII, fibronektin, dan 5-20 mL plasma.
Indikasi untuk penggunaan kriopresipitat telah berubah sejak
beberapa dekade yang lalu. Pada pertengahan tahun 1960-an,
kriopresipitat awalnya dikembangkan untuk memberikan faktor VIII
pada pasien dengan defisiensi faktor VIII kongenital. Penggunaan ini
kemudian diperluas untuk pengobatan pasien dengan Penyakit von
Willebrand (VWD) dan hipofibrinogenemia dengan beberapa manfaat.
Saat ini, indikasi yang paling umum pada pasien dengan
hipofibrinogenemia didapat dan perdarahan untuk meningkatkan nilai
fibrinogen serum.
Produk yang diberikan harus cocok dengan sistem ABO, tidak
perlu uji silang dan diberikan dengan saringan standar. Association of
Anaesthetists of Great Britain and Ireland (AAGBI) Guidelines – Blood
Transfusion and the Anaesthetist: Management of Massive
Haemorrhage (2010) menyarankan dosis 30 - 60 mg/kgBB untuk kadar
fibrinogen dengan nilai target fibrinogen lebih dari 1,5 g/L namun tidak
ada aturan dosis kriopresipitat yang direkomendasikan. Sedangkan
European Guidelines (2010) merekomendasikan dosis kriopresipitat
15-20 unit atau 50 mg/kg untuk rata-rata dewasa (70 kg).

B. TRANSFUSI DARAH
Transfusi darah merupakan pemberian darah atau komponen darah dari
donor ke resipien, dengan tujuan terapeutik, dimana dapat menjadi
penyelamat nyawa tapi dapat pula berbahaya dengan berbagai
komplikasi.Menurut Shubha Allard (2013), istilah transfusi darah mengacu
21
pada penggunaan terapi darah utuh atau komponen-komponennya (sel darah
merah, trombosit, plasma beku segar dan kriopresipitat).

1. Komplikasi
Transfusi darah dapat menyelamatkan nyawa dalam banyak situasi,
tapi bukan berarti tidak bebas risiko. Walaupun jarang terjadi, transfusi
darah dapat mengancam jiwa. Menurut Kleinman S (2014) di Amerika
Serikat, tingkat kematian jangka panjang setelah transfusi sekitar 31% di
tahun pertama, 14% pada tahun kedua, dan 10% per tahun dalam
beberapa tahun setelah transfusi. Sedangkan tingkat kematian jangka
pendek setelah transfusi sekitar 1-1,2 per 100.000 pasien yang menerima
transfusi. Jumlah ini sekitar 35 kematian terkait transfusi per tahun di
Amerika Serikat. Namun pada tahun 2011, di Amerika Serikat dilaporkan
43% kematian dan 25% di Inggris yang secara pasti dikaitkan dengan
transfusi.
Sejak berdirinya French haemovigilance network pada tahun 1949
dan Serious Hazards of Transfusion (SHOT) di Inggris pada tahun 1996,
TRALI telah menjadi penyebab paling umum kematian dan morbiditas
terkait dengan transfusi. Hal ini sesuaiFDA yang melaporkan bahwa
antara 2007 dan 2011 di Amerika Serikat, TRALI merupakan penyebab
kematian tertinggi pada kematian terkait transfusi (43%), diikuti oleh
reaksi transfusi hemolitik (23%) disebabkan inkompatibilitas non-ABO
(13%) atau inkompatibilitas ABO (10%).
Secara garis besar, komplikasi transfusi dapat dibagi 2, yaitu:
infeksi dan non infeksi.
 Infeksi
Saat ini komplikasi transfusi infeksi jarang terjadi karena
kemajuan dalam proses penyaringan darah, risiko tertular infeksi
dari transfusi telah menurun 10.000 kali lipat sejak tahun 1980-an.
Namun, belum ada kemajuan dalam mencegah bahaya serius dari
komplikasi transfusi infeksi.

22
Dari semua komplikasi infeksi, hepatitis B merupakan infeksi
yang paling sering terjadi. Di Inggris, dari semua darah donor yang
dilakukan skrining, pada tahun 2008-2010 ditemukan virus
hepatitis Bdengan insiden 1 dari 1 juta donor.8 Sesuai dengan
penelitian Hendrickson (2009) dimana hepatitis B merupakan
komplikasi infeksi tersering.
a. Hepatitis
Hepatitis pasca transfusi adalah penyakit yang paling
umum ditularkan melalui darah transfusi. Hepatitis pasca
transfusi dapat disebabkan oleh virus hepatitis A (HAV),
virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV),
cytomegalovirus(CMV), atau Epstein-Barr virus (EBV) atau
dapat didefinisikan sebagai non-A, non-B,non-C, yang berarti
hepatitis karena tidak ada agen yang tercantum di atas.
Di masa lalu, hepatitis B adalah komplikasi utama dari
transfusi darah. Penelitian tentang HBV di Australia
memberikan langkah besar pertama dalam mengurangi
infeksi yang ditularkan lewat transfusi. Penerapan skrining
rutin donor darah untuk hepatitis B surface antigen
mengurangi kejadian hepatitis B pasca transfusi. Namun,
masih merupakan hepatitis pasca transfusi yang paling umum
terjadi. Pada tahun 1987, skrining rutin antibodi darah donor
ke inti antigen hepatitis B (anti-HBc) diperkenalkan dalam
upaya untuk mengurangi penularan non-A, non-B hepatitis.
Keuntungan tambahan dari skrining ini adalah pengurangan
lebih lanjut dari hepatitis B pasca transfusi.
Sedangkan tes skrining donor untuk anti-HCV
diperkenalkan pada tahun 1992. Dampak dari skrining donor
untuk anti-HCV sangat besar. Saat ini diperkirakan bahwa tes
generasi pertama dapat mencegah sekitar 40.000 kasus
hepatitis pasca transfusi per tahun di Amerika Serikat. Risiko
23
yang ditularkan lewat transfusi HCV kini diperkirakan hanya
sekitar 6 kasus per tahun.
Perkiraan frekuensi hepatitis pasca transfusi rumit
karena ini tergantung pada populasi donor darah. Hepatitis
pasca transfusi masih merupakan masalah kesehatan utama.
Menurut Shahshahani HJ (2013) tingkat prevalensi hepatitis
B, dan C pada darah donor di Iran mengalami penurunan dari
tahun 2004 sebesar 0,37% dan 0,14% menjadi 0,14%, dan
0,05% pada tahun 2010. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan Flichman (2014), yang melaporkan
penurunan kejadian hepatitis B di Argentina dari 0.336%
pada tahun 2004 menjadi 0.198% pada tahun 2011.

b. Human Immunodeficiency Virus (HIV)


Penelitian epidemiologi pertama menetapkan bahwa
AIDS disebabkan oleh HIV-1 retrovirus dan dapat ditularkan
melalui transfusi darah. Dengan identifikasi HIV sebagai
agen penyebab, menjadi jelas bahwapada pertengahan 1990-
an, di seluruh dunia jutaan orang telah terinfeksi, meskipun
proporsi yang sangat kecil yang terinfeksi melalui transfusi
darah.
Dengan diperkenalkannya skrining darah untuk HIV,
penularan penyakit transfusi telah hampir dieliminasi.
Meskipun ada kekhawatiran besar tentang transfusi-menular
HIV, transfusi menyumbang kurang dari 2% dari semua
kasus AIDS di Amerika Serikat. Hanya sekitar 35 kasus HIV
ditularkan lewat transfusi telah diidentifikasi setelah
pelaksanaan skrining pada tahun 1985.
Interval antara infeksi dan perkembangan antibodi
terhadap virus yang menginfeksi dikenal sebagai "window
phase." Pada tes HIV dalam mendeteksi anti-HIV, terdapat
24
window phase di mana individu menular tetapi tidak
memiliki screening positif tes untuk anti-HIV. Dengan
demikian, meskipun pengujian untuk anti-HIV negatif,
penularan virus masih bisa terjadi dari darah yang didonor
selama window phase, dimana antara infeksi dan munculnya
antibodi adalah sekitar 6 minggu atau 45 hari.
Pada donor dengan window phase yang telah terdeteksi
pada sebelum menjadi antibodi HIV positif, skrining antigen
HIV donor darah dilaksanakan untuk mengurangi penularan
HIV melalui darah sumbangan. Namun, dua penelitian besar
yang melibatkan sekitar 500.000 donor masing-masing tidak
mengidentifikasi adanya donor yang mengandung serum
antigen HIV tapi tidak ada antibodi HIV. Berdasarkan studi
ini, ternyata bahwa tes antigen HIV tidak akan membantu.
Risiko tertular infeksi HIV setelah transfusi dengan
darah yang anti-HIV-1-positif setinggi 70-91%. Komponen
yang berbeda dari donor yang terinfeksi mungkin memiliki
kemungkinan yang berbeda menularkan HIV. Telah
diperkirakan bahwa sebelum pengenalan tes antibodi HIV-1
pada Mei 1985, sekitar 12.000 pasien terinfeksi HIV-1 akibat
transfusi. Masa inkubasi antara infeksi HIV-1 pasca transfusi
dan perkembangan AIDS klinis sulit ditentukan, diperkirakan
sekitar 4,5-14,2 tahun.
c. Infeksi Bakteri
Kontaminasi bakteri dari komponen darah saat ini
merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada transfusi.
Telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa sebagian kecil
dari unit whole blood mengandung bakteri hidup. Penularan
infeksi bakteri merupakan masalah utama di masa-masa awal
transfusi darah, namun perbaikan dalam wadah darah,
pengembangan sistem tertutup untuk memproduksi
25
komponen darah, dan penyimpanan pada suhu lemari es
dianggap telah mengeliminasi masalah ini. Namun, jika hal
itu terjadi, potensi sepsis fulminan dikaitkan dengan angka
kematian yang tinggi. Gejala terjadi selama atau segera
setelah transfusi unit terkontaminasi dengan gejala demam
tinggi, menggigil, eritema dan kolaps kardiovaskuler.
Sel darah yang disimpan pada suhu 4°C, mengakibatkan
kontaminasi dengan bakteri Gram-negatif seperti Yersinia
enterocolitica dan Pseudomonas sp. Mungkin terjadi karena
bakteri ini berkembang biak dengan cepat pada suhu tersebut.
Bakteri Gram-positif seperti Staphylococcus epidermidis,
Staphylococcus aureus dan spesies Bacillus berkembang biak
lebih mudah pada suhu kamar dan jadi lebih sering dilihat
sebagai kontaminasi trombosit. Tidak ada tes skrining saat ini
yang tersedia untuk mendeteksi kontaminasi bakteri. Oleh
karena itu, inspeksi visual dari kantong darah sebelum
transfusi penting. Kantong darah terkontaminasi tampak
berwarna gelap atau mengandung gelembung gas.
Besarnya masalah klinis ini sulit untuk ditentukan karena
hanya reaksi yang beratyang dilaporkan dan faktor-faktor lain
yang penting seperti kondisi yang mendasari, jumlah dan
jenis bakteri atau adanya endotoksin dalam komponen darah.
Infeksi bakteri yang ditularkan lewat transfusi dilaporkan
terjadi sekitar 1 per 25.000 unit trombosit dan 1 per 250.000
unit PRC. Tingkat kematian sulit untuk ditentukan, tapi 5-8
kematian dilaporkan pada FDA setiap tahunnya. Lebih dari
setengah dari kematian disebabkan oleh PRC dan trombosit
yang terkontaminasi dibandingkan dengan kontaminasi
plasma. Namun sejak tahun 2009 infeksi bakteri akibat
transfusi tidak lagi ditemukan di Inggris.

26
d. Infeksi Parasit
Infeksi parasit melalui transfusi relatif jarang. Infeksi
parasit yang paling sering ditularkan lewat transfusi adalah
malaria, terutama di negara-negara tropis sedangkan
Babesiosis dan penyakit Chagas merupakan ancaman terbesar
bagi donor di Amerika Serikat. Penularan malaria telah
dilaporkan terjadi terutama dari produk-donor tunggal: sel
darah merah, trombosit atau konsentrat sel darah putih
(karena kontaminasi dengan sel darah merah residual),
kriopresipitat, dan WRC. Transmisi dari donor tunggal FFP
belum dilaporkan. Penularan dari kriopresipitat jarang dan
cenderung mencerminkan persiapan transfusi.
Tidak ada tes serologi dapat diandalkan tersedia sehingga
fokus untuk pencegahan tetap pada kepatuhan terhadap
pedoman skrining donor yang membahas riwayat perjalanan
dan infeksi sebelumnya dengan agen etiologi. Salah satu
tujuan adalah mengembangkan tes yang mampu menyaring
dan mengidentifikasi donor berpotensi menular untuk infeksi
parasit tanpa menyebabkan penangguhan sejumlah besar
donor non-menular atau secara signifikan meningkatkan
biaya. Idealnya, metode untuk menonaktifkan organisme
menular akan memberikan unsur keamanan tambahan untuk
pasokan darah.
 Non Infeksi
Komplikasi non infeksi lebih mungkin terjadi sampai 1.000
kali dibandingkan komplikasi infeksi. meskipun perbaikan dalam
tes skrining darah dan kemajuan medis terkait lainnya. Oleh
karena itu, jauh lebih mungkin untuk terjadi bahaya yang serius
dari komplikasi non infeksi daripada komplikasi infeksi.
a. Reaksi Transfusi Hemolitik

27
Reaksi transfusi hemolitik merupakan komplikasi
serius yang dapat terjadi setelah transfusi darah, yang
umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah merah
yang ditransfusikan oleh antibodi resipien. Biasanya,
hemolisis sel darah merah resipien terjadi sebagai hasil
transfusi antibodi sel darah merah. Tanda-tanda dan gejala
yang dapat menyertai reaksi transfusi hemolitik yang paling
umum adalah demam dan menggigil.
Penatalaksanaan reaksi hemolitik adalah dengan segera
menghentikan transfusi, tetap menjaga akses vena untuk
manajemen darurat, pertahankan status hidrasi, pertahankan
urin output 100cc/jam, dan mengantisipasi hipotensi, gagal
ginjal dan DIC. Tindakan profilaksis untuk mengurangi risiko
gagal ginjal dapat diberikan dopamin dosis rendah (1-5 mcg /
kg / menit), hidrasi kuat dengan larutan kristaloid (3000
mL/m2/24jam), dan diuresis osmotik dengan manitol 20%
(100 mL/m2/bolus, diikuti oleh 30 mL/m2/jam selama 12
jam). Jika terjadi DIC dan perdarahan, transfusi plasma segar
beku (FFP), cryoprecipitates dan / atau konsentrat trombosit
dapat diindikasikan.
Kematian disebabkan oleh reaksi transfusi hemolitik
jarang terjadi. Menurut Fastman (2011) terjadi pada 1 dari 1,5
juta hingga 1,8 juta transfusi. Diantara tahun 2005-2007,
sebesar 69,2% kematian akibat reaksi transfusi hemolitik
disebabkan oleh inkompatibilitas non-ABO.
b. Reaksi Transfusi Hemolitik Akut
Pada reaksi transfusi hemolitik akut, terjadi
penghancuran sel darah merah donor dalam waktu 24 jam
setelah transfusi. Hemolisis dapat terjadi intravaskular
maupun ekstravaskular. Hemolisis intravaskular akut pada
umumnya berhubungan dengan inkompatibilitas ABO.
28
Penyebab yang paling umum adalah misidentifikasi pasien,
spesimen darah, atau unit transfusi.
Gejala reaksi transfusi hemolitik akut berupa demam,
menggigil, menggigil, mual, muntah, dyspnea, hipotensi,
perdarahan difus, hemoglobinuria, oliguria, anuria, nyeri di
tempat infus, dan nyeri dada, nyeri punggung, dan nyeri
perut. Dengan komplikasi yang dapat terjadi anemia yang
signifikan, gagal ginjal akut, koagulasi intravaskular
diseminata, hemodialisa, dan kematian sekunder komplikasi.
Kejadian yang sebenarnya dari reaksi transfusi
hemolitik akibatinkompatibilitas ABO tidak diketahui.
Insiden reaksi hemolitik akut adalah sekitar 1-5 per 50.000
transfusi. Dari tahun 1996 sampai 2007, terdapat 213
transfusi sel darah merah yang inkompatibilitas ABO dengan
24 kematian. Dalam laporan 2008 oleh Janatpour,
inkompatibilitas ABO diperkirakan mencapai 1:38,000
sampai 1:100.000 transfusi, dan risiko kematian akibat
hemolitik akut adalah 1:1,5 juta.
c. Reaksi Transfusi Hemolitik Tertunda(Delayed hemolytic
transfusion reactions)
Delayed hemolytic transfusion reactions (DHTR)
terjadi 3-10 hari setelah transfusi sel darah merah yang
tampaknya kompatibel secara serologis. Reaksi ini terjadi
pada pasien yang telah alloimmunized terhadap antigen sel
darah merah kecil selama transfusi dan/atau kehamilan
sebelumnya, pengujian sebelum transfusi gagal untuk
mendeteksi alloantibodies ini karena titer yang rendah.
Setelah paparan ulang antigen sel darah merah yang positif,
respon anamnestic terjadi, dengan peningkatan pesat dalam
titer antibodi. Penurunan kelangsungan hidup sel darah merah
ditransfusikan bisa terjadi, terutama karena hemolisis
29
ekstravaskular. Pada kebanyakan kasus, bagaimanapun,
produksi antibodi anamnestic tidak menyebabkan hemolisis
terdeteksi. Istilah delayed serologictransfusion
reaction (DSTR) mendefinisikan reaksi di mana antibodi
anamnestic diidentifikasi secara serologis, dengan tidak
adanya bukti klinis dimana terjadi percepatan kehancuran sel
darah merah. Antigen terlibat paling sering terlibat dalam
DHTR dan DSTR berada di Kidd, Duffy, Kell, dan MNS
sistem, dalam urutan frekuensi menurun.
d. Reaksi Febris
Reaksi ini sangat umum, biasanya tidak mengancam
nyawa dan terjadi 2 jam setelah transfusi dimulai. Reaksi ini
disebabkan oleh 2 mekanisme yang berbeda, yang pertama
adalah transfusi antigen leukosit yang menyebabkan aktivasi
dari kaskade sitokin pada resipien. Kedua adalah transfusi
sitokin dari produk darah yang disimpan yang memiliki
kemampuan untuk menyebabkan respon imun inflamasi pada
resipien.
Reaksi febris pada transfusi trombosit telah dilaporkan
dengan tingkat berkisar antara 1% sampai 38%, sedangkan
untuk transfusi PRC 0,3% menjadi 6%. Premedikasi dengan
acetaminophen dan diphenhydramine berguna untuk
mencegah reaksi febril ini. Namun, terdapat kontroversi
apakah premedikasi bermanfaat untuk pasien. Sebuah studi
oleh Wang dan rekan (2002) menemukan bahwa premedikasi
tidak bermakna mengurangi kejadian reaksi febril pada saat
transfusi trombosit. Sebaliknya, pada tahun 2008 Kennedy
dan rekan menemukan bahwa pemberian premedikasi
sebelumnya dapat menekan reaksi demam, terutama pada
pasien yang menerima beberapa transfusi. Namun, hal itu
tidak mengurangi reaksi transfusi secara keseluruhan. Hingga
30
saat ini belum ada pendapat yang pasti ditawarkan tentang
penggunaan premedikasi sebelum transfusi, sehingga
keputusan untuk menggunakan premedikasi harus
ditangguhkan tergantung pada keputusan dokter.
Gejala reaksi demam termasuk demam, menggigil,
sakit kepala, mialgia dan malaise umum. Jarangterjadi
hipotensi, muntah dan gangguan pernapasan. Onset adalah
selama, atau beberapa jam setelah, transfusi dan tingkat
keparahan reaksi tergantung pada beban leukosit dan tingkat
transfusi.
Biasanya, demam sembuh dalam 15-30 menit tanpa
pengobatan khusus. Jika demam menyebabkan
ketidaknyamanan, acetaminophen oral (325-500 mg) dapat
diberikan. Hindari aspirin karena efek samping yang
berkepanjangan pada fungsi trombosit. Kontroversi yang ada
dalam literatur saat ini pada apakah transfusi harus
dihentikan; Namun, ada konsensus bahwa tingkat transfusi
hanya dikurangi.
e. Sindrom acute lung injury (Transfusion-Related Acute
Lung Injury/TRALI)
Transfusion-Related Acute Lung Injury pertama kali
dikemukakan oleh Brittingham pada tahun 1957, yaitu
hubungan antara gejala cedera paru-paru akut atau Acute
Lung Injury(ALI), transfusi dan leukoagglutinins didalam
komponen darah. Tiga dekade lalu, TRALI dianggap sebagai
komplikasi yang jarang pada transfusi. Namun saat ini, FDA
mengakui sebagai suatu sindrom dengan penyebab utama
kematian terkait transfusi, dengan kejadian 43% dari semua
reaksi transfusi fatal antara 2007 dan 2011.
Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute
(NHLBI), TRALI sebagai ALI yang terjadi selama atau
31
dalam waktu 6 jam setelah transfusi, dengan hubungan
temporal yang jelas untuk transfusi, pada pasien dengan atau
tanpa atau faktor risiko selain transfusi ALI. Pada April 2004,
Canadian Consensus Confrence memodifikasi definisi dan
kriteria TRALI menurut NHLBI, modifikasi tersebut
memperluas definisi hipoksia dengan memasukkan bukti
klinis dari hipoksia dan menciptakan kategori kemungkinan
terjadi TRALI untuk mengatasi kasus-kasus di mana pasien
memiliki faktor risiko lain untuk ALI seperti sepsis, aspirasi,
tenggelam, disseminated intravascular coagulation, trauma,
pneumonia, overdosis narkoba, fraktur, luka bakar dan
cardiopulmonary bypass.
Patogenesis belum sepenuhnya dipahami, tampaknya
menjadi proses multifaktorial yang berpuncak pada aktivasi
neutrofil dan cedera paru akut. Pemahaman patogenesis
TRALI telah menghasilkan desain strategi pencegahan dari
perspektif bank darah. Sebuah terobosan besar dalam upaya
untuk mengurangi kejadian TRALI dan menghindari donor
dari perempuan dengan volume plasma yang tinggi,
mengakibatkan penurunan kira-kira dua pertiga kejadian.
Namun, strategi ini belum sepenuhnya menghilangkan
komplikasi.
Pengobatan TRALI yang utama adalah dengan
tambahan oksigen dan dalam kebanyakan kasus ventilasi
mendukung. Berbeda dengan sindrom gangguan pernapasan
akut dari penyebab lain, pasien biasanya kembali pulih
dengan cepat, dengan resolusi infiltrat paru dalam 96 jam dari
transfusi. Dengan tidak adanya tanda-tanda kelebihan cairan
yang akut atau edema paru kardiogenik, diuretik tidak
diindikasikan. Tidak ada bukti bahwa kortikosteroid atau
antihistamin bermanfaat.
32
f. Transfusion-related Immunomodulator
Transfusion-related Immunomodulator (TRIM)
merupakan fenomena biologis yang nyata mengakibatkan
setidaknya satu efek klinis yang menguntungkan pada
manusia, namun keberadaan efek klinis TRIM yang
merugikan menjelaskan bahwa transfusi sel darah merah
berhubungan dengan peningkatan proinflamasi atau efek
imunosupresif yang dapat meningkatkan morbiditas pada
setidaknya pada beberapa kelompok pasien.
Awalnya, TRIM merupakan efek yang timbul saat
transfusi darah alogenik oleh mekanisme imunomodulator
(misalnya, kambuhnya kanker, infeksi pasca operasi, atau
aktivasi virus). Baru-baru ini, TRIM juga termasuk efek yang
timbul saat transfusi darah alogenik oleh mekanisme pro-
inflamasi (misalnya, kegagalan multi-organ atau kematian).
Efek TRIM dapat dimediasi oleh: (1) sel mononuklear
alogenik; (2) sel darah putih (WBC) yang diturunkan
mediator larut; dan/atau (3) peptida human leucocyte antigen
(HLA) yang larut beredar di plasma alogenik.
g. Penyakit terkait transfusi graft-versus-host (Transfusion
Related-Graft versus Host Disease)
Graft-versus-host disease (GVHD) merupakan
komplikasi terkenal transplantasi sumsum tulang alogenik.
Transfusi terkait graft-versus-host penyakit (Transfusion
Related-Graft versus Host Disease/TA-GVHD) lebih jarang
terjadi dan mirip komplikasi fatal transfusi darah, yang terjadi
2-30 hari setelah transfusi. TA-GVHD terjadi 0.1-1.0% dari
transfusi pada penerima rentan, dengan angka kematian TA-
GVHD sekitar 87-100%.
Gambaran klinis klasik dari TA-GVHD termasuk
demam, pruritus, ruam kulit, nyeri kuadran kanan atas, tes
33
fungsi hati yang abnormal, diare, mual, muntah, batuk dan
dyspnea. Faktor risiko yang mendasari terjadi TA-GVHD
umumnya terjadi pada individu dengan bawaan atau acquired
immunodeficiency, transfusi darah dari kerabat, transfusi
intrauterin dan HLA yang cocok dengan transfusi trombosit.
Diagnosis TA-GVHD mungkin sulit karena jarang terjadi dan
gambaran klinis yang tumpang tindih dengan berbagai infeksi
dan reaksi obat. Tingkat kecurigaan yang tinggi, asosiasi
transfusi terakhir dengan gambaran klinis diperlukan untuk
diagnosis dini.

B. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN


Pembinaan dan pengawasan terhadap semua kegiatan yang
berhubungan dengan pelayanan darah dilakukan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah. Pembinaan dan pengawasan ditujukan untuk:
a. memastikan pemenuhan persyaratan fasilitas dan sarana sesuai standar
yang berlaku;
b. implementasi pemastian mutu;
c. menyediakan darah yang aman untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan;
d. memelihara dan meningkatkan mutu Pelayanan Darah;
e. memudahkan akses memperoleh informasi ketersediaan darah untuk
kepentingan pelayanan kesehatan; dan

f. meningkatkan kerja sama antara UTD dan BDRS. Pemerintah dan


Pemerintah Daerah dapat melibatkan PMI dan organisasi profesi terkait
untuk melakukan pembinaan dan pengawasan Pelayanan Darah.

Pengawasan di tingkat pusat dilakukan oleh Menteri dibantu oleh


Komite Pelayanan Darah dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Sedangkan pengawasan di tingkat provinsi dilakukan oleh dinas kesehatan
provinsi dan dan unit pelaksana teknis Badan Pengawas Obat dan Makanan.

34
Ditingkat kabupaten/kota dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota dan
jejaring kabupaten/kota dan unit pelaksana teknis Badan Pengawas Obat dan
Makanan.

Hasil pengawasan berupa rekomedasi yang dilaporkan kepada Menteri,


Gubernur, dan Bupati/Walikota dalam melakukan pembinaan dan pemberian
sanksi administratif. Pemberian sanksi administratif dilakukan Menteri,
Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.

Sanksi administratif berupa:


a. teguran lisan;

b. teguran tertulis;
c. penundaan perpanjangan izin penyelenggaraan UTD;
d. pencabutan sementara izin penyelenggaraan UTD;
e. pencabutan izin penyelenggaraan UTD;
f. penundaan perpanjangan izin operasional rumah sakit;
g. pencabutan sementara izin operasional rumah sakit; dan/atau
h. pencabutan izin operasional Rumah Sakit

35
BAB IV
DOKUMENTASI

A. PENCATATAN DAN PELAPORAN


Dalam melaksanakan tugasnya, BDRS wajib melakukan pencatatan dan
pelaporan secara berkala setiap bulan kepada kepala/direktur rumah sakit dan
UTD kerja samanya. Pencatatan dan pelaporan RS tersebut harus mencakup
seluruh kegiatan dalam penyelenggaraan Pelayanan Transfusi Darah di rumah
sakit.
Pencatatan kegiatan BDRS paling sedikit meliputi :
a. permintaan darah ke UTD;

b. penerimaan darah dari UTD;

c. permintaan darah dari dokter di rumah sakit;

d. hasil pemeriksaan uji pra transfusi;

e. distribusi /pengeluaran darah;

f. reaksi transfusi; dan

g. pengembalian darah ke UTD.

Pelaporan kegiatan BDRS dilakukan dengan menggunakan formulir


paling sedikit meliputi:

a. persediaan darah;

b. Pelayanan Darah yang meliputi jumlah permintaan, jumlah darah yang


diberikan, jenis darah, pengembalian darah serta alasannya; dan

c. reaksi transfusi.

36
B. EVALUASI
Setiap BDRS wajib dilakukan audit penyelenggaraan Pelayanan
Darah. Audit penyelenggaraan Pelayanan Darah merupakan audit teknis
Pelayanan Darah. Audit penyelenggaraan Pelayanan Darah bertujuan untuk
melakukan evaluasi mutu Pelayanan Darah, mengetahui penerapan standar
Pelayanan Darah, dan acuan untuk melakukan perbaikan standar Pelayanan
Darah.
Audit penyelenggaraan Pelayanan Darah harus dilaksanakan secara
terbuka, transparan, tidak konfrontasional, tidak menghakimi dan
konfidensial. Audit penyelenggaraan Pelayanan Darah dilakukan melalui
audit internal dan audit eksternal.
Pelaksanaan audit internal pada BDRS harus dilakukan oleh petugas
terkait yang mempunyai kompetensi, pengetahuan dan keterampilan sesuai
dengan bidang pelayanan yang diaudit. Audit internal berupa review,
surveilance dan asesmen terhadap seluruh rangkaian Pelayanan Darah yang
diberikan. Hasil audit internal dapat digunakan BDRS sebagai hasil evaluasi
kerja organisasi.
Audit penyelenggaraan Pelayanan Darah pada BDRS meliputi audit
terhadap mutu kegiatan Pelayanan Transfusi Darah yang dilakukan oleh
BDRS. Audit internal pada BDRS dilakukan oleh petugas BDRS yang
ditunjuk oleh penangung jawab BDRS. Audit internal pada BDRS terintegrasi
dengan audit medis yang dilakukan rumah sakit. Hasil audit internal BDRS
dilaporkan secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali kepada kepala/direktur
rumah sakit.
Audit eksternal pada BDRS dilakukan oleh Komite Pelayanan Darah,
Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan beserta unit
pelaksana teknis, dinas kesehatan provinsi atau kabupaten/kota, dan UTD
secara berjenjang. Audit eksternal pada BDRS dilakukan secara berkala
paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun.
Penilaian audit eksternal dilakukan untuk menilai pemenuhan
persyaratan fasilitas dan sarana, implementasi pemastian mutu rekrutmen
37
pendonor, seleksi pendonor, pengambilan darah, pengamanan darah,
pengolahan darah, penyimpanan darah, uji silang serasi, pendistribusian darah
dan pemusnahan darah serta menjadi bagian dari tim pembinaan dan
pengawasan di daerah. Penilaian audit eksternal dilakukan berdasarkan
analisis risiko.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Learoyd P. The history of blood transfusion prior to the 20th


century.Transfusi Medicine 2012 ; 22(5) : 308-14.

2. Fastag E, Varon J, Sternbach G. Richard Lower : The origin of blood


transfusion. The Journal of Emergency Medicine. Houston 2013 ; 44 (6):
1146–50.

3. Anderson D, Hamilton M, Cairns S, et al. Clinical guidelines promoting


excellence in transfusion medicine. NSPBCP guideline for washed red
blood cells in NS 2011: 1-6.

4. Kaadan, A.N., Angrini M. Blood transfusion in history. Journal of the


International Society for the History of Islamic Medicine 2010; 8-9: 1-46.

5. Alter HJ, Klein HG. The hazards of blood transfusion in historical


perspective. Blood 2008 ;112(7) : 2617-26.

6. WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002. Diunduh dari
URL http://www.who.int/bloodsafety/clinical_use/en/Handbook_EN
(diakses Juli 2014)

7. Goodnough LT, Levy JH, Murphy MF. Concept of blood transfusion in


adults. Lancet Journal 2013; 381: 1845-54.

8. Shahshahani J, Vaziri M, Mansouri F. Seven years trends in prevalence of


transfusion-transmissible viral infections in Yazd blood transfusion
organization. Iranian Journal of Pediatric Hematology Oncology 2013; 3
(3): 119-24.

9. Haroen H. Darah dan komponen : Komposisi, indikasi dan cara


pemberian. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Balai
Penerbit FKUI 2007 : 685-9.

10. Allard S. Blood transfusion. Elsevier 2013; 41 (4) : 242–7.

11. Murphy MF, Waters JH, Wood EM, et al. Transfusion blood safely and
appropriately. British Medical Journal 2013; 347: 1- 12.
39
12. Storry JR, Castilho L, Daniels G, et al. International society of blood
transfusion working party on red cell immunogenetics and blood group
terminology: Cancun report.Vox Sang 2014; 107(1) : 90-6.

13. Norfolk D (Ed). Basics of blood groups and antibodies. Handbook of


Transfusion Medicine 5th Edition. United Kindom Blood Services 2013; 2:
5-11.

14. McCullough J. Blood groups in Transfusion medicine. Wiley-Blackwell


Publishing 2012; 9: 172-206.

15. Djoerban Z. Dasar-dasar transfusi darah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi IV. Balai Penerbit FKUI 2007 : 682-4.

16. McCullough J. Complication of transfusion in Transfusion medicine.


Wiley-Blackwell Publishing 2012: 14: 378-413.

17. Osterman JL, Arora S. Blood product transfusions and reactions.


Emergency Medicine Clinics of North America 2014: 1-12.

18. Szczepiorkowski AM, Dunbar NM. Transfusion guidelines: When to


transfusion. American Society of Hematology 2013: 638-44.

19. Carson JL, Grossman BJ, Kleinman S, et al. Red blood cell transfusion: A
clinical practice guideline from the AABB. Annals of Internal Medicine
2012; 157: 49-58.

20. Stanworth SJ, Estcourt LJ, Powter G, et al. A no-prophylaxis platelet


transfusion strategy for hematologic cancers. N Engl J Med 2013; 368:
1771–80.

21. Limbruno G, Bennardello F, Lattanzio A, et al. Recommendations for the


transfusion of red blood cells. Blood Transfusion 2009; 7: 49-64.

22. Singh G, Sehgal R. Transfusion-transmitted parasitic infections. Asian


Journal Transfusion Science 2010; 4(2): 73-77

40
23. Yang L, Stanworth S, Hopewell S, Doree C, Murphy M. Is fresh-frozen
plasma clinically effective? An update of a systematic review of
randomized controlled trials. Transfusion 2012; 52: 1673–86.

24. Marfin AA, Price TH. Granulocyte transfusion therapy. Journal of


Intensive Care Medicine 2013.

25. Wong M, Droubatchevskala N, Chipperfield K, et al. Guideline for frozen


plasma transfusion. BC Medical Journal 2007: 49 (6): 311-319.

26. Stanworth SJ, Brunskill SJ, Hyde CJ, McClelland DB, Murphy MF. Is
fresh frozen plasma clinically eff ective? A systematic review of
randomized controlled trials. Br J Haematol 2004; 126: 139–52.

27. Nascimento B. Cryoprecipitate transfusion: Assessing appropriateness and


dosing in trauma. Institute of Medical Sciences, University of Toronto
2012: 1-129.

28. Sharma S, Sharma P, Tyler L. Transfusion of blood and blood product:


Indications and complications. American Family Physician2011; 83(6) :
719-24.

29. McCullough J. Transfusion-transmitted disease in Transfusion medicine.


Wiley-Blackwell Publishing 2012; 15: 414-45.

30. Sawke N, Sawke GK. Preventing post-transfusion hepatitis by screening


blood donors for IgM antibody to hepatitis b core antigen. Journal of
Global Infectious Disease 2010 ; 2: 246-7.

31. Flichman D, Blejer JL, Livellara B, et al. Prevalence and trends of markers
of hepatitis B virus, hepatitis C virus and human immunodeficiency virus
in Argentine blood donor. BMC Infectious Disease 2014; 14: 218-27.

32. Spahn D, Goodnough L. Blood transfusion 2: Alternatives to blood


transfusion. Lancet 2013; 381: 1855-65.

33. Maxwell MJ, Wilson M. Complication of blood transfusion. Continuing


Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain 2006; 6(6):225-229.
41
34. Mudumbai SC, Cronkite R, Hu KU, et al. Association of admission
hematocrit with 6-month and 1-year mortality in intensive care unit
patients. Transfusion 2011; 51: 2148–59.

35. Choat JD, Maitta RW, Tormey CA, et al. Transfusion reactions to blood
and cell therapy products. In: Hoffman R, Benz EJ Jr, Silberstein LE,
Heslop HE, Weitz JI, eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 6th
ed. Philadelphia, PA: Saunders Elsevier 2012:120.

36. Josephson C. Delayed hemolytic transfusion reactions. In Transfusion


Medicine and Hemostasis (Second Edition).Elsevier’s Science &
Technology 2013; 12: 409–12.

37. Vlaar A, Juffermans N. Transfusion-related acute lung injury: A clinical


review. The Lancet 2013; 382: 984-994.

38. Sparrow R. Red blood cell storage and transfusion-related


immunomodulation. Blood Transfusion 2010; 8 (3): 26-30.

39. Patel K, Patel A, Ranjan R, et al. Transfusion associated graft versus host
disease following whole blood transfusion from an unrelated donor in an
immunocompetent patient. Indian Journal Hematology Blood Transfusion,
2010 ; 26(3) : 92–95.

42
Lampiran 1
FORMULIR LAPORAN BULANAN BANK DARAH RUMAH SAKIT
NAMA BDRS :
ALAMAT :
TELEPON :
FAX :
EMAIL :

A. PERMINTAAN DARAH KE UTD


NO TGL WHOLE BLOOD Packed Red Cell Fresh Frozen Plasma Jenis komponen
lainnya
A B AB O A B AB O A B AB O A B AB O
1
2
3
4
5
6

43
B. PEMBERIAN DARAH OLEH UTD
NO TGL WHOLE BLOOD Packed Red Cell Fresh Frozen Plasma Jenis komponen
lainnya
A B AB O A B AB O A B AB O A B AB O
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

44
C. LAPORAN PEMAKAIAN KOMPONEN DARAH
N JENIS BAG. PENY. DALAM BAG. PENY. kebidanan BAG. PENY. Bedah BAG. PENY. BAG. Lain Lain Jumlah total
O KOMPONEN Anak
Yang diberikan Yang diberikan Yang diberikan Yang diberikan Yang diberikan Yang diberikan
JML A B A O JML A B A O JML A B A O JML A B A O JML A B A O JML A B A O
TOTA B TOTAL B TOTAL B TOTAL B TOTAL B TOTAL B
L YG YG YG YG YG YG
DIBER DIBERI DIBERI DIBERI DIBERI DIBERI
IKAN KAN KAN KAN KAN KAN
1 WB kantong
2 Jml ps
3 PRC kantong
4 Jml ps
5 FFP kantong
6 Jml ps
7 AFP kantong
8 Jml ps
9 TC kantong
10 Jml ps
11 WK kantong
12 Jml ps
13 BC kantong
Jml ps
14 PRC kantong
REFF
Jml ps
JML

45
WB : Whole Blood
PRC : Packed Red Cell
FFP : Fresh Frozen Plasma
TC : Thrombocyte Concentrate
AHF : Anti Haemophilic Concentrate
LP : Liquid Plasma
WE : Washed Erythrocyte
BF : Buffy Coat
PRC REFF : PRC Refferal

D. REAKSI TRANSFUSI
NO Tanggal Jam Usia Jenis Diagnosis Riwayat Tranfusi Jenis No Gejala
Kelamin Sebelumnya Komponen Kantong
1
2
3
4
5

46
E. LAPORAN DARAH KEMBALI KE UTD
NO TANGGAL JENIS KOMPONEN JUMLAH ALASAN DIKEMBALIKAN

Tempat dan Tanggal


Mengetahui,
Kepala BDRS

…………………………….

47

Anda mungkin juga menyukai