Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

INTRACEREBRAL HEMORRHAGE

Disusun Oleh :

Mutia Rahmawati

2014730066

Pembimbing :

dr. Wiwin Sundawiyani, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018
BAB I

STATUS PASIEN

A. Identitas
Nama : Tn. L
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 48 tahun
Alamat : Koja, jakarta utara
Pekerjaan : Supir Angkot

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 30 menit SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Os datang ke RSIJ Cempaka Putih dengan penurunan kesadaran sejak 30 menit
SMRS. Penurunan kesadaran terjadi setelah pasien terjatuh dari motor 30 menit
SMRS. Os diantar ke IGD RSIJ oleh supir angkot dan dengan perdarahan dibagian
kepala. sebelum terjatuh dari motor, pasien minum-minuman beralkohol dan
menghabiskan 3 botol minuman beralkohol. Keluhan lain seperti sakit kepala
dirasakan setelah pasien tersadar. Sakit kepala dirasakan diseluruh bagian kepala dan
memberat bila berubah posisi seperti menengok kanan dan kiri. Pada hari rawat
ketiga, Saat ditanyakan pasien sedang dimana dan menceritakan kejadian sebelum
dan sesudah terjadi kecelakaan, pasien masih bisa menjelaskan dengan jelas. Keluhan
lain seperti muntah menyemprot, demam, kejang disangkal.

3. Riwayat penyakit dahulu


Os sebelumnya belum pernah mengalami keluhan seperti ini. Riwayat hipertensi
disangkal, riwayat diabetes melitus disangkal, riwayat asma disangkal, riwayat
penyakit jantung disangkal, riwayat kejang disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa, penyakit DM, hipertensi, asma, penyakit jantung disangkal

5. Riwayat Alergi
Riwayat alergi cuaca, makanan, dan obat disangkal

6. Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya belum pernah berobat.

7. Riwayat Psikososial
- Os bekerja sehari-hari sebagai supir angkot
- Os merokok 3 bungkus/hari dan sudah dari usia 15 tahun
- OS sering minum minuman alkohol

C. Pemeriksaan Fisik
Diperiksa tanggal 15 november 2018
a. Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : somnolen GCS= E3M5V3=11
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 88 x / menit
Suhu Badan : 36,30 C
Pernafasan : 20 x / menit
Saturasi Oksigen : 98%

b. Status antopometri
 Berat badan : 80 kg
 Tinggi badan : 170 cm
 IMT : 27.68 kg/m2 (obesitas)
c. Keadaan lokal
- Kepala : Normosefali. Luka (+) di bagian frontal sinistra
- Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil isokor +/+
- Telinga : perdarahan -/-, sekret-/-
- Hidung : deviasi septum -/-, perdarahan -/-. Terpasang nasal canul O2 3 lpm.
- Mulut : mukosa oral basah, sianosis -/-, tonsil T1-T1.
- Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba massa,
pembesaran KGB (-)

- Thorax
 Pemeriksaan jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V, 2 cm medial dari linea
midklavikularis sinistra
Perkusi : batas jantung kanan pada ICS V linea parasternal dextra, batas
jantung kiri pada ICSV 2 jari lateral linea midklavikula sinistra,
Auskultasi : BJ 1 BJ 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
 Pemeriksan paru
Inspeksi : simetris, bentuk normal
Palpasi : Vocal fremitus kanan=kiri normal,
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
 Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : supel. hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi : BU (+) normal
 Pemeriksaan Ekstremitas :
Atas : Edema (-), Akral hangat (+), CRT < 2detik
Bawah : Edema (-), Akral Hangat (+), CRT < 2detik

D. Pemeriksaan Neurologis
a. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : Negatif
Brudzinski I : Negatif
Brudzinski II : Negatif
Laseque : Negatif
Kernig : Negatif

b. N. Kranialis
N.I : Normosmia +/+
N.II :
 Visus : dengan menghitung jari, normal (keterbatasan ruangan)
 Lapang pandang : Normal
 Funduskopi : tidak dilakukan

N.III; N.IV; N.VI


Pergerakan bola mata : -/-
Eksoftalmus : -/-
Nistagmus : -/-
Ptosis : -/-
Pupil
o Bentuk : Bulat / bulat
o Diameter : 3 mm / 3 mm
o Refleks cahaya langsung : +/+
o Refleks cahaya tidak langsung : +/+

N.V
 Cabang motorik
o Membuka mulut : Baik
o Menggerakkan rahang : Baik
o Jaw refleks : Baik
 Cabang sensorik oftalmikus : Baik/Baik
 Cabang sensorik maksilaris : Baik/Baik
 Cabang sensorik mandibularis : Baik/Baik

N.VII
 Kerut Kening +/+, Menutup Mata +/+, Menyeringai -/-
 Pengecapan lidah
o Manis : Tidak Dilakukan
o Asin : Tidak Dilakukan
o Asam : Tidak Dilakukan
o Pahit : Tidak Dilakukan

N.VIII
 Vestibular
Vertigo : Negatif
Nistagmus : -/-
 Cochlear
Test Rinne : Tidak dilakukan
Webber : Tidak dilakukan
Schwabach : Tidak dilakukan

N.IX ; N.X
 Motorik : Baik/baik
 Sensorik : Baik/baik

N.XI
 Mengangkat bahu : Baik
 Menoleh : Baik

N.XII
 Pergerakan lidah : Lidah di tengah
 Atrofi :-
 Fasikulasi :-
 Tremor :-

c. Sistem motorik tubuh


Trofi : eutrofi
Tonus Otot : normal
Kekuatan Otot : 4 4
4 4
d. Gerakan involunter
 Tremor : -/-
 Chorea : -/-
 Tics : -/-

e. Tes sensibilitas

Dextra Sinistra

Rasa Raba
+
- Ekstremitas Atas +
+
- Ekstremitas Bawah +
Rasa Nyeri
+
- Ekstremitas Atas +
+
- Ekstremitas Bawah +
Rasa Suhu
- Ekstremitas Atas Tidak dilakukan

- Ekstremitas Bawah

f. Fungsi otonom
 Miksi : Inkontinensia (-)
 Defekasi : Inkontinensia (-)
 Sekresi keringat : Baik

g. Refleks
 Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Biceps : (+) (+)
Triceps : (+) (+)
Patella : (+) (+)
Achilles : (+) (+)

 Refleks Patologis
Babinski : (-) (-)
Oppenheim : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Schaefer : (-) (-)
Hoffman-Tromner : (-) (-)

E. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium tanggal 11 November 2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hematologi

Hemoglobin 15.5 g/dL 13.2-17.3 g/dL

Leukosit 14.51 103/µL 3.80-10.60 103/µL

Hematokrit 43 % 40-52 %

Trombosit 346 103/µL 150-440 103/µL

Eritrosit 4.70 106/µL 4.40-5.90 106/µL

MCV 91 fL 80-100 fL

MCH 33 pg 26-34 pg
MCHC 36 g/dL 32-36 g/dL

Kimia Klinik

Gula Darah Sewaktu 96 mg/dL 70-200 mg/dL

MSCT-Scan tanggal 11 november 2018

Hasil interpretasi :

Dilakukan CT Scan kepala dengan potongan axial slice 5 mm tanpa kontras

Tampak lesi hiperdens minimal di lobus frontalis kiri

Brainstem ventrikel normal. Tidak tampak deviasi midline

Sulci dan fissura cerebri edematous

Tidak tampak lesi hipo/hiperdens di batang otak dan cerebellum

Lobus occuli kanan dan kiri normal

Mastoid kanan dan kiri pneumatisasi normal

Sinus paranasal normal

Kesan : edema cerebri dengan ICH -> contusio cerebri


F. Resume

Tn L laki-laki usia 48 tahun datang ke IGD RSIJ Cempaka Putih dengan penurunan
kesadaran sejak 30 menit SMRS. Penurunan kesadaran terjadi setelah pasien terjatuh
dari motor 30 menit SMRS. Os diantar ke IGD RSIJ oleh supir angkot dan dengan
perdarahan dibagian kepala. sebelum terjatuh dari motor, pasien minum-minuman
beralkohol dan menghabiskan 3 botol minuman beralkohol. Keluhan lain seperti sakit
kepala dirasakan setelah pasien tersadar. Sakit kepala dirasakan diseluruh bagian
kepala dan memberat bila berubah posisi seperti menengok kanan dan kiri. Pada hari
rawat ketiga, Saat ditanyakan pasien sedang dimana dan menceritakan kejadian
sebelum dan sesudah terjadi kecelakaan, pasien masih bisa menjelaskan dengan jelas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran Somnolen, GCS 11. Tanda-tanda Vital;
Tekanan darah 130/80 mmHg. HR : 88x/menit. RR 20x/menit. Suhu 36.3ᴼC. SpO2
98%

F. Diagnosis

• Diagnosis klinis : penurunan kesadaran, hematom frontalis sinistra, cephalgia


• Diagnosis topis : cerebral/kedua hemisfer
• Diagnosis etiologi : trauma
• Diagnosis patologi : contusio cerebri

G. Planning

 Terapi Medikamentosa
o O2 nasal cannul 3 lpm
o Infus cairal RL
o Cateter urine
o Nicolin 2x 500 mg IV
o Tramadol 2x1 amp IV
o Ondancentron 2x1 amp IV
o Ceftriaxone 1x2 g IV
 Terapi Nonmedikamentosa
o Tirah baring

H. Prognosis

 Quo ad vitam : dubia ad bonam


 Quo ad functionam : dubia ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi

Basal Ganglia terdiri dari striatum (nukleus kaudatus dan putamen), globus palidus
(eksterna dan interna), substansia nigra dan nukleus sub-thalamik. Nukleus pedunkulopontin
tidak termasuk bagian dari basal ganglia, meskipun dia memiliki koneksi yang signifikan dengan
basal ganglia. Korpus striatum terdiri dari nukleus kaudatus, putamen dan globus palidus.
Striatum dibentuk oleh nuldeus kaudatus dan putamen. Nukleus lentiformis dibentuk oleh
putamen dan kedua segmen dari globus palidius. Tetapi letak anatomis perdarahan basal ganglia
yang dibahas disini hanya meliputi nukleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula interna
terletak diantara nuleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula intema adalah tempat relay
dari traktus motorik volunter, sehingga jika ada lesi pada lokasi ini akan menyebabkan gangguan
motorik seperti hemiparesis ataupun gangguan motorik lain (Tortora, 2009).

Vaskularisasi yang mendarahi basal ganglia adalah cabang-cabang arteri yang berasal
dari arteri serebri anterior (ACA), serebri media (MCA), choroidal anterior, posterior
communicans (P-commA), serebri posterior (PCA) dan serebelar superior. Cabang dari MCA,
yang disebut Lenticulostriata lateral, adalah yang terbanyak mendarahi striatum dan lateral dari
pallidum. Perdarahan pada basal ganglia yang tersering adalah dikarenakan ruptur arteri
lenticulostriata media. Arteri Heubner, disebut juga arteri striata media, berasal dari A2, yaitu
segmen dari ACA, memperdarahi putamen dan kepala dari nukleus caudatus. Arteri choroidalis
anterior memperdarahi sebagian dari globus palidus dan putamen, juga ekor dari nukleus
caudatus. Arteri posterior communicans memperdarahi bagian medial dari pallidum, medial
substansia nigra dan sebagian nukleus subthalamikus. Thalamo perforata dari PCA adalah yang
terbanyak memperdarahi substansia nigra dan sebagian dan STN. Cabang dari SCA
memperdarahi bagian lateral dari substatia nigra (Moore, 2005).
Gambar 2.1. Potongan axial dari serebrum. Basal ganglia adalah yang ditunjukkan
oleh lingkaran berwarna merah.

Lokasi tersering terjadinya PIS adalah pada basal ganglia, tepatnya pada putamen,
dengan persentase 35% hingga 50%, diikuti dengan lobar sekitar 30%, thalamus (10 hingga
15%), pons (5 hingga 12%), nukleus kaudatus (7%), dan serebelum (5%) (Fisher, 1959; Freytag,
1968; Furlan, 1979).

Arteri yang sering ruptur pada perdarahan intrsebral spontan adalah arteri lentikulostriata
yang merupakan cabang langsung dan arteri serebri media. Ruptur dan arteri ini akan
mengakibatkan perdarahan pada basal ganglia, tepatnya putamen. Arteri Thalamo-perforata yang
merupakan percabangan dan arteri serebri anterior dan media juga merupakan sumber terjadinya
PIS. Ruptur arteri ini akan mengakibatkan perdarahan thalamus. Arteri lain yang terlibat pada
PIS adalah cabang paramedian dari arteri basilaris, yang mana akan menyebabkan perdarahan
dan pons dan serebelum (Manish, 2012).

Perdarahan intraventrikular (PIV) juga sering terjadi menyertai PIS pada kasus-kasus
stroke hemoragik. Menjangkiti 12%-45% dengan pasien yang mengalami PIS. Tetapi PIV juga
dapat terjadi tanpa disertai dengan PIS (Hallevi, 2008; Leira, 2004; Tuhrim, 1999).

Gambar 2.2. Lokasi dan perdarahan yang dapat terjadi pada PIS

B. Definisi Perdarahan Intraserebral (PIS)

Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang disebabkan oleh
pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak. Perdarahan dalam dapat terjadi di bagian
manapun di otak. Darah dapat terkumpul di jaringan otak, ataupun di ruang antara otak dan
selaput membran yang melindungi otak. Perdarahan dapat terjadi hanya pada satu hemisfer
(lobar intracerebral hemorrhage), atau dapat pula terjadi pada struktur dari otak, seperti
thalamus, basal ganglia, pons, ataupun cerebellum (deep intracerebral hemorrhage).
Perdarahan intraserebri ditandai oleh adaya perdarahan ke dalam parenkim otak akibat
pecahnya arteri penetrans yang merupakan cabang dari pembuluh darah superficial dan
berjalan tegak lurus menuju parenkim otak yang di bagian distalnya berupa anyaman
kapiler.

C. Epidemiologi

Perdarahan intraserebral lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, terutama yang
lebih tua dari 55 tahun, dan dalam populasi tertentu, termasuk orang kulit hitam dan Jepang.
Selama periode 20 tahun studi The National Health and Nutrition Examination Survey
Epidemiologic menunjukkan insiden perdarahan intraserebral antara orang kulit hitam adalah
50 per 100.000, dua kali insiden orang kulit putih.

D. Faktor Risiko

Hipertensi merupakan penyebab terbanyak (72-81%). Perdarahan intraserebral spontan


yang tidak berhubungan dengan hipertensi, biasanya berhubungan dengan diskrasia darah,
hemartroma, neoplasma, aneurisma, AVM, tumor otak metastasis, pengobatan dengan
antikoagulans, gangguan koagulasi seperti pada leukemia atau trombositopenia,
serebralarteritis, amyloid angiopathy dan adiksi narkotika.

Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh :

 Hipertensi

Hipertensi lama akan menimbulkan lipohialinosis dan nekrosis fibrinoid yang


memperlemah dinding pembuluh darah yang kemudian menyebabkan ruptur intima dan
menimbulkan aneurisma. Selanjutnya dapat menyebabkan mikrohematoma dan edema.
Hipertensi kronik dapat juga menimbulkan aneurisma-aneurisma kecil (diameternya 1
mm) yang tersebar di sepanjang pembuluh darah, aneurisma ini dikenal sebagai aneurisma
Charcot Bouchard.

 Neoplasma intrakranial. Akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan neoplasma yang
hipervaskular.

Perdarahan di putamen, thalamus, dan pons biasanya akibat ruptur a.


lentikulostriata, a. thalamoperforating dan kelompok basilar-paramedian. Sedangkan
perdarahan di serebelum biasanya terdapat di daerah nukleus dentatus yang mendapat
pendarahan dari cabang a. serebelaris superior dan a. serecelaris inferior anterior.

Gambar 1. Lokasi tersering sumber perdarahan intraserebral

 Arteri Vena Malformasi (AVM)


AVM merupakan suatu kelainan perkembangan kongenital (embrional) pada pembuluh
darah intraserebral, dimana terjadinya hubungan langsung antara arteriole dan venule tanpa
melalui kapiler, sehingga terjadi aliran darah yang cepat melewati daerah tersebut. Akibat
aliran yang cepat inilah dan tekanan yang besar dari arteri akan mengakibatkan penipisan
dinding pembuluh darah, dapat menimbulkan aneurisma dan penurunan aliran darah otak
disekitar AVM yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan disekitarnya.

 Aneurisma
Aneurisma merupakan suatu kelainan congenital pada pembuluh darah, dimana terjadi
gangguan perkembangan dinding pembuluh darah yaitu pada tunika media dan lamina
elastika. Akibat adanya gangguan pada tunika media, dan terjadi perubahan degeneratif
sehingga dapat terjadi destruksi local pada membrane elastika interna yang menyebabkan
tunika intima menonjol dan membentuk suatu aneurisma bentuk sakuler. Ukuran aneurisma
ini rata-rata 7,5 mm, bila > 10 mm maka akan mudah terjadi ruptur.

 Amiloid Angiopati
Cerebral amiloid angiopati atau disebut juga congophilic angiopati merupakan suatu
kelainan pada dinding pembuluh darah otak akibat deposit protein beta amiloid. Deposit ini
terjadi pada dinding arteri tunika media dan tunika adventisia arteri kecil atau sedang yang
terletak di korteks, leptomeningen dan subkortikal substansia alba dimana menggantikan
jaringan kolagen dan elemen kontraktilitas pembuluh darah dengan amiloid protein beta ini.
Deposit amiloid ini menyebabkan kerusakan pada tunika media dan adventisia pembuluh
darah otak kortikal dan leptomeningen. Terjadi penebalan membran basalis sehingga terjadi
stenosis lumen pembuluh darah dan fragmentasi/kerusakan pada tunika lamina elastika
interna, sehingga dinding pembuluh darah menjadi rapuh dan mudah terjadi ruptur pembuluh
darah.

 Tumor Otak
Tumor otak dapat menyebabkan perdarahan intraserebral biasanya oleh jenis tumor ganas
yang primer atau bentuk metastasis dengan presentasi 5-10%. Tumor otak primer yang dapat
mengalami perdarahan adalah glioblastoma, oligodendroma, medulloblastoma,
hemangioblastoma atau metastase. Namun yang paling sering terjadi adalah pada
glioblastoma dan metastase. Metastase yang sering alami perdarahan intraserebral adalah
tumor primer melanoma, karsinoma bronkial, karsinoma ginjal dan choriokarsinoma.
Perdarahan diduga karena rapuhnya pembuluh darah abnormal dalam tumor yang kaya akan
komponen vaskuler.

 Penyalahgunaan Obat (Drug Abuse)


Banyak obat-obatan yang menyebabkan kecanduan mengakibatkan perdarahan
intraserebral. Kokain termasuk salah satu obat yang menyebabkan perdarahan intraserebral
dengan jalan meninggikan tekanan darah, nadi, temperatur dan metabolisme.

 Diskrasia darah
Yang termasuk diskrasia darah yang dapat menyebabkan perdarahan intraserebral adalah
anemia sickle cell, leukimia dan hemofilia serta gangguan koagulasi yang didapat, misalnya
pada penyakit hepar yang berat seperti sirosis hepar dan hepatitis fulminan dapat
menyebabkan gangguan sintesis faktor pembekuan, peningkatan fibrinolisis, dan
trombositopenia.

 Antikoagulan
Pada penggunaan obat antikoagulan heparin atau warfarin, sekitar 9% dapat terjadi
perdarahan intraserebral. Biasanya terjadi perdarahan apabila antikoagulan digunakan secara
berlebihan atau penggunaan jangka panjang dengan insidens 8-11 kali jika dibandingkan
pada pasien yang tidak mendapatkan antikoagulan. Faktor predisposisi yang dapat
menyebabkan perdarahan pada pasien yang menggunakan antikoagulan adalah meningkatnya
umur, infark iskemik yang luas dan adanya hipertensi berat.

 Trombolitik
Perdarahan merupakan gejala toksisitas mayor pada penggunaan obat-obat trombolitik,
hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu:

- Lisisnya fibrin pada trombin yang terbentuk di pembuluh darah yang luka
- Lisis sistemik yang diakibatkan oleh pembentukan plasmin, fibrinolisis dan destruksi
faktor-faktor pembekuan.
Namun mekanisme yang mendasari terjadinya perdarahan otak ini belum diketahui jelas.

 Vaskulitis
Vaskulitis merupakan penyakit inflamasi pada pembuluh darah arteri dan vena, misalnya
penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (SLE). SLE secara histologis ditandai dengan
adanya inflamasi mononuclear sel raksasa (giant cell) dalam tunika media dan adventisia
arteri dan vena berukuran kecil dan sedang. Keadaan ini menyebabkan lemahnya dinding
pembuluh darah sehingga terbentuk mikroaneurisma. Rupturnya pembuluh darah tersebut
oleh karena adanya riwayat hipertensi atau penyakit lain yang dapat memicunya.

E. Patofisiologi

Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70 %), di fossa posterior (batang otak dan
serebelum) 20 % dan 10 % di hemisfer (di luar kapsula interna). Gambaran patologik
menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya pembuluh darah otak dan diikuti adanya
edema dalam jaringan otak di sekitar hematom. Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan
kompresi oleh hematom dan edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan
penyempitan atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang dilayaninya,
maka gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi jaringan otak, kompresi pembuluh
darah otak / iskemia dan akibat kompresi pada jaringan otak lainnya.

F. Gejala klinis
Secara umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat akumulasi darah di
dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur sangat jarang.
Perjalanan penyakitnya, sebagian besar (37,5-70%) per akut. Biasanya disertai dengan
penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini bervariasi frekuensi dan derajatnya tergantung
dari lokasi dan besarnya perdarahan tetapi secara keseluruhan minimal terdapat pada 60%
kasus. dua pertiganya mengalami koma, yang dihubungkan dengan adanya perluasan
perdarahan ke arah ventrikel, ukuran hematomnya besar dan prognosis yang jelek. Sakit
kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial dijumpai
pada PIS, tetapi frekuensinya bervariasi. Tetapi hanya 36% kasus yang disertai dengan sakit
kepal sedang muntah didapati pada 44% kasus. Jadi tidak adanya sakit kepala dan muntah
tidak menyingkirkan PIS, sebaliknya bila dijumpai akan sangat mendukung diagnosis PIS
atau perdarahn subarakhnoid sebab hanya 10% kasus stroke oklusif disertai gejala tersebut.
Kejang jarang dijumpai pada saat onset PIS.

G. Pemeriksaan Fisik

Hipertensi arterial dijumpai pada 91% kasus PIS. Tingginya frekuensi hipertensi
berkorelasi dengan tanda fisik lain yang menunjukkan adanya hipertensi sistemik seperti
hipertrofi ventrikel kiri dan retinopati hipertensif. Pemeriksaan fundus okuli pada kasus yang
diduga PIS mempunyai tujuan ganda yaitu mendeteksi adanya tanda-tanda retinopati
hipertensif dan mencari adanya perdarahan subhialoid (adanya darah di ruang preretina, yang
merupakan tanda diagnostik perdarahan subarakhnoid) yang mempunyai korelasi dengan
ruptur aneurisma. Kaku kuduk terdapat pada 48% kasus PIS.

Gerakan mata, pada perdarahan putamen terdapat deviation conjugae ke arah lesi, sedang
pada perdarahan nukleus kaudatus terjadi kelumpuhan gerak horisontal mata dengan deviation
conjugae ke arah lesi. Perdarahan thalamus akan berakibat kelumpuhan gerak mata atas
(upward gaze palsy), jadi mata melihat ke bawah dan kedua mata melihat ke arah hidung.
Pada perdarahan pons terdapat kelumpuhan gerak horisontal mata dengan ocular bobbing.

Pada perdarahan putamen, reaksi pupil normal atau bila terjadi herniasi unkus maka pupil
anisokor dengan paralisis N. III ipsilateral lesi. Perdarahan di thalamus akan berakibat pupil
miosis dan reaksinya lambat. Pada perdarahan di mesensefalon, posisi pupil di tengah,
diameternya sekitar 4-6 mm, reaksi pupil negatif. Keadaan ini juga sering dijumpai pada
herniasi transtentorial. Pada perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi masih
terdapat reaksi, pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar.

Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-Stroke, sedang pada lesi di
mesensefalon atau pons pola pernafasannya hiperventilasi sentral neurogenik. Pada lesi di
bagian tengah atau caudal pons memperlihatkan pola pernafasan apneustik. Pola pernafasan
ataksik timbul pada lesi di medula oblongata. Pola pernafasan ini biasanya terdapat pada
pasien dalam stadium agonal.

H. DIAGNOSIS

 PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur sangat jarang
 Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran.
 Sakit kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial
dijumpai pada PIS, tetapi frekuensinya bervariasi
 Pada perdarahan pons terdapat kelumpuhan gerak horisontal mata dengan ocular bobbing.
 Perdarahan di thalamus akan berakibat pupil miosis dan reaksinya lambat
 Pada perdarahan di mesensefalon, posisi pupil di tengah, diameternya sekitar 4-6 mm,
reaksi pupil negative
 Pada perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi masih terdapat reaksi,
pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar
 Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-Stroke
 lesi di mesensefalon atau pons pola pernafasannya hiperventilasi sentral neurogenic
 Pada lesi di bagian tengah atau caudal pons memperlihatkan pola pernafasan apneustik
 Gejala klinik yang sangat menonjol pada perdarahan pons ialah onset yang tiba-tiba dan
terjadi koma yang dalam dengan defisit neurologik bilateral serta progresif dan fatal.
Bahkan perdarahan kecil segera menyebabkan koma, pupil pinpoint (1 mm) namun reaktif,
gangguan gerak okuler lateral, kelainan saraf kranial, kuadriplegia, dan postur ekstensor.
Nyeri kepala, mual dan muntah jarang.

I. Penanganan Perdarahan Intraserebral


Semua penderita yang dirawat dengan ‟intracerebral hemorrhage‟ harus
mendapat pengobatan untuk :
1. ”Normalisasi” tekanan darah
2. Pengurangan tekanan intracranial
3. Pengontrolan terhadap edema serebral
4. Pencegahan kejang.

Hipertensi dapat dikontrol dengan obat, sebaiknya tidak berlebihan karena


adanya beberapa pasien yang tidak menderita hipertensi; hipertensi terjadi karena
cathecholaminergic discharge pada fase permulaan. Lebih lanjut autoregulasi dari aliran
darah otak akan terganggu baik karena hipertensi kronik maupun oleh tekanan intrakranial
yang meninggi. Kontrol yang berlebihan terhadap tekanan darah akan menyebabkan iskemia
pada miokard, ginjal dan otak.

Dalam suatu studi retrospektif memeriksa dengan CT-Scan untuk mengetahui hubungan
tekanan darah dan pembesaran hematoma terhadap 79 penderita dengan PISH, mereka
menemukan penambahan volume hematoma pada 16 penderita yang secara bermakna
berhubungan dengan tekanan darah sistolik. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg tampak
berhubungan dengan penambahan volume hematoma dibandingkan dengan tekanan darah
sistolik ≤ 150 mmHg. Obat-obat anti hipertensi yang dianjurkan adalah dari golongan :

1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors


2. Angiotensin Receptor Blockers
3. Calcium Channel Blockers

Tindakan segera terhadap pasien dengan PIS ditujukan langsung


terhadap pengendalian TIK serta mencegah perburukan neurologis berikutnya. Tindakan
medis seperti hiperventilasi, diuretik osmotik dan steroid (bila perdarahan tumoral)
digunakan untuk mengurangi hipertensi intrakranial yang disebabkan oleh efek massa
perdarahan. Sudah dibuktikan bahwa evakuasi perdarahan yang luas meninggikan
survival pada pasien dengan koma, terutama yang bila dilakukan segera setelah onset
perdarahan.
Walau begitu pasien sering tetap dengan defisit neurologis yang jelas. Pasien
memperlihatkan tanda-tanda herniasi unkus memerlukan evakuasi yang sangat segera
dari hematoma. Angiogram memungkinkan untuk menemukan kelainan vaskuler. Adalah
sangat serius untuk memikirkan pengangkatan PIS yang besar terutama bila ia bersamaan
dengan hipertensi intrakranial yang menetap dan diikuti atau telah terjadi defisit
neurologis walau telah diberikan tindakan medis maksimal.

Adanya hematoma dalam jaringan otak bersamaan dengan adanya kelainan


neurologis memerlukan evakuasi bedah segera sebagai tindakan terpilih. Beratnya
perdarahan inisial menggolongkan pasien ke dalam tiga kelompok :

1. Perdarahan progresif fatal.


Kebanyakan pasien berada pada keadaan medis buruk. Perubahan hebat tekanan
darah mempengaruhi kemampuan otak untuk mengatur darahnya, gangguan elektrolit
umum terjadi dan pasien sering dehidrasi. Hipoksia akibat efek serebral dari
perdarahan serta obstruksi jalan nafas memperburuk keadaan. Perburukan dapat diikuti
sejak saat perdarahan dengan bertambahnya tanda-tanda peninggian TIK dan
gangguan batang otak. Pengelolaan inisial pada kasus berat ini adalah medikal dengan
mengontrol tekanan darah ke tingkat yang tepat, memulihkan kelainan metabolik,
mencegah hipoksia dan menurunkan tekanan intrakranial dengan manitol, steroid ( bila
penyebabnya perdarahan tumoral) serta tindakan hiperventilasi. GCS biasanya kurang
dari 6.
2. Kelompok sakit ringan (GCS 13-15).
Kelompok intermediet, dimana perdarahan cukup berat untuk menimbulkan
defisit neurologis parah namun tidak cukup untuk menyebabkan pasien tidak dapat
bertahan hidup (GCS 6-12). Tindakan medikal di atas diberikan hingga ia keluar dari
keadaan berbahaya, namun keadaan neurologis tidak menunjukkan tanda-tanda
perbaikan. Pada keadaan ini pengangkatan hematoma dilakukan secara bedah.

Mengurangi Efek Massa

Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun bedah. Pasien dengan
peninggian TIK dan atau dengan area yang lebih fokal dari efek massa, usaha nonbedah
untuk mengurangi efek massa penting untuk mencegah iskemia serebral sekunder dan
kompresi batang otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk mengurangi peninggian
TIK antara lain :

1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta memperbaiki
drainase vena.

2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).

3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus cairan
koloid bila perlu.

4. Ventrikulostomi dengan pemantauan TIK serta drainase CSS untuk mempertahankan


TIK kurang dari 20 mmHg.

5. Intubasi endotrakheal dan hiperventilasi, mempertahankan PCO2 25-30 mmHg.

Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian kepala,
restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan untuk memperbaiki
tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik sekunder. Harus ingat bahwa
tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial rata-rata dikurangi
tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus dipertahankan pada tingkat normal,
atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat normal. Diusahakan tekanan perfusi
serebral setidaknya 70 mmHg, bila perlu memakai vasopresor seperti dopamin intravena atau
fenilefrin.

Pasien sadar dipantau dengan pemeriksaan neurologis serial, pemantauan TIK


jarang diperlukan. Pada pasien koma yang tidak sekarat (moribund), TIK dipantau secara
rutin. Disukai ventrikulostomi karena memungkinkan mengalirkan CSS, karenanya lebih
mudah mengontrol TIK. Perdarahan intraventrikuler menjadi esensial karena sering terjadi
hidrosefalus akibat hilangnya jalur keluar CSS. Lebih disukai pengaliran CSS dengan
ventrikulostomi dibanding hiperventilasi untuk pengontrolan TIK jangka lama. Pemantauan
TIK membantu menilai manfaat tindakan medikal dan membantu memutuskan apakah
intervensi bedah diperlukan.
Pemakaian kortikosteroid untuk mengurangi edema serebral akibat PIS pernah
dilaporkan bermanfaat pada banyak kasus anekdotal. Namun penelitian menunjukkan bahwa
deksametason tidak menunjukkan manfaat, di samping jelas meningkatkan komplikasi
(infeksi dan diabetes). Namun digunakan deksametason pada perdarahan parenkhimal karena
tumor yang berdarah dimana CT-scan memperlihatkan edema serebral yang berat.

J. Prognosis

Perdarahan yang besar jelas mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
diperkirakan mortalitas seluruhnya berkisar 26-50%. Mortalitas secara dramatis meningkat
pada perdarahan talamus dan serebelar yang diameternya lebih dari 3 cm, dan pada
perdarahan pons yang lebih dari 1 cm. Untuk perdarahan lobar mortalitas berkisar dari 6-30
%. Bila volume darah sesungguhnya yang dihitung (bukan diameter hematomnya), maka
mortalitas kurang dari 10% bila volume darahnya kurang dari 20 mm3 dan 90% bila volume
darahnya lebih dari 60 mm3.
Kondisi neurologik awal setelah terserang perdarahan juga penting untuk prognosis
pasien. Pasien yang kesadarannya menurun mortalitas meningkat menjadi 63%. Mortalitas
juga meningkat pada perdarahan yang besar dan letaknya dalam, pada fossa posterior atau
yang meluas masuk ke dalam ventrikel. Felmann E mengatakan bahwa 45% pasien
meninggal bila disertai perdarahan intraventrikular. Suatu penilaian dilakukan untuk
memperkirakan mortalitas dalam waktu 30 hari pertama dengan menggunakan 3 variabel
pada saat masuk rumah sakit yaitu Glasgow Coma Scale (GCS), ukuran perdarahan dan
tekanan nadi. Perdarahan kecil bila ukurannya kurang dari satu lobus, sedangkan perdarahan
besar bila ukurannya lebih dari satu lobus. Bila GCS lebih dari 9, perdarahannya kecil,
tekanan nadi kurang dari 40 mmHg, maka probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari adalah
98%. Tetapi bila pasien koma, perdarahannya besar dan tekanan nadinya lebih dari 65
mmHg, maka probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari hanya 8%. Pada PIS hipertensif
jarang terjadi perdarahan ulang.
A. TRAUMA KEPALA / CEDERA KEPALA
Cedera kepala adalah cedera yang
mengenai kepala dan otak, baik yang terjadi
secara langsung maupun tidak langsung.
Tulang tengkorak yang tebal dan keras
membantu melindungi otak. Tetapi meskipun
memiliki helm alami, otak sangat peka
terhadap berbagai jenis cedera. Otak bisa
terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak.

B. ETIOLOGI
Penyebab terbanyak trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas dimana lebih dari
setengah kasus terjadi lebih sering pada daerah perkotaan. Penyebab lainnya adalah jatuh dari
tempat tinggi, korban kekerasan, trauma akibat olahraga, dan trauma penetrasi. Trauma
kepala dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan, dan lebih sering terjadi pada umur kurang dari 35 tahun.

C. PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala
dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat
terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan
perubahan neurokimiawi.
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf,
pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada
jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan
penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan
massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka
peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di
dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas
bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan
ini disebut herniasi.
Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang
di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa
berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan
pernafasan). Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan
otak yang hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk
mencegah pembekuan darah), sangat peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling otak
(hematoma subdural).
D. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.
E. Mekanisme
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan terbuka. Istilah cedera
kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan
cedera kepala terbuka sering dikaitkan dengan luka tembak dan luka tusuk.
A. Trauma kepala terbuka
Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi duramater.
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak. Fraktur longitudinal
sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan
tuba eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna biru dibelakang telinga
diatas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga
dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak.
Fraktur basis tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi
sangat dasar. Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah :
a. Battle sign (warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid )
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah gendang telinga )
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung )
d. Rhinorrhoe (liquor keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (liquor keluar dari telinga)
Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis dan perdarahan.

B. Trauma kepala tertutup


Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri.
Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA. Pada
kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio serebri berarti
kerusakan otak disertai robekan duramater.
Trauma kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi,
deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara tengkorak
dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang tengkorak diikuti
dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara otak
dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau dengan sekat-sekat
duramater. Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak masih
bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti. Mekanisme
yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan ini
menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan, peregangan
maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan yang lain. Ketiga hal ini
biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan. Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di
tempat benturan (coup), maupun di tempat yang berlawanan (countre coup). Diduga
countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di
dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi
tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi dengan
robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap
trauma merupakan penyebab utama terjadinya countrecoup, akibat benturan-benturan
otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam
tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus
temporalis, frontalis dan oksipitalis.
 Komusio serebri
Trauma kapitis yang tampaknya berat atau ringan biasanya hanya
mengakibatkan pingsan sejenak, dengan atau tanpa amnesia retrograde. Tanda-tanda
kelainan neurologic apapun tidak terdapat pada penderita yang bersangkutan.
Diagnosis digunakan untuk kasus semacam itu ialah komusio cerebri.
Komosio merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan
(kurang dari 10 menit). Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-noda didepan
mata dan linglung. Komosio adalah hilangnya kesadaran sekejap, setelah terjadinya
cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata. Komosio
menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural
yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung
kepada goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak.
 Kontusio serebri (Memar otak)
Merupakan perdarahan kecil / ptechie pada jaringan otak akibat pecahnya
pembuluh darah kapiler. Lesi kontusio adalah adanya akselarasi kepala, yang seketika
itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang
destruktif. Akselarasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Karena itu otak
membentang batang otak terlampau kuat, sehingga menimbulkan blokade reversibel
terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blokade tersebut otak tidak
mendapatkan input aferen dan karena itu kesadaran hilang selama blokade reversible
berlangsung.
Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (“coup”), “contercoup”, dan
“intermediet”, menimbulkan gejala defisit neurologik, yang bisa berupa refleks
babinski positif dan kelumpuhan UMN. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-
kerusakan yanghemoragik pada daerah coup dan countre coup, denganpiamater yang
masih utuh pada kontusio dan robek padalaserasio serebri.
Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya
perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan dari kontusio
akan terjadi edema otak. Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu akibat kerusakan
B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler mengalami kerusakan ataupun
peregangan pada sel-sel endotelnya. Cairan akan keluar dari pembuluh darah ke dalam
jaringan otak karena beda tekanan intra vaskuler dan interstisial yang disebut tekanan
perfusi. Bila tekanan arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan
sebaliknya bila turun akan memperlambat. Edema jaringan menyebabkan penekanan
pada pembuluh-pembuluh darah yang mengakibatkan aliran darah berkurang.
Akibatnya terjadi iskemia dan hipoksia. Asidosis yang terjadi akibat hipoksia ini
selanjutnya menimbulkan vasodilatasi dan hilangnya auto regulasi aliran darah,
sehingga edema semakin hebat. Hipoksia karena sebab-sebab lain juga memberikan
akibat yang sama. Jika otak membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut
pada jaringan otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak.
Gejala dari kontusio adalah pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa,
depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Biasanya gejala
berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Sindroma pasca konkusio
yaitu kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Kontusio serebri dan robekan
otak lebih serius daripada konkusio. MRI menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang
bisa ringan atau bisa menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati
dengan kebingungan atau bahkan koma.
 Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang
tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan
karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma
subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak
(hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT scan
atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala
dalam beberapa menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi
pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah
beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan
pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas
juga akan menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada
perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan
pada salah satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau
bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia
lanjut.
 Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah
merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih
cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga
baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi
beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya.Selanjutnya
bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma.
Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT scan darurat.
Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam
tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan
penyumbatan sumber perdarahan.
 Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.
Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa
saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma
subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut
(karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil
pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada
dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

1. Berdasarkan Beratnya
a. Cedera kepala ringan (GCS 13-15)
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya
terjadi beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan pada
pemeriksaan CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.
b. Cedera kepala sedang (GCS 9-12)
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering
tanda neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi juga
drowsiness dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi
kognitif maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan bahkan
permanen.
c. Cedera kepala berat (GCS <8)
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma.
Penurunan kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu mengikuti,
bahkan perintah sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran. Termasuk juga
dalam hal ini status vegetatif persisten.Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien
digolongkan sebagai penderita cedera kepala berat bila :
1. Pupil anisokor
2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan otak yang
terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.

2. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit : vulnus, laserasi, hematom subkutan, hematom subgaleal
Luka dapat menimbulkan perdarahan, pembengkakan setempat, nyeri setempat, nyeri
pada pergerakan dan dirawat sebagaimana mestinya. Perdarahan subgaleal dapat besar
sekali hingga menimbulkan pembengkakan yang hebat dan bentuk kepala menjadi
besar tidak teratur. Pada keadaan ini perlu diberi balut yang menekan dan bila teraba
lunak dapat dipungsi untuk mengeluarkan darah yang cair.
b. Fraktur tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Mungkin
tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linier atau stelata, mungkin terdepres atau
tidak terdepres. Fraktur tengkorak biasanya terjadi pada tempat benturan. Garis
fraktur dapat menjalar sampai basis cranii. Patah tulang tengkorak bisa melukai arteri
dan vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga di sekeliling
jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek meningens. Cairan
serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan meningens) bisa merembes ke
hidung atau telinga yang menandakan adanya fraktur basis cranii. Depresi pada
kepala atau muka (sunken eye) menandakan terjadi fraktur maksila. Bakteri kadang
memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi
serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak
memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya
bergeser.
 Fraktur Os Temporalis
Cedera pada tulang temporal terjadi pada 30 sampai 70% kasuspadatrauma kepala
tumpul. Struktur tulang-tulang temporal terletak di lateral tengkorak.Para tulang
temporal membentuk bagian dari tengah dan posterior fossa cranial dan
berkontribusi ke neurocranium atau dasar tengkorak. Untuk melindungi otak,
masing-masing tulang temporal merupakan tempat untuk struktur penting seperti
telinga tengah dan apparatus telinga interna termasuk koklea, vestibula dan saraf
vestibulocochlear (kranial VIII saraf), saraf wajah (saraf kranial VII), arterikarotis
internal dan Vein jugularis. Trauma pada tulang temporal dapat mengakibatkan
cedera masing-masing struktur.

Diagnosis dugaan fraktur dapat dibuat berdasarkan tiga temuan fisik:


hemotympanum (darah diamati di belakang membran timpani),
postaurikularecchymosis atau Battle ‘s sign (memar berbentuk lengkungan
belakang aurikel), dan periorbital ecchymosis atau rakoon eyes (melingkar memar
di sekitar mata). Tanda-tanda ini bersama dengan riwayat trauma kepala dapat
mendukung diagnosis fraktur tulang temporal, bahkan dalam ketiadaan bukti
radiografi.

 Fraktur linier pada kubah kranium


Fraktur linier terjadi secara sekunder terhadap kekuatan yang besar pada
permukaan yang lebar, merupakan cedera benturan yang disebabkan oleh
perubahan bentuk kepala dari sisi benturan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
adalah kejadian, sisi, arah dan tingkat fraktur.
 Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii terjadi pada 19-21% dari
semua fraktur tulang kepala dan 4% dari seluruh
cedera kepala. Fraktur basis kranii sering
merupakan ekstensi dari fraktur kubah kranium,
dapat juga timbul dari aliran beban pada benturan
langsung pada basis kranii.
Tempat-tempat yang relatif lemah pada basis
kranii adalah sinus sfenoid, foramen magnum, hubungan temporal dengan
petrosum, sfenoid ring bagian dalam. Tempat-tempat ini mudah terjadi fraktur.
Gambaran fraktur tergantung dari kekuatan tenaga,struktur tulang dan foramen
pada basis kranii. Fraktur basis kranii dengan robek dura sangat mudah terjadi
infeksi atau dapat juga terjadi fistula pada duramater yang ditandati dengan
bocornya LCS berupa rinorre dan ottorea.
Fraktur basis kranii juga berhubungan dengan cedera saraf otak dan
pembuluh darah, karena dapat terjadi terpotongnya saraf otak atau pembuluh
darah oleh fragmen fraktur atau strangulasi.

 Fraktur depressed
Fraktur depressed biasanya merupakan dari gaya yang terlokalisir pada
satu tempat di kepala. Ketika gaya tersebut cukup besar, atau terkonsentrasi pada
daerah sempit, tulang terdesak ke bawah, sehingga menghasilkan fraktur
depressed. Keadaaan tersebut tergantung dari besarnya benturan dan kelenturan
tulang kepala.

C. PENATALAKSANAAN
1) Cedera Kepala Ringan (Gcs 13-15)
Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan sembuh tanpa
penanganan berarti. Tetapi, sekitar 3% mengalami komplikasi yang tidak
terduga, mengakibatkan disfungsi neuroligik berat jika penurunan status mental
terlambat dideteksi.
1. Airway
Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.
2. Breathing
Perhatikan gerak napasnya, jika terdapat tanda – tanda sesak segera pasang
oksigen.
3. Circulation
Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda – tanda syok segera
pasang infuse. Bila disertai dengan perdarahan yang cukup banyak bisa
ditambah dengan tranfusi darah ( whole blood ). Pasang kateter untuk
memonitoring balans cairan.
4. Setelah kondisi pasien stabil, Periksa tingkat kesadaran pasien,
perhatikankemungkinan cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau
tembus. Jika ada luka robek, bersihkan lalu di jahit.
5. Foto rontgen tengkorak.Dilakukan pada posisi AP dan Lateral.
6. CT scan kepala.
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua cedera kepala, kecuali pada
pasien – pasien yang asimptomatik tidak perlu dilakukan.
7. Observasi
Jika pasien asimtomatik, sadar penuh, normal secara neurologis, maka pasien
diamati selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan jika masih normal, akan
dipulangkan.

2) Cedera Kepala Sedang (Gcs 9-12)


Sekitar 10% dari pasien cedera kepala adalah termasuk cedera kepala sedang.
Pasien masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi pasien biasanya bingung dan
somnolen dan mungkin terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar
10-20% dari pasien ini mengalami penurunan kesadaran hingga koma.
Semua pasien ini memerlukan observasi di ruang ICU atau unit serupa yang
memudahkan observasi dan evaluasi neurologis ketat untuk 12 hingga 24 jam
pertama. CT scan untuk follow up dalam 12-24 jam dianjurkan jika hasil CT scan
awal abnormal atau jika terjadi penurunan pada status neurologis pasien.

3) Cedera Kepala Berat (Gcs 3-8)


 Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip ABC seperti pada cedera kepala
ringan.
 Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan
di bagian tubuh lainnya.
 Pemeriksaan neurologis, meliputi : reflex buka mata, reflex cahaya pupil,
respon motorik, respon verbal, respon okulo sefalik ( Doll’s eye ).
 Pemeriksaan penunjang : CT-scan, angiografi.
 Rawat selama 7 – 10 hari.
 Beri manitol 20 % ( 1 gr/BB ) bolus dalam 5 menit.
 Furosemid ( 0,3 – 0,5 mg/BB ) diberi bersama manitol.
 Antikonvulsan : fenitoin dan fenobarbital.
D. PROGNOSIS
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya
kerusakan otak yang terjadi. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak
untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang. Kemampuan berbahasa
pada anak kecil dijalankan oleh beberapa area di otak, sedangkan pada dewasa sudah
dipusatkan pada satu area. Jika hemisfer kiri mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8
tahun, maka hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa. Penderita cedera kepala
berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan
sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada minggu
pertama, maka biasanya ingatan penderita akan pulih kembali.
DAFTAR PUSTAKA

1. Castel JP, Kissel P. Spontaneous intracerebral and infratentorial hemorrhage. In:Youmans


JR. ed. Neurological Surgery, 3rd ed, vol.IIIl. Philadelphia: WB Saunders Company; 2006 .p.
1890-1913.

2. Luyendijk W. Intracerebral hemorrhage. In : Vinken FG, Bruyn GW, editors. Handbook of


Clinical Neurology. New York : Elsevier ; 2005; 660-719.

3. Perdarahan Intraserebral Hipertensif Abdul Gofar Sastrodiningrat Divisi Ilmu Bedah Saraf
Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan Suplemen
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006.

4. Rumantir CU. Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD Arifin
Achmad/FK UNRI. Pekanbaru. 2007.

5. Goetz Christopher G. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical Neurology,


3rd ed. Philadelphia : Saunders. 2007.

6. Rumantir CU. Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode 1984-1985. Laporan
Penelitian Pengalaman Belajar Riset Dokter Spesialis Bidang Ilmu Penyakit Saraf. 2000.

7. Ropper AH, Brown RH. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victor’s Priciples of
Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill. 2005.

8. Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. Pencegahan Primer Stroke. Dalam : Guideline Stroke
2007. Jakarta.

9. Baehr M, Frotscher M. Duus’ : Topical Diagnosis in Neurology. 4th revised edition. New
York : Thieme. 2005.

10. El-Mitwalli, A., Malkoff, M D.,.2008. Intracerebral Hemorrhage. The Internet Journal of
Advanced Nursing Practice.

11. Alpen Patel, and Eli Groppo. Management of Temporal Bone Trauma. Department of
Otolaryngology–Head and Neck Surgery,Towson Medical Center, Lutherville, Maryland;
Department of Otolaryngology–Head and Neck Surgery, University of California San
Francisco. 2010.
12. Anatomy & Causes: Cranial Anatomy. Available at: http://dryogeshgandhi.com/cranial.htm.
Accessed on : 17 November 2014
13. David, Bernath. Head Injury. Available at : www.e-medicine.com. Accessed on : 17
Novovember 2014
14. Neural System Development - Cerebrospinal Fluid. Available at:
http://embryology.med.unsw.edu.au/Notes/neuron6a.htm. Accessed on : 17 November 2014
15. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Penerbit : Dian Rakyat. Jakarta :
2009

Anda mungkin juga menyukai