INTRACEREBRAL HEMORRHAGE
Disusun Oleh :
Mutia Rahmawati
2014730066
Pembimbing :
STATUS PASIEN
A. Identitas
Nama : Tn. L
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 48 tahun
Alamat : Koja, jakarta utara
Pekerjaan : Supir Angkot
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 30 menit SMRS
5. Riwayat Alergi
Riwayat alergi cuaca, makanan, dan obat disangkal
6. Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya belum pernah berobat.
7. Riwayat Psikososial
- Os bekerja sehari-hari sebagai supir angkot
- Os merokok 3 bungkus/hari dan sudah dari usia 15 tahun
- OS sering minum minuman alkohol
C. Pemeriksaan Fisik
Diperiksa tanggal 15 november 2018
a. Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : somnolen GCS= E3M5V3=11
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 88 x / menit
Suhu Badan : 36,30 C
Pernafasan : 20 x / menit
Saturasi Oksigen : 98%
b. Status antopometri
Berat badan : 80 kg
Tinggi badan : 170 cm
IMT : 27.68 kg/m2 (obesitas)
c. Keadaan lokal
- Kepala : Normosefali. Luka (+) di bagian frontal sinistra
- Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil isokor +/+
- Telinga : perdarahan -/-, sekret-/-
- Hidung : deviasi septum -/-, perdarahan -/-. Terpasang nasal canul O2 3 lpm.
- Mulut : mukosa oral basah, sianosis -/-, tonsil T1-T1.
- Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba massa,
pembesaran KGB (-)
- Thorax
Pemeriksaan jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V, 2 cm medial dari linea
midklavikularis sinistra
Perkusi : batas jantung kanan pada ICS V linea parasternal dextra, batas
jantung kiri pada ICSV 2 jari lateral linea midklavikula sinistra,
Auskultasi : BJ 1 BJ 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pemeriksan paru
Inspeksi : simetris, bentuk normal
Palpasi : Vocal fremitus kanan=kiri normal,
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : supel. hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi : BU (+) normal
Pemeriksaan Ekstremitas :
Atas : Edema (-), Akral hangat (+), CRT < 2detik
Bawah : Edema (-), Akral Hangat (+), CRT < 2detik
D. Pemeriksaan Neurologis
a. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : Negatif
Brudzinski I : Negatif
Brudzinski II : Negatif
Laseque : Negatif
Kernig : Negatif
b. N. Kranialis
N.I : Normosmia +/+
N.II :
Visus : dengan menghitung jari, normal (keterbatasan ruangan)
Lapang pandang : Normal
Funduskopi : tidak dilakukan
N.V
Cabang motorik
o Membuka mulut : Baik
o Menggerakkan rahang : Baik
o Jaw refleks : Baik
Cabang sensorik oftalmikus : Baik/Baik
Cabang sensorik maksilaris : Baik/Baik
Cabang sensorik mandibularis : Baik/Baik
N.VII
Kerut Kening +/+, Menutup Mata +/+, Menyeringai -/-
Pengecapan lidah
o Manis : Tidak Dilakukan
o Asin : Tidak Dilakukan
o Asam : Tidak Dilakukan
o Pahit : Tidak Dilakukan
N.VIII
Vestibular
Vertigo : Negatif
Nistagmus : -/-
Cochlear
Test Rinne : Tidak dilakukan
Webber : Tidak dilakukan
Schwabach : Tidak dilakukan
N.IX ; N.X
Motorik : Baik/baik
Sensorik : Baik/baik
N.XI
Mengangkat bahu : Baik
Menoleh : Baik
N.XII
Pergerakan lidah : Lidah di tengah
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Tremor :-
e. Tes sensibilitas
Dextra Sinistra
Rasa Raba
+
- Ekstremitas Atas +
+
- Ekstremitas Bawah +
Rasa Nyeri
+
- Ekstremitas Atas +
+
- Ekstremitas Bawah +
Rasa Suhu
- Ekstremitas Atas Tidak dilakukan
- Ekstremitas Bawah
f. Fungsi otonom
Miksi : Inkontinensia (-)
Defekasi : Inkontinensia (-)
Sekresi keringat : Baik
g. Refleks
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Biceps : (+) (+)
Triceps : (+) (+)
Patella : (+) (+)
Achilles : (+) (+)
Refleks Patologis
Babinski : (-) (-)
Oppenheim : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Schaefer : (-) (-)
Hoffman-Tromner : (-) (-)
E. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi
Hematokrit 43 % 40-52 %
MCV 91 fL 80-100 fL
MCH 33 pg 26-34 pg
MCHC 36 g/dL 32-36 g/dL
Kimia Klinik
Hasil interpretasi :
Tn L laki-laki usia 48 tahun datang ke IGD RSIJ Cempaka Putih dengan penurunan
kesadaran sejak 30 menit SMRS. Penurunan kesadaran terjadi setelah pasien terjatuh
dari motor 30 menit SMRS. Os diantar ke IGD RSIJ oleh supir angkot dan dengan
perdarahan dibagian kepala. sebelum terjatuh dari motor, pasien minum-minuman
beralkohol dan menghabiskan 3 botol minuman beralkohol. Keluhan lain seperti sakit
kepala dirasakan setelah pasien tersadar. Sakit kepala dirasakan diseluruh bagian
kepala dan memberat bila berubah posisi seperti menengok kanan dan kiri. Pada hari
rawat ketiga, Saat ditanyakan pasien sedang dimana dan menceritakan kejadian
sebelum dan sesudah terjadi kecelakaan, pasien masih bisa menjelaskan dengan jelas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran Somnolen, GCS 11. Tanda-tanda Vital;
Tekanan darah 130/80 mmHg. HR : 88x/menit. RR 20x/menit. Suhu 36.3ᴼC. SpO2
98%
F. Diagnosis
G. Planning
Terapi Medikamentosa
o O2 nasal cannul 3 lpm
o Infus cairal RL
o Cateter urine
o Nicolin 2x 500 mg IV
o Tramadol 2x1 amp IV
o Ondancentron 2x1 amp IV
o Ceftriaxone 1x2 g IV
Terapi Nonmedikamentosa
o Tirah baring
H. Prognosis
Basal Ganglia terdiri dari striatum (nukleus kaudatus dan putamen), globus palidus
(eksterna dan interna), substansia nigra dan nukleus sub-thalamik. Nukleus pedunkulopontin
tidak termasuk bagian dari basal ganglia, meskipun dia memiliki koneksi yang signifikan dengan
basal ganglia. Korpus striatum terdiri dari nukleus kaudatus, putamen dan globus palidus.
Striatum dibentuk oleh nuldeus kaudatus dan putamen. Nukleus lentiformis dibentuk oleh
putamen dan kedua segmen dari globus palidius. Tetapi letak anatomis perdarahan basal ganglia
yang dibahas disini hanya meliputi nukleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula interna
terletak diantara nuleus kaudatus dan nukleus lentiformis. Kapsula intema adalah tempat relay
dari traktus motorik volunter, sehingga jika ada lesi pada lokasi ini akan menyebabkan gangguan
motorik seperti hemiparesis ataupun gangguan motorik lain (Tortora, 2009).
Vaskularisasi yang mendarahi basal ganglia adalah cabang-cabang arteri yang berasal
dari arteri serebri anterior (ACA), serebri media (MCA), choroidal anterior, posterior
communicans (P-commA), serebri posterior (PCA) dan serebelar superior. Cabang dari MCA,
yang disebut Lenticulostriata lateral, adalah yang terbanyak mendarahi striatum dan lateral dari
pallidum. Perdarahan pada basal ganglia yang tersering adalah dikarenakan ruptur arteri
lenticulostriata media. Arteri Heubner, disebut juga arteri striata media, berasal dari A2, yaitu
segmen dari ACA, memperdarahi putamen dan kepala dari nukleus caudatus. Arteri choroidalis
anterior memperdarahi sebagian dari globus palidus dan putamen, juga ekor dari nukleus
caudatus. Arteri posterior communicans memperdarahi bagian medial dari pallidum, medial
substansia nigra dan sebagian nukleus subthalamikus. Thalamo perforata dari PCA adalah yang
terbanyak memperdarahi substansia nigra dan sebagian dan STN. Cabang dari SCA
memperdarahi bagian lateral dari substatia nigra (Moore, 2005).
Gambar 2.1. Potongan axial dari serebrum. Basal ganglia adalah yang ditunjukkan
oleh lingkaran berwarna merah.
Lokasi tersering terjadinya PIS adalah pada basal ganglia, tepatnya pada putamen,
dengan persentase 35% hingga 50%, diikuti dengan lobar sekitar 30%, thalamus (10 hingga
15%), pons (5 hingga 12%), nukleus kaudatus (7%), dan serebelum (5%) (Fisher, 1959; Freytag,
1968; Furlan, 1979).
Arteri yang sering ruptur pada perdarahan intrsebral spontan adalah arteri lentikulostriata
yang merupakan cabang langsung dan arteri serebri media. Ruptur dan arteri ini akan
mengakibatkan perdarahan pada basal ganglia, tepatnya putamen. Arteri Thalamo-perforata yang
merupakan percabangan dan arteri serebri anterior dan media juga merupakan sumber terjadinya
PIS. Ruptur arteri ini akan mengakibatkan perdarahan thalamus. Arteri lain yang terlibat pada
PIS adalah cabang paramedian dari arteri basilaris, yang mana akan menyebabkan perdarahan
dan pons dan serebelum (Manish, 2012).
Perdarahan intraventrikular (PIV) juga sering terjadi menyertai PIS pada kasus-kasus
stroke hemoragik. Menjangkiti 12%-45% dengan pasien yang mengalami PIS. Tetapi PIV juga
dapat terjadi tanpa disertai dengan PIS (Hallevi, 2008; Leira, 2004; Tuhrim, 1999).
Gambar 2.2. Lokasi dan perdarahan yang dapat terjadi pada PIS
Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang terjadi di otak yang disebabkan oleh
pecahnya (ruptur) pada pembuluh darah otak. Perdarahan dalam dapat terjadi di bagian
manapun di otak. Darah dapat terkumpul di jaringan otak, ataupun di ruang antara otak dan
selaput membran yang melindungi otak. Perdarahan dapat terjadi hanya pada satu hemisfer
(lobar intracerebral hemorrhage), atau dapat pula terjadi pada struktur dari otak, seperti
thalamus, basal ganglia, pons, ataupun cerebellum (deep intracerebral hemorrhage).
Perdarahan intraserebri ditandai oleh adaya perdarahan ke dalam parenkim otak akibat
pecahnya arteri penetrans yang merupakan cabang dari pembuluh darah superficial dan
berjalan tegak lurus menuju parenkim otak yang di bagian distalnya berupa anyaman
kapiler.
C. Epidemiologi
Perdarahan intraserebral lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, terutama yang
lebih tua dari 55 tahun, dan dalam populasi tertentu, termasuk orang kulit hitam dan Jepang.
Selama periode 20 tahun studi The National Health and Nutrition Examination Survey
Epidemiologic menunjukkan insiden perdarahan intraserebral antara orang kulit hitam adalah
50 per 100.000, dua kali insiden orang kulit putih.
D. Faktor Risiko
Hipertensi
Neoplasma intrakranial. Akibat nekrosis dan perdarahan oleh jaringan neoplasma yang
hipervaskular.
Aneurisma
Aneurisma merupakan suatu kelainan congenital pada pembuluh darah, dimana terjadi
gangguan perkembangan dinding pembuluh darah yaitu pada tunika media dan lamina
elastika. Akibat adanya gangguan pada tunika media, dan terjadi perubahan degeneratif
sehingga dapat terjadi destruksi local pada membrane elastika interna yang menyebabkan
tunika intima menonjol dan membentuk suatu aneurisma bentuk sakuler. Ukuran aneurisma
ini rata-rata 7,5 mm, bila > 10 mm maka akan mudah terjadi ruptur.
Amiloid Angiopati
Cerebral amiloid angiopati atau disebut juga congophilic angiopati merupakan suatu
kelainan pada dinding pembuluh darah otak akibat deposit protein beta amiloid. Deposit ini
terjadi pada dinding arteri tunika media dan tunika adventisia arteri kecil atau sedang yang
terletak di korteks, leptomeningen dan subkortikal substansia alba dimana menggantikan
jaringan kolagen dan elemen kontraktilitas pembuluh darah dengan amiloid protein beta ini.
Deposit amiloid ini menyebabkan kerusakan pada tunika media dan adventisia pembuluh
darah otak kortikal dan leptomeningen. Terjadi penebalan membran basalis sehingga terjadi
stenosis lumen pembuluh darah dan fragmentasi/kerusakan pada tunika lamina elastika
interna, sehingga dinding pembuluh darah menjadi rapuh dan mudah terjadi ruptur pembuluh
darah.
Tumor Otak
Tumor otak dapat menyebabkan perdarahan intraserebral biasanya oleh jenis tumor ganas
yang primer atau bentuk metastasis dengan presentasi 5-10%. Tumor otak primer yang dapat
mengalami perdarahan adalah glioblastoma, oligodendroma, medulloblastoma,
hemangioblastoma atau metastase. Namun yang paling sering terjadi adalah pada
glioblastoma dan metastase. Metastase yang sering alami perdarahan intraserebral adalah
tumor primer melanoma, karsinoma bronkial, karsinoma ginjal dan choriokarsinoma.
Perdarahan diduga karena rapuhnya pembuluh darah abnormal dalam tumor yang kaya akan
komponen vaskuler.
Diskrasia darah
Yang termasuk diskrasia darah yang dapat menyebabkan perdarahan intraserebral adalah
anemia sickle cell, leukimia dan hemofilia serta gangguan koagulasi yang didapat, misalnya
pada penyakit hepar yang berat seperti sirosis hepar dan hepatitis fulminan dapat
menyebabkan gangguan sintesis faktor pembekuan, peningkatan fibrinolisis, dan
trombositopenia.
Antikoagulan
Pada penggunaan obat antikoagulan heparin atau warfarin, sekitar 9% dapat terjadi
perdarahan intraserebral. Biasanya terjadi perdarahan apabila antikoagulan digunakan secara
berlebihan atau penggunaan jangka panjang dengan insidens 8-11 kali jika dibandingkan
pada pasien yang tidak mendapatkan antikoagulan. Faktor predisposisi yang dapat
menyebabkan perdarahan pada pasien yang menggunakan antikoagulan adalah meningkatnya
umur, infark iskemik yang luas dan adanya hipertensi berat.
Trombolitik
Perdarahan merupakan gejala toksisitas mayor pada penggunaan obat-obat trombolitik,
hal ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu:
- Lisisnya fibrin pada trombin yang terbentuk di pembuluh darah yang luka
- Lisis sistemik yang diakibatkan oleh pembentukan plasmin, fibrinolisis dan destruksi
faktor-faktor pembekuan.
Namun mekanisme yang mendasari terjadinya perdarahan otak ini belum diketahui jelas.
Vaskulitis
Vaskulitis merupakan penyakit inflamasi pada pembuluh darah arteri dan vena, misalnya
penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (SLE). SLE secara histologis ditandai dengan
adanya inflamasi mononuclear sel raksasa (giant cell) dalam tunika media dan adventisia
arteri dan vena berukuran kecil dan sedang. Keadaan ini menyebabkan lemahnya dinding
pembuluh darah sehingga terbentuk mikroaneurisma. Rupturnya pembuluh darah tersebut
oleh karena adanya riwayat hipertensi atau penyakit lain yang dapat memicunya.
E. Patofisiologi
Kasus PIS umumnya terjadi di kapsula interna (70 %), di fossa posterior (batang otak dan
serebelum) 20 % dan 10 % di hemisfer (di luar kapsula interna). Gambaran patologik
menunjukkan ekstravasasi darah karena robeknya pembuluh darah otak dan diikuti adanya
edema dalam jaringan otak di sekitar hematom. Akibatnya terjadi diskontinuitas jaringan dan
kompresi oleh hematom dan edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan
penyempitan atau penyumbatannya sehingga terjadi iskemia pada jaringan yang dilayaninya,
maka gejala klinis yang timbul bersumber dari destruksi jaringan otak, kompresi pembuluh
darah otak / iskemia dan akibat kompresi pada jaringan otak lainnya.
F. Gejala klinis
Secara umum gejala klinis PIS merupakan gambaran klinis akibat akumulasi darah di
dalam parenkim otak. PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur sangat jarang.
Perjalanan penyakitnya, sebagian besar (37,5-70%) per akut. Biasanya disertai dengan
penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran ini bervariasi frekuensi dan derajatnya tergantung
dari lokasi dan besarnya perdarahan tetapi secara keseluruhan minimal terdapat pada 60%
kasus. dua pertiganya mengalami koma, yang dihubungkan dengan adanya perluasan
perdarahan ke arah ventrikel, ukuran hematomnya besar dan prognosis yang jelek. Sakit
kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial dijumpai
pada PIS, tetapi frekuensinya bervariasi. Tetapi hanya 36% kasus yang disertai dengan sakit
kepal sedang muntah didapati pada 44% kasus. Jadi tidak adanya sakit kepala dan muntah
tidak menyingkirkan PIS, sebaliknya bila dijumpai akan sangat mendukung diagnosis PIS
atau perdarahn subarakhnoid sebab hanya 10% kasus stroke oklusif disertai gejala tersebut.
Kejang jarang dijumpai pada saat onset PIS.
G. Pemeriksaan Fisik
Hipertensi arterial dijumpai pada 91% kasus PIS. Tingginya frekuensi hipertensi
berkorelasi dengan tanda fisik lain yang menunjukkan adanya hipertensi sistemik seperti
hipertrofi ventrikel kiri dan retinopati hipertensif. Pemeriksaan fundus okuli pada kasus yang
diduga PIS mempunyai tujuan ganda yaitu mendeteksi adanya tanda-tanda retinopati
hipertensif dan mencari adanya perdarahan subhialoid (adanya darah di ruang preretina, yang
merupakan tanda diagnostik perdarahan subarakhnoid) yang mempunyai korelasi dengan
ruptur aneurisma. Kaku kuduk terdapat pada 48% kasus PIS.
Gerakan mata, pada perdarahan putamen terdapat deviation conjugae ke arah lesi, sedang
pada perdarahan nukleus kaudatus terjadi kelumpuhan gerak horisontal mata dengan deviation
conjugae ke arah lesi. Perdarahan thalamus akan berakibat kelumpuhan gerak mata atas
(upward gaze palsy), jadi mata melihat ke bawah dan kedua mata melihat ke arah hidung.
Pada perdarahan pons terdapat kelumpuhan gerak horisontal mata dengan ocular bobbing.
Pada perdarahan putamen, reaksi pupil normal atau bila terjadi herniasi unkus maka pupil
anisokor dengan paralisis N. III ipsilateral lesi. Perdarahan di thalamus akan berakibat pupil
miosis dan reaksinya lambat. Pada perdarahan di mesensefalon, posisi pupil di tengah,
diameternya sekitar 4-6 mm, reaksi pupil negatif. Keadaan ini juga sering dijumpai pada
herniasi transtentorial. Pada perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi masih
terdapat reaksi, pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar.
Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-Stroke, sedang pada lesi di
mesensefalon atau pons pola pernafasannya hiperventilasi sentral neurogenik. Pada lesi di
bagian tengah atau caudal pons memperlihatkan pola pernafasan apneustik. Pola pernafasan
ataksik timbul pada lesi di medula oblongata. Pola pernafasan ini biasanya terdapat pada
pasien dalam stadium agonal.
H. DIAGNOSIS
PIS khas terjadi sewaktu aktivitas, onset pada saat tidur sangat jarang
Biasanya disertai dengan penurunan kesadaran.
Sakit kepala hebat dan muntah yang merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial
dijumpai pada PIS, tetapi frekuensinya bervariasi
Pada perdarahan pons terdapat kelumpuhan gerak horisontal mata dengan ocular bobbing.
Perdarahan di thalamus akan berakibat pupil miosis dan reaksinya lambat
Pada perdarahan di mesensefalon, posisi pupil di tengah, diameternya sekitar 4-6 mm,
reaksi pupil negative
Pada perdarahn di pons terjadi pinpoint pupils bilateral tetapi masih terdapat reaksi,
pemeriksaannya membutuhkan kaca pembesar
Pola pernafasan pada perdarahan diensefalon adalah Cheyne-Stroke
lesi di mesensefalon atau pons pola pernafasannya hiperventilasi sentral neurogenic
Pada lesi di bagian tengah atau caudal pons memperlihatkan pola pernafasan apneustik
Gejala klinik yang sangat menonjol pada perdarahan pons ialah onset yang tiba-tiba dan
terjadi koma yang dalam dengan defisit neurologik bilateral serta progresif dan fatal.
Bahkan perdarahan kecil segera menyebabkan koma, pupil pinpoint (1 mm) namun reaktif,
gangguan gerak okuler lateral, kelainan saraf kranial, kuadriplegia, dan postur ekstensor.
Nyeri kepala, mual dan muntah jarang.
Dalam suatu studi retrospektif memeriksa dengan CT-Scan untuk mengetahui hubungan
tekanan darah dan pembesaran hematoma terhadap 79 penderita dengan PISH, mereka
menemukan penambahan volume hematoma pada 16 penderita yang secara bermakna
berhubungan dengan tekanan darah sistolik. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg tampak
berhubungan dengan penambahan volume hematoma dibandingkan dengan tekanan darah
sistolik ≤ 150 mmHg. Obat-obat anti hipertensi yang dianjurkan adalah dari golongan :
Pengurangan efek massa dapat dilakukan secara medikal maupun bedah. Pasien dengan
peninggian TIK dan atau dengan area yang lebih fokal dari efek massa, usaha nonbedah
untuk mengurangi efek massa penting untuk mencegah iskemia serebral sekunder dan
kompresi batang otak yang mengancam jiwa. Tindakan untuk mengurangi peninggian
TIK antara lain :
1. Elevasi kepala higga 30o untuk mengurangi volume vena intrakranial serta memperbaiki
drainase vena.
2. Manitol intravena (mula-mula 1,5 g/kg bolus, lalu 0,5 g/kg tiap 4-6 jam
untuk mempertahankan osmolalitas serum 295-310 mOsm/L).
3. Restriksi cairan ringan (67-75% dari pemeliharaan) dengan penambahan bolus cairan
koloid bila perlu.
Pada pasien sadar dengan efek massa regional akibat PIS, peninggian kepala,
restriksi cairan, dan manitol biasanya memadai. Tindakan ini dilakukan untuk memperbaiki
tekanan perfusi serebral dan mengurangi cedera iskemik sekunder. Harus ingat bahwa
tekanan perfusi serebral adalah sama dengan tekanan darah arterial rata-rata dikurangi
tekanan intrakranial, hingga tekanan darah sistemik harus dipertahankan pada tingkat normal,
atau lebih disukai sedikit lebih tinggi dari tingkat normal. Diusahakan tekanan perfusi
serebral setidaknya 70 mmHg, bila perlu memakai vasopresor seperti dopamin intravena atau
fenilefrin.
J. Prognosis
Perdarahan yang besar jelas mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
diperkirakan mortalitas seluruhnya berkisar 26-50%. Mortalitas secara dramatis meningkat
pada perdarahan talamus dan serebelar yang diameternya lebih dari 3 cm, dan pada
perdarahan pons yang lebih dari 1 cm. Untuk perdarahan lobar mortalitas berkisar dari 6-30
%. Bila volume darah sesungguhnya yang dihitung (bukan diameter hematomnya), maka
mortalitas kurang dari 10% bila volume darahnya kurang dari 20 mm3 dan 90% bila volume
darahnya lebih dari 60 mm3.
Kondisi neurologik awal setelah terserang perdarahan juga penting untuk prognosis
pasien. Pasien yang kesadarannya menurun mortalitas meningkat menjadi 63%. Mortalitas
juga meningkat pada perdarahan yang besar dan letaknya dalam, pada fossa posterior atau
yang meluas masuk ke dalam ventrikel. Felmann E mengatakan bahwa 45% pasien
meninggal bila disertai perdarahan intraventrikular. Suatu penilaian dilakukan untuk
memperkirakan mortalitas dalam waktu 30 hari pertama dengan menggunakan 3 variabel
pada saat masuk rumah sakit yaitu Glasgow Coma Scale (GCS), ukuran perdarahan dan
tekanan nadi. Perdarahan kecil bila ukurannya kurang dari satu lobus, sedangkan perdarahan
besar bila ukurannya lebih dari satu lobus. Bila GCS lebih dari 9, perdarahannya kecil,
tekanan nadi kurang dari 40 mmHg, maka probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari adalah
98%. Tetapi bila pasien koma, perdarahannya besar dan tekanan nadinya lebih dari 65
mmHg, maka probabilitas hidupnya dalam waktu 30 hari hanya 8%. Pada PIS hipertensif
jarang terjadi perdarahan ulang.
A. TRAUMA KEPALA / CEDERA KEPALA
Cedera kepala adalah cedera yang
mengenai kepala dan otak, baik yang terjadi
secara langsung maupun tidak langsung.
Tulang tengkorak yang tebal dan keras
membantu melindungi otak. Tetapi meskipun
memiliki helm alami, otak sangat peka
terhadap berbagai jenis cedera. Otak bisa
terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak.
B. ETIOLOGI
Penyebab terbanyak trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas dimana lebih dari
setengah kasus terjadi lebih sering pada daerah perkotaan. Penyebab lainnya adalah jatuh dari
tempat tinggi, korban kekerasan, trauma akibat olahraga, dan trauma penetrasi. Trauma
kepala dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan, dan lebih sering terjadi pada umur kurang dari 35 tahun.
C. PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala
dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat
terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak
(substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan
perubahan neurokimiawi.
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf,
pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada
jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan
penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan
massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka
peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di
dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas
bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan
ini disebut herniasi.
Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang
di dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa
berakibat fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan
pernafasan). Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan
otak yang hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk
mencegah pembekuan darah), sangat peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling otak
(hematoma subdural).
D. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.
E. Mekanisme
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan terbuka. Istilah cedera
kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan
cedera kepala terbuka sering dikaitkan dengan luka tembak dan luka tusuk.
A. Trauma kepala terbuka
Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi duramater.
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak. Fraktur longitudinal
sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen jugularis dan
tuba eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna biru dibelakang telinga
diatas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga
dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak.
Fraktur basis tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto rontgen, karena terjadi
sangat dasar. Tanda-tanda klinik yang dapat membantu mendiagnosa adalah :
a. Battle sign (warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid )
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah gendang telinga )
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung )
d. Rhinorrhoe (liquor keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (liquor keluar dari telinga)
Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis dan perdarahan.
1. Berdasarkan Beratnya
a. Cedera kepala ringan (GCS 13-15)
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya
terjadi beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan pada
pemeriksaan CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.
b. Cedera kepala sedang (GCS 9-12)
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering
tanda neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi juga
drowsiness dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi
kognitif maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan bahkan
permanen.
c. Cedera kepala berat (GCS <8)
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma.
Penurunan kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu mengikuti,
bahkan perintah sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran. Termasuk juga
dalam hal ini status vegetatif persisten.Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien
digolongkan sebagai penderita cedera kepala berat bila :
1. Pupil anisokor
2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan otak yang
terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.
2. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit : vulnus, laserasi, hematom subkutan, hematom subgaleal
Luka dapat menimbulkan perdarahan, pembengkakan setempat, nyeri setempat, nyeri
pada pergerakan dan dirawat sebagaimana mestinya. Perdarahan subgaleal dapat besar
sekali hingga menimbulkan pembengkakan yang hebat dan bentuk kepala menjadi
besar tidak teratur. Pada keadaan ini perlu diberi balut yang menekan dan bila teraba
lunak dapat dipungsi untuk mengeluarkan darah yang cair.
b. Fraktur tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Mungkin
tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linier atau stelata, mungkin terdepres atau
tidak terdepres. Fraktur tengkorak biasanya terjadi pada tempat benturan. Garis
fraktur dapat menjalar sampai basis cranii. Patah tulang tengkorak bisa melukai arteri
dan vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga di sekeliling
jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek meningens. Cairan
serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan meningens) bisa merembes ke
hidung atau telinga yang menandakan adanya fraktur basis cranii. Depresi pada
kepala atau muka (sunken eye) menandakan terjadi fraktur maksila. Bakteri kadang
memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi
serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak
memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya
bergeser.
Fraktur Os Temporalis
Cedera pada tulang temporal terjadi pada 30 sampai 70% kasuspadatrauma kepala
tumpul. Struktur tulang-tulang temporal terletak di lateral tengkorak.Para tulang
temporal membentuk bagian dari tengah dan posterior fossa cranial dan
berkontribusi ke neurocranium atau dasar tengkorak. Untuk melindungi otak,
masing-masing tulang temporal merupakan tempat untuk struktur penting seperti
telinga tengah dan apparatus telinga interna termasuk koklea, vestibula dan saraf
vestibulocochlear (kranial VIII saraf), saraf wajah (saraf kranial VII), arterikarotis
internal dan Vein jugularis. Trauma pada tulang temporal dapat mengakibatkan
cedera masing-masing struktur.
Fraktur depressed
Fraktur depressed biasanya merupakan dari gaya yang terlokalisir pada
satu tempat di kepala. Ketika gaya tersebut cukup besar, atau terkonsentrasi pada
daerah sempit, tulang terdesak ke bawah, sehingga menghasilkan fraktur
depressed. Keadaaan tersebut tergantung dari besarnya benturan dan kelenturan
tulang kepala.
C. PENATALAKSANAAN
1) Cedera Kepala Ringan (Gcs 13-15)
Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan sembuh tanpa
penanganan berarti. Tetapi, sekitar 3% mengalami komplikasi yang tidak
terduga, mengakibatkan disfungsi neuroligik berat jika penurunan status mental
terlambat dideteksi.
1. Airway
Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.
2. Breathing
Perhatikan gerak napasnya, jika terdapat tanda – tanda sesak segera pasang
oksigen.
3. Circulation
Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda – tanda syok segera
pasang infuse. Bila disertai dengan perdarahan yang cukup banyak bisa
ditambah dengan tranfusi darah ( whole blood ). Pasang kateter untuk
memonitoring balans cairan.
4. Setelah kondisi pasien stabil, Periksa tingkat kesadaran pasien,
perhatikankemungkinan cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau
tembus. Jika ada luka robek, bersihkan lalu di jahit.
5. Foto rontgen tengkorak.Dilakukan pada posisi AP dan Lateral.
6. CT scan kepala.
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua cedera kepala, kecuali pada
pasien – pasien yang asimptomatik tidak perlu dilakukan.
7. Observasi
Jika pasien asimtomatik, sadar penuh, normal secara neurologis, maka pasien
diamati selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan jika masih normal, akan
dipulangkan.
3. Perdarahan Intraserebral Hipertensif Abdul Gofar Sastrodiningrat Divisi Ilmu Bedah Saraf
Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan Suplemen
Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 y No. 3 y September 2006.
4. Rumantir CU. Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru : SMF Saraf RSUD Arifin
Achmad/FK UNRI. Pekanbaru. 2007.
6. Rumantir CU. Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode 1984-1985. Laporan
Penelitian Pengalaman Belajar Riset Dokter Spesialis Bidang Ilmu Penyakit Saraf. 2000.
7. Ropper AH, Brown RH. Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victor’s Priciples of
Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill. 2005.
8. Kelompok Studi Stroke PERDOSSI. Pencegahan Primer Stroke. Dalam : Guideline Stroke
2007. Jakarta.
9. Baehr M, Frotscher M. Duus’ : Topical Diagnosis in Neurology. 4th revised edition. New
York : Thieme. 2005.
10. El-Mitwalli, A., Malkoff, M D.,.2008. Intracerebral Hemorrhage. The Internet Journal of
Advanced Nursing Practice.
11. Alpen Patel, and Eli Groppo. Management of Temporal Bone Trauma. Department of
Otolaryngology–Head and Neck Surgery,Towson Medical Center, Lutherville, Maryland;
Department of Otolaryngology–Head and Neck Surgery, University of California San
Francisco. 2010.
12. Anatomy & Causes: Cranial Anatomy. Available at: http://dryogeshgandhi.com/cranial.htm.
Accessed on : 17 November 2014
13. David, Bernath. Head Injury. Available at : www.e-medicine.com. Accessed on : 17
Novovember 2014
14. Neural System Development - Cerebrospinal Fluid. Available at:
http://embryology.med.unsw.edu.au/Notes/neuron6a.htm. Accessed on : 17 November 2014
15. Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Penerbit : Dian Rakyat. Jakarta :
2009