Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

GANGGUAN PENYAKIT SISTEM PERNAFASAN : PENYAKIT


PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)
DI PUSKESMAS BADAU 2018

OLEH:
BANI AMIN

YAYASAN PENDIDIKAN SANTO HIERONYMUS


AKADEMI KEPERAWATAN DHARMA INSAN
PONTIANA
2018
A. KONSEP DASAR MEDIS
1. Definisi
PPOK merupakan istilah yang sering digunakan untuk
sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya (Price, Sylvia Anderson : 2005)
PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk
sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan
yang dikenal dengan COPD adalah: bronchitis kronis, emfisema paru-paru
dan asma bronchiale
PPOK adalah merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan
dengan dispneu saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar
udara paru-paru (Smeltzer, 2001).

2. Klasifikasi
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi
kronik adalah sebagai berikut:
a. Bronchitis Kronis
1) Definisi
Bronchitis Kronis merupakan gangguan klinis yang ditandai dengan
pembentukan mucus yang berlebihan dalam bronkus dan
termanifestasikan dalam bentuk batuk kronis dan pembentuk sputum
selama 3 bulan dalam setahun, paling sedikit 2 tahun berturut – turut
(Bruner & Suddarth, 2002).
2) Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis yaitu:
a) Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus

influenzae.
Alergi
b)
Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok dll
c)
3) Manifestasi klinis
a) Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronchi

besar, yang mana akanmeningkatkan produksi mukus.


b) Mukus lebih kental
Kerusakan fungsi cilliary sehingga menurunkan mekanisme
pembersihan mukus. Oleh karena itu, "mucocilliary defence" dari
paru mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan
untuk terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus
akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga produksi mukus
akan meningkat.
c) Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua

kali ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara.


d) Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan
mengobstruksi jalan nafas, terutama selama ekspirasi. Jalan nafas
mengalami kollaps, dan udara terperangkap pada bagian distal dari
paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi
alveolar, hypoxia dan asidosis.
e) Klien mengalami kekurangan oksigen jaringan ; ratio ventilasi
perfusi abnormal timbul, dimana terjadi penurunan PaO2.
Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO2.
f) Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hipoxemia,

maka terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat


penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam,
biasanya karena infeksi pulmonary.
g) Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV dengan

peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak


ditanggulangi, hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju
penyakit cor pulmonal dan CHF
b. Emfisema
1) Definisi
2) Etiologi
a) Faktor tidak diketahui
b) Predisposisi genetic
c) Merokok
d) Polusi udara
3) Manifestasi klinis
a) Dispnea
b) Takipnea
c) Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
d) Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang

paru
e) Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi
f) Hipoksemia
g) Hiperkapnia
h) Anoreksia
Penurunan BB
i)
Kelemahan
j)
c. Asthma Bronchiale
1) Definisi

Suatu penyakit yang ditandai dengan tanggap reaksi yang meningkat


dari trachea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan
2) Etiologi
a. Alergen (debu, bulu binatang, kulit, dll)
b. Infeksi saluran nafas
c. Stress
d. Olahraga (kegiatan jasmani berat)
e. Obat-obatan
f. Polusi udara
g. Lingkungan kerja
h. Lain-lain (iklim, bahan pengawet)
3) Manifestasi Klinis
a) Dispnea
b) Permulaan serangan terdapat sensasi kontriksi dada (dada terasa

berat),
c) wheezing,
d) batuk non produktif
e) takikardi
f) takipnea

3. Etiologi
Secara keseluruhan penyebab terjadinya PPOK tergantung dari
jumlah partikel gas yang dihirup oleh seorang individu selama hidupnya.
Partikel gas ini termasuk :
a. Asap rokok
1) Perokok aktif
2) Perokok pasif
b. Polusi udara
1) Polusi di dalam ruangan- asap rokok - asap kompor
2) Polusi di luar ruangan- gas buang kendaraan bermotor- debu jalanan
c. Polusi di tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)

4. PATOFISIOLOGI
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari
tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses
masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa
pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi
adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi
terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta
gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas.
Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah
kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan
parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio
volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-
komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah
besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai
tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses
ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental
dan adanya peradangan.
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi
normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah
inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara
akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD, 2009).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan
berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada
PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi
makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan
elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi
kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi
perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi
perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan
napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski,2003

5. Manifestasi klinis
Batuk merupakan keluhan pertama yang biasanya terjadi pada
pasien PPOK. Batuk bersifat produktif, yang pada awalnya hilang timbul
lalu kemudian berlangsung lama dan sepanjang hari. Batuk disertai
dengan produksi sputum yang pada awalnya sedikit dan mukoid
kemudian berubah menjadi banyak dan purulen seiring dengan semakin
bertambahnya parahnya batuk penderita.
Penderita PPOK juga akan mengeluhkan sesak yang berlangsung
lama, sepanjang hari, tidak hanya pada malam hari, dan tidak pernah
hilang sama sekali, hal ini menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas
yang menetap. Keluhan sesak inilah yang biasanya membawa penderita
PPOK berobat ke rumah sakit. Sesak dirasakan memberat saat
melakukan aktifitas dan pada saat mengalami eksaserbasi akut.
Gejala-gejala PPOK eksaserbasi akut meliputi:
a. Batuk bertambah berat
b. Produksi sputum bertambah
c. Sputum berubah warna
d. Sesak nafas bertambah berat
e. Bertambahnya keterbatasan aktifitas
f. Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronis
g. Penurunan kesadaran

6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan radiologi
1) Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal

yang perlu diperhatikan:


a) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-

garis yang parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru.


Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang
menebal.
b) Corak paru yang bertambah
2) Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada

yaitu:
a) Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary

oligoemia dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat


pada emfisema panlobular dan pink puffer.
Corakan paru yang bertambah.
b)
Pemeriksaan faal paru
c)
b. Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun,
timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan
penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang
pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia.
Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan
jantung kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah
satu penyebab payah jantung kanan.
c. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung.
Bila sudah terdapat korpulmonal terdapat deviasi aksis
kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF.
Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio
R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
d. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
e. Laboratorium darah lengkap

7. Penatalaksanaan
a. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera
menghentikan merokok, menghindari polusi udara.
b. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
c. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi

antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus


tepat sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji
sensitivitas atau pengobatan empirik.
d. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator.
Penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi
(bronkospasme) masih kontroversial.
e. Pengobatan simtomatik.
f. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
g. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus
diberikan dengan aliran lambat 1 - 2 liter/menit.
Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
a. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret
bronkus.
b. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan
pernapasan yang paling efektif.
c. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk

memulihkan kesegaran jasmani.


d. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita
dapat kembali mengerjakan pekerjaan semula
Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)
a. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
b. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
1) Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi

Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S.


Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau
eritromisin 4×0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam
klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya
adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B.
Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol,
amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami
eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan
membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya
dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi
sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik
yang kuat.
2) Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
3) Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan
baik.
b. Bronkodilator untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di
dalamnya golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien
dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg
diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV
secara perlahan.
c. Fisioterapi
Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
d. Mukolitik dan ekspektoran
e. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal

napas tipe II dengan PaO2 (7,3Pa (55 MMHg)

8. Komplikasi
a. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55
mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien
akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa.
Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
b. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda
yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines,
tachipnea.
c. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi
mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema
mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan
timbulnya dyspnea.
d. Gagal jantung
Terutama korpulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),
harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat.
Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis,
tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
e. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratory.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma
bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan
dan seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan.
Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher seringkali
terlihat.

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir
dan manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini beberapa
pedoman pertanyaan untuk mendapatkan data riwayat kesehatan
dari proses penyakit:
a. Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan pernapasan?
b. Apakah aktivitas meningkatkan dispnea?
c. Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?
d. Kapan pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?
e. Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?
f. Riwayat merokok?
g. Obat yang dipakai setiap hari?
h. Obat yang dipakai pada serangan akut?
i. Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?
Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan
pemeriksaan sebagai berikut:
a. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?
b. Apakah pernapasan sama tanpa upaya?
c. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?
d. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama
pernapasan?
e. Barrel chest?
f. Apakah tampak sianosis?
g. Apakah ada batuk?
h. Apakah ada edema perifer?
i. Apakah vena leher tampak membesar?
j. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?
k. Bagaimana status sensorium pasien?
l. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?
Palpasi:
a. Palpasi pengurangan pengembangan dada?
b. Adakah fremitus taktil menurun?
Perkusi:
a. Adakah hiperesonansi pada perkusi?
b. Diafragma bergerak hanya sedikit?
Auskultasi:
a. Adakah suara wheezing yang nyaring?
b. Adakah suara ronkhi?
c. Vokal fremitus nomal atau menurun?

2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif,
kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan
ventilasi perfusi
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dengan kebutuhan oksigen.
e. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.

3. Intervensi Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, dan infeksi
bronkopulmonal.
Tujuan: Pencapaian bersihan jalan napas klien
Intervensi keperawatan:
a. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor
pulmonal
b. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan
diafragmatik dan batuk.
c. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur,
atau IPPB
d. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari
dan malam hari sesuai yang diharuskan.
e. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok,
aerosol, suhu yang ekstrim, dan asap.
f. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada
dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna
sputum, kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak
didada, keletihan.
g. Beriakn antibiotik sesuai yang diharuskan.
h. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi
terhadapinfluenzae dan streptococcus pneumoniae.

b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus,


bronkokontriksi dan iritan jalan napas.
Tujuan: Perbaikan pola pernapasan klien
Intervensi:
a. Ajarkan klien latihan bernapas diafragmatik dan pernapasan bibir
dirapatkan.
b. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode
istirahat. Biarkan pasien membuat keputusan tentang perawatannya
berdasarkan tingkat toleransi pasien.
c. Berikan dorongan penggunaan latihan otot-otot pernapasan jika
diharuskan.

c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi


perfusi Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas
Intervensi keperawatan:
a. Deteksi bronkospasme saat auskultasi .
b. Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.
c. Beriakn obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat
dan waspada kemungkinan efek sampingnya.
d. Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu
mengencerkan sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.
e. Pantau pemberian oksigen.

d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara


suplai dengan kebutuhan oksigen.
Tujuan: Memperlihatkan kemajuan pada tingkat yang lebih tinggi dari
aktivitas yang mungkin.
Intervensi keperawatan:
a. Kaji respon individu terhadap aktivitas; nadi, tekanan darah,
pernapasan.
b. Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien
selama 3 menit kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.
c. Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan
menggunakan treadmill dan exercycle, berjalan atau latihan lainnya
yang sesuai, seperti berjalan perlahan.
d. Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana
latihan berdasarkan pada status fungsi dasar.
e. Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan
program latihan spesifik terhadap kemampuan pasien.
f. Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama
menjalankan aktivitas untuk berjaga-jaga.
g. Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah
baring lama mulai melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.
h. Tingkatkan toleransi terhadap aktivitas dengan mendorong klien
melakukan aktivitas lebih lambat, atau waktu yang lebih singkat,
dengan istirahat yang lebih banyak atau dengan banyak bantuan.
i. Secara bertahap tingkatkan toleransi latihan dengan meningkatkan
waktu diluar tempat tidur sampai 15 menit tiap hari sebanyak 3 kali
sehari.

e. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum
dan anoreksia, mual muntah.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Intervensi keperawatan:
a. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat
kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
b. Auskultasi bunyi usus
c. Berikan perawatan oral sering, buang sekret.
d. Dorong periode istirahat I jam sebelum dan sesudah makan.
e. Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama.
f. Hindari makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas.
g. Timbang berat badan tiap hari sesuai indikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi
8 volume 2. Jakarta, EGC.
Carpenito Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan.
Jakarta: EGC
Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification (NOC)
Second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
Mc Closkey, C.J., Iet all, 2002, Nursing Interventions Classification
(NIC) second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi
Price, Sylvia. 2003. Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer C Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah,
Brunner and Suddarth’s, Ed 8 Vol 1. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai