Anda di halaman 1dari 25

CLINICAL SCIENCE SESSION

INFANTICIDE & ABORSI

Oleh :

Lidya Ekawati 130112160698


Kevin Pratama 130112160

Preseptor:

Naomi Yosiati, dr., Sp.F.

DEPARTEMEN

ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RSUP HASAN SADIKIN BANDUNG

2017
INFANTICIDE

Infanticide adalah istilah umum yang digunakan untuk pembunuhan anak, sedangkan
filicide adalah istilah yang merujuk pada kasus dimana pembunuhan terhadap anak tersebut
adalah orangtuanya sendiri. (1) Yang dimaksud dengan pembunuhan anak sendiri menurut
undang-undang di Indonesia adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu atas anaknya
pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama setelah anaknya dilahirkan, karena takut ketahuan
bahwa ia melahirkan anak. (2) Di Inggris dan Wales, bab 1 Pada Undang-Undang mengenai
infanticide tahun 1938 menyatakan bahwa : “Dimana seorang wanita dengan tindakan atau
kelalaian yang disengaja menyebabkan kematian anaknya di bawah usia dua belas bulan,
namun pada saat itu keseimbangan pikirannya terganggu karena dia tidak pulih sepenuhnya
dari efek melahirkan anak atau karena pengaruh akibat menyusui akibat kelahiran anak, maka
dia akan bersalah atas embunuhan bayi, dan dapat ditangani dan dihukum seolah-olah dia telah
bersalah atas pelanggaran pembunuhan anak tersebut.” (3)

LANDASAN HUKUM
Dalam KUHP, pembunuhan anak sendiri tercantum di dalam bab kejahatan terhadap
nyawa orang. (4)

 Pasal 341 : Seorang Ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada
saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa
anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling
lama 7 tahun
 Pasal 342 : Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena
takut akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau
tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena melakukan
pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama 9
tahun
 Pasal 343 : Kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang bagi
orang lain yang turut serta melakukan sebagai pembunuhan atau pembunuhan
dengan rencana.

Dari undang-undang tersebut dapat dilihat adanya 3 faktor penting, yaitu:

1. Ibu.
Hanya ibu kandung yang dapat dihukum karena melakukan pembunuhan anak
sendiri. Tidak dipersoalkan apakah ia kawin atau tidak. Sedangkan bagi orang lain
yang melakukan atau turut membunuh anak tersebut dihukum karena pembunuhan
atau pembunuhan berencana, dengan hukuman yang lebih berat, yaitu penjara 15
tahun (pasal 338, tanpa rencana), atau 20 tahun, seumur hidup/hukuman mati (pasal
339 dan 340, dengan rencana) (2)
 Pasal 338: Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
 Pasal 339: Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu
perbuatan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau
mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun
peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk
memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun.
 Pasal 340: Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana,
dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun. (4)
2. Waktu
Dalam undang undang tidak disebutkan batasan waktu yang tepat, tetapi hanya
dinyatakan “pada saat dilahirkan atau tidak lama kemudian”. Sehingga boleh
dianggap pada saat belum timbul sara kasih saying seorang ibu terhadap anaknya.
Bila rasa kasih sayang sudah timbul maka ibu tersebut akan merawat dan bukan
membunuh anaknya.
3. Psikis
Ibu membunuh anaknya karena terdorong oleh rasa ketakutan akan diketahui oleh
orang telah melahirkan ank tersebut, biasanya anak yang dibunuh tersebut didapat
dari hubungan yang tidak sah. (2)

Apabila ditemukan mayat bayi di tempat yang tidak semestinya misalnya di tempat sampah,
got, sungai, dan sebagainya, maka bayi tersebut mungkin korban pembunuhan anak sendiri
(pasal 341, 342, pembunuhan (pasal 338, 339,340, 343), lahir mati kemudian dibuang (pasal
181), atau bayi yang ditelantarkan sampai mati (pasal 308). (2)

• Pasal 181: Barang siapa mengubur, menyembunyikan, membawa lari atau


menghilangkan mayat dengan maksud menyembunyikan kematian atau kelahirannya,
diancam dengan pidana penjara selama 9 bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.

• Pasal 308: Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran
anaknya, tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemukan atau
meninggalkannya dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, maka
maksimum pidana pasal 305 dan 306 dikurangi separuh (4)

Bunyi pasal 305 dan 306 adalah (4)

• Pasal 305:

Barang diapa menempatkan anak yang umumnya belum tujuh tahun untuk ditemukan
atau meninggalkan anak itu dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya,
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan.
• Pasal 306:

(1) Jika salah satu perbuatan berdasarkan pasal 304 dan 305 itu mengakibatkan luka-
luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun 6 bulan.

(2) Jika mengakibatkan kematian, pidana penjara paling lama 9 tahun.

 Pasal 308:
Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya, tidak
lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemukan atau
meninggalkannya dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, maka
maksimum pidana tersebut dalam pasal 305 dan 306 dikurangi separuh. (4)

TUJUAN PEMERIKSAAN
Untuk memenuhi kriteria pembunuhan anak sendiri, dengan sendirinya bayi atau anak
tersebut harus dilahirkan hidup setelah tubuhnya keluar dari tubuh ibu (separate existence).
Dokter akan diminta untuk memeriksa mayat bayi oleh penyidik. Tujuan dari pemeriksaan
mayat bayi adalah: (2)

1. Menentukan bayi lahir hidup atau mati;


2. Menentukan umur bayi, baik umur di dalam kandungan ataupun setelah lahir
(intrauterin dan ekstrauterin);
3. Menemukan tanda-tanda bayi sudah atau belum dirawat;
4. Menyimpulkan sebab kematian.

1. MENENTUKAN BAYI LAHIR MATI ATAU LAHIR HIDUP

Pada pemeriksaan mayat bayi baru lahir, harus dibedakan apakah ia lahir mati atau lahir
hidup. Bila bayi lahir mati maka kasus tersebut bukan merupakan kasus pembunuhan atau
penelantaran anak hingga menimbulkan kematian. Pada kasus seperti ini, Ibu hanya dapat
dikenakan tuntutan menyembunyikan kelahiran dan kematian orang.

 LAHIR MATI (still birth/ stillborn) (2), (5)


Kematian hasil konsepsi sebelum keluar atau dikeluarkan dari ibunya, tanpa
mempersoalkan usia kehamilan (baik sebelum ataupun setelah kehamilan berumur 28
minggu dalam kandungan). Kematian ditandai oleh : janin yang tidak bernapas atau tidak
menunjukkan tanda kehidupan lain, seperti denyut jantung, denyut nadi, tali pusat atau
gerakan otot rangka.
Menurut WHO, mendefinisikan kelahiran mati sebagai anak yang telah dikeluarkan dari
ibu setelah 29 minggu kehamilan. Sebelum kelahiran, anak cukup baik di rahim namun
meninggal saat proses persalinan. (6)
 Tanda – Tanda Maserasi (2) (5)
Maserasi (aseptic decomposition): proses pembusukan intrauterin, yang berlangsung
dari luar ke dalam (berlainan dengan proses pembusukkan yang berlangsung dari
dalam ke luar).
Tanda maserasi (terlihat setelah 8- 10 hari kematian intrautero):
‐ Pada kulit terlihat vesikel atau bula yang berisi cairan kemerahan. Bila vesikel
dan bula tersebut memecah akan terlihat kulit berwarna merah kecoklatan.
‐ Epidermis berwarna putih dan berkeriput, bau “tengik” (bukan bau busuk).
‐ Tubuh mengalami perlunakkan sehingga dada terlihat mendatar, sendi lengan
dan tungkai lunak, sehingga dapat dilakukan hiperekstensi, otot atau tendon
terlepas dari tulang.
‐ Organ- organ tampak basah tetapi tidak berbau busuk.

 Tanda-tanda mumifikasi (mummification)


Bisa dilihat saat janin mengering dari kekurangan suplai darah dan liquor amnii
sedikit, namun tanpa udara. Jika udara masuk karena pecahnya selaput, janin
mengalami pembusukan dan bukan maserasi. (5)

 Dada Belum Mengembang


Iga masih datar dan diafragma masih setinggi iga ke- 3 – 4. Sering sukar dinilai bil
amayat telah membusuk.
 Pemeriksaan Makroskopik Paru
Paru-paru berwarna kelabu ungu merata seperti hati, konsistensi padat, tidak teraba
derik udara dan pleura yang longgar (slack pleura). Berat paru kira-kira 1/70 x berat
badan.
 Uji Apung Paru
Teknik ini harus dilakukan dengan teknik tanpa sentuh (no touch technique), untuk
menghindari kemungkinan timbulnya artefak pada sediaan histopatologik jaringan paru
akibat manipulasi berlebihan. Semua organ leher dan dada dimasukkan ke dalam air
dan dilihat apakah mengapung atau tenggelam. Kemudian paru-paru kiri dan kanan
dilepaskan dan dimasukkan kembali ke dalam air, dan dilihat apakah mengapung atau
tenggelam. Setelah itu tiap lobus dipisahkan, 5 potong kecil dari bagian perifer tiap
lobus dimasukkan ke dalam air, dan diperhatikan apakah mengapung atau tenggelam.
Bila masih mengapung letakkan potongan paru di antara 2 karton dan kemudian ditekan
untuk mengeluarkan gas yang ada. Bila masih mengapung berarti paru tersebut berisi
udara residu yang tidak akan keluar.
 Mikroskopik Paru-Paru
Tanda khas untuk paru bayi belum bernapas adalah adanya tonjolan (projection),
yang berbentuk seperti bantal (cushion-like) yang kemudian akan bertambah tinggi
dengan dasar menipis sehingga tampak seperti gada (club-like). Pada permukaan ujung
bebas perojection tampak kapiler yang berisi banyak darah.
 LAHIR HIDUP (live birth) (2) (5)
Keluar atau dikeluarkannya hasil konsepsi yang lengkap, yang setelah pemisahan,
bernapas atau menunjukkan tanda kehidupan lain, tanpa mempersoalkan usia gestasi,
sudah atau belumnya tali pusat dipotong dan plasenta dilahirkan.
Pada pemeriksaan ditemukan:
1. Dada sudah mengembang
2. Diafragma sudah turun sampai sela iga 4-5, terutama pada bayi yang telah lama
hidup
3. Pemeriksaan makroskopik paru
Paru sudah mengisi rongga dada dan menutupi sebagian kandung jantung. Paru
berwarna merah muda, tidak merata dengan pleura yang tegang dan menunjukkan
gambaran mozaik karena alveoli sudah terisi udara. Berat paru bertambah dua kali
atau kira-kira 1/35 kali berat badan karena berfungsinya sirkulasi darah jantung-
paru.
4. Uji apung paru memberi hasil positif
5. Pemeriksaan mikroskopik paru menunjukkan alveoli paru yang mengembang
sempurna dengan atau tanpa emfisema obstruktif. Kadang dapat ditemukan edema
yang luas dalam jaringan paru, membrane duktus alveolaris yang tersebar dalam
jaringan paru, mungkin berasal dari lemak verniks, atau atelectasis paru akibat
obstruksi oleh membrane duktus alveolaris.
6. Adanya udara dalam saluran cerna dapat dilihat dengan foto rontgen. Udara dalam
duodenum yg lebih distal menunjukkan lahir hidup, dan telah hidup dalan 6-12 jam.
Bila dalam usus besar berarti telah hidup 12-24 jam.
2. MENENTUKAN UMUR BAYI
 Rumus De Haas (3)
Penentuan umur bayi intrauterine dengan menggunakan rumus De Haas
o Sampai minggu ke 20, panjang fetus dalam sentimeter adalah kuadrat dari usia bayi
dalam bulan.
o Setelah minggu ke-20, panjang dari fetus dalam sentimeter sama dengan 5 kali usia
dalam bulan.

Umur Panjang badan


(kepala-tumit) (cm)
1 bulan 1x1=1
2 bulan 2x2=4
3 bulan 3x3=9
4 bulan 4x4=16
5 bulan 5x5=25
6 bulan 6x5=30
7 bulan 7x5=35
8 bulan 8x5=40
9 bulan 9x5= 45

 Pusat Penulangan (Ossification Centers)


6 minggu: Os. Klavikula
8 minggu: Tulang panjang / Diiafisis
12 minggu: Os. Iskium
16 minggu: Os. Pubis
28 minggu: Os. Talus dan os. Kalkaneus
32 minggu: Os. Sternum
36 minggu: Distal os. Femur
Proksimal os. Tiibia
Os. Kuboid
Pusat penulangan pada: Umur (bulan)
Klavikula 1.5
Tulang panjang 2
Ishium 3
Pubis 4
Kalkaneus 5-6
Manubrium sterni 6
Talus Akhir 7
Sternum bawah Akhir 8
Distal femur Akhir 9 / setelah lahir
Proksimal tibia Akhir 9 / setelah lahir
Kuboid Akhir 9 / setelah lahir
Bayi wanita lebih cepat
Bayi yang dianggap viable adalah keadaan bayi yang dapat hidup diluar kandungan lepas dari
ibunya. Kriteria bayi viable adalah umur kehamilan lebih dari 28 minggu dengan panjang
badan (kepala-tumit) lebih dari 35cm, panjang badan (kepala-tungging) lebih dari 23 cm, berat
badan lebih dari 1000 gram, lingkar kepala lebih dari 32 cm dan tidak ada cacat bawaan yang
fatal.

Umur bayi ekstrauterin didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi setelah bayi
dilahirkan: (2)

• Udara dalam saluran cerna.

‐ Bila hanya terdapat dalam lambung atau duodenum berarti hidup beberapa saat
‐ Bila dalam usus halus berarti telah hidup 1-2 jam
‐ Bila dalam usus besar telah hidup 5-6 jam dan bila telah dalam rektum berarti
telah hidup 12 jam.

• Mekonium dalam kolon. Mekonium akan keluar semua kira-kira dalam waktu 24 jam
setelah lahir.

• Perubahan tali pusat.

Setelah bayi keluar akan terjadi proses pengeringan tali pusat baik dilahirkan hidup
maupun mati. Pada tempat lekat akan terbentuk lingkaran merah setelah bayi hidup
kira-kira 36 jam. Tali pusat akan mengering menjadi seperti benang dalam waktu 6-8
hari. Terjadi penyembuhan luka yang sempurna bila tidak terjadi infeksi dalam waktu
15 hari.

• Eritrosit berinti akan hilang dalam 24 jam pertama setelah lahir, namun kadangkala
masih dapat ditemukan dalam sinusoid hati.

• Ginjal. Pada hari ke 2-4 akan terdapat deposit asam urat yang berwarna jingga
berbentuk kipas, lebih banyak dalam piramid daripada medula ginjal. Hal ini akan
menghilang setelah hari ke 4 saat metabolisme telah terjadi.

• Perubahan sirkulasi darah.

‐ Setelah bayi lahir, akan terjadi obliterasi arteri dan vena umbilikalis dalam
waktu 3-4 hari.
‐ Duktus vonosus tertutup setelah 3-4 minggu
‐ Foramen ovale akan tertutup setelah 3 minggu- 1 bulan tetapi kadang-kadang
tidak menutup
‐ Duktus arteriosus tertutup setelah 3 minggu- 1 bulan.

3. MENEMUKAN TANDA-TANDA BAYI SUDAH ATAU BELUM DIRAWAT


Pada bayi yang telah dirawat dapat ditemukanhal-hal sebagai berikut:
a. Tali Pusat
Tali pusat dapat ditemukan dalam keadaan telah diikat, diputuskan dengan
gunting atau pisau sekitar 5 cm dari pusat bayi. Biasanya telah diberi antiseptik. Hal ini
dapat dibuktikan dengan memasukkan pusat ke dalam air, maka ujung-ujungnya terlihat
terpotong rata. Pada kasus partus presipitatus, tali pusat akan terputus dekat dengan
perlekatannya pada uri atau pusat bayi dengan ujung yang tidak rata. Keterangan lain
yang dapat mematahkan adanya partus presipitatus berupa terdapatnya kaput
suksedaneum, molase hebat, fraktur tulang tengkorak, dan ibu primipara.
b. Verniks Kaseosa (Lemak Bayi)
Pada bayi yang telah dirawat, verniks kaseosa tidak ada karena telah
dibersihkan. Pada bayi yang belum dirawat, seperti pada kasus bayi yang dibuang ke
dalam air, verniks masih dapat ditemukan pada lipatan kulit, antara lain pada ketiak,
belakang telinga, lipat paha, dan lipat leher.
c. Pakaian
Pakaian pada bayi menandakan bayi sudah pernah dirawat sebelumnya. (2)

4. MENYIMPULKAN SEBAB KEMATIAN (2)

Penyebab tersering dari pembunuhan terhadap anak sendiri adalah mati lemas
(asfiksia). Penyebab kematian pada bayi dapat pula diakibatkan dari proses persalinan
(trauma lahir), pembunuhan, alamiah karena penyakit, atau kecelakaan, seperti partus
presipitatus dan bayi terjatuh. Cara yang tersering dilakukan yang dapat menimbulkan
asfiksia ialah pembekapan, penyumbatan jalan napas, penjeratan, pencekikan, dan
penenggelaman. Bayi kadang-kadang dimasukkan ke dalam lemari atau koper.
Pembunuhan dengan cara kekerasan tumpul pada kepala jarang dijumpai. Biasanya
dilakukan dengan berulang-ulang pada daerah yang luas sehinnga menimbulkan patah atau
retak tulang tengkorak ataupun memar jaringan otak. Pembunuhan dengan senjata tajam,
dengan cara membakar, menyiramkan cairan panas, memberikan racun, dan memuntir
kepala sangat jarang ditemukan.
Penyebab kematian bisa jadi alami, tidak disengaja, atau Pembunuhan. (6)
1. Penyebab Alami:
Berikut ini adalah penyebab alami:
a. Ketidakmatangan (immaturity): Ini adalah salah satu alasan paling umum di mana anak
dilahirkan sebelum masa kehamilan mencukupi
b. Penyakit bawaan: Kematian bisa disebabkan oleh sifilis atau wabah.
c. Malformasi: Monster-child seperti acephalous atau anacephalus mungkin tidak bertahan
lebih lama
d. Perdarahan: Perdarahan terjadi karena plasenta previa atau yang lainnya, tali pusar atau
vagina bisa menyebabkan kematian janin atau ibu.
e. Ketidakcocokan Rh: Ini juga salah satu alasan kematian.

2. Penyebab yang Tidak Disengaja:


Kematian yang tidak disengaja pada anak dapat terjadi saat kelahiran atau setelahnya.
Selama kelahiran, kematian bisa terjadi karena:
a. Proses persalinan yang panjang
b. Prolaps tali pusat
c. Strangulasi karena simpul di sekitar leher dengan tali pusar
d. Pelvis yang tidak memadai: Ukuran pelvis mungkin lebih kecil, atau anak lebih besar.
e. Kematian ibu: Jika ibu meninggal secara tidak sengaja saat persalinan atau sebaliknya,
Anak di rahim akan mati jika tidak segera dibawa keluar. Anak mungkin meninggal setelah
lahir karena alasan berikut:
- Suffocation: Anak mungkin meninggal karena mati lemas jika saluran pernafasan tidak
jelas karena adanya darah, mekonium atau minuman keras amnii. Suction harus dimulai
segera untuk menyelamatkan anak. Seorang anak mungkin juga mati lemas, jika dia
dibungkus erat dengan pakaian.
- Precipitate’s labour: Dalam hal ini, seorang anak lahir tanpa pengetahuan ibu dan anak
dapat jatuh di tanah atau di WC dan mungkin akan mengalami luka-luka. Kerja semacam
itu mungkin dilakukan pada wanita multipara dengan panggul yang lapang, atau jika anak
kecil dan bisa keluar tanpa usaha

3. Penyebab Homicidal atau Pidana


Anak mungkin meninggal karena:
1. Tindakan Commission : Bila kekerasan mekanis yang disengaja digunakan untuk membunuh
anak tersebut atau anak itu diracuni
2. Tindakan Omission: Hal ini disebabkan oleh menelantarkan anak

Tindakan Commission:
a. Suffocation: Saat lahir, anak tersebut terbunuh dengan diberikan tekanan menggunakan
bantal atau memasukkan benda asing di saluran pernafasan. Anak itu mungkin juga mati
jika ibu menindih dengan sengaja anak itu. Anak tersebut dapat tercekik karena tekanan
pada dada.
b. Strangulasi: Ini juga merupakan metode umum untuk membunuh anak kecil. Sebuah
ligatur seperti Piyama, tape atau kabel apapun dapat digunakan. Terkadang tali pusar
digunakan untuk mencekik, untuk meniru kematian alami.
c. Tenggelam: Di beberapa komunitas anak, terutama anak perempuan, terbunuh dengan
menenggak wajah ke dalam susu sehingga susu disedot ke dalam saluran pernafasan yang
menyebabkan kematian. Kebiasaan ini disebut "Dudh Pita Karna." Terkadang, anak yang
masih hidup mungkin dilempar ke sungai atau kolam untuk membunuhnya, atau anak
mungkin sering dilempar ke air/sungai setelah dicekik atau mati lemas terlebih dahulu.
d. Kekerasan mekanis: Anak mungkin terbunuh dengan memukul kepalanya dengan benda
yang menyebabkan patah tulang atau cedera kepala. Fraktur / dislokasi leher bisa terjadi
dengan memutar kepala anak secara paksa.
e. Keracunan: Anak kecil dapat dengan mudah dibunuh dengan memberi racun seperti
opium.

Tindakan Omission:
Kegagalan untuk mengambil langkah-langkah pencegahan yang tepat selama kelahiran anak
adalah tindakan kelalaian. Berikut adalah beberapa contohnya:
a. Kelalaian untuk mendapatkan perawatan medis yang tepat. Diperkirakan bahwa wanita
yang akan melahirkan telah menghubungi seorang praktisi medis atau staf paramedis
sebelumnya untuk merawatnya dan bayinya saat melahirkan.
b. Kelalaian untuk mengikat tali pusat setelah tali pusat dipotong, jika tidak, perdarahan
dapat menyebabkan kematian anak tersebut.
c. Kelalaian untuk memindahkan anak dari pembuangan dari ibu dan kegagalan untuk
membuang kotoran yang ada di saluran pernafasan dengan cara isap.
d. Kelalaian untuk melindungi dari dingin atau panasnya lingkungan.
e. Kelalaian untuk menyediakan makanan dan perawatan yang tepat bagi anak yang baru
lahir.

Pada trauma lahir, jarang sekali ditemukan fraktur tulang tengkorak dan memar
jaringan otak. Pada tauma lahir hanya dijumpai kelainan yang terbatas. Tanda-tanda
kekerasan akibat terjadinya trauma pada saat kelahiran adalah sebagai beikut.
A. Kaput Suksedaneum
Kaput suksedaneum yaitu edema pada kulit kepala bagian dalam, biasanya
terdapat pada daerah presentasi terendah yang berwarna kemerahan. Secara
mikroskopik, terlihat jaringan yang mengalamiedema dengan pendarahan di sekitar
pembuluh darah. Kaput suksedaneum ini dapat memberikan kisaran lamanya
persalinan. Semakin hebat timbulnya tanda ini, maka semakin lama persalinan
berlangsung.
B. Sefalhematom
Sefalhematom adalah pendarahan yang terjadi di antara periosteumdan
permukaan luar tulang atap tengkorak dan tidak melampaui sutura tulang tengkorak
akibat molase yang hebat. Sefalhematom biasanya terdapat pada tulang parietal dan
skuama tulang oksipital. Secara makroskopik, terlihat pendarahan di bawah periosteum
yang terbatas pada satu tulang dan tidak melewati sutura.
C. Fraktur Tulang Tengkorak
Fraktur tulang tengkorak jarang terjadi pada trauma lahir, biasanya hanya
verupa cekungan tulang pada tulang ubun-ubun (celluloid ball fracture). Pada sedikit
kasus, dapat terjadi fraktur tengkorak dengan robekan otak diakibatkan penggunaan
forseps.
D. Pendarahan Intrakranial
Pendarahan intrakranial yang sering terjadi ialah pendarahan subdurah.
Penyebab pendarahan ini dapat diakibatkan oleh laserasi tentorium serebeli dan falks
serebri, robekan vena galenii di dekat pertemuannya dengan sinus rektus, robekan sinus
sagitalis superior dan sinus transversus, dan robekan bridging vena dekat dengan sinus
sagitalis superior. Pendarahan ini timbul pada molase kepala yang hebat atau kompresi
kepala yang cepat dan mendadak oleh jalan lahir yang belum melemas, contohnya pada
partus presipitatus.
E. Pendarahan Subaraknoid atau Interventrikuler
Pendarahan jenis ini jarang terjadi. Biasanya terjadi pada bayi prematur akibat
dari belum sempurnanya perkembangan jaringan-jaringan otak.
F. Pendarahan Epidural
Pendarahan ini sangat jarang terjadi karena duramater melekat erat pada tulang
tengkorak bayi.

PEMERIKSAAN MAYAT BAYI (2)


Prinsip pemeriksaan mayat pada bayi sama dengan pemeriksaan pada mayat orang
dewasa. Ada beberapa hal yang harus lebih diperhatikan, yaitu sebagai berikut.

1. Bayi cukup bulan, prematur, atau nonviable.


2. Pada kulit, pemeriksa melihat apakah sudah pernah dibersihkan, keadaan verniks kasoesa,
warna kulit, dan kekeriputan.
3. Pada kepala, pemeriksa memeriksa tanda-tanda pembekapan di sekitar mulut dan hidung,
memar pada mukosa bibir dan pipi, tanda pencekikan atau jerat pada leher, dan memar atau
lecet pada tengkuk. Pada leher diperiksa keberadaan benda asing dalam jalan napas. Pada
mulut, pemeriksa memeriksa keberadaan benda asing yang menyumbat dan robekan pada
palatum mole.
Pada pemeriksaan dalam kepala bayi baru lahir, kulit kepala disayat dan dilepaskan seperti
apda orang dewasa. Tulang tengkorak dibuka dengan gunting, dengan cara menusuk
fontanel mayor 0,5–1 cm dari garis tengah dan dilakukan pengguntingan pada tulang dahi
dan ubun-ubun ke depan dan ke belakang pada sisi kiri dan kanan. Ke depan sampai sekitar
1 cm di atas lengkung atas rongga mata (margo superior orbita) dan ke belakang sampai
perbatasan dengan tulang belakang kepala. Pengguntingan dilanjutkan ke arah lateral
sampai 1 cm di atas basis mastoid dengan menyisakan tulang pelipis di atas telinga sekitar
2 cm.
Kedua keping tulang atap tengkorak dipatahkan ke arah lateral. Duramater biasanya
tergunting. Perhatikan keberadaan pendarahan subdural atau subaraknoid. Perhatikan
keadaan falks serebri dan tentorium serebeli, khususnya pada daerah perbatasan antara
sinus rektus dan sinus transversus, keberadaan sobekan. Tujuan pembongkaran tengkorak
seperti ini ialah agar falks serebri dan tentorium tetap dalam keadaan utuh sehingga tiap
kelainan dapat ditentukan dengan jelas. Pengeluaran otak selanjutnya dilakukan seperti
pada orang dewasa.
4. Pada tali pusat, pemeriksa memeriksa tali pusat sudah terputus atau masih melekat pada ,
tali pusat terpotong rata, sudah terikat, sudah diberi antiseptik, atau tidak, serta tanda-tanda
kekerasan, hematom, atau Wharton’s Jelly pada tali pusat.
5. Pada rongga dada, pengeluaran organ rongga mulut, leher, dan dada harus dilakukan
dengan teknik tanpa sentuhan. Paru-paru diperiksa secara makroskopik, selanjutnya salah
satu paru-paru.difiksasi dalam larutan formalin 10% untuk pemeriksaan histopatologik.
Paru-paru yang lainnya dilakukan uji apung. Tanda-tanda asfiksia berupa Tardieu’s spots
pada permukaan paru-paru, jantung, timus, dan epiglotis.
6. Pada tulang belakang, diperiksa adanya kelainan kongenital dan tanda kekerasan.
7. Pemeriksa harus memeriksa pusat penulangan pada tulang femur, tibia, kalkaneus, talus,
ataupun kuboid.

Pengguguraan Kandungan (Aborsi)


Menurut hukum, pengguguran kandungan atau aborsi ialah tindakan menghentikan
kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran, tanpa melihat usia kandungannya.
Juga tidak dipersoalkan, apakah dengan pengguguran kehamilan tersebut lahir bayi hidup atau
mati. Yang dianggap penting adalah bahwa sewaktu pengguguran kehamilan dilakukan,
kandungan tersebut masih hidup.
Pengertian pengguguran kandungan menurut hukum tentu saja berbeda dengan
pengertian abortus menurut kedokteran, yaitu adanya faktor kesengajaan dan tidak adanya
faktor usia kehamilan. (7)
Klasifikasi abortus menurut proses terjadinya:

 Abortus yang terjadi secara spontan atau natural


Bisa disebabkan karena adanya kelalaian dari mudigah atau fetus maupun adanya
penyakit pada si ibu. Diperkirakan 10-20% dari kehamilan akan berakhir dengan
abortus spontan, dan secara yuridis tidak membawa komplikasi apa-apa. (8) (9)

 Abortus yang terjadi akibat kecelakaan


Seorang ibu yang sedang hamil bila mengalami rudapaksa, khususnya di daerah perut,
misalnya karena terjatuh, terpukul, atau tertimpa sesuatu di perutnya, demikian pula
bila ia menderita syok, akan mengalami abortus; yang biasanya disertai dengan
perdarahan yang hebat. Abortus yang demikian kadang-kadang mempunyai implikasi
yuridis, perlu penyidikan akan kejadiannya. (8) (9)

 Abortus provokatus medisinalis/terapeutikus

Abortus ini dilakukan semata-mata atas dasar pertimbangan medis yang tepat, tidak ada
cara lain untuk menyelamatkan nyawa si ibu kecuali jika kandungannya digugurkan.
Abortus ini kadang-kadang membawa implikasi yuridis, perlu penyidikan dengan
tuntas, khususnya bila ada kecurigaan. (8)
 Abortus provokatus kriminalis

Jelas tindakan pengguguran kandungan di sini semata-mata untuk tujuan yang tidak
baik dan melawan hukum. Tindakan abortus yang tidak bisa dipertanggungjawbkan
secara medis, dan dilakukan hanya untuk kepentingan juga dari si ibu yang malu akan
kehamilannya. Kejahatan jenis ini sulit melacaknya oleh karena kedua belah pihak
menginginkan agar abortus dapat terlaksana. (8)

Dari ke empat macam tipe abortus, maka yang saling mendatangkan bahaya maut bagi
si-ibu dan yang merupakan kasus yang paling banyak dihadapi oleh penyidik adalah abortus
kriminalis, walaupun perlu tetap harus diingat bahwa menurut per-Undang-Undangan yang
berlaku (K.H.U.P), tidak diberi batasan atau perbedaan yang jelas antara abortus kriminalis
dengan abortus lainnya.

Dasar Hukum

(4) (7) (8)


KUHP
Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh
orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita
tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara
paling lama lima belas tahun.
Pasal 348
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita
dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal
346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan
sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 299
(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati,
dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat
digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling
banyak empat puluh lima ribu rupiah.
(2) Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau menjadikan perbuatan
tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia seorang tabib, bidan atau juruobat,
pidananya dapat ditambah sepertiga.
(3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, dapat
dicabut haknya untuk menjalakukan pencarian itu.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG


KESEHATAN
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam
nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetic berat dan/atau cacat bawaan,
maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar
kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan
yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir,
kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat
yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung
jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014


TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI

Pasal 31
(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis; atau
b. kehamilan akibat perkosaan.
(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat
dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari
pertama haid terakhir.

Pasal 32
(1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a meliputi:
a. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau
b. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.
(2) Penanganan indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan standar.

Pasal 33
(1) Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
dilakukan oleh tim kelayakan aborsi.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang tenaga
kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
(3) Dalam menentukan indikasi kedaruratan medis, tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar.
(4) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) membuat surat keterangan kelayakan aborsi.

Pasal 35
(1) Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus
dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
(2) Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggungjawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar;
b. dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri;
c. atas permintaan atau persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
e. tidak diskriminatif; dan
f. tidak mengutamakan imbalan materi.
(3) Dalam hal perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c tidak dapat
memberikan persetujuan, persetujuan aborsi dapat diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.
(4) Dalam hal suami tidak dapat dihubungi, izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
diberikan oleh keluarga yang bersangkutan.

Pasal 36
(1) Dokter yang melakukan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan
akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf a harus mendapatkan
pelatihan oleh penyelenggara pelatihan yang terakreditasi.
(2) Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan anggota tim kelayakan
aborsi atau dokter yang memberikan surat keterangan usia kehamilan akibat perkosaan.
(3) Dalam hal di daerah tertentu jumlah dokter tidak mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berasal dari anggota tim kelayakan aborsi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Pasal 37
(1) Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan
hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling.
(2) Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konseling pra tindakan dan
diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor.
(3) Konseling pra tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan:
a. menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi;
b. menyampaikan dan menjelaskan kepada perempuan yang ingin melakukan aborsi bahwa
tindakan aborsi dapat atau tidak dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan penunjang;
c. menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan kemungkinan efek samping
atau komplikasinya;
d. membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil keputusan sendiri
untuk melakukan aborsi atau membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi setelah
mendapatkan informasi mengenai aborsi; dan
e. menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi.
(4) Konseling pasca tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tujuan:
a. mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi;
b. membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani aborsi;
c. menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling lanjutan atau
tindakan rujukan bila diperlukan; dan
d. menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan.

Pasal 38
(1) Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan untuk melakukan aborsi
setelah mendapatkan informasi mengenai aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(3) huruf d atau tidak memenuhi ketentuan untuk dilakukan tindakan aborsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), korban perkosaan dapat diberikan pendampingan oleh
konselor selama masa kehamilan.
(2) Anak yang dilahirkan dari ibu korban perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diasuh oleh keluarga.
(3) Dalam hal keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menolak untuk mengasuh anak
yang dilahirkan dari korban perkosaan, anak menjadi anak asuh yang pelaksanaannya
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 39
(1) Setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan kabupaten/kota
dengan tembusan kepala dinas kesehatan provinsi.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan.

Di negara-negara lain (7)


Negara-negara di Eropa Barat umumnya mengancam perbuatan pengguguran dengan
hukuman, kecuali bila atas indikasi medis (bahaya maut atau bahaya kesehatan yang parah bagi
si ibu, yang bila dilanjutkan akan membahayakan diri si ibu, atau bahaya kelainan kongenital
yang hebat).
Amerika melarang pengguguran kandungan yang illegal, yaitu selain yang dilakukan
dokter di Rumah sakit dengan prosedur tertentu. Sedangkan Jepang membolehkan abortus
tanpa pembatasan tertentu. Bahkan di negara-negara Eropa timur, abortus diperbolehkan bila
dilakukan oleh dokter di Rumah Sakit, tanpa keharusan membayar biayanya.
Di Jerman Barat, pengguguran kandungan usia 14 hari hingga 3 bulan, dengan izin
wanita tersebut, atas anjuran dokter dan dilakukan oleh dokter, tidak diancam hukuman.
Dikenal dua macam indikasi abortus terapeutikus, yaitu indikasi ibu (kepentingan
medik wanita hamil) dan indikasi anak (kepentingan medik janin), namun kedua macam
indikasi tersebut belum menerangkan secara tuntas tentang batasan derajat resiko ibu atau anak
yang dapat digolongkan ke dalam cakupan indikasi.
Bahkan kemudian muncul pula indikasi etis yaitu pada kehamilan akibat suatu tindakan
perkosaan dan tindakan yang sejenis. Penggunaan indikasi social sama sekali tidak dibenarkan.
Kasus abortus di Indonesia jarang diajukan ke pengadilan, karena pihak si ibu yang
merupakan korban juga sebagai ‘pelaku’ sehingga sukar diharapkan adanya laporan abortus.
Umumnya kasus abortus diajukan ke pengadilan hanya bila terjadi komplikasi (si ibu
sakit berat/mati) atau bila ada pengaduan dari si ibu atau suaminya (dalam hal izin).

Tindakan Abortus Provokatus (7) (8)


 Kekerasan mekanik lokal
Kekerasan mekanik lokal dapat dilakukan dari luar maupun dari dalam.
Kekerasan dari luar dapat dilakukan sendiri oleh si ibu atau oleh orang lain, seperti
melakukan gerakan fisik berlebihan, jatuh, pemijatan/pengurutan perut bagian bawah,
kekerasan langsung pada perut atau uterus, pengaliran listrik pada serviks dan
sebagainya

 Kekerasan dari dalam


Kekerasan dari dalam dapat dilakukan dengan memanipulasi vagina atau uterus.
Manipulasi vagina dan serviks utreri, misalnya dengan penyemprotan air sabun atau air
panas pada porsio; aplikasi asam arsenic, kalium permanganate pekat, atau jodium
tinktur; pemasangan laminaria shift atau kateter ke dalam seviks; atau manipulasi
serviks dengan jari tangan. Manipulasi uterus, dengan melakukan pemecahan selaput
amnion atau dengan penyuntikan ke dalam uterus
Pemecahan selaput amnion dapat dilakukan dengan memasukkan alat apa saja
yang cukup panjang dan kecil melalui serviks. Penyuntikan atau penyemprotan cairan
biasanya dilakukan dengan menggunakan Higginson type syringe, sedangkan
cairannya adalah air sabun, desinfektan atau air biasa/air panas. Penyemprotan ini dapat
mengakibatkan emboli udara.

 Obat/zat tertentu
Racun umum biasanya digunakan dengan harapan agar janin mati, tetapi si ibu
cukup kuat untuk bisa selamat.
Pernah dilaporkan penggunaan bahan tumbuhan yang mengandung minyak eter
tertentu yang merangsang saluran cerna hingga terjadi kolik abdomen, jamu perangsang
kontraksi uterus dan hormone wanita yang merangsang kontraksi uterus melalui
hiperemi mukosa uterus.
Hasil yang dicapai bergantung pada jumlah (takaran), sensitivitas individu dan
keaadan kandungannya (usia gestasi).
Bahan-bahan tadi ada yang biasa terdapat dalam jamu peluntur, nenas muda,
bubuk beras dicampur lada hitam, dan lain-lain. Ada juga yang agak beracun seperti
garam logam berat, laksans dan lain-lain; atau bahan yang beracun seperti strichnin,
prostigmin, pilokarpin, dikumarol, kina dan lain-lain.
Kombinasi kina atau menolisin dengan ekstrak hipofisis (oksitosin) ternyata
sangat efektif. Akhir-akhir ini dikenal juga sitostatika (aminopterin) sebagai abortivum.

Komplikasi ke ibu (7)


 Perdarahan
Perdarahan akibat luka pada jalan lahir, atonia uteri, sisa jaringan tertinggal,
diatesa hemoragik dan lain-lain. Perdarahan dapat timbul segera pasca tindakan, dapat
pula timbul lama setelah tindakan.

 Syok
Syok (renjatan) akibat reflex vasovagal atau nerogenik. Komplikasi ini dapat
mengakibatkan kematian yang mendadak. Diagnosis ini ditegakkan bila setelah seluruh
pemeriksaan dilakukan tanpa membawa hasil.
 Emboli udara
Emboli udara dapat terjadi pada teknik penyemprotan cairan ke dalam uterus.
Hal ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain cairan, gelembung udara juga
masuk ke dalam uterus, sedangkan di saat yang sama system vena di endometrium
dalam keaadan terbuka.
 Inhibisi vagus
Inhibisi vagus hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan tanpa
anestesi pada ibu dalam keaadan stress, gelisah dan panik. Hal ini dapat terjadi akibat
alat yang digunakan atau suntikan secara mendadak dengan cairan yang terlalu panas
atau terlalu dingin.
 Keracunan obat/zat
Keracunan obat/zat abortivum, termasuk karena anestesia. Antiseptik local
seperti KMnO4 pekat, AgNO3, K-klorat, Jodium dan sublimat dan mengakibatkan
cedera yang hebat atau kematian. Demikian pula obat-obatan seperti kina atau logam
berat.
Pemeriksaan adanya Met-Hb, pemeriksaan histologic dan toksikolgik sangat
diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
 Infeksi dan sepsis
Komplikasi ini tidak segera timbul pasca tindakan tetapi memerlukan waktu.
 Lain-lain
Termasuk seperti tersengat arus listrik saat melakukan abortus dengan
menggunakan pengaliran listrik lokal.
Penyidikan kasus kematian yang ada hubungannya dengan tindakan abortus dilakukan
pada: (9)

 Kematian mendadak/yang tak diduga pada seorang perempuan sehat dalam masa subur
(childbearing period).
 Adanya pendarahan yang keluar dari vagina.
 Kematian pada seorang wanita di tempat yang tidak seharusnya, misalnya di hotel.
 Adanya barang bukti yang biasa dipakai untuk melakukan abortus di sekitar korban.
 Pemeriksaan dan introgasi ditujukan kepada:
o Suami korban atau keluarganya atau kekasih korban.
o Orang yang diduga melakukan tindakan abortus pada korban.
o Korban, bila masih hidup.
Bukti-bukti yang dibutuhkan Penyidik di dalam kasus abortus adalah: (9)

 Adanya kehamilan.
 Umur kehamilan khususnya, bila pengertian abortus yang dipakai menurut pengertian
medis.
 Adanya barang-barang bukti yang dipakai dalam melakukan abortus dan kaitannya
dengan metode yang dipakai.
 Adanya hubungan antara saat dilakukannya abortus dengan saat kematian korban.
 Alasan atau motif untuk melakukan abortus itu sendiri.
Pemeriksaan Abortus (7) (8)
Pemeriksaan korban hidup

 Perhatikan tanda-tanda kehamilan misalnya perubahan pada payudara, pigmentasi,


hormonal, mikroskopik dan sebagainya.
 Perlu pula dibukti adanya usaha penghentian kehamilan, misalnya tanda kekerasan pada
genitalia interna/ eksterna, daerah perut bagian bawah. 1
 Pemeriksaan toksikologi untuk mengetahui adanya obat/zat yang dapat mengakibatkan
abortus.
 Perlu juga dilakukan pemeriksaan terhadap hasil usaha penghentian kehamilan, misalnya
yang berupa IUFD dan pemeriksaan mikroskopik terhadap sisa-sisa jaringan.

Pemeriksaan mayat

 Pemeriksaan luar dilakukan seperti biasa.


 Pada pembedahan jenazah:
 Bila didapatkan cairan dalam rongga perut, atau kecurigaan lain, lakukan pemeriksaan
toksikologik
 Uterus diperiksa apakah ada pembesaran, krepitasi, luka atau perforasi; Apakah ada
robekan atau perforasi jalan lahir.
 Lakukan pula tes emboli udara pada vena kava inferior dan jantung.
 Ambil darah dari jantung (segera setelah tes emboli) untuk pemeriksaan toksikologik.
 Ambil urin untuk tes kehamilan/ tes toksikologik
 Pemeriksaan organ-organ lain dilakukan seperti biasa.
 Pemeriksaan mikroskopik meliputi adanya sel trofoblas yang merupakan tanda
kehamilan, kerusakan jaringan yang merupakan jejas/tanda usaha penghentian jaringan.
Ditemukannya sel radang PMN menunjukkan tanda intravitalis.
References
1. Neonaticide, Infanticide, and Filicide : A Review of The Literature. Steven E. Pitt, DO and Erin M.
Bale, BA. 1995, Bull Am Acad Psychiatry Law, pp. 1-12.

2. Indonesia, Universitas. Pembunuhan Anak Sendiri. Bagian Kedokteran Forensik. Ilmu Kedokteran
Forensik. 1997.

3. Jason Payne-James, Richard Jones, Steven B Karch, John Manlove. Deaths and injury in infancy.
Simpson's Forensic Medicine. 2011.

4. Indonesia, Pemerintah. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

5. Mosby, Saunders, Churchill Livingstone, Butterworth-Heinemann and Hanley & Belfus.


Infanticide and Foeticide. Textbook of Forensic Medicine and Toxicology. s.l. : Elsevier, 2011.

6. Sharma, R.K. Infanticide. Concise Textbook of Forensic Medicine and Toxicology. s.l. : Global
Educations Consultation, 2011.

7. Arif Budiyanto dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. 1th ed: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 1997.

8. Idries, Abdul Muin. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. 1997.

9. Mun'im Idries A, Tjiptomartono AL. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Penyidikan. s.l. :
Sagung Seto, 2008.

Anda mungkin juga menyukai