Anda di halaman 1dari 7

Mengamati Perilaku Tumbukan Foton dan Elektron

Pada Efek Compton dengan Simulasi Interaktif Melalui


Tahapan Inkuiri
Ratnasari B1), Hasmawati2, Andi Nur Asma Azis3), Ulpiana4)

Bunga Dara Amin1),Ahmad Swandi2)


1)
ratnasari.bahar1998@gmail.com

Abstrak
Studi ini bertujuan untuk mengamati perilaku foton dan elektron ketika terjadi tumbukan pada efek Compton
serta menganalisis hubungan antara panjang gelombang foton sebelum dan setelah tumbukan secara virtual.
Studi ini termasuk eksperimen melalui tahapan inkuiri (penyelidikan) berbantuan simulasi yang
dikembangkan dan diadaptasi dari www.kcvs.ca. hasil penyelidikan dianalisis secara kualitatif dan
kuantitatif untuk menjawab rumusan pertanyaan berkaitan dengan objek yang diamati. Melalui hasil
penyelidikan dapat disimpulkan bahwa: 1) foton dapat bertumbukan dengan elektron, akibat tumbukan ini
foton dan elektron terhambur dengan sudut tertentu. 2) panjang gelombang hamburan foton tidak
dipengaruhi oleh sudut hamburan elektron dan 3) ketika tumbukan foton melepas dan diterima oleh elektron
untuk bergerak sehingga panjang gelombang foton sesaat sebelum tumbukan lebih kecil dibanding sesaat
setelah tumbukan.
Kata-Kata Kunci: Efek Compton, Elektron, Foton, Panjang Gelombang, Pembelajaran Inkuiri

PENDAHULUAN

Fisika adalah ilmu alam yang didasarkan pada eksperimen, pengukuran, dan analisis matematis dengan tujuan
menemukan hukum-hukum fisika secara kuantitatif dan kualitatif untuk segala sesuatu mulai dari dunia nano,
mikrokosmos hingga planet-planet, tata surya, dan galaksi yang menempati makrokosmos [1]. Sebagai ilmu
sains yang dipelajari secara ilmiah, terdapat dua jenis konsep ilmiah dalam fisika, yaitu konsep faktual dan
konsep teoritis. Konsep faktual adalah konsep yang ada di lingkungan sekitarnya dan mudah untuk diamati.
Beberapa contoh konsep faktual seperti keadaan materi baik padat, cair, dan gas. Konsep teoritis berasal dari
imajinasi para ilmuwan, yang hanya dapat dijelaskan secara teoritis, sehingga disebut konsep teoritis atau dalam
makalah ini disebut konsep abstrak. Beberapa contoh konsep abstrak adalah atom, elektron, arus listrik, dan
sejenisnya. Tidak ada contoh nyata yang ditemukan di lingkungan, dan juga tidak dapat diungkapkan dari
persepsi suatu objek, peristiwa, atau situasi. Berarti. Untuk menjelaskan konsep faktual mungkin tidak sulit bagi
siapapun, karena ada banyak contoh di lingkungan, tetapi untuk menjelaskan konsep abstrak (teoritis) cukup
sulit, karena tidak ada contoh nyata dalam lingkungan sekitar. Memahami konsep fisika abstrak membutuhkan
proses berpikir tingkat tinggi melalui penggunaan teknologi.
Saat ini, sains dan teknologi mengalami kemajuan yang sangat pesat, pembelajaran sains, yang memiliki
kerangka kerja konseptual yang luas telah diajarkan menggunakan berbagai metode, teknik, dan model yang
berbeda. Salah satu yang paling efektif adalah metode eksperimen yang memberikan pembelajaran permanen
dan juga memberikan kesempatan bagi pelajar untuk bekerja secara individu atau dalam kelompok. Dengan
penggunaan laboratorium yang efektif, pengetahuan teoritis diubah menjadi pengetahuan praktis, pengalaman
yang diperlukan diperoleh, keterampilan manipulatif ditingkatkan untuk bekerja bersama, berbagi informasi dan
ide, mengajukan pertanyaan pencarian, menentukan masalah dan mencari solusi dengan rekan kerja. beroperasi
dengan orang-orang di sekitar mereka [2]. Untuk alasan ini, kita dapat mengklaim bahwa perlunya pembelajaran
sains yang efektif untuk menggunakan aplikasi laboratorium [3].
Namun berbagai kendala, penggunaan laboratorium di berbagai institusi toidak bisa dilakukan. Hal itu antara
lain kurangnya ketersediaan [4,5], pandangan negatif dan sikap sebagian orangterhadap aplikasi laboratorium
[6,7], kurangnya bahan ajar yang efektif dan memadai [8], tidak cukup memperhatikan keamanan dalam kondisi
laboratorium [9], ruang laboratorium yang penuh sesak [10], kurangnya sarana atau peralatan laboratorium yang
dimiliki institusi [11], resiko dalam melakukan praktikum pada beberapa materi dan kurangnya petunjuk atau
instruksi dalam menggunakan laboratorium [12,13].
Untuk mengatasi masalah-masalah yang menyebabkan tidak adanya kegiatan pengamatan dilaboratorium
metode pengamatan alternatif yang sesuai telah dikembangkan. Sebagai contoh, penggunaan simulasi komputer
yang menarik perhatian perlu diaplikasikan dengan model penyelidikan seperti inkuiri. Selain itu, dengan
bantuan simulasi yang mudah digunakan, pelajar dapat mengamati peristiwa alam yang tidak dapat dilihat
secara langsung karena mereka mungkin terlalu besar atau terlalu kecil, terlalu lambat atau terlalu kompleks
[14,15]. Selain itu, eksperimen yang sulit dikendalikan, terlalu mahal dan berbahaya serta terlalu sulit atau tidak
mungkin untuk dihilangkan di lingkungan laboratorium, dapat dilakukan melalui simulasi dalam lingkungan
virtual [14,16]. Dengan komputer atau perlatan lainnya dapat menghasilkan lingkungan virtual di mana
beberapa aplikasi simulasi yang sesuai dengan lingkungan nyata dapat direalisasikan; data yang sulit diperoleh
dalam kondisi laboratorium dapat lebih mudah dicapai, data eksperimen dapat diproses dengan cepat dan andal,
banyak data dapat dikumpulkan dalam waktu singkat dan eksperimen dapat diulang sebanyak yang diperlukan
[14,16,17] .
Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk mengamati perilaku foton dan elektron pada percobaan Efek
Compton serta menganalisis hubungan beberapa besaran berkaitan dengan fenomena tersebut.

KAJIAN PUSTAKA

Efek Compton

Jika seberkas sinar-X ditembakkan ke sebuah elektron bebas yang diam, sinar-X akan mengalami
perubahan panjang gelombang dimana panjang gelombang sinar-X menjadi lebih besar. Sinar-X digambarkan
sebagai foton yang bertumbukan dengan elektron.

Gambar 1 Efek Compton.


Elektron bebas yang diam menyerap sebagian energi foton sehingga bergerak ke arah membentuk sudut
terhadap arah foton mula-mula. Foton yang menumbuk elektron terhambur dengan sudut θ terhadap arah semula
dan panjang gelombangnya menjadi lebih besar. Perubahan panjang gelombang foton setelah terhambur
dinyatakan sebagai berikut:

𝜆𝑓 − 𝜆𝑖 = 𝛥𝜆 = (1 − cos 𝜃) (1)
𝑚𝑜 𝑐
m adalah massa diam elektron, c adalah kecepatan cahaya, dan h adalah konstanta Planck.
Karna objek pengamatan adalah elektron dan proton yang keduanya tidak bisa dilihat, maka untuk mempelajari
perilaku kedua objek dapat menggunakan simulasi komputer.
Simulasi Fisika

Definisi simulasi yang digunakan dalam pendidikan sains telah berevolusi sepanjang sejarah dan di sisi lain
tetap sama. Lunetta dan Hofstein [18] hanya menyatakan bahwa "simulasi adalah proses berinteraksi dengan
model yang mewakili realitas". de Jong dan van Joolingen [19] adalah yang pertama menyatakan secara
eksplisit bahwa simulasi berjalan di komputer ketika mereka mendefinisikan simulasi komputer sebagai
"program yang berisi model sistem (alami atau buatan; misalnya, peralatan) atau proses". Sementara akhirnya de
Jong dan Lazonder [20] menggunakan definisi "program komputer yang meniru perilaku sistem nyata di mana
siswa dapat bereksperimen dengan mengubah nilai variabel input dan mengamati efek pada satu atau lebih
variabel output".
Pada prinsipnya, pembelajaran Inkuiri efek Compton yang dirancang ini merupakan gambaran peristiwa
tumbukan antara foton yang berasal dari x-ray tube dengan elektron bebas pada permukaan logam emas.
Adapun skema percobaan efek Compton sebagai berikut:

Gambar 2. Skema percobaan yang dirancang secara virtual [21]


Foton terpancar dari x-ray tube kemudian bertumbukan dengan elektron bebas pada permukaan logam emas.
Akibat tumbukan tersebut, elektron akan terpental dengan berbagai perubahan sudut begitupun dengan foton
akan mengalami perubahan besaran. Perubahan besaran setelah tumbukan tersebut teramati dari detektor yang
melingkupi rangkaian efek Compton. Berbagai fasilitas dapat digunakan dalam percobaan vitual ini, seperti
keadaan foton dan elektron sebelum dan setelah tumbukan, perubahan sudut datang dan panjang gelombang
foton untuk mengetahui hubungan antara panjang gelombang foton yang datang dengan sudut elektron setelah
tumbukan dam hubungan antara panjang gelombang foton yang datang dengan panjang gelombang foton setelah
tumbukan.

Pembelajaran Inkuiri (Penyelidikan)

Sederhananya, pembelajaran berbasis penyelidikan adalah strategi pendidikan di mana pelajar mengikuti
prosedur dan praktik yang serupa dengan para ilmuwan. Pelajar diharapkan untuk secara aktif berpartisipasi
dalam membangun pengetahuan dengan melakukan eksperimen yang didasarkan pada pertanyaan penelitian
atau hipotesis [19,22]. Karena seluruh proses ilmiah sangat kompleks dari sudut pandang pedagogis, seringkali
dibagi menjadi fase-fase yang lebih kecil dengan karakteristiknya masing-masing. Model siklus belajar 5E yang
sering digunakan [23] mendaftar lima fase: Engagement, Exploration, Explanation, Elaboration and Evaluation.
Untuk mensintesis kerangka kerja yang ada untuk pembelajaran berbasis inkuiri, Pedaste et al. melakukan
tinjauan pustaka pada 60 artikel yang berhubungan dengan pembelajaran berbasis inkuiri. Kerangka kerja
mereka untuk pembelajaran berbasis inkuiri terdiri dari lima fase dan tercantum dalam Tabel 1.
Tabel 1. Fase pembelajaran inkuiri
Fase Definisi
Orientasi Merangsang rasa ingin tahu tentang suatu topik dan
menemukan masalahpernyataan

Konseptualisasi Menyatakan pertanyaan berdasarkan teori dan hipotesis

Penyelidikan Merencanakan eksperimen dan mengumpulkan dan


menganalisis data dari percobaan

Kesimpulan Menarik kesimpulan dari data dan membandingkannya


dengan pertanyaan penelitian atau hipotesis

Diskusi Menyajikan temuan dengan berkomunikasi dengan orang


lain dan atau mencerminkan di seluruh proses atau fase-
fasenya

Tujuan pembelajaran untuk pembelajaran berbasis inkuiri dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori [24]
yaitu (1) belajar untuk melakukan penyelidikan (misalnya, belajar bagaimana merancang dan merencanakan
eksperimen); (2) belajar tentang inkuiri (misalnya, bagaimana pengetahuan ilmiah dibangun); (3) belajar melalui
penyelidikan (misalnya, pengetahuan konseptual)
Kritik terhadap pembelajaran berbasis inkuiri berpendapat bahwa meminta pelajar untuk menemukan atau
membangun pengetahuan ilmiah tidak efektif karena beban kognitifnya yang tinggi [25]. Kritik ini ditujukan
untuk pembelajaran berbasis penyelidikan terarah di mana peran guru minimal, dan siswa tidak didukung dalam
kegiatan belajar mereka. Karena siswa sering memiliki masalah dengan kegiatan yang terkait dengan
pembelajaran berbasis inkuiri (seperti menghasilkan hipotesis, merancang eksperimen atau menafsirkan data),
peserta didik perlu didukung dalam kegiatan ini. Inindukungan sering disebut scaffolding [26] atau panduan
[20,27,28,29] . Dengan pelajar yang lebih muda dengan pengalaman yang lebih sedikit pada kegiatan ini,
kebutuhan dukungan dapat lebih besar daripada dengan pembelajar yang lebih berpengalaman.

METODE PENELITIAN

Studi ini termasuk penelitian eksperimen dengan metode inkuiri (penyelidikan) menggunakan simulasi
komputer yang dikembangkan dan diadaptasi dari www.kcvs.ca. objek pengamatan adalah foton dan elektron
sesaat sebelum dan setelah tumbukan. Hipotesis yang digunakan merupakan jawaban dari beberpat pertanyaa.
Adapaun hipotesis daalm studi ini adalah: campuran yaitu Teori Dasar untuk menjawab pertanyaan berkaitan
dengan kesesuaian penggunaan simulasi interaktif melalui model inkuiri terbimbing dari berbagai referensi.
Metode kedua yaitu survey untuk mengkaji fenomena penggunaan teknologi dikalangan peserta didik dengan
cara peserta didik diminta mengisi angket tentang penggunaan teknologi (1) Foton akan menumbuk elektron
bebas yang diam kemudian keduanya bergerak; (2)Terjadi energi, frekusensi dan perubahan panjang
gelombang foton; (3) Foton bergerak dengan kecepatan dan energi kinetik tertentu; (4) Pengaruh sangat kecil
sehingga tidak ada pengaruh signifikan antara panjang gelombang foton sesaat sebelum tumbukan terhadap
sudut elektron sesaat setelah tumbukan; (5) Panjang gelombang foton sesaat sebelum tumbukan sebanding
dengan panjang gelombang sesaat sebelum tumbukan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah selesai melakukan tahapan orientasi dan konseptualisasi selanjutnya dilakukan penyelidikan
menggunakan simulasi yang telah dikembangkan. Tahapan penyelidikan berisi proses pengumpulan data dan
analisis.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data hubungan antara panjang gelombang foton awal dengan sudut
elektron setelah tumbukan
Tabel 2. Hubungan antara Panjang Gelombang Foton Awal dengan Sudut Elektron Setelah Tumbukan

Panjang Gelombang Foton


Sudut Sudut
No. Sebelum Tumbukan, λ (m)
Foton, θ (0) Elektron, φ (0)
1 pm = 10-12 m
10 16,2
15 16,0
1 15 20 15,8
25 15,6
30 15,5
10 30,8
15 30,6
2 30 20 30,4
25 30,2
30 30,1
10 45,2
15 45,0
3 45 20 44,9
25 44,9
30 44,9
Data tersebut kemudian dianasilis sehingga diperoleh data hubungan antara panjang gelombang foton sesaat
sebelum dan sesaat setelah tumbukan dengan elektron sebagai berikut:
Tabel 3. Hubungan antara panjang gelombang foton sesaat sebelum dan sesaat setelah tumbukan

Panjang Gelombang Foton Panjang Gelombang Foton


Sudut
Sebelum Tumbukan, λ (m) Setelah Tumbukan, λ (m)
Foton, θ (0)
1 pm = 10-12 m 1 pm = 10-12 m
10 14,3
15 19,3
15 20 24,3
25 29,3
30 34,3
10 12,1
15 17,1
30 20 22,1
25 27,1
30 32,1
10 11,2
15 16,2
45 20 21,2
25 26,2
30 31,2

Berikut adalah grafik yang menggambarkan hubungan antara panjang gelombang foton sesaat sebelum dan
sesaat setelah tumbukan dengan elektron.

Hubungan Antara Panjang Gelombang Awal dan


Akhir Foton
40
Panjang Gelombang Akhir Foton (pm)

y = 10.04x + 4.24
35
R² = 1
30
25
20
15
10
5
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5
Panjang Gelombang Awal Foton (pm)

Gambar 3.Grafik Hubungan Antara Panjang Gelombang Awal dan Akhir Foton

Dari data pengamatan pada tabel 1 dapat kita lihat bahwa perubahan sudut yang dialami oleh elektron
seiring dengan perubahan panjang gelombang foton sebelum tumbukan sangat kecil yaitu hanya sekitar 0,4
untuk perubahan panjang foton 2 kali sebelumnya. Jika dilihat dari tabel secara keseluruhan, nilai sudut elektron
ketika mengalami tumbukan relatif konstan. Hal ini terjadi untuk 3 sudut foton yang berbeda-beda.
Data pengamatan kemudian dianalisis untuk mengetahui bagaimana perubahan panjang gelombang foton
setelah tumbukan, dari hasil analsis diperoleh bahwa panjang gelombang foton sesaat setelah tumbukan
bertambah sering dengan pertambahan nilai panjang gelombang foton sesaat sebelum tumbukan. Hal ini
menunjukkan kedua besaran tersebut sebanding. Hal ini ada keterkaitan antara panjang gelombang dengan
frekuensi. Sedangkan frekuensi berhubungan dengan energi foton. Berdasarkan berbagai referensi, energi foton
sesaat setelah tumbukan akan berkurang, hal ini disebabkan karna energi sebagian eneginya diterima oleh
elektron. Energi tersebut kemudian digunakan oleh elektron untuk bergerak. Karna energi foton berkurang maka
frekuensinya juga berkurang. Frekuensi berbanding terbalik dengan panjang gelombang, sehingga akibat dari
tumbukan, panjang gelombang foton bertambah.

KESIMPULAN

Dari hasil seluruh rangkaian tahapan inkuiri dapat disimpulkan bahwa 1) foton dapat bertumbukan dengan
elektron, akibat tumbukan ini foton dan elektron terhambur dengan sudut tertentu. 2) panjang gelombang
hamburan foton tidak dipengaruhi oleh sudut hamburan elektron dan 3) ketika tumbukan foton melepas dan
diterima oleh elektron untuk bergerak sehingga panjang gelombang foton sesaat sebelum tumbukan lebih kecil
dibanding sesaat setelah tumbukan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah
ini.

REFERENSI

1. What is physics?. Diakses pada tanggal 15 November 2018 dari laman :


https://www.ntnu.edu/physics/what
2. Sarı, M. (2011). The importance of laboratory courses in science and technology teaching in primary
education and the ideas of simple tools and instruments to evaluate teacher candidates on science
experiments. 2nd International Conference on New Trends in Education and Their Implications. Antalya.
3. Ayas, A, (2006). Using laboratory in science teaching. Retrieved from:
http://w2.anadolu.edu.tr/aos/kitap/IOLTP/2283/unite07.pdf.
4. Backus, L. (2005). A year without procedures. The Science Teacher, 72 (7), 54-58.
5. Hackling, M.,Goodrum, D. & Rennie, L. (2001). The state of science in Australian secondary schools.
Australian Sciences Teachers’ Journal, 47 (4), 12-17.
6. Brown, P. L., Abell, S. K., Demir, A., & Schmidt, F. J. (2006). College science teachers’ views of
classroom inquiry. Science Education, 90, 784-802
7. Costenson, K., & Lawson, A. E. (1986). Why isn’t inquiry used in more classrooms? American Biology
Teacher, 48, 150-158.
8. Lawson, A.E.(1995). Science Teaching and the Development of Thinking. California: Wadsworth Press.
9. Deters, K. M. (2005). Student opinions regarding inquiry-based chemistry experiments. Hong Kong:
Government Logistics Department
10. Cheung, H.Y. (2008). Teacher efficacy: A comparative study of Hong Kong and Shanghai primary in-
service teachers. The Australian Educational Researcher, 35 (1), 103-123.
11. Swandi A, Hidayah SN, Irsan LJ. Pengembangan Media Pembelajaran Laboratorium Virtual untuk
Mengatasi Miskonsepsi Pada Materi Fisika Inti di SMAN 1 Binamu, Jeneponto (Halaman 20 sd 24). Jurnal
Fisika Indonesia. 2015 Feb 13;18(52)
12. Domin, D.S. (1999). A review of laboratory instruction styles. Journal of Chemical Education, 76(4), 543-
547.
13. Hofstein, A., & Lunetta, N. V. (1982). The role of the laboratory in science teaching: Neglected aspect of
research. Review of Educational Research, 52 (2), 201-217Lawson, A. E. (2000). Managing the inquiry
classroom: problems & solutions. The American Biology Teacher, 62 (9), 641-648.
14. Singer, S. R., Hilton, M. L., & Schweingruber, H. A. (2006). America’s lab report: Investigations in high
school science. Washington, DC: National Academies Press
15. Bajzek, D., Burnette, J., & Brown, W. (2005). Building cognitively ınformed simulators utilizing multiple,
linked representations which explain core concepts in modern biology. In Proceedings of World Conference
on Educational Multimedia, Hypermedia and Telecommunications 2005 (pp. 3773-3778). Norfolk, VA:
AACE.
16. Bozkurt, E., & Sarıkoç, A. (2008). Can the virtual laboratory replace the traditional laboratory in physics
education? Selçuk Unıversıty Journal of Ahmet Keleşoğlu Educatıon Faculty, 25, 89-
17. Feyzioğlu, B., Akçay, H., & Pekmez, E.Ş. (2007). Comparison of the effects of computer assisted
cooperative and individualistic learning in chemistry on students’ achievements and attitudes. Strasbourg:
AREF
18. Hofstein, A., & Lunetta V.N. (2003). The laboratory in science education: Foundations for the twenty-first
century. Science Education, 88 (1), 28-54.
19. de Jong, T., & Njoo, M. (1992). Learning and instruction with computer simulations: learning processes
involved. In E. de Corte, M. C. Linn, H. Mandl, & L. Verschaffel (Eds.), Computer-based learning
environments and problem solving (pp. 411–427). Berlin, Germany: Springer Berlin Heidelberg.
20. de Jong, T., & Lazonder, A. W. (2014). The guided discovery learning principle in multimedia learning. In
R. E.Mayer (Ed.), The Cambridge handbook of multimedia learning (2nd ed., pp. 371–390). New York:
Cambridge University Press.
21. Compton Scattering. Diakses pada tanggal 10 September 2018 dari laman:
http://www.kcvs.ca/site/projects/physics_files/compton-scattering/compton-scattering.swf
22. Pedaste,M.,Mäeots,M., Siiman, L., de Jong, T., Van Riesen, S., Kamp, E., et al. (2015). Phases of inquiry-
based learning: definitions and the inquiry cycle. Educational Research Review, 14, 47–61.
23. Bybee, R. (2000). Teaching science as inquiry. In J. Minstrell, & E. H. Van Zee (Eds.), Inquiring into
inquiry learning and teaching in science (pp. 20–46). Washington: Washington, DC: AAAS
24. Gyllenpalm, J., Wickman, P., & Holmgren, S. (2010). Secondary science teachers’ selective traditions and
examples of inquiry-oriented approaches. Nordic Studies in Science Education, 6(1), 44–6
25. Mayer, R. E. (2004). Should there be a three-strikes rule against pure discovery learning? American
Psychologist, 59(1), 14–19.
26. Van de Pol, J., Volman, M., & Beishuizen, J. (2012). Promoting teacher scaffolding in small-group work: a
contingency perspective. Teaching and Teacher Education, 28(2), 193–205
27. Zacharia, Z., Manoli, C., Xenofontos, N., de Jong, T., Pedaste, M., van Riesen, S. A., et al. (2015).
Identifying potential types of guidance for supporting student inquiry when using virtual and remote labs in
science: a literature review. Educational Technology Research and Development, 63(2), 257–302
28. Lazonder, A.W., & Harmsen, R. (2016). Meta-analysis of inquiry-based learning: effects of guidance.
Review of Educational Research, 86(3), 681–718.

Anda mungkin juga menyukai