Anda di halaman 1dari 12

Mengamati Peristiwa Terlepasnya Elektron pada Efek

Fotolistrik dengan Simulasi Interaktif Melalui Tahapan


Inkuiri
Ratnasari B1), Andi Nur Asma Azis32, Hasmawati3), Ulpiana4)

Bunga Dara Amin1),Ahmad Swandi2)

e-mail: 1 ratnasari.bahar1998@gmail.com, 2andibau98@gmail.com

, 3ulpiana10898@gmail.com, 4hasmawatiabbas106@gmail.com, 6ahmadfisika40@gmail.com.

Abstrak
Telah dilakukan eksperimen tentang Efek Fotolistrik yang bertujuan Mendiskripsikan grafik arus terhadap
tegaigan untuk menemukan stopping potensial, Menentukan konstanta Planck melalui grafik energy dan
frekuensi, Menentukan fungsi kerja, Menentukan energi kinetik ,dan Mendeskripsikan pengaruh intensitas
terhadap arus secara virtual. Studi ini termasuk eksperimen melalui tahapan inkuiri (penyelidikan)
berbantuan simulasi yang dikembangkan dan diadaptasi dari www.kcvs.ca Pada percobaan pertama
mengunakan tegangan batrai sebagai variabel manipulasi sedangkan intesitas, panjang gelombang, dan
jenis logam sebagai variabel kontrol. nilai arus sebagai variabel respon percobaan pertama. pada
percobaan ke dua menggukan variabel manipulasi berupa nilai panjang gelombang. variabel kontolnya
adalah intensitas cahaya dan variabel responnya adalah Vs( stopping potensial). pada percobaan ketiga
menggunakan variabel manipulasi berupa intensitas, variabel kontrol panjang gelombang dan variabel
responnya adalah kuat arus. Berdasarkan hasil data dan analisis percobaan pertama di peroleh bahwa
tegangan batrai berpengaruh variatif terhadap kuat arus. pada percobaan ke dua di dapatkan Semakin
besar frekuensi yang diberikan, maka potensial penghenti juga semakin meningkat.
Kata-Kata Kunci: Efek Fotolistrik, Elektron,Konstantas Planck, Panjang Gelombang, Pembelajaran Inkuiri

PENDAHULUAN

Penemuan efek fotolistrik merupakan salah satu tonggak sejarah kelahiran fisika kuantum. Untuk
merumuskan teori yang cocok dengan eksperimen, sekali lagi orang dihadapkan pada situasi
dimana faham klasik yang selama puluhan tahun telah diyakini sebaga faham yang benar, harus
dirombak. Faham yang dimaksud adalah konsepsi bahwa cahaya sebagai gelombang.
Efek fotolistrik merupakan gejala fisika yang pertama kali ditemukan oleh Hertz pada tahun 1887
ketika mendemonstrasikan keberadaan gelombang elektromagnetik. Kemudian, Lenard
menggunakan sebuah tabung kaca yang divakumkan yang di dalamnya terdapat dua buah elektrode.
Ketika itu, teori fisika tidak dapat menjelaskan hasil pengamatan Lenard. Setelahnya, Einstein
dengan menggunakan gagasan kuanta Planck memberikan penjelasan teoritis terhadap hasil
pengamatan gejala fotolistrik. Einstein merumuskan persamaan yang menghubungkan antara
potensial ambang dengan frekuensi cahaya monokromatik yang digunakan dalam menyinari
katode, yaitu .
Pada percobaan ini, kita akan mengamati perilaku cahaya sebagai partikel menurut teori kuantum
dan merombak pernyataan cahaya sebagai gelombang oleh teori klasik. Selain itu, pada percobaan ini
akan di analisis untuk menentukan konstanta Planck. Dengan adanya eksperimen ini, kita dapat
mengetahui bagaimana hubungan intensitas cahaya terhadap arus fotoelektrik. Selain itu, kita akan
menyelidiki bagaimana penjelasan teori klasik dan teori kuantum mengenai cahaya.
Fisika adalah ilmu alam yang didasarkan pada eksperimen, pengukuran, dan analisis matematis
dengan tujuan menemukan hukum-hukum fisika secara kuantitatif dan kualitatif untuk segala sesuatu
mulai dari dunia nano, mikrokosmos hingga planet-planet, tata surya, dan galaksi yang menempati
makrokosmos [1]. Sebagai ilmu sains yang dipelajari secara ilmiah, terdapat dua jenis konsep ilmiah
dalam fisika, yaitu konsep faktual dan konsep teoritis. Konsep faktual adalah konsep yang ada di
lingkungan sekitarnya dan mudah untuk diamati. Beberapa contoh konsep faktual seperti keadaan
materi baik padat, cair, dan gas. Konsep teoritis berasal dari imajinasi para ilmuwan, yang hanya
dapat dijelaskan secara teoritis, sehingga disebut konsep teoritis atau dalam makalah ini disebut
konsep abstrak. Beberapa contoh konsep abstrak adalah atom, elektron, arus listrik, dan sejenisnya.
Tidak ada contoh nyata yang ditemukan di lingkungan, dan juga tidak dapat diungkapkan dari
persepsi suatu objek, peristiwa, atau situasi. Berarti. Untuk menjelaskan konsep faktual mungkin tidak
sulit bagi siapapun, karena ada banyak contoh di lingkungan, tetapi untuk menjelaskan konsep abstrak
(teoritis) cukup sulit, karena tidak ada contoh nyata dalam lingkungan sekitar. Memahami konsep
fisika abstrak membutuhkan proses berpikir tingkat tinggi melalui penggunaan teknologi.
Saat ini, sains dan teknologi mengalami kemajuan yang sangat pesat, pembelajaran sains, yang
memiliki kerangka kerja konseptual yang luas telah diajarkan menggunakan berbagai metode, teknik,
dan model yang berbeda. Salah satu yang paling efektif adalah metode eksperimen yang memberikan
pembelajaran permanen dan juga memberikan kesempatan bagi pelajar untuk bekerja secara individu
atau dalam kelompok. Dengan penggunaan laboratorium yang efektif, pengetahuan teoritis diubah
menjadi pengetahuan praktis, pengalaman yang diperlukan diperoleh, keterampilan manipulatif
ditingkatkan untuk bekerja bersama, berbagi informasi dan ide, mengajukan pertanyaan pencarian,
menentukan masalah dan mencari solusi dengan rekan kerja. beroperasi dengan orang-orang di sekitar
mereka [2]. Untuk alasan ini, kita dapat mengklaim bahwa perlunya pembelajaran sains yang efektif
untuk menggunakan aplikasi laboratorium [3].
Namun berbagai kendala, penggunaan laboratorium di berbagai institusi toidak bisa dilakukan. Hal
itu antara lain kurangnya ketersediaan [4,5], pandangan negatif dan sikap sebagian orangterhadap
aplikasi laboratorium [6,7], kurangnya bahan ajar yang efektif dan memadai [8], tidak cukup
memperhatikan keamanan dalam kondisi laboratorium [9], ruang laboratorium yang penuh sesak [10],
kurangnya sarana atau peralatan laboratorium yang dimiliki institusi [11], resiko dalam melakukan
praktikum pada beberapa materi dan kurangnya petunjuk atau instruksi dalam menggunakan
laboratorium [12,13].
Untuk mengatasi masalah-masalah yang menyebabkan tidak adanya kegiatan pengamatan
dilaboratorium metode pengamatan alternatif yang sesuai telah dikembangkan. Sebagai contoh,
penggunaan simulasi komputer yang menarik perhatian perlu diaplikasikan dengan model
penyelidikan seperti inkuiri. Selain itu, dengan bantuan simulasi yang mudah digunakan, pelajar dapat
mengamati peristiwa alam yang tidak dapat dilihat secara langsung karena mereka mungkin terlalu
besar atau terlalu kecil, terlalu lambat atau terlalu kompleks [14,15]. Selain itu, eksperimen yang sulit
dikendalikan, terlalu mahal dan berbahaya serta terlalu sulit atau tidak mungkin untuk dihilangkan di
lingkungan laboratorium, dapat dilakukan melalui simulasi dalam lingkungan virtual [14,16]. Dengan
komputer atau perlatan lainnya dapat menghasilkan lingkungan virtual di mana beberapa aplikasi
simulasi yang sesuai dengan lingkungan nyata dapat direalisasikan; data yang sulit diperoleh dalam
kondisi laboratorium dapat lebih mudah dicapai, data eksperimen dapat diproses dengan cepat dan
andal, banyak data dapat dikumpulkan dalam waktu singkat dan eksperimen dapat diulang sebanyak
yang diperlukan [14,16,17] .
Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk mengamati perilaku foton dan elektron pada percobaan
Efek Compton serta menganalisis hubungan beberapa besaran berkaitan dengan fenomena tersebut.
KAJIAN PUSTAKA

Efek Fotolistrik
Efek fotolistrik yaitu terlepasnya elektron dari permukaan logam karena logam tersebut disinari
cahaya. Untuk menguji teori kuantum yang dikemukakan oleh Max Planck, kemudian Albert Einstein
mengadakan suatu penelitian yang bertujuan untuk menyelidiki bahwa cahaya merupakan pancaran
paket-paket energi yang kemudian disebut foton yang memiliki energi sebesar ℎ𝑓. Percobaan yang
dilakukan Einstein lebih dikenal dengan sebutan efek fotolistrik.

gambar 2.1 Skema alat untuk menyelidiki efek fotolistrik.

Gambar diatas menggambarkan skema alat yang digunakan Einstein untuk mengadakan percobaan.
Alat tersebut terdiri atas tabung hampa udara yang dilengkapi dengan dua elektroda A dan B dan
dihubungkan dengan sumber tegangan arus searah (DC). Pada saat alat tersebut dibawa ke dalam
ruang gelap, maka amperemeter tidak menunjukkan adanya arus listrik. Akan tetapi pada saat
permukaan Katoda (A) dijatuhkan sinar amperemeter menunjukkan adanya arus listrik. Hal ini
menunjukkan adanya aliran arus listrik. Aliran arus ini terjadi karena adanya elektron yang terlepas
dari permukaan (yang selanjutnya disebut elektron foto) A bergerak menuju B. Apabila tegangan
baterai diperkecil sedikit demi sedikit, ternyata arus listrik juga semakin mengecil dan jika tegangan
terus diperkecil sampai nilainya negatif, ternyata pada saat tegangan mencapai nilai tertentu (-Vo),
amperemeter menunjuk angka nol yang berarti tidak ada arus listrik yang mengalir atau tidak ada
elektron yang keluar dari keping A. Potensial Vo ini disebut potensial henti, yang nilainya tidak
tergantung pada intensitas cahaya yang dijatuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa energi kinetik
maksimum elektron yang keluar dari permukaan adalah sebesar:

Gambar 2.2 Grafik hubungan antara intensitas dengan potensial henti


dengan :
Ek = energi kinetik elektron foto (J atau eV)
m = massa elektron (kg)
v = kecepatan elektron (m/s)
e = muatan elektron (C)
Vo = potensial henti (volt)

Berdasarkan hasil percobaan ini ternyata tidak semua cahaya (foton) yang dijatuhkan pada keping
akan menimbulkan efek fotolistrik. Efek fotolistrik akan timbul jika frekuensinya lebih besar dari
frekuensi tertentu. Demikian juga frekuensi minimal yang mampu menimbulkan efek fotolistrik
tergantung pada jenis logam yang dipakai.

Teori Gelombang Tentang Efek Fotolistrik

Selanjutnya, marilah kita pelajari bagaimana pandangan teori gelombang dan teori kuantum (foton)
untuk menjelaskan peristiwa efek fotolistrik ini. Dalam teori gelombang ada dua besaran yang sangat
penting, yaitu frekuensi (panjang gelombang) dan intensitas. Ternyata teori gelombang gagal
menjelaskan tentang sifat-sifat penting yang terjadi pada efek fotolistrik, antara lain:

a. Menurut teori gelombang, energi kinetik elektron foto harus bertambah besar jika intensitas foton
diperbesar. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa energi kinetik elektron foto tidak tergantung
pada intensitas foton yang dijatuhkan.
b. Menurut teori gelombang, efek fotolistrik dapat terjadi pada sembarang frekuensi, asal
intensitasnya memenuhi. Akan tetapi kenyataannya efek fotolistrik baru akan terjadi jika frekuensi
melebihi harga tertentu dan untuk logam tertentu dibutuhkan frekuensi minimal yang tertentu agar
dapat timbul elektron foto.
c. Menurut teori gelombang diperlukan waktu yang cukup untuk melepaskan elektron dari
permukaan logam. Akan tetapi kenyataannya elektron terlepas dari permukaan logam dalam waktu
singkat (spontan) dalam waktu kurang 10-9 sekon setelah waktu penyinaran.
d. Teori gelombang tidak dapat menjelaskan mengapa energi kinetik maksimum elektron foto
bertambah jika frekuensi foton yang dijatuhkan diperbesar.

Teori Kuantum Tentang Efek Fotolistrik

Teori kuantum mampu menjelaskan peristiwa ini karena menurut teori kuantum bahwa foton
memiliki energi yang sama, yaitu sebesar hf, sehingga menaikkan intensitas foton berarti hanya
menambah banyaknya foton, tidak menambah energi foton selama frekuensi foton tetap.
Menurut Einstein energi yang dibawa foton adalah dalam bentuk paket, sehingga energi ini
jika diberikan pada elektron akan diberikan seluruhnya, sehingga foton tersebut lenyap. Oleh karena
elektron terikat pada energi ikat tertentu, maka diperlukan energi minimal sebesar energi ikat elektron
tersebut. Besarnya energi minimal yang diperlukan untuk melepaskan elektron dari energi ikatnya
disebut fungsi kerja (Wo) atau energi ambang. Besarnya Wo tergantung pada jenis logam yang
digunakan. Apabila energi foton yang diberikan pada elektron lebih besar dari fungsi kerjanya, maka
kelebihan energi tersebut akan berubah menjadi energi kinetik elektron. Akan tetapi jika energi foton
lebih kecil dari energi ambangnya (hf < Wo) tidak akan menyebabkan elektron foto. Frekuensi foton
terkecil yang mampu menimbulkan elektron foto disebut frekuensi ambang. Sebaliknya panjang
gelombang terbesar yang mampu menimbulkan elektron foto disebut panjang gelombang ambang.
Sehingga hubungan antara energi foton, fungsi kerja dan energi kinetik elektron foto dapat dinyatakan
dalam persamaan:

E = Wo + Ek atau Ek = E – Wo

sehingga Ek = hf – hfo = h (f – fo)


gambar 2.2 Grafik hubungan antara Ek dengan frekuensi
dengan :
Ek = energi kinetik maksimum elektron foto
h = konstanta Planck
f = frekuensi foton
fo = frekuensi ambang

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efek Fotolistrik

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi fotolistrik ini yaitu :

1. Faktor yang mempengaruhi keluar atau tidaknya elektron adalah frekuensi dari cahaya dan jenis
logam yang dipakai.
2. Frekuensi cahaya mempengaruhi energi kinetik dari elektron oleh karena itu, seberapa cepatnya
elektron bergerak setelah keluar dari logam ditentukan oleh frekuensi cahaya
3. Banyak atau tidaknya elektron yang keluar ditentukan oleh besarnya intensitas cahaya yang
diberikan.

Simulasi Fisika

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kegiatan 1
Hasil Pengamatan
Tabel 2.1 Hubungan frekuensi, panjang gelombang, dengan kuat arus yang timbul pada beberapa
jenis logam.
No Jenis logam Frekuensi f(Hz) Panjang gelombang Kuat arus, I (pA)
𝜆 (nm) 1 pA = 10−12
−15
1,5 x 10 200 8,01
−15
1,2 x 10 250 0
1 Berilyum 1,0 x 10 −15 300 0
0,857 x 10−14 350 0
−14
0,75 x 10 400 0
1,5 x 10−15 200 8,01
1,2 x 10−15 250 8,01
2 Magnesium 1,0 x 10−15 300 8,01
−14
0,857 x 10 350 0
0,75 x 10−14 400 0
1,5 x 10−15 200 8,01
1,2 x 10−15 250 8,01
3 Zinc 1,0 x 10−15 300 0
0,857 x 10−14 350 0
0,75 x 10−14 400 0

Tabel 2.2 Hubungan Tegangan/potensial penghenti dengan Kuat Arus Listrik yang Timbul pada
Bebrapa jenis logam
No Jenis logam Potensial Penghenti, V Kuat arus, I (pA)
(volt) 1 pA = 10−12
0,5 4,69
1,0 1,36
1 Berilyum 1,5 0
2,0 0
2,5 0
0,5 6,43
1,0 4,84
2 Magnesium 1,5 3,25
2,0 1,67
2,5 0,08
0,5 5,91
1,0 3,81
3 Zinc 1,5 1,71
2,0 0
2,5 0

Analisis

Logam Berilyum
10

6 y = 9.9215x - 8.9287
R² = 0.6791
kuat arus (pA)

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6

-2
frekuensi (Hz)

Grafik 1.1 Hubungan antara frekuensi dan kuat arus


10
y = -0.032x + 11.214
8 R² = 0.5

kuat arus (pA) 4

0
0 100 200 300 400 500
-2

-4
panjang gelombang (nm)

Grafik 1.2 hubungan antara panjang gelombang dengan kuat arus

4
y = -2.148x + 4.432
3
R² = 0.698
kuat arus (pA)

0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
-1

-2
potensial penghenti (V)

Grafik 1.3 hubungan antara potensial penghenti dengan kuat arus


Logam Magnesium
12

10 y = 11.668x - 7.5782
R² = 0.6261
8
kuat arus (pA)

0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6
frekuensi (Hz)

Grafik 2.1 Hubungan antara frekuensi dan kuat arus


12

10

kuat arus (pA) 8

4
y = -0.0481x + 19.224
2 R² = 0.75

0
0 100 200 300 400 500
panjang gelombang

Grafik 2.2 hubungan antara panjang gelombang dengan kuat arus

7
6 y = -3.174x + 8.015
5 R² = 1
kuat arus (pA)

4
3
2
1
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
potensial penghenti (V)

Grafik 2.3 hubungan antara potensial penghenti dengan kuat arus

Logam Zinc
10

6
kuat arus (pA)

y = 13.057x - 10.654
R² = 0.7841
4

0
0 0.5 1 1.5 2
-2
frekuensi (Hz)

Grafik 3.1 Hubungan antara frekuensi dan kuat arus


10

kuat arus (nm)


4
y = -0.0481x + 17.622
2 R² = 0.75

0
0 100 200 300 400 500
-2

-4
panjang gelombang (nm)

Grafik 3.2 hubungan antara panjang gelombang dengan kuat arus

7
6
5
4
kuat arus (pA)

y = -3.126x + 6.975
3 R² = 0.931
2
1
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
-1
-2
potensial penghenti (V)

Grafik 3.3 hubungan antara potensial penghenti dengan kuat arus


Kegiatan 2

Hasil Pengamatan
Tabel 2.3 frekuensi dan potensial untuk berbagi jenis logam
No Jenis logam Frekuensi f(Hz) Potensial penghenti
Vo (Volt)
−15
1,5 x 10 4,156
−15
1,2 x 10 2,841
1 Potasium 1,0 x 10 −15 2,036
−14
8,57 x 10 1,451
−14
7,5 x 10 1,106
1,5 x 10−15 4,266
−15
1,2 x 10 3,031
2 Cesium 1,0 x 10 −15 2,206
8,57 x 10−14 1,606
−14
7,5 x 10 1,201
−15
1,5 x 10 4,006
−15
1,2 x 10 2,756
3 Sodium 1,0 x 10−15 1,931
8,57 x 10−14 1,356
7,5 x 10−14 0,906

Analisis Data
Berdasarkan Tabel 2.3 di atas , maka dapat di analisis pengurangan energy foton ( E )
dengan energy electron (EKm) sebagai berikut:
1. Logam Pottasium
Tabel 2.4 Hubungan EnergiFoton dengan Energi Elektron untuk Logam Pottasium

No Energi Foton, Energi Fungsi Kerja


E = hf ( J ) Kinetik (Wo)
(h = 6,6 x 10-34 Js) Elektron , Wo = E- EKm
EKm = e Vo ( (J)
J)
(e= 1,6 x10-19
C)
1 9,9 x10-19 6,6496x10-19 3,3504
2 7,92 x 10-19 4,5456 x10-19 3,3744
3 66 x 10-20 3,2576 x10-19 627,424
4 56,562x 10-20 2,3216 x10-19 542,404
5 49,5x 10-20 1,7696x10-19 477,304

2. Logam Cesium
Tabel 2.5 Hubungan EnergiFoton dengan Energi Elektron untuk Logam Cesium

No Energi Foton, Energi Fungsi Kerja


E = hf ( J ) Kinetik (Wo)
(h = 6,6 x 10-34 Js) Elektron , Wo = E- EKm
EKm = e Vo ( (J)
J)
(e= 1,6 x10-19
C)
1 9,9 x10-19 6,408 x 10-19 3,492
2 7,92 x 10-19 4,40 x 10-19 3,5104
3 66 x 10-20 3,0896 x 10- 629,104
19
-20
4 56,562x 10 2,169x10-19 543,924
5 49,5x 10-20 1,4496 x10-19 480,504

3. Logam Sodium
Tabel 2.6 Hubungan EnergiFoton dengan Energi Elektron untuk Logam Sodium

No Energi Foton, Energi Fungsi Kerja


E = hf ( J ) Kinetik (Wo)
(h = 6,6 x 10-34 Js) Elektron , Wo = E- EKm
EKm = e Vo ( (J)
J)
(e= 1,6 x10-19
C)
1 9,9 x10-19 6,8256x10-19 3,0744
2 7,92 x 10-19 4,849 x10-19 3,0704
3 66 x 10-20 3,5296 x10-19 64,704
4 56,562x 10-20 2,5659 x10-19 559,924
5 49,5x 10-20 1,9216x10-19 475,784

Pembahasan

KESIMPULAN

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah
ini.

REFERENSI

1. What is physics?. Diakses pada tanggal 15 November 2018 dari laman :


https://www.ntnu.edu/physics/what
2. Sarı, M. (2011). The importance of laboratory courses in science and technology teaching in primary
education and the ideas of simple tools and instruments to evaluate teacher candidates on science
experiments. 2nd International Conference on New Trends in Education and Their Implications. Antalya.
3. Ayas, A, (2006). Using laboratory in science teaching. Retrieved from:
http://w2.anadolu.edu.tr/aos/kitap/IOLTP/2283/unite07.pdf.
4. Backus, L. (2005). A year without procedures. The Science Teacher, 72 (7), 54-58.
5. Hackling, M.,Goodrum, D. & Rennie, L. (2001). The state of science in Australian secondary schools.
Australian Sciences Teachers’ Journal, 47 (4), 12-17.
6. Brown, P. L., Abell, S. K., Demir, A., & Schmidt, F. J. (2006). College science teachers’ views of
classroom inquiry. Science Education, 90, 784-802
7. Costenson, K., & Lawson, A. E. (1986). Why isn’t inquiry used in more classrooms? American Biology
Teacher, 48, 150-158.
8. Lawson, A.E.(1995). Science Teaching and the Development of Thinking. California: Wadsworth Press.
9. Deters, K. M. (2005). Student opinions regarding inquiry-based chemistry experiments. Hong Kong:
Government Logistics Department
10. Cheung, H.Y. (2008). Teacher efficacy: A comparative study of Hong Kong and Shanghai primary in-
service teachers. The Australian Educational Researcher, 35 (1), 103-123.
11. Swandi A, Hidayah SN, Irsan LJ. Pengembangan Media Pembelajaran Laboratorium Virtual untuk
Mengatasi Miskonsepsi Pada Materi Fisika Inti di SMAN 1 Binamu, Jeneponto (Halaman 20 sd 24). Jurnal
Fisika Indonesia. 2015 Feb 13;18(52)
12. Domin, D.S. (1999). A review of laboratory instruction styles. Journal of Chemical Education, 76(4), 543-
547.
13. Hofstein, A., & Lunetta, N. V. (1982). The role of the laboratory in science teaching: Neglected aspect of
research. Review of Educational Research, 52 (2), 201-217Lawson, A. E. (2000). Managing the inquiry
classroom: problems & solutions. The American Biology Teacher, 62 (9), 641-648.
14. Singer, S. R., Hilton, M. L., & Schweingruber, H. A. (2006). America’s lab report: Investigations in high
school science. Washington, DC: National Academies Press
15. Bajzek, D., Burnette, J., & Brown, W. (2005). Building cognitively ınformed simulators utilizing multiple,
linked representations which explain core concepts in modern biology. In Proceedings of World Conference
on Educational Multimedia, Hypermedia and Telecommunications 2005 (pp. 3773-3778). Norfolk, VA:
AACE.
16. Bozkurt, E., & Sarıkoç, A. (2008). Can the virtual laboratory replace the traditional laboratory in physics
education? Selçuk Unıversıty Journal of Ahmet Keleşoğlu Educatıon Faculty, 25, 89-
17. Feyzioğlu, B., Akçay, H., & Pekmez, E.Ş. (2007). Comparison of the effects of computer assisted
cooperative and individualistic learning in chemistry on students’ achievements and attitudes. Strasbourg:
AREF
18. Hofstein, A., & Lunetta V.N. (2003). The laboratory in science education: Foundations for the twenty-first
century. Science Education, 88 (1), 28-54.
19. de Jong, T., & Njoo, M. (1992). Learning and instruction with computer simulations: learning processes
involved. In E. de Corte, M. C. Linn, H. Mandl, & L. Verschaffel (Eds.), Computer-based learning
environments and problem solving (pp. 411–427). Berlin, Germany: Springer Berlin Heidelberg.
20. de Jong, T., & Lazonder, A. W. (2014). The guided discovery learning principle in multimedia learning. In
R. E.Mayer (Ed.), The Cambridge handbook of multimedia learning (2nd ed., pp. 371–390). New York:
Cambridge University Press.
21. Compton Scattering. Diakses pada tanggal 10 September 2018 dari laman:
http://www.kcvs.ca/site/projects/physics_files/compton-scattering/compton-scattering.swf
22. Pedaste,M.,Mäeots,M., Siiman, L., de Jong, T., Van Riesen, S., Kamp, E., et al. (2015). Phases of inquiry-
based learning: definitions and the inquiry cycle. Educational Research Review, 14, 47–61.
23. Bybee, R. (2000). Teaching science as inquiry. In J. Minstrell, & E. H. Van Zee (Eds.), Inquiring into
inquiry learning and teaching in science (pp. 20–46). Washington: Washington, DC: AAAS
24. Gyllenpalm, J., Wickman, P., & Holmgren, S. (2010). Secondary science teachers’ selective traditions and
examples of inquiry-oriented approaches. Nordic Studies in Science Education, 6(1), 44–6
25. Mayer, R. E. (2004). Should there be a three-strikes rule against pure discovery learning? American
Psychologist, 59(1), 14–19.
26. Van de Pol, J., Volman, M., & Beishuizen, J. (2012). Promoting teacher scaffolding in small-group work: a
contingency perspective. Teaching and Teacher Education, 28(2), 193–205
27. Zacharia, Z., Manoli, C., Xenofontos, N., de Jong, T., Pedaste, M., van Riesen, S. A., et al. (2015).
Identifying potential types of guidance for supporting student inquiry when using virtual and remote labs in
science: a literature review. Educational Technology Research and Development, 63(2), 257–302
28. Lazonder, A.W., & Harmsen, R. (2016). Meta-analysis of inquiry-based learning: effects of guidance.
Review of Educational Research, 86(3), 681–718.

Anda mungkin juga menyukai