Schrodinger/ 1
BAHAN AJAR/DIKTAT
KIMIA KUANTUM
KODE D3114042
2 SKS
Pada hari ini ......... tanggal ..... bulan ................... tahun ......... Bahan Ajar Mata Kuliah Kimia
Kuantum Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
telah diverifikasi oleh Ketua Jurusan/ Ketua Program Studi Pendidikan Kimia
BAB I
PERSAMAAN SCHRODINGER
1.1 Mengapa Mempelajari Mekanika Kuantum
Pada akhir abad 17, Isaac Newton mengembangkan mekanika yang membicarakan
hukum gerak bagi obyek makroskopik. Pada awal abad 20, para fisikawan menjumpai beberapa
fenomena fisik seperti radiasi benda hitam, efek foto listrik dan efek Compton yang tidak dapat
dijelaskan secara klasik dengan teori gelombang elektromagnit dan baru dapat diatasi setelah
Einstein menerapkan teori kuantum Planck. Pada saat yang hampir bersamaan juga dijumpai
gerak mikrospik yang tidak dapat dideskripsi secara benar oleh mekanika Newton. Sifat-sifat
gerak mikroskopik dideskripsi oleh himpunan hukum-hukum yang disebut mekanika kuantum.
Salah satu bidang ilmu kimia adalah Kuantum Kimia yang merupakan aplikasi mekanika
kuantum terhadap problem-problem kimia. Pengaruh kimia kuantum ini begitu terasa pada
hampir semua cabang kimia. Para ahli kimia fisik menggunakan kimia kuantum untuk
melakukan kalkulasi dalam termodinamika gas (disebut mekanika statistik, misal pada
perhitungan entropi dan kapasitas kalor), untuk menginterpretasi spektra molekul, yang
memungkinkan orang buat melakukan penafsiran eksperimental terhadap sifat molekul (seperti
panjang ikatan, sudut ikatan, momen dipole dan lain-lain), untuk melakukan perhitungan
terhadap keadaan transisi pada reaksi kimia sehingga orang dapat mengekstimasi tetapan laju
reaksi, untuk memahami gaya antar molekul, untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan
dengan ikatan pada padatan.
Para ahli kimia organik menggunakan kimia kuantum untuk mengestimasi stabilitas
relatif molekul, untuk kalkulasi sifat-sifat yang berhubungan dengan intermediate reaksi, untuk
menginvestigasi mekanisme reaksi, untuk memprediksi aromatisitas suatu senyawa dan untuk
analisis spektra NMR.
Para ahli kimia analitik menggunakan kimia kuantum untuk metode spektroskopi secara
luas. Frekuensi dan intensitas garis spektrum hanya dapat dipahami dan diinterpretasi melalui
mekanika kuantum.
Para ahli kimia anorganik menggunakan pendekatan kuantum mekanik untuk menyusun
teori medan ligan dalam rangka memprediksi sifat-sifat ion kompleks logam transisi.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 4
Meskipun masih dengan kendala yang sangat banyak para ahli biokimia mulai menggunakan
pendekatan mekanika kuantum ini buat melakukan studi terhadap molekul biokimia, ikatan
enzim-substrat (enzyme substrate binding) dan solvasi terhadap molekul biologi.
Dalam rangka menguasai kimia kuantum yang begitu luas dan pentingnya bagi para
kimiawan itulah maka kita mau tidak mau harus mempelajari mekanika Kuantum.
radiasi benda hitam, maka mereka memperoleh hasil yang sepenuhnya tidak sesuai dengan
kurva eksperimental, khususnya pada porsi frekuensi tinggi.
Pada 1900, Max Planck mengembangkan teori yang memberikan kesesuaian yang luar
biasa dengan kurva eksperimental radiasi benda hitam. Planck berasumsi bahwa atom-atom
dalam benda hitam tersebut dapat mengemisi energi cahaya dalam jumlah tertentu yaitu h,
dengan h adalah tetapan Planck = 6,63 . 1034 J.s sedang adalah frekuensi. Nilai h ini
memberikan kurva yang sangat sesuai dengan kurva radiasi benda hitam hasil eksperimen. Hasil
kerja Planck ini menengarai dimulainya mekanika kuantum.
Hipotesis Planck yang menyatakan bahwa hanya kuantitas tertentu saja yang dapat
diemisi oleh energi cahaya (jadi emisi energinya bersifat terkuantisasi atau diskrit) merupakan
pernyataan yang kontradiktif secara langsung pendapat para fisikawan sebelumnya. Menurut
pendapat klasik, energi gelombang cahaya ditentukan oleh amplitudonya. Karena amplitudo
dapat mempunyai sembarang harga dari nol ke atas maka energi (begitu menurut pendapat
klasik) harus dapat mempunyai sembarang harga yang kontinum dari nol ke atas. Tetapi,
kenyataan menunjukkan bahwa energi terkuantisasi seperti yang dinyatakan oleh Planck-lah
yang sesuai dengan kurva radiasi benda hitam.
Aplikasi kedua dari sifat energi terkuantisasi adalah pada efek foto listrik. Dalam kasus
efek foto listrik, cahaya yang dijatuhkan pada permukaan logam, menghasilkan emisi elektron.
Menurut pendapat klasik, energi gelombang adalah sebanding dengan intensitasnya dan tidak
berhubungan dengan frekuensinya, sehingga gambaran gelombang elektromagnetik seperti ini
menuntun orang untuk memperkirakan bahwa energi kinetik elektron meningkat sesuai dengan
peningkatan intensitas cahaya tidak peduli dengan frekuensinya. Ini berarti bahwa cahaya
dengan frekuensi berapapun seharusnya dapat menghasilkan foto listrik. Tetapi kenyataannya
hanya cahaya dengan frekuensi tertentu saja yang dapat menghasilkan foto listrik.
Pada 1905, Albert Einstein menunjukkan bahwa fenomena foto listrik itu dapat
dijelaskan melalui pemahaman bahwa cahaya merupakan sesuatu yang mirip materi (dan
disebut foton) yang masing-masing foton mempunyai energi:
Efoton = h . (1-2)
Ketika elektron logam mengabsorpsi foton, sebagian energi foton digunakan untuk melawan
gaya yang mengikat elektron dan sisanya, jika ada, akan muncul sebagai energi kinetik. Efek
Bab I/Pers. Schrodinger/ 6
foto listrik tidak akan terjadi manakala energi foton tidak cukup untuk melawan gaya yang
mengikat elektron.
Konservasi energinya adalah:
h . = + Ekinetik
dengan adalah energi minimum yang dibutuhkan untuk melepaskan elektron (biasa disebut
fungsi kerja) sedang Ekinetik adalah energi kinetik maksimum yang diterima oleh elektron yang
teremisi. Melalui fenomena foto listrik maka diyakini bahwa cahaya mempunyai sifat partikel
selain sifat gelombang seperti ditunjukkan oleh eksperimen difraksi dan interferensi.
Sekarang marilah kita membicarakan struktur materi.
Pada akhir abad 19, percobaan tabung lucutan muatan listrik radioaktivitas natural
menunjukkan bahwa atom-atom dan molekul merupakan partikel yang bermuatan. Elektron
mempunyai muatan negatif. Proton, mempunyai muatan positif, sebesar muatan elektron tetapi
berlawanan tanda sedang massanya 1836 kali massa elektron. Penyusun atom yang ketiga
adalah netron (diketemukan 1932), tidak bermuatan dan sedikit lebih berat dibandingkan proton.
Berawal pada 1909, Rutherford, Geiger dan Marsden melakukan serangkaian percobaan
yang sangat terkenal yaitu hamburan partikel alfa. Kesimpulan eksperimen ini adalah bahwa
sebagian besar dari volume atom adalah ruang kosong (karena sebagian besar alfa tidak
mengalami pembelokan arah), sedang seluruh massa terpusat pada inti yang bermuatan positif..
Kesimpulan kedua diambil karena ada beberapa alfa yang arahnya membelok. Pembelokan arah
alfa diduga disebabkan oleh tolakan inti. Karena alfa bermuatan positif, maka tolakan hanya
terjadi jika inti juga bermuatan positif.
Jari-jari atom 1013 sampai 1012 cm, intinya terdiri atas sejumlah netron dan Z proton.
Z selanjutnya disebut nomor atom. Di luar inti atom terdapat Z elektron. Muatan-muatan
partikel berinteraksi sesuai dengan hukum Coulomb. Sifat kimia atom-atom dan molekul
ditentukan oleh struktur elektronnya.
Pada tahun 1911, Rutherford mengajukan model planet bagi atom. Tetapi kesulitan
muncul sehubungan dengan model ini. Menurut teori elektromagnetik klasik, partikel yang
bergerak melengkung dengan kecepatan konstan pasti memperoleh akselerasi dari waktu ke
waktu, karena arah vektor kecepatannya berubah terus menerus. Padahal jika partikel bermuatan
mengalami akselerasi maka ia akan meradiasi energi berupa gelombang elektromagnetik,
Bab I/Pers. Schrodinger/ 7
sehingga elektron sepanjang lintasannya akan kehilangan energi sehingga bentuk lintasannya
seharusnya adalah spiral dan pada akhirnya elektron akan jatuh ke dalam inti.
Salah satu kemungkinan untuk mengatasi kesulitan in, diajukan oleh Niels Bohr, ketika
ia menggunakan konsep energi terkuantisasi pada atom hidrogen. Bohr berasumsi bahwa energi
elektron atom hidrogen terkuantisasi, dan elektron bergerak hanya pada satu lintasan tertentu
yang diijinkan. Jika elektron berpindah dari satu orbit ke orbit yang lain maka akan terjadi emisi
atau absorsi foton menurut relasi:
Etinggi Erendah = h (1-3)
dengan Etinggi dan Erendah adalah tingkat energi.
Kesulitan mendasar yang muncul dalam model atom Bohr, adalah ketika ia
menggunakan mekanika Newton untuk mendeskripsi gerak elektron dalam atom. Fakta spektra
menunjukkan bahwa energi atom bersifat diskrit artinya hanya harga tertentu saja yang
diijinkan, padahal mekanika Newton mengijinkan rentang energi secara kontinum. Pemaksaan
aplikasi mekanika Newton merupakan kelemahan utama model Bohr.
Keadaan terkuantisasi terjadi pada gerak gelombang, misalnya frekuensi nada dasar dan
overton pada senar gitar. Oleh karena itu, De Broglie pada tahun 1923 mengajukan hipotesis
bahwa gerak elektron adalah gerak gelombang dengan panjang gelombang yang dinyatakan
dengan:
h h
= = (1-4)
m v p
dengan p adalah momentum linear, m massa dan v kecepatan elektron. De Broglie
mengemukanan (1-4) melalui alasan dan analogi dengan foton. Menurut teori relativitas
Einstein, energi semua partikel (termasuk foton) dapat dinyatakan dengan E = m . c2 dengan
kecepatan cahaya. Untuk foton, E = h = h c/Penggabungan keduanya menghasilkan =
h/mc = h/p. Persamaan (1-4) adalah analogi dari yang dikenakan pada gerak elektron.
Pada tahun 1927, Davisson dan Germer secara eksperimen melakukan konfirmasi
terhadap hipotesis De Broglie melalui percobaan difraksi elektron. Pada 1932, Stern, melakukan
hal yang sama, kemudian melakukan verivikasi bahwa efek gelombang pada elektron adalah
sesuatu yang tidak mustahil, dan hal ini merupakan konsekuensi dari beberapa hukum gerak
bagi partikel mikroskopik.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 8
Jadi, elektron dalam satu peristiwa menyerupai partikel dan pada peristiwa yang lain
menyerupai gelombang. Dengan demikian kita dihadapkan dengan munculnya kontradiksi yang
disebut “dualitas gelombang-partikel” pada materi (dan cahaya). Bagaimana mungkin, elektron
dapat berlaku sebagai partikel (yang bersifat terlokalisir) sekaligus juga berlaku sebagai
gelombang (yang bersifat takterlokalisir) ? Jawabnya adalah bahwa elektron adalah bukan
partikel dan bukan pula gelombang tetapi sesuatu yang lain. Pengilustrasian secara akurat
terhadap sifat-sifat elektron dengan menggunakan konsep fisika klasik tentang gelombang atau
partikel adalah sangat tidak mungkin. Konsep fisika klasik telah dikembangkan atas dasar
pengalaman dalam dunia makroskopis dan tidak ditujukan bagi dunia mikroskopis.
Meskipun foton dan elektron keduanya menunjukkan gejala dualitas, namun keduanya
tetap bukan merupakan sesuatu yang sejenis. Foton senantiasa bergerak dengan kecepatan c dan
massa diam nol, sedang elektron bergerak dengan v < c dan massa diamnya tidak nol. Foton
harus selalu ditangani secara relativistik sedang elektron yang berkecepatan rendah boleh
ditangani secara non relativistik.
p D
y
A
w B
E
p
Plat Foto
Bab I/Pers. Schrodinger/ 9
Keterangan:
A = ujung atas celah B = Pertengahan celah E = ujung bawah celah
D = difraksi minimum I bagian atas
Gambar 1.1: Difraksi elektron melalui celah
Partikel yang melalui celah yang lebarnya w mempunyai ketidakpastian w pada arah
koordinat x nya pada saat melintas melalui celah tersebut. Jika ketidakpastian arah x ini secara
umum disebut x, maka x = w.
Karena partikel mikroskopik mempunyai sifat gelombang, maka mereka didifraksi oleh
celah dan menghasilkan pola difraksi yang ditangkap oleh plat foto di balik celah. Ketinggian
grafik pada suatu titik di layar foto pada gambar 1-1, diukur berdasarkan banyaknya partikel
yang mencapai titik itu. Pola difraksi menunjukkan bahwa ketika partikel didifraksi oleh celah,
arah geraknya berubah sehingga partikel yang berubah arah itu momentumnya ditransfer ke arah
x. Arah momentum komponen x dinyatakan sebagai proyeksi vektor momentum pada arah x.
Partikel yang arahnya membelok ke atas (arah x positif) dengan sudut sebesar , mempunyai px
= p sin . Partikel yang arahnya membelok ke bawah (arah x negatif) dengan sudut sebesar ,
mempunyai px = p sin . Karena semua partikel mengalami pembelokan dengan rentang
antara sampai dengan adalah sudut untuk minimum pertama dalam pola difraksi, maka
kita akan mengambil separuh sebaran nilai momentum di pusat puncak difraksi sebagai ukuran
ketidakpastian px, jadi px = p sin . Dengan demikian, pada, yaitu tempat dilakukannya
pengukuran,
x . px = p w sin 1-5
Besarnya sudut dapat diketahui lewat pengukuran. Untuk minimum yang pertama,
besarnya sudut diperoleh melalui pengukuran terhadap sudut yang dibentuk oleh lintasan
partikel yang membelok ke minimum pertama bagian atas dengan lintasan partikel yang tidak
mengalami pembelokan. Pada kondisi minimum pertama, perbedaan jarak tempuh partikel yang
mengalami pembelokan dengan yang tidak mengalami pembelokan adalah 1/2
Bab I/Pers. Schrodinger/ 10
Untuk melakukan kalkulasi terhadap difraksi minimum pertama perhatikan gambar 1-2.
Titik A adalah ujung atas celah, titik D adalah titik minimum difraksi pertama, E adalah ujung
D yang diletakkan sedemikian
bawah celah, titik B adalah pertengahan celah., titik C adalah titik
rupa sehingga jarak AD = CD dan BC merupakan selisih jarak BD dengan AD. Mengingat jarak
antara celah dengan plat foto relatif jauh tak terhingga dibandingkan dengan lebar celah, maka
garis AD dan BD relatif hampir paralel. Akibatnya titik C dan B hampir berimpit dan sudut
ACB praktis merupakan sudut lurus dan besarnya sudut BAC = sehingga panjang garis BC =
1/
2w sin BC adalah selisih panjang lintasan partikel yang melalui pertengahan celah dan yang
melalui titik atas celah yang menuju ke titik minimum difraksi pertama D. Karena difraksi dapat
berlangsung, maka ini hanya mungkin jika selisih panjang lintasan itu yaitu BC = 1/2 , jadi w
sin = dan persamaan (1-5) boleh ditulis x.px = pKarena = h/p maka x . px = h.
Karena ketidakpastian tidak dapat didefinisikan secara persis maka penggunaan tanda =
dipandang kurang tepat dan diganti tanda , dan ketidakpastian itu ditulis:
x . px h (1-6)
Dalam pasal (5.1) akan kita bahas definisi statitikal terhadap ketidakpastian untuk
menggantikan (1-6).
A
½W C
B
= /w, jadi makin kecil lebar celah, makin melebar pola difraksi). Fenomena ini disebut Prinsip
Ketidakpastian yang dikemukakan oleh Werner Heissenberg pada tahun 1927.
Perbedaan mendasar antara mekanika klasik dengan mekanika kuantum adalah bahwa
dalam mekanika kuantum state ( posisi, kecepatan, momentum dan gaya yang bekerja) suatu
partikel pada saat tertentu dapat ditentukan secara eksak dengan menggunakan hukum Newton.
Sedang pada mekanika kuantum, karena adanya prinsip ketidakpastian pada pengukuran
momentum partikel, maka state suatu partikel tidak dapat ditentukan dengan pasti tetapi orang
hanya dapat menentukan kebolehjadian suatu partikel menempati state tertentu.
Dalam mekanika kuantum state suatu sistem dapat diperoleh manakala fungsi
gelombang partikel diketahui. Untuk mengetahui fungsi gelombang orang harus mempunyai
persamaan gelombang partikel mikroskopis. Karena persamaan gelombang ini diperoleh oleh
Schrodinger, maka persamaannya disebut persamaan Schrodinger.
Dari definisi itu dapat disimpulkan fungsi gelombang merupakan fungsi koordinat dan
waktu. Agar pembahasannya tidak terlalu rumit maka kita akan mulai dengan membahas
bagaimana persamaan Schrodinger untuk gelombang sebuah partikel satu dimensi. Untuk
Bab I/Pers. Schrodinger/ 12
F ( x, t ) i 2 F( x, t )
= (1-10)
t k2 x2
Sampai saat ini kita masih berada di daerah fisika klasik. Sekarang kita akan masuk ke daerah
kuantum yaitu dengan menggunakan hubungan E = h jadi = E / h jadi:
E
=2=2E/h= (1-11)
Kita juga memanfaatkan dualisme de Broglie yaitu p = h / sehingga:
p
k=2/=2p/h= (1-12)
Subtitusi (1-11) dan (1-12) ke dalam (1-10) menghasilkan:
F ( x, t ) E 2 F ( x, t )
=i (1-13)
t p2 x 2
Karena sudah masuk ke daerah kuantum, maka notasi fungsi gelombangnya diganti (x,t)
sehingga (1-13) ditulis:
( x, t ) 2
E ( x, t )
=i (1-14)
t p2 x 2
E adalah jumlah energi kinetik T dan energi potensial V, jadi:
( x, t ) 2
T V ( x, t )
=i (1-15)
t p2 x 2
atau:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 13
( x, t ) T 2 ( x, t ) 2
V ( x, t )
=i +i (1-16)
t p2 x 2 p2 x 2
Jika T diganti p2/ 2m , maka: diperoleh:
( x, t ) 2 2
1 ( x, t ) V ( x, t )
=i +i (1-17)
t 2m x 2 p2 x 2
atau:
2 2
( x, t ) 2 ( x, t ) 2 V ( x, t )
i = (1-18)
t 2m x 2 p2 x 2
Sebenarnya (1-18) tersebut sudah merupakan persamaan Schrodinger, tetapi yang lebih lazim
2 ( x, t )
di suku kedua ruas kanan diganti dengan k2 (x,t) yaitu analog dengan (1-9)
2
x
sehingga (1-18) boleh ditulis:
2
( x, t ) 2 ( x, t ) V 2
i = 2 k (x,t) (1-19)
t 2m x 2 p2
padahal = 2 jadi:
( x, t )
= h (x,t)
i t
Karena h = E, maka:
( x, t )
= E (x,t) (1-21)
i t
atau:
1 ( x, t )
=E (1-22)
i ( x, t ) t
2
2
Dalam mekanika kuantum maka V juga disebut operator energi. Jadi dikenal dua
2m x 2
2
2
macam operator energi yaitu dan V. Pada perkembangan berikutnya nanti
i t 2m x 2
2
2
operator energi yang lebih populer adalah V yang juga dikenal dengan nama
2m x 2
atau:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 15
2
2
E = V (1-25b)
2m x 2
2
2
Setelah kita tahu bahwa V adalah operator untuk E padahal kita juga tahu bahwa
2m x 2
1 2
E = T + V maka sudah dapat dipastikan bahwa adalah operator untuk T atau
2m x 2
merupakan peluang pada waktu t untuk menemukan partikel sepanjang sumbu x yang terletak
2
antara x dengan x + dx. Fungsi (x ,t ) adalah fungsi kerapatan peluang (probability density)
dianggap bahwa pada sembarang waktu tertentu t0 sebuah partikel didiskripsi oleh fungsi
2
bx
gelombang a. e dengan a dan b adalah tetapan real. Jika kita mengukur posisi partikel pada
saat t0 , kita dapat memperoleh sembarang harga x sebab nilai rapat peluangnya yaitu
2
2 2 bx
a e tidak nol, berapapun harga x-nya. Nilai x = 0 adalah lebih baik dibandingkan nilai x
eksperimental, kita harus mengambil sejumlah sistem identik yang tidak saling berinteraksi,
masing-masing berada dalam keadaan yang sama. Kemudian kita dapat mengukur posisi
dalam masing-masing sistem. Jika kita mempunyai n sistem dan membuat n pengukuran, dan
jika dnx adalah banyaknya pengukuran yang dimana kita menjumpai partikel terletak antara x
dan x + dx, maka dnx/n adalah peluang mendapatkan partikel pada posisi antara x dan x + dx.
Jadi:
dn x 2
= dx
n
Kuantum mekanik pada dasarnya dilandasi oleh sifat statistikal. Dengan memahami
keadaan sistem pada saat tertentu, kita tidak dapat memprediksi hasil pengukuran posisi secara
pasti. Kita hanya dapat memprediksi kemungkinan dari berbagai hasil yang mungkin. Teori
Bohr yang menyatakan bahwa elektron beredar pada lintasan yang berjarak pasti dari inti,
merupakan pernyataan yang tidak dapat diterima oleh mekanika kuantum.
d 2 ( x) 2m
+ (E V(x) ) ( x) 0 (1-28)
2
dx 2
Bab I/Pers. Schrodinger/ 17
Persamaan (1-28) dapat diturunkan dari persamaan (1-20a) melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
Perlu diketahui bahwa ( x , t ) adalah gabungan dari x dan t dan dinyatakan:
( x , t ) = x . t (1-29)
Jika (1-29) dimasukkan ke dalam (1-20a) diperoleh:
2
x t 2 x t
= + V(x, t) x t (1-30)
i t 2m x 2
Jika kita batasi bahwa fungsi energi potensial hanya merupakan fungsi x saja dan bebas waktu,
maka (1-30) ditulis:
x t 2 2 x t
= + V(x) x t
i t 2m x 2
atau:
d t 2 d 2 x
x = t + V(x) x t (1-31)
i dt 2m dx 2
Jika ruas kiri (1-32) dibandingkan dengan (1-22) maka ruas kiri (1-32) itu adalah E, jadi (1-32)
dapat ditulis:
2
2 1 d x
+ V(x) = E atau
2m x dx 2
2
2 d x d 2 ( x ) 2m
+ V(x) x = E x atau: + (E V(x) ) ( x ) 0
2m dx 2 dx 2 2
Persamaan diatas adalah persamaan (1-28) yang kita turunkan.
Selanjutnya untuk mengetahui penyelesaian t kita ikuti langkah berikut:
Seperti ruas kanan, ruas kiri (1-32) = E, maka:
1 d t 1 iE
=E atau d t = dt
i t dt t
yang jika diintegralkan:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 18
iEt
ln t +c
jadi:
iEt /
t e C .e iEt / = A. e
*
( x , t ) adalah fungsi konjugat dari ( x ,t ) yaitu ( x ,t ) yang i nya diganti i.
1.6 Probabilitas
2 *
Telah kita bicarakan bahwa kerapatan peluang = (x ,t ) = ( x , t ) . ( x ,t ) sedang
peluang mendapatkan partikel pada segmen sepanjang dx yaitu dari x sampai x + dx adalah
2
( x , t ) dx = (*x ,t ) . (x ,t ) dx, maka untuk menentukan peluang untuk rentang tertentu misal
dari a sampai b, adalah menjumlahkan peluang dari segmen ke segmen sepanjang antara a dan
b. Penjumlahan seperti itu pada dasarnya adalah pengintegralan.
Jadi:
b b
2 *
P( a < x < b ) = ( x ,t ) dx = ( x ,t )
. ( x ,t ) . dx (1-36)
a a
Jika interval dari a sampai b tersebut dimulai dari ~ sampai + ~ maka peluang dijumpai
partikel pada interval tersebut pasti = 1 artinya kita pasti menjumpai partikel jika kita
mencarinya mulai dari posisi ~ sampai + ~. Jadi kita boleh menulis:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 19
~ 2 ~
P( ~ < x < +~ ) = ( x ,t ) dx = *( x , t ) . ( x ,t ) . dx = 1 (1-37)
~ ~
Fungsi gelombang partikel yang memenuhi persamaan (1-37) disebut fungsi gelombang
ternormalisasi.
Soal-soal Bab 1
1. Hitunglah panjang gelombang de Broglie dari sebuah elektron yang melintas dengan
kecepatan 1/137 kali kecepatan cahaya. (dengan kecepatan tersebut, pendekatan relativistik
boleh diabaikan).
2. Fungsi kerja Na adalah 2,28 eV. Tentukan:
a. energi kinetik maksimum dari fotoelektron yang diemisi oleh Na , jika proses fotolistrik
tersebut menggunakan cahaya ultra violet yang panjang gelombangnya 200 nm.
b. berapa panjang gelombang cahaya maksimal yang masih dapat menghasilkan fotolistrik
terhadap Na ?
3. Ketika J.J Thomson melakukan investigasi terhadap elektron melalui eksperimen tabung
sinar katoda, ia melakukan pengamatan terhadap sifat-sifat elektron dengan menggunakan
pendekatan mekanika klasik.
a. Jika elektron diakselerasi dengan energi kinetik 1000 eV, dan melalui celah yang lebarnya
0,1 cm, berapakah besarnya sudut difraksi dalam gambar 1.1
b. Berapa lebar celah yang diperlukan agar elektron dengan energi kinetik 1000 eV
menghasilkan = 1o ?
4. Diketahui sebuah partikel dalam sistem satu dimensi yang dinyatakan oleh fungsi:
2
= a e -i b t e -b m x / .
a dan b adalah konstanta dan m adalah massa patikel. Dengan menggunakan persamaan
Schrodinger bergantung waktu, tentukan fungsi energi potensial bagi sistem tersebut.
Diketahui sebuah partikel dalam sistem satu dimensi yang dinyatakan oleh fungsi:
2
x = b x e c x . Tentukan energi partikel tersebut jika diketahui:
Jawab:
1. Gelombang de Broglie :
p = h
p=m.v
Dengan memasukkan harga m dan v elektron, p dapat dihitung. Jika p sudah diketahui,
dapat dihitung.
2. Dalam fotolistrik berlaku
a. E foton = h . = h . c = + Ekinetik
dengan memasukkan harga dan dan fungsi kerja maka enegi kinetik dapat dihitung
b. Untuk menghirung ambang gunakan: h . c >
( x , t ) 2
= a e -i b t e - b m x /
i t i t
2 d -i b t 2
a e - b m x / e a e - b m x / . i . b e -i b t
i dt i
2
b a e - b m x / . e -i b t b
2
2 ( x , t )
b ( x, t) = + V(x, t) ( x , t )
2m x 2
2 d 2 bmx 2 /
. a e- i b t e
2m dx 2
2 d d bmx 2 /
. a e- i b t . e
2m dx dx
2 d 2bmx bmx 2 /
. a e- i b t .- e
2m dx
2 2bm - i b t d 2
. ae x . e bmx /
2m dx
2 2bm - i b t bmx 2 / 2b m 2
. ae e 1 x
2m
2 2bm 2b m 2
. 1 x
2m
2b m 2
b . 1 x
Sekarang persamaan Schrodinger menjadi:
2b m 2
b ( x, t) b . 1 x ( x, t) + V(x, t) ( x , t )
atau:
2b m 2
b ( x, t) b . 1 x ( x, t) + V(x, t) ( x , t )
atau:
2b m 2
b b . 1 x + V(x, t)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 23
= b b + 2b 2 m x 2
= 2b 2 m x 2
5. Berbeda dengan soal no. 4 yang fungsi gelombangnya merupakan fungsi x dan t, maka
pada soal no. 5 ini fungsi gelombangnya hanya merupakan fungsi x, sehingga untuk
menyelesaikannnya kita gunakan persamaan Schrodinger tak bergantung waktu (Persamaan
5-1)
2
d ( x ) 2m
+ (E V(x) ) ( x) 0 (5-1)
2 2
dx
Jika V kita masukkan akan kita peroleh:
d 2 ( x ) 2m
+ (E 2c 2 2 x 2 / m ) ( x ) = 0
dx 2 2
Kita selesaikan suku pertama ruas kiri:
d 2 ( x ) d d 2 d d 2 d 2 2
. e c x . e c x e c x e c x
dx 2 dx dx dx dx dx
d 2 2 2
e c x e c x e c x
dx
2
e c x
2
e c x
2
e c x
Dengan demikian persamaan Schrodinger menjadi:
2m
( 2c 2 2 x 2 / m
2
atau:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 24
2m
2c 2 2 x 2 / m
2
2m 2
2c 2 2 x 2 / m 2c 2 2 x 2 / m
2 2m
Jadi:
2 2 2 2 2 2
m m m m m m
Bab I/Pers. Schrodinger/ 25
BAB II
PARTIKEL DALAM BOX
2.1 Pengantar
Elektron dalam atom dan molekul dapat dibayangkan (meski tidak persis benar) mirip
dengan partikel yang berada dalam box. Dalam kasus ini daerah di dalam box tempat partikel
tersebut bergerak, berpotensial nol, sedang daerah diluar box berpotensial tertentu atau tak
terhingga, jadi box dibayangkan sebagai ruangan dengan dindingnya adalah energi potensial..
Pada perkuliahan Fisika Modern sebelum ini, kita sudah membahas secara elementer mengenai
gerak partikel dalam box ini, sekarang kita akan membahasnya lagi secara lebih mendalam
karena banyak aspek filosofis yang belum kita bahas pada perkuliahan tersebut. Selain itu pada
bab ini kita juga akan membahas, bagaimana fungsi gelombang partikel yang berada di luar box,
dan bagaimana pula fungsi gelombang partikel bebas. Meskipun partikel dalam box yang kita
bicarakan ini sangat tidak realistik tetapi ternyata sebagai pola berfikir, ia banyak memberi
sumbangan untuk memahami fenomena-fenomena yang selama ini belum terjangkau nalar.
Pada uraian mengenai penurunan fungsi gelombang, kita akan membuat penyelesaian
persamaan Schrodinger. Karena persamaan tersebut adalah persamaan differensial orde dua
maka ada baiknya kita pelajari lagi bagian terpenting dari persamaan orde dua yaitu:
d2 d
a 2Y +b Y +cY= 0 (2-1)
dx dx
yang boleh ditulis: aD2Y + bDy + cY = 0 atau:
(aD2 + bD + c)y = 0 (2-2)
dan
aD2 + bD + c = 0 disebut persamaan karakteristik (2-3)
Penyelesaian umum persamaan differensial orde dua (2-1) tersebut
adalah:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 26
D1 x D2 x
Y= A.e + B. e
Contoh:
Tentukan bentuk umum penyelesaian 2Y" + 3Y' + 4Y = 0
Jawab:
Persamaan karakteristiknya : 2D2 + 3D + 4 = 0, akar-akarnya:
3 21
D1 . 2 = =/ +5 / i 3
4
1
4
4
Jadi Penyelesaiannya adalah:
Y=A. e
3 / 4 51 / 4 i x
+B. e
3 / 4 51 / 4 i x
Hal lain yang perlu diingat ialah bahwa mekanika kuantum melibatkan tidak hanya bilangan real
tetapi juga bilangan komplek, jadi sifat-sifat bilangan komplek harus diingat kembali.
Vx
I II III
x=0 x=a
Bab I/Pers. Schrodinger/ 27
Gambar 2.1: Fungsi energi Potensial Partikel dalam Box satu Dimensi
Dari gb.2.1 tampak bahwa sumbu x terbagi atas tiga area, yaitu area I ( x < 0), area II (0< x <a)
dan area III ( x >a). Tugas kita adalah menentukan fungsi gelombang partikelnya dan
menentukan energi partikel pada masing-masing daerah tersebut. Untuk ini kita harus
menyelesaikan persamaan Schrodinger bebas waktu atau persamaan (5-1 Bab I)
d 2 ( x ) 2m
2
+ 2
(E V(x) ) ( x) 0 (2-4)
dx
Jika partikel berada di luar box (daerah I dan III) , Vx = , sehingga (EV) = dan
persamaan (2-4) dapat ditulis:
d 2x
x (2-5)
dx 2
Jadi:
2
1 d x
x = atau x = 0 (2-6)
dx 2
1/ 2 1/ 2
i ( 2 mE ) x/ i ( 2 mE ) x/
= A. e + B .e (2-8)
Agar bentuknya sederhana (2 mE)1/2 x / ditulis sehingga (2-8) ditulis:
(x) = A. e i i (2-9)
Menurut persamaan Euler : ei = cos + i sin dan i = cos i sin sehingga (2-9) dapat
ditulis:
(x) = A( cos + i sin ) + B. (cos i sin
= A cos + A i sin + B. cos i sin
= A cos + B. cos A i sin i sin
= (A + B) cos (A i i ) sin
(x) = P cos Q sin (2-10)
dengan P dan Q adalah tetapan sembarang yang baru. Dengan mengembalikan harga maka (2-
10) dapat ditulis:
(x) = P cos {(2 mE)1/2 x / } + Q sin (2 mE)1/2 x / } (2-11)
Untuk menentukan P dan Q kita gunakan kondisi khusus tertentu. Kita postulatkan bahwa
adalah kontinum, artinya tidak ada lompatan nilai jika x kontinum. Ini berarti diluar box,
nyambung dengan di dalam box ketika melalui dinding box (pada x = 0 atau x = a).
Padahal diluar box = 0 dimanapun termasuk di dinding box, jadi di dalam boxpun harus
bernilai nol ketika melalui dinding. Jadi, di dinding box ketika x = 0, maka pada (2-11)
adalah nol, jadi:
(x) = P cos {(2 mE)1/2 .0 / } + Q sin{(2 mE)1/2 .0 / }= 0
Jadi:
(x) = P cos 0 + Q sin 0 = 0
P + 0 = 0 jadi P = 0
Kalau P = 0, maka Q tidak mungkin 0 karena sin 0 sudah pasti 0 dan (2-11) menjadi:
(x) = Q sin (2 mE)1/2 x / (2-12)
Untuk menentukan harga P, kita gunakan x = a. Pada kondisi ini juga harus = 0. Jadi:
Q sin (2 mE)1/2 a / = 0
Karena Q pasti tidak nol, maka:
sin (2 mE)1/2 a / = 0 sehingga
Bab I/Pers. Schrodinger/ 29
(2 mE)1/2 a / = + n (2-13)
Jika kedua ruas dikuadratkan, maka:
2mE a2 / 2 = n22
Dari sini kita peroleh:
2 2 h2
E = n2 = n2 n = 1, 2, .... (2-14)
2m a 2 8m a 2
Mengapa harga n tidak dimulai dari nol ? Jika n = 0 diijinkan berarti pada keadaan itu E = 0. E
= 0 tidak mungkin, karena dengan demikian hanya terjadi jika partikel tidak bergerak. Untuk
partikel yang bergerak E = 0 tidak diijinkan, jadi n = 0 juga tidak diijinkan.
Jika E pada (2-14) kita masukkan pada (2-12), kita peroleh:
n
= Q sin x (2-15)
a
Untuk memperoleh Q, kita gunakan sifat fungsi ternormalisasi, yaitu bahwa fungsi normal,
harga total peluangnya = 1, jadi:
l
2
P( 0 < x < a ) = dx = 1, jadi:
0
a
2 n x dx =
Q2 sin a
1
0
Jadi:
1/ 2
2
Q=
a
Dengan demikian fungsi gelombang partikel dalam box satu dimensi diperoleh, yaitu:
1/ 2
2 n
(x) = sin x (2-16)
a a
Gambar 2.2. Grafik fungsi gelombang Partikel Dalam Box Satu Dimensi
akibatnya suku pertama persamaan (2-17) di atas akan menjadi jika pada x = . Hal ini
melanggar ketentuan bahwa berapapun harga x yang kita pilih, harga harus tidak tak
terhingga. Jadi untuk partikel bebas:
E 0 (2-18)
Berbeda dengan partikel tak bebas yang energinya terkuantiasi (= diskrit = hanya mempunyai
harga tertentu saja), maka partikel bebas dapat mempunyai sembarang harga (kontinum) asal
tidak negatif.
Hal penting lain adalah bahwa fungsi gelombang partikel bebas tidak dapat
dinormalisasikan karena * dx tidak mungkin = 1, padahal syarat ternormalisasi adalah
* dx = 1.
d 2 ( x ) 2m
+ (E V0 ) ( x ) 0
dx 2 2
sehingga penyelesaiannya adalah:
2 m( V0 E )1/ 2 x / 2 m( V0 E )
1/ 2
x/
(x) = A. e + B .e
Sekedar membedakan antara penyelesaian I dan penyelesaian III maka untuk penyelesaian I kita
tulis:
2 m( V0 E )1/ 2 x / 2 m( V0 E )
1/ 2
x/
(x) = C. e + D .e (2-19)
sedang penyelesaian III, kita tulis:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 32
2 m( V0 E )1/ 2 x / 2 m( E V0 )
1/ 2
x/
(x) = F. e + G .e (2-20)
I II III
Vx
x=0 x=a
(a) (b) (c)
Gambar 2.4: (a) Energi Potensial Untuk partikel dalam one dimension rectangular
well (b) Fungsi gelombang keadaan dasar (ground state) pada potensial
tersebut (c) Fungsi gelombang keadaan eksitasi pertama (first excited
state) pada
potensial tersebut
diijinkan. Analog dengan itu, pada Y daerah III, F juga harus nol, sehingga persamaan (2-19)
dan (2-20) berturut-turut menjadi:
2 m( V0 E )1/ 2 x /
(x)= C. e (2-21)
2 m( E V0 )
1/ 2
x/
(x) = G . e (2-22)
Untuk memperoleh harga C, maka kita terapkan kondisi batas, bahwa di x = 0, nilai daerah I
= daerah II, sedang untuk mencari F kita terapkan bahwa di x =a, nilai daerah II = dengan
daerah III. Jadi:
I = II ( x = 0) (2-23)
II = III (x =a) (2-24)
Ada 4 konstanta yang harus ditentukan yaitu C untuk I, G untuk III serta P dan Q untuk II.
Jadi hanya dengan (2-23) dan (2-24)saja, tidak mungkin kita menentukan 4 tetapan. Untuk itu
kita gunakan:
dI/dx = dII/dx ( x = 0) (2-25)
dII/dx = dIII/dx (x =a) (2-26)
1/ 2
V0 E
Dari (2-23) kita peroleh C = P. Dari (2-25) kita peroleh Q = . P . Dari (2-24) kita
E
2mV 0 E
1/ 2
= i 2m V 0 E
1/ 2
(x) = C. e
i 2 m ( V0 E ) 1/ 2 x / + D . e i2 m ( V0 E) 1/ 2 x / (2-27)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 34
(x) = F. e
i 2 m ( V0 E ) 1/ 2 x / + G . e i2 m ( V0 E ) 1/ 2 x/ (2-28)
Ternyata bentuk persamaan (2-27) dan (2-28) ini identik dengan persamaan (2-17) yaitu fungsi
gelombang partikel bebas. Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk energi potensial V0 yang
terhingga dan E > V0 ternyata partikel dalam keadaan bebas dan kondisi ini disebut unbound
state. Dengan logika sebaliknya maka untuk E < V0 kondisinya disebut bound state.
Studi yang detail menunjukkan bahwa banyaknya bound state energi level dinyatakan
dengan persamaan:
N
8mVo 1 / 2. a
h
dengan m adalah massa partikel, Vo adalah energi potensial a adalah panjang box dan h adalah
tetapan Planck
Emisi partikel dari inti radioaktif merupakan efek tunneling yang dimiliki oleh partikel
alfa menembus potensial penghalang yang ditimbulkan oleh gaya akibat interaksi antar partikel
inti. Mengapa molekul NH3 berbentuk piramid dan tidak planar sedang BF3 berbentuk planar
dapat dijelaskan melalui pemahaman terhadap efek ini. Ada sejumlah energi potensial yang
menghalangi konversi dari bentuk planar ke piramidal. Atom H nya amoniak (karena massanya
kecil dapat menembus potensial penghalang itu sehingga H tidak berada sebidang dengan N
sementara itu atom F yang ukurannya besar tidak mampu menembus potensial penghalang. Efek
terobosan elektron memberi sumbangan yang signifikan untuk menjelaskan terjadinya reaksi
oksidasi reduksi pada proses elektroda. Efek ini juga memberikan sumbangan pada penentuan
laju reaksi kimia yang melibatkan hidrogen. (R.P.Bell, 1990)
V0
x
Gambar 2.5: Energi Potensial partikel dalam box satu dimensi
dengan ketinggian dan ketebalan tertentu.
Mikroskop jenis tertentu (disebut The scanning tunneling microscope yang ditemukan
pada 1981) memanfaatkan sifat terobosan elektron melalui ruang antara kumparan kawat logam
dengan permukaan padatan yang dapat menghantarkan arus listrik untuk menghasilkan image
atau gambaran masing-masing atom pada permukaan logam.
Soal-Soal Bab 2
1. Selesaikan Persamaan y'' + y' 2y = 0 dengan kondisi batas untuk x = 0, y = 0 dan untuk x =
0, y' = 1
2. Sebuah obyek makroskopik massanya 1 gram melintas dengan kecepatan 1 cm/s dalam kotak
satu dimensi yang panjangnya 1 cm. Tentukan bilangan kuantum n.
3. Elektron dalam atom atau molekul dapat secara ekstrim dipandang sebagai partikel dalam
box satu dimensi yang panjang boxnya mempunyai order ukuran atom atau molekul.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 36
a) Untuk elektron yang berada dalam box yang panjangnya 1 Ao hitunglah selisih dua energi
level terendah
b) Hitunglah panjang gelombang foton yang setara dengan transisi kedua level energi
tersebut.
4. Ketika sebuah partikel yang massanya 9,1 x 1028 gram berada dalam box satu dimensi
mengalami transisi dari n = 5 ke n = 2, ia mengemisi foton dengan frekuensi 6,0 x 1014 s1.
Tentukan panjang box.
5. Ketika sebuah elektron yang berada pada energi level tertentu mengalami transisi ke level
dasar dalam sebuah box satu dimensi yang panjangnya 2 Ao , ia mengemisi foton yang
panjang gelombangnya 8,79 x 109 m. Tentukan dari energi level ke berapa elektron tersebut
berasal ?
6. Elektron pi dalam molekul terkonjugasi, misal 1, 3 butadiena, dapat dipandang sebagai
elektron yang bergerak dalam kotak satu dimensi yang panjang sama dengan panjang
molekulnya. Dengan menggunakan aturan Pauli yang mengijinkan satu energi level dihuni
oleh sepasang elektron yang spinnya berlawanan, tentukan panjang gelombang foton yang
diserap jika elektron pi yang berada pada energi level tertinggi berpindah ke energi level
terendah yang kosong. (Panjang molekul = 10 Angstroom)
7. Tulis fungsi gelombang partikel bebas satu dimensi bergantung waktu.
8. Buatlah sket untuk n = 3, 4 dan 5
9. Sebuah elektron yang berada pada box satu dimensi dengan energi potensial 15 eV. Jika
panjang box 2 Angstroom, berapakah banyaknya bound state yang diijinkan ?
10. Jawablah betul atau salah pernyataan-pernyataan berikut:
a) Partikel yang berada dalam box satu dimensi dengan energi level dasar (Ground State
Energy Level, mempunyai bilangan kuantum n = 0
b) Fungsi gelombang stasioner dari sebuah partikel dalam kotak adalah diskontinus pada titik
tertentu.
c) Turunan pertama dari fungsi gelombang stasioner dari sebuah partikel dalam kotak adalah
diskontinus pada titik tertentu.
d) Probabilitas maksimum setiap partikel dalam box selalu terletak di pertengahan
panjangnya box.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 37
e) Untuk partikel dalam box dengan n = 2, probabilitas pada posisi kuarter kiri =
probabilitas di kuarter kanan.
BAB III
OPERATOR
3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya
Sekarang kita akan mempelajari mekanika kuantum dalam tampilan yang lebih umum
dari pada sebelumnya. Kita mulai dengan memperhatikan persamaan Schrodinger satu dimensi
bebas waktu yaitu:
2 d2
+ V(x) ( x) E( x) (3-1)
2m dx 2
A B f ( x ) Af ( x ) Bf ( x )
(3-2)
A B f ( x) Af ( x) Bf ( x)
Perkalian dua buah operator A dan B didefinisikan oleh persamaan berikut:
A . B f (x) = A [ B f (x) ] (3-3)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 38
Dengan merujuk pada (3-3) berarti, yang beroperasi lebih terhadap fungsi adalah operator yang
paling kanan baru kemudian operator yang kiri. Sudah barang tentu jika kita jumpai penulisan:
B . A f(x) maka yang dioperasikan dulu harus A baru kemudian B . Yang perlu dipertanyakan
adalah samakah A B f(x) dengan B A f(x). Pada umumnya A . B B . A . Tetapi untuk
kasus-kasus khusus, dapat saja terjadi A . B = B . A . Untuk jelasnya perhatikan contoh berikut:
Contoh 1:
Diketahui A = d/dx ; B = 3 sedang f (x) = x2 + 5 . Akan kita selidiki apakah A . B = B . A
jika dioperasikan pada f (x)
Jawab:
A . B f (x) = d/dx . 3 ( x2 + 5) = d/dx . [ 3 ( x2 + 5) ] = d/dx ( 3x2 + 15) = 6 x
B . A = 3 . d/dx ( x2 + 5) = 3 . [d/dx ( x2 + 5) ] = 3 ( 2x) = 6 x
Tampak dari perhitungan tersebut A . B = B . A atau A . B B . A = 0
Contoh 2:
Diketahui A = d/dx ; B = x 2 sedang f (x) = x2 + 5 . Akan kita selidiki apakah A . B = B . A
jika dioperasikan pada f (x)
Jawab:
A . B f (x) = d/dx . x 2 ( x2 + 5) = d/dx . [ x 2 ( x2 + 5) ] = d/dx (x4 + 5x2 ) = 4x3 + 10 x
B . A = x 2 . d/dx ( x2 + 5) = x 2 . [d/dx ( x2 + 5) ] = x 2 ( 2x) = 2x3
Tampak dari perhitungan tersebut A . B B . A atau A . B B . A 0
A, B = A . B B . A (3-4)
Dua buah commutator disebut commute jika A, B = 0 dan disebut non commute jika
A, B 0.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 39
Contoh 3:
Diketahui 3 buah operator yaitu operator A = d/dx (supaya praktis d/dx ditulis D) ; operatot B
= x dan operator C = 3 . Tentukan:
a. Commutekah operator A dan B
b. Commutekah operator A dan C
Jawab:
Untuk mengetahui commute tidaknya pasangan operator maka harus dicari dulu commutator
pasangan tersebut. Untuk soal (a) harus ditentukan dulu commutator A, B . Untuk ini A, B
dioperasikan terhadap sembarang fungsi gelombang misal fungsi F.
Jadi
A, B = 1 A dan B non commute.
= ( D2 + 2 x D + x 2 + 1 ) F
Jadi: ( D + x )2 = ( D2 + 2 x D + x2 + 1 )
Catatan:
Dari contoh di atas tampak bahwa kuadrat jumlah operator tidak sama dengan kuadrat jumlah
pada operasi aljabar.
dengan k adalah konstanta, maka f(x) disebut fungsi eigen dari operator
A sedang k disebut
nilai eigen.
Contoh 5 :
Diketahui operator d/dx dan dua buah fungsi yaitu F(x) = sin 3x dan fungsi G(x) = A e3x.
Tentukan fungsi yang mana yang eigen terhadap operator d/dx ?
Jawab:
Kita selidiki dulu:
d/dx F(x) = d/dx (sin 3 x ) = 3 cos 3x
F(x) bukan fungsi eigen dari d/dx sebab fungsi hasilnya yaitu 3 cos 3 x tidak merupakan
kelipatan fungsi asalnya yaitu sin 3x.
Selanjutnya kita selidiki operasi d/dx terhadap G(x):
d/dx G(x) = d/dx (A e3 x ) = 3 A e3 x = 3 G(x)
Karena hasil operasi merupakan kelipatan fungsi asalnya, maka G(x) merupakan fungsi eigen
terhadap operator d/dx dengan nilai eigen = 3.
Contoh 6:
Diketahui bahwa F(x) adalah fungsi eigen dari operator A dengan nilai eigen = c. Buktikan
bahwa fungsi cF(x) juga eigen terhadap operator A dengan nilai eigen yang sama.
Jawab :
Bab I/Pers. Schrodinger/ 41
dapat ditulis:
F(x) = c F(x)
A
c F(x) =c
A A F(x) = c . c F(x) terbukti
2 d2
H = +V
2m dx 2
2 d2
T =
2m dx 2
2 2
H = +V (3-6)
2m
2 2
T = (3-7)
2m
Bagaimana ekspresi operator energi potensial dalam mekanika kuantum ? Ekspresi energi
potensial dalam mekanika kuantum tidak berbeda dengan ekspresinya dalam mekanika klasik,
karena energi potensial hanya merupakan fungsi koordinat dan sama sekali tidak berhubungan
dengan harga momentum, sehingga energi potensial tidak dipengaruhi oleh prinsip
ketidakpastian Heissenberg. Hanya besaran-besaran yang dipengaruhi oleh prinsip
ketidakpastian saja yang membutuhkan operator mekanika kuantum.
Selain dua jenis operator mekanika kuantum yang sudah kita kenal tersebut kita akan
membahas operator momentum linear satu dimensi yaitu px . Dalam mekanika klasik kita tahu
Bab I/Pers. Schrodinger/ 42
bahwa px = m vx dengan m adalah massa partikel dan vx kecepatan dalam arah x. Hubungan
antara energi kinetik T dengan px dalam mekanika klasik adalah:
p 2x
T= atau:
2m
px = 2mT (3-8)
Jika kita masukkan T pada (3-7) menggantikan T pada (3-8) maka kita peroleh operator
momentum linear satu dimensi yaitu:
d
px = i (3-9)
dx
d
pz = i (3-11)
dz
dengan * adalah konjugate dari . Untuk fungsi real * = sedang untuk fungsi kompleks,
* adalah yang i-nya diganti i.
Contoh 1: Dengan menggunakan fungsi gelombang partikel dalam kotak satu dimensi,
tentukan:
a) harga px
b) harga rata-rata p 2x
2 2
+ V = E (3-12)
2m
2 2
+ V disebut operator Hamilton
H , jadi:
2m
2 2
H = +V (3-13)
2m
2 2 2
2 = + + (3-14)
2 2y 2
1 1 1 2
2 = r2 + sin + (3-15)
r 2 r r r 2 sin r 2 sin 2 2
Suku pertama ruas kanan persamaan Hamilton (3-14) disebut operator energi kinetik, yaitu:
2 2
T = (3-16)
2m
Persamaan Schrodinger yang kita bahas sampai saat ini adalah manakala sistemnya
terdiri atas sebuah partikel. Sekarang kita akan membahas sistem yang terdiri atas n partikel.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 44
. . . n. Energi kinetik sistem adalah total dari energi kinetik masing-masing partikel, jadi:
2 2 2 2 2 2 2 2
T = 1 2 3 . . . . . n (3-17)
2m1 2m 2 2 m3 2m n
atau:
n 2
T= 2 (3-18)
2m i
i 1 i
Selanjutnya kita amati fungsi energi potensialnya. Kita tahu untuk 1 buah partikel 1 dimensi, energi
potensialnya hanya ditentukan oleh koordinat x, jadi:
V = V(x)
Untuk 1 partikel dalam 3 dimensi, energi potensial ditentukan oleh masing-masing sebuah
koordinat x, y dan z, jadi:
V = V ( x, y, z)
Jika sistem terdiri atas n partikel dalam 3 dimensi, maka energi potensialnya tentu ditentukan
oleh 3n koordinat, yaitu:
V = V( x1, y1, z1 , x2 , y2 , z2 . . . . . . xn , yn zn ) (3-19)
n 2
i2 V (x1 . . . . . . z n ) = E (3-21)
i 1 2mi
dengan adalah fungsi gelombang bebas waktu n partikel dalam 3 dimensi, jadi:
= (x1 . . . . . . . . . . . . . . . zn ) (3-22)
Sebagai contoh, untuk dua partikel yang koordinatnya (x1, y1 , z1 ) dan (x2 , y2 ,z2) sehingga
jaraknya adalah { (x1 – x2 )2 + (y1 – y2 )2 + (z1 – z2 )2 }1/2, maka energi potensialnya (berbanding
Bab I/Pers. Schrodinger/ 45
c
terbalik dengan jaraknya) adalah V = , jadi persamaan
x1 x 22 y1 y 2 2 z1 z 2 2
1/ 2
2 2 2 2 2 2
2 2
2m1 x 2 y 2 z 2 2m 2
2 x 2 2
1 1 1 2 y 2 z 2
c
=E (3-23)
x1 x 2 y1 y 2 z1 z 2
2 2 2 1
/ 2
= (x1 , y1 , z1 , x2 , y2 , z2 )
Selanjutnya bagaimana ekspresi terhadap probabilitas kerapatannya ? Dipostulatkan oleh Bohr,
untuk sistem 1 partikel dalam 1 dimensi, probabilitasnya adalah:
2
( x, t ) dx (3-24)
2
d = 1 (3-29)
Catatan:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 46
Penulisan fungsi gelombang dengan psi kapital , berarti fungsi koordinat dan waktu,
sedang jika ditulis dengan psi huruf kecil atau , berarti fungsi gelombangnya hanya fungsi
koordinat saja dan tidak bergantung waktu.
Hubungan antara dan adalah:
= e iEt / (3-30)
Fungsi gelombang disebut fungsi stasioner, jika:
= (3-31)
dengan (x) adalah fungsi gelombang untuk arah x. Analog dengan ini maka untuk arah y dan
arah z yang panjang kotaknya berturut-turut adalah b dan c, fungsi gelombangnya adalah:
1/2
2 n
(y) = sin y
b b
1/2
2 n
(z) = sin z
c c
Sekarang dengan mudah kita dapat membuat fungsi gelombangnya dalam tiga dimensi, yaitu:
1/ 2 n n n
8
` (x , y , z) = sin x sin y sin z (3-32)
abc a b c
dengan n = 0, 1, 2 ....... dan seterusnya. Karena n untuk arah masing-masing tidak harus sama,
maka persamaan (3-32) sebaiknya ditulis:
1/ 2 n y
8 n n
` (x , y , z) = sin z x sin y sin z z (3-33)
abc a b c
Jika kotaknya berbentuk kubus, jadi a = b = c, maka persamaan (3-33) dapat ditulis:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 47
3/ 2 n y
2 n n
` (x , y , z) = sin z x sin y sin z z (3-34)
a a a a
2
h 2 n 2x n y n 2z
E= (3-35)
8m a 2 b 2 c 2
Jika kotak berbentuk kubus, jadi a = b = c, maka, persamaan (3-35) boleh ditulis:
E=
h2
8ma 2
n 2x n 2y n 2z (3-36)
Terdapat kebiasaan orang menyatakan nx , ny dan nz sebagai indek untuk mengetahui state
dari fungsi gelombang yang bersangkutan. Sebagai contoh:
Jika nx = 1 ; ny = 1 dan nz = 1, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk
kubus)
h2
111 dengan energi E = .3
8ma 2
h2
211 dengan energi E = . 6
8ma 2
h2
121 dengan energi E = .6
8ma 2
h2
112 dengan energi E = .6
8ma 2
dan seterusnya sehingga kita dapat membuat tabel energi sebagai berikut:
Catatan:
Dalam rangka kepraktisan maka dalam membuat tabel tersebut yang dimaksud dengan
Eo adalah h2/8ma2
Dari tabel di atas tampak bahwa ada fungsi-fungsi gelombang berbeda yang energinya
sama. Contoh yang energi levelnya 6 Eo ada 3 fungsi yaitu 112 , dan211 . Energi level 9
Eo dan 11 Eo juga dimiliki oleh 3 fungsi gelombang, sedang energi level 14 E0 terdiri atas 6
fungsi gelombang. Beberapa fungsi gelombang berbeda tetapi energinya sama disebut
degenerate. Sedang banyaknya fungsi gelombang untuk energi level tertentu disebut tingkat
degenerasi. Jadi tingkat degenerasi untuk energi level 6 Eo adalah 3 dan disebut three fold
degeneracy. Jika tingkat degenerasinya = 6 seperti pada energi level 14 Eo maka ia disebut six
fold degeneracy.
Marilah kita bahas, teorema yang berhubungan dengan fungsi-fungsi dari n fold
degenarate energy level. Teoremanya adalah sebagai berikut:
Jika terdapat n buah fungsi gelombang yang saling independen yaitu 1, 2 . . . . . . . . .n
yang mempunyai energi yang sama yaitu misal W. sehingga berlaku:
H 1 = W 1 ; H 2 = W 2 ; . . . . . . H n = W n (3-37)
maka sembarang kombinasi linear dari fungsi-fungsi tersebut juga mempunyai energi
level W.
Teorema di atas akan kita buktikan. Jika kita mempunyai n buah fungsi gelombang yaitu 1, 2
. . . . . . . . .n dan kombinasi linear dari fungsi-fungsi tersebut kita sebut , maka hubungan
antara
dengan 1, 2 . . . . . . . . .n adalah:
= c11 + c22 + . . . . . . . . .cnn (3-38)
Kita harus membuktikan bahwa energi level juga W yang dalam bahasa mekanika kuantum
kita harus membuktikan bahwa H = W .
Bukti:
H = H (c11 + c22 + . . . . . . . . .cnn )
= H c11 + H c22 + . . . . . . . . . H cnn
= c1 H 1 + c2 H 2 + . . . . . . . . . cn H n
= c1 W1 + c2 W2 + . . . . . . . . . cn Wn
= W (c11 + c22 + . . . . . . . . .cnn )
= W (terbukti)
Sebagai contoh, fungsi gelombang stasioner 112 , 121 dan 211 untuk partikel dalam kotak
berbentuk kubus adalah degenerate dengan energi level 6E0 dengan demikian maka kombinasi
linearnya yaitu c1112 + c2121 + c3 211 juga mempunyai energi yang sama yaitu 6Eo. Karena
c1 , c2 dan c3 adalah sembarang bilangan konstan, maka kita dapat membuat kombinasi linear
Bab I/Pers. Schrodinger/ 50
yang tak terhingga banyaknya, yang berasal dari ketiga fungsi gelombang tersebut. Meskipun
kita dapat membuat kombinasi linear yang tak terhingga banyaknya namun secara aktual kita
hanya tertarik pada kombinasi fungsi eigen yang linearly independent. Suatu himpunan n fungsi
f1, f2 . . . . fn adalah linearly independent jika c1. f1 + c2 f2 . . . . . + cn fn = 0 hanya dapat
dipenuhi manakala c1 = c2 = . . . . cn = 0. Dengan perkataan lain himpunan fungsi akan linearly
independent jika tidak ada salah satu fungsipun dari himpunan tersebut yang merupakan
kombinasi linear dari fungsi yang lain.
Contoh: Suatu himpunan fungsi terdiri atas f1 = 3x ; f2 = 5x2x dan f3 = x2 adalah bukan
linearly independent karena c1 f1 + c2 f2 + c3 f3 = 0 dapat dipenuhi oleh c1 = 1/3; c2 = 1 dan
c3 = 5. Padahal disebut linearly independen jika c1 = c2 = c3 = 0.
Bagi partikel yang berada dalam bound system, maka * d adalah probabilitas, yang
untuk mengevaluasinya kita harus mengintegralkan. Oleh karena itu harga * d harus
eksis (dapat dihitung). Jika integral tersebut eksis, maka dikatakan bahwa adalah
quadratically integrable, dan ini merupakan syarat yang kedua bagi fungsi gelombang partikel
dalam bound system. Dengan logika terbalik, maka dapat dinyatakan fungsi gelombang yang
tidak quadratically integrable adalah fungsi gelombang untuk partikel dalam unbound system
atau pada partikel bebas.
Kita telah tahu bahwa * adalah probabilitas kerapatan partikel, karenanya ia harus
bernilai tunggal (singled valued). Akan sangat membingungkan jika diperoleh dua harga
berbeda dalam perhitungan probabilitas menjumpai partikel pada titik tertentu. Karena *
harus bernilai tunggal, maka sebagai syarat ketiga fungsi harus bernilai tinggal.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 51
Sebagai tambahan, biasanya juga disyaratkan bahwa selain harus kontinus, turunan-
turunannya juga harus kontinus.
Fungsi gelombang yang memenuhi persyaratan ini disebut well behaved. Jadi suatu
fungsi disebut well behaved jika (1) kurvanya dan kurva turunannya kontinus, (2) bersifat
quadratically integrable dan (3) bernilai tunggal.
Soal-Soal Bab 3:
1. Jika g =
A f, tentukanlah g jika:
a) 2
A = d/dx dan f = cos (x + 1) b)
A = 5 dan f = sin x
c)
A
= ( )2 dan f = sin x d)
A
= exp dan f = ln x
e) 2 2
A = d / dx dan f = ln 3x
a)
A f(x) b)
B A f(x) c)
AB
d) f(x)
A e) [
A , B] f) f(x)
A B g(x)
3) Jika 2
D = d/dx buktikan bahwa ( D + x ) ( D x ) = D x 1
2
b. Kapan ( 2 2 2
A + B) = A + 2 A B + B ?
7) Tentukanlah:
a) [ sin z , d/dz ] b) [d2/dx2 , ax2 + bx + c ] c) [d/dx , d2/dx2 ]
8. Manakah di antara fungsi-fungsi berikut yang merupakan fungsi-eigen dari d2/dx2 ?
a) ex b) x2 c) sin x d) 3 cos x e) sin x + cos x
Tentukan nilai eigennya, jika fungsinya adalah fungsi eigen.
9. Tentukan operator momentum untuk besaran fisik berikut:
a) p 3x b) x py y px c) (x py y px)2
a) [ x , p x ] b) [ x , p 2x ] c) ) [ x , p y ] d) ) [ x ,
H ] dengan H adalah
operator Hamilton; e) ) [ x y 2
z , px ]
11. Sebuah elektron berada dalam kotak tiga dimensi dengan a = 1 nm , b = 2 nm dan c = 5 nm.
Tentukan berapa probabilitasnya agar pada pengukuran posisinya akan dijumpai elektron
pada batas-batas 0 < x < 0,4 nm ; 1,5 nm < y < 2 nm dan 0 < z < 5 nm ?
12. Apakah fungsi gelombang partikel dalam kotak tiga dimensi, merupakan fungsi eigen
terhadap operator-operator berikut:
a) p x b) p 2x c) p 2z d) x
13. Jika tak ternormalisasi, dan A adalah suatu bilangan konstan yang membuat A menjadi
ternormalisasi, maka tentukan A dinyatakan dalam . (Catatan: A disebut faktor normalisasi)
14. Dalam mekanika kuantum istilah state tidak sama dengan istilah energi level. Untuk partikel
dalam kotak berbentuk kubus tentukan ada berapa state dan ada berapa energi level yang
terletak pada rentang E < 15 h2/8ma2 ?
15. Jika h2/8ma2 disebut Eo, tentukan berapa tingkat degeneracy dari energi level:
a. 3 Eo b) 12 Eo c) 27 Eo ?
Bab I/Pers. Schrodinger/ 53
16. Mana di antara himpunan berikut yang merupakan himpunan fungsi independen secara
linear (Linearly independent function?
a) x ; x2 ; x6 b) 8, x , x2 , 3x21 ; c) sin x , cos x d) sin x , cos x , eix
===000====
BAB IV
OSILATOR HARMONIS
4.1 Osilator Harmonis Satu Dimensi
Dalam pasal ini akan kita bahas osilator harmonis yang merupakan model yang sangat
penting untuk memahami vibrasi molekul. Pembahasan secara klasik akan diulas lebih dulu
sebelum membahasnya secara kuantum.
4.1.1 Tinjauan Secara Mekanika Klasik
Osilator harmonis terjadi manakala sebuah partikel ditarik oleh gaya yang besarnya
sebanding dengan perpindahan posisi partikel tersebut. Gaya itu adalah:
F(x) = k x (4-1)
dengan k adalah tetapan gaya dan F(x) adalah gaya berarah x yang bekerja pada partikel. Jika (4-
1) dikorelasikan dengan Hukum Newton kedua, F = m a, maka:
d2x d2x 2
d
m 2
= k x atau m 2
+kx=0 atau k / m x = 0 (4-2)
dt dt dt
Persamaan (4-2) adalah persamaan diferensial orde kedua, yang persamaan karakteristiknya
adalah: D2 + k/m = 0 sehingga akar-akarnya adalah D1..2 = + i (k/m)1/2
Jadi penyelesaian (4-2)
1/ 2 1/ 2
x = A1. e ( k / m) t
+ A 2 . e i ( k / m) t
Suku kedua ruas kanan kana pasti 0 karena sin 0 = 0, sehingga A" pasti tidak nol. Karena suku
kedua nol, maka suku pertama harus 0. Karena cos 0 adalah 1, maka A' harus 0, sehingga (4-3)
ditulis:
x = A" sin (k/m)1/2 t
Karena A' sudah tidak ada, maka tanda " pada A" boleh tidak ditulis, hingga:
x = A sin (k/m)1/2 t (4-4)
Karena periode fungsi sinus adalah 2, maka akan mudah penerapannya nanti, jika
(k/m)1/2 dinyatakan dalam kelipatan 2= kelipatan periode = n . 2). :
(k/m)1/2 = n . 2 jadi: n = (1/2)(k/m)1/2
n tersebut adalah banyaknya periode jadi = banyaknya osilasi persatuan waktu, yang dalam
bahasa fisik disebut frekuensi dan lazimnya tidak diberi notasi n tetapi . Jadi:
(k/m)1/2 = (4-5)
Dengan demikian (4-4) ditulis
x = A sin 2t (4-6)
Selain dapat digunakan untuk menentukan x, (4-1) juga dapat digunakan untuk menentukan
energi potensial. Kita tahu bahwa hubungan antara gaya dengan energi potensial menurut
persamaan (4-5 bab I) adalah:
dV
= F(x) = (k x ) = k x
dx
jadi dV = k x dx
V = 1/ 2 k x 2 (4-7)
Dengan menggunakan (4-5), maka k = 4m, energi potensial V dapat ditulis:
V = 22 2 m x2 (4-8)
Selanjutnya bagaimanakah energi kinetik T ? T = 1/2 mv2 dengan v = dx/dt, jadi:
T = 1/2 m (dx/dt)2
Dengan menggunakan x pada (4-6) kita peroleh:
T = 1/2 m (A 2 cos 2t)2 = 2 m22 A2cos2 2t (4-9)
Penentuan E (energi total osilator harmonis, diperoleh dengan menjumlah T dan V, jadi:
E = T + V = 1/2 m A2 cos2 2t + 1/2 k x2
= 12 m22 A2cos2 2t + 1/2 k A2 sin2 2t
Bab I/Pers. Schrodinger/ 55
d 2 (x) 2m
+ (E 2 mx ) ( x ) 0 (4-11)
dx 2 2
atau:
d 2 (x)
+ (2mE 2 4 m 2 2 x )( x ) 0 (4-12)
dx 2
Agar penulisannya praktis 2m/ diganti sehingga (4-12) menjadi:
d 2 (x)
+ (2mE 2 2 x )( x ) 0 (4-13)
dx 2
atau:
Untuk itu kita misalkan:
f = c 0 + c 1 x + c 2 x2 . . . . . c n x n = cn x n (4-18)
n 0
jadi:
f ' = 0 + c1 + c2 x1 . . . . . ncn xn1 = n c n x n 1 (4-19)
n 0
dan:
f '' = c2 + . . n (n1) xn2 = n (n 1)c n x n 2 = (n 2)(n 1)c n 2 x n (4-20)
n 2 n 0
atau:
(n 2)(n 1)c n 2 x n 2 n c n x n + (2mE 2 ) c n x n = 0
n 0 n 1 n 0
atau:
(n 1)(n 2)c n 2 2 n cn + (2mE 2 ) cn x n =0
n 0
Sehingga diperoleh:
2n 2mE 2
cn2 = cn (4-21)
(n 1) (n 2)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 57
Dengan persamaan (4-21), yang disebut relasi recursi, kita dapat menghitung c3 , c5 . . . . dan
seterusnya, jika kita tahu c1. Kita juga dapat menghitung c2 , c4 , . . . . dan seterusnya, jika c0
diketahui. Jika kita set c1 = 0, maka c3, c5 . . . dan seterusnya pasti nol, sehingga fungsi
gelombang osilator harmonis menjadi:
2 2
(x) = e x / 2 . f(x) = e x / 2 cn x n
n 0, 2, 4, . . .
2
= e x / 2 c 2 p x 2p (4-22)
p 0
Jika c0 dibuat nol maka c2 , c4 , c6 . . . . dan seterusnya semua nol sehingga diperoleh
penyelesaian lain:
2 2
(x) = e x / 2 cn x n = e x / 2 c 2 p 1 x 2 p 1 (4-23)
n 1 , 3 , 5 . . . p0
Bentuk umum penyelesaian persamaan Schrodinger bebas waktu untuk osilator harmonis satu
dimensi adalah kombinasi linear dari (4-22) dan (4-23) yaitu:
2 2
(x) = A e x / 2 c 2p x 2 p + B e x / 2 c 2 p 1 x 2 p 1 (4-24)
p 0 p0
2v 2mE 2
cv2 = cv
(n 1) (n 2)
2v 2mE 2
cv = 0 atau: + 2 v 2 m E 2 = 0, jadi::
(n 1) (n 2)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 58
2
E= (2 v 1) (4-25)
2m
Dengan menggunakan harga = 2m/ , maka diperoleh:
E=(v+ ½)h (4-26)
yang sering ditulis:
Ev = ( v + ½ ) h v = 0, 1, 2, 3 . . . . (4-27)
dengan Ev adalah energi level osilator harmonis, v = bilangan kuantum vibrasi, h tetapan Planck
dan adalah frekuensi vibrasi.
Ada perbedaan antara bilangan kuantum partikel dalam box dengan bilangan kuantum
vibrasi. Bilangan kuantum vibrasi mengijinkan harga nol, sedang bilangan kuantum partikel
dalam box tidak mengijinkan harga nol.
Energi ground state pada gerak vibrasi (osilator) adalah harga E untuk v = 0, yaitu Eo = ½ h
dan ini disebut zero point energy (Awas harga zero point energi tidak nol tetapi ½ h). Zero
point energi ini adalah energi masing-masing osilator harmonis yang merupakan bagian dari
sekelompok osilator harmonis, pada temperatur nol absolut.
Substitusi (4-27) ke dalam (4-21) menghasilkan relasi recursi yang baru, yaitu:
2n v
cn2 = c (4-28)
n 1n 2 n
4.2 Fungsi Genap dan fungsi Ganjil
Sebelum membahas fungsi gelombang osilator harmonis secara lebih detail ada baiknya
kita mengingat kembali pengertian fungsi genap dan fungsi ganjil. Jika f(x) mengikuti bentuk:
f (x) = f (x) (4-29)
2
maka f(x) adalah fungsi genap dari x. Jadi x2 dan e b x keduanya adalah fungsi genap karena
2 2
(x) e b ( x) = e b x . Grafik fungsi genap adalah simetris terhadap sumbu x. Selanjutnya
untuk fungsi genap berlaku:
a a
f (x) dx = 2 f (x) dx (4-30)
a 0
2
maka g(x) adalah fungsi ganjil dari x. Contoh fungsi ganjil misalnya adalah x , 1/x , x e x . Grafik
fungsi ganjil dicerminkan oleh sumbu y kemudian dicerminkan lagi oleh sumbu x. Untuk fungsi ganjil
berlaku:
a
g (x) dx = 0 (4-31)
a
Hasil kali dua buah fungsi genap atau dua buah fungsi ganjil adalah fungsi genap, sedang hasil
kali fungsi genap dengan fungsi ganjil adalah fungsi ganjil.
2
(x) = e x / 2 c 2 p 1 x 2 p 1 (4-24)
p0
Kedua fungsi itu adalah fungsi gelombang osilator harmonis genap dan ganjil. Persamaan (4-23)
dan (4-24) berturut- turut dapat ditulis:
2
(x) = e x / 2 (c0 + c2 x2 + c4 x4 . . . . . . . .) (4-32)
2
(x) = e x / 2 (c1x + c3 x3 + c5 x5 . . . . . . . .) (4-33)
Akan berhenti sampai dimana deret tersebut, ternyata ditentukan oleh bilangan kuantum v.
Jika v = 0, berarti fungsi genap dan berhenti sampai suku c0, sehingga fungsi gelombang
osilatornya adalah:
2 2
= e x / 2 . c0 atau 0 = c0 e x / 2
Jika v = 1, berarti fungsi ganjil dan berhenti sampai suku c1x, sehingga fungsi gelombang
osilatornya adalah:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 60
2 2
= e x / 2 . c1x atau 1 = c1 x e x / 2
Jika v = 2, berarti fungsi genap dan berhenti sampai suku c2x2 , sehingga fungsi gelombang
osilatornya adalah:
2 2 2
= e x / 2 . ( c0 + c2x2 ) atau 2 = c0 e x / 2 + c2x2 e x / 2
begitu seterusnya.
Selanjutnya kita akan memperhatikan 0 yang juga disebut fungsi ground state. Telah
kita tahu bahwa:
2
0 = c0 e x / 2 (4-34)
Harga c0 dapat diperoleh melalui normalisasi, yaitu:
2
o dx = 1 atau: (4-35)
2 x 2 dx = 2 c 2 e x 2 dx
1= co e o
0
2
(x) = e x / 2 (c0 + c2 x2 + c4 x4 . . . . . . . .) (4-33)
Untuk 2 deret dihentikan pada suku x2, jadi:
x x
(a) v = 0 (b) v = 1
x x
(c) v = 2 (d) v = 3
Gambar 4-1: Fungsi Gelombang Osilator Harmonis
2 2
2 = e x / 2 (c0x + c2 x2 ) atau 2 = (c0x + c2 x2 ) e x / 2
Dengan menggunakan (1.2-15), maka c2 dapat dihitung, yaitu:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 62
2 (n - v)
cn+2 = cn dengan memasukkan memasukkan n = 0 dan vs = 2, maka:
n 1n 2
2 0-2
c2 = c0 = 2 c0
(0 1) 0 2
Jadi:
2 2
2 = (c0 2c0 x2 ) e x / 2 = c0 (1 2 x2 ) e x / 2
Harga c0 dicari dengan normalisasi (Tidak menggunakan c0 pada persamaan (4-36)), dan
diperoleh:
2
2 = ( (2 x2 1) e x / 2
Menentukan Fungsi Gelombang Osilator Harmonis Dengan Polinomial Hermite
Ada cara lain untuk menentukan yaitu dengan memanfaatkan polinomial Hermit. Perlu diingat
2
bahwa sebagian dari faktor e x / 2 pada fungsi gelombang osilator harmonis polinomial
Hermite yang sudah kita kenal di matematika. Hubungan antara fungsi gelombang osilator
harmonis dengan polinomial Hermite adalah:
2
v (x ) = v
2 . v!
1 / 2 1 / 4 x
e 2 . Hv
2 d j z2
H v = 1 v e z e dengan:
dz j
z = 1 / 2 x
Dengan cara ini, fungsi gelombang lebih mudah dapat diturunkan.
Tentang Harga x yang Mungkin Dalam Osilator Harmonis
Jika kita melihat solusi mekanika kuantum untuk osilator harmonis, maka tampak bahwa
berapapun harga x harga dapat diperoleh, artinya bahwa peluang keberadaan partikel ada di
sembarang harga x mulai dari x = sampai x = + . Padahal dalam mekanika klasik
partikel hanya dibatasi berada pada daerah yang energi potensialnya tidak melebihi energi
partikel (yaitu antara a sampai + a pada gambar 4-2), sebab dalam mekanika klasik energi
kinetik negatif tidak dikenal.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 63
Ini berarti bahwa secara tinjauan kuantum partikel dapat berada di daerah terlarangnya mekanika
klasik, atau dalam mekanika kuantum bisa saja terjadi energi potensial V > E atau dapat saja
terjadi energi kinetik bernilai negatif. Kasus V > E ini sudah pernah kita bahas pada bab II.
-a a x
Gambar 4-2: Daerah yang diijinkan ( x < a) dan daerah terlarang ( x > a) untuk osilator
Gambar 4-3: Energi Potensial untuk vibrasi molekul (Kurva garis tak
terputus-putus) dan untuk osilator harmonis (kurva titik-titik)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 64
1/ 2
1 k m1 . m 2 d2U
e = ; = ; k= (4-42)
2 m1 m 2 dR 2 R R
e
e disebut frekuensi vibrasi (harmonis) ekuilibrium. Aproksimasi di atas sangat bagus untuk
energi level yang rendah. Untuk energi level yang tinggi, energi potensial vibrasi semakin
menyimpang dibandingkan dengan energi potensial osilator harmonis (Gambar 4-3).
Aproksimasi yang lebih akurat dalam rangka mengantisipasi penyimpangan dari keharmonisan
adalah:
Evib = (v + ½ ) h e (v + ½ )2 h e xe (4-43)
e xe disebut tetapan ketidakharmonisan yang untuk hampir semua kasus harganya positif.
Dengan menggunakan persamaan Schrodinger bergantung waktu, kita dapat menentukan
bahwa transisi vibrasi yang paling mungkin jika molekul diatomik diekspose ke dalam radiasi
elektromagnet adalah v berubah dengan + 1; selanjutnya agar dapat terjadi absorpsi dan emisi
dari elektromagnet (foton) maka vibrasi harus mengubah momen dipole molekul. Oleh karena
itu, maka molekul-molekul diatomik (H2 , N2 dan lain-lain yang sejenis) tidak mungkin dapat
mengalami transisi hanya dengan mengemisi atau mengabsorpsi radiasi (Artinya transisi hanya
dapat terjadi melalui tumbukan intermolekuler)
Jika terjadi transisi dari energi level tinggi E2 ke energi level rendah E1 maka akan
diemisi foton yang relasinya dinyatakan dengan:
Efoton = E2 E1 (4-44)
Karena Efoton = h maka:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 65
N1 adalah banyaknya molekul yang berada pada energi level E1 , N2 adalah banyaknya molekul
yang berada pada energi level E2 , g1 dan g2 adalah degenerasi masing-masing molekul. Jika
molekulnya non degenerate, maka g = 1.
Dalam unit SI, satuan untuk frekuensi adalah hertz (Hz) dengan definisi 1 Hz = 1s1.
Pada absorpsi infra merah, orang sering menggunakan istilah bilangan gelombang yaitu
banyaknya gelombang persatuan panjang, yang didefinisikan:
= 1/ = / c (4-49)
dengan adalah panjang gelombang dalam vakum, dan c adalah laju cahaya adalah frekuensi
foton.
Contoh:
Gelombang infra merah terkuat dari molekul 12C16O terjadi pada = 2143 cm1 . Tentukan
tetapan gaya untuk molekul tersebut ?
Jawab:
Infra merah terkuat terjadi pada hubungan v = 0 1. Ini berarti transisi pada level rendah,
sehingga kita boleh menggunakan (4-46) untuk menghitung e , tidak usah dengan (4-47).
e = .
Bab I/Pers. Schrodinger/ 66
k = 4 2 e2
Soal-soal Bab 4
1. Mana di antara fungsi-fungsi berikut yang merupakan fungsi genap ? Mana yang
merupakan fungsi ganjil ?
Bab I/Pers. Schrodinger/ 67
12. (a) Transisi v = 0 1 untuk LiH terjadi pada 1359 cm1 . Hitunglah ratio populasi v = 0
terhadap v = 1, pada temperatur 200o C
(b) lakukan persis seperti (a) tetapi untuk molekul ICl yang transisi terkuatnya terjadi pada
381 cm1.
BAB V
MOMENTUM ANGULAR
5.1 Pengukuran Simultan Beberapa Properti
Pada bab ini kita akan membahas momentum angular dan pada bab berikutnya nanti kita akan
menunjukkan bahwa dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah
konstan. Sebelum membahas momentum angular, kita akan bahas lebih dulu, pengukuran secara
simultan beberapa properti dan untuk itu, kita harus mengetahui kriteria yang dapat kita gunakan untuk
menentukan properti apa saja dari suatu sistem yang nilainya dapat ditentukan secara simultan. Perlu
diingat bahwa dalam mekanika kuantum ada pasangan-pasangan properti yang pengukurannya tidak
dapat secara simultan sebagai contoh posisi dan momentum merupakan dua properti pengukurannya
tidak dapat secara simultan. Sementara itu ada pasangan-pasangan properti yang pengukurannya dapat
secara simultan, karena masing-masing mempunyai hasil pengukuran yang pasti.
Dalam bab III telah kita bahas bahwa jika fungsi adalah fungsi eigen dari operator A dengan
nilai eigen a, maka a adalah nilai properti A. Sebagai contoh jika adalah fungsi eigen dari operator
energi kinetik T dengan nilai eigen t, maka t adalah nilai dari energi kinetik T. Selanjutnya jika
secara simultan merupakan fungsi eigen dari dua buah operator yaitu A dan B dengan nilai eigen a
dan b sehingga dapat kita tulis A = a dan B = b, maka kita dapat secara simultan mengetahui
secara pasti nilai properti A dan B, yaitu a dan b. Kapankah terjadi kemungkinan bahwa menjadi
fungsi eigen dari dua buah operator berbeda ? Fungsi akan secara simultan merupakan fungsi eigen
dari dua buah operator A dan B jika kedua operator tersebut adalah pasangan operator yang commute
atau jika [ A , B ] = 0 (Akan dibuktikan di Bab 7). Dengan logika terbalik dapat dinyatakan bahwa, jika
dua buah operator A dan B adalah commute atau jika [ A , B ] = 0, maka dapat menjadi fungsi
eigen bagi A maupun B .
Bab I/Pers. Schrodinger/ 69
Ingat kembali bahwa commutator A dan B adalah [ A , B ] = A B B A . Berikut ini
diberikan beberapa commutator identitas yang sangat membantu dalam mengevaluasi commutator.
[ A , B] = = [B , A] (5-1)
n
[A , A ]=0 (5-2)
[k A , B ] = [ A , k B ] = k[ A ,
B] (5-3)
[ A , A+C ] = [ A, B ] + [ A,C ] ;
[ A+ B ,C ] = [ A, C ] + [ B ,C ] (5-4)
[ A , B C ] = [ A, B ]C + B [ A,C ] ;
[ A B ,C ] = [ A,C ]B + A [ B ,C ] (5-5)
Contoh:
Buktikanlah bahwa x dam px tidak dapat diukur secara simultan.
Bukti:
Untuk membuktikan kita harus menguji bahwa [ x , p x ] 0
[ x , px ] = [ x px px x ]
Karena p x = i , maka:
x
[ x , p x ] = x ( i ) ( i )x
x x
i ( x x )
x x
i { x ( x+x ) }
x x x
i { x (+x ) }
x x
i { x x }
x x
Bab I/Pers. Schrodinger/ 70
i { x x }
x x
i { }
i
Jadi:
[ x , p x ] = i
Karena [ x , p x ] tidak = 0, maka tidak mungkin merupakan fungsi eigen simultan terhadap x dan p x
sehingga pengukuran x dan px harus secara simultan dan mengikuti prinsip ketidakpastian.
i j k
L=rxp= x y z
px py pz
= y.p z z.p y i xp z zp x j + xp y yp x k (5-8)
Lz x.p y y.p x
px = i
x
py = i (5-12)
y
pz = i
z
sehingga:
L x = i y z
z y
Ly = i z x (5-13)
x z
Lz = i x y
y x
dan juga pasangan commutator antara operator momentum angular L2 dengan komponen-komponennya
yaitu commutator [ L2 , L x ] ; [ L2 , L y ] dan [ L2 , L z ].
Pertama kita akan mengevaluasi commutator [ L x , L y ]. Kita tahu bahwa:
[ L x , L y ] = Lx L y L y L x
= 2 { y z z x F z x y z F}
z y x z x z z y
= 2 { y z z F x F z x y F z F }
z y x z x z z y
2 2 2 2 2 2
2 y z F yx F z2 F zx F zy F z2 F xy F x z F
z x z 2 yx yz xz xy z 2 z y
2 2
2 y z F zx F zy Fx z F
z x yz xz z y
F 2 F 2 2 F 2
2 y z zx F zy F x z
x zx yz xz y zy
F 2F 2 2 F 2
2 y yz F zx F zy Fx xz F
x xx yz xz y zy
F F
2 y x = 2 y x F = i L F
x y x y z
Jadi:
[ L x , L y ] = i Lz (5-15)
[
Ly , Lz ] = i L x (5-16)
[
Lz , L ] = i Ly (5-17)
x
Dari (2-11) tampak bahwa pasangan commutator antar komponen momentum angular adalah non
commute. Sekarang akan kita selidiki pasangan commutator antara operator momentum angular dengan
Bab I/Pers. Schrodinger/ 73
komponen-komponennya yaitu: [ L2 , L x ] ; [ L2 , L y ] dan [ L2 , L z ]. Pertama akan kita selidiki dulu:
[ L2 , L x ] dengan memanfaatkan sifat commutator identitas pada awal bab ini.
2 2 2
Karena: L2 =
L x + L y + L z maka:
2 2 2
[ L2 , L x ] = [
L x + L y + L z , Lx ]
2 2 2
= [
L x , L x ] + [ L y , L x ] + [ Lz , Lx ]
Menurut sifat (5-2), [ L2 , L x ] = 0, jadi:
[ L2 , L x ] = [ L2 , L x ] + [ L2 , L x ]
atau:
[ L2 , L x ] = [ L y L y , L x ] + [ L z L z , L x ]
Dengan menggunakan sifat (5-5) yaitu [ A B , C ] = [ A , C ] B + A [ B , C ], maka:
[ L2 , L x ] = [ L y , L x ] L y + L y [ L y , L x ] + [ L z , L x ] L z + L z [ L z , L x ]
= i L z L y i L y Lz + i L y Lz + i L z L y = 0
Jadi:
[ L2 , L x ] = 0 (5-18)
[ L2 , L z ] = 0 (5-20)
Dari persamaan (5-18) sampai dengan (5-20) tampak bahwa operator momentum angular L2 dan salah
satu komponen-komponen bersifat commute, jadi antara L2 dengan salah satu L x atau L y atau
Lz mempunyai fungsi eigen yang sama.
melengkung, maka penggunaan operator kuantum angular dalam koordinat bola, ternyata lebih
menguntungkan, oleh karena itu, kita perlu mengetahui, bagaimana pernyataan operator tersebut dalam
koordinat bola. Buku ini tidak akan membahas bagaimana penurunan operator tersebut dalam koordinat
bola, tetapi bagi yang ingin mengetahui penurunannya dianjurkan untuk membaca literatur mekanika
kuantum. Adapun dalam koordinat bola (Hanna, 1969: 137):
L x = i sin cot cos
L y = i cos cot sin (5-14)
Lz = i
Telah kita ketahui, bahwa hubungan antara suatu vektor dengan komponen-komponennya adalah
kuadrat vektor = jumlah kuadrat komponen-komponennya, jadi:
1 1 2
L2 = 2 sin (5-18)
sin sin 2 2
atau:
2 1 2
L2 = 2 cot (5-19)
2 sin 2 2
Fungsi Eigen Dan Nilai Eigen Momentum Angular Orbital Partikel Tunggal
Sekarang kita akan menurunkan fungsi eigen dari operator L2 dan L z . Dengan memperhatikan
bahwa operator tersebut melibatkan dan , maka fungsi tersebut kita sebut fungsi (,) yang
merupakan fungsi dan fungsi dalam relasi:
(,) = f() . f() (5-20)
Jika agar praktis f() ditulis T dan fungsi f() ditulis , maka:
(,) = T . (5-21)
Jika b adalah nilai eigen untuk L z dan c adalah nilai eigen untuk L2 , maka persamaan eigennya dapat
ditulis:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 75
Lz = b (5-22)
L2 = c (5-23)
Kita selesaikan dulu (5-22). Dengan menggunakan operator L z dan fungsi ditulis T. maka (5-22)
dapat ditulis:
d
i T. = b T.atau: i T = b T.atau:
d
d d ib
T = (b/ i ) T.atau: = .atau:
d d
1 ib ib
d d atau: ln = C atau:
Apakah setiap (5-24) dapat menjadi fungsi eigen ? Jawabnya tidak. Karena tidak semua
bentuk (5-24) adalah bernilai tunggal (singled valued). Agar (5-24) singled valued maka jika ditambah
2 harga tidak berubah. Jadi (5-24) adalah fungsi eigen jika:
e ib 2 / = 1 (5-25)
Lz = m m = 0, 1, 2, 3, 4, 5 . . . . . . (5-28)
Jika harga b dimasukkan ke dalam (5-24) maka fungsi eigen diperoleh, yaitu:
= A ei m (5-29)
1/ 2
1
Dengan normalisasi, harga A diperoleh, yaitu A = sehingga:
2
Bab I/Pers. Schrodinger/ 76
1/ 2
1
= ei m (5-30)
2
2 1 2
2 cot = c atau:
2 sin 2 2
2 1 2
2 cot = c atau:
2 sin 2 2
2 1/ 2 1/ 2
1 2 1 1
2 cot ei m = c ei m atau:
2 sin 2
2 2 2
d 2T dT m2 c
cot T (Buktikan !) (5-31)
d 2 d sin 2 2
Untuk menyelesaikan (5-31) kita lakukan dengan melakukan manipulasi matematika, pertama diadakan
perubahan variabel bebas, dengan cara mensubstitusi:
cos = x (5-32)
Jika cos = x maka:
sin = (1 x2)1/2 (5-33)
i cot = x / (1 x2)1/2
Akibat perubahan variabel ini, maka terjadi transformasi fungsi T yang semula fungsi menjadi fungsi
x. Kita misalkan fungsi baru sebagai akibat transformasi itu adalah G(x) Jadi:
T = G(x) (5-34)
sehingga, dengan aturan berantai yaitu:
dT dG dx dG d cos dG dG
. = . = sin = (1 x2)1/2 (5-35)
d dx d dx d dx dx
d 2T
Untuk mengevaluasi kita gunakan operator aljabar:
d 2
d d
= (1 x2)1/2 Jadi:
d dx
Bab I/Pers. Schrodinger/ 77
d 2T d dG
= (1 x2)1/2 [(1 x2)1/2 ]
d 2 dx dx
d dG
= (1 x2)1/2 [ (1 x2)1/2 ]
dx dx
d dG d 2G
= (1 x2)1/2 { (1 x2)1/2 . + (1 x2)1/2 ]
dx dx dx 2
dG d 2G
= (1 x2)1/2 { (1/2) (1 x2)1/2 (2x). + (1 x2)1/2 ]
dx dx 2
dG d 2G
= (1 x2)1/2 { (1/2) (1 x2)1/2 (2x). + (1 x2)1/2 ]
dx dx 2
dG d 2G
= (1 x2)1/2 { x) (1 x2)1/2. + (1 x2)1/2 ]
dx dx 2
dG d 2G
= x + (1 x2) Jadi:
dx dx 2
d 2T d 2G dG
= (1 x2) x (5-36)
d 2 dx 2 dx
d 2G dG c m2
(1 x2)
dx 2
x +
dx 2 1 x 2 G=0
(5-37)
c m2
(1 x2) G'' x G'+
2
G=0
1 x 2 (5-38)
Agar penyelesaiannya tidak rumit ketika kita melakukan penyelesaian dengan menggunakan metode
deret penyelesaian, maka kita nyata G kedalam fungsi x yang lain yaitu H(x) dengan relasi:
G = 1 x2 m / 2H (5-39)
Dari (5-39) kita cari G' dan G'' untuk disubstitusikan ke (5-38) dan setelah dibagi dengan 1 x 2 m / 2,
maka (5-38) menjadi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 78
Sekarang akan kita selesaikan (5-40) dengan metode deret, yaitu dengan memisalkan:
H= a jx j (5-41)
j0
Turunannya adalah:
H' = j . a j x j1 (5-42)
j0
H'' = ( j 1) . j . a j x j 2 = ( j 1) . j 2 . a j 2 x j (5-43)
j 2 j0
( j 1) . (j 2) . a 2 2 2
j 2 j j 2 m j c/ m m a j = 0
dan diperoleh:
a j 2 =
j m j m 1 c/ 2 a j (5-44)
j 2 j 1
Sebagaimana dalam osilator harmonis, bentuk umum penyelesaian (5-40) adalah kombinasi linear dari
fungsi berpangkat genap (yang koefisiennya ditentukan oleh harga a0) dan fungsi berpangkat ganjil
(yang koefisiennya ditentukan oleh harga a1). Kedua fungsi penyelesaian ini tampak merupakan fungsi
berbentuk deret pangkat sampai tak terhingga, sehingga tidak merupakan well behaved eigenfunctions.
Namun seperti halnya yang sudah kita kenal pada osilator harmonis, kita dapat membuat salah satu deret
penyelesaian itu berhenti pada suku berpangkat tertentu, yaitu dengan membuat koefisien pada suku
tersebut berharga nol. Jika kita misalkan deret penyelesaian berhenti pada suku berpangkat k, artinya
jika kita mengganti j dengan k, maka koefisiennya suku itu, yang dapat dihitung dari (5-38) menjadi
berharga nol, sehingga kita akan memperoleh:
c = 2 k m k m 1 (5-45)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 79
= k m (5-46)
c = 2 ( +1) (5-47)
2
Karena menurut (5-23), c adalah nilai eigen dari operator momentum
L , maka dapat disimpulkan
L2 = 2 ( +1) (5-48)
atau:
L = 1 (5-49)
Marilah kita amati lagi persamaan (5-46). Hal penting yang diperhatikan dari persamaan (5-45)
itu adalah bahwa harga m tidak melebihi , sebab jika m melebihi maka k akan negatif. Padahal
harus diingat bahwa k adalah j sedang j adalah pangkat x dari deret penyelesaian persamaan diferensial
orde dua, dengan harga paling kecil nol. Karena j paling kecil nol, maka k paling kecil nol. Kalau k
paling kecil nol, maka m paling besar = atau kita biasa menulis:
m < (5-50)
atau:
m = 0 , + 1, +2, +3, . . . . . . . . . . + (5-51)
Penurunan Fungsi
T = 1 x2 m /2H (5-52)
Menurut (5-41), H = a j x j , sehingga:
j0
m
T = (sin ) a jx j (5-54)
j0
Karena fungsi dikehendaki hanya sampai suku k dengan k = m , maka (5-54) dapat ditulis:
m
m
T = (sin ) . a jx j (5-55)
j 0
Karena penyelesaian a jx j pada dasarnya adalah salah satu kemungkinan genap, atau ganjil, maka
j0
m
m
(sin ) . a jx j jika m ganjil (5-57)
j 1, 3, . . . .
m
m
T = (sin ) . a j cos j jika m genap (5-58)
j 0, 2, 4 . . . .
m
m
T = (sin ) . a j cos j jika m ganjil (5-59)
j 1, 3, . . . .
Koefisien a, mengikuti (5-44), yang setelah harga nilai eigen c, dimasukkan menjadi:
a j 2 =
( j m ) ( j m 1) ( 1) a (5-60)
j 2 j 1 j
1/ 2
1
(, m ) = ei m (5-62)
2
Contoh:
Sebuah partikel yang diperikan oleh bilangan kuantum = 3 dan m = 1, tentukan:
a) Komponen momentum Lz
b) Momentum angular L
c) Fungsi gelombang eigennya
Jawab:
a) Lz = m =
b) L = ( 1) = 6
c) karena = 3 dan m = 1, maka m = 2, jadi fungsi genap, dan untuk menentukan fungsi T kita
gunakan (5-58):
2
m
T = (sin ) . a j cos j
j 0, 2.
= sin ( a0 + a2 cos2 )
a2 kita cari dari relasi:
a j 2 =
( j m ) ( j m 1) ( 1) a
j 2 j 1 j
a j 2 =
( j m ) ( j m 1) ( 1) a
j 2 j 1 j
(0 1) (0 1 1) 3(3 1)
a2 = a0 = a0
(0 2) (0 1)
Jadi:
T = sin ( a0 a0 cos2 ) = a0 sin (1 5cos2) = a0 sin (5cos21)
:
d = r2 dr sin d d
Karena T hanya fungsi , maka :
Bab I/Pers. Schrodinger/ 82
* T sin d = 1
T atau:
0
* T sin d = 1
T atau:
0
2 2 (5cos 2 1) 2 sin d = 1
a 0 sin
0
3 (25cos 4 10 cos 2 1) d = 1/a 2
sin 0
4 3 2 3 3
cos sin d 10 cos sin d + sin d = 1/a0
2
25
0 0 0
105 420 1
a0 = + =+ =+ 42
160 640 8
1
Kita pilih a0 = 42 , supaya fungsi T
8
Jadi:
1
T= 42 sin (5cos2)
8
Karena T sudah diperoleh maka orbital momentum angularnya adalah:
1/ 2
1
(, m ) = ei m
2
1/ 2
1 1
(3 , 1) = 42 sin (5cos2) ei
8 2
Cara lain menentukan fungsi T (fungsi )
Persamaan (5-38) sangat dikenal dalam matematika, dan disebut Persamaan Legendre terasosiasi, Yang
penyelesaiannya adalah:
m
m 1 2 m /2 d 2
P = (1 - cos ) (cos - 1) (5-63)
2 . ! m
d(cos )
Bab I/Pers. Schrodinger/ 83
m m
Penyelesaian (5-62) di atas disebut Polinomial Legendre terasosiasi, P . Setelah P diperoleh,
fungsi tetha T diperoleh dengan cara sebagai berikut:
2 + 1 - m !
1/ 2
m
P (5-64)
2 . + m !
1 2 d4 2
= (1 - cos ) 1 / 2 (cos - 1)3
23. 3 ! d(cos ) 4
1 d4 2
= sin (cos - 1)3
48 d(cos ) 4
d4 2
Kita selesaikan dulu (cos - 1)3 dan supaya tampak sederhana cos kita ganti x sehingga:
d(cos ) 4
d4 2 d4 2
(cos - 1)3 = (x 1)3
4 4
d(cos ) dx
d4
= (x6 3x4 + 3x2 1)
dx 4
d3
= (6x5 12x3 + 6x)
dx 3
d2
= (30x4 36x2 + 6)
dx 2
d
= (120x3 72x)
dx
= (360x2 72) = (360 cos2 72) = 72 (5 cos2 1)
Jadi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 84
m 1 d4 2
P = sin (cos - 1)3
48 d(cos ) 4
1
= sin { 72 (5 cos2 1) }
48
3
= sin (5 cos2 1)
2
Setelah itu, T dapat ditentukan:
2 + 1 - m !
1/ 2
m
P
2 . + m !
1/ 2
7 2 ! 3
sin (5 cos2 1)
2 . 4 ! 2
1/ 2
14 3
sin (5 cos2 1)
48 2
1
42 sin (5 cos2 1)
8
Akhirnya ( 3, 1) diperoleh, yaitu:
1/ 2
1
(, m ) = ei m
2
1/ 2
1 1
( 3, 1) = 42 sin (5cos2) ei
8 2
Soal-soal Bab 5
1. Buktikan commutator identitas berikut:
(a) [ A , B] = = [B , A] (5-1)
n
(b) [A , A ]=0 (5-2)
(c) [k A , B ] = [ A , k B ] = k[ A , B ] (5-3)
(d) [ A , B + C ] = [ A , B ] + [ A , C ] ;
[ A+ B ,C ] = [ A,C ] + [ B ,C ] (5-4)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 85
(e) [A ,
B C ] = [ A , B ]C + B [ A ,C ] ;
[ A B ,C ] = [ A,C ]B + A [ B ,C ] (5-5)
V
2. Buktikan [ p x p x , H ] =
i x
3. Buktikan [ x , p x ] = i
4. Dengan menggunakan [ x , p x ] = i dan commutator identitas, tentukan [ x , p x2 ]
5. Diketahui vektor A mempunyai komponen (3, 2, 6) dan vektor B komponennya (1,4, 4) .
Tentukan (a) harga skalar A dan B; (b) A + B ; (c) A B; (d) A . B (e) A x B;
(f) sudut antara A dan B.
6. Buktikan bahwa:
Jika f dan g masing-masing adalah fungsi koordinat, buktikan bahwa:
2 f . g = g 2 f + 2 f . g + f 2 g
= A sin2 cos e 2 i
(a) Tentukan berapa momentum angular L nya ?
(b) berapa Lz nya ?
(c) Berapa sudut antara L dengan sumbu z ?
16. Jika = 3 dan m = 3, tentukan fungsi gelombang orbital momentum angularnya .
===000===
BAB VI
ATOM HIDROGEN
6.1 Persamaan Schrodinger Untuk Kasus Gaya Pusat
Kasus elektron dalam atom hidrogen adalah kasus gaya pusat yang bersifat sphericcaly
symetric. Oleh karena itu sebelum membahas Hidrogen, kita akan membahas kasus gaya pusat
ini secara lebih umum. Yang dimaksud dengan kasus gaya pusat adalah kasus-kasus yang
melibatkan partikel yang energi potensialnya hanya merupakan fungsi jarak, artinya energi
potensial hanya ditentukan oleh jarak partikel itu dari titik pusat peredaran, atau V = V( r) .Kita
tahu bahwa persamaan Schrodinger bebas waktu adalah:
H = E (6-1)
dengan
H adalah:
H = T + V = ( 2 / 2m ) 2 + V( r) (6-2)
Karena sifatnya yang spherically symetric, maka kita gunakan 2 dalam koordinat spherik,
yaitu:
1 2 1 1 2
2 = r sin (6-3)
r 2 r r r 2 sin r 2 sin 2 2
atau :
1 2 1 1 2
2 = r sin (6-4)
r 2 r r sin sin 2 2
Bab I/Pers. Schrodinger/ 87
1 1 2
L2 = 2 sin
sin sin 2 2
Sehingga:
1 1 2
sin = L2 / 2
sin sin 2 2
2 1 2 1 2
r + + V( r) = E (6-10)
2m r 2 r r 2m r 2
Sekilas, tampaknya persamaan (6-9) hanya melibatkan satu variabel yaitu r, tetapi harus diingat
bahwa ( + 1) 2 adalah nilai eigen dari operator L2 padahal seperti kita tahu, operator L2
melibatkan variabel dan . Jadi sebenarnya persamaan (6-9) melibatkan tiga macam variabel,
Bab I/Pers. Schrodinger/ 88
yaitu r, dan , sehingga yang merupakan penyelesaian (6-9) harus (r,,) yang merupakan
gabungan dari ( r) , () dan (). Selanjutnya ( r) kita tulis R sedang menurut bab 5, ()
ditulis T dan () ditulis sehingga:
=RT (6-11)
Subtitusi (6-10) ke dalam (6-9) menghasilkan:
2 1 2 R T ( 1) 2
r + R T + V( r) R T = E R T (6-12)
2m r 2 r r 2m r 2
atau:
2 1 2 R ( 1) 2
T r + R T + V( r) R T = E R T
2m r 2 r r 2m r 2
Jika dibagi dengan R T , hasilnya:
2 1 1 2 R ( 1) 2
r + + V( r) = E (6-13)
2m R r 2 r r 2m r 2
atau:
2 1 2 R ( 1) 2
r + R + V( r) R = E R (6-14)
2m r 2 r r 2m r 2
1 2 2 2
Perlu diketahui bahwa r = sehingga (6-14) boleh ditulis:
r 2 r r r 2 r r
2 2 2 ( 1) 2
R + R + V( r) R = E R atau
2m r 2 r r 2m r 2
2 2 R 2 R ( 1) 2
+ R + V( r) R = E R atau:
2m r 2 r r 2m r 2
2 2 ( 1) 2
R' ' R' + R + V(( r) R = E R (6-15)
2m r 2m r 2
Perlu ditegaskan bahwa bagi sembarang problem dengan fungsi energi potensial yang
spherically symetric V( r) , maka fungsi gelombangnya adalah = R T yang memenuhi
Bab I/Pers. Schrodinger/ 89
persamaan (6-15), dengan R = fungsi radial, T fungsi dan adalah fungsi . Fungsi T dan
fungsi sudah kita turunkan di bab 5.
Persamaan (6-15) adalah persamaan Schrodinger sebagai fungsi radial, untuk sembarang
problem yang melibatkan fungsi energi potensial yang spherically symetric V(r) .
V=0 (6-16)
sehingga operator Hamilton untuk gerak rotasinya adalah:
2 2
H = (6-17)
2
Dalam persamaan (6-17) di atas kita gunakan sebagai pengganti m, karena sistemnya terdiri
atas dua partikel, sehingga massa yang digunakan adalah massa tereduksi yang didefinisikan:
m1 . m 2
= (6-18)
m1 m 2
^2
1 2
2
= r L
r 2 r r r 2 2
tetapi karena dalam rigid rotor, jari-jarinya konstan, maka turunan terhadap jari-jari = 0
Bab I/Pers. Schrodinger/ 90
^2
2
= L (6-19)
r 2 2
2 L2
karena jarak antar partikel adalah d, maka: = sehingga operator Hamiltonnya
2 2
r
menjadi:
=
1 ^2 (6-20)
H 2 L
2d
^ 2 adalah operator momentum angular untuk gerak translasi yang melengkung, sedang yang
L
2 2
kita bicarakan adalah gerak translasi. Untuk membedakannya, maka ^L diganti ^J yaitu
=
1 ^2
H 2 J
2d
1 ^2 =E (6-21)
2 J
2d
2
Telah kita ketahui bahwa nilai eigen untuk terhadap ^L adalah ( + 1) 2 , jadi seharusnya
2 2
nilai eigen ^J adalah j ( j + 1) 2 , sehingga ^J = j (j + 1) 2 dan (6-21) ditulis:
1
j (j + 1) 2 = E (6-22)
2 d2
sehingga:
j j 1 2
E= (6-23)
2 d2
j j 1 2
E= J = 0, 1, 2, . . . . . . . (6-24)
2I
dengan I = momen Inertia, yang didefinisikan:
I = d2 (6-25)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 91
32
maka energinya . Untuk j = 2, maka ada 5 harga m, yaitu 2 , 1, 0, 1, 2. Kita telah tahu
I
dari bab 5 bahwa fungsi eigen untuk operator momentum angular ditentukan oleh dan m.
Sudah barang tentu untuk gerak rotasi, fungsi eigennya ditentukan oleh j dan m. Karena untuk j
= 2 ada 5 harga m, itu artinya untuk j = 2, ada lima macam fungsi gelombang yaitu: -2
2
; -1
2 ;
32
02 ; 12 dan 22 , yang kelima-limanya mempunyai energi yang sama yaitu . Karena ada
I
5 fungsi gelombang berbeda yang energinya sama, maka dikatakan bahwa untuk j = 2, energi
level rotasi mengalami 5th fold degenerate.
Perlu ditambahkan bahwa momen dipole molekul harus tidak nol untuk dapat menghasilkan
spektrum rotasi murni. Transisi rotasi disebut transisi murni jika hanya bilangan kuantum rotasi
saja yang berubah. Jika terjadi transisi rotasi dari E2 ke E1 maka E nya yaitu E2 E1 berubah
menjadi foton atau h, Jadi:
j ( j 1) 2 j ( j 1) 2
h = 2 2 1 1
2I 2I
j ( j 1) j1 ( j1 1) h 2
= 2 2 (6-27)
8 2 I
Jadi:
j ( j 1) j1 ( j1 1)h
= 2 2 (6-28)
8 2 I
( j 1 ) ( j 2) j ( j 1)h
= = 2 ( j + 1) B (6-29)
8 2 I
h
d=
4 2
Bab I/Pers. Schrodinger/ 93
m1 .m 2 12(31,97207)
= = x 1,661 . 1024 gram = 1,44885 . 1023 gram
m1 m 2 12 31,97207
= 1,44885 . 1026kg
6,62608 x 10 34 J s
d= = 1,5377 x 1010 m = 1,5377 A
4 (4,14) 2 ( 48991 s -1 ) (1,44885 x 10 26 kg )
6.4 Atom Hidrogen
Atom hidrogen terdiri atas sebuah proton dan sebuah elektron. Jika e menyatakan
muatan sebuah proton ( e = + 1,6 x 1019 C ) maka muatan elektron adalah e. Kita akan
berasumsi bahwa elektron dan proton adalah titik massa yang interaksinya mengikuti hukum
Coulomb. Dalam membahas tentang atom atau molekul , kita biasanya akan memandangnya
sebagai sistem terisolasi, dengan mengabaikan interaksi antar atom dan antar molekul.
Pembahasan kita tentang Hidrogen ini akan kita buat lebih umum, yaitu tidak saja untuk atom
hidrogen, tetapi juga untuk atom yang mirip Hidrogen (Hidrogen liked atom) yaitu misal ion
He+ ; ion Li2+ dan lain-lain.
Pertama kita akan membicarakan gaya yang bekerja dalam sistem ini, yaitu gaya Coulomb:
1 Ze 2
F= (6-30)
4 o r 2
yang merupakan gaya pusat. Hubungan antara energi potensial V dengan F yang bekerja adalah:
F = dV/dr (6-31)
dengan demikian maka:
1 Ze 2
dV/dr = , jadi:
4 o r 2
1 Ze 2
V= (6-32)
4 o r
Ze ' 2
V= (6-33)
r
Bab I/Pers. Schrodinger/ 94
Jika kita misalkan gerak internal dalam sistem itu diwakili oleh fungsi dengan adalah:
=R (6-34)
maka sebagai representasi dari kasus gaya pusat, harus mengikuti persamaan:
2 2 1 2
R' ' R' + R + V(( r) R = E R (6-15)
2m r 2m r 2
Ze ' 2
Dengan memasukkan harga V = , dan m diganti (mengapa ?) maka (6-15) menjadi:
r
2 2 1 2 Ze ' 2
R' ' R' + R R=ER
2m r 2 r 2 r
2 2 1 2 Ze ' 2
R' ' R' + R RER=0
2m r 2 r 2 r
2 2 1 2 2 Ze ' 2 2
R' ' R ' R R ER=0
r 2 2 r 2 2 r 2
2 1 2 Ze ' 2 2
R' ' R ' R R ER=0
r r 2 2 r 2
atau:
2 1 Ze2 2E
R' ' R ' R R R=0
r r 2 ar a e' 2
atau
2 Ze2 2E 1
R' ' R' R = 0 (6-35)
r ar a e' 2 r2
Persamaan (6-35) adalah persamaan Schrodinger untuk atom hidrogen dinyatakan dalam satu
variabel yaitu radial. Jika (6-35) diselesaikan, maka R diperoleh. Padahal T dan sudah kita
ketahui dari bab 5. Jadi Jika R diperoleh maka untuk atom mirip hidrogen yang merupakan
penggabungan (hasil kali) R T juga diperoleh.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 95
R e i ( 2 E ) r / E>0 (6-39)
Simbol pada (4-9) menunjukkan bahwa R tersebut adalah R yang hanya berlaku untuk r yang
sangat besar, dan merupakan fungsi asymtotik terhadap R yang sesungguhnya.
Bentuk persamaan (6-39) tersebut mengingatkan kita kepada persamaan (6-26) pada bab III
mengenai partikel bebas. Ini berarti untuk r sangat besar dan E > 0 maka elektron atom hidrogen
berada dalam keadaan partikel bebas, atau dengan perkataan lain hidrogen dalam keadaan ion
positif.
Persamaan (4-9) belum memberikan faktor radial yang lengkap bagi fungsi radial
dengan E positif. Studi lebih lanjut mengenai hal ini (baca literatur Quantum Mechanics of One
and Two Electron Atoms , 1957 karangan Bethe dan Salpeter halaman 21-24) menunjukkan
bahwa fungsi radial dengan E positif harganya tertentu (terhingga) untuk sembarang harga r
berapapun harga E positifnya. Ini berarti, bahwa sebagai partikel bebas sembarang harga E
nonnegatif diijinkan atau untuk partikel bebas, energinya kontinum nonnegatif atau tidak energi
level bagi partikel bebas.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 96
Karena kita mendapat energi positif yang kontinum, maka eigen fungsi yang bersangkutan
disebut continuum eigenfunctions. Sebagaimana lazimnya fungsi partikel bebas, maka fungsi
eigen kontinuumpun tak ternormalisasi.
Sekarang kita akan membahas bound state atom Hidrogen yaitu jika E < 0. Jika E negatif
maka bilangan di bawah tanda akar dalam (6-37) adalah positif. Karena berapapun harga r,
fungsi harus bernilai terhingga, maka kita pilih tanda minus untuk persamaan (6-37) tersebut
sehingga:
2
R e 2E / a e' r E<0 (6-40)
Persamaan (6-40) menunjukkan bahwa R disitu adalah fungsi asymtotik bagi R yang
sesungguhnya. Karena (6-40) adalah asymtotik terhadap R sesungguhnya maka R sesungguhnya
pasti mengandung (6-40). Kita boleh memisalkan R dalam bentuk apapun asal mengandung (6-
40). Misal R sesungguhnya adalah:
2
R = K e 2E / a e' r (6-41)
dengan K adalah fungsi r atau K(r). [ Hati-hati dengan e dan e' pada (6-30). Ingat bahwa e disitu
adalah bilangan basis logaritma natural, tidak ada hubungannya dengan muatan proton sedang e'
ada hubungannya dengan muatan proton ].
R = K e C r (6-42)
dengan
C= 2E / a e' 2 (6-43)
Penggunaan R dalam (6-43) dijamin tidak hanya berlaku untuk r sangat besar, tetapi untuk
sembarang harga r asal E negatif.
Proses selanjutnya, R pada (6-42), turunan pertamanya ( R') dan turunan keduanya (R'')
dimasukkan pada (6-35), maka (6-35) akan menjadi:
` r2 K '' + ( 2r Cr2 ) K ' + [ ( 2 Z a1 2 Cr ) ( +1) ] R = 0 (6-44)
Sekarang, kita dapat memasukkan deret pangkat berbentuk:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 97
K= ck . r k (6-45)
k 0
ke dalam (6-44). Jika kita benar-benar melakukannya, maka akan kita lihat bahwa beberapa
koefisien pada suku-suku yang awal dari deret penyelesaian itu adalah nol. Jika kita misalkan
koefisien pertama yang tidak nol adalah koefisien suku ke s atau cs , maka (6-45) boleh ditulis:
K= ck . r k ck 0 (6-46)
k s
(Meskipun kita telah melakukan berkali-kali substitusi, tetapi substituennya adalah substituen
sembarang, jadi tidak mengubah prosedur standar penyelesaian persamaan diferensial dengan
metode deret). Dalam (6-47) s adalah bilangan bulat, yang nilai ditentukan pada saat
menyelesaikan persamaan diferensial. Selanjutnya kita buat fungsi radial baru yaitu M yang
harganya adalah K / rs Jadi:
K = rs M bi 0 (6-49)
M= bj. r j bi 0 (6-50)
j0
Kita cari K' dan K'' dari (6-49) dan bersama (6-49) kita masukkan ke dalam (6-44), kita peroleh:
r2M'' + [(2s + 2 ) r 2C r2 ] M' + [ s2 + s + ( 2 Z a1 2 C 2 C s ) r ( +1)] M = 0
(6-51)
Untuk mendapatkan harga s kita tempuh langkah-langkah sebagai berikut:
Masukkan r = 0 ke dalam (6-50) sehingga :
[ s2 + s ( +1)] = 0 (6-52)
dan diperoleh:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 98
R = e C r rs M (6-55)
terhingga untuk r = 0. Padahal yang begitu tidak boleh. Jadi s = 1 dibuang, dan s =
dipergunakan. Dengan s = , persamaan (6-51) akan menjadi:
r2M'' + [(2 + 2 ) r 2C r2 ] M' + [ 2 + + ( 2 Z a1 2 C 2 C ) r ( +1)] M = 0
r2M'' + [(2 + 2 ) r 2C r2 ] M' + ( 2 Z a1 2 C 2 C ) r M = 0
r2M'' + [(2 + 2 ) 2C r ] r M' + ( 2 Z 1 2 C 2 C ) r M = 0
jadi:
rM'' + [(2 + 2 ) 2C r ] M' + ( 2 Z a1 2 C 2 C ) M = 0 (6-57)
Sementara itu dengan s = Persamaan (6-55) menjadi:
R = e C r r M (6-58)
dengan M adalah dinyatakan pada (6-50) yaitu:
M= b j. r j (6-59)
j0
M' = j. b j r j 1 = j. b j r j 1 = (k 1) . b k 1 r k = ( j 1) . b j1 r j
j0 j1 k 0 j0
Bab I/Pers. Schrodinger/ 99
M'' = ( j 1) j . b j r j 2 = ( j 1) j . b j r j 2 = (k ) (k 1) . b k 1 r k 1 =
j0 j1 k 0
= ( j) ( j 1) . b j1 r j1
j 0
Jadi:
2Z
j j 1b j1 2 1 j 1b j1 2C 2C 2 C j b j = 0
a
2C 2C 2 C. j 2 Z 1
bj + 1 = bj (6-60)
j j 1 2 1 j 1
Sekarang kita harus menguji sifat deret tak terhingga (6-50) untuk r yang besar. Karena untuk r
yang besar sifat deret ditentukan oleh suku-suku yang besar, maka kita akan menguji rasio
antara
bj + 1/ bj untuk j yang besar. Untuk j yang besar:
2C j 2C
bj + 1/ b j = untuk j besar (6-60)
j2 j
Marilah sekarang kita perhatikan seandainya kita mempunyai bentuk e 2Cr . Jika bentuk e 2Cr ini
kita nyatakan dalam bentuk deret pangkat, maka:
Rasio koefisien r dari sebuah suku dengan suku sebelumnya dari (6-61) tersebut adalah:
yang ternyata sama dengan (6-60) untuk j besar. Hal ini mendorong kita untuk menyimpulkan
bahwa untuk j yang besar (6-50) sifatnya mirip e 2Cr , sehingga kita boleh menuliskan:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 100
M ~ e 2Cr (6-62)
atau:
b j r j ~ e 2Cr (6-63)
j0
R ~ e C r rs e 2Cr atau
R ~ rs e Cr
Karena uraian kita ini tadi berangkat dari s = , maka:
R ~ r e Cr (6-64)
Namun perlu diperhatikan bahwa (6-64) akan menjadi tak terhingga jika r tak terhingga dan ini
tidak boleh karena tidak quadratically integrable. Satu-satunya cara untuk mengatasi hal ini
adalah (seperti yang sudah kita kenal pada osilator harmonis) menghentikan deret (6-50) pada
suku tertentu, misal suku ke k. Ini berarti relasi recursi ( 4- 27) harus menjadi nol jika j = k, jadi:
2C 2C 2 C. k 2Za 1
b j = 0 atau:
k k 1 2k 1k 1
2C + 2C + 2 C k 2 Z a-1 = 0 atau
2C (1 + + k ) 2 Z a-1 k=0,1,2,.... (6-65)
karena dan k adalah bilangan bulat maka ( 1 + + k ) pasti adalah bilangan bulat yang baru
yang untuk selanjutnya disebut bilangan kuantum utama = n, jadi:
n = ( 1 + + k) (6-66)
Dari (6-65) maka hubungan antara (bilangan kuantum momentum angular ) dengan n
(bilangan kuantum utama adalah:
=n1k atau:
<n1 (6-67)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 101
Catatan:
Dalam pembahasan mengenai hidrogen ini mucul bilangan kuantum utama n. Pada
pembahasan mengenai momentum angular, kita telah mengenal dua bilangan kuantum
yaitu dan m. Karena momentum angular berlaku untuk semua gerak melengkung, dan
gerak elektron dalam atom adalah gerak melengkung maka dam m juga berlaku pada
gerak elektron dalam atom. Jadi sampai sejauh ini kita mengenal 3 macam bilangan
kuantum adalah atom yaitu n, dan m.
Energi Level
Jika kita masukkan (6-66) ke dalam (6-65) maka diperoleh:
C n = Z a1 (6-68)
Z 2 e' 2
E= atau: (6-69)
2 2n 2
e' 2 Z 2
E= atau: (6-70)
2 2 n2
1 e2 Z2
E= (6-71)
4 o 2 2 n 2
1 e2 1
E= (6-72)
4 o 2 2 n 2
m proton . m elektrom
dengan = = 0,9994557 melektron =9,1044318 . 10kg;
m proton m elektrom
2Z j 1 n
bj + 1 = bj (6-73)
n a j 1 ( j 2 2)
+
Karena menurut (6-66), n = ( 1 + + k) maka k = n 1, sehingga (6-66 ) menjadi:
n 1
M= b jr j (6-74)
j0
R adalah salah bagian saja dari fungsi gelombanh Hidrogen. Perlu diketahui bahwa elektron
dalam atom hidrogen bergerak spherik, artinya pasti terjadi momentum angular. Oleh karena itu
selain fungsi radial, fungsi gelombang hidrogen pasti juga terdiri atas fungsi eigen momentum
angular yang sudah diturunkan pada bab V. Secara keseluruhan fungsi gelombang atom mirip
hidrogen adalah::
=R.T. (6-77)
dengan T dan dapat dilihat pada bab V tentang momentum angular.
Jika kita perhatikan persamaan (5-30) bab V, tampak bahwa ditentukan oleh bilangan
kuantum m. Dari (5-64) bab V, tampak bahwa T ditentukan oleh dan m, dan jika kita amati
persamaan (5-4) bab ini, maka tampak bahwa R ditentukan oleh n dan maka dapat
disimpulkan bahwa ditentukan oleh tiga macam bilangan kuantum yaitu n , dan m, sehingga
(6-77) biasa ditulis:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 103
Menentukan T
Dengan menggunakan (5-64) bab V:
2 + 1 - m !
1/ 2
m
P
2 . + m !
m
Kita hitung dulu P :dengan menggunakan (5-63) bab V:
m
m 1 m /2 d
P = (1 - cos 2 ) (cos 2 - 1)
2 . ! m
d(cos )
1 d2
= (1 - cos 2 ) 1 / 2 (cos 2 - 1)1
21. 1! d(cos ) 2
1 d2
= (1 - cos 2 ) 1 / 2 (cos 2 - 1)1
2 d(cos ) 2
d2
Kita selesaikan dulu (cos 2 - 1) dan supaya tampak sederhana cos kita ganti x
d(cos ) 2
sehingga:
d2 d2
(cos 2 - 1) = (x 2 1)
d(cos ) 2 dx 2
d
= 2x = 2
dx
Jadi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 104
1
(1 - cos 2 ) 1 / 2 . 2 = sin
m
P =
2
2 + 1 - m !
1/ 2
m
P
2 . + m !
1/ 2
31!
1/ 2
3
= sin sin (6-80)
2 . 2! 4
1
r 1
=r. e a
3 b jr j
j0
1
r
=r. e a
3 ( bo + b1 r ) (6-81)
Koefisien b1 ditentukan dengan relasi recursi (6-73) bab ini:
2Z j 1 n
bj + 1 = bj
n a j 1 ( j 2 2)
jadi:
2 0 11 3 1
b1 = bo = bo
3 a (0 1) (0 2 2) 6a
* R d
R =1
0
Bab I/Pers. Schrodinger/ 105
2
1
2 d 2 r 2 dr 1
R = R = b o2 r (1 r) e a
3 r2 dr = 1
6a
0 0 0
2
2 1
r (1 r) e 3 a r 2 = 1/ b o2
2
6a
0
2
1 3 1
2
(r r r ) e a r 2 = 1/ b o2
4 3
0
3a 62 a 2
2
1 5 1
4
(r r r ) e 3 a = 1/ b o2
6
0
3a 62 a 2
2 2 2
1 1
4 5 6 2
r e 3 a d r 3 a r e 3 a d r 2 2 r e 3 a d r = 1/ b o
0 0 06 a
5 6 7
3a 1 3a 1 3a
4 !. (5!) + ( 6 ! ) = 1/ b o2
2
3 a 2
2
6 a 2 2
3 6 5 5. 3 6 5 5. 3 7 5
a a + a = 1/ b o2
4 8 32
8. 3 6 5 4. 5. 3 6 5 5 . 3 7 5
a a + a = 1/ b o2
16 32 32
36 5
( 8 4 . 5 + 5 . 3) a = 1/ b o2
32
1/ 2 1/ 2
36 5 32 32 64
3 a = 1/ b o2 b o2 = bo =
=
32 3 . 3 6 .a 5 3. 3 6 .a 5 6. 36.a 5
1/ 2
8 1 8 1
bo = = .
2
27 a 6.a 27 6 a2 a
Jadi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 106
1
1 r
R = bo { r . (1 r ) e 3a }
6a
1
8 1 1 r
R= . { r . (1 r ) e 3a }
27 6 a 2 a 6a
Bil. Kuantum Bil Kuant. Angular Bil. Kuan. Magnetik Fungsi Gelombang
Utama n m
1 0 0 ( 1, 0, 0 )
2 0 0 ( 2, 0, 0 )
1 1 ( 2, 1, )
( 2, 1, 0 )
( 2, 1, 1 )
3 0 ( 3, 0, 0 )
1 ( 3, 1, )
( 3, 1, 0 )
Bab I/Pers. Schrodinger/ 107
( 3, 1, 1 )
2 ( 3, 2, )
( 3, 2, )
( 3, 2, 0 )
( 3, 2, 1 )
( 3, 2, 2 )
Dst
Dari tabel di atas tampak bahwa untuk n > 2, maka diperoleh n2 fungsi gelombang berbeda. Jadi
untuk n – 2 ada 4 fungsi gelombang yang berbeda yaitu ( 3, 1, ) , ( 3, 1, 0 ) , ( 3, 1, 1 ) dan ( 3, 2,
) . Karena n nya sama, maka ke empat fungsi gelombang tersebut mempunyai energi level
yang sama. Dengan demikian maka untuk n = 2 energi level atom hidrogen mengalami
degenerasi dengan derajat degenerate = 4.
Dengan penjelasan yang sama maka dapat kita ketahui bahwa ada 9 fungsi gelombang
yang energinya sama untuk n = 3 yaitu: ( 3, 0, 0 ) , ( 3, 1, ) , ( 3, 1, 0 ) , ( 3, 1, 1 ) , ( 3, 2, ) , ( 3,
2, ) ,
( 3, 2, 0 ) , ( 3, 2, 1 ) , dan ( 3, 2, 2 ).
1 e2 1
E=
4 o 2 2 n 2
Bilangan kuantum utama juga berkorelasi dengan kulit lintas, yang hubungannya dapat dilihat
dari tabel berikut:
n 1 2 3 4 5 6 7
Kulit K L M N O P Q
Bab I/Pers. Schrodinger/ 108
L = ( 1)
Bilangan kuantum ini juga menentukan bentuk lintasan. Bilangan muncul ketika kita
hendak menentukan fungsi . Dalam bahasa spektrum, bilangan berhubungan dengan nama-
nama orbital.
0 1 2 3 4 dst
Orbital s p d f g h
Bilangan kuantum yang ketiga adalah bilangan kuantum orbital momentum angular yang juga disebut
bilangan kuantum magnetik translasi m. Bilangan ini merupakan penentu Lz yaitu proyeksi momentum
angular L pada sumbu z. Hubungan antara Lz dan m adalah:
Lz = m
Bilangan m ini juga dipandang sebagai penentu orientasi (arah) translasi elektron, karena jika
kita mengetahui m kita dapat mengetahui Lz. Jika kita mengetahui Lz, maka arah momentum
angular dapat diketahui, karena:
Lz = L cos
dengan adalah sudut arah L terhadap sumbu z. Jika arah L diketahui, maka dengan kaidah
tangan kanan, arah translasi elektron dapat diketahui.
Apakah dengan 3 macam bilangan kuantum sudah cukup ? Jika mengacu kepada
fenomena makroskopis, maka dapat diketahui bahwa kedudukan planet dalam tata surya
ditentukan oleh 4 macam tetapan, yaitu tetapan energi, tetapan momentum angular, tetapan
komponen momentum angular dan tetapan rotasi. Dua buah planet tidak pernah bertabrakan
karena tidak ada dua planet yang keempat tetapannya sama. Jika fenomena mikroskopik
dipandang sebagai miniatur dari fenomena makroskopik maka atom masih membutuhkan satu
tetapan lagi yang berasal dari gerak rotasi elektron. Kita tahu translasi elektron dalam atom
adalah lintasan sperik, oleh karena itu mempunyai momentum angular L. Karena gerak rotasi
juga bersifat spherik maka gerak rotasi juga harus mempunyai momentum angular yang disebut
momentum angular rotasi, notasinya S. Jika L ditentukan oleh dalam relasi L = ( 1)
Maka S ditentukan oleh s (bilangan kuantum angular spin) dalam relasi S = s(s 1) . Kita
Bab I/Pers. Schrodinger/ 109
tahu bahwa L mempunyai komponen yang disebut Lz, maka S harus mempunyai komponen
yang disebut Sz. Jika Lz ditentukan m dalam relasi Lz = m maka penentu Sz adalah ms dalam
relasi:
Sz = ms
Kita tahu banyaknya harga m adalah 2 +1 mulai dari , ( +1) . . . . . .+ . Jika begitu
banyaknya harga ms harus 2s + 1 yaitu dari s sampai + s. Kita juga tahu bahwa m adalah
penentu arah translasi, maka ms pasti penentu arah rotasi. Karena hanya ada 2 macam arah
rotasi, maka tentu hanya ada dua macam harga ms. Padahal banyaknya harga ms = 2s + 1, jadi{
2s + 1 = 2 s=½
Karena harga ms adalah s dan + s maka harga ms = + ½
Dan harga momentum angular rotasi S adalah:
S = s(s 1) = 3 / 4 = 3
2
Selanjutnya ms = + ½ itulah yang dijadikan sebagai bilangan kuantum ke empat.
6.7 Pengaruh Momentum Angular Translasi Terhadap Energi (Efek Zeeman)
Telah kita ketahui bahwa energi hanya ditentukan oleh bilangan kuantum utama n. Hal
itu benar, manakala atom tidak berada di bawah pengaruh medan magnet eksternal. Tetapi jika
ada medan magnet eksternal maka momentum angular akan mengubah besarnya energi. Berapa
besar perubahan energi yang ditimbulkan oleh momentum angular jika atom berada dalam
medan magnet eksternal yang kuat medannya B, itulah yang akan kita bahas sekarang.
Jika elektron dalam atom bermassa m dan bermuatan e, membentuk lintasan spherik, maka
selain momentum angular L, juga terjadi momen magnet yang arahnya berlawanan dengan
arah L. Sedang arah L adalah arah ibu jari tangan kanan jika arah lintasan partikel (elektron)
ditunjukkan oleh keempat jari yang digenggamkan. Hubungan antara dan L adalah:
e
= L (6-82)
2m
tanda negatif tersebut menunjukkan bahwa arah L dab berlawanan. Menurut tinjauan
e
= ( 1) (6-83)
2m
Jika sebuah atom dengan momen magnet berada dalam medan magnet eksternal yang kuat
medannya B, maka perubahan energi yang dialami atom itu adalah:
Em = . B = . B cos (6-84)
dengan adalah sudut antara dan B.
Substitusi (6-82) ke dalam (6-84) menghasilkan:
e
Em = B . L cos (6-85)
2m
( m yang cetak miring adalah bilangan kuantum magnetik sedang m yang cetak tegak adalah
massa partikel/elektron).
e
Kuantitas biasa ditulis , sehingga (6-87) juga boleh ditulis:
2m
Em = m B (6-88)
= Bohr Magneton = 9,27402 . 1024 J/T
Dari Persamaan (6-88) itu tampak bahwa bilangan kuantum magnetik akan menentukan
perubahan energi orbital, manakala atom (hidrogen) berada di bawah pengaruh medan magnet
kecuali orbital-orbital yang m-nya nol.
Perubahan energi orbital itu dapat digambarkan sebagai berikut:
m B
m B 3
mB 2 2
1 1 1
Em 0 0 0 0
1 1 1
Bab I/Pers. Schrodinger/ 111
Dari gambar (6-82) tersebut tampak bahwa selain orbital s, semua orbital mengalami perubahan
energi. Orbital p pecah menjadi 3 sub level magnetik, orbital d menjadi 5 dan orbital f menjadi 7
sub level magnetik. Banyaknya sub level dalam sebuah orbital disebut komponen Zeeman. Jadi
komponen Zeeman orbital s, p, d dan f adalah 1, 3, 5 dan 7. Secara umum dapat dinyatakan
bahwa banyaknya komponen Zeeman adalah 2 +1.
===000===
Soal-soal Bab 6
1. Frekuensi absorpsi terkecil untuk molekul 12C16O adalah 115271 MHz. Hitunglah:
a) Jarak ikatan 12C16O
b) Prediksilah dua frekuensi serapan terkecil berikutnya
c) prediksilah frekuensi serapan terendah bagi 13C16O
2. Hitunglah panjang gelombang garis spektra yang muncul dari transisi n = 6 3 pada atom
hidrogen. Ulangi hal yang sama untuk He.
3. Hitunglah Tingkat energi dasar hidrogen dalam satuan eV.
4. Positron adalah partikel dengan massa sama dengan massa elektron tetapi bermuatan +e.
Tentukan berapa eV tingkat energi dasar atom positronium (atom ini terdiri atas 1 positron
dan 1 elektron.
5. Untuk atom mirip hidrogen dalam keadaan dasar, tentukan < r >
6. Tentukan < r > untuk 2p0 dari atom mirip hidrogen .
7. Tentukan < r2 > untuk 2p1 dari atom mirip hidrogen .
8. Tulislah fungsi radial 2s dan 2p untuk atom mirip hidrogen. Tulis pula fungsi gelombangnya.
9. Harga untuk orbital d = 2. Berapakah harga untuk orbital t ?
Catatan :Nama orbital adalah s, p, d, f. Setelah itu alphabetik, dengan j tidak dipergunakan.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 112
10. Untuk atom hidrogen dalam keadaan ground state, tentukan probabilitas mendapatkan
elektron pada jarak lebih dari 2a ?
11. Tentukan, berapakah jari-jari ruang 1s atom hidrogen menggunakan batas probabilitas 90 %
?
12. (a) Tentukan < T > untuk atom hidrogen keadaan dasar. (b) Dengan < T > itu, tentukan
kecepatan elektron.
13. Tentukan populasi ratio gas atom hidrogen antara n = 2 dan n = 1 pada suhu:
(a) 25o C (b) 1000 K (c) 10 000 K
14. Tentukan fungsi gelombang atom hidrogen 3,2,1
15. Fungsi gelombang atom hidrogen didefinisikan sebagai:
= A r2 er / 3a sin2 e2 i
a) tentukan A
b) Tentukan n
c) Tentukan
d) Tentukan L
e) Tentukan Lz
===000===
BAB VII
TEOREMA MEKANIKA KUANTUM
7.1 Pengantar
Persamaan Schrodinger untuk atom yang hanya mepunyai satu elektron dapat kita
selesaikan secara pasti, tetapi tidak demikian halnya untuk atom yang berelektron banyak dan
juga molekul, karena dalam kedua sistem yang terakhir terjadi repulsi antara satu elektron
dengan elektron lain. Untuk itu kita butuhkan metode lain untuk menyelesaikan persamaan
Schrodinger untuk atom berelektron banyak dan molekul. Ada dua metode yang akan kita
bicarakan pada Bab VIII dan Bab IX, yaitu metode variasi dan teori perturbasi. Untuk dapat
memahami kedua metode tersebut kita harus mengembangkan lebih lanjut pemahaman kita
Bab I/Pers. Schrodinger/ 113
terhadap mekanika kuantum, yang secara garis besar telah kita pelajari. Jadi target bab ini
adalah membahas secara lebih mendalam mengenai teorema mekanika kuantum.
Sebelum mulai, marilah kita mengenal beberapa notasi integral yang akan dipergunakan.
Definit integral seluruh ruang atas operator sembarang yang terletak di antara dua buah fungsi
yaitu fm dan fn biasanya ditulis:
*
f m A f n d =
fm A fn = fm A fn = m A n (7-1)
Notasi (7-1) di atas diperkenalkan oleh Dirac, dan disebut notasi kurung. Bentuk integral di atas
juga sering ditulis:
*
f m A f n d = Am n (7-2)
Notasi untuk integral seluruh ruang atas dua buah fungsi fm dan fn ditulis:
*
fm f n d = f m f n = f m f n = m n (7-3)
Karena f * *
m f n d = *
fm f n d, maka:
*
m n = m n (7-4)
*
fm f n d = 0 jika fm fn dan fungsinya disebut ortogonal (7-6)
Catatan:
*
fm f n d juga boleh ditulis m n (Kronikle Delta) yang harganya = 0 jika fm fn dan
berharga 1 jika fm = fn
2) Jika : A = a dengan a bilangan konstan, maka disebut fungsi eigen sedang a disebut
nilai eigen atau: jika adalah fungsi eigen terhadap operator A , maka berlaku hubungan:
A = a dengan a adalah nilai eigen. (7-7)
Untuk memahami operator ini, kita harus mengingat kembali pengertian operator linear
dan pengertian nilai rata-rata. Operator linear adalah operator yang mewakili besaran fisik, misal
operator energi, operator energi kinetik, operator momentum angular dan lain-lain. Selanjutnya
telah kita ketahui pula bahwa jika A adalah operator linear yang mewakili besaran fisik A,
maka nilai rata-rata A dinyatakan dengan:
*
A = A d (7-8)
dengan adalah fungsi keadaan sistem. Karena nilai rata-rata selalu merupakan bilangan real,
maka:
A = A *
atau:
*
A d=
*
A d (7-9)
Persamaan (7-9) harus berlaku bagi setiap fungsi yang mewakili keadaan tertentu suatu
sistem atau persamaan (7-9) harus berlaku bagi setiap fungsi berkelakuan baik (well behaved
function). Operator linear yang memenuhi persamaan (7-9) itulah yang disebut operator Hermit.
Beberapa buku teks menulis operator Hermit sebagai operator yang mengikuti persamaan:
* *
f Ag d = g (A f ) d (7-10)
untuk fungsi f dan g yang berkelakuan baik. Perlu dicatat secara khusus bahwa pada ruas kiri
persamaan (7-10), operator A bekerja pada fungsi g sedang di ruas kanan, operator bekerja pada
fungsi f. Dalam kasus khusus yaitu jika f = g maka bentuk (7-10) akan tereduksi menjadi bentuk
(7-9).
nilai eigen yang sama atau degenerate (jadi tidak ortogonal), maka selalu ada cara
agar dijadikan ortogonal.
Pembuktian Teorema I:
Ada dua hal penting yang termuat dalam pernyataan teorema I yaitu bahwa operator
yang dipergunakan adalah operator Hermit jadi harus mengikuti (7-9) dan ada pernyataan eigen
value, ini berarti bahwa fungsi yang dibicarakan adalah fungsi eigen, jadi hubungan (7-7)
berlaku. Untuk ini kita misalkan fungsinya adalah , dan karena A adalah operator hermit,
maka menurut (7-9):
A
* *
A d = d
atau:
* * *
A d =
A d (7-11)
Menurut (7-7) :
A = a dengan a adalah nilai eigen untuk
A* * = a* dengan a* adalah nilai eigen untuk
sehingga (7-11) dapat ditulis:
*
*
a d = a* d
* *
Menurut (7-5) nilai d = d = 1, jadi:
a = a*
Harga a = a* hanya mungkin jika a bilangan real.
1 A2 d = 2 A1
* *
d
atau:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 116
* * *
1 A2 d = 2 A 1 d (7-13)
* *
Menurut (7-4), 1 2 d = 2 1 d , jadi persamaan (7-14) boleh ditulis:
* *
a2 1 2 d = a1 1 2 d
atau:
* *
a2 1 2 d a1 1 2 d = 0
atau:
*
(a2 a1 ) 1 2 d = 0 (7-15)
Jika a1 tidak sama dengan a2 maka dari (7-15) tersebut (a2a1) tidak mungkin nol, sehingga:
*
1 2 d = 0 (7-16)
*
Karena 1 2 d = 0, maka 1 dan 2 ortogonal.
Jadi terbukti, jika dua buah fungsi eigen mempunyai nilai eigen berbeda terhadap
operator tertentu, maka kedua fungsi tersebut ortogonal. Yang menjadi pertanyaan sekarang
adalah, mungkinkah dua buah fungsi eigen yang independen, mempunyai nilai eigen yang sama
? Jawabnya adalah ya. Ini terjadi pada kasus degenerasi. Pada kasus ini, beberapa fungsi eigen
yang independen, mempunyai nilai eigen yang sama. Untuk dua fungsi eigen yang degenerate
atau yang nilai eigen-nya sama, maka kedua fungsi tersebut tidak ortogonal. Dengan demikian,
maka kita hanya boleh mengatakan bahwa dua fungsi eigen yang berhubungan dengan operator
Hermit adalah ortogonal jika kedua fungsi eigen itu tidak degenerate.
Telah disinggung di atas bahwa jika dua atau lebih fungsi eigen yang independen
mempunyai nilai eigen sama, maka kasus seperti itu disebut degenerate. Untuk lebih memahami
masalah degenerate ini, marilah kita ingat kembali fungsi gelombang partikel dalam kotak yang
telah kita pelajari. Fungsi gelombang partikel dalam kotak 3 dimensi dinyatakan sebagai:
= x y z dengan :
1/ 2 1/ 2 1/ 2
2 2nx 2 2ny 2 2ny
x = sin x ; y = sin y dan y = sin y
Lx Lx Ly Ly Ly Ly
jadi:
1/ 2
8 2nx 2n y 2n y
= sin x sin y sin y (7-17)
Lx. Ly. Lz Lx Ly Ly
Jika operator Hermit, misal operator Hamilton dikenakan pada fungsi gelombang tersebut maka
nilai eigennya adalah energi yang besarnya:
E = Ex + Ey + Ez
dengan :
2 2 2 2 2 2
h nx h ny h nz
Ex = 2
; E y=
2
dan Ez = 2
(7-18)
8mLx 8mLy 8mLz
sehingga:
2 2 2 2
h nx ny nz
E= + +
8m L2 2
Ly
2
Lz
x
Jika kotaknya berbentuk kubus, maka menurut (7-19) harga nilai eigen E1-1-2 = E1-2-1 = E2-1-1 =
2
h 6
meskipun eigen function-nya 1-1-2 1-2-1 2-1-1. Keadaan seperti itulah contoh
8m L2
kasus degenerate. Untuk kasus degenerate tersebut, biasanya dikatakan bahwa derajad
degenerasinya = 3, karena ada 3 fungsi gelombang berbeda yang nilai eigen-nya sama yaitu 1-1-
Bab I/Pers. Schrodinger/ 118
2; 1-2-1 dan 2-1-1. Sudah barang masih tak terhingga banyak kasus degenerate untuk fungsi
gelombang partikel dalam kotak berbentuk kubus misal pasangan 1-1-3; 1-3-1 dan 3-1-1 dan
masih banyak lagi.
Satu hal yang penting dari keadaan degenerate itu ialah, bahwa jika fungsi-fungsi eigen
yang degenerate itu dikombinasi linearkan, maka akan terbentuk fungsi eigen yang baru.
Contoh:
Jika fungsi adalah kombinasi linear dari 1-1-2, 1-2-1 dan 2-1-1 yang dinyatakan dalam
bentuk:
= c1 1-1-2 + c2 1-2-1 + 2-1-1 (7-20)
Karena 1-1-2, 1-2-1 dan 2-1-1 adalah degenerate, maka pasti merupakan fungsi eigen yang
nilai eigennya sama dengan nilai eigen fungsi-fungsi penyusunnya.
Yang harus diingat adalah bahwa jika adalah kombinasi linear dari 1-1-2 dan 1-3-1
sehingga dapat ditulis:
= c1 1-1-2 + c2 1-3-1 (7-21)
maka bukan fungsi eigen karena nilai eigen 1-1-2 dan c2 1-3-1 pasti tidak sama.
Relasi (7-20) disebut degenerasi karena fungsi eigen penyusunnya degenerate sedang (7-21)
bukan degenerasi.
Jika kepada kita ditanyakan berapa energi pada (7-20) maka jawabnya adalah E =
2
h 6
.
8m L2
Ortogonalisasi
Misal kita mempunyai dua buah fungsi eigen yang degenerate, jadi nilai eigennya sama
maka menurut teorema 2 kedua fungsi tersebut tidak ortogonal. Pertanyaannya adalah dapatkah
kita membuatnya menjadi ortogonal ? Jawabnya adalah, dapat.
Sekarang kita akan menunjukkan bahwa dalam kasus degenerasi (yang fungsi-fungsinya
tidak ortogonal), dapat kita buat menjadi ortogonal. Kita misalkan kita mempunyai operator
Bab I/Pers. Schrodinger/ 119
Hermit A dan dua buah fungsi eigen independen yaitu fungsi f dan fungsi G yang mempunyai
nilai eigen yang sama yaitu s, maka berarti:
Af = s f ; AG = s G
Karena nilai eigen keduanya sama, maka f dan G pasti tidak ortogonal. Agar diperoleh dua
fungsi baru yang ortogonal, ditempuh langkah sebagai berikut:
Kita buat fungsi eigen baru yaitu g1 dan g2 yang merupakan kombinasi linear f dan G
sehingga membentuk misalnya:
g1 = f dan g2 = G + c f dengan c adalah konstanta.
Kita harus menentukan harga c tertentu agar g1 dan g2 ortogonal. Agar ortogonal harus dipenuhi
syarat:
*
g1 g 2 d = 0 atau:
*
f (G + c f ) d= 0 atau :
* *
f G d + cf f d = 0 atau :
*
f G d + c f * f d = 0 atau :
kombinasi linear fungsi eigen itu adalah a11 + a22 + a33..... + ann, atau agar lebih singkat
~
kita tulis saja dengan bentuk a n n , maka ekspansi fungsi yang dimaksud adalah:
1
~
F(x) = a n n (7-22)
1
dengan :
*
an = n F( x ) dx (7-23)
all x
1
m* F(x) dx = a n m* n dx (7-25)
m* n dx = m n (7-26)
*
an = n F( x ) dx
all x
Contoh:
Diketahui: F(x) = x untuk 0 < x < a/2
F(x) = 1 x untuk a/2 < x < a
Ekspansilah F(x) ke dalam fungsi eigen untuk partikel dalam kotak satu dimensi yang panjang
kotaknya = a.
Jawab:
Fungsi gelombang partikel dalam kotak satu dimensi dengan panjang kotak = a adalah:
1/ 2
2 n
n = sin x (7-29)
a a
Menurut (7-23) :
*
an = n F( x ) dx
all x
1/ 2
2 n
=
a
sin
a
x F( x ) dx
1/ 2
2 n
=
a sin a x F(x) dx
1/ 2 a / 2 1/ 2 a
2 n 2 n
=
a x . sin
a
x dx +
a (1 x ) . sin
a
x dx
0 a/2
2 a
3/ 2
= 2 2 sin
n
(7-31)
n 2
Jadi:
a1 =
2 a
3/ 2
2 a
3/ 2
2 a
3/ 2
; a2 = 0 ; a3 = 2 2 ; a4 = 0 ; a5 = 2 2 ; a6 = 0 dan
2
3 5
seterusnya.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 122
1/ 2
2a 2a3'2 2a 3'2
3' 2
2 3 5
= sin x sin x sin x . . . .
a 2 a 2 2 a 2 2 a
3 5
2
=
1/ 2
2a 3'2 1
sin
1
x 2 sin
3 1
x 2 sin
5
x . . . .
a
2 1 2 a 3 a 5 a
4a 1 1 3 1 5
= 2
2
sin x 2
sin x 2
sin x . . . .
1 a 3 a 5 a
Contoh himpunan fungsi gelombang yang bukan himpunan lengkap adalah himpunan fungsi
gelombang elektron atom hidrogen yang sudah pernah kita pelajari. Meskipun kita tahu bahwa
fungsi gelombang elektron atom hidrogen yaitu (n, l, m ) adalah fungsi r,,, namun jika
seandainya kita mempunyai sembarang fungsi F(r,,) maka fungsi tersebut tidak dapat
diekspansi menjadi kombinasi linear , karena seperti kita ketahui bahwa hidrogen hanya
berhubungan dengan energi diskrit saja padahal energi elektron bisa saja kontinum, yaitu ketika
elektron dalam proses lepas dari sistem atom menjelang terjadinya ionisasi. Jadi n atom
Bab I/Pers. Schrodinger/ 123
Hidrogen bukan merupakan himpunan lengkap sehingga tidak mungkin kita mengekspansi
F(r,,) menjadi himpunan linear (n, l, m). Fungsi gelombang hidrogen baru disebut himpunan
fungsi lengkap jika menyertakan himpunan fungsi gelombang yang berkorelasi dengan energi
kontinum yang biasanya ditulis (E, l, m). Jika fungsi gelombang hidrogen sudah dinyatakan
secara lengkap seperti itu maka fungsi F(r,,) dapat diekspan, yaitu menjadi kombinasi linear
fungsi diskrit dan kombinasi linear fungsi kontinum.
Teorema 3:
Jika g1, g2... adalah himpunan lengkap fungsi eigen dari operator A dan jika fungsi F
juga fungsi eigen dari operator A dengan nilai eigen k (jadi A F = k F) sedang F diekspansi
dalam bentuk F = a i g i , maka gi yang a i nya tidak nol mempunyai nilai eigen k juga.
i
Jadi ekspansi terhadap F, hanya melibatkan fungsi-fungsi eigen yang mempunyai nilai
eigen yang sama dengan nilai eigen F.
Selanjutnya sebagai rangkuman dari sub-bab 7.2 dan 7.3 dapat dinyatakan bahwa
Fungsi-fungsi eigen dari operator Hermite, membentuk himpunan lengkap ortonormal dan nilai
eigennya adalah real.
Kita tahu:
[ A,B] = A B B A (7-34)
Jika dioperasikan pada i :
[ A , B ]i = A B i B A i
= A ( B i ) B ( A i )
= A bi B ai i
= bi A ai B i
= bi ai ai bi i
[ A , B ] = bi ai ai bi = 0 (terbukti) (7-35)
Pembuktian di atas adalah pembuktian untuk teorema 4 yang bunyinya
Teorema 4: Jika Operator linear A dan B mempunyai himpunan fungsi eigen yang sama maka
A dan B adalah commute.
Perlu diingat A dan B yang dimaksud oleh teorema 4 hanya A dan B yang masing-
masing merupakan operator linear. Jika A dan B bukan operator linear maka keduanya bisa
tidak commute meskipun seandainya keduanya mempunyai fungsi eigen yang sama. Sebagai
contoh (,) yang kita bahas di bab V, adalah fungsi eigen dari operator L x dan operator L y
A ( B g i ) = ai ( B g i ) (7-38)
Persamaan (7-38) di atas menyatakan bahwa fungsi B g i adalah fungsi eigen terhadap operator
A dengan nilai eigen a i , persis sama dengan fungsi g i yang juga fungsi eigen terhadap operator
A dengan nilai eigen a i . Marilah kita untuk sementara menganggap bahwa nilai eigen dari
operator A tersebut non degenerate, hingga untuk sembarang harga nilai eigen a i yang
diberikan berasal dari satu dan hanya satu fungsi eigen yang linearly independent. Jika ini benar,
maka kedua fungsi eigen g i dan B g i yang mempunyai nilai eigen sama yaitu a i harus linearly
dependent, yaitu, fungsi yang satu harus merupakan kelipatan sederhana dari yang lain,
B gi = ki gi (7-39)
dengan k i adalah konstan. Persamaan (7-39) itu menyatakan bahwa fungsi g i merupakan
fungsi eigen dari operator B sebagaimana yang hendak kita buktikan.
Jadi, jika A dan B commute dan fungsi g i adalah fungsi eigen terhadap A maka g i juga
merupakan fungsi eigen dari B (Jadi Teorema 5 adalah kebalikan dari Teorema 4)
Teorema 6: Jika g i dan g j adalah fungsi eigen dari operator Hermite A dengan nilai eigen
berbeda (misal A g i = a i g i dan A g j = a j g j dengan a i a j ), dan jika B adalah
operator linear yang commute terhadap A , maka:
< g j B g i > = 0 atau g j B g i d = 0 (7-40)
s r
g j k i g i d = ki gj g i = k i . 0 = 0 (terbukti)
sr sr
Bab I/Pers. Schrodinger/ 126
7.5 Paritas
Ada operator mekanika kuantum yang tidak dikenal dalam mekanika klasik, contohnya
adalah operator paritas. Marilah kita ingat kembali bahwa dalam osilator harmonis, kita
mengenal adanya fungsi genap dan ganjil. Akan kita lihat bagaimana sifat ini dikaitkan dengan
operator paritas.
Operator paritas, dapat dilihat dari efeknya apabila ia bekerja pada sembarang fungsi.
Operator ini akan mengubah tanda semua koordinat Cartessius, sehingga kita boleh
mendefinisikan:
f ( x, y, z ) = f (x, y, z)
Contohnya: ( x2 2 x. e2y + 3 z3 ) = { (x)2 2 (-x). e2y + 3 (z)3 }
= x2 + 2 x e2y 3z3
Jika seandainya g i adalah fungsi eigen dari operator paritas dengan nilai eigen a i maka
kita dapat menulis:
gi = a i gi (7-42)
Sifat paling penting dari operator ini adalah kuadratnya:
2 f ( x, y, z ) = f ( x, y, z ) = f (x, y, z) = f ( x, y, z )
Karena f nya fungsi sembarang maka 2 adalah operator satuan (unit Operator), jadi:
2 = 1 (7-43)
Sekarang, bagaimana jika kita gunakan 2 untuk (7-42) ? Hasilnya adalah:
2 g i = g i = a i g i = a i g i = a i2 g i (7-44)
Karena adalah unit operator, maka (7-44) menjadi:
g i = a i2 g i (7-45)
atau:
ai = + 1 (7-46)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 127
Karena ai adalah nilai eigen untuk 2 , maka nilai eigen untuk 2 adalah 1 dan 1. Perlu
dicatat bahwa hal ini berlaku untuk semua operator yang kuadratnya merupakan operator satuan.
Bagaimana fungsi eigen dari operator Paritas ? Kita lihat kembali persamaan (7-42)
gi = a i gi
Karena nilai eigen operator ini + 1, maka persamaan di atas dapat ditulis:
gi = + 1 gi (7-47)
Jika gi adalah g(x, y, z), maka:
g (x, y, z) = + 1 g(x, y, z ) atau (7-48)
dan juga boleh menyatakan bahwa i adalah fungsi eigen bagi operator paritas tidak peduli
fungsi tersebut ganjil atau genap. Untuk sistem partikel tunggal,
Bab I/Pers. Schrodinger/ 128
2 2 2 2
[ H , ] = [ ( V ), ] = [ , ] + [ V, ]
2m x 2 2m x 2
2 2
= [ , ] + [ V, ] (7-53)
2m x 2
2
Harga [ , ] adalah 0, ini dengan mudah dapat dibuktikan sebagai berikut:
x 2
2 2 2
[ , ] F(x) = F(x) F(x)
x 2 x 2 x 2
2
= F(x) F(x)
x 2 x x
2 2
= F(x) F(x) = 0
x 2 x 2
Jika semua energi levelnya adalah non degenerate ( umumnya memang benar untuk
sistem partikel tunggal) berarti hanya ada satu fungsi gelombang independen yang berhubungan
dengan masing-masing energi level. Jadi untuk kasus non degenerate, maka fungsi gelombang
stasioner yang fungsi energi potensialnya fungsi genap adalah definit paritas. Sebagai contoh
fungsi gelombang osilator harmonis adalah definit paritas karena fungsi energi potensialnya ½
kx2 (fungsi energi potensial genap).
Jika energi level degenerate, itu berarti tidak cuma satu fungsi gelombang independen
yang memiliki energi nilai eigen tersebut. Dengan demikian kita mempunyai banyak sekali
pilihan fungsi gelombang sebagai akibat dari kombinasi linear dari fungsi-fungsi degenerasi itu.
Agar dapat menggambarkan bahwa adalah fungsi waktu, maka koefisien ci harus merupakan
fungsi waktu sehingga (7-58a) lebih baik ditulis:
(q,t) = ci (t ) g i ( q ) (7-58b)
i
Jika i = j, maka:
c*i( t ) c i( t ) = 1 atau:
i i
2
ci = 1 (7-62)
i
atau:
* *
<A>= c*j( t ) c i( t ) g j ai g i d c*j( t ) c i( t ) a i g j g i d
j i j i
2
<A>= ci a i (7-63)
i
Bagaimana menginterpretasi (7-63) ? Perlu diketahui, bahwa nilai eigen suatu operator adalah
kemungkinan dari bilangan-bilangan yang diperoleh jika kita melakukan pengukuran terhadap
besaran yang diwakili oleh operator tersebut. Dalam sembarang pengukuran terhadap besaran A,
Bab I/Pers. Schrodinger/ 131
kita akan memperoleh salah satu harga a i . Kemudian marilah kita ingat kembali teori mengenai
rata-rata yang kita pelajari dalam matematika. Jika kita mempunyai n buah data X dengan
rincian X1 sebanyak n1, X2 sebanyak n2 dan seterusnya maka, rata-rata X adalah :
n X n 2 X 2 ...........n i X i . n n n
<X>= 1 1 = 1 X1 + 2 X 2 ..... i X i
n n n n
= P1 X1 + P2 X2...... Pi Xi Jadi:
<X>= Pi X i (7-64)
i
Sekarang jika dari pengukuran terhadap besaran A diperoleh nilai-nilai eigen a1, a2... ai maka
rata-rata A adalah:
<A>= Pi a i (7-65)
i
dengan Pi adalah probabilitas mendapatkan nilai a i pada pengukuran besaran A. Jika hanya ada
sebuah fungsi eigen independen untuk setiap nilai eigen (non degenerate) maka banyaknya
eigen fungsi sama dengan banyaknya nilai eigen. Selanjutnya dengan membandingkan (7-65)
terhadap (7-63) maka dapat dipastikan bahwa
2
c i = Pi (7-66)
yaitu probabilitas memperoleh harga a i ketika dilakukan pengukuran terhadap besaran A.
Teorema 8: Jika a i adalah nilai eigen non degenerate dari operator  dan g i adalah fungsi eigen
ternormalisasi ( Â g i = a i g i ) maka, manakala besaran A diukur dalam sistem
mekanika kuantum yang fungsi statenya pada waktu diadakan pengukuran adalah
, probabilitas mendapatkan hasil a i adalah c i 2, dengan ci adalah koefisien g i
pada ekspansi = i c i g i . Jika nilai eigen a i degenerate, probabilitas
mendapatkan a i pada saat A diukur adalah jumlah dari c i 2 fungsi-fungsi eigen
yang nilai eigennya a i .
Kapankah hasil pengukuran besaran A dapat diprediksi secara tepat ?. Kita dapat
melakukan itu jika semua koefisien pada ekspansi = i c i g i adalah nol kecuali satu koefisien
Bab I/Pers. Schrodinger/ 132
saja yaitu misalnya c k . Untuk kasus ini maka (7-66) menjadi c k 2 = Pk = 1. Artinya peluang
untuk mendapatkan nilai eigen seharga a k = 1, artinya, nilai eigennya pasti a k .
Kemudian, untuk selanjutnya kita dapat memandang ekspansi deret = i c i g i sebagai
ekspresi bentuk umum fungsi yang merupakan superposisi dari fungsi eigen g i dari operator
Â. Masing-masing fungsi eigen g i berhubungan dengan nilai eigen a i milik besaran A.
Selanjutnya bagaimana cara menghitung koefisien ci sehingga pada akhirnya kita dapat
menghitung ci 2 ? Caranya kita kalikan = i c i g i dengan g * j kemudian integralkan ke
seluruh ruang, sehingga diperoleh:
∫ g *j d = ∫g *j i c i g i d = i c i ∫g *j g i .d c i i ∫g *j g i d
Jika ortonormal:
∫g *j d = c i
atau:
c i = ∫ . g *j d g *j (7-67)
Kuantitas g*j> disebut amplitudo probabilitas. Selanjutnya probabilitas mendapatkan nilai
eigen non degenerate a i pada pengukuran A adalah [lihat (7-66)]:
2
Pi = c i = ∫. g *j d g *j (7-68)
Jadi jika kita mengetahui state sistem sebagaimana ditentukan oleh fungsi maka kita dapat
menggunakan (7-68) untuk memprediksi probabilitas dari berbagai kemungkinan hasil
pengukuran besaran A.
Teorema 9: Jika besaran B diukur dalam sistem mekanika kuantum yang fungsi statenya pada
saat pengukuran adalah , maka probabilitas dari pengamatan nilai eigen a j dari
operator  adalah <g j , dengan g j adalah fungsi eigen ternormalisasi yang
mempunyai nilai eigen a j .
Integral <g j ∫g*jd akan mempunyai nilai absolut substansial jika fungsi
ternormalisasi g j dan berada pada daerah yang saling berdekatan dan dengan demikian
harganya di daerah tertentu dalam ruangan hampir sama. Jika tidak demikian maka bisa terjadi
g j terlalu besar sedang terlalu kecil (atau sebaliknya) sehingga hasil kali g j .selalu terlalu
Bab I/Pers. Schrodinger/ 133
kecil. Akibatnya absolut kuadratnya juga terlalu kecil sehingga probabilitas untuk mendapatkan
nilai eigen a i juga sangat kecil.
Contoh: Dilakukan pengukuran terhadap Lz elektron atom hidrogen yang fungsinya pada saat
diadakan pengukuran adalah fungsi 2px. Tentukan hasil-hasil pengukuran yang
mungkin dan tentukan pula probabilitas masing-masing hasil pengukuran.
Jawab: a) 2px adalah kombinasi linear dari 2p(+1) dan 2p(1). Jadi harga Lz yang mungkin
adalah dan karena Lz adalah m .
b) Untuk menentukan probabilitas masing-masing, kita ekspansi 2px atas fungsi-fungsi
penyusunnya:
2px = 21/2 2p(+1) + 21/2 2p(1). Persamaan diatas adalah bentuk ekspansi 2px atas
2p(+1) dan 2p(1) dengan koefisien c1 = c2 = 21/2. Menurut teorema 8, probabilitasnya
adalah:
P1 = 21/22 = ½ = P2
P1 adalah probabilitas mendapatkan Lz = sedang P2 adalah probabilitas mendapatkan
Lz =
Contoh: Akan dilakukan pengukuran terhadap energi (E) bagi partikel dalam box yang
panjangnya a dan pada saat pengukuran dilakukan partikel berada pada keadaan non
stasioner = 301/2a5/2x (ax) untuk 0 < x < a. Tentukan hasil-hasil pengukuran yang
mungkin dan tentukan pula probabilitas masing-masing hasil pengukuran
Jawab: Untuk partikel dalam box:
E = n2h2 /(8ma2)dengan n = 1, 2, 3,..... dan non degenerate (karena 1 dimensi) sedang
fungsi eigennya adalah n = (2/a)1/2 sin (n/a) x. Untuk menghitung probabilitasnya maka kita
ekspansi saat itu atas n, jadi:
= n cn n
Menurut (7-67)
c i = ∫ . g *j d
jadi:
c n = ∫ . n d= 301/2a5/2 (2/a)1/2 ∫ x (ax)}sin (n/a) x dx
Bab I/Pers. Schrodinger/ 134
2401 / 2
= [ 1 (1)n ] (Buktikan) (7-69)
n 33
240
Pn = cn2 = [ 1 (1)n ]2.
n 6 6
Catatan: Jika anda akan membuktikan (7-69) yang perlu dicatat adalah bahwa cos n = (1)n
7.7 Postulat-Postulat Mekanika Kuantum
Sepanjang perjalanan kita dalam mempelajari mekanika kuantum, kita telah mengenal
postulat-postulat mekanika kuantum. Sekarang ini, kita akan merangkumnya:
Postulat I. Keadaan (state) sistem dideskripsi oleh fungsi yang merupakan fungsi
koordinat dan waktu. Fungsi ini disebut fungsi keadaan atau fungsi
gelombang yang memuat semua informasi mengenai sistem. Selanjutnya juga
dipostulatkan bahwa harus bernilai tunggal, continous, ternormalisasi dan
quadratically integrable.
Postulat II. Setiap besaran fisik teramati, berhubungan dengan operator Hermite linear.
Untuk menurunkan operator ini, tulislah ekspresinya secara mekanika klasik
dalam koordinat Cartessius, dan hubungkanlah dengan komponen momentum
komponen px dengan i
x
Postulat III. Nilai yang mungkin, yang dapat diperoleh dari besaran fisik A hanyalah
nilai eigen a i dalam persamaan  g i = a i g i dengan  adalah operator yang
berhubungan besaran fisik A dan g i adalah fungsi eigen yang well behaved.
Postulat IV. Jika  adalah operator Hermite linear yang mewakili besaran fisik teramati
tertentu, maka fungsi g i dari operator  membentuk himpunan lengkap.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 135
Catatan:
Postulat IV di atas lebih bersifat sebagai postulat matematik artinya kurang bersifat
postulat fisik, karena tidak ada pembuktian matematik sama sekali terhadap postulat ini. Karena
tidak ada pembuktian matematik terhadap kelengkapan himpunan, maka kita harus berasumsi
terhadap kelengkapannya. Postulat IV mengijinkan kita untuk mengekspansi fungsi gelombang
untuk sembarang keadaan sebagai superposisi dari fungsi-fungsi eigen ortonormal dari
sembarang operator mekanika kuantum. Ekspansinya adalah dalam bentuk:
= i c i g i (7-70)
Postulat V. Jika (q,t) adalah fungsi ternormalisasi yang mewakili suatu sistem pada
saat t, maka nilai rata-rata besaran fisik A pada saat t, adalah:
Postulat VI. Keadaan bergantung waktu dalam sistem mekanika kuantum dinyatakan
dengan menggunakan persamaan Schrodinger bergantung waktu:
= H (7-72)
i t
dengan H adalah operator Hamilton (Energi) sistem itu
menjadi g k yaitu fungsi eigen operator  yang nilai eigennya a k . Untuk lebih jelasnya adalah
sebagai berikut: Misal kita melakukan dua kali pengukuran terhadap Lz elektron dalam atom
hidrogen. Pada pengukuran pertama dihasilkan Lz = 2 . Pada saat ini fungsi gelombangnya
tentu fungsi gelombang dengan m = 2, sehingga secara umum fungsi gelombangnya adalah ( n,
, 2) dengan > 2 dan n > +1. Selanjutnya misal pada pengukuran kedua diperoleh Lz = .
Pada pengukuran kedua ini, hasil pengukuran pasti berasal dari fungsi gelombang hidrogen yang
m = 1, sehingga fungsi gelombangnya adalah (n, ,1) dengan > 1 dan n > +1. Jadi tampak
adanya perubahan fungsi gelombang secara mendadak akibat adalah pengulangan pengukuran.
Inilah penjelasan dari reduksi fungsi gelombang.
Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian mengenai pengukuran adalah bahwa
dalam mekanika kuantum, pengukuran merupakan sesuatu yang sangat kontroversial.
Bagaimana dan kegiatan apa yang terjadi dalam kaitannya dengan reduksi pada saat terjadi
pengukuran sungguh sesuatu yang sangat-sangat tidak jelas. Ada fisikawan yang berpendapat
reduksi merupakan postulat tambahan bagi mekanika kuantum, sementara fisikawan lain
menyatakan bahwa reduksi merupakan teorema yang diturunkan dari postulat lain. Para ahli
saling berbeda pendapat mengenai reduksi ini (L.E Balentine, 2004). Balentine mendukung
interpretasi ansemble statistika pada mekanika kuantum, yang dikemukakan oleh Einstein, yang
menyatakan bahwa fungsi gelombang tidak mendeskripsi keadaan sistem tunggal (sebagaimana
dalam interpretasi ortodok) tetapi memberikan deskripsi statistikal terhadap sekelompok sistem
(dalam jumlah besar/ ansemble); dengan interpretasi seperti ini maka silang pendapat mengenai
reduksi fungsi gelombang tidak terjadi.
"Bagi sebagian besar fisikawan, problema untuk mendapatkan teori mekanika kuantum
yang berhubungan dengan pengukuran masih merupakan suatu persoalan yang belum ada
penyelesaiannya. Adanya perbedaan pendapat.... ketidakpastian dalam pengukuran kuantum...
dan lain-lain.... semua itu merefleksikan adanya ketaksepahaman dalam meng-interpretasi
mekanika kuantum secara global " (M. Jammer, 2003)
Sifat probabilistik dalam mekanika kuantum telah membuat para fisikawan bingung,
termasuk di antaranya Einstein, de Broglie dan Schrodinger. Sampai-sampai mereka
Bab I/Pers. Schrodinger/ 137
menyatakan bahwa mekanika kuantum belum memberikan deskripsi yang memuaskan bagi
realitas fisik. Selanjutnya, hukum probabilistik mekanika kuantum, secara sederhana dapat
dipandang sebagai refleksi dari hukum deterministik yang beroperasi pada level sub mekanika
kuantum dan yang melibatkan variabel tersembunyi (hidden variables). Sebuah analogi bagi
kasus ini diberikan oleh fisikawan Bohm, yaitu kasus gerak Brown partikel debu di udara.
Partikel-partikel bergerak di bawah kondisi fluktuasi random, sehingga posisi dan geraknya
tidak dapat ditentukan secara pasti oleh posisi dan kecepatannya. Secara analogis pula, gerak
elektron dapat ditentukan oleh variabel tersembunyi yang ada dalam level sub mekanika
kuantum. Interpretasi ortodok (sering disebut interpretasi Copenhagen) yang dikembangkan oleh
Heissenberg dan Bohr, menafikan adanya variabel tersembunyi dan menyatakan bahwa hukum
mekanika kuantum memberikan deskripsi lengkap bagi realitas fisik.
Pada tahun 1964 J.S. Bell membuktikan bahwa dalam eksperimen tertentu yang
melibatkan dua partikel yang terpisah jauh, yang pada awalnya berada pada daerah yang sama
dalam ruangan, orang harus membuat beberapa kemungkinan teori variabel tersembunyi untuk
memprediksi adanya perbedaan dengan yang dilakukan oleh mekanika kuantum. Dalam teori
lokal, dua partikel yang sangat berjauhan akan saling independen. Hasil beberapa eksperimen
sesuai dengan prediksi mekanika kuantum, dan hal ini memperkuat keyakinan mekanika
kuantum untuk melawan teori variabel tersembunyi lokal.
Selanjutnya analisis yang dilakukan oleh Bell dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
hasil eksperimen ini beserta prediksinya terhadap mekanika kuantum adalah tidak kompatibel
dengan pandangan dunia mengenai realisme dan lokalitas. Realisme (juga disebut obyektivitas)
adalah doktrin yang menyatakan bahwa realitas eksternal itu eksis dan sifat-sifat definitnya
adalah independen terhadap benar tidaknya realitas yang kita amati. Sedang lokalitas adalah ke-
instan-an aksi pada jarak yang memungkinkan sebuah sistem berpengaruh terhadap yang lain
ketika sistem itu harus melintas dengan kecepatan yang tidak melebihi kecepatan cahaya.
dipengaruhi oleh pengukuran partikel yang lain dan juga dipengaruhi oleh sifat kedua partikel
yang diukur. Hal ini membuat adanya pendapat bahwa mekanika kuantum adalah magic (D.
Greenberger, 2004).
Meskipun prediksi-prediksi eksperimen mekanika kuantum tidak arguabel, trtapi
ternyata interpretasi konseptualnya masih saja menjadi topik debat yang hangat dan menarik
bagi para ahli, bahkan sampai saat ini.
7.9 Matrik dan Mekanika Kuantum
Aljabar Matrik merupakan peralatan yang sangat penting dalam kalkulasi mekanika
kuantum modern. Matrik juga menjadi salah satu cara dalam memformulasikan beberapa teori
mekanika kuantum. Sub bab ini akan mereview ingatan kita tentang matrik dan hubungannya
dengan mekanika kuantum.
Matrik adalah penataan bilangan-bilangan dalam baris dan kolom. Bilangan-bilangan
yang menyusun matrik disebut elemen matrik. Seandainya matrik A terdiri atas m baris dan n
kolom, dan seandainya aij ( i = 1, 2, 3,...... m sedang j = 1, 2, 3,.....n) adalah pernyataan untuk
elemen baris i kolom j, maka:
a 11 a12 ..... a 1n
a 2n
A = a 21 a 22 .....
..... ..... ..... .....
a a ..... a mv
m1 m 2
A disebut matrik m x n. Jangan bingung antara matrik dengan determinan, Matrik tidak harus
bujur sangkar dan tidak sama dengan sebuah bilangan tunggal. Jika sebuah matrik hanya terdiri
atas sebuah baris saja, maka matrik itu disebut matrik baris atau matrik vektor. Sedang jika
sebuah matrik hanya terdiri atas sebuah kolom saja, maka matrik itu disebut matrik kolom.
Dua buah matrik A dan B adalah sama jika jumlah baris dan kolomnya sama serta
elemen-elemen yang seletak nilainya sama.
Dua buah matrik dapat dijumlahkan jika kedua matrik itu berdimensi sama.
Penjumlahan dilakukan dengan menggabungkan elemen yang seletak. Jika matrik C = A + B
maka elemen cij = aij+bij dengan i = 1, 2, 3.... m dan j = 1, 2, 3,.... n atau:
Jika C = A + B maka cij = aij + bij (7-73)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 139
Jika sebuah matrik dikalikan dengan sebuah bilangan k yang konstan maka dihasilkan matrik
baru yang elemen-elemen adalah k kali elemen matrik semula, jadi:
C = kA maka cij = kaij (7-74)
Jika Am x n sedang Bn x p, maka perkalian matrik C = A x B adalah matrik berdimensi m
xp
Sebagai contoh:
1 0 2
A = 01 34 1 1/ 2 B= 2 5 6
8 3 10
1
1 16 25
2
C=
0 23 34
Perkalian antar matrik bersifat non commutatif, artinya AB dan BA tidak harus sama. bahkan
untuk contoh kita di atas BA tak terdefinisi.
Matrik yang jumlah baris dan kolomnya sama disebut matrik square atau matrik bujur
sangkar. Matrik bujur sangkar disebut matrik diagonal jika selain elemen diagonal utama, nilai
elemen lain adalah nol. Dan matrik diagonal yang elemen diagonal utamanya 1, disebut matrik
satuan. Contoh matrik satuan orde 3:
1 0 0
0 1 0
0 0 1
maka elemen-elemen:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 140
Jika  = C G maka Aij = k Cij Gij (7-82)
Persamaan Aij = k Cij Gij adalah aturan perkalian matrik A = C. G, jadi:
Jika  = C G maka A = C. G (7-83)
Selanjutnya kombinasi (7-79) dengan (7-82) menghasilkan aturan penjumlahan yang sangat
bermanfaat, yaitu:
k Cij Gij = ∫ fi* C G fj datau:
k < fi* C fj> < fi* G fj> = < fi* C G fj> (7-84)
Selanjutnya berangkat dari Aij = < fi*Â fj> kita dapat memperoleh:
Aij = < fi*Â fj> = Aij = ∫ fi* Â fj d
Jika nilai eigen dari fj terhadap  adalah aj maka:
Aij = ∫ fi* aj fj d aj ∫ fi* fj d aj < fi* fj> (7-85)
Satu hal yang sangat mendasar dari hubungan antara matrik dengan operator mekanika
kuantum adalah jika kita memahami matrik representatif A berarti kita juga mengenal
operator Â
H(x)
1
1/
2
x
~ ~
f (x) (x-a) dx = f (~) H(xa) f '(x) dx (7-97)
~ ~
~
Suku H(xa) f '(x) dx pada (7-97) adalah ∫V dU jadi (7-97) menjadi:
a
~
f(x) (x-a) dx = f(a) (7-98)
~
Bab I/Pers. Schrodinger/ 144
Jika kita bandingkan (7-98) dengan persamaan j Cj ij = Ci kita dapat melihat bahwa peran
fungsi delta Dirac dalam integral sama dengan peran Kronecker delta dalam jumlah atau
sigma.
Jadi dapat dipastikan:
~
(x-a) dx = 1 (7-99)
~
Sifat (7-96) dari fungsi delta Dirac sama dengan sifat (7-88) dan (7-89), dari fungsi eigen posisi
g(x). Dengan demikian secara tentatif dapat dinyatakan bahwa fungsi eigen posisi adalah:
g(x) = (x-a) (7-100)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 145
Soal-soal Bab 7
1. Apakah <fmÂfn> sama dengan <fmÂfn> ?
2. Apakah suatu operator Hermite dapat ditunjukkan oleh persamaan <mn> = <nm>* ?
3. Diketahui operator  dan G adalah Hermitian dan c adalah bilangan konstan real.
a) buktikan bahwa c adalah Hermitian
b) Buktikan
bahwa Â+ G adalah Hermitian
4. Dengan menggunakan fi = A sin nx dan fj = A' sin mx, buktikan bahwa operator d2/dx2 adalah
operator Hermitian.
5. Mana di antara operator-operator berikut yang dapat menjadi operator mekanika kuantum?
a) ( )1/2 b) d/dx c) d2/dx2 d) i(d/dx)
6. Tentukan nilai integral-integral dari sistem atom hidrogen berikut:
a) < 2 Âb) < 3 G c) < 3 C
 adalah operator Lz, G adalah operator momentum angular L2 dan C adalah operator
Hamilton.
7. Jika F(x) = x (a – x ) untuk 0 < x < adalah fungsi gelombang partikel dalam box dan
n = (2/a)1/2sin(n/a) x adalah himpunan lengkap fungsi gelombang dalam box, tentukan:
a) ekspansi F(x) = n an n
b) E1, E2 dan E3
c) probabilitas mendapatkan E1, E2 dan E3
8. Jika adalah operator paritas, tentukan N jika n bilangan ganjil positif ? Bagaimana pula
jika n genap positif ? (Note: Terapkan pada sembarang f(x, y, z)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 146
9. Diketahui adalah operator paritas dan i(x) adalah fungsi gelombang osilator harmonik
ij = ψ *i ψ i d
10. Jika  adalah operator linear dimana Ân = 1. Tentukan nilai eigen dari Â.
11. Buktikan bahwa operator paritas adalah linear. Buktikan pula bahwa operator paritas adalah
hermitian. (Pembuktian cukup dalam satu dimensi)
12. Karena operator adalah Hermitian, maka dua fungsi eigen terhadap yang mempunyai
Jika diadakan pengukuran terhadap Lz, tentukan harga-harga yang mungkin dan
probabilitasnya masing-masing.
14. Tentukan:
~ 1 1
a) (x) dx b) (x) dx c) (x) dx
~ ~ 1
15. ) Tentukan:
~ ~
a) f(x)(x-5) dx Jika f(x) = x2 b) f(x)(x-6) dx jika f(x) = ½ x2 + 5
~ 0
Tentukan:
a) AB b) BA c) A + B d) 3A e) A + 4B
===000===
Bab I/Pers. Schrodinger/ 147
bab viii
METODE VARIASI
8.1 Teorema Variasi
Problem sentral kimia kuantum sebenarnya adalah menentukan energi suatu sistem yang
pada dasarnya dapat dilakukan dengan cara menyelesaikan persamaan Schrodinger. Untuk
sistem sederhana seperti partikel dalam box, gerak harmonis satu dimensi atau sistem atom
hidrogen penyelesaian persamaan Schrodinger telah pernah kita lakukan dan tidak
membutuhkan kalkulasi yang terlalu rumit. Namun untuk sistem yang terdiri atas banyak
partikel seperti pada atom berelektron banyak atau pada molekul penyelesaian persamaan
Schrodinger untuk sistem tersebut tidak sederhana atau bahkan merupakan sesuatu yang
mustahil. Untuk itu pada bab ini kita akan mempelajari salah satu metode aproksimasi
(pendekatan) yaitu metode variasi. Metode variasi ini didasari oleh teorema sebagai berikut:
Telah kita ketahui bahwa jika operator Hamilton H adalah operator penentu energi
terendah E1 maka untuk sistem yang fungsi gelombangnya , berlaku:
*
H d E1
dan untuk sembarang fungsi gelombang ternormalisasi yang berkelakuan baik dan kondisi
boundarynya sesuai dengan kondisi boundary maka berlakulah:
*
H d E1 ternormalisasi (8-1)
dengan adalah fungsi gelombang partikel yang susungguhnya sedang adalah fungsi
gelombang aproksimasi atau fungsi variasi.
=====================================================
Pembuktian teorema (8-1):
Untuk membuktikan teorema tersebut, marilah kita perhatikan uraian berikut ini. Telah kita
ketahui bahwa suatu fungsi dapat diekspansi menjadi suatu kombinasi linear yang suku-sukunya
merupakan fungsi eigen. Untuk ini kita misalkan diekspansi ke dalam fungsi eigen k
sehingga:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 148
= ak k (8-2)
k
Substitusi (8-2) ke dalam ruas kiri (8-1) membuat ruas kiri ini menjadi:
* * *
H d a k k H a j j d
k j
Dengan menggunakan persamaan eigen (8-3), maka ruas kiri (8-1) menjadi::
* * *
H d a k k a j E j j d
k j
karena aj ; ak dan Ek adalah bukan fungsi, maka mereka dapat dikeluarkan dari tanda integral,
sehingga:
*
* *
H d a k a j E j k j d = a*k a jE j kj
k j k j
Perlu diingat bahwa kj berharga 1, jika k = j dan 0 jika k j sehingga ruas kiri (8-1) menjadi:
H d a k a k E k ( kita juga boleh menyatakan: H d a j a jE j
* * * *
k j
2
karena a *k a k a k maka:
H d a k E k
* 2
(8-4)
k
k k
H d > E1 a k
* 2
(8-5)
k
*
Karena adalah ternormalisasi maka d 1 , dan jika ekspansi (8-2) dimasukkan ke
ak
2
Jika = 1, dimasukkan pada (8-5) maka diperoleh:
k
* ^
H d > E1 ternormalisasi (8-7)
Teorema dengan pernyataan seperti pada persamaan (8-1) adalah jika ternormalisasi.
Bagaimana jika tidak ternormalisasi ?. Fungsi yang tak ternormalisasi akan menjadi
ternormalisasi, jika dikalikan dengan suatu bilangan yaitu A yang disebut faktor normalisasi,
sehingga (8-1) menjadi:
A 2 * H d E1 (8-8)
Harga A dapat dihitung dari sifat fungsi ternormalisasi yaitu : A2 * d 1 jadi (8-2) dapat
ditulis:
*
H d E (8-9)
* 1
d
Keberhasilan penggunaan metode variasi ini ditentukan oleh kemampuan memformulasi
berdasarkan data boundary condition.
Fungsi disebut fungsi variasi dan integral (8-1) atau integral (8-9) disebut integral
variasional. Untuk dapat memperoleh aproksimasi yang bagus terhadap energi ground state E1
kita harus mencoba beberapa fungsi variasi yang memberikan hasil terendah tetapi tidak lebih
rendah dari E1 yang sesungguhnya (yaitu E1 yang diperoleh melalui eksperimen). Salah satu cara
untuk mengetahui bahwa fungsi variasi yang kita pergunakan adalah salah, adalah jika fungsi
variasi itu menghasilkan integral variasional yang lebih rendah dari E1, manakala harga E1
sesungguhnya dari sistem itu telah diketahui.
Marilah kita ambil 1 sebagai fungsi gelombang ground state yang sesungguhnya.
Dengan demikian:
H 1 E1 1 (8-10)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 150
Jika secara kebetulan, kita dapat membuat fungsi variasi yang sama dengan 1, maka dengan
menggunakan (8-10) ke dalam (8-1) kita akan melihat bahwa integral variasional tepat sama
dengan E1. Jadi fungsi gelombang ground state menghasilkan integral variasional terendah
untuk suatu sistem.
Dalam praktek, orang sering memasukkan beberapa parameter ke dalam fungsi variasi
dalam rangka memperoleh integral variasional yang semakin mendekati energi ground state
yang sesungguhnya.
Contoh:
Turunkan fungsi variasi jika fungsi eksaknya merupakan fungsi partikel dalam kotak satu
dimensi yang panjangnya l, dengan kondisi batas berharga 0 jika x = 0 dan x = l .
Aproksimasilah E1.
Jawab:
Fungsi harus mempunyai sifat-sifat tersebut. Bentuk paling sederhana untuk yang memenuhi
sifat-sifat tersebut adalah:
=x(lx) untuk 0 < x < l (8-11)
Karena tidak ada pernyataan bahwa ternormalisasi, maka kita tidak menggunakan (8-1) tetapi
(8-9) dengan operator Hamilton H = ( 2 / 2 m ) d2/dx2 (Ingat energi potensial partikel dalam
kotak satu dimensi adalah 0 untuk di dalam kotak).
Pembilang ruas kiri (8-9) adalah:
2 l 2 2 l 2
* d d
H d =
2m x(l x)
dx
2
x (l x) dx=
2m (l x x 2 )
dx
2
(l x x 2 ) dx
0 0
2l 3
= (8-12)
6m
Penyebut ruas kiri (8-9) :
l
l5
*
d = x2 (l x )2 dx = .
30
0
5h 2
> E1 (8-13
4 2 l 2 m
8.2 Fungsi Variasi Linear (Metode LCAO : Linear Combination Atomic Orbital)
Salah satu jenis fungsi variasi yang banyak aplikasinya dalam studi mengenai atom dan
molekul adalah fungsi variasi linear. Fungsi variasi linear adalah kombinasi linear dari fungsi-
fungsi f1 , f2 . . . . . fn yang saling independent :
n
= c1 f1 + c2 f2 + . . . . . . cn fn = a jf j (8-14)
j1
dengan adalah fungsi variasi dan koefisien cj adalah parameter yang akan ditentukan. Fungsi fj
harus memenuhi kondisi boundary sistem. Kita akan membuat batasan sendiri yaitu bahwa
adalah fungsi real, sehingga cj dan fj semuanya juga harus real.
Sekarang kita akan gunakan teorema variasi persamaan (8-9). Harga:
n n n n
*
*
d = c f
j j c f
k k d = c j c k f *j f k d (8-15)
j 1 k 1 j 1k 1
f j f k d
*
Supaya praktis integral overlap ditulis Sjk sehingga:
n n
*
d = c j c k S jk (8-16)
j1 k 1
n n
*
H d = c j c k Hjk (8-17)
j1 k 1
Jika ruas kiri persamaan (8-9) kita sebut W (jadi W > 1) maka:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 152
n n
* c j c k H jk
W=
H d =
j k
(8-18)
* n n
d c j c k S jk
j k
n n n n
W c j c k S jk = c j c k H jk (8-19)
j k j k
Selanjutnya W disebut integral variasional yang pada dasarnya adalah fungsi n buah variabel
bebas c1 , c2 , . . . . . . cn jadi:
W = W( c1 , c2 , . . . . cn )
Sekarang kita harus meminimalkan W agar W sedekat mungkin dengan E1. Kondisi yang
dibutuhkan untuk memperoleh W minimal terhadap variabel tertentu adalah turunan parsial
pertamanya terhadap variabel tertentu tersebut harus nol.
W
=0 c = 1, 2, 3 . . . . . . . . n (8-20)
c i
i = 1, 2, 3 . . . . n (8-21)
Suku pertama ruas kiri (8-21) hilang karena ∂W/∂ci = 0, jadi:
n n n n
W.
ci
c j c k S jk =
ci
c j c k H jk i = 1, 2, 3 . . . . n (8-22)
j k j k
n n
Selanjutnya marilah kita evaluasi
c i
c j c k S jk .
j k
n n n n
c j c k S jk = c j ck S jk
ci j k j k ci
Bab I/Pers. Schrodinger/ 153
n n c j n n ck
= ck S jk + c j S jk
j k ci j k ci
n n n n
= ckS jk ij + c jS jk ik (8-23)
j k j k
Jika suku pertama ruas kanan (8-23) kita kembangkan j-nya mulai 1sampai n (k tidak
dikembangkan) maka ketika j = i harga ij = 1 sedang untuk harga i yang lain ij = 0 sehingga:
n n n
ck S jk ij = c k S ik
j k k
(8-24)
Analog dengan itu jika suku kedua ruas kanan (8-23) kita kembangkan j-nya mulai 1sampai n (k
tidak dikembangkan) maka ketika j = i harga ik = 1 sedang untuk harga i yang lain ik = 0
sehingga:
n n n
c jS jk ik = c jS ji (8-25)
j k j
Dengan memasukkan (8-24) dan (8-25) ke dalam (8-23) maka (8-23) menjadi:
n n n n
ci
c j c k S jk = c k S ik + c jS ji (8-26)
j k k j
n n
Pada hakekatnya c k S ik = c jS ji karena baik j maupun k mulai 1 sampai dengan n.
k j
n n n
c j c k S jk = 2 c k S ik (8-27)
ci j k k
n n n
c i
c j c k H jk = 2 c k H ik (8-28)
j k k
atau:
n n
c k H ik W c k S ik =0
k k
atau:
n
(H ik Sik W) ck = 0 (8-29)
k
Persamaan (8-29) tersebut adalah himpunan yang terdiri atas n buah persamaan simultan, linear,
homogen dinyatakan dalam n buah variabel tak diketahui yaitu c1 , c2 . . . . . cn. Untuk n = 2,
persamaan (8-29) adalah:
(H11 – S11W)c1 + (H12 – S12W)c2 = 0
(H21 – S21W)c1 + (H22 – S22W)c2 = 0
Secara umum, untuk n fungsi, persamaan (8-29) menjadi:
(H11 – S11W)c1 + (H12 – S12W)c2 . . . . . .+ (H1n – S1nW)cn = 0
(H21 – S21W)c1 + (H22 – S22W)c2 . . . . . + (H2n – S2nW)cn = 0 (8-30)
...............................................
(Hn1 – Sn1W)c1 + (Hn2 – Sn2W)c2 . . . . . + (Hnn – SnnW)cn = 0
Penyelesaian (8-30) harus non trivial, artinya c1 sampai dengan cn ≠ 0, untuk itu determinan
koefisiennya harus nol, jadi det.(Hij SijW) = 0 atau:
H12 S12 W .......... ......... H1n S1n W
H11 S11 W
H 21 S 21 W .......... ......... H 2n S 2 n W
H 21 S 21 W . =0 (8-31)
.......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
H n1 S n1 W .......... .........
H n1 S n1 W H nn S nn W
H 11 S11W H 12 S12 W
0 (8-32)
H 21 S 21W H 22 S 22 W
Penggunaan W yang lebih tinggi (W2 , W3 dst) akan menghasilkan aproksimasi fungsi
gelombang tereksitasinya yaitu 2 3 dan seterusnya.
Contoh :
Gunakan fungsi x (a – x) untuk 0 < x < a, untuk menyusun fungsi variasi linear untuk partikel
dalam box satu dimensi. Tentukan pula energi dan fungsi gelombang state pertama sampai state
ke empat.
Jawab:
n
= c k fk
k 1
f1 = x ( a x) ;
f2 = x2 (a – x)2 ; (8-37)
f3 = x ( a – x ) ( ½ a – x ) ;
f4 = x2( a – x )2( ½ a – x )
Karena f1 dan f2 genap sedang f3 dan f4 ganjil, maka:
S13 = S31 = 0 ; S14 = S41 = 0 ; S23 = S32 = 0 ; S24 = S42 = 0 (8-38)
H13 = H31 = 0 ; H14 = H41 = 0 ; H23 = H32 = 0 ; H24 = H42 = 0 (8-39)
Persamaan sekularnya adalah:
H11 S11W H12 S12 W H13 S13 W H14 S14 W
H 21 S 21W H 22 S 22 W H 23 S 23 W H 24 S 24 W
=0
H 31 S 31 W H 32 S 32 W H 33 S 33 W H 34 S 34 W
H 41 S 41W H 42 S 42 W H 43 S 43 W H 44 S 44 W
atau:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 157
atau:
H11 S11 W H 12 S12 W H 33 S 33 W H 34 S 34 W
x =0 (8-40a)
H 21 S 21 W H 22 S 22 W H 43 S 43 W H 44 S 44 W
Jadi:
H11 S11W H12 S12 W
=0 dan (8-41)
H 21 S 21W H 22 S 22 W
H 33 S 33 W H 34 S 34 W
=0 (8-42)
H 43 S 43 W H 44 S 44 W
Untuk mengevaluasi W dari (8-41) dan (8-42) kita tentukan dulu masing-masing harga H dan S:
a 2 d2
2a 2
H11 = < f1 H f1 > = x(a – x) [x(a – x)] dx =
2m dx 2 6m
0
a
a5
S11 = < f1f1 > = [x(a – x)]2 dx =
30
0
2a 3 a 5 2a 5 a 7
W W
6m 30 30m 140 =0 (8-43)
2a 5 a 7 2a 7 a 9
W W
30m 140 105m 630
Baris pertama dikalikan dengan 420m/a3 , baris kedua dikalikan dengan 1260m/a5 , maka (8-43)
menjadi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 158
Jadi:
Sementara itu, harga W yang diperoleh dari (8-42) adalah urutan ke 2 dan ke empat jadi (8-42)
menghasilkan W2 dan W4 yang pasti berkorelasi dengan fungsi gelombang variasi 2 dan 4.
Tampak pula bahwa (8-42) berhubungan dengan f3 dan f4, jadi 2 dan 4 pasti merupakan
kombinasi linear dari f3 dan f4 dan kita boleh menyatakannya dengan:
Catatan:
1) indek koefisien c menunjukkan fungsi f yang bersangkutan sedang superscripnya
menunjukkan energi W nya.
2) fungsi 1 adalah fungsi variasi yang berenergi W1 dan seterusnya.
Selanjutnya kita akan mengaproksimasi harga koefisien c dalam rangka menentukan fungsi
variasi. Persamaan sekular (8-41) yang berkorelasi dengan f1 dan f2 berasal dari kombinasi
persamaan:
H11 S11W c1 H12 S12W c2 0 (8-47)
H 21 S21W c1 H 22 S22W c2 0
Bab I/Pers. Schrodinger/ 159
Karena (8-47) berasal dari (8-41) maka harga W yang berhubungan adalah W1 dan W3 .
Untuk W = W1 maka: (8-47) menjadi:
Jika semua harga H, S dan W yang dibutuhkan dimasukkan maka c1 , c 2 dapat diperoleh
1 1
dari (8-48) dan dari (8-49) kita dapat memperoleh harga c13 dan c 23 sehingga
Harga c untuk 2 dan 4 diperoleh dengan cara yang sama tetapi bertolak dari (8-42).
Persamaan sekular (8-42) yang berkorelasi dengan f3 dan f4 berasal dari kombinasi persamaan:
H33 S33W c3 H34 S34W c4 0 (8-50)
H 42 S43W c3 H 44 S44W c4 0
Karena (8-50) berasal dari (8-42) maka harga W yang berhubungan adalah W2 dan W4 .
Untuk W = W2 maka: (8-50) menjadi:
Jika semua harga H, S dan W yang dibutuhkan dimasukkan maka c 32 , c 42 dapat diperoleh
dari (8-51) dan dari (8-52) kita dapat memperoleh harga c 34 dan c 34 sehingga
A x= b (8-55)
dengan A adalah matrik koefisien sedang x dan b adalah matrik kolom. Kesamaan antara (8-53)
dan (8-54) dapat dengan mudah dibuktikan melalui perkalian matrik A dengan x. Matrik A
merupakan matrik bujur sangkar, sehingga determinannya dapat ditentukan, Jika det.A 0
maka A disebut nonsingular. Jika A1 adalah invers dari A, maka antara keduanya berlaku
hubungan:
Metode variasi linear merupakan metode yang hampir selalu dipergunakan untuk memperoleh
aproksimasi fungsi gelombang molekul dan matrik menawarkan cara yang paling efisien untuk
mencari penyelesaian terhadap persamaan-persamaan dalam metode variasi.
n
Jika fungsi f1 , f2 . . . . fn dalam fungsi variasi linear = ck fk adalah ortonormal,
k 1
i j
maka S1j = ij = 10 jika sehingga persamaan (8-30) dapat ditulis:
jika i j
B c = Wc (8-60)
dengan H adalah matrik bujur sangkar yang elemen matriknya Hij = < fiĤfj > dan c adalah
vektor kolom dari koefisien c1 , c2 , . . .cn. Dalam (8-60) H adalah matrik yang diketahui, c dan
W belum diketahui dan akan dicari penyelesaiannya.
Jika kita mempunyai relasi:
Ac=c (8-61)
dengan A adalah matrik bujur sangkar dan c adalah vektor kolom yang paling tidak ada satu
elemennya yang tidak nol, dan adalah skalar, maka c disebut vektor eigen dari matrik A dan L
disebut nilai eigen dari matrik A.
Komparasi antara (8-60) dan (8-61) menunjukkan bahwa sebenarnya penyelesaian
problema variasi linear dengan Sij = ij adalah problema penentuan nilai eigen dan vektor eigen
dari matrik H yang nilai eigennya adalah W dan vektor eigennya adalah c.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 162
Catatan:
Jika c adalah vektor eigen dari matrik A, maka jelas bahwa k c pasti juga vektor
eigen dari A (sudah tentu jika k konstan). Jika k dipilih sedemikian rupa sehingga:
n
2
ci =1 (8-62)
i 1
maka vektor kolom c disebut ternormalisasi.
Dua buah vektor kolom b dab c yang masing-masing mempunyai n elemen disebut
ortogonal jika :
n
b *ic i = 0 (8-63)
i 1
Sekarang marilah kita perhatikan persamaan eigen (8-60) yang mempunyai n nilai eigen yaitu
W1, W2 . . . . Wn dan mempunyai n vektor eigen yaitu c1 , c2 . . . . . . cn sedemikian rupa
sehingga:
Hc( i ) = Wic( i ) i = 1, 2, 3, . . . . . . n (8-64)
dengan c( i ) adalah vektor kolom matrik H yang elemen-elemennya adalah c1i , c 2i . . . . c ni .
Selanjutnya marilah kita buat matrik C yang elemen-elemennya adalah vektor eigen matrik H,
dan kita buat matrik W yang merupakan matrik diagonal yang elemen diagonalnya nilai eigen
matrik H. Jadi:
1. Matrik Simetrik
Matrik bujur sangkar B adalah Matrik Simetrik jika elemen bij = bji. Contoh:
7 2 5
B = 2 3i 5 3i
5 5 - 3i 0
2. Matrik Hermitian
Matrik bujur sangkar D adalah matrik Hermitian jika elemen d ij = d*ij . Contoh:
7 2i 5
D = 2i 3i 5 3i
5 5 - 3i 0
3. Matrik ortogonal
Matrik ortogonal adalah matrik yang transposenya = inversnya
4. Unitary Matrix
Matrik yang inversnya sama dengan konjugate transposenya atau U1 = U†
Orang dapat membuktikan bahwa dua vektor eigen dari matrik Hermitian H yang
berhubungan dengan nilai eigen yang berbeda adalah ortogonal (Levine, 1998) Untuk vektor
eigen dari H yang nilai eigennya sama, orang dapat membuat kombinasi linear di antara mereka
untuk mendapatkan vektor eigen yang ortogonal bagi H. Lebih lanjut, vektor eigen yang tak
ternormalisasi dapat dikalikan dengan suatu bilangan konstan agar menjadi vektor eigen
ternormalisasi. Dengan demikian, vektor eigen dari matrik Hermitian dapat dipilih dan dijadikan
ortonormal. Jika vektor eigen yang dipilih adalah ortonormal, maka vektor eigen matrik C
dalam (8-65) unitary matrix, sehingga C1 = C†, sehingga (8-67) menjadi:
Contoh:
3 2i
Tentukan nilai eigen dari matrik Hermitian: A .
- 2 i 0
Jawab: Persamaan karakteristik jika nilai eigennya dimisalkan menurut (8-61) adalah :
det ( aij - ij ) = 0. Jadi:
3- 2i = 0
2i
(1) (1)
2i c1 1 c 2 = 0
atau:
(1) (1)
c1 + 2 i c2 = 0
(1) (1)
2i c1 c 2 = 0
sehingga:
(1) (1)
c1 = 2 i c2
Bab I/Pers. Schrodinger/ 165
Normalisasinya menghasilkan:
2i / 5 i / 5
c (1) ; c ( 2)
2/ 5
1/ 5
Soal Bab 8
1. Gunakan fungsi variasi = ecr untuk atom hidrogen; pilihlah parameter c untuk
meminimalkan integral variasi dan hitunglah % error integral variasional terhadap energi
ground state hidrogen yang sesungguhnya .
8.1. Gunakan integral (8-12) dan persamaan yang menyertainya untuk mengevaluasi integral
variasional pada kasus tiga dimensi. Tentukan % error-nya.
4. (a) Diketahui sebuah sistem partikel tunggal satu dimensi dengan energi potensial:
V = b untuk ¼ x ¾ dan V = 0 untuk 0 x ¼ dan ¾ x .
Bab I/Pers. Schrodinger/ 166
dan di luar itu V = (b konstan). Gunakan fungsi variasi 1 = 2 / 1 / 2 sin x/ untuk
5. Sebuah partikel berada dalam box sperik yang radiusnya b, energi potensialnya V = 0 dan
untuk 0 r b dan V = untuk r > b. Gunakan fungsi variasi = b r untuk 0 r b
dan = 0 untuk r > b untuk mengestimasi energi ground statenya dan bandingkan dengan
7. Untuk partikel dalam box yang panjangnya , gunakan fungsi variasi = x k x k untuk
dimana fungsi gamma mengikuti relasi (z + 1) = z(z). Adanya fungsi gamma tersebut,
tidak perlu membuat anda risau, karena fungsi gamma tersebut akan hilang sendiri.
(a) Buktikan bahwa integral variasionalnya adalah 2 / m 2 4k 2 k / 2k 1
(b) Tentukan nilai optimum dari k dan tentukan pula % error terhadap energi ground state
untuk nilai k ini.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 167
8. Gunakan fungsi variasi = 1 /(a 2 x 2 ) pada osilator harmonik satu dimensi. Pilihlah harga
x2 x2
dx ; dx
0 x2 a2 2 4a
0 x2 a2 4 4a 5
9. Pada tahun 1971, melalui sebuah karya ilmiah dipublikasikan bahwa aplikasi fungsi variasi
2 2
ternormalisasi N. e br / ao cr/a o untuk atom hidrogen dengan meminimalkan parameter b
dan c menghasilkan energi 0,7 % di atas energi ground state yang sesungguhnya. Tanpa
melakukan kalkulasi apapun berikan penjelasan bahwa pernyataan itu pasti salah.
2 2
10. Untuk atom hidrogen ground state, gunakan fungsi variasi Gauss = e cr / ao . Tentukan
nilai optimum c dan % error energinya.
11. Dengan metode Gauss, selesaikan kombinasi persamaan linear berikut:
X1 X2 + 4 X3 + 2 X4 = 16
X1 X3 + 4 X4 =
X1 + X2 + X3 X4 = 8
4 X1 + 6 X2 + 2 X3 + X4 = 3
7 3 0
A 2 1 2i i
1 i 4 2
13. a) Tentukan nilai eigen dan vektor eigen ternormalisasi dari:
2 2
A
2 1
Bab I/Pers. Schrodinger/ 168
1 0 2
A 0 5 0
2 4 2
===000===
BAB IX
METODE PERTURBASI
9.1 Pengantar
Sekarang kita akan membahas metode aproksimasi penting kedua dalam mekanika
kuantum setelah metode variasi yaitu metode perturbasi atau metode gangguan atau metode
Simpangan. Jika seandainya kita mempunyai sistem dengan Hamiltonian bebas waktu Ĥ dan
kita tidak mungkin menyelesaikan secara eksak persamaan Schrodinger:
Ĥn = En n (9-1)
untuk mendapatkan fungsi dan nilai eigennya, dan jika Ĥ hanya berbeda sedikit dengan operator
Hamilton Ĥ0 dari suatu sistem yang persamaan Schrodinger-nya yaitu:
Ĥ0 n(0) = E n(0) n(0) (9-3)
yang dapat diselesaikan dengan pasti, maka sistem dengan Ĥ disebut sistem terperturbasi
sedang sistem dengan Ĥ0 disebut sistem takterperturbasi.
Sebagai contoh sistem perturbasi adalah sistem osilator takharmonis yang Ĥ nya adalah::
2 d2
Ĥ= + ½ k x2 + c x3 + d x4 (9-3)
2m dx 2
Hamiltonian (9-3) tersebut tidak berbeda jauh dengan Hamiltonian dari sistem osilator
harmonis:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 169
2 d2
Ĥ0 = + ½ k x2 (9-4)
2m dx 2
Jika tetapan c dan d pada (9-3) itu kecil, maka diperkirakan bahwa fungsi dan nilai eigen dari
osilator takharmonis tidak terlalu jauh dengan yang harmonis. Jika perbedaan antara Ĥ dan Ĥ0
kita sebut Ĥ' . Perbedaan Hamiltonian ini kita sebut perturbasi. Jadi Perturbasi kita definisikan
dengan:
Ĥ' = Ĥ – Ĥ0 (9-5a)
jadi:
Ĥ = Ĥ0 + Ĥ' (9-5b)
(Awas tanda ' tidak berhubungan dengan differensial). Untuk contoh osilator takharmonis
dengan Hamiltonian (9-3), perturbasinya dikaitkan dengan osilator harmonis adalah:
Ĥ' = c x3 + d x4 (9-6)
Yang menjadi tugas kita adalah menyatakan fungsi dan nilai eigen dari sistem yang terperturbasi
(yang tidak diketahui) dinyatakan dalam fungsi dan nilai eigen sistem yang takterperturbasi
(yang dapat diketahui). Dalam menangani kasus ini, kita akan membayangkan bahwa perturbasi
berlangsung secara gradual, artinya perubahan dari takterperturbasi menjadi terperturbasi
berlangsung secara continous atau berangsur-angsur (tidak mendadak/spontan). Secara
matematika, hal seperti ini berarti memasukkan parameter kedalam Hamiltonian dalam bentuk
relasi sebagai berikut:
Ĥ = Ĥ0 + Ĥ' (9-7)
Jika = nol, maka kita mempunyai sistem takterperturbasi. Seiring dengan meningkatnya ,
maka perturbasi akan tumbuh semakin besar, dan jika = 1, maka dikatakan perturbasi aktif
secara penuh (fully turned on).
dk k
n = k
n
k!
k 0 d -0
d n d 2 n 2
= n -0 + + (9-9)
d 0
d 2 0 2!
dkE k
En = k
n
k!
k 0 d -0
d En d2En 2
= E n -0 + + (9-10)
d 0 d2 0 2!
d k k
Selanjutnya agar penulisannya ringkas, n ditulis n(k) dan
dk
-0 k !
d k En k
ditulis En(k) jadi:
dk k !
-0
d 0 n 0
n(0) = = n -0 . (9-11a)
d0 0 0!
d0En 0
En(0) = = E n -0 (9-11b)
d0 0 0!
Bab I/Pers. Schrodinger/ 171
dan k = 1, 2, 3 . . . . .
dkn 1
n(k) = k = 1, 2 . . . . (9-12a)
dk 0
k!
dkEn 1
En(k) = k = 1, 2, . . . (9-12b)
dk 0 k!
Dari (9-15) itu tampak bahwa koreksi pada fungsi gelombang n(k) adalah ortogonal terhadap
n(0) jika normalisasi intermediate dipergunakan.
Substitusi (9-13) dan (9-14) ke dalam (9-8) menghasilkan:
(Ĥ0 + Ĥ' ) (n(0) + n(1) + 2n(2) + 3 n(3) + . . .)
= (En(0) + En(1) + 2En(2) + 3En(3) + . . .) (n(0) + n(1) + 2n(2) + 3 n(3) + . . .)
Suku-suku yang pangkat nya sama dikumpulkan, hingga menjadi:
Ĥ0 n( 0) + ( Ĥ'n(0) + Ĥ0n(1) ) + 2 ( Ĥ'n(2) + Ĥ0n(1) ). . .
= En(0)n(0) + (En(1)n(0)+ En(0)n(1) + 2 (En(2)n(0) + En(1)n(1) + En(0)n(2) ) . . .
(9-16)
Sekarang (dengan asumsi konvergen) maka suku-suku yang berderajat sama dari kedua
ruas persamaan (9-16) bernilai sama untuk sembarang harga . Dari suku 0 diperoleh:
Ĥ0 n( 0)= En(0)n( 0) (9-17)
Dari suku diperoleh:
( Ĥ'n(0) + Ĥ0n(1) ) = (En(1)n(0)+ En(0)n(1) atau:
Ĥ0n(1) En(0)n(1) = En(1)n( 0) Ĥ'n(0) (9-18)
(9-21)
Jika m = n, maka ruas kiri (9-21) menjadi nol sedang <m(0)n( 0)> = <n(0)n( 0)> =
<m(0)m( 0)> = 1, jadi:
0 = En(1) <n(0)Ĥ'n(0) > atau:
Jika koreksi terhadap energi sudah diperoleh maka energi sistem terperturbasi En adalah:
En = En(0) + En(1) (9-23)
dengan En = energi sistem terperturbasi (yang diaproksimasi) ; En(0) = energi sistem tak
terperturbasi dan En(1) = koreksi energi order pertama.
Contoh:
2 d2 1 2
Untuk osilator tak harmonis yang hamiltoniannya adalah Ĥ= kx + px3+
2m dx 2 2
qx4, tentukan (a) koreksi order pertama untuk energi ground state, dan (b) tentukan energi
ground state untuk osilator tak harmonis tersebut.
Jawab:
a) Untuk osilator harmonis, energi ground state adalah E0 = ½ h . Koreksi order pertama untuk
energi ground sate yang ditanyakan adalah E0(1). Menurut (9-22):
En(1) =∫n(0)* Ĥ'n(0) d jadi:
~ (0)* (0)
E0(1) = 0 Ĥ'0 dx
~
dengan :
0(0)= fungsi gelombang tak terperturbasi (osilator harmonis) ground state =
2
(/)1/4 e ( / 2) x
Bab I/Pers. Schrodinger/ 174
2 d2 1 2 d2 1
Ĥ' = Ĥ – Ĥ0 = ( kx 2 + px3+ qx4) – ( kx 2 ) = px3+ qx4
2m dx 2 2 2m dx 2 2
jadi:
~ ( / 2) x 2 ( px3+ qx4 ) (/)1/4 ( / 2) x 2 dx
E0(1) = (/)1/4 e e atau
~
~ 2 ~ 2
E0(1) = ( px3+ qx4 ) (/)1/2 e x dx = (/)1/2 ( px3+ qx4 ) e x dx
~ ~
~ ~2 2
= (/)1/2 px3 e x dx + (/)1/2 qx4 e x dx
~ ~
~ 3 x 2
px e dx adalah integral fungsi ganjil dengan batas ~ s/d +~ = 0. jadi:
~
~ 4 x 2
E0(1) = 0 + (/)1/2 qx e dx
~
~ 2 3q
= 2q x4 e x dx =
0 4 2
Untuk memperoleh n(1), kita mengekspansinya ke dalam suku-suku yang terdiri atas himpunan
fungsi eigen tak terperturbasi m(0) dari operator hermitian H o :
n(1) = a
m
o
nm m , dengan anm mo n1 (9-25)
atau:
mo H ' no H 'mn
anm = = (9-26)
En(o ) Em(o ) En( o) Em(o )
Bab I/Pers. Schrodinger/ 175
Koefisien anm pada ekspansi (9-25) dinyatakan dalam bentuk (9-26), kecuali untuk ann , yaitu
ann n(o ) n(1) . Ingat bahwa pemilihan normalisasi intermediate untuk n , membuat
n(o ) n(1) = 0 [persamaan (9-15)]. Karena itu, ann n(o) n(1) = 0, sehingga (9-25) dan
Arti lambang adalah kita menjumlah semua state tak terperturbasi kecuali state n.
mn
Dimana V1 adalah ketinggian potensial pada x = a. Koreksi orde pertama pada energi level ke-n
persamaan (9-22)*b adalah
V
En(1) = n x 1 n
a
Bab I/Pers. Schrodinger/ 176
1/ 2 1/ 2
V1 a 2 nx 2 nx
= sin x sin dx
a 0 a a a a
2V1 a nx
=
a2 0
x. sin 2
a
.dx
1
= V1
2
1
Tampak untuk perturbasi orde pertama menaikkan energi semua level sebesar V1
2
1
Jadi En = En(0) + H'nn = En(0) + En(1) = En(0) + V1
2
Koreksi orde pertama fungsi gelombang diberikan oleh persamaan (9-26) dan untuk problem ini
2
x sin kx sin mx dx
a
2 V1
a a a
amk=
0
Em0 Ek0
Denominatornya =
h2
8ma 2
m 2 k 2 m 2 k 2 E1
Untuk mengevaluasi integral kita gunakan relasi trigonometrik
1
sin sin cos cos
2
1
H'km =
2
V1 ycosk my cosk mydy
0
1 1 ( k m ) 1 ( k m )
=
V1
2
k m
2
0
z cos zdz
k m 2 0 y cos ydy
1 2 2
= V1
2
== (k-m, k+m ganjil)
k m k m
2 2
2 1 1
= V1
2
k m k m
2 2
2 1 1 16 V1
H'21 = V1 2 2 0.18V1
2 3 1 9 2
H'31 =0
Bab I/Pers. Schrodinger/ 177
2 1 1 32 V1
H'41 = V1 2 2 0.0144V1
2 5 3 225 2
Sehingga
0,18 V1 V
a12 = 0,06 1
3 E1 E1
0,0144 V1 V
a14 = 0,0096 1
15 E1 E1
Sehingga
V1 0 V
1 = 10 0,06 2 0.0096 1 40
E
1 E1
atau:
H o n( 2) E n(o) n( 2) = E n( 2) n(o) + E n(1) n(1) H ' n(1) (9-29)
= E n( 2) m(o ) n(o ) + E n(1) m(o ) n(1) m(o ) H ' n(1) (9-30)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 178
Integral m(o) H o n( 2) dalam persamaan tersebut persis sama dengan integral dalam (9-20),
tetapi n(1) diganti dengan n( 2) . Penggantian n(1) oleh n( 2) , membuat persamaan (10-20)
menjadi:
m(o) H o n( 2) = E m(o) n(o) n( 2) (9-31)
Penggunaan (9-31) disertai dengan ortonormalitas fungsi tak terperturbasi pada (9-30)
menghasilkan:
= E n( 2) m(o ) n(o ) + E n(1) m(o ) n(1) m(o ) H ' n(1)
atau:
= E n( 2) mn + E n(1) m(o) n(1) m(o ) H ' n(1) (9-32)
atau:
E n( 2) = n(o) H ' n(1) (9-33)
Jika kita mengamati persamaan (9-33), maka tampaknya untuk dapat mengkalkulasi koreksi
order kedua untuk energi, kita harus sudah mempunyai koreksi order pertama untuk fungsi
gelombang. Namun fakta menunjukkan bahwa pemahaman akan n(1) sudah cukup pula untuk
menentukan E n(3) . Sehingga secara lebih umum dapat dinyatakan, bahwa jika kita sudah
mempunyai koreksi ke-k untuk fungsi gelombang, maka kita sudah dapat menentukan koreksi
ke (2k + 1) untuk energi (Bates, 1961).
mo H ' no
E n( 2) = n(o) H' E n(o) E m(o )
m(o)
m n
mo H ' no
Karena E n(o) E m(o)
adalah a m dan nilainya konstan, tentu saja dapat dikeluarkan dari
m n
2
= m(o ) H ' n(o)
yang merupakan pernyataan E n( 2) yang diinginkan, yang dinyatakan dalam terminologi fungsi
yaitu:
2
E n E n(o) H n' n H m' n (9-35)
mn
Diskusi. Persamaan (9-28) menunjukkan bahwa efek perturbasi pada fungsi gelombang n(o)
diinfiltrasi oleh konstribusi dari state lain yaitu m(o) , m n . Dengan adanya faktor
Bab I/Pers. Schrodinger/ 180
1 /( E n(o) E m(o) ) , konstribusi terbesar terhadap fungsi gelombang terperturbasi datang dari state
mengevaluasi H n' n , sedang untuk mengevaluasi koreksi energi order kedua, kita harus
mengevaluasi elemen matrik H ' antara state ke-n dan seluruh state m yang lain, dan kemudian
malakukan penjumlahan sebagaimana (9-35). Dalam banyak kasus, adalah sangat tidak
mungkin untuk mengevaluasi koreksi energi order kedua secara eksak. Apalagi untuk order
ketiga atau yang lebih tinggi, tentu akan jauh lebih sukar, meski dengan bantuan komputer
sekalipun.
Penjumlahan dalam (9-28) dan (9-36) adalah jumlah meliputi state-state yang berbeda.
Jika beberapa level energi adalah degenerate, maka kita harus menjumlahkan semua fungsi
gelombang yang saling independen sehubungan dengan level degenerate tersebut.
Alasan mengapa kita melakukan penjumlahan sebagaimana (9-28) dan (9-36) adalah
karena kita memerlukan himpunan lengkap fungsi-fungsi untuk melakukan ekspansi (9-25) dan
oleh karena itu kita harus melibatkan semua fungsi gelombang linear independen dalam
penjumlahan. Jika problem tak terperturbasi melibatkan fungsi gelombang kontinum (misal
kasus atom hidrogen), maka kita juga harus menyertakan integrasi terhadap fungsi kontinum itu.
Jika (o) menyatakan fungsi gelombang kontinum tak terperturbasi dengan energi E (o) , maka
m n n m n
dengan H E(o)n (o) H ' n(o) . Integral pada persamaan-persamaan tersebut adalah meliputi
rentang state energi kontinum (misal dari nol sampai tak terhingga pada atom hidrogen).
Bab I/Pers. Schrodinger/ 181
Keberadaan state kontinum dalam problem tak terperturbasi membuat evaluasi terhadap E n( 2)
2
H mk
E m( 2) =
k Em0 Ek0
Dengan menggunakan harga elemen matriks yang didapat di atas kita dapat memperoleh koreksi
E1 orde kedua
(0,180V1 ) 2 (0,0144V1 ) 2
E1( 2) =
3E1 15E1
V12 V2
= 0,0109 0,0000139 1
E1 E1
V12
-0,0109
E1
Energi E1 adalah koreksi orde kedua, sehingga
V12
E1 = E10 + 0,500V1 – 0,0109
E1
Metode Variasi-Perturbasi
Metode variasi-perturbasi memungkinkan kita melakukan estimasi dengan hasil lebih
akurat terhadap E n( 2) dan teori koreksi energi perturbasi order lebih tinggi untuk sistem ground
dengan u adalah sembarang fungsi yang memenuhi syarat dan memenuhi kondisi boundary
sedang label g merujuk pada ground state. Pembuktian (9-37) dapat dilihat pada Hameka (1981)
sun bab 7-9. Dengan mengambil u sebagai fungsi variasi dengan parameter yang meminimalkan
ruas kiri (9-37), kita dapat mengestimasi E g( 2) . Fungsi u dapat menjadi estimator terhadap g(1)
yaitu fungsi gelombang ground state koreksi order kesatu dan dengan demikian, selanjutnya u
Bab I/Pers. Schrodinger/ 182
dapat digunakan untuk mengestimasi E g(3) yaitu energi ground state koreksi order ketiga.
Integral variasional yang sama dapat digunakan untuk memperoleh koreksi fungsi gelombang
dan energi order yang lebih tinggi.
9.3 Metode Perturbasi untuk Atom Helium Ground State
Atom helium terdiri atas sebuah inti bermuatan +2e dan dua buah elektron. Kita anggap
bahwa inti atom berada dalam keadaan diam pada posisi (0,0,0) dalam sistem koordinat.
Koordinat elektron 1 dan 2 berturut-turut adalah (x1, y1, z1) dan (x2, y2, z2); lihat gambar 9.1.
Jika kita mengambil muatan inti +Ze sebagai pengganti +2e, maka pembahasan kita
tidak hanya untuk atom helium, tetapi untuk semua partikel (atom atau ion) yang mirip helium
2+
yaitu atom atau ion yang elektronnya dua seperti H , Li , Be , dan lain-lain. Operator
Hamiltoniannya adalah:
dengan me adalah massa elektron, r1 adalah jarak dari inti sampai elektron 1, r2 adalah jarak
dari inti sampai elektron 2 dan r1 2 adalah jarak antara elektron 1 terhadap elektron 2. Dua suku
yang pertama adalah operator untuk energi kinetik elektron; suku ketiga dan keempat adalah
energi potensial antara elektron dengan inti atom sedang suku terakhir adalah energi potensial
akibat repulsi antar elektron. Energi potensial suatu sistem yang terdiri atas partikel-partikel
yang saling berinteraksi tidak dapat ditulis sebagai jumlah dari energi potensial partikel
individual; energi potensial merupakan sifat sistem sebagai sebuah kesatuan.
e
(x1 , y1, z1)
r1 2
e
(x2 , y2, z2)
r2 r1
+2e
Persamaan Schrodinger untuk sistem mirip helium ini melibatkan enam variabel bebas.
Dalam koordinat spherik polar,
= r1 , 1 , 1, r 2 , 2 , 2 (9-39)
Operator 12 adalah operator 2 , yang (r, , ) nya diganti dengan (r1, 1, 1) ; operator 22
adalah operator 2 , yang (r, , ) nya diganti dengan (r2, 2, 2); variabel r12 adalah:
r12 = [(x1 x2)2 + (y1 y2)2 + (z1 z2)2]½ , dan melalui transformasi dari koordinat
Cartesius ke dalam koordinat spherik polar, kita dapat menyatakan r12 dalam terminologi
koordinat (9-39), yaitu:
r12 = [(r1 sincos1 r1 sincos2)2 + (r1 sinsin1 r1 sinsin2)2
+ (r1cos1 r1cos2)2]½ ,
Karena adanya suku 1 / r12, akibatnya persamaan Schrodinger tidak dapat diselesaikan melalui
teknik pemisahan variabel, sehingga harus menggunakan metode aproksimasi. Untuk
menggunakan metode perturbasi, kita harus memisahkan H menjadi dua bagian, yaitu H o dan
H ' . H o adalah Hamiltonian untuk problem yang dapat diselesaikan secara eksak. Biasanya
pemisahannya adalah sebagai berikut:
2 2 2 2 Ze' 2 Ze' 2
Ho = 1 2 (9-40)
2m e 2 me r1 r2
e' 2
H' = (9-41)
r1 2
Tampak bahwa (9-40) merupakan jumlah dari dua buah Hamiltonian mirip hidrogen, jadi:
H o = H 1o H 2o (9-42)
o 2 2 Ze' 2 o 2 2 Ze' 2
H1 = 1 ; H2 = 2 (9-43)
2m e r1 2 me r2
Sistem helium disebut tak terperturbasi adalah jika kedua elektron dalam atom helium tersebut
tidak ada gaya sama sekali. Meskipun realita fisik seperti itu tidak pernah kita jumpai, namun
kita tetap menggunakannya semata-mata untuk jembatan dalam menuju kalkulasi final.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 184
Karena Hamiltonian tak terperturbasi (9-42) adalah jumlah Hamiltonian untuk dua
partikel, maka dapat diperkirakan bahwa fungsi gelombang tak terperturbasinya merupakan
hasil kali fungsi tak terperturbasi dari masing-masing partikel. Sehingga dapat kita tulis:
E (o ) = E1 + E2 (9-45)
Persamaan Schrodinger untuk masing-masing partikel adalah:
H 1o F1 E1 F1 dan H 2o F2 E 2 F2 (9-46)
Karena H 1o dan H 2o adalah Hamiltonian untuk atom mirip hidrogen, tentu saja fungsi dan nilai
eigen (9-46) adalah fungsi dan nilai eigen untuk atom mirip hidrogen. Dari bab VI dapat kita
ketahui bahwa:
Z 2 e' 2 Z 2 e' 2
E1 ; E2 ; (9-47)
n12 2a o n 22 2a o
1 1 e' 2 n1 1, 2, 3 , . . . . . . . .
E (o) Z 2 n 2 1, 2, 3 , . . . . . . . .
(9-48)
n 2 n 2 2a o
1 2
dengan a o adalah radius Bohr. Persamaan (9-48) merupakan energi order nol dari kedua
adalah:
1/ 2 Z r 1/ 2 Z r
(o) 1 Z ao
1 1 Z ao
2
e . e (9-49)
1s 2 1/ 2 ao 1/ 2 ao
Energi ground state tak terperturbasinya adalah:
e' 2
E (o2) (2) Z 2 (9-50)
1s 2a o
2
Kuantitas ½ e’ /ao adalah energi ground state untuk hidrogen yang nilainya sudah kita ketahui
yaitu 13,606 eV. Jadi untuk helium dengan Z = 2, adalah:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 185
Bagaimana energi order nol ini dibandingkan dengan energi ground state helium yang
sesungguhnya? Berdasarkan eksperimen, energi ionisasi pertama helium adalah 24,6 eV. Energi
ionisasi kedua atom helium, berarti ionisasi terhadap ion He+. Karena ion He+ adalah partikel
mirip hidrogen, maka energi ionisasinya secara teoritik dengan mudah dapat dihitung, yaitu 22
(13,606 eV) = 54,4 eV. Jika kita anggap energi order nol adalah energi ionisasi total helium
[anggapan ini adalah implisit dalam (9-38)], maka energi ground state atom helium adalah
(26,6 + 54,4) eV = 79,0 eV. Jadi energi order nol mempunyai error 38%. Kesalahan ini cukup
besar, karena nilai terminologi perturbasi e’2/r12 tidak cukup kecil untuk diabaikan.
2 2 2 Z r 1 2 Z r 2
z 6 e' 2 1
e
(1) ao ao
E =
2 6
ao 0 0 0 0 0 0 r12
x r12 dr1 r22 dr2 sin 1d 1 sin 2 d 2 d1d 2 (9-52)
Evaluasi integral (9-52) dapat saja tidak usah diperhatikan dan kita bisa langsung melihat (9-55)
sebagai hasil evaluasi (9-52), tetapi bagi yang ingin mengikuti proses evaluasi integral (9-52),
langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
Yang pertama kali harus dilakukan adalah meng-ekspansi 1/r12 menjadi bentuk berikut
(Eyring, dkk., 1944):
1
4 r
r12
= 2 1 r 1 m ( 1 , 1 * m ( 2 , 2 ) (9-53)
0 m
Lambang r artinya lebih kecil dari pada r1 dan r2 sedang r lebih besar dari pada r1 dan r2.
2 2 2 Z r 1 2 Z r 2
Z 6 e' 2 4 r
E (1)
= e
ao ao
m ( 1 , 1 ) * m ( 2 , 2 )
2 a o6 0 m 2 1 r
1
0 0 0000
2 2 2 Z r 1 2 Z r 2
*
Z 6 e' 2 4
1 r
E (1) =
2 6
ao
2 1 e
ao ao
r 1
m
( 1 , 1 )
m
( 2 , 2 )
0 m 0 0 0000
x r12 dr1 r22 dr2 sin 1d 1 sin 2 d 2 d1d 2 (9-53a)
nilai (9-53a) tidak berubah, kemudian diadakan penataan ulang sehingga hasilnya adalah:
2 2 2 Z r 1 2 Z r 2
16 Z 6 e' 2
1
E (1)
=
a o6
2 1 e
ao ao
e
0 m 0 0 0000
x
r
r 1
m
( 1 , 1 ) * o o m
o ( 1 , 1 ). o ( 1 , 1 ) * ( 2 , 2 )
x r12 dr1 r22 dr2 sin 1d 1 sin 2 d 2 d1d 2 (9-53a)
2Z 2Z
16 Z 6 e' 2
1 r1
r ao r 2
E (1)
= r1 r2 e
2 2 ao
r 1
e dr1dr2
a o6 0 m 2 1 0 0
2
m
x ( 1 , 1 ) * oo ( 1 , 1 ). sin 1 d 1d1 )
0 0
2
o ( 2 , 2 ) *
o m
x ( 2 , 2 ) sin 2 d 2 d 2 ) (9-53b)
0 0
m
Integral fungsi harmonik sperik ( 1 , 1 ) * oo ( 1 , 1 ). sin 1 d 1d1 akan bernilai
0 0
1 untuk m 0 dan akan nol untuk harga dan m yang lain. Hal yang sama juga terjadi pada
Bab I/Pers. Schrodinger/ 187
integral fungsi sperik harmonik yang lain sehingga hanya untuk orbital dengan nilai m 0 ,
persamaan (9-53b) menjadi:
2Z 2Z
ao r 2
16 Z 6 e' 2 r1
ao 1
r12 r22 e
(1)
E = e dr1dr2 (9-53c)
a o6 00 r
2Z 2Z
2 ao r 2
16 Z 6 e' 2 r1
ao 1
r12 e
(1)
E = r2 e dr1 dr2 (9-53d)
a o6 00 r
Jika integrasi akan dilakukan terhadap r1 lebih dulu, maka (9-53d) ditulis:
2Z 2Z
16 Z 6 e' 2 ao
r2
2 ao r 1 1
(1)
E = r22 e r1 e dr1 dr2 (9-53e)
a o6 0 0 r
atau:
2Z
16 Z 6 e' 2 r2
E (1)
= r22 e ao
I dr2 (9-53e)
a o6 0
2Z
r1
ao 1
dengan I = r12 e
r
dr1 . Untuk mengevaluasi I, rentang integrasi dipecah menjadi dua
0
1
Bagaimana dengan ? Untuk rentang 0 sampai r2, maka r> (baca: r besar) adalah r2 sedang
r
pada rentang r2 sampai tak terhingga, r> adalah r1, jadi I dapat ditulis:
r2 2Z 2Z
r1 r1
ao 1 ao 1
r12 e
r2
dr1 +
r12 e dr1
r1
0 r2
r2 2Z 2Z
r12 ao r1 r1
r1 e
ao
= e dr1 + dr1
0
r2 r2
Bab I/Pers. Schrodinger/ 188
2Z r 2Z 2Z
16 Z 6 e' 2 r2
2 r12 r1 r1
dr1 r1 e
(1) ao ao ao
E = r22 e e dr1 dr2
a o6 0 0
r2 r2
atau:
2Z r 2Z
16 Z 6 e' 2 r2
2 r1
r2 e
(1) ao ao
E = r12 e dr1 dr2
a o6 0 0
2Z 2Z
r2 r1
16Z 6 e' 2 ao ao
+ r22 e r e dr1 dr2 (9-54)
a 6o 1
0 r
2
kita sederhanakan bentuknya menjadi:
2Z
16 Z 6 e' 2 r2
E (1)
= r2 e
ao
I1 dr2
a o6 0
2Z
r2
16 Z 6 e' 2
+ 2
r2 e
ao
I 2 dr2 (9-54a)
a 6o 0
r2 2Z 2Z
r1 r1
dengan I 1 r1 e ao
2
dr1 dan I 2 r1 e ao
dr1
0 r2
Dengan menggunakan:
2
2 e bx dx = e bx x 2 x 2 , diperoleh:
x
b b 2 b 3
2Z 2Z
r2 r1 r1 2
r 2r1 2
I1 r12 e ao dr1 = e ao 1
2Z 2 3
0 2Z 2Z
a
o a a
o o
r2
2Z r
1
r12 a o r1a o2 a 3o
= e a o
2Z 2Z 2 4Z 3
0
2Z
r2
ao r22 a o r2 a o2 a o3 a o3
=e
2Z 2 Z 2 4 Z 3 4 Z 3
Bab I/Pers. Schrodinger/ 189
2Z 2Z 2Z
a o 2 ao r2 a o2 r2
ao a o3 ao r2 a o3
= r2 e r2 e e
2Z 2Z 2 4Z 3 4Z 3
1
Dengan menggunakan xe bx dx = e bx bx 1 , diperoleh:
b2
2Z 2Z
r1
r1 2 2Z
ao ao
I 2 r1 e ao
dr1 = e r 1
a o 1
r2 4Z 2
2Z r
2Z
r2
a o 1 a o a o2 a o2
ao a o
= e r = 0 e r
2Z 1 4Z 2 2 Z 2 4Z 2
r2
2Z 2Z
2Z a r2
a 2 r2
r2 2 o r2 e a o o e a o
ao a a
= e o r2 o = 2 Z 4 Z 2
2Z
4Z 2
4Z 2Z
r2 r2
16 Z 6 e' 2 ao 3 a a o2 ao
+ 2Z r2 e o r22 e dr2
a 6o 0 4Z 2
16 Z 6 e' 2 a o a o a o3 a o
4 3 2 2
(1) a o2 a o a3 ao
E = 3! 2! o .
a o6 2 Z 4Z 2 Z 2 4Z 4Z 3 4Z 4 Z 3 2 Z
16 Z 6 e' 2 a o a o a o
4 3
a o2
+ 3! 2!
a o6 2Z 4 Z 4 Z 2 4 Z
Bab I/Pers. Schrodinger/ 190
16 Z 6 e' 2 1 a o 1 a o
5 5 5 5
(1) 1 ao 1 ao
E = 3. 6 4
a o6 2 8 Z 26 Z 2 Z 2 Z
16 Z 6 e' 2 1 a o 1 a o
5 5
+ .3.
a o6 2 8 Z 2 7 Z
5
16Z 6 e' 2 a o 1 1 1 1
E (1) =
a o6 Z 2 6 2 6 2 4 2 7
5
16 Z 6 e' 2 a o 2 2 8 1
=
a o6 Z 2 7 2 7 2 7 2 7
5
16 Z 6 e' 2 a o 5
=
a o6 Z 2 7
Jadi:
5Z e' 2
E (1) = (9-55)
8 a
o
Jika diaplikasikan pada helium, Z = 2, persamaan (9-55) menjadi:
10 e' 2 10 e' 2
=
10
=
E (1) = .13,606 eV = 34,0 eV
8 a o
4 2a
o
4
Jadi aproksimasi untuk helium ground dengan memperhitungkan sampai dengan koreksi order
pertama adalah:
bagaimana mengevaluasi secara langsung semua konstribusi untuk E 2 . Perlu dicatat bahwa
Bab I/Pers. Schrodinger/ 191
efek (1) ( koreksi fungsi order pertama), bercampur dengan fungsi gelombang dari konfigurasi
lain, selain 1s2; hal ini kita sebut konfigurasi interaksi. Memang, kontribusi terbesar yang
berpengaruh terhadap fungsi gelombang helium yang sesungguhnya, berasal dari konfigurasi
1s2, yang merupakan fungsi gelombang order nol tak terperturbasi.
oleh J. Midtal (1965), besarnya koreksi energi order kedua E ( 2) = 4,3 eV sedang order ketiga
E (3) = +0,1 eV . Sampai dengan koreksi order ketiga, aproksimasi energi ground state untuk
helium adalah:
yang terjadi seandainya kita menggunakan fungsi gelombang ground state perturbasi order nol
g(o) sebagai fungsi variasi dalam integral variasional?. Jika itu yang dilakukan, maka integral
variasional H = H menjadi:
H = g(o) H o H' g(o) = g(o) H o g(o) H' g(o)
= g(o) H o (o)
g g(o) H' g(o) = E g(o) E g(1) (9-57)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 192
Jadi dengan menggunakan g(o) sebagai fungsi variasi dihasilkan energi yang sama dengan yang
menggunakan g(o) sebagaimana (9-49), hasil yang diperoleh adalah sama dengan hasil
perturbasi order pertama yaitu 74,8 eV. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, marilah kita
masukkan sebuah parameter ke dalam (9-49). Kita akan mencoba menggunakan fungsi:
3
1 ao r1 ao r 2
e .e (9-58)
ao
Persamaan (9-58) tersebut diadopsi dari (9-49) yang nomor atom Z diganti parameter
variasional (baca: zeta). Parameter mempunyai interpretasi fisik yang sederhana. Karena
sebuah elektron cenderung menghalangi yang lain dari inti atom, akibatnya muatan inti efektif
yang diterima oleh masing-masing elektron lebih kecil dari pada muatan penuh inti yaitu +Z.
Jika sebuah elektron, terhalang secara penuh dari inti, maka kita nyatakan bahwa muatan inti
efektif adalah Z1; karena kedua elektron dalam helium ground state berada pada orbital yang
sama, akibatnya maka tidak mungkin masing-masing saling menghalangi secara penuh, jadi
diperkirakan nilai berkisar antara Z1 sampai Z.
Sekarang kita akan mengevaluasi integral variasional. Untuk melancarkan hal ini, kita
tulis kembali Hamiltonian (9-39) dalam bentuk:
Masuknya parameter ke dalam (9-39) hingga membentuk (9-59) tidak mengubah nilai
Hamiltonian (9-39), artinya (9-59) adalah sama dengan (9-39). Suku-suku yang berada dalam
kurung kurawal adalah jumlah dari Hamiltonian mirip hidrogen untuk inti yang bermuatan ;
sementara itu, persamaan (9-58) adalah hasil kali dua fungsi 1s mirip hidrogen dengan muatan
inti .. Oleh karena itu, jika suku dalam kurung itu beroperasi pada , berarti kita mempunyai
sebuah persamaan eigen dan nilai eigen-nya adalah jumlah energi 1s mirip hidrogen dengan
muatan inti . Jadi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 193
2 2 e' 2 e' 2
2 2 e' 2 2
1 2 = a (9-60)
2me r1 2m e r2 o
e' 2 2 e'
2
*
* H d =
2
* d + ( Z ) e ' d
ao ao r1
e' 2 * *
+ ( Z )e' 2 d + e' 2 d (9-61)
ao r2 r12
Kita ambil ƒ1 sebagai fungsi ternormalisasi dari orbital 1s mirip hidrogen dengan muatan inti
bertautan dengan elektron 1; dan kita ambil fungsi sejenis yaitu ƒ2 untuk elektron 2:
3/ 2 r 3/ 2 r
1 ao
1 1 ao
2
ƒ1 = e ; ƒ2 = e (9-62)
1/ 2 ao 1/ 2 ao
dengan catatan = ƒ1.ƒ2. Selanjutnya kita evaluasi integral-integral yang berada dalam
persamaan (9-61)
* d ƒ 8
1 ƒ1 ƒ28ƒ2 d1 d2 = 1
3/ 2 r 3/ 2 r
1 ao
1 1 ao
1
1/ 2
e . e 2
ao 1/ 2 ao
= r1
r12 dr1 sin 1d 1 d1
0 0 0
3 2 2
r1
1
r1e dr1 sin 1d 1 d1
ao
=
ao 0 0 0
3
2
1 ao
= cos 1 0 2
ao 2
3 2
1 ao
= 22 =
ao 2 ao
*
r2
d =
ao
*
Akhirnya kita harus mengevaluasi e' 2 r12
d . Ini persis sama dengan (9-52), hanya Z diganti
* 5 e' 2
e' 2 r12
d =
8 a
(9-63)
o
Jadi integral variasional (9-61) mempunyai nilai:
5 e' 2
* H d = 2 Z
2
(9-64)
8 ao
Sebagai pengujian, jika kita menggunakan = Z dalam (9-64) akan kita peroleh bahwa nilai (9-
64) tepat sama dengan hasil teori perturbasi order pertama, (9-50) ditambah (9-55).
Sekarang kita mencari nilai parameter agar integral variasional bernilai minimal.
5 e' 2
=0
* H d 2 2Z
8 a o
= Z 5/16 (9-65)
Sebagai antisipasi, muatan inti efektif terletak antara Z dan Z1. Dengan menggunakan (9-65)
dan (9-64), kita peroleh:
2
5 25 e' 2 5 e' 2
* H d = Z Z
2
= Z (9-66)
8 256 a o 16 a o
Dengan meletakkan Z = 2, kita memperoleh aproksimasi untuk energi helium ground state yaitu
(27/16)2e’2/ao = (729/128)e’2/2ao = 77,49 eV. Dibandingkan dengan nilai yang
sesungguhnya yaitu 79,0 eV , kesalahannya adalah 1,9 %. Jadi, dengan memasukkan parameter
, kesalahan yang semula 5,3% turun menjadi tinggal 1,9 %.
Bagaimana kita memperbaiki hasil integral variasional ? Kita dapat mencoba fungsi
yang mempunyai bentuk umum (9-58), yaitu perkalian dua fungsi, yaitu fungsi elektron 1 dan
fungsi elektron 2.
Namun, kita dapat menggunakan berbagai bentuk u dalam (9-67) sebagai ganti dari bentuk
eksponensial tunggal sebagaimana digunakan pada (9-58). Prosedur sistematik untuk
memperoleh fungsi u yang menghasilkan nilai integral variasional terkecil akan dibahas di bab
XI. Prosedur itu menunjukkan bahwa pilihan terbaik untuk u dalam (9-67) menghasilkan
integral variasional 77,9 eV, yang masih mempunyai kesalahan 1,4 %. Hal ini menimbulkan
pertanyaan, mengapa (9-67) tidak dapat menghasilkan integral variasional yang tepat sama
dengan 79,0 eV ?. Jawabnya adalah, ketika kita menulis fungsi (9-67), dalam bentuk perkalian
dua fungsi terpisah untuk masing-masing elektron, kita telah membuat sebuah aproksimasi.
Perlu dicatat, bahwa terminologi Hamiltonian e' 2 / r12 dalam persamaan Schrodinger untuk
helium merupakan kuantitas yang bersifat sebagai satu kesatuan dan tidak separabel. Untuk
dapat mencapai energi ground state yang sesungguhnya, kita membutuhkan fungsi yang tidak
sesederhana (9-67).
Model atom Bohr yang memberikan penjelasan mengenai energi secara tepat dan
memuaskan untuk atom hidrogen, ternyata gagal ketika diterapkan untuk helium. Kemudian,
pada hari-hari awal lahirnya mekanika kuantum, ada teori baru yang memberikan perlakuan
yang akurat untuk helium. Teori baru tentang helium ini diprakarsai oleh Hylleraas pada tahun
1928-1930. Dia menggunakan fungsi variasi yang memperhitungkan jarak antar elektron r12
secara eksplisit. Hal ini memungkinkan orang untuk membicarakan berapa besar efek yang
diberikan oleh sebuah elektron dalam pergerakannya, terhadap elektron yang lain. Fungsi yang
dipergunakan oleh Hylleraas adalah:
r1 r 2
ao
= N e .e ao
1 b r 12 (9-68)
r12 x1 x 2 2 y1 y 2 2 z1 z 2 2
1/ 2
(9-69)
akibatnya fungsi (9-68) bersifat tidak sesederhana bentuk perkalian fungsi (9-67). Minimalisasi
terhadap integral variasional terhadap masing-masing parameter, menghasilkan parameter =
1,849 dan b = 0,364/ao dan energi ground state 78,7 eV, yang artinya, kesalahannya 0,3 eV
Bab I/Pers. Schrodinger/ 196
atau 0,38 %. Dengan menggunakan fungsi yang lebih rumit (terdiri atas 6 suku dan
mengandung r12), Hylleraas berhasil memperoleh energi ground state helium dengan kesalahan
hanya 0,013 %.
Pekerjaan Hylleraas, dikembangkan oleh para ahli lain. Dengan menggunakan fungsi
variasi yang terdiri atas 1078 suku, Pakeris memperoleh energi ground state helium
memperbaiki hasil kerja Pakeris, dan memperoleh energi ground state helium
9
2,903724375 (e' 2 / ao ) . Hasil ini hanya berbeda dalam rentang 10 (e' 2 / a o ) terhadap energi
mengandung r12 , r23 dan r13 menghasilkan energi ground state (e' 2 / ao ) . Bandingkan
dengan energi litium ground state yang sesungguhnya, 7,47807 (e' 2 / ao ) . Kalkulasi variasional
dengan fungsi yang mengandung rij menjadi sangat rumit untuk atom berelektron banyak karena
akan melibatkan suku yang sangat banyak serta integral yang sangat rumit.
dengan
2 2
2 e' 2 e' *
* H d = ao * d + ( Z )e' ao r1
d
e' 2 * *
+ ( Z )e' 2
ao r2
d + e' 2 r12
d (9-61)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 197
Kita ambil ƒ1 sebagai fungsi ternormalisasi dari orbital 1s mirip hidrogen dengan muatan inti
bertautan dengan elektron 1; dan kita ambil fungsi sejenis yaitu ƒ2 untuk elektron 2:
3/ 2 r 3/ 2 r
1 ao
1 1 ao
2
ƒ1 = e ; ƒ2 = e (9-62)
1/ 2 ao 1/ 2 ao
dengan catatan = ƒ1.ƒ2. Selanjutnya kita evaluasi integral-integral yang berada dalam
persamaan (9-61)
* d ƒ 8
1 ƒ1 ƒ28ƒ2 d1 d2 = 1
3/ 2 r 3/ 2 r
1 ao
1 1 ao
1
1/ 2
e . e
1/ 2 a 2
ao o
= r12 dr1 sin 1d1 d1
0
r1 0 0
3 2 2
r1
1
r1e dr1 sin 1d 1 d1
ao
=
ao 0 0 0
3
2
1 ao
= cos 1 0 2
ao 2
3 2
1 ao
= 22 =
ao 2 ao
*
Akhirnya kita harus mengevaluasi e' 2 r12
d . Ini persis sama dengan (9-52), hanya Z diganti
* 5 e' 2
e' 2 r12
d =
8 a
(9-63)
o
Jadi integral variasional (9-61) mempunyai nilai:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 198
5 e' 2
* H d = 2 Z
2
(9-64)
8 ao
Sebagai pengujian, jika kita menggunakan = Z dalam (9-64) akan kita peroleh bahwa nilai (9-
64) tepat sama dengan hasil teori perturbasi order pertama, (9-50) ditambah (9-55).
Sekarang kita mencari nilai parameter agar integral variasional bernilai minimal.
Problem perturbasinya adalah:
H n E n n (9-72)
H H o H ' (9-73)
Apabila semakin mendekati nol, nilai eigen pada (9-72) semakin mendekati nilai eigen
(9-70); jadi kita mempunyai lim 0 E n E n(o) . Ini juga berarti bahwa untuk mendekati 0,
fungsi eigen persamaan (9-72) mendekati fungsi eigen (9-70). Apakah ini berarti bahwa
lim 0 n n(o) ? Jawabnya adalah, tidak harus demikian. Jika E n(o ) non degenerate, fungsi
n(o) ternormalisasi yang berasal dari H o dengan nilai eigen E n(o) merupakan fungsi yang unik,
dan kita boleh yakin bahwa lim 0 E n E n(o) . Namun, jika nilai eigennya berlevel d-fold
degenerate, maka solusi untuk persamaan (9-70) adalah kombinasi linear berikut:
yang kita gunakan sebagai fungsi eigen untuk state yang terdegenerate adalah fungsi yang tidak
unik karena akan ada d macam fungsi yang nilai eigennya sama. . Dengan menggunakan (9-74)
kita dapat menyusun himpunan-himpunan fungsi ternormalisasi berderajat degenerate d yang
banyaknya tak terhingga. Sebagai contoh, untuk state 2p atom hidrogen yang bersifat 3-fold
degenerate, kita dapat menggunakan fungsi 2p1, 2p0 dan 2p+1, atau fungsi 2px , 2py dan 2pz atau
himpunan 3 fungsi independen yang lain untuk disusun menjadi kombinasi linear. Untuk eigen
terperturbasi yang mengalami d-fold degenerate, dapat dinyatakan bahwa seandainya
mendekati nol, kombinasi linear yang dihasilkan adalah:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 199
d
lim n ci i(o ) 1 n d
0 i 1
Tugas kita yang pertama adalah menentukan fungsi gelombang order nol (9-75) untuk perturbasi
H ' . Jika fungsi yang akan kita tentukan itu kita beri nama n(o ) , maka:
d
n(o) ci i(o) 1 n d (9-76)
i 1
Masing-masing fungsi n(o) dalam (9-76) mempunyai koefisien yang berbeda. Himpunan fungsi
order nol yang benar bergantung pada bentuk perturbasi H ' .
Perlakuan terhadap level d-fold degenerate berlangsung sebagaimana perlakuan pada
non degenerate (sub bab 9.2), tentu saja kita gunakan n(o ) sebagai ganti untuk n(o) .
Selanjutnya (9-79) dikalikan dengan m(o)* dan dintegralkan seluruh ruang dengan m adalah
salah satu state yang berada dalam level d-degenerate tak terperturbasi, jadi m terletak antara 1
dan d atau 1 m d .
m(o)* H o n(1) E d(o) n(1) m(o )* E n(1) n(o) H ' n(o )
Jika tanda * tidak ditulis dan diadakan penataan , diperoleh:
m(o) H o n(1) E d(o) m(o) n(1) E n(1) m(o) n(o) m(o) H ' n(o ) , 1 m d
(9-80)
Dari persamaan (9-20) kita mempunyai m(o) H o n(1) E m(o) m(o) n(1) = 0. Dari (9-
71) kita E m(o) E d(o) untuk 1 m d , jadi m(o) H o n(1) E d(o) m(o) n(1) juga = 0,
(o)
m
H ' n(o ) E n(1) m(o) n(o) 0 , 1 m d (9-80a)
(o ) d d
m H '
ci i(o) E n(1) m(o) ci i(o) 0
i 1 i 1
atau:
d
i m
c (o)
H ' (o)
i E (1)
d
n ci m i
(o ) (o )
0 (9-81)
i 1 i 1
Fungsi gelombang order nol i(o) (i – 1, 2, . . d) untuk level degenerate selalu dapat dipilih
( o ) (o )
m i mj (9-82)
untuk rentang m dan i antara 1 dan d. Jika (9-82) dimasukkan ke dalam (9-81) kita peroleh:
d
d
(o )
m n mj c i 0 ,
(o) (1)
H ' i E m = 1, 2, . . .d (9-83)
i 1 i 1
Bab I/Pers. Schrodinger/ 201
Persamaan (9-83) ini merupakan himpunan d persamaan homogen linear dari d koefisien yang
'
tak diketahui. Jika agar tampak sederhana, m(o ) H ' i(o) ditulis H mi
, maka persamaan (9-
Agar himpunan persamaan linear (9-84) memiliki solusi trivial, determinan koefisien himpunan
tersebut harus nol, jadi:
det m(o) H ' i(o) E n(1) mj = 0 (9-85)
' ' '
( H 11 E n(1) ) H 12 ...... H1d
' '
H 21 ( H 22 E n(1) ) . . . . . . H '2d
0 (9 - 86)
...............................................
'
H d' 1 H 'd2 ...... ( H dd E n(1) )
Persamaan (9-86) disebut persamaan sekular, yang merupakan persamaan aljabar berderajat d
dinyatakan dalam E n(1) . Tentu saja persamaan ini mempunyai akar sebanyak d, yaitu
E1(1) , E 2(1) , . . . , E d(1) , yang merupakan koreksi order pertama untuk level d-degenerate tak
terperturbasi.
Jika akar-akarnya semuanya berbeda, maka koreksi perturbasi order pertama memecah level d-
fold degenerate tak terperturbasi menjadi sebanyak d level energi perturbasi yang saling berbeda
yaitu:
Jika ada beberapa akar yang sama maka pemecahannya tidak lengkap menjadi sebanyak d level
perturbasi. Namun, untuk pembahasan kali ini, kita akan mengasumsikan bahwa akar-akar (9-
86) saling berbeda.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 202
Setelah mendapatkan d macam nilai koreksi energi order pertama, kita akan kembali ke
(9-84) untuk mendapatkan nilai ci yang belum diketahui, yang merupakan penentu fungsi
gelombang order yang sesungguhnya. Untuk menentukan fungsi gelombang order nol :
yang energinya adalah akar E n(1) , kita harus menyelesaikan (9-84) untuk c2, c3, . . . cd dinyatakan
d
2
c1 1 (9-88)
k 1
yang berbeda yang akan memberikan fungsi gelombang order nol sesungguhnya yang berbeda
juga. Dalam sub bab berikutnya akan ditunjukkan bahwa:
E n(1) = n(o) H ' n(o ) , n = 1, 2, . . ., d (9-89)
yang sama dengan formula untuk non degenerate (9-22), tetapi tentu saja hanya fungsi yang
dipergunakan.
Dengan prosedur yang sama dengan kasus degenerate itu, sekarang kita dapat
menghitung koreksi order pertama untuk fungsi gelombang order nol serta dengan demikian
juga dapat menghitung koreksi energi order kedua.
Sebagai contoh, akan kita lihat efek perturbasi H ' terhadap level energi degenerate terendah
dari partikel dalam box tiga dimensi. Kita telah tahu bahwa tiga state terendahnya adalah
2(o,1),1 , 1(,o2),1 dan 1(,o1,)2 . Fungsi-fungsi tersebut ortonormal, dan persamaan sekular (9-86)
adalah:
(o ) (o ) (o)
(o) (o ) (o)
211 H ' 211 E n(1) 211 H ' 121 211 H ' 112
(o ) (o ) (o ) (o) (o) (o )
121 H ' 211 121 H ' 111 E n(1) 121 H ' 112 0
(o ) (o) (o ) (o) (o) (o )
112 H ' 211 112 H ' 121 . 112 H ' 112 E n(1)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 203
Jadi melalui koreksi order pertama, level degenerate tripel tak terperturbasi, pecah menjadi tiga
level, yaitu:
0 =0
H '
22
'
H 11
c2 =0
.....
..............
H '
dd
'
H 11
cd = 0
'
Karena kita mengasumsikan bahwa semua akar-akarnya berbeda, tentu saja nilai H 22 '
H 11 , . .,
H '
dd
'
H 11
, tidak mungkin nol. Dengan demikian,
c2 = 0, c3 =
0, . . . . . cd = 0
Bab I/Pers. Schrodinger/ 204
Kondisi normalisasi pada (9-88) menghasilkan c1 = 1. Jadi fungsi gelombang order nol yang
'
sesungguhnya berdasarkan koreksi energi perturbasi order pertama H 11 adalah [(persamaan 9-76)]:
0 0
1 1
'
Dengan cara yang sama, untuk akar H 22 , diperoleh:
20 20
Dengan menggunakan akar-akarnya yang tersisa, dan dengan cara yang sama pula, diperoleh:
30 30 ,
0
. . . ., d d
0
Jadi, jika determinan sekular berbentuk determinan diagonal, maka fungsi 1 , 2 , . . . d yang
0 0 0
kita asumsikan merupakan fungsi gelombang terperturbasi order nol yang sesungguhnya.
Kebalikan dari
pernyataan di atas, juga benar. Jika fungsi-fungsi yang kita asumsikan ternyata adalah fungsi perturbasi
yang benar, maka determinan sekularnya merupakan determinan diagonal. Dari 1
0 0 , kita
1
d
0 c 0 adalah c = 1, dan c = c = . . . = c = 0, jadi untuk n = 1,
koefisien pada ekspansi 1 i i 1 2 3 d
i 1
himpunan persamaan simultan (9-84) menjadi:
'
H 11 E10 0 , '
H 21 0 , .. . . . . . H d' 1 0
Aplikasi hal yang sama untuk fungsi n0 yang lain, membawa kita pada kesimpulan bahwa H mi
'
0
untuk i m . Dengan demikian, penggunaan fungsi order nol akan membuat determinan sekular
menjadi determinan diagonal. Perlu diingat juga bahwa koreksi energi order pertama dapat diperoleh
dengan cara menghitung rata-rata dengan menggunakan fungsi gelombang order nol, jadi:
E n1 H nn
'
n0 H ' n0 (9-93)
Pada umumnya, jika determinan sekular tidak berbentuk determinan diagonal, maka bentuknya
adalah determinan blok. Sebagai contoh:
'
( H 11 E n(1) ) '
H 12 0 0
' '
H 21 ( H 22 E n(1) ) 0 0
' 0 (9 - 94)
. 0 0 ( H 31 E n(1) ) '
H 34 .
' '
0 0 H 43 ( H dd E n(1) )
Determinan sekular (9-94) mempunyai bentuk yang sama dengan persamaan sekular variasi linear (8-
40) dengan Sij = ij. Dengan cara yang sama dengan yang digunakan untuk menunjukkan bahwa dua
dari fungsi variasi adalah kombinasi linear dari f1 dan f2 dua yang lain adalah kombinasi linear dari f3
dan f4 [Persamaan (8-45) dan (8-46)], kita dapat menunjukkan bahwa dua fungsi gelombang order nol
adalah kombinasi linear dari 1
0 dan 0 sedang dua yang lain adalah kombinasi linear dari 0
2 3
dan 4 :
0
Bab I/Pers. Schrodinger/ 205
5/ 2 3/ 2
1 Z 1 Z
80 r1 .e Zr1 / 2 ao
cos 1 . e Zr2 / ao
42 1/ 2
ao 1/ 2 ao
Kita lebih memilih bentuk real untuk fungsi 2p dari pada bentuk kompleksnya.
Karena level tak terperturbasinya adalah degenerate, kita harus menyelesaikan persamaan sekularnya.
Persamaan sekular (9-86) mengasumsikan bahwa fungsi 1 , 2 , ....... 8
0 0 0 adalah ortonormal.
Kondisi ini ternyata dipenuhi. Sebagai contoh:
0 * 0 d =
1 1 1s(1) * 2s(2) * 1s(1)2s(2) d 1 d 2
=
1s(1) d1 2s(2) d 2
2 2
=1.1=1
0 * 0 d =
1 2 1s(1) * 2s(2) * 1s(2)2s(1) d 1 d 2
=
1s(1)2s(1)d 1 1s(2)2s(2)d 2 =0.0=0
Karena adalah 8 fungsi tak terperturbasi, jadi determinan sekularnya pasti mempunyai 82 = 64 elemen.
Operator H ' adalah Hermitian, dan H ij' H 'ji
. Juga, karena H ' dan . . . . . semuanya
*
1
0
8
0
diagonal utama. Hal ini membuat pekerjaan mengevaluasi integral menjadi terpotong sekitar
separuhnya.
Dengan
menggunakan konsiderasi paritas, kita dapat menunjukkan bahwa sebagian besar integral bernilai nol.
'
Pertama, marilah kita lihat H 13 :
'
H 13 =
e' 2
1s (1)2 s (2)
r12
1s (1)2 p x (2) dx1 dy1 dz1 dx 2 dy 2 dz 2
Fungsi s hidrogen hanya bergantung pada r = (x + y + z )½ dan oleh karena itu merupakan fungsi
2 2 2
genap. Fungsi 2px(2) adalah fungsi ganjil terhadap x2, dan r12 dinyatakan oleh (9-69). Jika kita
menginversi ke enam koordinat, r12 tidak berubah:
r12 = [(x1 +
2 2 2
x2) + (y1 + y2) + (z1 + z2) ] = r12
'
Kemudian, jika keenam koordinat pada H 13 diinversi, nilainya berubah menjadi minus nilai semula.
' '
Jadi H 13 tersebut merupakan integral fungsi ganjil, sehingga kita boleh menyimpulkan bahwa H 13 =
' ' '
' '
0. Dengan alasan yang sama kita peroleh H 14 = H 15 = H 16
H 17 = H 18
= = 0 dan
' ' ' ' ' ' '
H 23 = H 24 = H 25 = H 26 = H 27 = H 28 = 0. Sekarang kita akan mengevaluasi H 35 :
' e' 2
H 35 = 1s (1)2 p x (2)
r12
1s (1)2 p y (2) dx1 dy1 dz1 dx 2 dy 2 dz 2
Perhatikan pengaruh perubahan x1 x2 dan x2 x2. Transformasi ini tidak mengubah harga r12.
Fungsi 1s(1) dan 2py(2) tidak terpengaruh oleh perubahan ini, namun 2px(2) menjadi negatif terhadap
'
nilai semula. Dengan demikian secara keseluruhan nilai H 35 menjadi negatif terhadap transformasi ini,
' ' ' '
dan dapat disimpulkan pula bahwa H 35 = 0. Dengan cara yang sama diperoleh H 36 = H 37 = H 38 =0
' '
' '
dan H 45 = H 46 = H 47 = H 48 = 0. Dengan melakukan transformasi y1 y1 dan y2 y2 dapat
' ' ' '
ditunjukkan bahwa H 57 = H 58 = H 67 = H 68 = 0. Dengan demikian persamaan sekularnya adalah:
'
b11 H 12 0 0 0 0 0 0
'
H 12 b22 0 0 0 0 0 0
'
0 0 b 33 H 34 0 0 0 0
'
0 0 H 34 b 44 0 0 0 0
' =0 (9-97a)
0 0 0 0 b 55 H 56 0 0
'
0 0 0 0 H 56 b 66 0 0
'
0 0 0 0 0 0 b 77 H 78
'
0 0 0 0 0 0 H 78 b88
bii H ii' E 1 i = 1, 2, ....., 8
Bab I/Pers. Schrodinger/ 208
Determinan sekularnya berbentuk determinan blok, dan hasilnya adalah perkalian empat buah
determinan yang masing-masing adalah determinan order dua. Dapat kita simpulkan bahwa
fungsi gelombang order nolnya mempunyai bentuk sebagai berikut:
dimana koefisien c berhubungan dengan akar pertama sedang c berhubungan dengan akar
kedua.
Determinan yang pertama dari (9-97a) adalah:
' '
H 11 E 1 H 12
' ' =0 (9-98)
H 12 H 22 E 1
Kita mempunyai:
' e' 2
H 11 .......... . 1s (1)2 s(2)
r12
1s (1)2s (2) dx 1 . . . . . . . . .dz 2
atau:
' e' 2
H 11 1s (1)2 2 s (2)2 d 1 d 2
r12
' e' 2
H 22 1s (2)2 2 s (1)2 d 1 d 2
r12
Variabel integrasinya merupakan variabel yang dapat diberi sembarang simbol. Marilah kita
'
sekarang melakukan pe-label-an ulang terhadap variabel dalam H 22 dengan ketentuan sebagai
berikut: Kita adakan pertukaran x1 dan x2, pertukaran y1 dan y2 serta pertukaran z1 dan z2.
Pelabelan ulang ini tidak mengubah nilai r12, jadi:
' 2 '
2 e'
H 22 1s (1) 2 s (2)
2
d 2 d 1 H 11 (9-99)
r12
Bab I/Pers. Schrodinger/ 209
' 2
2 e'
H 11 J 1s 2 s 1s (1) 2 s(2)
2
d 1 d 2 (9-100)
r12
Bentuk (9-100) merupakan contoh integral Coulomb. Nama ini muncul karena adanya fakta
bahwa J 1s 2 s sama dengan energi elektrostatik yang muncul dari repulsi antara elektron pertama
yaitu yang fungsi densitas probabilitasnya [1s]2 dengan elektron kedua. yang fungsi densitas
'
probabilitasnya [2s]2. Selanjutnya H 12 diberi simbol K1s 2 s :
' e' 2
H 12 K1s 2 s 1s(1)2s (2) 2 s (1)1s (2) d 1 d 2 (9-101)
r12
Ini disebut integral pertukaran karena fungsi yang letaknya sebelah menyebelah dengan e’2/r12
berbeda satu dengan yang lain hanya lantaran pertukaran elektron satu dengan dua. Definisi
umum untuk integral Coulomb J ij dan integral pertukaran K ij adalah:
e' 2 e' 2
j ij f i 1 f j 2 f i 1 f j 2 ; K ij f i 1 f j 2 f j 1 f i 2 (9-102)
r12 r12
Integrasinya dilakukan untuk seluruh rentang koordinat spasial dari elektron 1 dan 2 dan fi dan
fj adalah orbital spasial.
Substitusi (9-99) sampai (9-101) ke dalam (9-98) menghasilkan:
J 1s 2 s E 1 K 1s 2 s
=0 (9-103)
K 1s 2 s J 1s 2 s E 1
J 1s 2 s E 1
2
K 1s 2 s 2
J 1s 2 s E 1 K 1s 2 s
E 1 J 1s 2 s K1s 2 s
Sekarang kita dapat menghitung koefisien dari fungsi gelombang order nol yang berhubungan
dengan dua harga E 1 tersebut.. Untuk ini kita gunakan (9-84). Jika hanya ada dua harga E 1 ,
maka hanya ada dua harga koefisien c, sehingga (9-84) menjadi:
H '
11
E11 c1 H 12
'
c2 = 0
'
H 21 '
c1 H 22
E 21 c 2 = 0
atau:
J 1s 2 s ( j1s 2 s K1s 2 s )c1 K 1s 2 s c 2 = 0
atau:
K1s 2 s c1 K1s 2 s c 2 = 0
K1S 2 S c1 K 1s 2 s c 2 = 0
10 10 = 1, diperoleh:
atau:
2 2 2 1
c1 c1 = 1 c1 = ½ = 2 , jadi:
c1 2 1 / 2
'
H 33 E 1 '
H 34
=0 (9-107)
'
H 34 '
H 33 E 1
'
H 55 E 1 '
H 56
=0 (9-108)
'
H 56 '
H 55 E 1
'
H 77 E 1 '
H 78
=0 (9-109)
'
H 78 '
H 77 E 1
' '
Perhatikan H 33 dan H 55 :
e' 2
......... 1s (1)2 p x (2)
'
H 33 = 1s (1)2 p x (2) dx1 .......... ...dz 2
r12
e' 2
......... 1s (1)2 p y (2)
'
H 55 = 1s (1)2 p y (2) dx1 .......... ...dz 2
r12
Kedua integral tersebut adalah sama, hanya 2 p x (2) diganti 2 p y (2) , dan kedua orbital ini
sepenuhnya sama dan hanya berbeda orientasinya dalam ruangan. Selanjutnya, juga dapat
' ' '
digunakan lasan yang sama untuk menyatakan bahwa H 77 juga sama dengan H 33 dan H 55 .
e' 2
1s(1)2 p z (2)
' ' '
H 33 = H 55 = H 77 = J 1s 2 p = 1s (1)2 p z (2) d 1 d 2
r12
' ' '
Selanjutnya perhatikan H 34 , H 56 dan H 78 :
e' 2
......... 1s (1)2 p x (2)
'
H 34 = 1s (2)2 p x (1) dx1 .............dz 2
r12
e' 2
......... 1s (1)2 p y (2)
'
H 55 = 1s (2)2 p y (1) dx1 .......... ...dz 2
r12
e' 2
......... 1s (1)2 p z (2)
'
H 78 = 1s (1)2 p z (2) dx1 .............dz 2
r12
Ketiga integral tersebut adalah sama dan ketiganya disebut integral pertukaran K 1s 2 p . Jadi:
e' 2
1s(1)2 p z (2)
' ' '
H 34 = H 56 = H 78 = J 1s 2 p = 1s (2)2 p z (1) d 1 d 2
r12
Dengan demikian ketiga determinan (9-107) sampai (9-109) adalah identik dan mempunyai
bentuk:
J 1s 2 p E 1 K1s 2 p
=0
K 1s 2 p J 1s 2 p E 1
Determinan ini mirip dengan (9-103), dan dengan analogi terhadap (9-104) (9-106), kita
memperoleh:
50 2 1 / 2 1s (1)2 p y (2) 1s (2)2 p y (1)
(9-112)
60 2 1 / 2 1s (1)2 p y (2) 1s(2)2 p y (1)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 213
Ternyata bahwa repulsi e’2/r12 telah mengubah dugaan kita terhadap degenerasi. Semula diduga
bahwa energi level he tereksitasi adalah 8-fold denegerate.. Ternyata 8-ford hipotetis ini pecah
menjadi 2 buah level non degenerate 1s2s dan 2 buah level yang masing-masing 3-fold
degenerate yang berhubungan dengan konfigurasi 1s2p.
Untuk mengevaluasi integral Coulomb dan integral pertukaran dalam E 1 pada
persamaan (9-104) dan (9-110) kita dapat menggunakan ekspansi 1/r12 sebagaimana telah kita
lakukan pada (9-53), dan hasilnya adalah (buktikan !):
17 Ze' 2 59 Ze' 2
J 1s 2 s = 11,42 eV J 1s 2 p
81 a o 243 a o
= 13,21 eV
16 Ze' 2 (9-113)
K 1s 2 s = 1,19 eV
729 a o
112 Ze' 2
K1s 2 p = 0,93 eV
6561 a o
dengan menggunakan Z = 2. Ingat bahwa E 0 = 68,08 eV. Jadi ada empat level energi koreksi
order pertama, yaitu (gambar 9.2):
E 0 E11 E 0 J 1s 2 s K 1s 2 s 57,8 eV
E 0 E 21 E 0 J 1s 2 s K 1s 2 s 55,4 eV
E 0 E 31 E 0 J 1s 2 p K 1s 2 p 53,7 eV
E 0 E 41 E 0 J 1s 2 p K 1s 2 p 53,9 eV
53,9 eV
Kp
1s2p
55,4 eV
55,7 eV
1s2s
Ks
57,8 eV
Jp
Bab I/Pers. Schrodinger/ 214
Gambar 9.2 : Level tereksitasi pertama dari atom helium
Koreksi energi order pertama menunjukkan bahwa level bawah dari 1s2p ternyata lebih rendah dari
level atas pada konfigurasi 1s2s. Studi terhadap spektrum atom helium menunjukkan bahwa
kenyataannya tidak seperti itu. Kesalahan ini akan terhapus jika dilakukan koreksi energi perturbasi
dengan order yang lebih tinggi.
dengan E ko adalah energi stasioner dan ko adalah fungsi gelombang. Selanjutnya, persamaan
i t
H o H' (9-115)
dengan adalah fungsi gelombang bergantung pada koordinat spasial, koordinat spin (diberi
simbol q) dan bergantung waktu, jadi = (q,t).
Pada mulanya, kita anggap bahwa H ' (t ) tidak ada (dianggap dalam keadaan tak
iEkot /
o c k ko = ck e ko (9-117)
k k
Bab I/Pers. Schrodinger/ 216
adalah solusi dari persamaan Schrodinger (9-116) . Tetapan c k adalah sebuah tetapan bebas
waktu.
Fungsi ko membentuk himpunan lengkap (karena mereka merupakan fungsi eigen dari
operator Hermitian H o ), sedemikian rupa sehingga setiap solusi (9-116) dapat dinyatakan
dalam bentuk (9-117). Dengan demikian (9-117) adalah solusi umum bagi persamaan
Schrodinger bergantung waktu (9-116), dan H o bersifat bebas waktu.
Sekarang kita anggap bahwa H ' (t ) sadah ada. Dalam keadaan ini, (9-117) tidak lagi
merupakan solusi persamaan Schrodinger bergantung waktu. Namun, karena fungsi tak
terperturbasi ko membentuk himpunan lengkap, akibatnya fungsi yang sesungguhnya dapat
berada di sembarang waktu yang diekspansi sebagai kombinasi linear dari fungsi ko menurut
relasi o bk ko . Karena H bergantung waktu, tentu saja akan berubah terhadap waktu
k
dan ekspansi koefisien bk juga berubah terhadap waktu. Oleh karena itu:
iEkot /
= bk t e ko (9-118)
k
Dalam kondisi limit H ' (t ) 0, ekspansi (9-118) akan tereduksi menjadi (9-117).
iEkot / iEkot /
= bk e E ko ko + bk e H ' ko
k k
Selanjutnya kita kalikan dengan mo * dan diintegrasi ke seluruh koordinat spasial dan
spin. Dengan menggunakan sifat ortonomalitas dari fungsi gelombang tak terperturbasi, kita
peroleh:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 217
Karena faktor mo ko , semua suku pada ekspansi ruas kiri menjadi nol kecuali satu yaitu jika
m = k , sehingga:
dbk iEmo t /
Karena k = m, maka ruas kiri dapat ditulis e , sehingga::
i dt
dbk iEmo t / iEkot /
i dt
e = bk e mo H ' ko
k
atau:
dbk i
o
i Em
Eko t /
dt
=
bk e mo H ' ko (9-119)
k
Marilah kita menganggap bahwa perturbasi H ' (t ) diaplikasikan pada t = 0 dan bahwa sebelum
perturbasi diaplikasikan sistem berada dalam keadaan stasioner pada keadaan n dengan energi
o
E no . Oleh karena itu, fungsi pada t = 0 adalah e iEn t / no , dan pada t = 0 nilai dari
koefisien ekspansi pada (9-118) adalah bn (0) = 1 dan bk (0) = 0 untuk k n . Jadi:
bk (0) kn (9-120)
Untuk memfasilitasi solusi (9-119), kita akan mengasumsikan bahwa perturbasi H ' adalah kecil
dan hanya bekerja dalam waktu yang singkat. Dalam kondisi seperti itu, perubahan nilai
koefisien bk dari nilai asal pada saat perturbasi diaplikasikan adalah sangat kecil. Sebagai
aproksimasi, kita dapat mengganti koefisien ekspansi pada ruas kanan (9-119) dengan nilai
asalnya (9-120), sehingga:
= e i Em En t / mo H ' no
dbk i o o
dt
Selanjutnya perturbasi H ' diaplikasikan dari t = 0 sampai t = t’. Integrasi dari t = 0
sampai t = t’, dan dengan menggunakan (9-120) diperoleh:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 218
e i Em En t / mo H ' no dt
t'
i o o
bm (t ' ) mn (9-121)
0
Penggunaan hasil aproksimasi (9-121) untuk koefisien ekspansi dalam (9-118) memberikan
aproksimasi yang dikehendaki terhadap fungsi keadaan pada t = t’ pada kasus yang perturbasi
bergantung waktunya ( H ' ) diaplikasikan pada t = 0 untuk sistem dalam keadaan stasioner n.
Untuk t setelah t’, aksi perturbasi telah berhenti, dan H ' = 0. Dengan demikian
persamaan (9-119) memberikan dbm / dt 0 untuk t > t’. Oleh karena itu, untuk t setelah
dengan bm t ' koefisien sebagaimana dinyatakan oleh (9-121). Dalam (9-122), adalah
superposisi dari mo yaitu fungsi eigen operator H o . Telah kita bahas dalam bab 7, bahwa
pengukuran energi sistem pada t setelah t’ akan menghasilkan sebuah nilai eigen E mo yaitu nilai
eigen dari operator H o , dan probabilitas memperoleh E mo adalah sama dengan kuadrat dari
o
Perturbasi bergantung waktu mengubah fungsi dari e iEn t / no menjadi superposisi (9-
122). Kemudian, pengukuran energi mengubah menjadi salah satu energi fungsi eigen
o
e iEmt / mo . Hasil bersihnya adalah transisi dari keadaan stasioner n menjadi keadaan stasioner
Bab I/Pers. Schrodinger/ 219
Soal-Soal
1. Untuk osilator tak harmonik dengan Hamiltonian (9-3), evaluasilah E (1) untuk keadaan
tereksitasi pertama.
2. Sebuah partikel dalam sistem box satu dimensi mempunyai fungsi energi potensial sebagai
berikut:
V = b untuk ¼ l < x < ¾ l , V = 0 untuk 0 < x < ¼ l dan x > ¾ l
dan di luar itu V = tak terhingga, dengan b = 2 / ml 2 . Perlakukan sistem sebagai partikel
terperturbasi dalam box.
(a) Tentukan koreksi energi order pertama untuk seluruh state stasioner dengan bilangan
kuantum n.
(b) Untuk ground state dan tereksitasi pertama, bandingkan E (0) E (1) dengan energi yang
3. Untuk partikel terperturbasi dalam box sebagaimana tersebut pada soal (2) di atas, tentukan
koreksi order pertama untuk fungsi gelombang yang stasioner pada keadaan dengan bilangan
kuantum n
4. Ketika Hylleraas memulai kalkulasinya pada helium, saat itu belum diketahui apakah ion
hidrida terisolasi (ion H ) merupakan entitas yang stabil atau tidak. Kalkulasilah energi
ground state ion H , diprediksi dengan fungsi trial (9-58). Bandingkan hasilnya dengan
energi ground state atom hidrogen, yaitu 13,6 eV, dan tunjukkan bahwa fungsi variasi
sederhana ini mengindikasikan bahwa H tidak stabil. (Dengan fungsi variasi yang lebih
kompleks, dihasilkan energi ground state H adalah 14,35 eV).
Bab I/Pers. Schrodinger/ 220
5. Ada lebih dari satu cara untuk memisahkan Hamiltonian H menjadi bagian tak terpertubasi
H o dan bagian perturbasi H ' . Selain yang dapat kita lihat pada (9-40) dan (9-41),
pemisahan Hamiltonian untuk atom helium adalah sebagai berikut:
2 2 2 2 5 e' 2 5 e' 2
Ho = 1 2 Z Z
2me 2m e 16 r1 16 r2
Bagaimana fungsi gelombang tak terperturbasinya ? Kalkulasilah E (0) dan E (1) untuk
ground state. (Lihat sub bab 9.4)
6. Sebagian besar (tetapi tidak semua) pengaruh gerak inti atom helium dapat dikoreksi dengan
cara mengganti me dengan massa tereduksi dalam menyatakan energi. Tentukan, energi
det (mo) H ' i(o) mi ( E n(0) E n(1) ) = 0
BAB X
SPIN ELEKTRON DAN PRINSIP PAULI
10.1 Spin Elektron
Setiap orang yang mempelajari ilmu kimia, pasti familiar dengan spektrum warna
kuning yang berasal dari nyala unsur natrium. Pengujian secara cermat terhadap spektrum
natrium menunjukkan bahwa garis kuning tertajam yang biasa disebut garis D sesungguhnya
terdiri atas dua garis yang berjarak sangat rapat. Garis D unsur natrium ini berasal dari transisi
konfigurasi tereksitasi 1s2 2s2 2p6 3s2 3p1 ke keadaan dasar (ground state). Sifat doublet garis
Bab I/Pers. Schrodinger/ 221
kuning serta garis-garis lain dari spektrum natrium ini, menunjukkan adanya kelipatan dua
terhadap ekspektasi banyaknya state dikaitkan dengan elektron valensi.
Untuk menjelaskan struktur spektra atom natrium ini, Uhlenbeck dan Goudsmit
menyatakan pada tahun 1925, bahwa elektron mempunyai momentum angular intrinksik selain
momentum angular orbital dalam pergerakannya mengelilingi inti atom. Selanjutnya
momentum intrinksik ini disebut momentum angular spin atau disederhanakan menjadi spin
saja, yaitu suatu momentum angular yang muncul dari gerak rotasi elektron terhadap sumbunya.
Perlu diingat bahwa “spin” elektron ini bukan merupakan efek klasik, dan gambaran mengenai
elektron yang berotasi pada sebuah sumbunya itu, tidak dapat dikonsiderasikan untuk
merepresentasikan realitas fisik. Momentum angular intrinksik ini adalah nyata, tetapi tidak
visualisasi model yang dapat dengan mudah digunakan untuk menjelaskan asal-usulnya secara
pantas. Kita tidak dapat berharap untuk memperoleh pemahaman yang layak terhadap patikel
mikroskopik atas dasar sebuah model yang diambil dari pengalaman di dalam dunia
makroskopik. Perlu pula diketahui bahwa partikel-partikel elementer lain selain elektron, juga
mempunyai momentum angular spin.
Pada tahun 1928, Paul Dirac mengembangkan mekanika kuantum relativistik untuk
gerak sebuah elektron, dan dalam pembahasannya spin elektron muncul secara natural. Teori
Dirac juga mengindikasikan adanya elektron bermuatan positif yang disebut positron, meskipun
Dirac tidak secara penuh merealisasikannya pad tahun 1928. Positron baru diketemukan pada
tahun 1932. Positron ini merupakan sebuah antipartikel dari elektron.
Dalam pembahasan secara non relativistik yang akan dipergunakan di sini, elektron
harus dikenal sebagai sebuah hipotesis tambahan. Kita telah mempelajari bahwa setiap properti
fisik berhubungan dengan operator Hermitian linear dalam mekanika kuantum. Untuk properti
momentum angular orbital yang mempunyai analogi dengan mekanika klasik, kita dapat
menyusun operator mekanika kuantumnya, dengan menggunakan ekspresi klasik dan mengganti
px, py dan pz dengan operator yang sesuai. Namun, momentum angular spin dari sebuah
partikel mikroskopik, tidak mempunyai analogi dengan mekanika klasik, sehingga kita tidak
dapat menggunakan metode seperti itu untuk membangun sebuah operator bagi momentum
Bab I/Pers. Schrodinger/ 222
angular spin. Untuk tujuan ini, kita akan secara sederhana menggunakan simbol-simbol untuk
operator spin, tanpa memberikan bentuk eksplisit dari simbol-simbol itu.
Analog dengan operator momentum angular orbital L2 , L x , L y , L z maka kita menggunakan
simbol S 2 , S x , S y , S z untuk operator momentum angular spin dan dipostulatkan sebagai
operator linear dan Hermitian. S 2 adalah operator untuk kuadrat dari besarnya momentum
angular spin total dari sebuah partikel. S z adalah operator momentum angular spin partikel
untuk komponen z. Selanjutnya hubungan antara momentum angular total dengan komponen-
komponennya adalah:
S 2 S x2 S y2 S z2 (10-1)
Dipostulatkan bahwa operator momentum angular spin mengikuti relasi kommutasi yang sama
sebagaimana operator momentum angular orbital. Analog dengan [ L x , L y ] i L z ,
[ L y , L z ] i L x , [ L z , L x ] i L y ( lihat bab 5), kita dapat menyatakan bahwa:
[ S x , S y ] i S z , [ S y , S z ] i S x , [ S z , S x ] i S y (10-2)
Selanjutnya sebagaimana untuk operator momentum angular orbital yang sudah dibahas pada
bab 5, kita juga dapat menyatakan bahwa:
[S 2 , S x ] = [S 2 , S y ] = [S 2 , S z ] = 0 (10-3)
Selanjutnya karena nilai eigen L2 adalah ( 1) 2 kita juga dapat menyatakan bahwa nilai
eigen untuk S 2 adalah:
s ( s 1) 2 s = 0, ½ , 1 . . . . (10-4)
dan nilai eigen untuk S z adalah:
Bilangan kuantum s disebut spin partikel. Meskipun pada pembahasan bab 5 tidak terdapat
pembatasan bahwa elektron hanya mempunyai sebuah harga s, namun eksperimen menunjukkan
Bab I/Pers. Schrodinger/ 223
bahwa semua elektron hanya mempunyai satu macam harga s yaitu ½ . Dengan s = ½ maka
diperoleh:
S= s ( s 1) = ½ 3 (10-6)
Untuk s = ½ , persamaan (10-5) memberikan dua kemungkinan nilai eigen untuk S z , yaitu ½
dan ½ . Jika fungsi eigen yang berhubungan dengan masing-masing nilai eigen untuk S z ini
Selanjutnya dengan menggunakan (10-4) dan s = ½ , dapat diketahui bahwa nilai eigen untuk
S 2 = ¾ 2 . Karena operator S 2 adalah kommute terhadap operator S z , maka dan yang
merupakan fungsi eigen terhadap S z merupakan fungsi eigen pula terhadap operator S 2 .
Dengan demikian persamaan eigen yang menghubungkan operator S 2 dengan fungsi dan nilai
eigennya adalah:
S 2 = ¾ 2 S 2 = ¾ 2 (10-9)
Operator S z tidak kommute terhadap operator S y dan S z , oleh karena itu fungsi dan tidak
merupakan fungsi eigen untuk S y dan S z . Istilah spin up diberikan untuk ms = ½ sedang spin
down untuk ms = ½ . Perhatikan gambar 10.1. Akan kita tunjukkan bahwa dua kemungkinan
untuk bilangan kuantum ms, membuat garis rangkap dua pada spektra logam alkali.
Fungsi gelombang yang telah kita pelajari sebelumnya adalah fungsi koordinat ruang
dari sebuah partikel ; = (x, y, z). Sekarang kita boleh bertanya. Apakah variabel untuk
fungsi dan ? Kadang-kadang orang menggunakan koordinat spin , tanpa membuat
spesifikasi buat koordinat tersebut. Yang lebih sering, orang menggunakan ms sebagai variabel
penentu fungsi dan . Jika kita menggunakan ms sebagai variabel, kita mempunyai.
Sebagaimana biasa, kita menginginkan agar fungsi eigen ternormalisasi. Ketiga variabel x, y
dan z pada fungsi gelombang sebuah partikel mempunyai rentang kontinum dari sampai
sehingga bentuk normalisasinya adalah::
2
(x, y, z) dx dy dz = 1
Variabel ms pada fungsi eigen spin elektron hanya mempunyai dua macam nilai diskrit yaitu +
½ dan ½ , sehingga normalisasinya adalah:
1/2 2 1/2 2
(m )
s
1 ; (m )
s
1 (10-11)
ms 1/2 ms 1/2
S
½
½ 3
½
S
1/2
*(ms ) . (m ) 0
s
(10-12)
ms 1/2
Ketika kita menganggap fungsi gelombang sebuah elektron adalah fungsi yang lengkap, yang
terdiri atas variabel ruang maupun spin, maka normalisasinya adalah:
1/2 2
(x, y, z, m )
s
dx dy dz 1 (10-13)
ms 1/2
Bab I/Pers. Schrodinger/ 225
Notasi penjumlahan untuk seluruh variabel spin dan integral untuk seluruh variabel ruang
seperti pada (10-13) tersebut selanjutnya disederhanakan menjadi:
2
(x, y, z, ms ) d
sedang untuk integral seluruh rentang variabel ruang saja digunakan notasi dv.
Jika fungsi koordinat dinyatakan dengan (x, y, z) dan fungsi spin misalnya saja kita
nyatakan dengan g(ms), maka fungsi gelombang elektron tunggalnya secara lengkap dapat
dengan g(ms) adalah fungsi yang mewakili baik fungsi maupun bergantung nilai ms-nya.
Jika ms = ½ maka g(ms) mewakili dan jika ms = ½ maka g(ms) mewakili . Tetapi agar
pembahasannya lebih umum, g(ms) dapat dipandang sebagai kombinasi linear dari dab .
[Jadi g(ms) = c1 + c2 Karena operator Hamilton tidak berpengaruh terhadap fungsi spin,
maka:
H [ ( x, y, z ) .g ( m ) ] g (m ) H [ ( x, y , z ) ] E[ ( x, y , z ) .g ( m ) ]
s s s
dan tampak bahwa memperhitungkan efek spin, tidak berpengaruh terhadap energi elektron.
Artinya, efek spin tidak mempengaruhi energi elektron. Dengan demikian spin yang berbeda
hanya membuat kemungkinan state elektron menjadi dua kali lipat; untuk (x, y, z) misalnya,
Dalam mekanika kuantum, prinsip ketidakpastian menyatakan bahwa kita tidak dapat
mengikuti lintasan eksak yang ditempuh oleh sebuah partikel mikroskopik. Jika partikel
mikroskopik, semuanya mempunyai perbedaan massa, atau muatan atau spin, maka kita dapat
menggunakan perbedaan itu untuk mengenali satu partikel dari partikel yang lain. Tetapi, jika
semua partikel tersebut identik, dan satu-satunya cara yang kita miliki hanyalah mengikuti
lintasan sebagaimana dalam mekanika klasik, maka pengenalan dengan cara ini akan kehilangan
kemampuan dalam mekanika kuantum, karena adanya prinsip ketidakpastian. Oleh karena itu,
fungsi gelombang masing-masing dalam suatu sistem yang terdiri atas interaksi beberapa
partikel identik, pasti tidak dapat dikenali, artinya sangat tidak mungkin untuk menentukan
fungsi apa untuk partikel yang mana. Sebagai contoh, menurut perlakuan perturbasi untuk atom
helium tereksitasi dalam bab 9, terlihat bahwa fungsi 1s(1)2s(2), yang menyatakan elektron
kesatu pada orbital 1s dan elektron kedua pada orbital adalah bukan fungsi gelombang order nol
yang benar. Pernyataan yang lebih baik untuk menyatakan fungsi gelombang helium tereksitasi
adalah:
maka fungsi gelombangnya tidak tumpang tindih, dan keduanya dipandang sebagai partikel
yang dapat dibedakan)
Sekarang akan diturunkan pembatasan terhadap wilayah fungsi gelombang untuk
menentukan índistinguishability (tingkat ketakterbedakan) sebuah partikel dalam mekanika
kuantum. Fungsi gelombang sebuah sistem yang terdiri atas n partikel bergantung pada variabel
ruang dan spin. Untuk partikel 1 variabelnya adalah x1,y1,z1,ms. Sekarang kita gunakan q1
untuk menyatakan x1,y1,z1,ms. Jadi fungsi gelombang untuk sistem n partikel adalah
partikel 1 dan 2:
P1 2 ƒ( q1, q2,.q3 . . . . .,qn.) = ƒ ( q2, q1,.q3 . . . . .,qn.) (10-14)
Sebagai contoh, efek P1 2 pada fungsi yang mempunyai elektron 1 pada 1s dengan spin up, dan
asalnya:
P1 2 P1 2 ƒ ( q1, q2,.q3 . . . . .,qn.) = ƒ ( q1, q2,.q3 . . . . .,qn.)
Oleh karena itu P122 = 1 . Selanjutnya kita ambil wi dan ci sebagai fungsi dan nilai eigen dari
operator P1 2 , Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa:
P1 2 wi = ci wi
Aplikasi P1 2 pada P1 2 wi = ci wi menghasilkan P122 wi = P1 2 ci wi atau:
P122 wi = ci P1 2 wi
Jika P122 diganti 1 dan P1 2 wi diganti ci wi maka diperoleh:
wi = ci2 wi
Bab I/Pers. Schrodinger/ 228
sehingga nilai eigen operator P1 2 yaitu ci diperoleh yaitu:
ci = 1
Jika wi adalah fungsi eigen dari operator P1 2 yang nilai eigennya +1, maka:
P1 2 w() ( q , q ,.q . . . . .,q .) = (+1) w() ( q , q ,.q . . . . .,q .)
1 2 3 n 1 2 3 n
w( ) ( q2, q1,.q3 . . . . .,qn.) = w( ) ( q1, q2,.q3 . . . . .,qn.) (10-15)
Fungsi sebagaimana w , yang memiliki sifat (10-15) yang tidak berubah jika partikel 1 dan 2
dipertukarkan disebut simetrik terhadap pertukaran partikel 1 dan 2. Untuk nilai eigen 1,
diperoleh:
w() ( q2, q1,.q3 . . . . .,qn.) = w() ( q1, q2,.q3 . . . . .,qn.) (10-16)
Fungsi w() pada (10-16) disebut antisimetrik terhadap pertukaran partikel 1 dan 2.
Hendak tidak menjadi rancu antara sifat simetrik dan antisimetrik terhadap pertukaran
partikel dengan sifat genap dan ganjil dalam kaitannya dengan inversi pada ruangan. Fungsi
x1 x 2 adalah simetrik terhadap pertukaran 1 dan 2 dan merupakan fungsi ganjil dari x1 dan
x2 sedang fungsi x12 x 22 adalah simetrik terhadap pertukaran 1 dan 2 dan merupakan fungsi
Sekarang kita akan membahas fungsi gelombang sistem yang terdiri atas n partikel
mikroskopik identik. Karena masing-masing partikel tak terbedakan, maka pemberian label
terhadapnya tidak memberikan pengaruh apapun terhadap sistem. Dengan demikian, dua fungsi
gelombang:
gelombang untuk sistem n partikel identik pasti simetrik atau antisimetrik terhadap pertukaran i
dan j atau secara lebih umum dapat dinyatakan bahwa fungsi gelombang n partikel identik
adalah bersifat simetrik terhadap sembarang pertukaran atau antisimetrik terhadap sembarang
pertukaran dua partikel.
Telah kita ketahui, bahwa ada dua kemungkinan kasus untuk fungsi gelombang partikel
identik, yaitu kasus simetrik dan anti simetrik. Namun fakta-fakta eksperimen menunjukkan
bahwa untuk elektron, hanya kasus antisimetrik yang terjadi. Jadi kita mempunyai sebuah
postulat tambahan dalam mekanika kuantum, yang menyatakan bahwa fungsi gelombang untuk
sistem elektron harus antisimetrik terhadap pertukaran dua elektron sembarang. Postulat yang
penting ini Prinsip Pauli sesuai dengan nama fisikawan Wolfgang Pauli.
Pauli menunjukkan bahwa teori medan kuantum relativistik meng-indikasikan bahwa partikel
yang spin-nya tengahan ( s = 1 3
,
2 2
dan seterusnya ) mempunyai fungsi gelombang antisimetrik,
sedang partikel dengan spin bilangan bulat ( s = 0, 1, 2 dan seterusnya) mempunyai fungsi
gelombang simetrik, Fakta-fakta eksperimen ternyata menuntun kita pada kesimpulan yang
sama. Partikel yang mempunyai fungsi gelombang antisimetrik seperti elektron disebut fermion
( sesuai dengan nama Enrico Fermi) sedang partikel yang mempunyai fungsi gelombang
simetrik disebut boson ( sesuai dengan nama S.N. Bose).
Jika elektron 1 dan 2 mempunyai koordinat dan spin yang sama, maka q1 = q2, sehingga:
2=0
( q , q ,.q . . . . .,q .) = 0 (10-20)
1 1 3 n
Jadi dua elektron dengan spin yang sama mempunyai probabilitas nol untuk dijumpai pada titik
yang sama dalam ruang tiga dimensi. (Yang dimaksud dengan spin sama adalah mempunyai
nilai ms yang sama). Karena merupakan fungsi kontinum, maka arti dari (10-20) adalah
bahwa probabilitas untuk mendapatkan dua elektron dengan spin sama berada pada posisi
berdekatan adalah sangat kecil. Jadi prinsip Pauli memaksa elektron yang spin-nya sama berada
pada jarak saling berjauhan satu terhadap yang lain; untuk mendeskripsi hal ini, orang sering
menyebut tolakan Pauli di antara beberapa elektron. Tolakan ini bukan gaya fisik yang real,
tetapi hanya refleksi dari fakta bahwa fungsi gelombang elektronik harus antisimetrik terhadap
pertukaran elektron.
kita memperoleh dua fungsi order nol yang benar yaitu 2½[1s(1)2s(2) 2s(1)1s(2)]. Analog
dengan itu, jika bertolak dari dua fungsi (1)(2) dan (1)(2) maka fungsi order nol yang kita
peroleh adalah:
2½[(2)(1) +(2)(1)].
yang persis sama dengan fungsi asalnya. Sementara itu, pertukaran pada fungsi 2½[(1)(2)
(1)(2)] akan menghasilkan:
2½[(2)(1) (2)(1)]
yang 1 kali fungsi asalnya. Untuk menunjukkan bahwa (10-21) ternormalisasi adalah sebagai
berikut:
1 1
(1) 2 (1) 2 * . (1) 2 (1) 2
m m 2 2
s1 s 2
1
2 (1) 2 * (1) 2 * . (1) 2 (1) 2
m m
s1 s 2
1
2 (1) * 2 * (1) 2 (1) * 2 * (1) 2
m m
s1 s 2
1 1
2 (1) * 2 * (1) 2 2 (1) * 2 * (1) 2
m m m m
s1 s 2 s1 s 2
Bab I/Pers. Schrodinger/ 232
1 1
2 (1) * 2 * (1) 2 2 (1) * 2 * (1) 2
m m m m
s1 s 2 s1 s 2
1 1
2
(1) 2 2 2
2
(1) * (1) 2 * 2
m m m m
s1 s2 s1 s2
1 1
(1) * (1) 2 * 2 2 (1) 22
2
2
m m m m
s1 s2 s1 s2
1 1
(1) * (1) 2 * 2 2 (1) 22 ½ + 0 + 0 + ½ = 1
2
2
m m m m
s1 s2 s1 s2
Dengan demikian kita telah memperoleh empat buah kemungkinan fungsi spin elektron helium
yaitu:
Selanjutnya sekarang kita akan menyatakan fungsi gelombang helium grounds state order nol
dengan melibatkan spin. Kita tahu bahwa fungsi spasial (koordinat ruang) 1s(1)2s(2) adalah
fungsi simetrik terhadap pertukaran partikel. Sementara itu, menurut prinsip Pauli, fungsi
gelombang elektron secara keseluruhan harus bersifat antisimetrik terhadap pertukaran elektron.
Oleh karena itu fungsi spasial 1s(1)2s(2) yang simetrik itu harus dikalikan dengan satu-satunya
fungsi spin yang antisimetrik, agar secara keseluruhan menjadi antisimetrik, sebagaimana
disyaratkan oleh prinsip Pauli. Dengan demikian, fungsi gelombang helium yang melibatkan
fungsi spin adalah:
0) = 1s(1)2s(2). 2½[(1)(2) (1)(2)] (10-26)
Fungsi (0) adalah fungsi eigen dari operator P1 2 dengan nilai eigen 1.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 233
Perlu diingat, bahwa spin tidak berpengaruh terhadap energi, oleh karena itu, sebagai
sebuah pendekatan perhitungan energi, operator Hamilton (Hamiltonian) merupakan operator
energi yang sudah sangat memadai, meskipun Hamiltonian tidak melibatkan spin.
Selanjutnya akan ditunjukkan bahwa spin memang benar-benar tidak berpengaruh
terhadap energi. Untuk ini kita gunakan kalkulasi energi atom helium ground state, dengan
metode variasi. Fungsi variasi yang digunakan adalah:
dengan ƒ adalah fungsi spasial ternormalisasi yang bersifat simetrik dari dua elektron dalam
helium. Integral variasionalnya adalah:
* H d = ƒ*(r1, r2, r3) . 2½[(1)(2) (1)(2)]*
m m
s1 s 2
x H ƒ(r1, r2, r3) . 2½[(1)(2) (1)(2)] dv1 dv2 .
Karena H hanya bekerja pada fungsi koordinat (spasial) dan tidak pada fungsi spin, integral
variasionalnya menjadi:
ƒ*(r , r , r ) H ƒ(r , r , r )
1 2 3 1 2 3 ½ [(1)(2) (1)(2)]2
m m
s1 s 2
Karena fungsi spin ternormalisasi (10-25), maka integral variasionalnya tereduksi menjadi:
* H d = ƒ* (r , r
1 2 3, r ) H ƒ(r1, r2, r3)
yang merupakan bentuk yang sudah kita kenal sebelum spin dilibatkan.
Sekarang kita akan membahas helium tereksitasi. Telah kita ketahui bahwa fungsi
spasial untuk helium eksitasi terendah adalah:
Untuk tingkat eksitasi berikutnya, persyaratan antisimetrik untuk fungsi gelombang secara
menyeluruh, akan menggiring kita kepada fungsi gelombang order nol:
Prosedur yang sama dapat digunakan jika kita ingin membahas helium tereksitasi pada 1s12p1.
1 1 1 Z 2 e' 2 2
= 27 e' = 27 (13,606) eV = 367,4 eV
E(0) =
12 12 12 2 a o
2 ao
Koreksi energi order pertamanya adalah E(1) = (0) H ' (0) . Perturbasi H ' terjadi dari
2
2 2 2 e'
+ 1s(1) 1s(3) 1s(3) r2.3
dv 3
Pemberian label 1, 2 dan 3 pada elektron tidak berpengaruh terhadap nilai integral, karena
ketiga elektron adalah partikel identik, Jadi nilai masing-masing integral tersebut adalah sama,
meskipun terdapat perbedaan label, E(1) boleh ditulis:
2 2
2 2 2 e' 2 2 2 e'
E(1) = 1s(1) 1s(3) 1s(3) r1.2
dv1 + 1s(1) 1s (3) 1s (3)
r1.2
dv 2
2
2 2 2 e'
+ 1s(1) 1s (3) 1s (3)
r1.2
dv 3
Bab I/Pers. Schrodinger/ 235
atau:
2
2 2 2 e'
E(1) = 3 1s (1) 1s (3) 1s(3) dv1 dv 2 .dv 3
r1.2
2
tanpa mengubah nilai. Integral elektron ketiga yaitu 1s(3) dv 3 nilainya 1 Sehingga:
2
2 2 e'
E(1) = 3 1s (1) 1s (3) dv1 dv 2 .
r1.2
yang dapat dievaluasi sebagaimana perturbasi pada helium (bab 9) dan diperoleh:
5Z e'
2
E(1) = 3 = 3 15 13,606 eV = 153,1 eV
4 2a o
4
hal ini bertentangan dengan prinsip variasi. Atas dasar ini, maka konfigurasi 1s3 untuk litium
ground state, yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung E(0) + E(1) dianggap tidak benar
karena nilai energi yang lebih rendah dari pada nilai energi ground state yang diperoleh melalui
fakta eksperimen kimia. Kalau kita tetap menganggap 1s3 untuk litium ground state tersebut
adalah benar, maka kita harus menganggap bahwa konfigurasi ground state untuk unsur kimia
bernomor atom Z adalah 1sZ. Hal ini akan membuat kerancuan terhadap pemahaman sifat-sifat
periodik unsur.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 236
Sudah barang itu, kesalahan tersebut menggugurkan prinsip Pauli mengenai spin. Fungsi
gelombang hipotetis 1s(1)1s(2)1s(3) adalah simetrik terhadap pertukaran dua elektron
sembarang. Jika kita mengikuti prinsip Pauli, kita harus mengalikan fungsi spasial ini dengan
fungsi spin yang antisimetrik. Adalah mudah untuk membentuk fungsi spin 3 elektron yang
simetrik yaitu (1)(2)(3), namun adalah tidak mungkin untuk susunan 3 elektron yang
menghasilkan fungsi antisimetrik. Selanjutnya bagaimana konfigurasinya agar kita peroleh 3
elektron yang secara keseluruhan menjadi antisimetrik?
Marilah kita mencoba membangun fungsi antisimetrik yang terdiri atas 3 elektron. Kita
gunakan ƒ, g dan h untuk fungsi koordinat ketiga elektron secara berturut-turut. Kita bertolak
dengan fungsi:
ƒ(1)g(2)h(3) (10-32)
yang tentu saja tidak antisimetrik. Fungsi antisimetrik yang kita inginkan harus terkonversi
menjadi minus fungsi itu sendiri jika oleh salah satu operator permutasi P1 2 atau P1 3 atau
P 2 3 . Aplikasi masing-masing operator ini terhadap fungsi (10-32) menghasilkan:
ƒ(2)g(1)h(3)
ƒ(3)g(2)h(1) (10-33)
ƒ(1)g(3)h(2)
Kita dapat saja mencoba memperoleh fungsi antisimetrik dengan cara membuat kombinasi
linear terhadap ke empat fungsi (10-32) dan (10-33), tetapi upaya ini akan gagal. Aplikasi P1 2
(10-34) harus juga merupakan solusi dengan nilai eigen yang sama yaitu E, dan sembarang
kombinasi linear dari fungsi-fungsi ini adalah merupakan fungsi eigen dengan nilai eigen E.
Kombinasi linear antisimetriknya mempunyai bentuk sabagai berikut:
c1 ƒ(1)g(2)h(3) + c2 ƒ(2)g(1)h(3) + c3 ƒ(3)g(2)h(1) + c4 ƒ(1)g(3)h(2)
kita harus membuat c5 = c3 = c1. Selanjutnya kita akan memperoleh c6 = c1. Dengan demikian
kombinasi linear (10-35) dapat ditulis:
c1 [ƒ(1)g(2)h(3) ƒ(2)g(1)h(3) ƒ(3)g(2)h(1) ƒ(1)g(3)h(2)
c12 . (1+1+1+1+1+1) = 1
1
c1 =
6
Bab I/Pers. Schrodinger/ 238
Kita dapat memperoleh (10-36) dengan cara sebagaimana kita lakukan di atas, tetapi ada cara
yang jauh lebih sederhana, yaitu (lihat bab 8) dengan menggunakan determinan order 3 berikut:
Sifat antisimetrik melekat pada determinan (10-37), sebab pertukaran label elektron, berarti
terjadi pertukaran baris pada determinan. Kita tahu bahwa salah satu sifat determinan adalah
nilainya lipat 1 dari nilai asalnya jika dilakukan pertukaran baris. Ini merupakan sifat
antisimetrik.
Dengan menggunakan determinan (10-37), sangatlah mungkin untuk membuat fungsi
spin antisimetrik untuk 3 elektron. Jika ƒ diganti , g diganti dan h diganti , maka (10-37)
menjadi:
Meskipun (10-38) antisimetrik, namun kita harus menolaknya, karena nilai (10-38) adalah nol,
sehingga determinan tersebut hilang nilainya. Ini berarti kita tidak mungkin membuat fungsi
spin antisimetrik 3 elektron yang tidak nol.
Selanjutnya kita akan menggunakan (10-37), untuk menyusun sebuah fungsi gelombang
order nol untuk litium ground state dengan melibatkan variabel spasial maupun spin. Sekarang,
fungsi ƒ, g dan h tidak hanya fungsi spasial tetapi juga mengandung variabel spin. Kita
misalkan:
sama.. Cara lain untuk menyatakan hal ini adalah dengan menyatakan bahwa tidak ada dua
elektron dalam sebuah atom yang mempunyai nilai sama untuk semua bilangan kuantumnya.
Prinsip eksklusi Pauli adalah konsekuensi dari prinsip Pauli yang lebih umum, yaitu persyaratan
antisimetrik dan bersifat kurang memuaskan dibandingkan dengan statemen antisimetrik, karena
prinsip eksklusi Pauli hanya dilandasi oleh fungsi gelombang order nol aproksimasi, bukan
fungsi gelombang eksak. Karena penggantian g(1) = 1s(1)(1) melanggar prinsip eksklusi Pauli,
maka dipilih g(1) = 1s(1)(1). Selanjutnya bagaimana dengan h(1)? Untuk menghindari
kemungkinan pelanggaran terhadap prinsip eksklusi Pauli, maka kita pilih h(1) = 2s(1)(1).
Pergantian terhadap ƒ, g dan h yang lain pada (10-37) dilakukan identik dengan pergantian
terhadap ƒ(1), g(1) dan h(1), sehingga fungsi gelombang order nol untuk litium ground state
yang dibangun melalui (10-37) adalah:
Perlu dicatat secara khusus bahwa masing-masing elemen pada determinan (10-40) bukan
perkalian sederhana antara fungsi spasial dan fungsi spin sebagaimana dalam atom hidrogen dan
helium, namun masing-masing elemen determinan adalah kombinasi linear antara fungsi spasial
dan fungsi spin.
Karena kita telah memilih h(1) = 2s(1)(1) untuk litium, tentu saja sebagaimana
hidrogen dan helium, litium ground state juga dobel degenerasi, karena adanya dua
kemungkinan arah spin elektron pada orbital 2s. Kedua kemungkinan diagram untuk litium
adalah:
1s 2s dan 1s 2s
Tiap-tiap orbital, misal 1s atau 2p+1 atau 2p0 dan seterusnya, dapat berisi dus elektron dengan
spin berlawanan, sedang tiap orbital-spin, misal 1s atau 1s dan seterusnya hanya dapat berisi
satu elektron.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 240
2 1
Meskipun konfigurasi 1s 2p mempunyai energi tak terpertubasi E(0) yang sama besarnya
2 1
dengan konfigurasi 1s 2s , namun jika kita memperhitungkan efek repulsi antar elektron pada
perhitungan E(1) atau koreksi yang lebih tinggi, akan ternyata bahwa konfigurasi 1s22s1 lebih
2 1 2
rendah energinya dari pada 1s 2p . Dengan alasan yang sama 1s pada helium lebih rendah
Lain halnya untuk sistem yang terdiri atas beberapa partikel boson. Karena boson
mensyaratkan fungsi gelombang yang simetrik terhadap pertukaran partikel, maka tidak ada
batasan mengenai banyaknya boson yang dapat berada pada sebuah state.
tidak mengubah nilai determinan, tentu saja determinan Slater (10-40) dapat ditulis dalam
bentuk yang lain].
Sekarang akan kita coba, bagaimana menyatakan fungsi gelombang order nol helium
2
yang sudah kita kenal sebelumnya, dalam determinan Slater. Untuk konfigurasi ground state 1s ,
kita mempunyai orbital-spin 1s dan 1s, yang menghasilkan determinan Slater sebagai berikut:
yang sesuai dengan (10-26). Untuk konfigurasi tereksitasi 1s12s1, kita mempunyai 4 macam
orbital-spin, sehingga dihasilkan 4 macam determinan Slater, yaitu:
fungsi spin . Misal 1s(1)(1) cukup ditulis 1s(1) sedang 1s(1) cukup ditulis 1s (1) . Dengan
Notasi (10-46) sering dipersingkat lagi, tanpa menuliskan faktor normasilasi, dan hanya
dinyatakan dalam satu baris, yaitu:
Sekarang akan kita balik. Jika determinan Slater ditulis (0) = 1s1s2s2p , bagaimana notasi
determinan Slaternya secara lengkap. Dari orbital-spin yang tertulis, dapat dipastikan bahwa
sistem (atom) terdiri atas 4 elektron. Elektron 1 berada di 1s dengan spin , elektron 2 pada 1s
dengan spin , elektron 3 pada 2s dengan spin dan elektron 4 pada 2p dengan spin . Karena
1 1
sistemnya 4 partikel maka faktor normalisasinya adalah = . Dengan demikian
4! 24
determinan Slaternya adalah:
atau
Marilah kita menerapkan perturbasi untuk atom litium ground state. Untuk ini kita
gunakan:
2 2 2 2 2 2 Z e' 2 Z e' 2 Z e' 2
Ho 1 2
2me 2 me 2m e 3 r1 r2 r3
e' 2 e' 2 e' 2
H'
r12 r 2 3 r13
Telah kita peroleh sebelumnya bahwa untuk memenuhi prinsip Pauli, konfigurasi litium ground
2 1
state harus 1s 2s . Fungsi gelombang order nolnya adalah (10-40):
1
= [1s(1)1s(2)2s(3)(1)(2)(3) 1s(1)2s(2)1s(3)(1)(2)(3)
6
1s(1)1s(2)2s(3)(1)(2)(3) + 1s(1)2s(2)1s(3)(1)(2)(3)
+ 2s(1)1s(2)1s(3)(1)(2)(3) 2s(1)1s(2)1s(3)(1)(2)(3)
Berapakah E(0) ?. Masing-masing suku pada (0) mengandung perkalian dua buah 1s dari fungsi
mirip hidrogen dan sebuah 2s dari fungsi mirip hidrogen yang dikalikan lagi dengan faktor spin.
H o adalah jumlah dari 3 buah Hamiltonian mirip hidrogen yang tidak melibatkan spin. Jadi
(0) adalah kombinasi linear suku-suku, yang masing-masing adalah fungsi eigen dari H o
0
dengan nilai eigen sebesar E1s E1s E 2 s . Jadi:
(0) 0
1 1 1 Z 2 e' 2 81
E (0)
= = (13,606 eV) = 275,5 eV (10-48)
2 2 2 2a 4
1 1 2 o
Untuk memperoleh E(1), kita harus mengevaluasi (0) H ' (0) . Untuk ini kita akan
1
+ [2s(1)1s(2)1s(3) 1s(1)2s(2)1s(3) ] (1)(2)(3) (10-49)
6
atau:
(0) = a (1)(2)(3) + b (1)(2)(3) + c (1)(2)(3) = A + B + C (10-50)
Selanjutnya kita evaluasi E(1)
E(1) = (o) * H ' (o) d = ( A B C ) * H ' (A B C) d
2 2 2
E(1) = A H ' d + B H ' d + C H ' d + A * B H ' d + B * C H ' d
+ A * C H ' d + AB * H ' d + BC * H ' d + AC * H ' d (10-51)
Karena sifat ortogonalitas, enam suku terakhir pada (10-51) adalah nol. Sebagai contoh, integral
A * BH d melibatkan penjumlahan fungsi spin sebagai berikut:
[ (1) (2) (3)] * [ (1) (2) (3)]
m1 m2 m3
=
(1) (1) (2) (2) (3) (3) = 0 . 0 . 1 = 0
m1 m2 m3
Dengan demikian kita peroleh:
2 2 2
E(1) = A H ' d + B H ' d + C H ' d + A * B H ' d
2
Kini akan kita evaluasi A H ' d . Telah kita ketahui bahwa: A = a (1)(2)(3), jadi:
2 2
A H ' d = a. (1) (1) (3) H ' d
=
2
a H ' d v1d v 2 d v3 . [ (1) (2) (3)]
2
m1 m2 m3
=
2
a H ' d v1d v 2 d v3 . (1) (1) (2) (2) (3) (3)
m1 m2 m3
Karena sifat ortonormal, maka (1) (1) 1 , (2) (2) 1 dan (3) (3) 1 sehingga
m1 m2 m3
diperoleh:
2 2 H ' d
A H ' d = a v1d v 2 d v3
Analog dengan itu juga kita peroleh:
2 2 2 2 H ' d
B H ' d = b H ' d v1d v2 d v3 dan C H ' d = c v1d v 2 d v3 sehingga,
Bab I/Pers. Schrodinger/ 245
atom cukup terhalang oleh orbital 1s, akan menerima muatan inti kurang dari 3. Dengan alasan
ini, maka diperkenalkan dua parameter variasi yang berbeda yaitu b1 untuk muatan yang
diterima 1s dan b2 untuk 2s ke dalam (10-40).
Telah kita ketahui bahwa fungsi gelombang mirip hidrogen untuk 1s adalah
3/ 2
e Z / a r . Jika Z untuk 1s diganti b1 maka fungsi gelombang 1s menjadi:
1 Z
1/ 2 a
3/ 2
1 b1
ƒ= e b1 / ao r (10-54)
1/ 2 a
o
Sedang fungsi 2s dengan Z diganti b2 adalah:
3/ 2
b2 b r
2 2 e b2 / ao r
1
g= (10-55)
1/ 2 a ao
4(2 ) o
Dengan demikian kita dapat mencoba menggunakan fungsi variasi:
^
*
integral variasional . Telah kita pelajari bahwa W =
H d (lihat bab 8). Hasilnya adalah
*
d
b1 = 2,686, b2 = 1,776 dan energi variasi yang dicari adalah W = 201,2 eV. Harga ini sangat
dekat dengan energi litium ground state yang sesungguhnya yaitu 203,5.
10.9 Momen Magnetik Spin
Ingat bahwa (bab 6) momentum angular orbital L menghasilkan momen magnetik L
sebesar (e/2me)L. Atas dasar ini, sangatlah masuk akal jika kita beranggapan bahwa
momentum angular spin S dapat menghasilkan momen magnetik s = (e/2me)S. Tetapi perlu
Bab I/Pers. Schrodinger/ 247
juga diketahui, bahwa berbeda dengan momentum angular orbital yang merupakan fenomena
klasik, ternyata momentum angular spin merupakan fenomena relativistik, oleh karena itu kita
tidak boleh begitu saja menganalogikan momen magnetik spin secara langsung dari momen
magnetik orbital. Menurut kalkulasi Dirac dalam quantum relativistik (yang tidak dibahas
disini) nilai momen magnetik spin dalam sistem satuan internasional adalah:
e
s = ge S
2me
Dirac menyatakan bahwa nilai faktor g untuk elektron adalah 2, jadi:
e
s= S (10-57)
me
Karena S = ss 1 dan harga bilangan kuantum s = ½ , maka besarnya momen magnetik
e
s= 3 (10-58)
2me
Dalam kajian yang lebih cermat, ternyata bahwa nilai g2 tidak tepat = 2, tetapi sedikit lebih
besar (P. Kush, 1966), yaitu:
2
ge = 2 ( 1 + + + . . . . = 2,0023
2 2
sedang didefinisikan sebagai:
e2
= = 0,007297 (10-59)
4 o c
Sifat feromagnetik pada besi adalah akibat dari momen dipol magnetik elektron.
Dua kemungkinan arah spin elektron dan hubungan momen magnetik spin dengan
sumbunya menghasilkan dua tingkat energi berbeda jika medan magnet eksternal diaplikasikan.
Dalam spektroskopi ESR, orang melakukan pengamatan terhadap transisi kedua tingkat energi
ini. Spektroskopi ESR (Electron Spin Resonance) dikenakan pada spesies radikal bebas, atau
ion logam transisi yang mempunyai satu atau beberapa elektron tak berpasangan. Karena
adanya elektron tak berpasangan, akibatnya radikal bebas dan ion logam transisi tertentu
Bab I/Pers. Schrodinger/ 248
mempunyai momen magnetik serta spin elektron total tidak nol. Itulah sebabnya spektroskopi
ESR dapat bekerja atas spesies-spesies tersebut.
Beberapa inti atom, mempunyai spin dan momen magnetik spin yang tidak nol. Dalam
spektroskopi NMR (Nuclear Magnetic Resonance), pengamatan dilakukan atas dasar transisi
tingkat energi inti untuk sampel yang berada dalam medan magnet eksternal. Proton dengan
spin = ½ adalah kajian utama dalam spektroskopi NMR.
Soal Bab X
1) Hitunglah besarnya sudut yang dibentuk oleh vektor spin S dengan sumbu z untuk elektron
dengan fungsi spin .
2) (a) Tunjukkan bahwa P1 2 kommut dengan Hamiltonian untuk atom litium
(b) Tunjukkan bahwa P1 2 dan P 2 3 tidak saling kommut.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 249
(c) Tunjukkan bahwa P1 2 dan P 2 3 kommut apabila mereka diaplikasikan pada fungsi
antisimetrik
3) Tunjukkan bahwa P1 2 Hermitian
5) Jelaskan, mengapa fungsi N e a r1 e a r2 (r1 r2) tidak boleh digunakan sebagai fungsi
variasi untuk helium ground state ?
6) Jika elektron mempunyai nilai spin = nol, bagaimana fungsi gelombang order nol untuk
ground state dan first excited state ? (repulsi antar elektron diabaikan)
7. Antisimetrisasi operator A didefinisikan sebagai operator yang meng-antisimetriskan hasil
kali fungsi n buah elektron tunggal yang dikalikan dengan n !1 / 2 . Untuk n = 2, kita akan
memperoleh:
1 f (1) g(1)
Af (1) g (2) =
2 f (2) g(2)
(a) untuk n = 2, nyatakan A dalam term P12
(b) untuk n = 3, nyatakan A dalam term P12 , P13 dan P23 .
===000===
BAB XI
ATOM BERELEKTRON BANYAK
11. 1 Metode Hartree – Fock – Self – Consistent – Field
(Metode SCF Hartree dan Fock)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 250
Untuk hidrogen, fungsi gelombangnya secara eksak telah diketahui. Helium dan
Lithium, aproksimasi akurat terhadap fungsi gelombangnya juga telah diketahui dengan metode
variasi. Untuk atom-atom yang elektronnya lebih banyak, pendekatan terbaik untuk memperoleh
fungsi gelombangnya adalah dengan prosedur Hartree-Fock yang akan segera kita bahas.
Metode Hartree-Fock merupakan basis yang digunakan untuk sistem atom atau molekul yang
berelektron banyak. Operator Hamilton untuk atom yang mempunyai n elektron adalah:
2 n 2 n Ze' 2 n -1 n e' 2
Ĥ= i + (11-1)
2m e i 1 i 1 ri i 1 ji 1 rij
dengan asumsi bahwa massa intinya relatif tak terhingga . Suku pertama (11-1) adalah jumlah
operator energi kinetik ; suku ke dua adalah jumlah operator energi potensial yang timbul dari
atraksi masing-masing elektron terhadap inti yang bermuatan Ze'; (untuk atom netral, Z = n).
Suku terakhir adalah jumlah operator energi potensial yang timbul dari repulsi antar elektron.
11.1.1 Metode Hartree SCF
Karena adanya suku repulsi antar atom e'2/rij, akibatnya tidak mungkin dilakukan
pemisahan variabel terhadap persamaan Schrodinger bagi sistem berelektron banyak. Jika untuk
sementara suku terakhir itu diabaikan maka (11-1) menjadi:
2 n 2 n Ze' 2
Ĥ= i
2m e i 1 i 1 ri
dan itu merupakan Hamiltonian untuk n buah atom mirip hidrogen, dan dengan demikian fungsi
gelombangnya dapat kita peroleh. Fungsi gelombang yang kita peroleh itu disebut fungsi
gelombang sistem berelektron banyak order nol. Jadi fungsi gelombang order nol adalah
kelipatan n kali fungsi gelombang mirip hidrogen:
Untuk kondisi ground state kita akan mengisi masing-masing orbital dengan 2 elektron yang
spin-nya berlawanan untuk memperoleh orbital dengan energi terendah sesuai dengan prinsip
Bab I/Pers. Schrodinger/ 251
eksklusi Pauli. Tahap berikutnya kita menggunakan fungsi variasi yang sama dengan (11-2)
tetapi tidak dibatasi untuk atom hidrogen. Untuk itu fungsi variasi yang digunakan adalah:
= g1 (r1 ; 1 ; 1) g2 (r2 ; 2 ; 2) g3 (r3 ; 3 ; 3) . . . . . g n (rn ; n ; n) (11-4)
dan kita harus menentukan g1 , g2 . . . . . gn , yang jauh lebih sukar dari pada kalkulasi fungsi
variasi yang pernah kita lakukan pada bab VIII. Dalam (11-4) kita harus memvariasi fungsi gi .
[Setelah kita memperoleh aproksimasi terbaik yang mungkin bagi gi , ternyata persamaan (11-4)
masih hanya merupakan fungsi aproksimasi. Perlu diingat bahwa tidak mungkin melakukan
pemisahan variabel terhadap persamaan Schrodinger sistem berelektron banyak, sehingga fungsi
gelombang yang sesungguhnya tidak dapat dinyatakan sebagai hasil kali n fungsi gelombang
sistem elektron tunggal ].
Kita aproksimasikan bahwa fungsi terbaik yang mungkin adalah hasil kali fungsi radial dan
faktor spherical harmonic:
m
gi = hi (ri ) i (, ) (11-5)
i
m m
dengan hi (ri ) adalah fungsi radial (lihat bab VI) dan i (, ) adalah = T i . (m) Prosedur
i i
kalkulasi gi, diperkenalkan oleh Douglas Hartree pada th 1928 dan disebut metode Hartree self-
consistent-field (SCF). Hartree menggunakan argumen fisika intuitif untuk sampai pada
prosedur SCF. Pembuktian terhadap prosedur SCF dilakukan oleh Slater dan Fock pada tahun
1930. Langkah-langkah prosedur Hartree adalah sebagai berikut. Pertama kita membuat
permisalan :
Dengan demikian maka: Q2 = 2 dv 2 dan potensial yang ditimbulkan oleh Q1 dan Q2 dapat
ditulis:
Q1 2
4 o r12
V12 = dv 2
Untuk elektron 2 (dengan muatan e), rapat muatan 2 adalah = es22, dan elektron ke 1 , Q1
= e, maka:
2
s2
V12 = e' 2 r12
dv 2
Jika energi potensial yang ditimbulkan oleh elektron 1 dengan elektron-elektron yang lain
dijumlahkan, diperoleh:
2
n sj
V12 + V13 + V14 + . . . . + V1n = e' 2
r1 j
dv j
j 2
Jika energi potensial elektron 1 dengan elektron lain digabungkan dengan energi potensial yang
ditimbulkan oleh elektron 1 dengan inti, maka diperoleh V1, yaitu:
2
n sj Ze' 2
V1 (r1 , 1, 1 ) = e' 2
r1 j
dv j
r1
(11-7)
j 2
Sekarang kita membuat aproksimasi lebih lanjut di bawah asumsi bahwa fungsi gelombang
terjadi karena hasil kali fungsi elektron tunggal. Kita juga mengasumsikan bahwa potensial
efektif yang bekerja pada sebuah elektron dapat diaproksimasikan sebagai fungsi r saja.
Aproksimasi medan sentral ( bahwa V hanya merupakan fungsi r) ini dapat dibuktikan
keakuratannya. Selanjutnya kita merata-rata V1 (r1 , 1, 1) ke seluruh batas sudut ( 0 s/d )
dan seluruh (0 s/d 2) agar dengan demikian, maka energi potensial hanya bergantung pada
jari-jari r1.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 253
2
sin d d
0 0
Sekarang kita menggunakan V1 (r1) sebagai energi potensial dalam persamaan Schrodinger
untuk sistem sebuah elektron,
2
12 V1 (r1 ) t 1 (1) 1 t 1 (1) (11-9)
2m e
dan menyelesaikan t1(1), yang dipandang sebagai orbital bagi elektron 1. Dalam (11-9), 1
adalah energi orbital dari elektron 1. Karena energi potensial dalam (11-9) adalah spherically
symmetric, maka faktor momentum angular dalam t1(1) pasti spherical harmonic yang
melibatkan 1 dan m1. Faktor radial dalam t1 yaitu R(r1) adalah solusi persamaan Schrodinger
satu dimensi yang sudah kita kenal pada bab VI yaitu solusi persamaan (1-14 bab VI). Analog
dengan penyelesaian (1-14) pada bab VI tersebut, maka di sini kita dapat memperoleh fungsi
gelombang atau orbital 1s , 2s , 2p dan seterusnya untuk elektron 1. Namun, karena V(r1) bukan
merupakan potensial Coulomb yang sederhana, maka akibatnya fungsi radial R(r1) tentu tidak
Sekarang kita ganti memperhatikan elektron 2 dan kita anggap ia melintas di atas awan
muatan yang densitasnya:
Kita hitung energi potensial efektif V2(r2) dan kita selesaikan persamaan Schrodinger sistem
elektron tunggal untuk elektron 2 sehingga kita peroleh orbital (fungsi) t2 (2) dan energi
elektron2 yaitu 2. Kita lanjutkan proses seperti ini sampai elektron ke n. Dengan cara seperti
ini maka kita memperoleh himpunan orbital dari masing-masing elektron dalam atom yang
disebut fungsi gelombang Hartree Self-Consistent-Filed. (Tidak dibahas secara detail)
Kita telah bicarakan bahwa jika ada n elektron dalam atom maka energi elektron tersebut
berturut-turut adalah 1, 2 . . . . . n. Apakah dengan demikian berarti energi atom tersebut
adalah 1+ 2 +. . . . . + n ? Ternyata salah. Mengapa ? Ketika kita menghitung 1, kita
menyelesaikan persamaan Schrodinger untuk sebuah elektron (11-9). Energi potensial dalam
(11-9) tersebut melibatkan repulsi antara elektron 1 dengan elektron 2, elektron 1 dengan
elektron 3, elektron 1 dengan elektron 4 . . . . dan elektron 1 dengan elektron n. Ketika kita
menghitung 2, kita juga melibatkan repulsi antara elektron 2 dengan elektron 1, elektron 2
dengan elektron 3, elektron 2 dengan elektron 4 . . . . dan elektron 2 dengan elektron n, begitu
seterusnya. Jika energi atom kita perhitungkan secara langsung dengan menjumlah 1+ 2 +. . . .
. + n atau i i , maka itu berarti gaya repulsi diperhitungkan dua kali. Untuk itu pada
2 2
n n 1 n e' 2 g i (i) g j ( j)
E= i rij
dv i dV j
i 1 i 1 ji 1
atau:
E= i J ij (11-10)
i i ji
suku pengurang pada (11-10) di atas disebut faktor koreksi yang merupakan harga rata-rata dari
repulsi elektron dalam orbital Hartree (11-4) dimana repulsi rata-rata elektron dalam orbital
Hartree (10-4) dikurangkan pada total energi orbital, dan Jij adalah integral Coulomb yang
sudah kita kenal pada persamaan (9.7-100).
Sebagai contoh, untuk atom berilium yang terdiri atas 4 elektron:
elektron 1 berada pada orbital 1s
elektron 2 berada pada orbital 1s
elektron 3 berada pada orbital 2s
elektron 4 berada pada orbital 2s
Maka:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 255
2 2
4 3 4 e' 2 g i (i) g j ( j)
E= i rij
d i d j
i 1 i 1 j 2
2 2
3 4 e' 2 g i (i) g j ( j)
Faktor koreksinya saja yaitu rij
d i d j kita sebut B, maka:
i 1 j 2
3 2 2 2 2
e '2 g i ( i ) g 2 ( 2) e'2 g i (i) g 3 (3)
B= ri2
di d2 ri3
d i d 3
i 1
e'2 gi (i)
2
g 4 (4)
2
+ di d4
ri4
3 2 2 3 2 2
e'2 g i (i) g 2 ( 2) e'2 g i (i) g 3 (3)
= ri2
d i d 2 ri3
di d3
i 1 i 1
3 2 2
e'2 g i (i) g 4 (4)
+ ri4
di d4
i 1
= B1 + B2 + B3
2 2 2 2 2 2
e'2 g1(1) g 2 (2) e ' 2 g 2 ( 2) g 2 ( 2) e'2 g 3 (3) g 2 ( 2)
B1 =
r12
d1 d2 +
r22
d2 d2 + r32
d3 d2
2 2 2 2 2 2
e'2 g1(1) g 3 (3) e ' 2 g 2 ( 2) g 3 (3) e'2 g 3 (3) g 3 (3)
B2 =
r13
d1 d3 + r23
d 2 d 3 + r33
d3 d3
2 2 2 2 2 2
e'2 g1(1) g 4 ( 4) e ' 2 g 2 ( 2) g 4 ( 4) e'2 g 3 (3) g 4 (4)
B3 = r14
d1 d4 + r24
d2 d4 + r34
d3 d4
Dengan mengetahui fungsi gelombang 1s dan 2s maka faktor koreksi repulsi B dapat dihitung,
dan dengan demikian, maka E berilium dapat dihitung.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 256
tersebut pada persamaan (11-5), maka probabilitas kerapatan elektron pada sub shell itu jika
terisi penuh adalah :
2
2 g i2 = 2 h (n , ) (r ).
mi
i
(, )
m m
2
= 2 h(n, )(r)2 mi
(, ) (11-11)
i
m
Munculnya faktor 2 adalah dari sepasang elektron pada masing-masing orbital. Menurut
2
teorema addisi spherical-harmonic (Baca Merzbacher, sub bab 9.7) nilai
mi
i
(, ) pada
m
persamaan (11-11) adalah (2 +1)/4. Sehingga jumlah probabilitas kerapatan elektron adalah :
2
h(n, )(r) .{ (2 +1)/2} (11-11a)
Catatan:
Untuk subshell setengah penuh, maka faktor 2 pada (11-11) ditiadakan sehingga jumlah
probabilitas kerapatan elektron menjadi:
2
h(n, )(r) .{ (2 +1)/4} (11-11b)
product (hasil kali) dari kombinasi linear anti simetrik dari orbital spin. Untuk mengatasi
kesalahan ini, maka kita harus menggunakan orbital spin dan memperhitungkan product (hasil
kali) dari kombinasi linear anti simetrik dari orbital spin tersebut. Koreksi ini dilakukan oleh
Fock (dan oleh Slater) pada tahun 1930 dan kalkulasi SCF yang menggunakan orbital spin anti
simetric disebut metode Hartree-Fock SCF.
Persamaan differensial untuk memperoleh orbital Hartree-Fock mempunyai bentuk
umum yang sama dengan bentuk (11-9):
^
F ui = i ui (11-12)
^
dengan ui adalah orbital spin ke-i, operator F adalah operator Fock yang pada hakekatnya
adalah Hamiltonian Hartree-Fock dan nilai eigen i adalah energi orbital spin i. Jika
dibandingkan dengan Hamiltonian Hartree efektif yaitu suku-suku dalam kurung pada (11-9),
^
ternyata operator Hartree-Fock F mempunyai suku ekstra. Ekspresi Hartree-Fock untuk energi
total atom melibatkan pertukaran integral Kij selain integral Coulomb Jik yang terdapat pada
yang cukup bagus bagi harga negatif dari energi yang dibutuhkan untuk meng-ionisasi subshell
terdekat dari sebuah atom dengan cara melepas elektron dari orbital spin i (Teorema Koopman,
sub bab 15.6).
Secara original, kalkulasi Hartree-Fock untuk sebuah atom, dilakukan dengan
menggunakan integrasi numerik untuk menyelesaikan persamaan differensial (11-12) dan
orbital-orbital yang dihasilkan dinyatakan dalam tabel fungsi radial untuk berbagai nilai r. Pada
tahun 1951, Roothaan mengusulkan untuk menyatakan orbital Hartree-Fock sebagai kombinasi
linear dari himpunan lengkap fungsi yang sudah diketahui ( dan disebut fungsi basis) . Jadi
misal untuk lithium, orbital Hartree-Fock untuk 1s dan 2s dapat kita tulis:
f= bi i g= ci i (11-13)
i i
Bab I/Pers. Schrodinger/ 258
dengan i ( dibaca chi i ) adalah beberapa himpunan lengkap sedang bi dan ci adalah koefisien
ekspansi yang diperoleh melalui prosedur SCF. Karena fungsi i merupakan lengkap, maka
ekspansinya adalah valid. Prosedur ekspansi Roothaan memungkinkan kita untuk memperoleh
fungsi gelombang Hartree-Fock dengan menggunakan aljabar matrik (untuk detailnya lihat sub
bab 13.16). Prosedur Roothaan merupakan prosedur yang dapat dilakukan secara komputerized
dan merupakan metode yang kini digunakan untuk memperoleh fungsi gelombang Hartree-
Fock.
Fungsi basis yang biasa digunakan untuk kalkulasi atom Hartree-Fock adalah himpunan
dari Slater Type Orbital (STO) yang bentuk ternormalisasinya adalah :
2 / a n / 2
1
r
r n1 . e / a . m (11-14)
1
2n ! / 2
dengan m = Tm . (m).
dengan Z = nomor atom, n = bilangan kuantum utama sedang sn disebut tetapan screening
(seleksi) yang dihitung dengan menggunakan aturan Slater ( Ira N. Levine, 1991, Quantum
Chemistry, Edisi ke empat, Prentice Hall Inc, New Jersey, Halaman 544 )
netral dalam keadaan ground state yang dikalkulasi dengan metode Thomas-Fermi-Dirac yang
menggunakan ide mekanika statistik untuk memperoleh aproksimasi fungsi gelombang. Energi
orbital atom (energi AO) Gb. 11-2 umumnya sesuai dengan energi menurut Hartree-Fock
maupun energi hasil eksperimen (J. C. Slater, 1998)
Dari gambar 11-1 tampak bahwa energi suatu orbital menurun seiring dengan naiknya Z.
Ini berarti energi orbital 1s untuk H lebih besar dari pada energi 1s-nya He. Penurunan energi ini
terjadi karena meningkatnya tarikan inti terhadap elektron.
Untuk Z > 1, ternyata orbital dengan n sama tetapi nya berbeda mempunyai energi
berbeda, yaitu, misal untuk n = 3, ternyata:
E3s < E3p < E3d Z>1
Splitting energi level ini, (yang untuk hidrogen adalah degenerate) muncul karena adanya
repulsi antar elektron. (Ingat aplikasi teori perturbasi untuk He pada sub bab 9. 7 ) .
Posisi relatif orbital tertentu berubah seiring dengan perubahan Z. Untuk atom H letak
orbital 3d adalah di bawah 4s, tetapi untuk Z dari 7 sampai 20, orbital 4s di bawah 3d. Untuk Z
yang lebih besar lagi energi 3d menjadi lebih rendah lagi.. Sebagai contoh kita lihat Z = 19,
energi 4s < 3d, sehingga konfigurasi 19K ground state adalah 1s22s22p63s23p64s1. Ingat bahwa
orbital s mempunyai penetrasi yang lebih besar dari pada orbital p atau d ; ini memungkinkan
orbital 4s terletak pada posisi lebih rendah dari pada 3d untuk beberapa harga Z tertentu. Perlu
dicatat bahwa penurunan secara tiba-tiba (sudden drop) dari energi 3d dimulai pada Z = 21.
Mengingat 3d terletak di bawah 4s untuk Z > 20, tentunya orang menjadi heran,
mengapa konfigurasi ground state dari, katakan saja 23V yaitu . . . . . 3d34s2, lebih mungkin dari
pada 3d5. Penjelasan untuk hal ini adalah sebagai berikut:
Adalah benar bahwa konfigurasi 3d5 mempunyai jumlah energi orbital lebih rendah dari pada
3d34s2, namun sebagaimana ditunjukkan dalam persamaan (11-10) dalam metode Hartree dan
juga akan dapat kita lihat pada sub-bab 13. 6 untuk metode Hartree-Fock, bahwa energi atom
adalah bukan sekedar jumlah dari energi orbital masing-masing elektronnya. Meskipun Jumlah
energi orbital 3d5 lebih rendah, namun level terendah dari konfigurasi 3d5 masih lebih tinggi
dari pada level terendah 3d34s2.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 260
Gambar 11-2 menunjukkan bahwa pemisahan antara orbital ns dan np adalah jauh lebih
sempit dari pada antara np dengan nd, hal ini menghasilkan bahwa ns2np6 menjadi konfigurasi
oktet yang sangat stabil. (atau ns2np6 sangat stabil karena jarak energi nd sangat jauh dari np
sehingga elektron dari np tidak mudah bertransisi ke nd)
Konsep orbital merupakan konsep dasar dalam diskusi kualitatif mengenai sifat kimia atom dan
molekul. Betapapun, harus diingat bahwa penggunaan konsep orbital adalah suatu model aproksimasi;
untuk sampai pada fungsi gelombang yang sesungguhnya, kita harus menyelesaikan determinan Slater
dari orbital spin.
11.3 Korelasi Elektron
Energi yang dihitung dengan metode Hartree-Fock mempunyai error sekitar ½ % sampai
1 % . Secara absolut, kesalahan ini memang tidak besar, tetapi bagi para chemist, kesalahan
sekian itu dianggap terlalu besar. Sebagai contoh energi total atom karbon adalah sekitar 1000
eV, dan ½ % dari nilai ini adalah 5 eV. Kesalahan 5 eV dari 1000 eV ini, dirasa sangat besar
bagi para chemist karena kesalahan ini sama besarnya dengan nilai energi ikatan tunggal yang
besarnya juga 5 eV. Jika energi ikatan diperoleh dari selisih antara energi molekul dengan
energi atom-atom penyusunnya, maka kesalahan beberapa eV dari masing-masing atom tentu
akan menimbulkan kesalahan yang tidak kecil. Kita harus mencari cara untuk memperbaiki
energi dan fungsi gelombang Hartree-Fock. ( bahasan kita ini akan lebih applikabel untuk
molekul dari pada untuk atom).
Perhitungan besarnya interaksi antar elektron dalam fungsi gelombang Hartree-Fock SCF, hanya
dilihat dari nilai rata-ratanya, artinya metode ini menganggap bahwa setiap elektron
menimbulkan efek interaksi yang sama besarnya setiap saat. Padahal sesungguhnya tidak
demikian. Sebagai contoh, dalam helium, jika salah satu elektron pada suatu saat berada pada
posisi dekat dengan inti maka elektron secara ke-energian memberi sumbangan yang lebih
dibandingkan dengan elektron yang kedua yang pada saat itu berada pada jarak yang lebih jauh
dari inti. Gerakan elektron mengelilingi inti saling berhubungan antara satu dengan yang lain
dan ini disebut korelasi elektron , artinya jika pada saat tertentu elektron yang satu berada pada
posisi tertentu, maka elektron lain berada pada posisi tertentu yang lain. Kita harus memperoleh
jalan, untuk memasukkan korelasi elektron pada saat tertentu ( instantaneous electron
correlation ) ke dalam fungsi gelombang.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 261
Energi korelasi adalah selisih antara energi eksak non relativistik dengan energi Hartree-
Fock. Untuk He energi korelasi ini besarnya 1,1 eV ( sub bab 11. 1 )
Kita telah menunjukkan dua cara untuk menentukan korelasi elektron pada saat tertentu.
Metode yang pertama adalah mengenalkan jarak elektronik rij ke dalam fungsi gelombang ( sub
bab 9. 4 ). Metode ini hanya praktis untuk sistem yang elektronnya tidak banyak.
Metode yang kedua adalah interaksi konfigurasi. Telah kita jumpai pada sub bab 9. 3
dan sub bab 10. 4 bahwa fungsi gelombang order nol untuk He ground state 1s2 adalah:
menghasilkan aproksimasi yang akurat bagi himpunan lengkap. Untuk kalkulasi atom, STO (
11-14) adalah pilihan yang selalu digunakan.
Orbital atom ( atau molekul) SCF i ditulis sebagai kombinasi linear dari himpunan
basis, dan persamaan Hartree-Fock ( 11-12) diselesaikan untuk memperoleh koefisien bagi
kombinasi linear ini. Banyaknya orbital atom (atau molekul ) menyatakan jumlah yang sama
bagi banyak himpunan basis yang digunakan. Orbital dengan energi terendah dinyatakan sebagai
orbital terpilih untuk ground state. Orbital yang tersisa disebut orbital virtual.
Penggunaan orbital terpilih dan orbital spin virtual menghasilkan fungsi anti simetrik
untuk atom berelektron banyak yang mempunyai beberapa kemungkinan orbital terpilih.
Sebagai contoh, untuk He, dapat dibentuk fungsi-fungsi yang berhubungan dengan konfigurasi
1s2 atau 1s12s1 atau 1s12p1 atau 2p2 atau dan lain-lain. Sementara itu, setiap konfigurasi
tertentu, dapat menghasilkan lebih dari sebuah fungsi gelombang ; ingat bahwa konfigurasi
determinan Slater; penggunaan lebih dari sebuah determinan Slater dikehendaki untuk fungsi
shell terbuka tertentu sebagaimana (10-44) dan (10-45). Masing-masing i disebut fungsi
konfigurasi state atau fungsi konfigurasi atau disederhanakan menjadi konfigurasi saja. ( Nama
yang terakhir itu ternyata tidak menguntungkan, karena menggiring kepada kerancuan antara
Sebagaimana kita lihat dalam teori perturbasi, fungsi gelombang sesungguhnya dari
atom (atau molekul) mengandung konstribusi dari konfigurasi lain, selain kontribusi dari
konfigurasi utama yang dimasukkan ke dalam . Dengan alasan ini maka kita menyatakan
sebagai kombinasi linear dari fungsi konfigurasi i.
i ci i (11-16)
Kemudian kita memandang (11-16) sebagai fungsi variasi linear ( sub bab 8. 2). Variasi dari
koefisien ci dalam rangka meminimalkan integral variasional membawa kita kepada persamaan
determinantal:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 263
[ Hanya fungsi konfigurasi yang nilai eigen momentum angularnya sama dengan state saja
yang memberi konstribusi pada ekspansi (11.16) ; lihat nanti pada sub bab 11. 5.
Karena fungsi konfigurasi elektron-banyak i dilandasi oleh himpunan basis elektron
tunggal yang bersifat himpunan lengkap, maka himpunan dari seluruh kemungkinan fungsi
konfigurasi adalah himpunan lengkap untuk problema elektron banyak. Sembarang fungsi anti
simetrik elektron banyak ( termasuk fungsi gelombang eksaknya ) dapat dinyatakan sebagai
kombinasi linear dari fungsi i[Pembuktian untuk ini, lihat P.O. Lowdin, Adv. Chem. Phys.,
2, 207, (1959) . ; halaman 260-261 ]. Oleh karena itu, jika kita melakukan kalkulasi CI dengan
cara berangkat dari himpunan basis elektron-tunggal lengkap dan melibatkan semua fungsi
konfigurasi yang mungkin, maka kalkulasi CI ini akan menghasilkan fungsi gelombang eksak
untuk atom (molekul ) pada state yang ditentukan. Dalam praktek, kita dibatasi oleh berbagai
keterbatasan, yaitu tidak mungkin untuk menggunakan himpunan basis lengkap dalam ekspansi
tak terhingga, artinya orang hanya dapat menggunakan himpunan basis tak lengkap dengan
ekspansi sampai suku tertentu saja. Alasan lain mengapa kerja praktek tidak sepenuhnya sesuai
dengan prinsip adalah, kalaupun kita dapat membuat himpunan basis lengkap sesuai prinsip,
pada akhirnya kita tidak akan mengambil semua kemungkinan fungsi konfigurasi karena jumlah
fungsi konfigurasi yang mungkin adalah terlalu banyak. Unsur " seni " dalam metode CI justru
terletak pada kemampuan dalam memilih konfigurasi yang diharapkan memberikan konstribusi
terbesar. Atas dasar ini, maka menggunakan terlalu banyak fungsi konfigurasi dalam rangka
memperoleh fungsi gelombang yang akurat, mengakibatkan kalkulasi interaksi konfigurasi
untuk sistem yang terdiri atas beberapa elektron akan menjadi sangat rumit.
sebagai kombinasi linear dari himpunan basis, ketiga membentuk fungsi konfigurasi elektron
banyak i, keempat menyatakan fungsi gelombang sebagai kombinasi linear dari fungsi
Bab I/Pers. Schrodinger/ 264
konfigurasi tadi, dan akhirnya menyelesaikan persamaan linear simultan untuk menentukan ci
dalam (11-16).
Sebagai contoh, perhatikan Be ground state. Metode Hartree-Fock SCF akan
mendapatkan bentuk terbaik untuk orbital 1s dan 2s dalam determinan Slater 1s 1s 2s 2s dan
menggunakan ini untuk fungsi gelombang ground state. [ kita menggunakan notasi (10-47) ].
Lalu kita akan libatkan konstribusi dari fungsi konfigurasi tereksitasi ( sebagai contoh
1s 1s 3s 3s ) dalam fungsi variasi linear untuk Ground state. Bunge melakukan kalkulasi CI
untuk Be ground state dengan menggunakan kombinasi linear 650 buah fungsi konfigurasi. ( C.
F. Bunge, 2003). Energi Hartree-Fock = 14,5730 (e'2/a), sedang kalkulasi Bunge dengan CI
elektron dalam atom ( M tersebut adalah L, tetapi juga bisa merupakan momentum angular spin
dari dua buah elektron dalam atom ( M tersebut adalah S ). Kita misalkan bilangan kuantum
momentum angularnya adalah j1 dan j2 sehingga nilai eigen M12 = j1 (j1 + 1) 2 dan M22 = j2
(j2 + 1) 2.
nilai eigen untuk Mz1 = m1 dan Mz2 = m2 . Dengan mengacu sifat commutatif pada bab V ,
M = M1 + M2 (11-20)
M2 = M . M = (M1+ M2 )2 . (M1+ M2 )2
atau:
Jika M1dan M2 merujuk elektron berbeda, mereka akan saling commute karena masing-masing
hanya akan berpengaruh kepada fungsi koordinat salah satu elektron dan tidak kepada yang lain.
Jika M1 dan M2 adalah momentum angular orbital dan spin dari sebuah elektron maka mereka
juga commute karena yang satu hanya berpengaruh pada fungsi koordinat spasial sedang yang
lain hanya berpengaruh pada fungsi spin. Jadi (11-24) menjadi:
atau:
Sekarang kita akan menunjukkan bahwa komponen momentum angular total, mengikuti
lazimnya relasi commutasi momentum angular. Kita tahu menurut persamaan (1-4 bab V) :
[ Mx , My ] = [ Mx1 + Mx2 , My1 + My2 ]
atau:
[ Mx , My ] = i Mz (11-27 )
Permutasi siklik x, y dan z menghasilkan:
[ My , Mz ] = i Mx ; [ Mz , Mx ] = i My (11-28)
Analog dengan (2-12 bab V), maka dapat ditulis:
M2 = J ( J + 1 ) 2 J = 0, ½ , 1, 1½ , 2, . . . . (11-30)
dan jika bilangan kuantum magnetik gabungan kita sebut mj maka nilai eigen operator Mz
adalah:
Mz = mj mj = J, (J + 1) . . . . . . + J (11-31)
Sekarang kita ingin mencari, bagaimana hubungan antara bilangan kuantum J dengan
bilangan kuantum j1 dan j2 dan hubungan antara bilangan kuantum magnetik gabungan mj
dengan m1 dan m2. bertolak dari dua momenta angular yang digabungkan pada (11-20). Kita
juga ingin menentukan fungsi eigen dari operator M2 dan operator Mz. Fungsi eigen ini pasti
ditentukan oleh bilangan kuantum J dan mj. Dan dalam notasi ket fungsi eigen fungsi eigen
yang ditentukan oleh bilangan kuantum J dan mj ditulis J mj > . Fungsi eigen untuk operator
M12 dan Mz1 yang bilangan kuantumnya j1 dan m1, dalam notasi ket ditulis j1m1>. Sedang
fungsi eigen untuk operator M22 dan Mz2 yang bilangan kuantumnya j2 dan m2, dalam notasi
(Catatan: Notasi ket adalah notasi yang lazim digunakan untuk menyatakan fungsi
eigen dengan cara menuliskan bilangan kuantum penentunya. Sebagai contoh,
Bab I/Pers. Schrodinger/ 267
Dengan bukti di atas maka kita dapat yakin bahwa kita dapat mempunyai sebuah fungsi eigen
simultan bagi ke empat operator M12 , M22 , M2 dan Mz fungsi eigen J mj > dapat ditulis
secara lebih lengkap sebagai j1 j2 J m j > . Namun, kita dapat buktikan bahwa operator M2
tidak commute dengan operator Mz1 dan Mz2 , jadi fungsi j1 j2 J m j > bukan merupakan
Seandainya kita mengambil himpunan lengkap fungsi j1 m1 > untuk partikel 1 dan
himpunan lengkap fungsi j2 m2 > untuk partikel 2 dan membentuk semua kemungkinan hasil
kali j1 m1 > j2 m2 > , maka kita akan mempunyai himpunan lengkap fungsi untuk dua buah
partikel. Masing-masing fungsi eigen (yang masih tak diketahui) j1 j2 J m j > dapat diekspansi
dengan koefisien ekspansi adalah c (j1 . . . . . . m2 ). [ Tentang bentuk (11-33) dapat dilihat pada
: Ira N Levine, Quantum Chemistry, New Jersey, 1991, halaman 157 – 159 ]
Fungsi j1 j2 J m j > adalah fungsi eigen dari operator commute M12, M22, M2 dan Mz dengan
nilai eigen:
M1 2 M 22 M2 Mz
j1 (j1 + 1) 2 j2 (j2 + 1) 2 J (J + 1) 2 mj
Bab I/Pers. Schrodinger/ 268
Fungsi j1 m1>j 2m 2 > adalah fungsi eigen dari operator commute M12, Mz1, M22 dan Mz2
Karena fungsi j1 j2 J m j > yang diekspansikan dalam (11-33) adalah fungsi eigen dari operator
M12 dengan nilai eigen j1 ( j1 + 1) 2 , berarti dalam penjumlahan itu kita hanya melibatkan
suku-suku yang mempunyai nilai j1 yang sama sebagaimana dalam fungsi j1 j2 J m j > (Lihat
teorema 3 pada akhir sub bab 7. 3). Dengan alasan sama, hanya suku-suku dengan nilai j2 sama
sebagaimana dalam j1 j2 J m j > saja yang dilibatkan dalam penjumlahan. Dengan demikian,
penjumlahan hanya terjadi pada m1 dan m2 saja. Selanjutnya dengan menggunakan Mz = Mz1
+ Mz2, maka:
mj = m1 + m2 (11-34)
Jadi masing-masing fungsi eigen momentum angular total j1 j2 J m j > adalah kombinasi linear
dari hasil kali j1 m1>j 2 m 2 > yang nilai m nya memenuhi persamaan (11-34).
Sekarang kita memperoleh nilai yang mungkin dari bilangan kuantum momentum angular total
J yang muncul dari penggabungan bilangan kuantum angular individual yaitu j1 dan j2.
Sebelum mendiskusikan kasus secara umum, kita bahas dulu kasus j1 = 1 dan j2 = 2.
Nilai m1 yang mungkin adalah 1 , 0 , +1 dan m2 yang mungkin adalah 2, 1, 0, +1, +2. Jika
kita mendeskripsi sistem dengan bilangan kuantum j1, j2, m1, m2, maka total banyaknya mj
adalah 15, berasal dari tiga kemungkinan harga m1 dan 5 kemungkinan harga m2. Marilah kita
tabulasi kelima belas kemungkinan mj itu:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 269
m1 = 1 0 +1
Frekuensi kejadiannya 1 2 3 3 3 2 1
Nilai mj paling tinggi adalah +3. Karena rentang mj adalah dari J sampai +J, maka nilai J
tertinggi harus +3. Sehubungan dengan J = 3, tentu ada tujuh harga mj yang terletak dalam
rentang antara 3 sampai 3. Jika ke tujuh harga mj yang berhubungan dengan j = 3 itu diambil,
maka sisanya adalah:
Frekuensi kejadiannya 1 2 2 2 1
Nilai mj tertinggi yang tersisa adalah 2, harus berasal dari J = 2. Untuk J = 2 ada 5 harga mj.
Jika kelima harga mj yang berasal dari J = 2, ini di ambil maka yang tersisa adalah:
Nilai mj 1 0 1
Frekuensi kejadiannya 3 3 3
Bab I/Pers. Schrodinger/ 270
Nilai mj yang tersisa ini berasal dari J = 1. Jadi, pada penggabungan bilangan kuantum
momentum angular j1 = 1 dan j2 = 2, maka kita simpulkan bahwa bilangan kuantum
momentum angular total (gabungan)nya adalah maksimum 3 dan minimum 1. Jmax = 3 berasal
dari 1 + 2, sedang Jmin = 1 berasal dari 12. Harga J yang mungkin adalah 3 , 2, 1.
Banyaknya state (mj) yang berasal dari J = 3 ada 7 yaitu 3, 2,1, 0, 1, 2, 3. Tujuh buah state
ini berasal dari 2x3 + 1 atau 2J +1. Banyaknya state yang berasal dari J = 2 ada lima sedang
yang berasal dari J = 1 ada tiga.
Dari uraian di atas, maka secara umum, jika dua buah momentum angular dengan
bilangan kuantum momentum angular j1 dan j2 digabungkan, maka:
Jmax = j1 + j2 (11-35a)
Setiap harga J menghasilkan (2J + 1) harga mj yaitu : - J , . . . 0, . . . + J, maka dari semua harga
J yang mungkin , banyaknya harga mj yang dihasilkan adalah:
J max
Banyaknya state atau mj = 2J 1 (11-36)
J min
Contoh 1: a) Tentukan nilai bilangan kuantum momentum angular total yang
mungkin, yang berasal dari penggabungan dua buah momenta angular
dengan bilangan kuantum : j1 = 2 dan j2 = 3/2
Jawab:
a) J maksimum = 7/2 ; J minimum = ½ jadi J yang mungkin = 7/2, 5/2, 3/2
dan ½
1/ 2
b) Banyaknya state = (2J 1) = (2x7/2 +1) + (2x5/2+1) + (2x3/2+1) +
7/2
(2x1/2 +1)
= 8 + 6 + 4 + 2 = 20 state
c) Harga mj yang mungkin:
* Dari J = 7/2, maka harga mj 7/2 , 5/2, 3/2, 1/2, 1/2, 3/2, 5/2, 7/2
* Dari J = 5/2, maka harga mj 5/2, 3/2, 1/2, 1/2, 3/2, 5/2
* Dari J = 3/2, maka harga mj 3/2, 1/2, 1/2, 3/2
* Dari J = 1/2, maka harga mj 1/2, 1/2,
Jadi harga mj dan frekuensi kejadiannya adalah:
Jika total momentum angular orbital L ini ditentukan harganya oleh bilangan kuantum
L2 = L ( L + 1) 2
Bilangan kuantum L juga biasa disebut bilangan kuantum angular orbital kopling, yang
merupakan penggabungan dari masing-masing bilangan kuantum angular orbital .
Jika dalam bab VI telah kita kenal bahwa harga berhubungan dengan orbital s, p, d, f, g . . .
dst, maka bilangan kuantum momentum angular gabungan L berhubungan dengan orbital
sebagai berikut:
L 0 1 2 3 4 5 6 7 8 (11-42)
orbital S P D F G H I K L
Contoh 2:
Tentukan nilai yang mungkin dari bilangan kuantum angular orbital kopling L, yang
muncul dari atom Karbon dengan konfigurasi 1s22s22p13d1 ? Orbital-orbital apakah yang
muncul ?
Jawab:
Elektron-elektron pada orbital s, bilangan kuantum momentum angular orbitalnya adalah
nol jadi sama sekali tak memberikan sumbangan terhadap momentum angular orbital kopling.
Sebuah elektron pada 2p mempunyai = 1 dan sebuah elektron pada 3d mempunyai = 2, jadi
Jika total momentum angular spin S ini ditentukan harganya oleh bilangan kuantum momentum
S2 = S ( S + 1) 2
Bilangan kuantum S juga biasa disebut bilangan kuantum angular spin kopling, yang
merupakan penggabungan dari masing-masing bilangan kuantum angular spin s.
Contoh 3:
Tentukan nilai yang mungkin dari bilangan kuantum angular spin kopling S, yang
yang lain harus mempunyai ms = ½. Sehingga bilangan kuantum magnetik spin koplingnya
yaitu Ms = 0. Karena hanya ada satu kemungkinan Ms yaitu Ms = 0, maka S = 1 tidak mungkin
dan yang mungkin adalah S = 0. Jadi bilangan kuantum spin gabungan untuk dua elektron pada
orbital 1s adalah S = 0. Dengan penjelasan yang sama, maka S untuk dua elektron pada 2s juga
= 0. Sekarang kita lihat sebuah elektron pada 2p dan sebuah elektron pada 3d, yang masing-
dan minimal = 0, sehingga S = 1 dan 0. Dengan demikian maka S untuk atom karbon dengan
Contoh 4:
Kita akan menggabungkan untuk memperoleh L lebih dulu. Dari elektron pertama dan
Dari uraian di atas maka harga L yang mungkin = 3, 2, 1, 0. Tetapi kemungkinan L = 3 harus
disingkirkan karena jika L = 3 diterima maka harus ada ML = 3 s/d 3. ML = 3 hanya mungkin
jika orbital np(+1) berisi 3 elektron sedang ML = 3 hanya terjadi jika orbital np(1) berisi 3
elektron. Padahal jika sebuah orbital berisi 3 elektron, hal ini merupakan pelanggaran terhadap
prinsip eksklusi Pauli. Oleh karena itu harga bilangan kuantum momentum angular kopling
yang mungkin adalah:
L = 2, 1, 0
Sekarang kita tentukan S . Dari elektron pertama dan kedua diperoleh S maksimum = 1 dan
minimum ) jadi S = 1 dan 0. S yang diperoleh dari elektron pertama dan kedua itu digabungkan
dengan s elektron ke tiga, dan diperoleh:
S =½ (dari S = 0 dan s = ½ )
Jadi dari ketiga elektron itu S gabungan yang mungkin adalah S = 3/2 dan ½ .
Untuk L = 2, tidak mungkin mempunyai S = 3/2 sebab agar L = 2 maka 2 elektron berada pada
p yang dengan m = 1 atau 1, sedang satu elektron berada pada p dengan m = 0. Dalam kondisi
Untuk L = 1, maka 2 elektron harus berada pada p dengan m = 0 dan satu elektron berada pada
Untuk L = 0, maka satu elektron pada p dengan m = 1, satu elektron pada p dengan m = 0 dan
Menentukan L dan S dengan menggunakan (11-35) dan (11-38) mempunyai resiko yaitu
adanya L atau S gabungan yang harus dianulir karena melanggar prinsip eksklusi Pauli. Untuk
itu, cara yang aman adalah dilakukan distribusi elektron pada orbitalnya, lalu dihitung ML = m
L = ML
S = Ms
m= 1 0 1
kemungkinan 1
kemungkinan 2
kemungkinan 3
Dari kemungkinan 1, ML = 1 + 0 + = 0 L =0
Ms = ½ + ½ + ½ = 3/2 S = 3/2
Dari kemungkinan 2, ML = 1 1 + = L =1
Ms = ½ ½ + ½ = ½ S = ½
Ms = ½ ½ ½ = ½ S = ½
Bab I/Pers. Schrodinger/ 276
Term Simbol
Term simbol suatu atom adalah simbol atom yang ditulis berdasarkan harga L dan S
yang diturunkan dari konfigurasi elektron atom tersebut pada keadaan tertentu. Secara umum
term simbol suatu konfigurasi berdasarkan L dan S ( jika interaksi L dan S tidak
diperhitungkan) adalah:
*X
X = lambang / simbol state, ditentukan oleh L [ bilangan kuantum angular orbital kopling
seperti ditunjukkan oleh (10-42) ]
Sebagai ilustrasi, berdasarkan contoh soal 2, atom karbon dengan konfigurasi 1s22s22p13d1
ML = L , L + 1, . . . . . . , + L
Sedang hubungan antara S dan Ms analog dengan hubungan antara s dan ms, yaitu:
Ms = S , S + 1, . . . . . , + S
Sekarang jika misalnya saja kita membahas term 1D , maka L = 2 jadi ML = 2, 1, 0, 1,2 dan S
State ke 1 2 3 4 5
ML = 2 1 0 1 2 (11-45)
Ms = 0 0 0 0 0
Untuk term 3P , maka L = 1 jadi ML = 1, 0, 1 dan S = 0, jadi Ms = 1, 0, 1, dengan demikian
Aturan Hund
Untuk menentukan, term mana yang berasal dari sebuah konfigurasi yang energinya paling
rendah dapat diketahui dengan menerapkan aturan Hund empirik berikut: Untuk term yang
muncul dari sebuah konfigurasi, term yang S nya terbesar, energinya terendah. Jika lebih dari
satu term yang S nya terbesar maka term yang L nya terbesar merupakan penentu energi
terendah.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 278
Contoh 5:
Diketahui konfigurasi ns1np3. Dari term simbol yang berasal dari konfigurasi tersebut,
Tentukan term simbol dengan energi terendah.
Jawab:
L =1 S =½
L =0 S = 3/2
Sesungguhnya, orang tidak usah menentukan semua kemungkinan term simbol dari sebuah
konfigurasi, jika hanya akan mengetahui term simbol dengan energi terendah. Sebagai contoh
misal kita ingin mengetahui term simbol dari konfigurasi d3. Untuk ini kita distribusi 3 elektron
ini ke dalam sub shell d dengan spin up semuanya seperti gambar berikut:
m= 2 +1 0 1 2
Ms = ½ + ½ + ½ S = 3/2 * = 4
sehingga term simbol dengan energi terendah berdasarkan prediksi Hund adalah 4F.
Atom He dengan konfigurasi 1s12s1 menghasilkan term simbol 3S dengan degenerasi (2L+1)
(@S+1) = 3 dan 1S dengan degenerasi = (1) (1) = 1. Tiga fungsi gelombang order nol (10-27(
sampai (10-29) harus berhubungan dengan degenerasi tripel dari term 3S dan fungsi (10-30)
harus berhubungan dengan term 1S. Karena S = 1 dan Ms = 1, 0, +1 untuk term 3S, maka
ketiga fungsi spin (10-27) sampai (10-29) pasti merupakan fungsi eigen dari ŝ2 dengan nilai
Sedangkan fungsi spin (10-30) adalah fungsi eigen dari operator ŝ2 dengan nilai eigen S ( S +
1) 2 = 0 dan juga fungsi eigen dari operator ŝz dengan eigen Ms = 0. Selanjutnya hal ini akan
kita buktikan:
Dari persamaan (11-43), maka operator spin untuk dua elektron adalah:
ŝ = ŝ 1 + ŝ2 (11-49)
Komponen Z untuk persamaan (11-49) adalah::
ŝz = ŝ1z + ŝ2z (11-50)
Jika (11-50) dioperasikan pada fungsi spin (1)(2), maka:
ŝ(1)(2)= ŝ1z(1)(2) + ŝ2z(1)(2)
= (2)ŝ1z(1) + (1)ŝ2z(2)]
Bab I/Pers. Schrodinger/ 280
= ½ (1)(2) + ½ (1)(2)
= (1)(2) (11-51)
[ telah digunakan (10-7) untuk memperoleh (11-51) tersebut ]. Dengan cara yang sama kita
peroleh:
ŝz(1)(2) = (1)(2) (11-52)
ŝz[(1)(2) + (1)(2) ] = 0 (11-53)
ŝz[(1)(2) (1)(2) ] = 0 (11-54)
Sekarang kita perhatikan ŝ2. Kita tahu berdasarkan (11-26) bahwa:
ŝ2 = ŝ21 + ŝ22 + 2 (ŝ1x ŝ2x + ŝ1yŝ2y + ŝ1zŝ2z ) (11-55)
jadi:
ŝ2 (1)(2) = (2)ŝ21 (1) + (1)ŝ22(2) + 2ŝ1x(1)ŝ2x(2)
+ 2ŝ1y(1)ŝ2y(2) + 2ŝ1z(1)ŝ2z(2) ) (11-55)
Dengan menggunakan persamaan (10.7) sampai (10-9) dan (10-70) dan (10-71), kita peroleh:
ŝ2 (1)(2) = 2 2 (1)(2) (11-56)
yang menunjukkan bahwa (1)(2) adalah fungsi eigen operator ŝ2 yang berkait dengan S = 1.
Dengan cara yang sama kita peroleh:
ŝ2(1)(2) = 2 2 (1)(2)
ŝ2 [(1)(2) + (1)(2) ] = 2 2 [(1)(2) + (1)(2) ]
ŝ2 [(1)(2) (1)(2) ] = 0
Jadi, fungsi eigen spin dalam persamaan (10-27) sampai (10-30) berhubungan dengan nilai bilangan
kuantum spin total berikut:
Fungsi S Ms Multiplisitas
(1)(2) 1 1 (11-57)
2 ½ [(1)(2) + (1)(2) ] 1 0 Triplet (11-58)
(1)(2) 1 1
2 ½ [(1)(2) (1)(2) ] 0 0 Singlet (11-60)
Dalam sub bab 10. 6, telah ditunjukkan bahwa dua dari empat fungsi gelombang order
nol dari He dengan konfigurasi 1s12s1 dapat ditulis sebagai determinan Slater tunggal, tetapi dua
fungsi yang lain dinyatakan sebagai kombinasi linear dari dua buah determinan Slater. Karena
operator L2 dan operator S2 commute dengan Hamiltonian (11-1) dan dengan operator
permutasi Pij, maka fungsi-fungsi order nol merupakan fungsi eigen dari operator L2 dan
operator S2. Karena determinan Slater D2 dan D3 pada sub bab 10. 6 adalah bukan fungsi eigen
bagi operator-operator itu, maka mereka bukan fungsi order nol. Kita telah menunjukkan bahwa
kombinasi linear (10-44) dan (10-45) adalah fungsi eigen dari operator S2, dan mereka juga
Untuk konfigurasi sub shell penuh (misal He 1s2 atau He ground state) kita hanya
menyatakan bahwa determinan Slater tunggal merupakan fungsi eigen dari L2 dan S2 dan ia juga
merupakan fungsi order nol untuk non degenerate untuk term 1S. Konfigurasi dengan sebuah
elektron diluar sebuah sub shell yang penuh ( misal konfigurasi boron ground sate) hanya
menghasilkan sebuah term ; determinan Slater dari konfigurasi tertentu berbeda dari yang lain
hanya dalam nilai m dan ms elektron dan semuanya adalah fungsi order nol dari state-state nya
sebuah term. Jika semua elektron dalam suatu sub shell semuanya tak berpasangan sehingga
spinnya sama (boleh semuanya maupun semuanya ) , maka fungsi order nolnya adalah
determinan Slater tunggal. [ Sebagai contoh lihat (10-42)]. Jika ini ternyata salah, maka kita
dapat membuat kombinasi linear dari determinan Slater untuk menyatakan fungsi order nol yang
merupakan fungsi eigen dan operator L2 dan S2. Kombinasi linearnya dapat diperoleh dengan
cara menyelesaikan persamaan sekular dalam teori perturbasi degenerate . Tabulasi dari
kombinasi untuk berbagai konfigurasi telah dibuat orang (Slater, Atomic Structure, Vol. II).
Perhitungan energi term atom dengan kalkulasi Hartree-Fock dapat dilakukan dengan
memanfaatkan kombinasi linear ini, dan dengan perhitungan itu dapat ditentukan fungsi orbital
determinan Slater yang paling mungkin.
Tiap-tiap fungsi gelombang yang berasal dari sebuah term atom adalah fungsi eigen bagi
operator L2, operator S2, operator Lz dan operator Sz. Oleh karena itu, manakala seseorang
Bab I/Pers. Schrodinger/ 282
adalah 1S, dengan demikian L = 1 dan S = 0. Jika kita hendak melakukan kalkulasi interaksi
konfigurasi 1s12p1 maka kita harus menentukan nilai eigen dari konfigurasi itu. Nilai eigen
dapat dilihat dari L dan S dari term simbol yang dihasilkan dari konfigurasi itu. Jika term
simbol dari 1s12p1 ada yang mempunyai L = 0 S =0 seperti yang dihasilkan 1s2 maka fungsi
konfigurasi yang seperti itu saja yang dilibatkan dalam ekspansi (11-19). Ternyata, term simbol
yang berasal dari 1s12p1 adalah 1P dan 3P. Jadi tidak ada term 1S yang berasal dari 1s12p1, jadi
tidak ada fungsi konfigurasi yang berasal dari 1s12p1 yang boleh dilibatkan dalam ekspansi (11-
16), ini berarti bahwa tidak terjadi fungsi gelombang C I yang berasal dari 1s12p1.
ri1 = x i2 y i2 z i2 1/ 2
Penggantian masing-masing koordinat dengan harga negatifnya, tidak mengubah harga 1/ri. Juga
rij1 = x i x j 2 y i y j 2 z i z j 2
1 / 2
dan inversi tidak berpengaruh pada 1/rij. Jadi commute dengan Hamiltonian untuk atom, dan
kita dapat memilih fungsi gelombang atom untuk memiliki paritas tertentu.
Untuk atom elektron tunggal, fungsi gelombang spasialnya adalah:
Fungsi radial tidak mengalami perubahan dalam inversi, sehingga paritas ditentukan oleh faktor
sudut ( angular). Fungsi angular m adalah genap jika genap dan ganjil jika nya ganjil. Jadi
state sebuah atom elektron tunggal dapat mempunyai paritas genap atau ganjil, tergantung nya.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 283
Paritas dari bentuk di atas ditentukan oleh faktor spherical-harmonic-nya. bentuk di atas dapat
ganjil
atau genap bergantung pada 1 + 2 + . . . n = i nya ganjil atau genap. Jika
i
i nya genap maka juga genap, jika i nya ganjil maka juga ganjil. Sebagai contoh
i i
konfigurasi tersebut mempunyai paritas ganjil. (Argumen ini sebenarnya didasari oleh
aproksimasi SCF untuk , tetapi konklusinya valid sangat untuk bila diterapkan untuk
sesungguhnya)
J2 = J ( J + 1) 2 (11-62a)
Karena J adalah gabungan dari L dan S, maka J pasti gabungan dari L dan S . Harga J
maksimum dan minimum adalah:
J yaitu J . Akibat yang lain terjadi pada term simbol. Untuk jelasnya perhatikan kasus berikut.
Dari konfigurasi 1s12p1 misalnya diperoleh L = 1 dan S = 1 dan 0. Jika interaksi antara L dan
S belum diperhitungkan maka diperoleh dua term simbol yaitu 3P dan 1P. Bagaimana sekarang,
jika interaksi spin orbit diperhitungkan ?
Jika spin orbit diperhitungkan, maka dari 3P diperoleh yang L = 1 dan S = (31)/2 = 1
diperoleh J maka = 2 dan J min = 0 jadi J = 2, 1 dan 0. Dari sini disimpulkan bahwa term 3P
terpecah menjadi 3 level yaitu:
3P dengan J = 2 ditulis 3P2.
3P dengan J = 1 ditulis 3P1.
3P dengan J = 0 ditulis 3P0.
Kita sudah dapat menentukan term yang energinya terendah, yaitu yang S terbesar . Dan
jika ada dua term berbeda yang S nya sama, maka yang L nya terbesar yang energinya terendah.
Jadi dari kasus di atas, kita sudah tahu bahwa energi 3P < 1P. Yang kita bahas sekarang adalah,
dari 3P yang pecah menjadi tiga level 3P2, 3P1 dan 3P1 manakah yang energinya terendah ?.
Untuk ini kita lihat ilustrasi distribusi elektron berikut:
Konfigurasi 1s1 2p1 yang menghasilkan term 3P. pasti berasal dari distribusi:
e e
m = 0 +1 0 1
Bab I/Pers. Schrodinger/ 285
energi terendah terjadi pada J = 2 ( = J terbesar) . Jadi level term yang energinya terendah
adalah 3P2.
Apakah kita dapat menyimpulkan bahwa sebuah term akan mempunyai energi terendah jika
J nya terbesar ? Secara teoritik jawabnya ya !. Tetapi fakta empirik menunjukkan bahwa teori
yang menyatakan J terbesar akan memberikan energi terkecil untuk term yang sama hanya
benar jika konfigurasinya tidak lebih dari setengah penuh. Untuk atom yang konfigurasi
elektronnya lebih dari setengah penuh, maka yang terjadi adalah sebaliknya, jadi J terkecil
justru yang energinya terendah. Untuk itu kita lihat konfigurasi np4( lebih dari setengah penuh).
Untuk konfigurasi np4, distribusi elektronnya yang mungkin adalah:
ee e e kemungkinan (1)
ee ee kemungkinan (2)
e ee e kemungkinan (3)
Dari kemungkinan (1) L = 1 dan S = 1 Term simbol 3P
diketahui bahwa J = 2, 1,0. Jadi level term yang muncul adalah 3P2 , 3P
1 dan 3P .
0 Secara
teoritik yang energinya terkecil adalah level 3P2 tetapi fakta empirik menunjukkan bahwa yang
energinya terkecil adalah 3P0 . Dari pembahasan di atas, maka dibuat aturan sebagai berikut:
Jika sebuah term simbol *X terdegenerasi menjadi beberapa level *X3 J maka untuk
yang berasal dari konfigurasi lebih dari setengah penuh berlaku J terkecil
memberikan energi terkecil, tetapi untuk yang berasal dari konfigurasi setengah
penuh atau kurang dari setengah penuh, maka energi terkecil dimiliki oleh level yang
J nya terbesar.
Mengenai hal ini akan lebih jelas setelah mempelajari energi interaksi spin orbit khususnya (11-
67)
Seperti halnya S yang mempunyai komponen Sz dan L yang mempunyai komponen Lz,
maka J juga mempunyai Jz yang nilainya adalah:
Jz = Mj (11-62d)
Mj adalah bilangan kuantum magnetik elektron total, yang harganya :
Mj = J , J +1, . . . . . . + J b (11-62e)
Catatan: persamaan (11-62a) sampai (11-62e) adalah analog dengan bentuk-bentuk persamaan
yang berhubungan dengan momentum angular dan komponennya, yang sudah kita kenal
sebelumnya.
Pengaruh magnetik yang muncul dari interaksi spin orbit, mengakibatkan tiap-tiap level term
c) karena atom nomor 28, konfigurasinya berakhir dengan d8, maka konfigurasi asalnya adalah
lebih dari setengah penuh, jadi level yang energinya terendah adalah yang J paling kecil
yaitu:
3P .
0
Mj
3P2
Bab I/Pers. Schrodinger/ 288
Mj
3P1
menjadi (2 J + 1) level yang disebut Term level spin-orbit. Berapa besar perubahan energi yang
ditimbulkan oleh pengaruh spin orbit telah diturunkan secara lengkap dengan menggunakan
treatment relativistik Dirac untuk elektron. Di sini kita akan membahas interaksi spin orbit ini
secara kualitatif.
Jika kita membayangkan diri kita mengendarai elektron di dalam atom, maka dalam
pandangan kita, inti atom akan mengelilingi elektron yang kita kendarai, persis seperti kita
memandang matahari yang mengelilingi bumi kita. Dalam pandangan relativistik, maka inti
atom bergerak relatif terhadap elektron. Gerak ini, menghasilkan momen magnet inti yang
berinteraksi dengan momen magnet elektron. Energi interaksi yang ditimbulkan oleh momen
magnet dengan medan magnet B dinyatakan dalam bab VI yaitu B . Momen magnet yang
ditimbulkan oleh spin elektron ( s ) adalah sebanding dengan momentum angular spinnya ( S )
dan medan magnet yang muncul dari adanya gerak relatif inti adalah sebanding dengan
momentum angular elektron L. Oleh karena itu energi interaksi spin orbit sebanding dengan L .
S. Dot Product antara L dan S bergantung pada orientasi/arah relatif kedua vektor ini. Harga
momentum angular elektronik total (J = L + S ) juga bergantung pada orientasi relatif L dan S,
Bab I/Pers. Schrodinger/ 289
jadi energi interaksi spin orbit bergantung pada J. Karena J bergantung pada J maka energi
dengan V adalah fungsi energi potensial elektron dalam atom. Cara untuk memperoleh ĤS.O
untuk atom elektron banyak, pertama abaikan dulu ĤS.O dan lakukan dulu kalkulasi SCF (sub
bab 11. 1) menggunakan aproksimasi medan sentral (central field approximation ) untuk
mendapatkan energi potensial efektif Vi(ri) bagi masing-masing elektron i dalam medan dari
inti dan elektron-elektron lain dipandang sebagai awan muatan [ Persamaan (11-7) dan (11-8).
Kemudian dilakukan penjumlahan (11-63) untuk semua elektron, sehingga diperoleh:
1 1 dVi (ri ) ^
ĤS.O =
2m e c2
ri dri
.L .S
i
^
i
i
ĤS.O = i . L^ i . S^ i (11-64)
i
dengan
1 1 dVi ( ri )
i = . (11-64a)
2m e c 2 ri dri
^ dan ^ adalah operator momentum angular orbital dan spin untuk elektron i. (
sedang L
iS i
^ .^ )
Untuk atom elektron tunggal ĤS.O = L S
Kita sadar bahwa jika energi interaksi spin orbit ES.O diperhitungkan dengan cara memperoleh
fungsi eigen dan nilai eigen dari operator Ĥ(11-1) + Ĥ(11-64) , maka kalkulasinya akan sangat
rumit. Oleh karena itu, ES.O diperhitungkan dengan pendekatan perturbasi yaitu
ES.O = <ĤS.O >
Bab I/Pers. Schrodinger/ 290
J . J = ( L + S ) . ( L + S ) = L2 + S2 + 2L . S
Kita tahu pula bahwa J . J = J2. cos 0 = J2, jadi:
L . S = ½ ( J2 L2 S2 )
Jika L . S = ½ ( J2 L2 S2 ) maka ini berarti bahwa ½ ( J2 L2 S2 ) adalah nilai eigen dari
^ ^
operator L . S jadi dapat kita tulis:
^ ^
L . S = ½ ( J L S )
2 2 2 (11-65a)
ES.O = ½ 2 [ J ( J + 1) L ( L + 1) S ( S + 1) ] (11-66)
Secara kualitatif harga tetapan A ditentukan oleh L dan S . Dengan menggunakan (11-67) ini
maka secara kualitatif dapat dijelaskan mengapa term simbol yang sama tetapi J nya berbeda
mempunyai energi yang berbeda.
11. 7 Hamiltonian Atom
Hamiltonian sebuah atom terdiri atas tiga bagian yaitu:
Ĥ = Ĥo + Ĥrep + ĤS.O (11-68)
dengan Ĥo adalah jumlah Hamiltonian mirip hidrogen:
n
2 Ze' 2
Ĥ =
o
2 m e i2 ri
(11-69)
i 1
Bab I/Pers. Schrodinger/ 291
e' 2
Ĥrep = rij
(11-70)
i ji
dan ĤS.O yaitu Hamiltonian yang berasal dari interaksi spin orbit:
n
ĤS.O = i ^ ^
L i . Si (11-71)
i 1
Jika kita hanya memperhitungkan Ĥo, maka semua state yang mempunyai konfigurasi dengan n
sama adalah degenerate. Jika Ĥrep diperhitungkan, maka tiap konfigurasi menghasilkan satu atau
lebih term simbol. Jika ĤS.O juga ikut diperhitungkan maka tiap term simbol pecah menjadi
beberapa level term simbol. Masing-masing level ini akan mengalami ( 2 J + 1) fold
degenerate, yang masing-masing berhubungan dengan nilai Mj nya.
State ( 2 J + 1) yang berasal dari sebuah level term simbol yang pada mulanya
degenerate akan mengalami splitting jika berada dalam medan magnet eksternal dengan kuat
medan B. Energi masing-masing hasil pemecahan level ini ditentukan oleh ĤB, yang menurut
analogi persamaan (6-3) bab VI, maka:
^ ^ ^
ĤB = . B = ( L + S ) . B (11-72)
Dengan L = e/2me)L [analog dengan (6-1) bab VI ] dan S = e/me)S { analogi (10-57) bab
X ], maka (11-22) ditulis:
^ ^
ĤB = e/2me L S ) . B
Kita sudah kenal Bohr magneton = e /2m , jadi:
^ ^ ^ ^ ^
ĤB = L S ) . B = L S S ) . B
atau:
^ ^ ^ ^
ĤB = . B J S ) = . ( B J S )
Jika B yang digunakan diambil yang searah sumbu z, maka B = B. k, dengan k adalah vektor
unit arah z. Kita tahu bahwa vektor J = Jx i + Jy j + Jz k, jadi BJ = B k (Jx i + Jy j + Jz k) = B
Jz. Analog dengan itu, maka BS = B Sz, sehingga:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 292
^ ^
ĤB = . B J Z S Z ) (11-73)
Dengan menggunakan teori perturbasi order pertama, diperoleh (Bethe & Jackiw , halaman
179):
EB = g B Mj (11-74)
dengan g ( disebut faktor Lande) adalah:
J J 1 L L 1 J J 1
J J 1
g=1+ (11-75)
Ini berarti jika atom dengan level 3P2 berada dalam medan magnet eksternal dengan kuat medan
B, maka level tersebut akan mengalami perubahan energi sebagai berikut:
Mj
g
B
g
B
3P2
g
B
g
B
Soal-soal
1. Berapa banyaknya elektron yang dapat diletakkan pada:
(a) shell yang bilangan kuantum utamanya = n
(b) subshell yang bilangan kuantumnya n dan
(c) sebuah orbital
(d) spin orbit
Bab I/Pers. Schrodinger/ 293
2. Jika R(r1) adalah faktor radial pada fungsi t1 dalam persamaan differensial Hartree (11-9),
tulislah persamaan differensial tersebut dinyatakan dalam R.
3. Tentukan nilai yang mungkin untuk bilangan kuantum angular total j yang merupakan hasil
penggabungan momenta angular dengan bilangan kuantum:
(a) ½ dan 4
(b) 2 , 3 dan ½
9. Tentukan level-level yang muncul dari term berikut, dan nyatakan degenerasi dari masing-
masing level:
===000===
DAFTAR PUSTAKA
Bell, R.P., Tunnel Effect in Chemistry , Chapmann & Hall, London, 1990
Cohen, I., and Bustard, T., J. Chem. Educ., 43, 187, (1966).
Eyring, H., Walter, J., Kimball, G.E., Quantum Chemistry, Wiley, New York, 1944
Greenberger, D. , Physics Today (dimuat dalam majalah N.D. Mermin, April 2004
Jammer, M., The Philosophy of Quantum Mechanics, Wiley, New York, 2003
Levine, Ira N, Molecular Spectroscopy Prentice Hall, Inc., New Jersey, 1998
Levine, Ira N, Quantum Chemistry, Prentice Hall, Inc., New Jersey, 1991
Moore, C.E. , Ionization Potentials and Ionization Limits, NSRDS-NBS 34, National Bereau
of Standards, 1970
Scherr, C.W., dan Knight, R.E., Revolution Modern Physics, 35, 436, 1963
Zukav, G.,; An Overview of the New Physics, Morrow, New York (2001)