Anda di halaman 1dari 295

Bab I/Pers.

Schrodinger/ 1

BAHAN AJAR/DIKTAT

KIMIA KUANTUM
KODE D3114042
2 SKS

PRODI PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2018
Bab I/Pers. Schrodinger/ 2

VERIFIKASI BAHAN AJAR

Pada hari ini ......... tanggal ..... bulan ................... tahun ......... Bahan Ajar Mata Kuliah Kimia
Kuantum Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
telah diverifikasi oleh Ketua Jurusan/ Ketua Program Studi Pendidikan Kimia

Semarang, 13 Agustus 2018


Ketua Jurusan/ Ketua Prodi ...... Tim Pengampu

Dr. Nanik Wijayati, M.Si Drs. Kasmui, M.Si


NIP NIP. 131931625
Bab I/Pers. Schrodinger/ 3

BAB I
PERSAMAAN SCHRODINGER
1.1 Mengapa Mempelajari Mekanika Kuantum
Pada akhir abad 17, Isaac Newton mengembangkan mekanika yang membicarakan
hukum gerak bagi obyek makroskopik. Pada awal abad 20, para fisikawan menjumpai beberapa
fenomena fisik seperti radiasi benda hitam, efek foto listrik dan efek Compton yang tidak dapat
dijelaskan secara klasik dengan teori gelombang elektromagnit dan baru dapat diatasi setelah
Einstein menerapkan teori kuantum Planck. Pada saat yang hampir bersamaan juga dijumpai
gerak mikrospik yang tidak dapat dideskripsi secara benar oleh mekanika Newton. Sifat-sifat
gerak mikroskopik dideskripsi oleh himpunan hukum-hukum yang disebut mekanika kuantum.
Salah satu bidang ilmu kimia adalah Kuantum Kimia yang merupakan aplikasi mekanika
kuantum terhadap problem-problem kimia. Pengaruh kimia kuantum ini begitu terasa pada
hampir semua cabang kimia. Para ahli kimia fisik menggunakan kimia kuantum untuk
melakukan kalkulasi dalam termodinamika gas (disebut mekanika statistik, misal pada
perhitungan entropi dan kapasitas kalor), untuk menginterpretasi spektra molekul, yang
memungkinkan orang buat melakukan penafsiran eksperimental terhadap sifat molekul (seperti
panjang ikatan, sudut ikatan, momen dipole dan lain-lain), untuk melakukan perhitungan
terhadap keadaan transisi pada reaksi kimia sehingga orang dapat mengekstimasi tetapan laju
reaksi, untuk memahami gaya antar molekul, untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan
dengan ikatan pada padatan.
Para ahli kimia organik menggunakan kimia kuantum untuk mengestimasi stabilitas
relatif molekul, untuk kalkulasi sifat-sifat yang berhubungan dengan intermediate reaksi, untuk
menginvestigasi mekanisme reaksi, untuk memprediksi aromatisitas suatu senyawa dan untuk
analisis spektra NMR.
Para ahli kimia analitik menggunakan kimia kuantum untuk metode spektroskopi secara
luas. Frekuensi dan intensitas garis spektrum hanya dapat dipahami dan diinterpretasi melalui
mekanika kuantum.
Para ahli kimia anorganik menggunakan pendekatan kuantum mekanik untuk menyusun
teori medan ligan dalam rangka memprediksi sifat-sifat ion kompleks logam transisi.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 4

Meskipun masih dengan kendala yang sangat banyak para ahli biokimia mulai menggunakan
pendekatan mekanika kuantum ini buat melakukan studi terhadap molekul biokimia, ikatan
enzim-substrat (enzyme substrate binding) dan solvasi terhadap molekul biologi.
Dalam rangka menguasai kimia kuantum yang begitu luas dan pentingnya bagi para
kimiawan itulah maka kita mau tidak mau harus mempelajari mekanika Kuantum.

1.2 Sejarah Mekanika Kuantum


Perkembangan mekanika kuantum diawali ketika Planck melakukan studi terhadap sifat-
sifat cahaya yang berasal dari sebuah padatan yang dipanaskan. Pada 1801, Thomas Young
menyatakan bahwa cahaya mempunyai sifat gelombang dan hal ini dibuktikan dengan adanya
sifat difraksi dan interferensi manakala cahaya dilewatkan pada dua buah lubang kecil yang
berdekatan.
Sekitar 1860, James Clerk Maxwell mengembangkan 4 buah persamaan (disebut persamaan
Maxwell) yang menggabungkan hukum-hukum kelistrikan dan kemagnetan. Persamaan
Maxwell memprediksi bahwa muatan listrik yang diakselerasi akan meradiasi energi dalam
bentuk gelombang elektromagnetik yang terdiri atas oscilasi selang-seling antara medan listrik
dengan medan magnet. Prediksi Maxwell terhadap laju gelombang elektromagnetik tersebut
sama dengan laju cahaya yang diperoleh secara eksperimen. Atas dasar ini Maxwell
menyimpulkan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik.
Pada 1888, Heinrich Hertz mendeteksi adanya gelombang radio apabila muatan listrik
diakselerasi melalui bunga api, sebagaimana diprediksi oleh persamaan Makwell. Hal ini lebih
membuat yakin para fisikawan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik.
Semua gelombang elektromagnetik melintas dengan laju c = 2,998 . 108 m/s dalam
ruang vakum. Hubungan antara laju (c), frekuensi () dan panjang gelombang () dinyatakan
oleh persamaan:
.=c (1-1)
Pada akhir 1800-an fisikawan mengukur intensitas cahaya yang diemisi oleh benda
hitam yang dipanaskan pada temperatur tertentu. Benda hitam adalah obyek yang mengabsorpsi
seluruh cahaya yang jatuh padanya. Jika para fisikawan menggunakan mekanika statistik dan
model gelombang elektromagnetik untuk memprediksi kurva intenlitas-dan-frekuensi bagi emisi
Bab I/Pers. Schrodinger/ 5

radiasi benda hitam, maka mereka memperoleh hasil yang sepenuhnya tidak sesuai dengan
kurva eksperimental, khususnya pada porsi frekuensi tinggi.
Pada 1900, Max Planck mengembangkan teori yang memberikan kesesuaian yang luar
biasa dengan kurva eksperimental radiasi benda hitam. Planck berasumsi bahwa atom-atom
dalam benda hitam tersebut dapat mengemisi energi cahaya dalam jumlah tertentu yaitu h,
dengan h adalah tetapan Planck = 6,63 . 1034 J.s sedang  adalah frekuensi. Nilai h ini
memberikan kurva yang sangat sesuai dengan kurva radiasi benda hitam hasil eksperimen. Hasil
kerja Planck ini menengarai dimulainya mekanika kuantum.
Hipotesis Planck yang menyatakan bahwa hanya kuantitas tertentu saja yang dapat
diemisi oleh energi cahaya (jadi emisi energinya bersifat terkuantisasi atau diskrit) merupakan
pernyataan yang kontradiktif secara langsung pendapat para fisikawan sebelumnya. Menurut
pendapat klasik, energi gelombang cahaya ditentukan oleh amplitudonya. Karena amplitudo
dapat mempunyai sembarang harga dari nol ke atas maka energi (begitu menurut pendapat
klasik) harus dapat mempunyai sembarang harga yang kontinum dari nol ke atas. Tetapi,
kenyataan menunjukkan bahwa energi terkuantisasi seperti yang dinyatakan oleh Planck-lah
yang sesuai dengan kurva radiasi benda hitam.
Aplikasi kedua dari sifat energi terkuantisasi adalah pada efek foto listrik. Dalam kasus
efek foto listrik, cahaya yang dijatuhkan pada permukaan logam, menghasilkan emisi elektron.
Menurut pendapat klasik, energi gelombang adalah sebanding dengan intensitasnya dan tidak
berhubungan dengan frekuensinya, sehingga gambaran gelombang elektromagnetik seperti ini
menuntun orang untuk memperkirakan bahwa energi kinetik elektron meningkat sesuai dengan
peningkatan intensitas cahaya tidak peduli dengan frekuensinya. Ini berarti bahwa cahaya
dengan frekuensi berapapun seharusnya dapat menghasilkan foto listrik. Tetapi kenyataannya
hanya cahaya dengan frekuensi tertentu saja yang dapat menghasilkan foto listrik.
Pada 1905, Albert Einstein menunjukkan bahwa fenomena foto listrik itu dapat
dijelaskan melalui pemahaman bahwa cahaya merupakan sesuatu yang mirip materi (dan
disebut foton) yang masing-masing foton mempunyai energi:
Efoton = h .  (1-2)
Ketika elektron logam mengabsorpsi foton, sebagian energi foton digunakan untuk melawan
gaya yang mengikat elektron dan sisanya, jika ada, akan muncul sebagai energi kinetik. Efek
Bab I/Pers. Schrodinger/ 6

foto listrik tidak akan terjadi manakala energi foton tidak cukup untuk melawan gaya yang
mengikat elektron.
Konservasi energinya adalah:
h .  =  + Ekinetik
dengan  adalah energi minimum yang dibutuhkan untuk melepaskan elektron (biasa disebut
fungsi kerja) sedang Ekinetik adalah energi kinetik maksimum yang diterima oleh elektron yang
teremisi. Melalui fenomena foto listrik maka diyakini bahwa cahaya mempunyai sifat partikel
selain sifat gelombang seperti ditunjukkan oleh eksperimen difraksi dan interferensi.
Sekarang marilah kita membicarakan struktur materi.
Pada akhir abad 19, percobaan tabung lucutan muatan listrik radioaktivitas natural
menunjukkan bahwa atom-atom dan molekul merupakan partikel yang bermuatan. Elektron
mempunyai muatan negatif. Proton, mempunyai muatan positif, sebesar muatan elektron tetapi
berlawanan tanda sedang massanya 1836 kali massa elektron. Penyusun atom yang ketiga
adalah netron (diketemukan 1932), tidak bermuatan dan sedikit lebih berat dibandingkan proton.
Berawal pada 1909, Rutherford, Geiger dan Marsden melakukan serangkaian percobaan
yang sangat terkenal yaitu hamburan partikel alfa. Kesimpulan eksperimen ini adalah bahwa
sebagian besar dari volume atom adalah ruang kosong (karena sebagian besar alfa tidak
mengalami pembelokan arah), sedang seluruh massa terpusat pada inti yang bermuatan positif..
Kesimpulan kedua diambil karena ada beberapa alfa yang arahnya membelok. Pembelokan arah
alfa diduga disebabkan oleh tolakan inti. Karena alfa bermuatan positif, maka tolakan hanya
terjadi jika inti juga bermuatan positif.
Jari-jari atom 1013 sampai 1012 cm, intinya terdiri atas sejumlah netron dan Z proton.
Z selanjutnya disebut nomor atom. Di luar inti atom terdapat Z elektron. Muatan-muatan
partikel berinteraksi sesuai dengan hukum Coulomb. Sifat kimia atom-atom dan molekul
ditentukan oleh struktur elektronnya.
Pada tahun 1911, Rutherford mengajukan model planet bagi atom. Tetapi kesulitan
muncul sehubungan dengan model ini. Menurut teori elektromagnetik klasik, partikel yang
bergerak melengkung dengan kecepatan konstan pasti memperoleh akselerasi dari waktu ke
waktu, karena arah vektor kecepatannya berubah terus menerus. Padahal jika partikel bermuatan
mengalami akselerasi maka ia akan meradiasi energi berupa gelombang elektromagnetik,
Bab I/Pers. Schrodinger/ 7

sehingga elektron sepanjang lintasannya akan kehilangan energi sehingga bentuk lintasannya
seharusnya adalah spiral dan pada akhirnya elektron akan jatuh ke dalam inti.
Salah satu kemungkinan untuk mengatasi kesulitan in, diajukan oleh Niels Bohr, ketika
ia menggunakan konsep energi terkuantisasi pada atom hidrogen. Bohr berasumsi bahwa energi
elektron atom hidrogen terkuantisasi, dan elektron bergerak hanya pada satu lintasan tertentu
yang diijinkan. Jika elektron berpindah dari satu orbit ke orbit yang lain maka akan terjadi emisi
atau absorsi foton menurut relasi:
Etinggi  Erendah = h  (1-3)
dengan Etinggi dan Erendah adalah tingkat energi.
Kesulitan mendasar yang muncul dalam model atom Bohr, adalah ketika ia
menggunakan mekanika Newton untuk mendeskripsi gerak elektron dalam atom. Fakta spektra
menunjukkan bahwa energi atom bersifat diskrit artinya hanya harga tertentu saja yang
diijinkan, padahal mekanika Newton mengijinkan rentang energi secara kontinum. Pemaksaan
aplikasi mekanika Newton merupakan kelemahan utama model Bohr.
Keadaan terkuantisasi terjadi pada gerak gelombang, misalnya frekuensi nada dasar dan
overton pada senar gitar. Oleh karena itu, De Broglie pada tahun 1923 mengajukan hipotesis
bahwa gerak elektron adalah gerak gelombang dengan panjang gelombang yang dinyatakan
dengan:
h h
= = (1-4)
m v p
dengan p adalah momentum linear, m massa dan v kecepatan elektron. De Broglie
mengemukanan (1-4) melalui alasan dan analogi dengan foton. Menurut teori relativitas
Einstein, energi semua partikel (termasuk foton) dapat dinyatakan dengan E = m . c2 dengan
kecepatan cahaya. Untuk foton, E = h  = h c/Penggabungan keduanya menghasilkan  =
h/mc = h/p. Persamaan (1-4) adalah analogi dari yang dikenakan pada gerak elektron.
Pada tahun 1927, Davisson dan Germer secara eksperimen melakukan konfirmasi
terhadap hipotesis De Broglie melalui percobaan difraksi elektron. Pada 1932, Stern, melakukan
hal yang sama, kemudian melakukan verivikasi bahwa efek gelombang pada elektron adalah
sesuatu yang tidak mustahil, dan hal ini merupakan konsekuensi dari beberapa hukum gerak
bagi partikel mikroskopik.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 8

Jadi, elektron dalam satu peristiwa menyerupai partikel dan pada peristiwa yang lain
menyerupai gelombang. Dengan demikian kita dihadapkan dengan munculnya kontradiksi yang
disebut “dualitas gelombang-partikel” pada materi (dan cahaya). Bagaimana mungkin, elektron
dapat berlaku sebagai partikel (yang bersifat terlokalisir) sekaligus juga berlaku sebagai
gelombang (yang bersifat takterlokalisir) ? Jawabnya adalah bahwa elektron adalah bukan
partikel dan bukan pula gelombang tetapi sesuatu yang lain. Pengilustrasian secara akurat
terhadap sifat-sifat elektron dengan menggunakan konsep fisika klasik tentang gelombang atau
partikel adalah sangat tidak mungkin. Konsep fisika klasik telah dikembangkan atas dasar
pengalaman dalam dunia makroskopis dan tidak ditujukan bagi dunia mikroskopis.
Meskipun foton dan elektron keduanya menunjukkan gejala dualitas, namun keduanya
tetap bukan merupakan sesuatu yang sejenis. Foton senantiasa bergerak dengan kecepatan c dan
massa diam nol, sedang elektron bergerak dengan v < c dan massa diamnya tidak nol. Foton
harus selalu ditangani secara relativistik sedang elektron yang berkecepatan rendah boleh
ditangani secara non relativistik.

1.3 Prinsip Ketidakpastian


Sekarang akan kita bahas efek yang ditimbulkan oleh dualitas gelombang-partikel terhadap
pengukuran secara simultan posisi dalam koordinat x dengan px (komponen x momentum
linear) dari sebuah partikel mikroskopik. Untuk itu ikuti uraian berikut:
Berkas partikel dengan momentum p, melintas searah sumbu y melalui celah sempit. Di
belakang celah tersebut dipasang plat fotografi.

p D
 y


A
w B
E
p

Plat Foto
Bab I/Pers. Schrodinger/ 9

Keterangan:
A = ujung atas celah B = Pertengahan celah E = ujung bawah celah
D = difraksi minimum I bagian atas
Gambar 1.1: Difraksi elektron melalui celah
Partikel yang melalui celah yang lebarnya w mempunyai ketidakpastian w pada arah
koordinat x nya pada saat melintas melalui celah tersebut. Jika ketidakpastian arah x ini secara
umum disebut x, maka x = w.
Karena partikel mikroskopik mempunyai sifat gelombang, maka mereka didifraksi oleh
celah dan menghasilkan pola difraksi yang ditangkap oleh plat foto di balik celah. Ketinggian
grafik pada suatu titik di layar foto pada gambar 1-1, diukur berdasarkan banyaknya partikel
yang mencapai titik itu. Pola difraksi menunjukkan bahwa ketika partikel didifraksi oleh celah,
arah geraknya berubah sehingga partikel yang berubah arah itu momentumnya ditransfer ke arah
x. Arah momentum komponen x dinyatakan sebagai proyeksi vektor momentum pada arah x.
Partikel yang arahnya membelok ke atas (arah x positif) dengan sudut sebesar , mempunyai px
= p sin . Partikel yang arahnya membelok ke bawah (arah x negatif) dengan sudut sebesar ,
mempunyai px =  p sin . Karena semua partikel mengalami pembelokan dengan rentang
antara  sampai  dengan  adalah sudut untuk minimum pertama dalam pola difraksi, maka
kita akan mengambil separuh sebaran nilai momentum di pusat puncak difraksi sebagai ukuran
ketidakpastian px, jadi px = p sin . Dengan demikian, pada, yaitu tempat dilakukannya
pengukuran,
x . px = p w sin  1-5
 Besarnya sudut  dapat diketahui lewat pengukuran. Untuk minimum yang pertama,
besarnya sudut  diperoleh melalui pengukuran terhadap sudut yang dibentuk oleh lintasan
partikel yang membelok ke minimum pertama bagian atas dengan lintasan partikel yang tidak
mengalami pembelokan. Pada kondisi minimum pertama, perbedaan jarak tempuh partikel yang
mengalami pembelokan dengan yang tidak mengalami pembelokan adalah 1/2 
Bab I/Pers. Schrodinger/ 10

Untuk melakukan kalkulasi terhadap difraksi minimum pertama perhatikan gambar 1-2.
Titik A adalah ujung atas celah, titik D adalah titik minimum difraksi pertama, E adalah ujung
D yang diletakkan sedemikian
bawah celah, titik B adalah pertengahan celah., titik C adalah titik
rupa sehingga jarak AD = CD dan BC merupakan selisih jarak BD dengan AD. Mengingat jarak
antara celah dengan plat foto relatif jauh tak terhingga dibandingkan dengan lebar celah, maka
garis AD dan BD relatif hampir paralel. Akibatnya titik C dan B hampir berimpit dan sudut
ACB praktis merupakan sudut lurus dan besarnya sudut BAC =  sehingga panjang garis BC =
1/
2w sin BC adalah selisih panjang lintasan partikel yang melalui pertengahan celah dan yang
melalui titik atas celah yang menuju ke titik minimum difraksi pertama D. Karena difraksi dapat
berlangsung, maka ini hanya mungkin jika selisih panjang lintasan itu yaitu BC = 1/2 , jadi w
sin  =  dan persamaan (1-5) boleh ditulis x.px = pKarena  = h/p maka x . px = h.
Karena ketidakpastian tidak dapat didefinisikan secara persis maka penggunaan tanda =
dipandang kurang tepat dan diganti tanda  , dan ketidakpastian itu ditulis:
x . px  h (1-6)
Dalam pasal (5.1) akan kita bahas definisi statitikal terhadap ketidakpastian untuk
menggantikan (1-6).

A 
½W C

B

Gambar 1.2: Kalkulasi difraksi minimum pertama


Meskipun yang telah kita tunjukkan untuk memperoleh (1-6) hanya dirancang untuk sebuah
eksperimen saja, namun validitasnya adalah general. Untuk materi yang memiliki dualitas
gelombang partikel, adalah tidak mungkin melakukan pengukuran secara simultan terhadap
posisi dan momentumnya. Artinya jika kita menentukan presisi yang sangat tinggi untuk posisi
maka ini akan berakibat berkurangnya akurasi penentuan momentum (Dalam gambar 1.1, sin 
Bab I/Pers. Schrodinger/ 11

= /w, jadi makin kecil lebar celah, makin melebar pola difraksi). Fenomena ini disebut Prinsip
Ketidakpastian yang dikemukakan oleh Werner Heissenberg pada tahun 1927.

1.4 Persamaan Schrodinger Bergantung Waktu


Mekanika klasik atau mekanika Newton sangat sukses dalam mendeskripsi gerak makroskopis,
tetapi gagal dalam mendeskripsi gerak mikroskopis. Gerak mikroskopis membutuhkan
mekanika khusus yang disebut mekanika kuantum. Karena gerak partikel mikroskopis adalah
gerak gelombang (menurut de Broglie) maka salah satu metode membangun mekanika kuantum
adalah dengan pendekatan gelombang, oleh karena itu maka mekanika kuantum juga disebut
mekanika gelombang.

Perbedaan mendasar antara mekanika klasik dengan mekanika kuantum adalah bahwa
dalam mekanika kuantum state ( posisi, kecepatan, momentum dan gaya yang bekerja) suatu
partikel pada saat tertentu dapat ditentukan secara eksak dengan menggunakan hukum Newton.
Sedang pada mekanika kuantum, karena adanya prinsip ketidakpastian pada pengukuran
momentum partikel, maka state suatu partikel tidak dapat ditentukan dengan pasti tetapi orang
hanya dapat menentukan kebolehjadian suatu partikel menempati state tertentu.

Dalam mekanika kuantum state suatu sistem dapat diperoleh manakala fungsi
gelombang partikel diketahui. Untuk mengetahui fungsi gelombang orang harus mempunyai
persamaan gelombang partikel mikroskopis. Karena persamaan gelombang ini diperoleh oleh
Schrodinger, maka persamaannya disebut persamaan Schrodinger.

Persamaan Schrodinger merupakan jantungnya mekanika kuantum, karena melalui


persamaan Schrodinger inilah fungsi gelombang dapat diperoleh. Untuk itu kita perlu
mengetahui apakah persamaan Schrodinger itu dan bagaimana persamaan Schrodinger itu
diperoleh?

Persamaan Schrodinger adalah persamaan yang menyatakan hubungan antara turunan


pertama fungsi gelombang terhadap waktu dengan turunan kedua fungsi tersebut
terhadap koordinat.

Dari definisi itu dapat disimpulkan fungsi gelombang merupakan fungsi koordinat dan
waktu. Agar pembahasannya tidak terlalu rumit maka kita akan mulai dengan membahas
bagaimana persamaan Schrodinger untuk gelombang sebuah partikel satu dimensi. Untuk
Bab I/Pers. Schrodinger/ 12

mendapatkan persamaannya Schrodinger menggunakan fungsi gelombang fisik yang telah


dikenal, misal fungsi rambatan gelombang harmonik satu dimensi, yaitu:
F(x , t) = A . e i ( kx   t ) (1-7)
dengan:
k = 2 /  dan  = 2   ;  = panjang gelombang ;  = frekuensi gelombang
Turunan pertama terhadap t:
∂F(x,t) /∂t =  i  A . e i ( kx   t ) =  i  F(x,t) (1-8)
Turunan kedua terhadap x:
∂2 F(x,t) / ∂x2 = k2 .A . e i ( kx   t ) =  k2 F(x,t) (1-9)
Jadi:

F ( x, t ) i   2 F( x, t )
= (1-10)
t k2  x2

Sampai saat ini kita masih berada di daerah fisika klasik. Sekarang kita akan masuk ke daerah
kuantum yaitu dengan menggunakan hubungan E = h  jadi  = E / h jadi:
E
=2=2E/h= (1-11)

Kita juga memanfaatkan dualisme de Broglie yaitu p = h /  sehingga:
p
k=2/=2p/h= (1-12)

Subtitusi (1-11) dan (1-12) ke dalam (1-10) menghasilkan:

F ( x, t ) E  2 F ( x, t )
=i  (1-13)
t p2 x 2
Karena sudah masuk ke daerah kuantum, maka notasi fungsi gelombangnya diganti (x,t)
sehingga (1-13) ditulis:

 ( x, t ) 2
E   ( x, t )
=i  (1-14)
t p2 x 2
E adalah jumlah energi kinetik T dan energi potensial V, jadi:

 ( x, t ) 2
T  V   ( x, t )
=i  (1-15)
t p2 x 2
atau:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 13

 ( x, t ) T  2  ( x, t ) 2
V   ( x, t )
=i  +i  (1-16)
t p2 x 2 p2 x 2
Jika T diganti p2/ 2m , maka: diperoleh:

 ( x, t ) 2 2
1   ( x, t ) V   ( x, t )
=i  +i  (1-17)
t 2m x 2 p2 x 2
atau:
2 2
 ( x, t )  2   ( x, t ) 2 V   ( x, t )
i  =  (1-18)
t 2m x 2 p2 x 2
Sebenarnya (1-18) tersebut sudah merupakan persamaan Schrodinger, tetapi yang lebih lazim

 2  ( x, t )
di suku kedua ruas kanan diganti dengan  k2  (x,t) yaitu analog dengan (1-9)
2
x
sehingga (1-18) boleh ditulis:
2
 ( x, t )  2   ( x, t ) V 2
i  =  2 k (x,t) (1-19)
t 2m x 2 p2

dan karena k = p /  , maka (1-19) juga boleh ditulis:


2
 ( x, t )  2   ( x, t )
i  =  V (x,t) (1-20a)
t 2m x 2
Persamaan (1-20a) itu adalah persamaan gelombang Schrodinger bergantung waktu untuk
sebuah partikel dalam satu dimensi . Kadang-kadang beberapa buku menulis (1-20a) dalam
bentuk:
2
  ( x, t )  2   ( x, t )
 =  V (x,t) (1-20b)
i t 2m x 2
Apakah makna fisik Ruas Kiri Persamaan Schrodinger ?
Kita telah tahu bahwa sesuai dengan (1-8) maka:
 ( x, t )
=  i   (x,t) 
t
Jadi:
  ( x, t )
 =    (x,t) 
i t
Bab I/Pers. Schrodinger/ 14

padahal  = 2   jadi:
  ( x, t )
 = h   (x,t)
i t
Karena h  = E, maka:
  ( x, t )
 = E  (x,t) (1-21)
i t
atau:
 1  ( x, t )
 =E (1-22)
i  ( x, t ) t

Bagaimana makna fisik Ruas Kanan ?


Kita telah tahu bahwa makna fisik ruas kiri persamaan adalah E (x,t). Jadi ruas kananpun = E
(x,t)
Jadi:
2
 2   ( x, t )
   V (x,t) = E (x,t) (1-23)
2m x 2
dengan demikian maka:
2
2 
 V =E (1-24)
2m x 2

2
2 
Dalam mekanika kuantum maka   V juga disebut operator energi. Jadi dikenal dua
2m x 2

2
  2 
macam operator energi yaitu  dan   V. Pada perkembangan berikutnya nanti
i t 2m x 2

2
2 
operator energi yang lebih populer adalah   V yang juga dikenal dengan nama
2m x 2

operator Hamilton atau 


H . Jadi:
2
 2 
H = V (1-25a)
2m x 2

atau:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 15

2
 2 
E = V (1-25b)
2m x 2

2
2 
Setelah kita tahu bahwa   V adalah operator untuk E padahal kita juga tahu bahwa
2m x 2

1 2
E = T + V maka sudah dapat dipastikan bahwa   adalah operator untuk T atau
2m x 2

operator energi kinetik. Jadi:


2
 2 
T = (1-26)
2m x 2

Tentang Fungsi Gelombang


Kata state suatu sistem mengacu pada kecepatan posisi partikel pada saat tertentu serta gaya
yang bekerja pada partikel tersebut. Dalam mekanika klasik, tepatnya menurut hukum Newton,
massa tepat state sistem dapat diprediksi secara eksak apabila state sistem saat ini diketahui.
Dalam mekanika kuantum, state sistem direpresentasikan oleh fungsi gelombang yang
merupakan fungsi koordinat dan waktu. Informasi masa depan suatu sistem dalam mekanika
kuantum dapat dikalkulasi dengan menggunakan persamaan Schrodinger, hanya saja karena
adanya prinsip ketidakpastian pada pengukuran posisi dan momentum, maka prediksi secara
eksak seperti yang terjadi pada mekanika klasik tidak dapat diberikan oleh fungsi gelombang.
Fungsi gelombang memuat semua informasi yang dapat kita ketahui mengenai sistem
yang didiskripsinya. Informasi apakah yang diberikan oleh  mengenai hasil pengukuran
koordinat x partikel?  tidak dapat memberikan informasi posisi secara tepat seperti yang
dilakukan oleh mekanika klasik. Jawaban yang benar terhadap pertanyaan tersebut diberikan
oleh Max Born beberapa saat setelah Schrodinger menemukan persamaan Schrodinger. Born
membuat postulat bahwa:
2
( x,t ) dx (1-27

merupakan peluang pada waktu t untuk menemukan partikel sepanjang sumbu x yang terletak
2
antara x dengan x + dx. Fungsi (x ,t ) adalah fungsi kerapatan peluang (probability density)

untuk mendapatkan partikel di sembarang tempat sepanjang sumbu x. Sebagai contoh,


Bab I/Pers. Schrodinger/ 16

dianggap bahwa pada sembarang waktu tertentu t0 sebuah partikel didiskripsi oleh fungsi
2
 bx
gelombang a. e dengan a dan b adalah tetapan real. Jika kita mengukur posisi partikel pada
saat t0 , kita dapat memperoleh sembarang harga x sebab nilai rapat peluangnya yaitu
2
2 2 bx
a e tidak nol, berapapun harga x-nya. Nilai x = 0 adalah lebih baik dibandingkan nilai x

yang lain karena di titik asal (x = 0), harga  2 mencapai maksimum.


2
Untuk membuat hubungan yang tepat antara  dengan hasil pengukuran

eksperimental, kita harus mengambil sejumlah sistem identik yang tidak saling berinteraksi,
masing-masing berada dalam keadaan  yang sama. Kemudian kita dapat mengukur posisi
dalam masing-masing sistem. Jika kita mempunyai n sistem dan membuat n pengukuran, dan
jika dnx adalah banyaknya pengukuran yang dimana kita menjumpai partikel terletak antara x
dan x + dx, maka dnx/n adalah peluang mendapatkan partikel pada posisi antara x dan x + dx.
Jadi:
dn x 2
=  dx
n

dan grafik (1/n)dnx /dx versus x adalah kerapatan peluang  2 .

Kuantum mekanik pada dasarnya dilandasi oleh sifat statistikal. Dengan memahami
keadaan sistem pada saat tertentu, kita tidak dapat memprediksi hasil pengukuran posisi secara
pasti. Kita hanya dapat memprediksi kemungkinan dari berbagai hasil yang mungkin. Teori
Bohr yang menyatakan bahwa elektron beredar pada lintasan yang berjarak pasti dari inti,
merupakan pernyataan yang tidak dapat diterima oleh mekanika kuantum.

1.5 Persamaan Schrodinger Tak Bergantung (Bebas) Waktu


Persamaan Schrodinger bergantung waktu (1-20a) tampak sangat menyeramkan.
Untungnya, dalam aplikasi mekanika kuantum dalam kimia, ternyata tidak perlu kita
berhadapan dengan persamaan tersebut dan sebagai gantinya kita cukup menggunakan
persamaan Schrodinger bebas waktu, yang untuk sebuah partikel dalam sistem satu dimensi,
persamaannya adalah:

d 2  ( x) 2m
+ (E  V(x) ) ( x)  0 (1-28)
2
dx 2
Bab I/Pers. Schrodinger/ 17

Persamaan (1-28) dapat diturunkan dari persamaan (1-20a) melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
Perlu diketahui bahwa ( x , t ) adalah gabungan dari x dan t dan dinyatakan:
( x , t ) = x . t (1-29)
Jika (1-29) dimasukkan ke dalam (1-20a) diperoleh:
2
  x t  2   x t
 = + V(x, t)  x t (1-30)
i t 2m x 2

Jika kita batasi bahwa fungsi energi potensial hanya merupakan fungsi x saja dan bebas waktu,
maka (1-30) ditulis:

  x t  2  2  x t
 = + V(x)  x t
i t 2m x 2
atau:

 d t 2 d 2 x
 x = t + V(x)  x  t (1-31)
i dt 2m dx 2

Jika (1-31) dibagi x setelah itu hasilnya dibagi t maka diperoleh:


2
 1 d t 2 1 d x
 = + V(x) (1-32)
i  t dt 2m  x dx 2

Jika ruas kiri (1-32) dibandingkan dengan (1-22) maka ruas kiri (1-32) itu adalah E, jadi (1-32)
dapat ditulis:
2
2 1 d  x
 + V(x) = E atau
2m  x dx 2

2
2 d x d 2  ( x ) 2m
 + V(x)  x = E x atau: + (E  V(x) ) ( x )  0
2m dx 2 dx 2 2
Persamaan diatas adalah persamaan (1-28) yang kita turunkan.
Selanjutnya untuk mengetahui penyelesaian t kita ikuti langkah berikut:
Seperti ruas kanan, ruas kiri (1-32) = E, maka:
 1 d t 1 iE
 =E atau d t =  dt
i  t dt t 
yang jika diintegralkan:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 18

iEt
ln  t   +c

jadi:
 iEt /
 t  e C .e iEt /  = A. e

Konstanta A pada t dapat dilimpahkan pada x pada perkalian (1-29) sehingga:


 iEt /
t = e (1-33)
Jika (1-33) dimasukkan kedalam (1-29) maka kita peroleh bentuk fungsi gelombang sebuah
partikel dalam sistem satu dimensi yaitu:
 iEt /
( x , t ) = e . x (1-34)
Tampak bahwa fungsi gelombang partikel merupakan fungsi komplek, padahal kerapatan
2
peluang adalah ( x,t ) . Untuk fungsi komplek harga kuadrat absolutnya adalah hasil kali

fungsi itu dengan fungsi konjugatnya.


2 *
( x , t ) =  ( x , t ) . ( x ,t ) (1-35)

*
 ( x , t ) adalah fungsi konjugat dari ( x ,t ) yaitu ( x ,t ) yang i nya diganti i.

1.6 Probabilitas
2 *
Telah kita bicarakan bahwa kerapatan peluang = (x ,t ) =  ( x , t ) . ( x ,t ) sedang

peluang mendapatkan partikel pada segmen sepanjang dx yaitu dari x sampai x + dx adalah
2
( x , t ) dx =  (*x ,t ) . (x ,t ) dx, maka untuk menentukan peluang untuk rentang tertentu misal

dari a sampai b, adalah menjumlahkan peluang dari segmen ke segmen sepanjang antara a dan
b. Penjumlahan seperti itu pada dasarnya adalah pengintegralan.
Jadi:
b b
2 *
P( a < x < b ) =  ( x ,t ) dx =  ( x ,t )
. ( x ,t ) . dx (1-36)
a a
Jika interval dari a sampai b tersebut dimulai dari  ~ sampai + ~ maka peluang dijumpai
partikel pada interval tersebut pasti = 1 artinya kita pasti menjumpai partikel jika kita
mencarinya mulai dari posisi  ~ sampai + ~. Jadi kita boleh menulis:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 19

~ 2 ~
P( ~ < x < +~ ) =  ( x ,t ) dx =   *( x , t ) . ( x ,t ) . dx = 1 (1-37)
~ ~

Fungsi gelombang partikel yang memenuhi persamaan (1-37) disebut fungsi gelombang
ternormalisasi.

Soal-soal Bab 1
1. Hitunglah panjang gelombang de Broglie dari sebuah elektron yang melintas dengan
kecepatan 1/137 kali kecepatan cahaya. (dengan kecepatan tersebut, pendekatan relativistik
boleh diabaikan).
2. Fungsi kerja Na adalah 2,28 eV. Tentukan:
a. energi kinetik maksimum dari fotoelektron yang diemisi oleh Na , jika proses fotolistrik
tersebut menggunakan cahaya ultra violet yang panjang gelombangnya 200 nm.
b. berapa panjang gelombang cahaya maksimal yang masih dapat menghasilkan fotolistrik
terhadap Na ?
3. Ketika J.J Thomson melakukan investigasi terhadap elektron melalui eksperimen tabung
sinar katoda, ia melakukan pengamatan terhadap sifat-sifat elektron dengan menggunakan
pendekatan mekanika klasik.
a. Jika elektron diakselerasi dengan energi kinetik 1000 eV, dan melalui celah yang lebarnya
0,1 cm, berapakah besarnya sudut difraksi dalam gambar 1.1
b. Berapa lebar celah yang diperlukan agar elektron dengan energi kinetik 1000 eV
menghasilkan  = 1o ?
4. Diketahui sebuah partikel dalam sistem satu dimensi yang dinyatakan oleh fungsi:
2
 = a e -i b t e -b m x /  .
a dan b adalah konstanta dan m adalah massa patikel. Dengan menggunakan persamaan
Schrodinger bergantung waktu, tentukan fungsi energi potensial bagi sistem tersebut. 
 Diketahui sebuah partikel dalam sistem satu dimensi yang dinyatakan oleh fungsi:
2
x = b x e c x . Tentukan energi partikel tersebut jika diketahui:

Fungsi energi potensial = V = 2c 2  2 x 2 / m


Bab I/Pers. Schrodinger/ 20

b = konstanta ; c = 2 nm2 ; m = 1,00 . 1030 kg


6. Pada saat tertentu, sebuah partikel dalam sistem satu dimensi, dideskripsi oleh
 = (2 / b3 )1/2x.ex/ b . dengan b = 3 nm. Jika pada saat itu diadakan pengukuran
terhadap x , maka:
(a) Tentukan probabilitasnya agar hasil pengukurannya antara 0,9 dan 0,9001 nm (anggaplah
bahwa dx amat kecil dibandingkan dengan 0,9 nm)
(b) Tentukan probabilitasnya agar hasil pengukurannya antara 0 dan 2 nm.
(c) Untuk x bernilai berapakah, probabilitas akan minimum ? (tidak perlu dijawab secara
kalkulus)
(d) Buktikan bahwa  ternormalisasi.
No. 7 sampai dengan selesai adalah tentang bilangan kompleks
7. Plot-lah bilangan kompleks berikut :
(a) z = 3 + 4 i (b) z = 4 i (c) z =  3 i (d) z = 4
8. Nyatakan bilangan kompleks berikut kedalam bentuk z = r ei :
(a) z = 3 + 4 i (b) z = 4 i (c) z =  3 i (d) z = 4
9. Nyatakan bilangan komplek berikut dalam bentuk z = x + y i dan buat plotnya:
(a) z = 4 e 3 i (b) z = 3 i /4
10. Tentukan komplek konjugasi dari bilangan kompleks berikut:
(a) z = 3 + 4 i (b) z = 4 i (c) z =  3 i (d) z = 4
(e) z = 4 e 3 i (e) z = 3 i /4
11. Buktikan bahwa
(a) 1/ i =  i (b) e i  = cos  + i sin  (c) sin  = (e i e i  ) / 2 i
12. Di antara bilangan-bilangan berikut, mana yang bilangan komplek:
(a) 3 + i4 (b) 5 + 3 i2 (c) i3 (d) 10 + 4 i5
Bab I/Pers. Schrodinger/ 21

Jawab:
1. Gelombang de Broglie :
p = h
p=m.v
Dengan memasukkan harga m dan v elektron, p dapat dihitung. Jika p sudah diketahui, 
dapat dihitung.
2. Dalam fotolistrik berlaku
a. E foton = h .  = h . c =  + Ekinetik
dengan memasukkan harga  dan dan fungsi kerja  maka enegi kinetik dapat dihitung
b. Untuk menghirung  ambang gunakan: h . c > 

3. a. Untuk menghiutng sudut difraksi  kita gunakan relasi:


p = p sin 
p dihitung dari relasi : p . x = h dengan x = lebar celah
p dihitung dari energi kinetik elektron, ingat : Ek = p2 / 2m
b. solusinya merupakan kebalikan dari a. Kita telah tahu harga p, selanjutnya kita cari harga
p melalui p = p sin  Selanjutnya x dapat dihitung.
4. Persamaan Schrodinger bergantung waktu adalah:
2 2
 ( x ,t )   ( x , t )
 =  + V(x,t) ( x ,t ) (4-6)
i t 2m x 2

Kita selesaikan dulu ruas kiri:

 ( x , t )   2
 = a e -i b t e - b m x /  
i t i t
2  d -i b t 2 
    a e - b m x /  e   a e - b m x /  .  i . b e -i b t 
i dt i
2
   b  a e - b m x /  . e -i b t  b  

Dengan demikian persamaan (4-6) menjadi:


Bab I/Pers. Schrodinger/ 22

2
 2  ( x , t )
b  ( x, t) =  + V(x, t) ( x , t )
2m x 2

Selanjutnya kita selesaikan suku pertama ruas kanan:


2
 2  ( x , t ) 2 2 2
  a e -i b t e - b m x /  
2m x 2 2m x 2

2 d 2 bmx 2 / 
    . a e- i b t e 
2m dx 2

2 d d  bmx 2 / 
    . a e- i b t . e 
2m dx dx

2 d 2bmx bmx 2 / 
   . a e- i b t .- e 
2m dx 

 2 2bm - i b t d 2
   . ae x . e bmx /  
2m  dx

 2 2bm - i b t  bmx 2 /  2b m 2 bmx 2 /  


   . ae e  x e 
2m    

 2 2bm - i b t  bmx 2 /   2b m 2 
   . ae e  1 x 
2m    

 2 2bm  2b m 2 
   .  1 x  
2m    

 2b m 2 
    b .  1  x  
  
Sekarang persamaan Schrodinger menjadi:
 2b m 2 
b  ( x, t)  b .  1  x  ( x, t) + V(x, t) ( x , t )
  
atau:
 2b m 2 
b  ( x, t)  b .  1  x  ( x, t) + V(x, t) ( x , t )
  
atau:
 2b m 2 
b    b .  1  x  + V(x, t)
  
Bab I/Pers. Schrodinger/ 23

Jadi fungsi energi potensialnya adalah:


 2b m 2 
V(x, t) = b    b .  1  x 
  

= b    b + 2b 2 m x 2

= 2b 2 m x 2

5. Berbeda dengan soal no. 4 yang fungsi gelombangnya merupakan fungsi x dan t, maka
pada soal no. 5 ini fungsi gelombangnya hanya merupakan fungsi x, sehingga untuk
menyelesaikannnya kita gunakan persamaan Schrodinger tak bergantung waktu (Persamaan
5-1)
2
d ( x ) 2m
+ (E  V(x) )  ( x)  0 (5-1)
2 2
dx 
Jika V kita masukkan akan kita peroleh:

d 2 ( x ) 2m
+ (E  2c 2  2 x 2 / m )  ( x ) = 0
dx 2 2
Kita selesaikan suku pertama ruas kiri:

d 2 ( x ) d d 2 d d 2 d 2 2
 .  e c x  .  e c x   e c x  e c x 
dx 2 dx dx dx dx dx

d 2 2 2
   e c x  e c x  e c x 
dx
2
   e c x 
2
   e c x 
2
   e c x 
Dengan demikian persamaan Schrodinger menjadi:
2m
(   2c 2  2 x 2 / m 
2
atau:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 24

2m
  2c 2  2 x 2 / m 
2

2m 2
 2c 2  2 x 2 / m  2c 2  2 x 2 / m  
2 2m

Jadi:

2 2 2 2 2 2
        
m m m m m m

Bab I/Pers. Schrodinger/ 25

BAB II
PARTIKEL DALAM BOX
2.1 Pengantar
Elektron dalam atom dan molekul dapat dibayangkan (meski tidak persis benar) mirip
dengan partikel yang berada dalam box. Dalam kasus ini daerah di dalam box tempat partikel
tersebut bergerak, berpotensial nol, sedang daerah diluar box berpotensial tertentu atau tak
terhingga, jadi box dibayangkan sebagai ruangan dengan dindingnya adalah energi potensial..
Pada perkuliahan Fisika Modern sebelum ini, kita sudah membahas secara elementer mengenai
gerak partikel dalam box ini, sekarang kita akan membahasnya lagi secara lebih mendalam
karena banyak aspek filosofis yang belum kita bahas pada perkuliahan tersebut. Selain itu pada
bab ini kita juga akan membahas, bagaimana fungsi gelombang partikel yang berada di luar box,
dan bagaimana pula fungsi gelombang partikel bebas. Meskipun partikel dalam box yang kita
bicarakan ini sangat tidak realistik tetapi ternyata sebagai pola berfikir, ia banyak memberi
sumbangan untuk memahami fenomena-fenomena yang selama ini belum terjangkau nalar.
Pada uraian mengenai penurunan fungsi gelombang, kita akan membuat penyelesaian
persamaan Schrodinger. Karena persamaan tersebut adalah persamaan differensial orde dua
maka ada baiknya kita pelajari lagi bagian terpenting dari persamaan orde dua yaitu:

Bentuk umum persamaan orde dua adalah:


aY" + b Y' + cY = 0 atau:

d2 d
a 2Y +b Y +cY= 0 (2-1)
dx dx
yang boleh ditulis: aD2Y + bDy + cY = 0 atau:
(aD2 + bD + c)y = 0 (2-2)
dan
aD2 + bD + c = 0 disebut persamaan karakteristik (2-3)
Penyelesaian umum persamaan differensial orde dua (2-1) tersebut
adalah:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 26

D1 x D2 x
Y= A.e + B. e

A dan B adalah sembarang konstanta, sedang D1 dan D2 adalah akar-


akar persamaan karakteristik (2-3)

Contoh:
Tentukan bentuk umum penyelesaian 2Y" + 3Y' + 4Y = 0
Jawab:
Persamaan karakteristiknya : 2D2 + 3D + 4 = 0, akar-akarnya:

 3   21
D1 . 2 = =/ +5 / i 3
4
1
4

4
Jadi Penyelesaiannya adalah:

Y=A. e
3 / 4  51 / 4 i x
+B. e
3 / 4  51 / 4 i x

Hal lain yang perlu diingat ialah bahwa mekanika kuantum melibatkan tidak hanya bilangan real
tetapi juga bilangan komplek, jadi sifat-sifat bilangan komplek harus diingat kembali.

2.2 Partikel Dalam Box Satu Dimensi


Kita akan memperhatikan sebuah partikel yang bergerak dalam box satu dimensi. Yang
dimaksud dengan box satu dimensi adalah penggal garis yang panjangnya a yang terletak pada
sumbu x. Sepanjang sumbu x itu fungsi energi potensialnya tak terhingga kecuali pada
penggalan sepanjang a yang potensialnya 0. Jadi jika partikel berada di dalam box, maka energi
potensialnya adalah nol sedang jika berada di luar box, energi potensialnya tak terhingga.

 

Vx 

I II III
x=0 x=a
Bab I/Pers. Schrodinger/ 27

Gambar 2.1: Fungsi energi Potensial Partikel dalam Box satu Dimensi
Dari gb.2.1 tampak bahwa sumbu x terbagi atas tiga area, yaitu area I ( x < 0), area II (0< x <a)
dan area III ( x >a). Tugas kita adalah menentukan fungsi gelombang partikelnya dan
menentukan energi partikel pada masing-masing daerah tersebut. Untuk ini kita harus
menyelesaikan persamaan Schrodinger bebas waktu atau persamaan (5-1 Bab I)

d 2 ( x ) 2m
2
+ 2
(E  V(x) ) ( x)  0 (2-4)
dx 
Jika partikel berada di luar box (daerah I dan III) , Vx =  , sehingga (EV) =   dan
persamaan (2-4) dapat ditulis:

d 2x
 x (2-5)
dx 2
Jadi:
2
1 d x
x = atau x = 0 (2-6)
 dx 2

Kesimpulan: Jika berada di luar box, partikel tidak bergerak gelombang.


Bagaimanakah jika partikel berada dalam box yaitu daerah II ?
Jika berada dalam box, V = 0 sehingga (2-4) dapat ditulis:
2
d x 2 mE
+ x = 0 (2-7)
2 2
dx 
Persamaan (2-7) di atas adalah persamaan differensial orde dua yang persamaan
karakteristiknya adalah:
2 mE
D2 + 2
=0

Sehingga akar-akar nya adalah:
2 mE
D1.2 = +  2
= + i (2 mE)1/2/ 

Bentuk umum penyelesaian persamaan Schrodinger satu dimensi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 28

1/ 2 1/ 2
i ( 2 mE ) x/   i ( 2 mE ) x/
 = A. e + B .e (2-8)
Agar bentuknya sederhana (2 mE)1/2 x /  ditulis  sehingga (2-8) ditulis:
(x) = A. e i i  (2-9)
Menurut persamaan Euler : ei = cos  + i sin  dan i = cos   i sin sehingga (2-9) dapat
ditulis:
(x) = A( cos  + i sin  ) + B. (cos   i sin 
= A cos  + A i sin  + B. cos   i sin 
= A cos  + B. cos  A i sin   i sin 
= (A + B) cos  (A i  i ) sin 
 (x) = P cos Q sin  (2-10)
dengan P dan Q adalah tetapan sembarang yang baru. Dengan mengembalikan harga  maka (2-
10) dapat ditulis:
 (x) = P cos {(2 mE)1/2 x /  } + Q sin (2 mE)1/2 x /  } (2-11)
Untuk menentukan P dan Q kita gunakan kondisi khusus tertentu. Kita postulatkan bahwa 
adalah kontinum, artinya tidak ada lompatan nilai  jika x kontinum. Ini berarti  diluar box,
nyambung dengan di dalam box ketika  melalui dinding box (pada x = 0 atau x = a).
Padahal  diluar box = 0 dimanapun termasuk di dinding box, jadi  di dalam boxpun harus
bernilai nol ketika melalui dinding. Jadi, di dinding box ketika x = 0, maka  pada (2-11)
adalah nol, jadi:
(x) = P cos {(2 mE)1/2 .0 /  } + Q sin{(2 mE)1/2 .0 /  }= 0
Jadi:
(x) = P cos 0 + Q sin 0 = 0
P + 0 = 0 jadi P = 0
Kalau P = 0, maka Q tidak mungkin 0 karena sin 0 sudah pasti 0 dan (2-11) menjadi:
(x) = Q sin (2 mE)1/2 x /  (2-12)
Untuk menentukan harga P, kita gunakan x = a. Pada kondisi ini  juga harus = 0. Jadi:
Q sin (2 mE)1/2 a /  = 0
Karena Q pasti tidak nol, maka:
sin (2 mE)1/2 a /  = 0 sehingga
Bab I/Pers. Schrodinger/ 29

(2 mE)1/2 a /  = + n  (2-13)
Jika kedua ruas dikuadratkan, maka:

2mE a2 /  2 = n22
Dari sini kita peroleh:

 2 2 h2
E = n2 = n2 n = 1, 2, .... (2-14)
2m a 2 8m a 2
Mengapa harga n tidak dimulai dari nol ? Jika n = 0 diijinkan berarti pada keadaan itu E = 0. E
= 0 tidak mungkin, karena dengan demikian hanya terjadi jika partikel tidak bergerak. Untuk
partikel yang bergerak E = 0 tidak diijinkan, jadi n = 0 juga tidak diijinkan.
Jika E pada (2-14) kita masukkan pada (2-12), kita peroleh:

n
 = Q sin x (2-15)
a
Untuk memperoleh Q, kita gunakan sifat fungsi ternormalisasi, yaitu bahwa fungsi normal,
harga total peluangnya = 1, jadi:
l
2
P( 0 < x < a ) =  dx = 1, jadi:
0

a
2 n x dx =
Q2  sin a
1
0

Jadi:

1/ 2
2
Q=  
a
Dengan demikian fungsi gelombang partikel dalam box satu dimensi diperoleh, yaitu:
1/ 2
2 n
(x) =   sin x (2-16)
a a

Grafik Fungsi tersebut adalah:

 n=1 n=2 n=3


Bab I/Pers. Schrodinger/ 30

Gambar 2.2. Grafik fungsi gelombang  Partikel Dalam Box Satu Dimensi

 n=1 n=2 n=3

Gambar 2.3. Grafik  2 Partikel Dalam Box

2.3 Partikel Bebas Satu Dimensi


Sekarang kita akan membahas, bagaimana energi partikel bebas. Yang dimaksud dengan
partikel bebas adalah partikel yang tidak mendapat gaya sama sekali. Karena gaya adalah
turunan energi potensial terhadap koordinat x, berarti energi potensial pada partikel tersebut
bukan fungsi x tetapi hanya konstanta saja artinya berapapun harga x energi potensial partikel
tidak berubah. Besarnya energi potensial untuk partikel bebas disebut zero level energi yang
dengan bebas dapat kita tentukan. Seandainya kita pilih energi potensial V = 0, (Awas zero level
energi belum tentu nol joule) maka persamaan (1-28 Bab I) menjadi:
2
d x 2m
+ Ex = 0
2 2
dx 
Persamaan di atas sama dengan persamaan (2-7), jadi penyelesaiannya:
1/ 2 1/ 2
i ( 2 mE ) x/   i ( 2 mE ) x/
(x) = A. e + B .e (2-17)
Selanjutnya kondisi batas yang bagaimana yang dapat kita gunakan untuk menentukan energi?
Harus kita ketahui, bahwa  harus mempunyai harga tertentu (tidak tak terhingga) berapapun
harga x yang kita pilih, atau bahwa untuk   < x <  harga  adalah terhingga. Atas dasar
hal ini, maka energi partikel bebas paling kecil adalah nol dan tidak mungkin berharga negatif
sebab jika E negatif maka :
1/ 2 1/ 2 1/ 2 1/ 2
i(2 mE) = i( 2 m E ) = i 1(2 m E ) = ( 2 m E )
Bab I/Pers. Schrodinger/ 31

akibatnya suku pertama persamaan (2-17) di atas akan menjadi  jika pada x =   . Hal ini
melanggar ketentuan bahwa berapapun harga x yang kita pilih, harga  harus tidak tak
terhingga. Jadi untuk partikel bebas:
E 0 (2-18)
Berbeda dengan partikel tak bebas yang energinya terkuantiasi (= diskrit = hanya mempunyai
harga tertentu saja), maka partikel bebas dapat mempunyai sembarang harga (kontinum) asal
tidak negatif.
Hal penting lain adalah bahwa fungsi gelombang partikel bebas tidak dapat

dinormalisasikan karena   *  dx tidak mungkin = 1, padahal syarat ternormalisasi adalah


  *  dx = 1.

2.4 Partikel Dalam box satu Dimensi (Lanjutan)


Pada pasal 2.2 bab ini kita membicarakan partikel dalam box satu dimensi berenergi
potensial nol yang dibatasi oleh dinding energi potensial yang besarnya  . Yang akan kita
bicarakan sekarang adalah partikel dalam box satu dimensi berenergi potensial nol yang dibatasi
oleh dinding energi potensial yang besarnya tertentu yaitu V0. yang dikenal dengan istilah
partikel dalam box (kotak) rektangular satu dimensi atau one dimension rectangular well.
Perhatikan gambar 2.4. Energi potensial partikel adalah V = V0 untuk x < 0 (daerah I); V
= 0 untuk 0 < x <a (daerah II) dan V = V0 untuk x >a (daerah III).
Persamaan Schrodinger untuk daerah I dan III adalah:

d 2 ( x ) 2m
+ (E  V0 ) ( x )  0
dx 2 2
sehingga penyelesaiannya adalah:
 2 m( V0  E )1/ 2 x /   2 m( V0  E )
1/ 2
x/ 
 (x) = A. e + B .e
Sekedar membedakan antara penyelesaian I dan penyelesaian III maka untuk penyelesaian I kita
tulis:
 2 m( V0  E )1/ 2 x /   2 m( V0  E )
1/ 2
x/ 
(x) = C. e + D .e (2-19)
sedang penyelesaian III, kita tulis:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 32

 2 m( V0  E )1/ 2 x /   2 m( E  V0 )
1/ 2
x/ 
(x) = F. e + G .e (2-20)

I II III
Vx

x=0 x=a
(a) (b) (c)

Gambar 2.4: (a) Energi Potensial Untuk partikel dalam one dimension rectangular
well (b) Fungsi gelombang keadaan dasar (ground state) pada potensial
tersebut (c) Fungsi gelombang keadaan eksitasi pertama (first excited
state) pada
potensial tersebut

Bagaimana penyelesaian  untuk daerah II ? . Karena V= 0 untuk daerah II maka penyelesaian


persamaan Schrodingernya adalah sama persis dengan yang sudah kita bicarakan pada pasal 2.2.
Jadi persamaan (2-11) juga merupakan bentuk umum penyelesaian untuk daerah II. Jadi untuk
daerah II:
(x) = P cos {(2 mE)1/2 x /  } + Q sin (2 mE)1/2 x /  } (2-21)
Penuntasan (2-19) dan (2-20), sangat ditentukan oleh besar E dibandingkan V0 .
Penuntasan untuk E < V0 sangat berbeda dengan penuntasan untuk E > V0 (Inilah bedanya
dengan mekanika klasik. Secara klasik, E selalu lebih besar dari pada V sebab E = V + T dengan
T = energi kinetik yang selalu positif).

Bagaimana jika E < Vo ?


Untuk E < V0 maka (V0E)1/2 adalah bilangan real, positif. Dengan demikian nilai 
daerah I akan  jika x =   . Padahal  harus terhingga untuk sembarang harga x. Untuk
menghindari hal ini maka D harus nol. Jika D = 0, maka untuk x =  harga  = 0 dan ini
Bab I/Pers. Schrodinger/ 33

diijinkan. Analog dengan itu, pada Y daerah III, F juga harus nol, sehingga persamaan (2-19)
dan (2-20) berturut-turut menjadi:
 2 m( V0  E )1/ 2 x / 
 (x)= C. e (2-21)
 2 m( E  V0 )
1/ 2
x/ 
(x) = G . e (2-22)
Untuk memperoleh harga C, maka kita terapkan kondisi batas, bahwa di x = 0, nilai  daerah I
=  daerah II, sedang untuk mencari F kita terapkan bahwa di x =a, nilai  daerah II = dengan
 daerah III. Jadi:
I =  II ( x = 0) (2-23)
II = III (x =a) (2-24)
Ada 4 konstanta yang harus ditentukan yaitu C untuk I, G untuk III serta P dan Q untuk II.
Jadi hanya dengan (2-23) dan (2-24)saja, tidak mungkin kita menentukan 4 tetapan. Untuk itu
kita gunakan:
dI/dx = dII/dx ( x = 0) (2-25)
dII/dx = dIII/dx (x =a) (2-26)
1/ 2
 V0  E 
Dari (2-23) kita peroleh C = P. Dari (2-25) kita peroleh Q =   . P . Dari (2-24) kita
 E 

peroleh G yang dinyatakan dalam P. Selanjutnya P dihitung dengan normalisasi. Jika P, Q, C


dan G sudah diperoleh maka  untuk masing-masing daerah dapat ditentukan dan baik di dalam
kotak maupun di luar kotak harga   0. Itu artinya betapapun kecilnya ada kemungkinan
menjumpai partikel di luar kotak jika dinding kotak berpotensial tidak tak terhingga.
Bagaimana Jika E > V0
Untuk membahas ini marilah kita tulis kembali (2-19) dan (2-20):
 2 m( V0  E )1/ 2 x /   2 m( V0  E )
1/ 2
x/
(x) = C. e + D .e (2-19)
 2 m( V0  E )1/ 2 x /   2 m( E  V0 )
1/ 2
x/ 
(x) = F. e + G .e (2-20)
Jika E > V0 maka (V0E) negatif sehingga (V0E)1/2 imajiner, akibatnya:

2mV 0  E
1/ 2
 = i 2m V 0  E
1/ 2 

(x) = C. e

i 2 m ( V0  E ) 1/ 2 x /  + D . e  i2 m ( V0  E) 1/ 2 x /  (2-27)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 34

(x) = F. e

i 2 m ( V0  E ) 1/ 2 x /  + G . e  i2 m ( V0  E ) 1/ 2 x/  (2-28)
Ternyata bentuk persamaan (2-27) dan (2-28) ini identik dengan persamaan (2-17) yaitu fungsi
gelombang partikel bebas. Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk energi potensial V0 yang
terhingga dan E > V0 ternyata partikel dalam keadaan bebas dan kondisi ini disebut unbound
state. Dengan logika sebaliknya maka untuk E < V0 kondisinya disebut bound state.
Studi yang detail menunjukkan bahwa banyaknya bound state energi level dinyatakan
dengan persamaan:

N 
8mVo 1 / 2. a
h
dengan m adalah massa partikel, Vo adalah energi potensial a adalah panjang box dan h adalah
tetapan Planck

2.5 Efek Terobosan (Tunnel Effect)


Untuk partikel dalam rectangular well (pasal 2.4), gambar 2-5 dan persamaan untuk I dan
III yaitu persamaan (2-21) dan (2-22) menunjukkan bahwa pada kondisi bound state (yaitu
jika energi partikel lebih kecil dari pada energi potensialnya yaitu V0 yang tidak tak terhingga)
peluang mendapatkan partikel di daerah I dan III adalah tidak nol. Sifat seperti ini ditolak oleh
logika klasik karena kondisi E < V ini sangat mustahil mengingat menurut logika klasik E = T +
V dengan T adalah energi kinetik yang selalu positif.
Sekarang, marilah kita perhatikan partikel yang berada dalam box satu dimensi dengan
tinggi dan ketebalan dinding tertentu. (Gambar 2.5). Secara klasik, partikel tidak mungkin dapat
menerobos dinding box manakala energi partikel itu tidak melebihi energi potensial dinding
yang besarnya V0 itu. Namun mekanika kuantum menunjukkan bahwa ada peluang yang
besarnya tertentu bagi sebuah partikel yang eneginya < V0 yang dijumpai berada di luar box.
Pengertian terobosan (tunelling) merupakan penetrasi partikel terhadap daerah yang
secara klasik merupakan daerah terlarang (forbidden region), atau lewatnya partikel melalui
penghalang energi potensial yang besarnya lebih dari energinya. Karena tunneling adalah efek
mekanika kuantum, maka kejadiannya adalah pada partikel-partikel kecil. Makin kecil massa
partikel, makin mudah ia melakukan terobosan. Terobosan elektron adalah yang paling besar
kemungkinannya. Terobosan hidrogen lebih mungkin dari pada atom-atom lain.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 35

Emisi partikel dari inti radioaktif merupakan efek tunneling yang dimiliki oleh partikel
alfa menembus potensial penghalang yang ditimbulkan oleh gaya akibat interaksi antar partikel
inti. Mengapa molekul NH3 berbentuk piramid dan tidak planar sedang BF3 berbentuk planar
dapat dijelaskan melalui pemahaman terhadap efek ini. Ada sejumlah energi potensial yang
menghalangi konversi dari bentuk planar ke piramidal. Atom H nya amoniak (karena massanya
kecil dapat menembus potensial penghalang itu sehingga H tidak berada sebidang dengan N
sementara itu atom F yang ukurannya besar tidak mampu menembus potensial penghalang. Efek
terobosan elektron memberi sumbangan yang signifikan untuk menjelaskan terjadinya reaksi
oksidasi reduksi pada proses elektroda. Efek ini juga memberikan sumbangan pada penentuan
laju reaksi kimia yang melibatkan hidrogen. (R.P.Bell, 1990)

V0

x
Gambar 2.5: Energi Potensial partikel dalam box satu dimensi
dengan ketinggian dan ketebalan tertentu.
Mikroskop jenis tertentu (disebut The scanning tunneling microscope yang ditemukan
pada 1981) memanfaatkan sifat terobosan elektron melalui ruang antara kumparan kawat logam
dengan permukaan padatan yang dapat menghantarkan arus listrik untuk menghasilkan image
atau gambaran masing-masing atom pada permukaan logam.

Soal-Soal Bab 2
1. Selesaikan Persamaan y'' + y'  2y = 0 dengan kondisi batas untuk x = 0, y = 0 dan untuk x =
0, y' = 1
2. Sebuah obyek makroskopik massanya 1 gram melintas dengan kecepatan 1 cm/s dalam kotak
satu dimensi yang panjangnya 1 cm. Tentukan bilangan kuantum n.
3. Elektron dalam atom atau molekul dapat secara ekstrim dipandang sebagai partikel dalam
box satu dimensi yang panjang boxnya mempunyai order ukuran atom atau molekul.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 36

a) Untuk elektron yang berada dalam box yang panjangnya 1 Ao hitunglah selisih dua energi
level terendah
b) Hitunglah panjang gelombang foton yang setara dengan transisi kedua level energi
tersebut.
4. Ketika sebuah partikel yang massanya 9,1 x 1028 gram berada dalam box satu dimensi
mengalami transisi dari n = 5 ke n = 2, ia mengemisi foton dengan frekuensi 6,0 x 1014 s1.
Tentukan panjang box.
5. Ketika sebuah elektron yang berada pada energi level tertentu mengalami transisi ke level
dasar dalam sebuah box satu dimensi yang panjangnya 2 Ao , ia mengemisi foton yang
panjang gelombangnya 8,79 x 109 m. Tentukan dari energi level ke berapa elektron tersebut
berasal ?
6. Elektron pi dalam molekul terkonjugasi, misal 1, 3 butadiena, dapat dipandang sebagai
elektron yang bergerak dalam kotak satu dimensi yang panjang sama dengan panjang
molekulnya. Dengan menggunakan aturan Pauli yang mengijinkan satu energi level dihuni
oleh sepasang elektron yang spinnya berlawanan, tentukan panjang gelombang foton yang
diserap jika elektron pi yang berada pada energi level tertinggi berpindah ke energi level
terendah yang kosong. (Panjang molekul = 10 Angstroom)
7. Tulis fungsi gelombang partikel bebas satu dimensi bergantung waktu.
8. Buatlah sket  untuk n = 3, 4 dan 5
9. Sebuah elektron yang berada pada box satu dimensi dengan energi potensial 15 eV. Jika
panjang box 2 Angstroom, berapakah banyaknya bound state yang diijinkan ?
10. Jawablah betul atau salah pernyataan-pernyataan berikut:
a) Partikel yang berada dalam box satu dimensi dengan energi level dasar (Ground State
Energy Level, mempunyai bilangan kuantum n = 0
b) Fungsi gelombang stasioner dari sebuah partikel dalam kotak adalah diskontinus pada titik
tertentu.
c) Turunan pertama dari fungsi gelombang stasioner dari sebuah partikel dalam kotak adalah
diskontinus pada titik tertentu.
d) Probabilitas maksimum setiap partikel dalam box selalu terletak di pertengahan
panjangnya box.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 37

e) Untuk partikel dalam box dengan n = 2, probabilitas pada posisi kuarter kiri =
probabilitas di kuarter kanan.

BAB III
OPERATOR
3.1 Pengertian Operator Dan Sifat-sifatnya
Sekarang kita akan mempelajari mekanika kuantum dalam tampilan yang lebih umum
dari pada sebelumnya. Kita mulai dengan memperhatikan persamaan Schrodinger satu dimensi
bebas waktu yaitu:

 2 d2 
 + V(x)   ( x)  E( x) (3-1)
 2m dx 2 

Suku-suku yang berada di dalam kurung tersebut adalah operator.


Operator adalah lambang matematika, yang memberi isyarat untuk mengubah suatu

fungsi menjadi fungsi lain sesuai dengan operator yang dioperasikan. Contoh D adalah operator
diferensial yang tugasnya menurunkan suatu fungsi terhadap variabel/koordinat x. Kita

menggunakan tanda sirkumpleks untuk menandai suatu operator. Pengoperasian D terhadap
  
f(x) adalah D f(x) = f ' (x). Sebagai contoh D ( 2x2 + 5x + 6) = 4x + 5. Jika dijumpai 3 , ini

adalah operator yang melipat tigakan suatu fungsi sehingga 3 (x2 + 5 e2x) = 3x2 + 15 e2x . Selain
itu masih ada operator-operator lain seperti operator akar, logaritma, operator trigonometri dan
lain-lain yang tugasnya mengubah suatu fungsi menjadi fungsi lain, Secara umum jika operatot
 
A mengubah f (x) menjadi fungsi g (x), maka kita tulis A f (x) = g (x).
 
Jumlah dan selisih dua buah operator A dan B didefinisikan oleh persamaan berikut:

  
  
A  B f ( x )  Af ( x )  Bf ( x )
(3-2)
  
  
A  B f ( x)  Af ( x)  Bf ( x)
 
Perkalian dua buah operator A dan B didefinisikan oleh persamaan berikut:
   
A . B f (x) = A [ B f (x) ] (3-3)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 38

Dengan merujuk pada (3-3) berarti, yang beroperasi lebih terhadap fungsi adalah operator yang
paling kanan baru kemudian operator yang kiri. Sudah barang tentu jika kita jumpai penulisan:
   
B . A f(x) maka yang dioperasikan dulu harus A baru kemudian B . Yang perlu dipertanyakan
       
adalah samakah A B f(x) dengan B A f(x). Pada umumnya A . B  B . A . Tetapi untuk
   
kasus-kasus khusus, dapat saja terjadi A . B = B . A . Untuk jelasnya perhatikan contoh berikut:

Contoh 1:
      
Diketahui A = d/dx ; B = 3 sedang f (x) = x2 + 5 . Akan kita selidiki apakah A . B = B . A
jika dioperasikan pada f (x)
Jawab:
   
A . B f (x) = d/dx . 3 ( x2 + 5) = d/dx . [ 3 ( x2 + 5) ] = d/dx ( 3x2 + 15) = 6 x
    
B . A = 3 . d/dx ( x2 + 5) = 3 . [d/dx ( x2 + 5) ] = 3 ( 2x) = 6 x
       
Tampak dari perhitungan tersebut A . B = B . A atau A . B  B . A = 0
Contoh 2:
      
Diketahui A = d/dx ; B = x 2 sedang f (x) = x2 + 5 . Akan kita selidiki apakah A . B = B . A
jika dioperasikan pada f (x)
Jawab:
   
A . B f (x) = d/dx . x 2 ( x2 + 5) = d/dx . [ x 2 ( x2 + 5) ] = d/dx (x4 + 5x2 ) = 4x3 + 10 x
    
B . A = x 2 . d/dx ( x2 + 5) = x 2 . [d/dx ( x2 + 5) ] = x 2 ( 2x) = 2x3
       
Tampak dari perhitungan tersebut A . B  B . A atau A . B  B . A  0

Commutator, Commute dan Non Commute


     
Jika kita mempunyai dua operator misal A dan B maka A . B  B  A disebut commutator
 

 

A dan B dan ditulis A, B . Jadi


 
    
A, B = A . B  B . A (3-4)
 
 
Dua buah commutator disebut commute jika A, B = 0 dan disebut non commute jika

  

A, B  0.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 39

Contoh 3:
 
Diketahui 3 buah operator yaitu operator A = d/dx (supaya praktis d/dx ditulis D) ; operatot B
 
= x dan operator C = 3 . Tentukan:
 
a. Commutekah operator A dan B
 
b. Commutekah operator A dan C
Jawab:
Untuk mengetahui commute tidaknya pasangan operator maka harus dicari dulu commutator
 
   
pasangan tersebut. Untuk soal (a) harus ditentukan dulu commutator A, B . Untuk ini A, B  
dioperasikan terhadap sembarang fungsi gelombang misal fungsi F.

a.  A, B  F = A.B  B.A  F


   
= A . B F  B . A F = D. x F  x . DF
= F + x DF  x DF = F

Jadi   
  
A, B = 1  A dan B non commute.

b.  A, C  F = A.C  C.A  F


   
= A.C F  C . A F = D . 3 F  3 D F
 
=3 DF  3 D F = 0  pasangan A DAN C commute
Contoh 4:
Tentukan harga kuadrat dari ( d/dx + x ).
Jawab:
Untuk menentukan ( d/dx + x )2 maka kita operasikan operator tersebut pada sembarang fungsi
F, dan supaya praktis d/dx ditulis D.
( D + x )2 F = ( D + x ) ( D + x ) F = ( D + x ) ( D F + x F )
= D2F + D x F + x D F + x2 F
= D2F + F Dx + x DF + x DF + x2
= D2F + F + 2 x DF + x2 F
Bab I/Pers. Schrodinger/ 40

= ( D2 + 2 x D + x 2 + 1 ) F
Jadi: ( D + x )2 = ( D2 + 2 x D + x2 + 1 )
Catatan:
Dari contoh di atas tampak bahwa kuadrat jumlah operator tidak sama dengan kuadrat jumlah
pada operasi aljabar.

3.2 Fungsi Eigen dan Nilai Eigen



Jika operator A mengubah fungsi f(x) menjadi fungsi baru yang merupakan kelipatan k
kali fungsi asalnya sehingga terdapat hubungan:

A f(x) = k .f(x) (3-5)

dengan k adalah konstanta, maka f(x) disebut fungsi eigen dari operator 
A sedang k disebut

nilai eigen.
Contoh 5 :
Diketahui operator d/dx dan dua buah fungsi yaitu F(x) = sin 3x dan fungsi G(x) = A e3x.
Tentukan fungsi yang mana yang eigen terhadap operator d/dx ?
Jawab:
Kita selidiki dulu:
d/dx F(x) = d/dx (sin 3 x ) = 3 cos 3x
F(x) bukan fungsi eigen dari d/dx sebab fungsi hasilnya yaitu 3 cos 3 x tidak merupakan
kelipatan fungsi asalnya yaitu sin 3x.
Selanjutnya kita selidiki operasi d/dx terhadap G(x):
d/dx G(x) = d/dx (A e3 x ) = 3 A e3 x = 3 G(x)
Karena hasil operasi merupakan kelipatan fungsi asalnya, maka G(x) merupakan fungsi eigen
terhadap operator d/dx dengan nilai eigen = 3.
Contoh 6:

Diketahui bahwa F(x) adalah fungsi eigen dari operator A dengan nilai eigen = c. Buktikan

bahwa fungsi cF(x) juga eigen terhadap operator A dengan nilai eigen yang sama.
Jawab :
Bab I/Pers. Schrodinger/ 41

Dari pernyataan bahwa F(x) adalah fungsi eigen dari operator 


A dengan nilai eigen = c maka

dapat ditulis:
 F(x) = c F(x)
A

Selanjutnya kita selidiki 


A cF(x):

 c F(x) =c 
A A F(x) = c . c F(x)  terbukti

3.3 Operator Mekanika kuantum


Beberapa jenis operator mekanika kuantum telah kita kenal di bab I, antara lain operator
 
Hamilton atau operator energi yaitu H dan operator energi kinetik yaitu T . Menurut
persamaan (1-25) dan (1-26) bab I:

 2 d2
H = +V
2m dx 2

 2 d2
T =
2m dx 2

Secara lehih umum d2/dx2 biasa ditulis  2 sehingga :

 2 2
H =  +V (3-6)
2m

 2 2
T =  (3-7)
2m

Bagaimana ekspresi operator energi potensial dalam mekanika kuantum ? Ekspresi energi
potensial dalam mekanika kuantum tidak berbeda dengan ekspresinya dalam mekanika klasik,
karena energi potensial hanya merupakan fungsi koordinat dan sama sekali tidak berhubungan
dengan harga momentum, sehingga energi potensial tidak dipengaruhi oleh prinsip
ketidakpastian Heissenberg. Hanya besaran-besaran yang dipengaruhi oleh prinsip
ketidakpastian saja yang membutuhkan operator mekanika kuantum.
Selain dua jenis operator mekanika kuantum yang sudah kita kenal tersebut kita akan
membahas operator momentum linear satu dimensi yaitu px . Dalam mekanika klasik kita tahu
Bab I/Pers. Schrodinger/ 42

bahwa px = m vx dengan m adalah massa partikel dan vx kecepatan dalam arah x. Hubungan
antara energi kinetik T dengan px dalam mekanika klasik adalah:

p 2x
T= atau:
2m

px = 2mT (3-8)

Jika kita masukkan T pada (3-7) menggantikan T pada (3-8) maka kita peroleh operator
momentum linear satu dimensi yaitu:
 d
px =  i  (3-9)
dx

Analog dengan (3-9) maka:


 d
py =  i  (3-10)
dy

 d
pz =  i  (3-11)
dz

Untuk Apakah Operator-operator Kuantum itu ?


Dalam bab I telah kita bahas bahwa fungsi gelombang  dapat memberikan informasi
mengenai gerak partikel yang diwakilinya. Bagaimana cara mendapatkannya ? Jika kita ingin
mendapatkan informasi mengenai momentum, maka kita operasikan operator momentum
terhadap ,. Jika ternyata  merupakan fungsi eigen bagi operator momentum, maka nilai
eigennya adalah momentum yang kita cari. Jika kita butuh harga energi kinetik, maka kita
operasikan operator energi kinetik terhadap . Jika  ternyata merupakan fungsi eigen terhadap
operator energi kinetik maka nilai eigennya adalah energi kinetik yang kita cari. Masalahnya
adalah, bagaimana jika  tidak merupakan fungsi eigen bagi operator tertentu ? Untuk ini maka
informasi mengenai suatu besaran, dapat dicari dengan menghitung harga rata-ratanya.

Dipostulatkan bahwa jika Operator p x adalah operator yang berhubungan dengan besaran b,

maka rata-rata harga b dinyatakan oleh:



<b>=   * B  d (3-11)
all space
Bab I/Pers. Schrodinger/ 43

dengan * adalah konjugate dari . Untuk fungsi real * =  sedang untuk fungsi kompleks,
* adalah  yang i-nya diganti i.
Contoh 1: Dengan menggunakan fungsi gelombang partikel dalam kotak satu dimensi,
tentukan:
a) harga px

b) harga rata-rata p 2x

c) harga energi kinetik partikel

3.4 Persamaan Schrodinger 3 Dimensi Untuk Banyak Partikel


Telah kita kenal bahwa Persamaan Schrodinger Bebas Waktu 3 dimensi untuk sebuah partikel
adalah:

2 2
   + V  = E        (3-12)
2m

2 2
  + V disebut operator Hamilton 
H , jadi:
2m

 2 2
H =   +V (3-13)
2m

dengan  2 adalah operator Laplace, yang dalam koordinat rektangular adalah:

2 2 2
2 = + + (3-14)
 2  2y  2

sedang dalam koordinat polar adalah:

1   1   1 2
2 = r2 + sin  + (3-15)
r 2 r r r 2 sin    r 2 sin 2   2

Suku pertama ruas kanan persamaan Hamilton (3-14) disebut operator energi kinetik, yaitu:

 2 2
T =   (3-16)
2m
Persamaan Schrodinger yang kita bahas sampai saat ini adalah manakala sistemnya
terdiri atas sebuah partikel. Sekarang kita akan membahas sistem yang terdiri atas n partikel.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 44

Kita misalkan partikel ke i mempunyai massa mi dan koordinat x i , yi , zi  dengan i = 1, 2, 3, .

. . . n. Energi kinetik sistem adalah total dari energi kinetik masing-masing partikel, jadi:

 2 2 2 2 2 2 2 2
T =  1  2  3 . . . . .  n (3-17)
2m1 2m 2 2 m3 2m n

atau:

 n 2
T=  2 (3-18)
2m i
i 1 i

Selanjutnya kita amati fungsi energi potensialnya. Kita tahu untuk 1 buah partikel 1 dimensi, energi
potensialnya hanya ditentukan oleh koordinat x, jadi:
V = V(x)
Untuk 1 partikel dalam 3 dimensi, energi potensial ditentukan oleh masing-masing sebuah
koordinat x, y dan z, jadi:
V = V ( x, y, z)
Jika sistem terdiri atas n partikel dalam 3 dimensi, maka energi potensialnya tentu ditentukan
oleh 3n koordinat, yaitu:
V = V( x1, y1, z1 , x2 , y2 , z2 . . . . . . xn , yn zn ) (3-19)

Dengan demikian operator Hamilton untuk n partikel dalam 3 dimensi adalah:


n 2
 = 
H  2m i2 + V (x1 . . . . zn ) (3-20)
i 1 i

Selanjutnya persamaan Schrodinger untuk sistem n partikel dalam 3 dimensi adalah:

 n 2 
  i2  V (x1 . . . . . . z n )   = E     (3-21)
 i 1 2mi 

dengan  adalah fungsi gelombang bebas waktu n partikel dalam 3 dimensi, jadi:
 =  (x1 . . . . . . . . . . . . . . . zn ) (3-22)
Sebagai contoh, untuk dua partikel yang koordinatnya (x1, y1 , z1 ) dan (x2 , y2 ,z2) sehingga
jaraknya adalah { (x1 – x2 )2 + (y1 – y2 )2 + (z1 – z2 )2 }1/2, maka energi potensialnya (berbanding
Bab I/Pers. Schrodinger/ 45

c
terbalik dengan jaraknya) adalah V = , jadi persamaan
 x1  x 22  y1  y 2 2  z1  z 2 2 
1/ 2

Schrodinger bebas waktunya adalah:

 2  2 2 2  2  2 
            2 2 
     
 2m1  x 2 y 2 z 2  2m  2
2 x 2 2
  1 1 1   2 y 2 z 2 

 
c
     =E (3-23)


 x1  x 2  y1  y 2   z1  z 2 
2 2 2 1

/ 2 


 =  (x1 , y1 , z1 , x2 , y2 , z2 )
Selanjutnya bagaimana ekspresi terhadap probabilitas kerapatannya ? Dipostulatkan oleh Bohr,
untuk sistem 1 partikel dalam 1 dimensi, probabilitasnya adalah:
2
 ( x, t ) dx (3-24)

Untuk sistem 1 partikel dalam 3 dimensi, probabilitasnya adalah:


2
 ( x, y, z, t ) dx dy dz (3-25)

Untuk sistem n partikel dalam 3 dimensi, probabilitasnya adalah:


2
 ( x1 , y1 , z1 , x 2 . . . . . z n , t ) dx1 dy1 dz1 dx 2 . . . . . . . dz n (3-26)

Sedang kondisi normalisasinya adalah:


  
2
 .......    ( x1 , y1 , z1 , x 2 . . . . . z n , t ) dx1 dy1 dz1 dx 2 . . . . . . . dz n = 1 (3-27)
  

Dalam mekanika kuantum, (3-26) biasa ditulis:


2
 d (3-28)

Sedang (3-27) biasa ditulis:

2
 d = 1 (3-29)

Catatan:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 46

Penulisan fungsi gelombang dengan psi kapital , berarti fungsi koordinat dan waktu,
sedang jika ditulis dengan psi huruf kecil atau , berarti fungsi gelombangnya hanya fungsi
koordinat saja dan tidak bergantung waktu.
Hubungan antara  dan  adalah:

 = e iEt /   (3-30)
Fungsi gelombang disebut fungsi stasioner, jika:
= (3-31)

3. 5 Partikel Dalam Kotak 3 Dimensi


Fungsi Gelombang Partikel Dalam Kotak Tiga Dimensi
Dalam bab II kita telah menurunkan fungsi gelombang sebuah partikel dalam satu
dimensi yang panjang kotaknya a dengan energi potensial dalam kotak = 0, yaitu:
1/2
2 n
(x) =   sin x
a a

dengan (x) adalah fungsi gelombang untuk arah x. Analog dengan ini maka untuk arah y dan
arah z yang panjang kotaknya berturut-turut adalah b dan c, fungsi gelombangnya adalah:
1/2
2 n
(y) =   sin y
b b

1/2
2 n
(z) =   sin z
c c

Sekarang dengan mudah kita dapat membuat fungsi gelombangnya dalam tiga dimensi, yaitu:
1/ 2 n  n  n 
 8 
` (x , y , z) =   sin x sin y sin z (3-32)
 abc  a b c

dengan n = 0, 1, 2 ....... dan seterusnya. Karena n untuk arah masing-masing tidak harus sama,
maka persamaan (3-32) sebaiknya ditulis:
1/ 2 n y
 8  n  n 
` (x , y , z) =   sin z x sin y sin z z (3-33)
 abc  a b c

Jika kotaknya berbentuk kubus, jadi a = b = c, maka persamaan (3-33) dapat ditulis:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 47

3/ 2 n y
2 n  n 
` (x , y , z) =   sin z x sin y sin z z (3-34)
a a a a

Energi Partikel Dalam Kotak Tiga Dimensi dan Pengertian Degeneracy


Untuk menentukan energi Partikel Dalam Kotak Tiga Dimensi maka yang perlu kita lakukan
adalah memasukkan (x , y , z) ke dalam persamaan Schrodinger bebas waktu. Dengan
memasukkan V = 0 akan kita peroleh:

 2 
h 2  n 2x n y n 2z 
E=   (3-35)
8m  a 2 b 2 c 2 
 

Jika kotak berbentuk kubus, jadi a = b = c, maka, persamaan (3-35) boleh ditulis:

E=
h2
8ma 2
n 2x  n 2y  n 2z  (3-36)

Terdapat kebiasaan orang menyatakan nx , ny dan nz sebagai indek  untuk mengetahui state
dari fungsi gelombang yang bersangkutan. Sebagai contoh:
Jika nx = 1 ; ny = 1 dan nz = 1, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk
kubus)

h2
111 dengan energi E = .3
8ma 2

Jika nx = 2 ; ny = 1 dan nz = 1, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk


kubus)

h2
211 dengan energi E = . 6
8ma 2

Jika nx = 1 ; ny = 2 dan nz = 1, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk


kubus)

h2
121 dengan energi E = .6
8ma 2

Jika nx = 1 ; ny = 1 dan nz = 2, maka fungsi gelombang dan energinya (kotaknya berbentuk


kubus)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 48

h2
112 dengan energi E = .6
8ma 2

dan seterusnya sehingga kita dapat membuat tabel energi sebagai berikut:

Fungsi Gelombang Energi Fungsi Gelombang Energi

111  222 


211 6 Eo 123 
121 6 Eo 132 14 Eo
112  213 14 Eo
221 9 Eo 231 14 Eo
122 9 Eo  14 Eo
212 9 Eo  14 Eo
113  dan seterusnya
311 11 Eo 
131 11 Eo

Catatan:
Dalam rangka kepraktisan maka dalam membuat tabel tersebut yang dimaksud dengan
Eo adalah h2/8ma2
Dari tabel di atas tampak bahwa ada fungsi-fungsi gelombang berbeda yang energinya
sama. Contoh yang energi levelnya 6 Eo ada 3 fungsi yaitu 112 , dan211 . Energi level 9
Eo dan 11 Eo juga dimiliki oleh 3 fungsi gelombang, sedang energi level 14 E0 terdiri atas 6
fungsi gelombang. Beberapa fungsi gelombang berbeda tetapi energinya sama disebut
degenerate. Sedang banyaknya fungsi gelombang untuk energi level tertentu disebut tingkat
degenerasi. Jadi tingkat degenerasi untuk energi level 6 Eo adalah 3 dan disebut three fold
degeneracy. Jika tingkat degenerasinya = 6 seperti pada energi level 14 Eo maka ia disebut six
fold degeneracy.

3.6 Kombinasi linear Fungsi-Fungsi Degeneracy dan Himpunan Linearly Independent


Bab I/Pers. Schrodinger/ 49

Marilah kita bahas, teorema yang berhubungan dengan fungsi-fungsi dari n fold
degenarate energy level. Teoremanya adalah sebagai berikut:

Jika terdapat n buah fungsi gelombang yang saling independen yaitu 1, 2 . . . . . . . . .n
yang mempunyai energi yang sama yaitu misal W. sehingga berlaku:
  
H 1 = W 1 ; H 2 = W 2 ; . . . . . . H n = W n (3-37)
maka sembarang kombinasi linear dari fungsi-fungsi tersebut juga mempunyai energi
level W.

Teorema di atas akan kita buktikan. Jika kita mempunyai n buah fungsi gelombang yaitu 1, 2
. . . . . . . . .n dan kombinasi linear dari fungsi-fungsi tersebut kita sebut , maka hubungan
antara 
dengan 1, 2 . . . . . . . . .n adalah:
 = c11 + c22 + . . . . . . . . .cnn (3-38)
Kita harus membuktikan bahwa energi level  juga W yang dalam bahasa mekanika kuantum

kita harus membuktikan bahwa H  = W .
Bukti:
 
H  = H (c11 + c22 + . . . . . . . . .cnn )
  
= H c11 + H c22 + . . . . . . . . . H cnn
  
= c1 H 1 + c2 H 2 + . . . . . . . . . cn H n
= c1 W1 + c2 W2 + . . . . . . . . . cn Wn
= W (c11 + c22 + . . . . . . . . .cnn )
= W  (terbukti)
Sebagai contoh, fungsi gelombang stasioner 112 , 121 dan 211 untuk partikel dalam kotak
berbentuk kubus adalah degenerate dengan energi level 6E0 dengan demikian maka kombinasi
linearnya yaitu c1112 + c2121 + c3 211 juga mempunyai energi yang sama yaitu 6Eo. Karena
c1 , c2 dan c3 adalah sembarang bilangan konstan, maka kita dapat membuat kombinasi linear
Bab I/Pers. Schrodinger/ 50

yang tak terhingga banyaknya, yang berasal dari ketiga fungsi gelombang tersebut. Meskipun
kita dapat membuat kombinasi linear yang tak terhingga banyaknya namun secara aktual kita
hanya tertarik pada kombinasi fungsi eigen yang linearly independent. Suatu himpunan n fungsi
f1, f2 . . . . fn adalah linearly independent jika c1. f1 + c2 f2 . . . . . + cn fn = 0 hanya dapat
dipenuhi manakala c1 = c2 = . . . . cn = 0. Dengan perkataan lain himpunan fungsi akan linearly
independent jika tidak ada salah satu fungsipun dari himpunan tersebut yang merupakan
kombinasi linear dari fungsi yang lain.

Contoh: Suatu himpunan fungsi terdiri atas f1 = 3x ; f2 = 5x2x dan f3 = x2 adalah bukan
linearly independent karena c1 f1 + c2 f2 + c3 f3 = 0 dapat dipenuhi oleh c1 = 1/3; c2 = 1 dan
c3 = 5. Padahal disebut linearly independen jika c1 = c2 = c3 = 0.

3.7 Persyaratan-persyaratan fungsi gelombang dalam Mekanika Kuantum


Fungsi gelombang pada dasarnya adalah fungsi matematik, tetapi harus diingat bahwa
tidak semua fungsi matematik adalah fungsi gelombang. Salah satu syarat yang harus dipenuhi
oleh fungsi gelombang adalah kontinus. Berikut ini akan kita bahas persyaratan-persyaratan
yang lain.

Bagi partikel yang berada dalam bound system, maka * d adalah probabilitas, yang

untuk mengevaluasinya kita harus mengintegralkan. Oleh karena itu harga   *  d harus

eksis (dapat dihitung). Jika integral tersebut eksis, maka dikatakan bahwa  adalah
quadratically integrable, dan ini merupakan syarat yang kedua bagi fungsi gelombang partikel
dalam bound system. Dengan logika terbalik, maka dapat dinyatakan fungsi gelombang yang
tidak quadratically integrable adalah fungsi gelombang untuk partikel dalam unbound system
atau pada partikel bebas.

Kita telah tahu bahwa * adalah probabilitas kerapatan partikel, karenanya ia harus
bernilai tunggal (singled valued). Akan sangat membingungkan jika diperoleh dua harga
berbeda dalam perhitungan probabilitas menjumpai partikel pada titik tertentu. Karena *
harus bernilai tunggal, maka sebagai syarat ketiga fungsi  harus bernilai tinggal.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 51

Sebagai tambahan, biasanya juga disyaratkan bahwa selain  harus kontinus, turunan-
turunannya juga harus kontinus.
Fungsi gelombang yang memenuhi persyaratan ini disebut well behaved. Jadi suatu
fungsi disebut well behaved jika (1) kurvanya dan kurva turunannya kontinus, (2) bersifat
quadratically integrable dan (3) bernilai tunggal.












Soal-Soal Bab 3:

1. Jika g = 
A f, tentukanlah g jika:

a)  2
A = d/dx dan f = cos (x + 1) b)  
A = 5 dan f = sin x

c) 
A
= ( )2 dan f = sin x d) 
A
= exp dan f = ln x

e)  2 2
A = d / dx dan f = ln 3x

2. Nyatakanlah entitas berikut, termasuk fungsi atau operator ?

a) 
A f(x) b)  
B A f(x) c) 
AB
 d) f(x) 
A e) [  
A , B] f) f(x)  
A B g(x)

3) Jika    2
D = d/dx buktikan bahwa ( D + x ) ( D  x ) = D  x  1
2

4) a. Buktikan bahwa untuk sembarang operator berlaku ( 


A
+  2   2
B) = ( B + A ) .
Bab I/Pers. Schrodinger/ 52

b. Kapan (   2 2   2
A + B) = A + 2 A B + B ?

5) Apakah artinya, jika sebuah operator berpangkat nol ?

6) Buktikanlah commutator identitas [    


A , B] =  [ B , A ]

7) Tentukanlah:
a) [ sin z , d/dz ] b) [d2/dx2 , ax2 + bx + c ] c) [d/dx , d2/dx2 ]
8. Manakah di antara fungsi-fungsi berikut yang merupakan fungsi-eigen dari d2/dx2 ?
a) ex b) x2 c) sin x d) 3 cos x e) sin x + cos x
Tentukan nilai eigennya, jika fungsinya adalah fungsi eigen.
9. Tentukan operator momentum untuk besaran fisik berikut:

a) p 3x b) x py  y px c) (x py  y px)2

10. Evaluasilah commutator berikut:

a) [ x , p x ] b) [ x , p 2x ] c) ) [ x , p y ] d) ) [ x ,  
H ] dengan H adalah

operator Hamilton; e) ) [ x y  2
z , px ]

11. Sebuah elektron berada dalam kotak tiga dimensi dengan a = 1 nm , b = 2 nm dan c = 5 nm.
Tentukan berapa probabilitasnya agar pada pengukuran posisinya akan dijumpai elektron
pada batas-batas 0 < x < 0,4 nm ; 1,5 nm < y < 2 nm dan 0 < z < 5 nm ?
12. Apakah fungsi gelombang partikel dalam kotak tiga dimensi, merupakan fungsi eigen
terhadap operator-operator berikut:

a) p x b) p 2x c) p 2z d) x

13. Jika  tak ternormalisasi, dan A adalah suatu bilangan konstan yang membuat A menjadi
ternormalisasi, maka tentukan A dinyatakan dalam . (Catatan: A disebut faktor normalisasi)
14. Dalam mekanika kuantum istilah state tidak sama dengan istilah energi level. Untuk partikel
dalam kotak berbentuk kubus tentukan ada berapa state dan ada berapa energi level yang
terletak pada rentang E < 15 h2/8ma2 ?
15. Jika h2/8ma2 disebut Eo, tentukan berapa tingkat degeneracy dari energi level:
a. 3 Eo b) 12 Eo c) 27 Eo ?
Bab I/Pers. Schrodinger/ 53

16. Mana di antara himpunan berikut yang merupakan himpunan fungsi independen secara
linear (Linearly independent function?
a) x ; x2 ; x6 b) 8, x , x2 , 3x21 ; c) sin x , cos x d) sin x , cos x , eix

===000====
BAB IV
OSILATOR HARMONIS
4.1 Osilator Harmonis Satu Dimensi
Dalam pasal ini akan kita bahas osilator harmonis yang merupakan model yang sangat
penting untuk memahami vibrasi molekul. Pembahasan secara klasik akan diulas lebih dulu
sebelum membahasnya secara kuantum.
4.1.1 Tinjauan Secara Mekanika Klasik
Osilator harmonis terjadi manakala sebuah partikel ditarik oleh gaya yang besarnya
sebanding dengan perpindahan posisi partikel tersebut. Gaya itu adalah:
F(x) =  k x (4-1)
dengan k adalah tetapan gaya dan F(x) adalah gaya berarah x yang bekerja pada partikel. Jika (4-
1) dikorelasikan dengan Hukum Newton kedua, F = m a, maka:

d2x d2x  2
d 
m 2
= k x atau m 2
+kx=0 atau   k / m x = 0 (4-2)
dt dt  dt 

Persamaan (4-2) adalah persamaan diferensial orde kedua, yang persamaan karakteristiknya
adalah: D2 + k/m = 0 sehingga akar-akarnya adalah D1..2 = + i (k/m)1/2
Jadi penyelesaian (4-2)
1/ 2 1/ 2
x = A1. e ( k / m) t
+ A 2 . e  i ( k / m) t

= A1{ cos (k/m)1/2t + i sin(k/m)1/2t}+A2{ cos (k/m)1/2t isin(k/m)1/2t }


= (A1+A2){ cos (k/m)1/2t }+ i(A1 A2) sin(k/m)1/2t }
= (A'){ cos (k/m)1/2t }+ A" sin(k/m)1/2t } (4-3)
Untuk t = 0, maka pasti x = 0, jadi:
0 = A' cos 0 + A" sin 0
Bab I/Pers. Schrodinger/ 54

Suku kedua ruas kanan kana pasti 0 karena sin 0 = 0, sehingga A" pasti tidak nol. Karena suku
kedua nol, maka suku pertama harus 0. Karena cos 0 adalah 1, maka A' harus 0, sehingga (4-3)
ditulis:
x = A" sin (k/m)1/2 t
Karena A' sudah tidak ada, maka tanda " pada A" boleh tidak ditulis, hingga:
x = A sin (k/m)1/2 t (4-4)
Karena periode fungsi sinus adalah 2, maka akan mudah penerapannya nanti, jika
(k/m)1/2 dinyatakan dalam kelipatan 2= kelipatan periode = n . 2). :
(k/m)1/2 = n . 2 jadi: n = (1/2)(k/m)1/2
n tersebut adalah banyaknya periode jadi = banyaknya osilasi persatuan waktu, yang dalam
bahasa fisik disebut frekuensi dan lazimnya tidak diberi notasi n tetapi . Jadi:
(k/m)1/2 =  (4-5)
Dengan demikian (4-4) ditulis
x = A sin 2t (4-6)
Selain dapat digunakan untuk menentukan x, (4-1) juga dapat digunakan untuk menentukan
energi potensial. Kita tahu bahwa hubungan antara gaya dengan energi potensial menurut
persamaan (4-5 bab I) adalah:
dV
=  F(x) =  (k x ) = k x
dx
jadi dV = k x dx
 V = 1/ 2 k x 2 (4-7)
Dengan menggunakan (4-5), maka k = 4m, energi potensial V dapat ditulis:
V = 22 2 m x2 (4-8)
Selanjutnya bagaimanakah energi kinetik T ? T = 1/2 mv2 dengan v = dx/dt, jadi:
T = 1/2 m (dx/dt)2
Dengan menggunakan x pada (4-6) kita peroleh:
T = 1/2 m (A 2  cos 2t)2 = 2 m22 A2cos2 2t (4-9)
Penentuan E (energi total osilator harmonis, diperoleh dengan menjumlah T dan V, jadi:
E = T + V = 1/2 m A2 cos2 2t + 1/2 k x2
= 12 m22 A2cos2 2t + 1/2 k A2 sin2 2t
Bab I/Pers. Schrodinger/ 55

= 1/2 k A2cos2 2t + 1/2 k A2 sin2 2t


= 1/2 k A2( cos2 2t + sin2 2t)
Jadi:
E = 1/2 kA2 = 2 m A2 (4-10)

4.1.2 Osilator Harmonis Dalam Tinjauan Mekanika Kuantum


Persamaan Schrodinger satu dimensi bebas waktu untuk osilator harmonis adalah seperti
persamaan (5-1 Bab I) tetapi V dimasukkan 1/2 kx2 (Ingat, bahwa V tidak bergantung pada
momentum angular p. Semua besaran fisik yang tidak bergantung pada p, operator kuantumnya
sama dengan nilainya dalam mekanika klasik). Jadi:

d 2  (x) 2m
+ (E  2    mx  ) ( x )  0 (4-11)
dx 2 2
atau:

d 2  (x)
+ (2mE  2  4    m 2   2 x  )( x )  0 (4-12)
dx 2
Agar penulisannya praktis 2m/  diganti  sehingga (4-12) menjadi:

d 2  (x)
 + (2mE  2   2 x  )( x )  0 (4-13)
dx 2
atau:

 ' ' (x) + (2mE 2   2 x  ) ( x )  0 (4-14)


Untuk  yang mendekati tak terhingga maka 2mE  2 boleh diabaikan sehingga (x) =
2
e   x merupakan penyelesaian dari (1.2-3). Berapapun harga , tetapi yang jelas (x) pasti
2
mengandung faktor e   x , dan dengan demikian kita boleh memisalkan penyelesaian (1.2-3)
adalah:
2
(x) = e   x . f(x) (4-15)
Jadi:
2
''(x) = e   x (f ''  2 x f '   f + 2 x2 f) (4-16)
Jika (4-16) dan (4-15) dimasukkan ke dalam (4-13) maka akan diperoleh:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 56

f ''  2  x f ' + (2mE  2   ) f = 0 (4-17)


Persamaan differensial orde dua di atas (4-17) tidak dapat diselesaikan secara konvensional
karena koefisien f ' masih mengandung x. Untuk itu penyelesaiannya menggunakan metode
deret.


 Untuk itu kita misalkan:

f = c 0 + c 1 x + c 2 x2 . . . . . c n x n =  cn x n (4-18)
n 0

jadi:

f ' = 0 + c1 + c2 x1 . . . . . ncn xn1 =  n c n x n 1 (4-19)
n 0

dan:
 
f '' = c2 + . . n (n1) xn2 =  n (n  1)c n x n  2 =  (n  2)(n  1)c n  2 x n (4-20)
n 2 n 0

Substitusi (4-18) , (4-19) dan (4-20) ke dalam (1.2-6) menghasilkan:


  
  (n  2)(n  1)c n  2 x n  2  x  n c n x n 1 + (2mE  2   )  c n x n = 0
n 0 n 0 n 0

atau:
  
  (n  2)(n  1)c n  2 x n  2   n c n x n + (2mE  2   )  c n x n = 0
n 0 n 1 n 0

atau: 

 (n  1)(n  2)c n  2  2 n cn + (2mE  2   ) cn  x n =0
n 0

Karena xn tidak mungkin nol, maka koefisiennya pasti nol, jadi


( n  1)(n  2)c n  2  2 n cn + (2mE  2   ) cn = 0

Sehingga diperoleh:

  2n  2mE 2
cn2 = cn (4-21)
(n  1) (n  2)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 57

Dengan persamaan (4-21), yang disebut relasi recursi, kita dapat menghitung c3 , c5 . . . . dan
seterusnya, jika kita tahu c1. Kita juga dapat menghitung c2 , c4 , . . . . dan seterusnya, jika c0
diketahui. Jika kita set c1 = 0, maka c3, c5 . . . dan seterusnya pasti nol, sehingga fungsi
gelombang osilator harmonis menjadi:
2 2 
(x) = e   x / 2 . f(x) = e   x / 2  cn x n
n  0, 2, 4, . . .

2 
= e  x / 2  c 2 p x 2p (4-22)
p 0

Jika c0 dibuat nol maka c2 , c4 , c6 . . . . dan seterusnya semua nol sehingga diperoleh
penyelesaian lain:
2  2 
(x) = e   x / 2  cn x n = e  x / 2  c 2 p  1 x 2 p 1 (4-23)
n 1 , 3 , 5 . . . p0

Bentuk umum penyelesaian persamaan Schrodinger bebas waktu untuk osilator harmonis satu
dimensi adalah kombinasi linear dari (4-22) dan (4-23) yaitu:
2  2 
(x) = A e   x / 2  c 2p x 2 p + B e   x / 2  c 2 p  1 x 2 p 1 (4-24)
p 0 p0

dengan A dan B adalah tetapan sembarang.


Dengan memperhatikan (4-24) maka terlihat bahwa  akan cenderung tak terhingga jika
x tak terhingga dan ini tidak diijinkan. Salah satu syarat fungsi matematik dapat diterima
sebagai fungsi gelombang adalah mempunyai harga yang tertentu, berapapun harga x nya.
Untuk memenuhi syarat ini, maka deret (4-24) harus berhenti pada suku tertentu, misal suku ke
v. Jika deret berhenti di suku v, ini berarti koefisien cv harus nol. Dengan menggunakan (4-21)
dan indek n diganti v maka (4-21) boleh ditulis:

  2v  2mE 2
 cv2 = cv
(n  1) (n  2)

Jika cv harus nol maka c v  2 juga harus nol, sehingga:

  2v  2mE 2
cv = 0 atau:  + 2  v  2 m E  2 = 0, jadi::
(n  1) (n  2)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 58

2
E= (2 v  1) (4-25)
2m
Dengan menggunakan harga  = 2m/  , maka diperoleh:
E=(v+ ½)h (4-26)
yang sering ditulis:
Ev = ( v + ½ ) h v = 0, 1, 2, 3 . . . . (4-27)
dengan Ev adalah energi level osilator harmonis, v = bilangan kuantum vibrasi, h tetapan Planck
dan  adalah frekuensi vibrasi.
Ada perbedaan antara bilangan kuantum partikel dalam box dengan bilangan kuantum
vibrasi. Bilangan kuantum vibrasi mengijinkan harga nol, sedang bilangan kuantum partikel
dalam box tidak mengijinkan harga nol.
Energi ground state pada gerak vibrasi (osilator) adalah harga E untuk v = 0, yaitu Eo = ½ h 
dan ini disebut zero point energy (Awas harga zero point energi tidak nol tetapi ½ h). Zero
point energi ini adalah energi masing-masing osilator harmonis yang merupakan bagian dari
sekelompok osilator harmonis, pada temperatur nol absolut.
Substitusi (4-27) ke dalam (4-21) menghasilkan relasi recursi yang baru, yaitu:
2n  v 
cn2 = c (4-28)
n  1n  2 n
4.2 Fungsi Genap dan fungsi Ganjil
Sebelum membahas fungsi gelombang osilator harmonis secara lebih detail ada baiknya
kita mengingat kembali pengertian fungsi genap dan fungsi ganjil. Jika f(x) mengikuti bentuk:
f (x) = f (x) (4-29)
2
maka f(x) adalah fungsi genap dari x. Jadi x2 dan e  b x keduanya adalah fungsi genap karena
2 2
(x) e  b (  x) = e  b x . Grafik fungsi genap adalah simetris terhadap sumbu x. Selanjutnya
untuk fungsi genap berlaku:
a a
 f (x) dx = 2 f (x) dx (4-30)
a 0

Jika g(x) mengikuti:


g(x) =  g(x)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 59

2
maka g(x) adalah fungsi ganjil dari x. Contoh fungsi ganjil misalnya adalah x , 1/x , x e x . Grafik
fungsi ganjil dicerminkan oleh sumbu y kemudian dicerminkan lagi oleh sumbu x. Untuk fungsi ganjil
berlaku:

a
 g (x) dx = 0 (4-31)
a

Hasil kali dua buah fungsi genap atau dua buah fungsi ganjil adalah fungsi genap, sedang hasil
kali fungsi genap dengan fungsi ganjil adalah fungsi ganjil.

4.3 Fungsi Gelombang Osilator Harmonis

Menentukan Fungsi Gelombang Dengan Relasi Recursi


Marilah kita lihat kembali persamaan (4-23) dan (4.24)
2 
 (x) = e   x / 2  c 2 p x 2p (4-23)
p 0

2 
(x) = e   x / 2  c 2 p  1 x 2 p 1 (4-24)
p0

Kedua fungsi itu adalah fungsi gelombang osilator harmonis genap dan ganjil. Persamaan (4-23)
dan (4-24) berturut- turut dapat ditulis:
2
(x) = e   x / 2 (c0 + c2 x2 + c4 x4 . . . . . . . .) (4-32)
2
(x) = e   x / 2 (c1x + c3 x3 + c5 x5 . . . . . . . .) (4-33)
Akan berhenti sampai dimana deret tersebut, ternyata ditentukan oleh bilangan kuantum v.
Jika v = 0, berarti fungsi genap dan berhenti sampai suku c0, sehingga fungsi gelombang
osilatornya adalah:
2 2
 = e   x / 2 . c0 atau 0 = c0 e   x / 2
Jika v = 1, berarti fungsi ganjil dan berhenti sampai suku c1x, sehingga fungsi gelombang
osilatornya adalah:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 60

2 2
 = e   x / 2 . c1x atau 1 = c1 x e   x / 2
Jika v = 2, berarti fungsi genap dan berhenti sampai suku c2x2 , sehingga fungsi gelombang
osilatornya adalah:
2 2 2
 = e   x / 2 . ( c0 + c2x2 ) atau 2 = c0 e   x / 2 + c2x2 e   x / 2
begitu seterusnya.
Selanjutnya kita akan memperhatikan 0 yang juga disebut fungsi ground state. Telah
kita tahu bahwa:
2
0 = c0 e   x / 2 (4-34)
Harga c0 dapat diperoleh melalui normalisasi, yaitu:

2
  o dx = 1 atau: (4-35)

 
2  x 2 dx = 2 c 2 e  x 2 dx
1=  co e  o
 0

Dengan menggunakan teknik error function, kita peroleh:


c0 = ( /  )1/4 (4-36)
Sehingga fungsi gelombang ground state untuk osilator harmonis adalah:
2
0 = ( /  )1/4 e   x / 2 (4-37)
Fungsi gelombang (3-5) di atas juga disebut fungsi Gauss (Gaussian Function) yang grafiknya
dapat dilihat pada gambar (4-1a)/
Selanjutnya dengan cara yang sama, kita dapat akan membahas 1, yaitu:
2
 1 = c1 x e   x / 2 (4-38)
Dengan cara yang sama dengan cara menentukan c0, kita peroleh:
c1 = (4 3 /  )1/ 4 (4-39)
sehingga diperoleh 1 yaitu:
2
1 = (4 3 /  )1/4x e   x / 2 (4-40)
Setelah harga c0 dan c1 diketahui maka kita dapat menghitung c2, c3, c4 dan seterusnya dengan
menggunakan (1.2-15). Dengan demikian kita dapat dengan mudah menentukan 2 , 3 , 4 dan
seterusnya.Misal kita akan menentukan 2 . Pertama kita gunakan bentuk umum  genap, yaitu:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 61

2
(x) = e   x / 2 (c0 + c2 x2 + c4 x4 . . . . . . . .) (4-33)
Untuk 2 deret dihentikan pada suku x2, jadi:

 

x x

(a) v = 0 (b) v = 1

 

x x

(c) v = 2 (d) v = 3
Gambar 4-1: Fungsi Gelombang Osilator Harmonis

2 2
2 = e   x / 2 (c0x + c2 x2 ) atau 2 = (c0x + c2 x2 ) e   x / 2
Dengan menggunakan (1.2-15), maka c2 dapat dihitung, yaitu:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 62

2  (n - v)
cn+2 = cn dengan memasukkan memasukkan n = 0 dan vs = 2, maka:
n  1n  2 
2 0-2 
c2 = c0 =  2  c0
(0  1) 0  2 

Jadi:
2 2
2 = (c0  2c0 x2 ) e   x / 2 = c0 (1  2  x2 ) e   x / 2
Harga c0 dicari dengan normalisasi (Tidak menggunakan c0 pada persamaan (4-36)), dan
diperoleh:
2
2 = ( (2  x2  1) e   x / 2
Menentukan Fungsi Gelombang Osilator Harmonis Dengan Polinomial Hermite
Ada cara lain untuk menentukan yaitu dengan memanfaatkan polinomial Hermit. Perlu diingat
2
bahwa sebagian dari faktor e   x / 2 pada fungsi gelombang osilator harmonis polinomial
Hermite yang sudah kita kenal di matematika. Hubungan antara fungsi gelombang osilator
harmonis dengan polinomial Hermite adalah:
 2
 v (x ) =  v
2 . v! 
1 / 2   1 / 4  x
 

e 2 . Hv

Dengan H v adalah polinomial Hermite, yaitu:

2 d j z2
H v =  1 v e z e dengan:
dz j

z = 1 / 2 x
Dengan cara ini, fungsi gelombang lebih mudah dapat diturunkan.
Tentang Harga x yang Mungkin Dalam Osilator Harmonis
Jika kita melihat solusi mekanika kuantum untuk osilator harmonis, maka tampak bahwa
berapapun harga x harga  dapat diperoleh, artinya bahwa peluang keberadaan partikel ada di
sembarang harga x mulai dari x =   sampai x = +  . Padahal dalam mekanika klasik
partikel hanya dibatasi berada pada daerah yang energi potensialnya tidak melebihi energi
partikel (yaitu antara a sampai + a pada gambar 4-2), sebab dalam mekanika klasik energi
kinetik negatif tidak dikenal.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 63

Ini berarti bahwa secara tinjauan kuantum partikel dapat berada di daerah terlarangnya mekanika
klasik, atau dalam mekanika kuantum bisa saja terjadi energi potensial V > E atau dapat saja
terjadi energi kinetik bernilai negatif. Kasus V > E ini sudah pernah kita bahas pada bab II.

-a a x

Gambar 4-2: Daerah yang diijinkan ( x < a) dan daerah terlarang ( x > a) untuk osilator

harmonis mekanika klasik

Gambar 4-3: Energi Potensial untuk vibrasi molekul (Kurva garis tak
terputus-putus) dan untuk osilator harmonis (kurva titik-titik)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 64

4.4 Vibrasi Molekul Diatomik


Osilator Harmonis yang telah kita bicarakan, sangat baik untuk dijadikan pendekatan
dalam memahami vibrasi molekul. Sudah barang tentu harus diadakan beberapa modifikasi.
Karena dalam molekul diatomis terdapat dua partikel dengan massa masing-masing m1 dan m2
maka m dalam persamaan Schrodinger diganti  atau massa tereduksi dengan  =
m1m2/(m1+m2). 
Kita memperkirakan bahwa harga energi level vibrasi Evib sangat mendekati harga energi
level osilator harmonis yang sudah kita kenal, yaitu:
Evib  (v + ½ ) h e v = 0, 1, 2, 3, . . . . . (4-41)

1/ 2
1 k m1 . m 2 d2U
e =   ; = ; k= (4-42)
2     m1  m 2 dR 2 R  R
e

e disebut frekuensi vibrasi (harmonis) ekuilibrium. Aproksimasi di atas sangat bagus untuk
energi level yang rendah. Untuk energi level yang tinggi, energi potensial vibrasi semakin
menyimpang dibandingkan dengan energi potensial osilator harmonis (Gambar 4-3).
Aproksimasi yang lebih akurat dalam rangka mengantisipasi penyimpangan dari keharmonisan
adalah:
Evib = (v + ½ ) h e  (v + ½ )2 h e xe (4-43)
e xe disebut tetapan ketidakharmonisan yang untuk hampir semua kasus harganya positif.
Dengan menggunakan persamaan Schrodinger bergantung waktu, kita dapat menentukan
bahwa transisi vibrasi yang paling mungkin jika molekul diatomik diekspose ke dalam radiasi
elektromagnet adalah v berubah dengan + 1; selanjutnya agar dapat terjadi absorpsi dan emisi
dari elektromagnet (foton) maka vibrasi harus mengubah momen dipole molekul. Oleh karena
itu, maka molekul-molekul diatomik (H2 , N2 dan lain-lain yang sejenis) tidak mungkin dapat
mengalami transisi hanya dengan mengemisi atau mengabsorpsi radiasi (Artinya transisi hanya
dapat terjadi melalui tumbukan intermolekuler)
Jika terjadi transisi dari energi level tinggi E2 ke energi level rendah E1 maka akan
diemisi foton yang relasinya dinyatakan dengan:
Efoton = E2  E1 (4-44)
Karena Efoton = h maka:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 65

foton = (E2 – E1) / h (4-45)


Jika kita menggunakan aproksimasi (4-41) maka:
 foton = (E2 – E1) / h(v2 + ½ ) h e  (v1 + ½ ) h e }/ h = (v2 – v1 ) e
Karena perubahan v yang paling mungkin adalah 1, maka:
foton =  
Jika aproksimasi energi kita gunakan yang lebih akurat yaitu aproksimasi (4-43) maka akan
diperoleh:
foton = e  2 e xe ( v1 + 1) (4-47)
dengan v1 adalah bilangan kuantum vibrasi yang rendah dan j = 1.
Populasi relatif dari dua buah energi level molekul dinyatakan oleh distribusi Boltzmann (dapat
dilihat pada sembarang literatur Kimia fisik) yaitu:
N1 g1 (E1  E 2 ) / k T
 e (4-48)
N2 g2

N1 adalah banyaknya molekul yang berada pada energi level E1 , N2 adalah banyaknya molekul
yang berada pada energi level E2 , g1 dan g2 adalah degenerasi masing-masing molekul. Jika
molekulnya non degenerate, maka g = 1.
Dalam unit SI, satuan untuk frekuensi adalah hertz (Hz) dengan definisi 1 Hz = 1s1.
Pada absorpsi infra merah, orang sering menggunakan istilah bilangan gelombang  yaitu
banyaknya gelombang persatuan panjang, yang didefinisikan:
 = 1/  =  / c (4-49)
dengan  adalah panjang gelombang dalam vakum, dan c adalah laju cahaya  adalah frekuensi
foton.
Contoh:
Gelombang infra merah terkuat dari molekul 12C16O terjadi pada  = 2143 cm1 . Tentukan
tetapan gaya untuk molekul tersebut ?
Jawab:

Yang ditanyakan adalah k = 4 2  e2 

Infra merah terkuat terjadi pada hubungan v = 0  1. Ini berarti transisi pada level rendah,
sehingga kita boleh menggunakan (4-46) untuk menghitung e , tidak usah dengan (4-47).
e = .
Bab I/Pers. Schrodinger/ 66

Menurut (4-49),  =  . c jadi:


e =  . c
= ( 2142 cm1 ) (2,9979 . 1010 cm . s1)
= 6,424 . 1013 s1 .
m C .m O
Selanjutnya kita hitung  =
m C .m O

mC = massa 1 atom C = 12 amu


= 12 x 1,661 x 1027 kg = 19,932 . 1027 kg
= 1,9932 . 1026 kg
mO = 15,9949 amu
= 15,9949 x 1,661 . 1027 kg
= 26.5675 . 1027 kg
= 2,65675 . 1026 kg
jadi:
 = (1,9932 .1026 kg x 2,65675 .1026 kg )/(1,9932 .1026 kg + 2,65675 .1026 kg 
= (5,29543 . 1052 kg2 ) / ( 4,64995 . 1026)
= 1,1388143959 . 1026 kg

k = 4 2  e2 

 = 4 2 (6,424 . 1013 s1 )2 1,1388143959 . 1026 kg


= 1854 kg. s2
= 1854 N/m

Soal-soal Bab 4
1. Mana di antara fungsi-fungsi berikut yang merupakan fungsi genap ? Mana yang
merupakan fungsi ganjil ?
Bab I/Pers. Schrodinger/ 67

a) sin x ; b) cos x ; c) tan x ; d) e x ; e) 2  2 x ; f) ( 3 + x ) ( 3  x )


2. Buktikan bahwa (a) hasil kali fungsi genap dengan fungsi genap adalah fungsi genap (b)
hasil kali fungsi ganjil dengan fungsi ganjil adalah fungsi genap (c) hasil kali fungsi genap
dengan fungsi ganjil adalah fungsi ganjil
3. Tentukan fungsi gelombang untuk v = 2:
a ) dengan relasi recursi
b) dengan polinomial Hermite
4. Tentukan fungsi gelombang untuk v = 4:
a ) dengan relasi recursi
b) dengan polinomial Hermite
5. Sebutkan perbedaan-perbedaan antara fungsi gelombang satu dimensi untuk partikel dalam
box dan untuk partikel dalam osilator harmonis.
6 Untuk fungsi gelombang osilator harmonis dengan v = 1, tentukan harga x yang paling
mungkin.
7. Dengan analogi bahwa untuk sistem satu dimensi nilai eigen energinya adalah E = ( v + ½ )
h, bagaimanakah energi levelnya jika sistemnya 3 dimensi ?. Dalam sistem 3 dimensi
tersebut, tentukan derajad degenerasi mulai energi level terendah sampai ke empat ?
8. Jika Hj adalah polinomial Hermite, tentukan H0 ; H1 ; H2 ; H3 dan H4 !
9. Untuk osilator harmonis dengan bilangan kuantum v, berapakah rentang x yang diijinkan oleh
mekanika klasik ?
10. (a) Spektrum absorpsi infra merah dari 1H35Cl mempunyai berkas terkuat pada 8,65 x 1013
Hz. Hitunglah tetapan gaya dari ikatan molekul tersebut.
(b) Tentukan zero point energi vibrasi untuk 1H35Cl
(c) Prediksilah frekuensi infra merah terkuat untuk molekul 2H35Cl
Massa isotop 1H = 1,00783 amu 2H= 2,01410 amu 35Cl = 34,968853 amu
1 amu = 1,661 . 1024 gram

11. (a) Buktikan persamaan (4-47) dari (4-43)


(b) Turunkan persamaan sejenis untuk transisi dari v = 0  v2
Bab I/Pers. Schrodinger/ 68

12. (a) Transisi v = 0  1 untuk LiH terjadi pada 1359 cm1 . Hitunglah ratio populasi v = 0
terhadap v = 1, pada temperatur 200o C
(b) lakukan persis seperti (a) tetapi untuk molekul ICl yang transisi terkuatnya terjadi pada
381 cm1.


BAB V
MOMENTUM ANGULAR
5.1 Pengukuran Simultan Beberapa Properti
Pada bab ini kita akan membahas momentum angular dan pada bab berikutnya nanti kita akan
menunjukkan bahwa dalam keadaan stasioner, momentum angular untuk elektron hidrogen adalah
konstan. Sebelum membahas momentum angular, kita akan bahas lebih dulu, pengukuran secara
simultan beberapa properti dan untuk itu, kita harus mengetahui kriteria yang dapat kita gunakan untuk
menentukan properti apa saja dari suatu sistem yang nilainya dapat ditentukan secara simultan. Perlu
diingat bahwa dalam mekanika kuantum ada pasangan-pasangan properti yang pengukurannya tidak
dapat secara simultan sebagai contoh posisi dan momentum merupakan dua properti pengukurannya
tidak dapat secara simultan. Sementara itu ada pasangan-pasangan properti yang pengukurannya dapat
secara simultan, karena masing-masing mempunyai hasil pengukuran yang pasti.

Dalam bab III telah kita bahas bahwa jika fungsi  adalah fungsi eigen dari operator A dengan
nilai eigen a, maka a adalah nilai properti A. Sebagai contoh jika  adalah fungsi eigen dari operator

energi kinetik T dengan nilai eigen t, maka t adalah nilai dari energi kinetik T. Selanjutnya jika 
 
secara simultan merupakan fungsi eigen dari dua buah operator yaitu A dan B dengan nilai eigen a
 
dan b sehingga dapat kita tulis A  = a  dan B  = b, maka kita dapat secara simultan mengetahui
secara pasti nilai properti A dan B, yaitu a dan b. Kapankah terjadi kemungkinan bahwa  menjadi
fungsi eigen dari dua buah operator berbeda ? Fungsi  akan secara simultan merupakan fungsi eigen
 
dari dua buah operator A dan B jika kedua operator tersebut adalah pasangan operator yang commute
 
atau jika [ A , B ] = 0 (Akan dibuktikan di Bab 7). Dengan logika terbalik dapat dinyatakan bahwa, jika
   
dua buah operator A dan B adalah commute atau jika [ A , B ] = 0, maka  dapat menjadi fungsi
 
eigen bagi A maupun B .
Bab I/Pers. Schrodinger/ 69

       
Ingat kembali bahwa commutator A dan B adalah [ A , B ] = A B  B A . Berikut ini
diberikan beberapa commutator identitas yang sangat membantu dalam mengevaluasi commutator.
   
[ A , B] = = [B , A] (5-1)
 n
[A , A ]=0 (5-2)
    
[k A , B ] = [ A , k B ] = k[ A , 
B] (5-3)
      
[ A , A+C ] = [ A, B ] + [ A,C ] ;
      
[ A+ B ,C ] = [ A, C ] + [ B ,C ] (5-4)
        
[ A , B C ] = [ A, B ]C + B [ A,C ] ;
        
[ A B ,C ] = [ A,C ]B + A [ B ,C ] (5-5)
Contoh:
Buktikanlah bahwa x dam px tidak dapat diukur secara simultan.
Bukti:

Untuk membuktikan kita harus menguji bahwa [ x , p x ]  0
  
[ x , px ] = [ x px  px x ]

Jika dioperasikan pada sembarang fungsi :


  
 [ x , p x ]  = [ x p x  p x x ]
 
= x p x  p x x 

 
Karena p x =  i  , maka:
x
  
 [ x , p x ]  = x ( i  )  ( i  )x 
x x
 
 i  ( x   x )
x x
  
 i  { x  ( x+x ) }
x x x
 
 i  { x  (+x ) }
x x
 
 i  { x   x }
x x
Bab I/Pers. Schrodinger/ 70

 
 i  { x  x }
x x
 i  {   }
 i  
Jadi:

[ x , p x ] = i 
 
Karena [ x , p x ] tidak = 0, maka  tidak mungkin merupakan fungsi eigen simultan terhadap x dan p x

sehingga pengukuran x dan px harus secara simultan dan mengikuti prinsip ketidakpastian.

5.2 Momentum Angular Sistem Partikel Tunggal


Momentum Angular Dalam Mekanika Klasik
Jika sebuah partikel bermassa m melintas dan kita tinjau partikel itu dalam sistem koordinat
Cartessius dengan r adalah vektor dari titik acuan ke posisi partikel pada saat itu, maka hubungan antara
vektor r dengan komponen-komponennya adalah:
r=xi+yj+zk (5-6)
dengan x, y dan z adalah koordinat partikel sedang i, j, k adalah unit vektor berarah x, y dan x. Jika
vektor momentum linear adalah p maka hubungan antara vektor p dengan komponen-komponennya
adalah:
p = px i + py j + pz k (5-7)
dengan px = m vx ; py = m vy dan pz = m vz
Menurut mekanika klasik, vektor momentum angular L didefinisikan sebagai :

i j k
L=rxp= x y z
px py pz

   
= y.p z  z.p y i  xp z  zp x  j + xp y  yp x k (5-8)

Karena hubungan antara vektor L dan komponen-komponennya adalah:


L = Lx i + Ly j + Lz k (5-9)
Maka kita peroleh:
L x  y.p z  z.p y

L y  z.p x  x.p z (5-10)


Bab I/Pers. Schrodinger/ 71

Lz  x.p y  y.p x

Hubungan antara harga L dengan Lx , ly dan Lz adalah:

L2 = L2x  L2y  L2z (5-11)

Operator Momentum Angular


Operator momentum angular diperoleh dari persamaan klasik (5-11) dan (2-10) setelah mengganti px , py
  
dan pz dengan operator p x , p y dan p z yaitu:

 
px =  i 
x
 
py =  i  (5-12)
y

 
pz =  i 
z

sehingga:

    
L x =  i   y  z 
 z y 

    
Ly =  i   z  x  (5-13)
 x z 

    
Lz =  i   x  y 
 y x 

Selanjutnya kita tahu bahwa besarnya harga skalar L adalah:

L2 = L2x  L2y  L2z


   
Jadi operator L2 = L2x + L2y + L2z (5-14)

Commutator antara Momentum Angular dengan Komponen-komponennya


Selanjutnya karena pasangan commutator sangat penting untuk mengetahui apakah dua buah properti
dapat diukur secara simultan atau tidak, maka sekarang kita akan melihat bagaimana harga pasangan-
     
pasangan commutator antar komponen momentum angular, yaitu [ L x , L y ] ; [ L x , L z ] ; [ L y , L z ]
Bab I/Pers. Schrodinger/ 72


dan juga pasangan commutator antara operator momentum angular L2 dengan komponen-komponennya
     
yaitu commutator [ L2 , L x ] ; [ L2 , L y ] dan [ L2 , L z ].
 
Pertama kita akan mengevaluasi commutator [ L x , L y ]. Kita tahu bahwa:
     
[ L x , L y ] = Lx L y  L y L x

Jika dioperasikan pada sembarang fungsi F maka:


     
[ L x , L y ] F = Lx L y F  L y Lx F

               
=   2 {  y  z   z  x  F  z x   y  z  F}
 z y   x z   x z   z y 

               
=   2 {  y  z   z F  x F    z x   y F  z F  }
 z y   x z   x z   z y 

   2 2 2 2 2 2   
  2  y z F  yx F  z2 F  zx F  zy F  z2 F  xy F  x z F
 z x z 2 yx yz xz xy z 2 z y 
 

   2 2   
  2  y z F  zx F  zy Fx z F
 z x yz xz z y 
 

  F  2 F  2 2  F  2  
   2  y  z  zx F  zy F  x  z
  x zx  yz xz  y zy  
    

 F  2F 2 2 F  2 
  2  y  yz F  zx F  zy Fx  xz F
 x xx yz xz y zy 
 

 F F      
  2  y  x  =   2  y  x F = i  L F
x y x y z
   

Jadi:
  
[ L x , L y ] = i  Lz (5-15)

Analog dengan cara diatas maka diperoleh (Buktikan):

[   
Ly , Lz ] = i  L x (5-16)

[  
Lz , L ] = i  Ly (5-17)
x

Dari (2-11) tampak bahwa pasangan commutator antar komponen momentum angular adalah non
commute. Sekarang akan kita selidiki pasangan commutator antara operator momentum angular dengan
Bab I/Pers. Schrodinger/ 73

     
komponen-komponennya yaitu: [ L2 , L x ] ; [ L2 , L y ] dan [ L2 , L z ]. Pertama akan kita selidiki dulu:

 
[ L2 , L x ] dengan memanfaatkan sifat commutator identitas pada awal bab ini.

 2 2 2
Karena: L2 = 
L x + L y + L z maka:

  2 2 2 
[ L2 , L x ] = [   
L x + L y + L z , Lx ]

2  2  2 
= [  
L x , L x ] + [ L y , L x ] + [ Lz , Lx ]

 
Menurut sifat (5-2), [ L2 , L x ] = 0, jadi:
     
[ L2 , L x ] = [ L2 , L x ] + [ L2 , L x ]

atau:
       
[ L2 , L x ] = [ L y L y , L x ] + [ L z L z , L x ]
        
Dengan menggunakan sifat (5-5) yaitu [ A B , C ] = [ A , C ] B + A [ B , C ], maka:
             
[ L2 , L x ] = [ L y , L x ] L y + L y [ L y , L x ] + [ L z , L x ] L z + L z [ L z , L x ]
       
=  i  L z L y  i  L y Lz + i  L y Lz + i  L z L y = 0

Jadi:
 
[ L2 , L x ] = 0 (5-18)

Analog dengan cara di atas maka diperoleh:


 
[ L2 , L y ] = 0 (5-19)

 
[ L2 , L z ] = 0 (5-20)

Dari persamaan (5-18) sampai dengan (5-20) tampak bahwa operator momentum angular L2 dan salah
  
satu komponen-komponen bersifat commute, jadi antara L2 dengan salah satu L x atau L y atau

Lz mempunyai fungsi eigen yang sama.

Operator Momentum Angular dalam Koordinat Spherik


Persamaan (5-13) dan (5-14) itu adalah operator untuk menghitung Lx , Ly dan Lz dengan
menggunakan koordinat Cartessius. Mengingat momentum angular terjadi pada partikel yang bergerak
Bab I/Pers. Schrodinger/ 74

melengkung, maka penggunaan operator kuantum angular dalam koordinat bola, ternyata lebih
menguntungkan, oleh karena itu, kita perlu mengetahui, bagaimana pernyataan operator tersebut dalam
koordinat bola. Buku ini tidak akan membahas bagaimana penurunan operator tersebut dalam koordinat
bola, tetapi bagi yang ingin mengetahui penurunannya dianjurkan untuk membaca literatur mekanika
kuantum. Adapun dalam koordinat bola (Hanna, 1969: 137):
    
L x =  i   sin   cot  cos  
   

    
L y =  i   cos   cot  sin   (5-14)
   
 
Lz =  i 


Telah kita ketahui, bahwa hubungan antara suatu vektor dengan komponen-komponennya adalah
kuadrat vektor = jumlah kuadrat komponen-komponennya, jadi:

L2  L2x  L2y  L2z

Dengan demikian diperoleh:

  1   1 2 
L2 =   2  sin    (5-18)
sin    sin 2   2 
 
atau:

  2  1 2 
L2 =   2   cot   (5-19)
  2  sin 2   2 

Fungsi Eigen Dan Nilai Eigen Momentum Angular Orbital Partikel Tunggal
 
Sekarang kita akan menurunkan fungsi eigen dari operator L2 dan L z . Dengan memperhatikan

bahwa operator tersebut melibatkan  dan , maka fungsi tersebut kita sebut fungsi (,) yang
merupakan fungsi  dan fungsi  dalam relasi:
(,) = f() . f() (5-20)
Jika agar praktis f() ditulis T dan fungsi f() ditulis , maka:
(,) = T .  (5-21)
 
Jika b adalah nilai eigen untuk L z dan c adalah nilai eigen untuk L2 , maka persamaan eigennya dapat

ditulis:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 75


Lz  = b  (5-22)

L2  = c  (5-23)

Kita selesaikan dulu (5-22). Dengan menggunakan operator L z dan fungsi  ditulis T. maka (5-22)

dapat ditulis:
 d
 i T. = b T.atau:  i T = b T.atau:
 d

d d ib
T = (b/  i ) T.atau: = .atau:
d d 

1 ib ib
d d atau: ln  =  C atau:
  

 = e ib /   C = e C e ib /  = A e ib /  (5-24)


dengan A adalah tetapan sembarang.

Apakah setiap  (5-24) dapat menjadi fungsi eigen ? Jawabnya tidak. Karena tidak semua
bentuk (5-24) adalah bernilai tunggal (singled valued). Agar (5-24) singled valued maka jika  ditambah
2 harga  tidak berubah. Jadi (5-24) adalah fungsi eigen jika:

A e ib /  = A e ib (  2) /  = A e ib /  e ib 2 /  sehingga:

 e ib 2 /  = 1 (5-25)

e ib 2 /  adalah cos 2b/  + i sin 2b/  . Jadi:


cos 2b/  + i sin 2b/  = 1 (5-26)

Untuk memenuhi (5-26) maka :


2b/  harus = 2  m dengan m = 0, 1, 2, 3 . . . . . sehingga:
b=m  m = 0, 1, 2, 3, 4, 5 . . . . . (5-27)

Karena b adalah nilai eigen dari operator 


L
maka harga Lz pasti = b, atau:
z

Lz = m  m = 0, 1, 2, 3, 4, 5 . . . . . . (5-28)
Jika harga b dimasukkan ke dalam (5-24) maka fungsi eigen  diperoleh, yaitu:

 = A ei m  (5-29)
1/ 2
 1 
Dengan normalisasi, harga A diperoleh, yaitu A =   sehingga:
 2 
Bab I/Pers. Schrodinger/ 76


1/ 2
 1 
=   ei m  (5-30)
 2 

dengan m adalah bilangan kuantum magnetik.



Sekarang kita akan menyelesaikan persamaan (5-23) yaitu L2  = c yang dapat ditulis:

 2  1 2 
 2   cot    = c atau:
  2  sin 2   2 

 2  1 2 
 2   cot    = c atau:
  2  sin 2   2 

 2 1/ 2 1/ 2
 1 2   1   1 
 2   cot      ei m  = c    ei m atau:
  2  sin     2 
2 2  2 

d 2T dT m2 c
 cot    T (Buktikan !) (5-31)
d 2 d sin 2  2
Untuk menyelesaikan (5-31) kita lakukan dengan melakukan manipulasi matematika, pertama diadakan
perubahan variabel bebas, dengan cara mensubstitusi:
cos  = x (5-32)
Jika cos  = x maka:
sin  = (1  x2)1/2 (5-33)
i cot  = x / (1  x2)1/2
Akibat perubahan variabel ini, maka terjadi transformasi fungsi T yang semula fungsi  menjadi fungsi
x. Kita misalkan fungsi baru sebagai akibat transformasi itu adalah G(x) Jadi:
T = G(x) (5-34)
sehingga, dengan aturan berantai yaitu:
dT dG dx dG d cos  dG dG
 . = . =  sin  = (1  x2)1/2 (5-35)
d dx d dx d dx dx

d 2T
Untuk mengevaluasi kita gunakan operator aljabar:
d 2
d d
= (1  x2)1/2 Jadi:
d dx
Bab I/Pers. Schrodinger/ 77

d 2T d dG
= (1  x2)1/2 [(1  x2)1/2 ]
d 2 dx dx

d dG
= (1  x2)1/2 [ (1  x2)1/2 ]
dx dx

d dG d 2G
= (1  x2)1/2 { (1  x2)1/2 . + (1  x2)1/2 ]
dx dx dx 2

dG d 2G
= (1  x2)1/2 { (1/2) (1  x2)1/2 (2x). + (1  x2)1/2 ]
dx dx 2

dG d 2G
= (1  x2)1/2 { (1/2) (1  x2)1/2 (2x). + (1  x2)1/2 ]
dx dx 2

dG d 2G
= (1  x2)1/2 { x) (1  x2)1/2. + (1  x2)1/2 ]
dx dx 2

dG d 2G
= x + (1  x2) Jadi:
dx dx 2

d 2T d 2G dG
 = (1  x2) x (5-36)
d 2 dx 2 dx

Dengan menggunakan (5-32) s/d (5-36), maka (5-31) dapat ditulis:

d 2G dG  c m2 
(1  x2)
dx 2
x +  

dx   2 1  x 2 G=0

(5-37)

dengan x adalah 1 < x < +1 (Mengapa ?)


atau:

 c m2 
(1  x2) G'' x G'+ 
 
2

G=0
1  x 2   (5-38)

Agar penyelesaiannya tidak rumit ketika kita melakukan penyelesaian dengan menggunakan metode
deret penyelesaian, maka kita nyata G kedalam fungsi x yang lain yaitu H(x) dengan relasi:


G = 1 x2  m / 2H (5-39)

Dari (5-39) kita cari G' dan G'' untuk disubstitusikan ke (5-38) dan setelah dibagi dengan 1  x 2   m / 2,
maka (5-38) menjadi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 78

(1  x2 ) H''  2 m  1 x H' + [ c  2  m m  1 H = 0 (5-40)

Sekarang akan kita selesaikan (5-40) dengan metode deret, yaitu dengan memisalkan:

H=  a jx j (5-41)
j0

Turunannya adalah:

H' =  j . a j x j1 (5-42)
j0

 
H'' =  ( j  1) . j . a j x j 2 =  ( j  1) . j  2 . a j 2 x j (5-43)
j 2 j0

Substitusi (5-41) s/d (5-43) ke dalam (5-40) menghasilkan::



( j  1) . (j  2) . a  2 2 2   j
  j  2    j  j  2 m j  c/  m  m  a j  x = 0
  
j0

Karena x j pasti tidak nol maka koefisiennya yang nol jadi:

( j  1) . (j  2) . a  2 2 2  
 j  2    j  j  2 m j  c/  m  m  a j  = 0
  
dan diperoleh:

a j 2 =
j  m  j  m  1  c/ 2 a j (5-44)
 j  2 j  1
Sebagaimana dalam osilator harmonis, bentuk umum penyelesaian (5-40) adalah kombinasi linear dari
fungsi berpangkat genap (yang koefisiennya ditentukan oleh harga a0) dan fungsi berpangkat ganjil
(yang koefisiennya ditentukan oleh harga a1). Kedua fungsi penyelesaian ini tampak merupakan fungsi
berbentuk deret pangkat sampai tak terhingga, sehingga tidak merupakan well behaved eigenfunctions.
Namun seperti halnya yang sudah kita kenal pada osilator harmonis, kita dapat membuat salah satu deret
penyelesaian itu berhenti pada suku berpangkat tertentu, yaitu dengan membuat koefisien pada suku
tersebut berharga nol. Jika kita misalkan deret penyelesaian berhenti pada suku berpangkat k, artinya
jika kita mengganti j dengan k, maka koefisiennya suku itu, yang dapat dihitung dari (5-38) menjadi
berharga nol, sehingga kita akan memperoleh:

c =  2 k  m  k  m  1 (5-45)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 79

dan karena k adalah j, sedang j berharga 0, 1, 2, . . . ., maka k juga berharga 0, 1, 2, . . . .. Selanjutnya

karena m juga berharga 0, 1, 2, . . . . maka k  m  juga berharga 0, 1, 2, 3 . . .


yang untuk selanjutnya k  m  disebut bilangan kuantum azymuth atau bilangan kuantum angular

translasi dan diberi notasi  jadi:

 = k  m  (5-46)

dan dengan demikian maka (5-45) menjadi:

c =  2  (  +1) (5-47)
2
Karena menurut (5-23), c adalah nilai eigen dari operator momentum 
L , maka dapat disimpulkan

bahwa harga skalar L2 adalah:

L2 =  2  (  +1) (5-48)
atau:

L =    1 (5-49)

Marilah kita amati lagi persamaan (5-46). Hal penting yang diperhatikan dari persamaan (5-45)

itu adalah bahwa harga m tidak melebihi  , sebab jika m melebihi  maka k akan negatif. Padahal

harus diingat bahwa k adalah j sedang j adalah pangkat x dari deret penyelesaian persamaan diferensial
orde dua, dengan harga paling kecil nol. Karena j paling kecil nol, maka k paling kecil nol. Kalau k

paling kecil nol, maka m paling besar =  atau kita biasa menulis:

m < (5-50)

atau:
m = 0 , + 1, +2, +3, . . . . . . . . . . +  (5-51)

Penurunan Fungsi 

Menurut (5-34) fungsi nya adalah : T = G(x) dengan G = 1  x 2   m / 2 H (menurut 2-31)


sehingga:


T = 1  x2 m /2H (5-52)

Karena x adalah cos , maka:


m
T = (sin ) H (5-53)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 80


Menurut (5-41), H =  a j x j , sehingga:
j0


m
T = (sin )  a jx j (5-54)
j0

Karena fungsi dikehendaki hanya sampai suku k dengan k =   m , maka (5-54) dapat ditulis:

 m
m
T = (sin ) .  a jx j (5-55)
j 0


Karena penyelesaian  a jx j pada dasarnya adalah salah satu kemungkinan genap, atau ganjil, maka
j0

(5-55) dapat dipecah bentuknya menjadi:


 m
m
T = (sin ) .  a jx j jika   m genap (5-56) T =
j  0, 2, 4 . .

 m
m
(sin ) .  a jx j jika   m ganjil (5-57)
j  1, 3, . . . .

Jika x kita kembalikan ke asalnya yaitu cos , maka:

 m
m
T = (sin ) .  a j cos j  jika   m genap (5-58)
j  0, 2, 4 . . . .

 m
m
T = (sin ) .  a j cos j  jika   m ganjil (5-59)
j  1, 3, . . . .

Koefisien a, mengikuti (5-44), yang setelah harga nilai eigen c, dimasukkan menjadi:

a j 2 =
( j  m ) ( j  m  1)  (  1) a (5-60)
 j  2 j  1 j

Setelah T diperoleh, maka (,) juga diperoleh, yaitu:


1/ 2
 1 
    ei m   (5-61)
 2 
dengan T adalah salah satu dari (2-49). Karena (,) ditentukan oleh  dan m, maka fungsi eigen

momentum angular juga sering ditulis  (, m ) , sehingga:


Bab I/Pers. Schrodinger/ 81

1/ 2
 1 
 (, m ) =    ei m   (5-62)
 2 
Contoh:
Sebuah partikel yang diperikan oleh bilangan kuantum  = 3 dan m = 1, tentukan:
a) Komponen momentum Lz
b) Momentum angular L
c) Fungsi gelombang eigennya
Jawab:
a) Lz = m  = 

b) L =  (  1) =  6

c) karena  = 3 dan m = 1, maka   m = 2, jadi fungsi genap, dan untuk menentukan fungsi T kita
gunakan (5-58):
2
m
T = (sin ) .  a j cos j 
j  0, 2.

= sin  ( a0 + a2 cos2 )
a2 kita cari dari relasi:

a j 2 =
( j  m ) ( j  m  1)  (  1) a
 j  2 j  1 j

a j 2 =
( j  m ) ( j  m  1)  (  1) a
 j  2 j  1 j

(0  1) (0  1  1)  3(3  1)
a2 = a0 =  a0
(0  2) (0  1)

Jadi:
T = sin  ( a0 a0 cos2 ) = a0 sin  (1  5cos2) =  a0 sin  (5cos21)
:

Harga a0 dicari dengan normalisasi:



* T d = 1
T
0

d = r2 dr sin  d d
Karena T hanya fungsi , maka :
Bab I/Pers. Schrodinger/ 82


* T sin  d = 1
T atau:
0


* T sin  d = 1
T atau:
0


2 2  (5cos 2   1) 2 sin  d = 1
 a 0 sin
0


3  (25cos 4   10 cos 2   1) d = 1/a 2
 sin 0

  
4 3 2 3 3
  cos  sin  d  10  cos  sin  d +  sin  d = 1/a0 
2
25
0 0 0

25 (12/105)  10 (4/15) +4/3 = 1/a02


160/105 = 1/a02

105 420 1
a0 = + =+ =+ 42
160 640 8

1
Kita pilih a0 =  42 , supaya fungsi T 
8
Jadi:
1
T= 42 sin  (5cos2)
8
Karena T sudah diperoleh maka  orbital momentum angularnya adalah:
1/ 2
 1 
 (, m ) =    ei m 
 2 
1/ 2
1  1 
 (3 , 1) =  42   sin  (5cos2) ei 
8  2 
Cara lain menentukan fungsi T (fungsi )
Persamaan (5-38) sangat dikenal dalam matematika, dan disebut Persamaan Legendre terasosiasi, Yang
penyelesaiannya adalah:
 m
m 1 2 m /2 d 2
P = (1 - cos ) (cos  - 1)  (5-63)
 2 .  !  m
d(cos )
Bab I/Pers. Schrodinger/ 83

m m
Penyelesaian (5-62) di atas disebut Polinomial Legendre terasosiasi, P . Setelah P diperoleh,
 
fungsi tetha T diperoleh dengan cara sebagai berikut:

 2 + 1 - m ! 
1/ 2
m
    P (5-64)
 2 .  + m ! 
 

Jika T sudah diperoleh maka (  ,m) segera diketahui.


Contoh: Sekarang kita akan mencoba menghitung 3,1) tetapi menggunakan Polinomial Legendre.
Jawab:
m
Kita hitung dulu P :

 m
m 1 2 m /2 d 2
P = (1 - cos ) (cos  - 1) 
 2 .  !  m
d(cos )

1 2 d4 2
= (1 - cos ) 1 / 2 (cos  - 1)3
23. 3 ! d(cos ) 4

1 d4 2
= sin  (cos  - 1)3
48 d(cos ) 4

d4 2
Kita selesaikan dulu (cos  - 1)3 dan supaya tampak sederhana cos  kita ganti x sehingga:
d(cos ) 4

d4 2 d4 2
(cos  - 1)3 = (x  1)3
4 4
d(cos ) dx

d4
= (x6  3x4 + 3x2 1)
dx 4

d3
= (6x5  12x3 + 6x)
dx 3

d2
= (30x4  36x2 + 6)
dx 2
d
= (120x3  72x)
dx
= (360x2 72) = (360 cos2  72) = 72 (5 cos2  1)
Jadi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 84

m 1 d4 2
P = sin  (cos  - 1)3
 48 d(cos ) 4

1
= sin  { 72 (5 cos2  1) }
48
3
= sin  (5 cos2  1)
2
Setelah itu, T dapat ditentukan:

 2 + 1 - m ! 
1/ 2
m
    P
 2 .  + m ! 
 
1/ 2
 7 2 !  3
    sin  (5 cos2  1)
 2 . 4 !  2

1/ 2
 14  3
    sin  (5 cos2  1)
 48  2

1
 42 sin  (5 cos2  1)
8
Akhirnya ( 3, 1) diperoleh, yaitu:
1/ 2
 1 
 (, m ) =    ei m 
 2 
1/ 2
1  1 
( 3, 1) =  42   sin  (5cos2) ei 
8  2 

Soal-soal Bab 5
1. Buktikan commutator identitas berikut:
   
(a) [ A , B] = = [B , A] (5-1)
 n
(b) [A , A ]=0 (5-2)
     
(c) [k A , B ] = [ A , k B ] = k[ A , B ] (5-3)
      
(d) [ A , B + C ] = [ A , B ] + [ A , C ] ;
      
[ A+ B ,C ] = [ A,C ] + [ B ,C ] (5-4)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 85

       
(e) [A , 
B C ] = [ A , B ]C + B [ A ,C ] ;
        
[ A B ,C ] = [ A,C ]B + A [ B ,C ] (5-5)
    V
2. Buktikan [ p x p x , H ] =
i x

3. Buktikan [ x , p x ] = i 

 
4. Dengan menggunakan [ x , p x ] = i  dan commutator identitas, tentukan [ x , p x2 ]

5. Diketahui vektor A mempunyai komponen (3, 2, 6) dan vektor B komponennya (1,4, 4) .
Tentukan (a) harga skalar A dan B; (b) A + B ; (c) A  B; (d) A . B (e) A x B;
(f) sudut antara A dan B.
6. Buktikan bahwa:
Jika f dan g masing-masing adalah fungsi koordinat, buktikan bahwa:

2 f . g = g 2 f + 2  f .  g + f 2 g

7. Jika f = 2x2  5 xyz + z2  1, maka tentukan (a) gradien f ; (b)  2 f


  
8. Buktikan bahwa cross vektor L x L = i  L
 
9. Tentukan [ L2 , L y ]

10 . Tentukan koordinat polar dari titik-titik yang koordinat rektangularnya adalah:


(a) ( 1, 2, 0 ) ; (b) ( 1, 0, 3 ) ; (c) ( 3, 1, 2 ) ; (d) ( 1, 1, 1 )

 Tentukan koordinat rektangular dari titik-titik yang koordinat polarnya adalah:
 
(a) ( 1, ,  ) ; (b) ( 2, ;0)
2 4
12. Tentukan kemungkinan-kemungkinan sudut antara L dengan z, jika  = 2.
13. (a) Jika kita mengukur Lz dari sebuah partikel yang bilangan kuantum momentum angularnya adalah
 = 2, ada berapakah kemungkinan hasilnya ?
(b) Jika kita mengukur Lz dari sebuah partikel yang momentum angularnya adalah  12 , ada
berapakah kemungkinan hasilnya ?
2
14. Pada saat tertentu, sebuah partikel mempunyai fungsi  = N . e a r  12 (,

(a) Tentukan berapa momentum angular L nya ? (b) berapa Lz nya ?


Bab I/Pers. Schrodinger/ 86

(c) Berapa sudut antara L dengan sumbu z ?


15. Fungsi orbital momentum angular sebuah partikel adalah:

 = A sin2 cos  e 2 i  
(a) Tentukan berapa momentum angular L nya ?
(b) berapa Lz nya ?
(c) Berapa sudut antara L dengan sumbu z ?
16. Jika  = 3 dan m = 3, tentukan fungsi gelombang orbital momentum angularnya .
===000===

BAB VI
ATOM HIDROGEN
6.1 Persamaan Schrodinger Untuk Kasus Gaya Pusat
Kasus elektron dalam atom hidrogen adalah kasus gaya pusat yang bersifat sphericcaly
symetric. Oleh karena itu sebelum membahas Hidrogen, kita akan membahas kasus gaya pusat
ini secara lebih umum. Yang dimaksud dengan kasus gaya pusat adalah kasus-kasus yang
melibatkan partikel yang energi potensialnya hanya merupakan fungsi jarak, artinya energi
potensial hanya ditentukan oleh jarak partikel itu dari titik pusat peredaran, atau V = V( r) .Kita
tahu bahwa persamaan Schrodinger bebas waktu adalah:

H  = E (6-1)

dengan 
H adalah:
  
H = T + V =  (  2 / 2m )  2 + V( r) (6-2)

Karena sifatnya yang spherically symetric, maka kita gunakan  2 dalam koordinat spherik,
yaitu:

1  2  1   1 2
2 = r  sin   (6-3)
r 2 r r r 2 sin    r 2 sin 2  2

atau :

1  2  1   1 2 
2 =  r  sin    (6-4)
r 2  r r sin    sin 2  2 
Bab I/Pers. Schrodinger/ 87

Dari Bab 5 kita tahu bahwa :

  1   1 2 
L2 =   2  sin   
sin    sin 2   2 
 

Sehingga:

 1   1 2  
 sin    =  L2 /  2
 sin    sin 2   2 

Jadi (6-3) boleh ditulis:


 
1  2  L2   1  2  L2 
2 =  r   =  r   (6-5)
r 2  r r  2   r 2 r r r 2  2 

Substitusi (6-5) ke dalam operator Hamilton diperoleh:



 2  1  2  L2 
H=   r   + V( r) (6-6)
2m  r 2 r  r r 2 2
 


 2 1  2  L2
H=  r  + V( r) (6-7)
2m r 2 r r 2 m r2
Persamaan Schrodinger untuk kasus gaya pusat diperoleh, yaitu dengan mensubstitusi
(6-7) ke dalam (6-1), jadi :
2
 2 1  2  L
 r + + V( r)  = E (6-8)
2
2m r r r 2 m r2

Telah kita ketahui dari Bab 5, bahwa nilai eigen  terhadap operator L2 adalah  (  +1)  2
sehingga persamaan eigennya dapat ditulis:

L2   (  + 1)  2  (6-9)
dan (6-8) dapat ditulis:

 2 1  2     1  2
 r + + V( r)  = E  (6-10)
2m r 2 r r 2m r 2

Sekilas, tampaknya persamaan (6-9) hanya melibatkan satu variabel yaitu r, tetapi harus diingat
 
bahwa  (  + 1)  2 adalah nilai eigen dari operator L2 padahal seperti kita tahu, operator L2
melibatkan variabel  dan . Jadi sebenarnya persamaan (6-9) melibatkan tiga macam variabel,
Bab I/Pers. Schrodinger/ 88

yaitu r,  dan , sehingga  yang merupakan penyelesaian (6-9) harus (r,,) yang merupakan
gabungan dari ( r) , () dan (). Selanjutnya ( r) kita tulis R sedang menurut bab 5, ()
ditulis T dan () ditulis sehingga:
=RT (6-11)
Subtitusi (6-10) ke dalam (6-9) menghasilkan:

2  1  2  R T   (  1) 2
  r  + R T  + V( r) R T  = E R T  (6-12)
2m  r 2 r r  2m r 2
atau:

2  1  2 R  (  1) 2
 T   r  + R T  + V( r) R T  = E R T 
2m  r 2 r r  2m r 2
Jika dibagi dengan R T , hasilnya:

2 1  1  2  R  (  1) 2
  r  + + V( r) = E (6-13)
2m R  r 2 r r  2m r 2
atau:

2  1  2  R  (  1) 2
  r  + R + V( r) R = E R (6-14)
2m  r 2 r r  2m r 2

1  2  2 2 
Perlu diketahui bahwa r =  sehingga (6-14) boleh ditulis:
r 2 r r r 2 r r

 2   2 2   (  1) 2
   R + R + V( r) R = E R atau
2m  r 2 r r  2m r 2

 2   2 R 2 R  (  1) 2
   + R + V( r) R = E R atau:
2m  r 2 r r  2m r 2

2  2  (  1) 2
   R' '  R'  + R + V(( r) R = E R (6-15)
2m  r  2m r 2

Perlu ditegaskan bahwa bagi sembarang problem dengan fungsi energi potensial yang
spherically symetric V( r) , maka fungsi gelombangnya adalah  = R T  yang memenuhi
Bab I/Pers. Schrodinger/ 89

persamaan (6-15), dengan R = fungsi radial, T fungsi  dan  adalah fungsi . Fungsi T dan
fungsi  sudah kita turunkan di bab 5.
 Persamaan (6-15) adalah persamaan Schrodinger sebagai fungsi radial, untuk sembarang
problem yang melibatkan fungsi energi potensial yang spherically symetric V(r) .

6.2 Gerak Rotasi ( Rigid Rotor Dua Partikel )


Meskipun sebenarnya kita sudah dapat melanjutkan pembahasan dalam rangka
menyelesaikan persamaan Schrodinger untuk atom Hidrogen namun lebih dulu kita akan
menyelesaikan problema yang lebih sederhana yaitu rigid rotor dua partikel yaitu problema
tentang sistem dua partikel yang berada pada jarak yang tetap, dan dihubungkan oleh sebuah
batang kaku tanpa massa yang panjangnya d. Dalam kasus ini, karena jarak kedua partikel
tetap, maka gerak internal dalam bentuk vibrasi pasti tidak mungkin, sehingga satu-satunya
gerak internal adalah gerak rotasi. Seluruh energi dalam rotor adalah energi kinetik, jadi:

V=0 (6-16)
sehingga operator Hamilton untuk gerak rotasinya adalah:

 2 2
H =  (6-17)
2

Dalam persamaan (6-17) di atas kita gunakan  sebagai pengganti m, karena sistemnya terdiri
atas dua partikel, sehingga massa yang digunakan adalah massa tereduksi  yang didefinisikan:
m1 . m 2
= (6-18)
m1  m 2

dengan m1 dan m2 adalah massa masing-masing partikel. Operator  2 adalah operator  2


koordinat spherik seperti pada persamaan (6-5) yaitu:

 ^2 
 1  2 
2
 = r  L 
 r 2 r r r 2 2 
 

tetapi karena dalam rigid rotor, jari-jarinya konstan, maka turunan terhadap jari-jari = 0
Bab I/Pers. Schrodinger/ 90

^2
 2
 = L (6-19)
r 2 2

2 L2
karena jarak antar partikel adalah d, maka:  =  sehingga operator Hamiltonnya
2 2
r 
menjadi:

 =
1 ^2 (6-20)
H 2 L
2d

^ 2 adalah operator momentum angular untuk gerak translasi yang melengkung, sedang yang
L

2 2
kita bicarakan adalah gerak translasi. Untuk membedakannya, maka ^L diganti ^J yaitu

operator momentum angular rotasi. Sehingga (6-20) ditulis:

 =
1 ^2
H 2 J
2d

Demikian persamaan Schrodinger untuk rigid rotor dua partikel:


1 ^2  =E (6-21)
2 J
2d

2
Telah kita ketahui bahwa nilai eigen untuk  terhadap ^L adalah  (  + 1)  2 , jadi seharusnya

2 2
nilai eigen ^J adalah j ( j + 1)  2 , sehingga ^J  = j (j + 1)  2  dan (6-21) ditulis:

1
 j (j + 1)  2  = E  (6-22)
2  d2

sehingga:

j  j  1  2
E= (6-23)
2 d2

Selanjutnya  d2 ditulis I sehingga (6-23) ditulis:

j j  1  2
E= J = 0, 1, 2, . . . . . . . (6-24)
2I
dengan I = momen Inertia, yang didefinisikan:
I =  d2 (6-25)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 91

Perbandingan antara L dan J

L adalah momentum angular translasi, harganya  (  1 dengan  adalah bilangan

kuantum momentum angular translasi. J adalah momentum angular rotasi, harganya  j( j  1)

dengan j adalah bilangan kuantum momentum angular rotasi. L mempunyai komponen Lz =


m  , maka J juga mempunyai komponen yang disebut Jz = m  . Jika pada gerak translasi m
harganya mulai   , (  +1) . . . . . . +  , maka m pada gerak rotasi mempunyai harga mulai
dari j , j+1, . . . . sampai dengan +j.
Apakah Energi rotasi mengalami degenerate ?
Kita tahu bahwa energi level rotasi hanya ditentukan oleh j. Jadi jika j = 2 misalnya

32
maka energinya . Untuk j = 2, maka ada 5 harga m, yaitu 2 , 1, 0, 1, 2. Kita telah tahu
I

dari bab 5 bahwa fungsi eigen untuk operator momentum angular ditentukan oleh  dan m.
Sudah barang tentu untuk gerak rotasi, fungsi eigennya ditentukan oleh j dan m. Karena untuk j

= 2 ada 5 harga m, itu artinya untuk j = 2, ada lima macam fungsi gelombang yaitu:  -2
2
;  -1
2 ;

32
 02 ;  12 dan  22 , yang kelima-limanya mempunyai energi yang sama yaitu . Karena ada
I
5 fungsi gelombang berbeda yang energinya sama, maka dikatakan bahwa untuk j = 2, energi
level rotasi mengalami 5th fold degenerate.

6. 3 Gerak Rotasi Molekul Diatomik


Energi level rotasi molekul diatomik dapat diaproksimasi dengan menggunakan energi
level rigid rotor dua partikel (6-24). Telah diketahui bahwa ketika molekul diatomik
mengabsorpsi atau mengemisi energi, ternyata transisi rotasi murni yang mungkin adalah:
j = + 1 (6-26)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 92

Perlu ditambahkan bahwa momen dipole molekul harus tidak nol untuk dapat menghasilkan
spektrum rotasi murni. Transisi rotasi disebut transisi murni jika hanya bilangan kuantum rotasi
saja yang berubah. Jika terjadi transisi rotasi dari E2 ke E1 maka E nya yaitu E2 E1 berubah
menjadi foton atau h, Jadi:

j ( j  1) 2 j ( j  1) 2
h = 2 2  1 1
2I 2I

j ( j  1)  j1 ( j1  1) h 2
= 2 2 (6-27)
8 2 I

Jadi:
j ( j  1)  j1 ( j1  1)h
= 2 2 (6-28)
8 2 I

Jika dianggap j = 1, maka j2 = j1 + 1 sehingga. Jika j1 ditulis j saja, maka j2 = j + 1, jadi:

( j  1 ) ( j  2)  j ( j  1)h
= = 2 ( j + 1) B (6-29)
8 2 I

B = h / (82I) dan j = level yang rendah = 0, 1, 2, 3, . . . . . .


B disebut tetapan rotasi molekul.
Pengukuran terhadap frekuensi absorpsi rotasi, memungkinkan kita menghitung B. Dari B, kita
dapat menghitung momen inertia I, untuk selanjutnya jarak ikatan molekul d, dapat ditentukan.
Contoh:
Garis spektrum frekuensi terendah pad absorpsi rotasi murni molekul 12C32S terjadi pada 48991
MHz. Tentukan jarak ikatan.
Jawab:
Frekuensi terendah, berarti transisi dari j = 0  1, sehingga:
=2B jadi B =  / 2
B = h / (82I) I = h / ( 8 2 B) = h / (4 2 )
I =  d2  d2 = I /  = h / (42   )

h
d=
4 2 
Bab I/Pers. Schrodinger/ 93

m1 .m 2 12(31,97207)
= = x 1,661 . 1024 gram = 1,44885 . 1023 gram
m1  m 2 12  31,97207

= 1,44885 . 1026kg

6,62608 x 10 34 J s
d= = 1,5377 x 1010 m = 1,5377 A
4 (4,14) 2 ( 48991 s -1 ) (1,44885 x 10 26 kg )


6.4 Atom Hidrogen
Atom hidrogen terdiri atas sebuah proton dan sebuah elektron. Jika e menyatakan
muatan sebuah proton ( e = + 1,6 x 1019 C ) maka muatan elektron adalah  e. Kita akan
berasumsi bahwa elektron dan proton adalah titik massa yang interaksinya mengikuti hukum
Coulomb. Dalam membahas tentang atom atau molekul , kita biasanya akan memandangnya
sebagai sistem terisolasi, dengan mengabaikan interaksi antar atom dan antar molekul.
Pembahasan kita tentang Hidrogen ini akan kita buat lebih umum, yaitu tidak saja untuk atom
hidrogen, tetapi juga untuk atom yang mirip Hidrogen (Hidrogen liked atom) yaitu misal ion
He+ ; ion Li2+ dan lain-lain.

Pertama kita akan membicarakan gaya yang bekerja dalam sistem ini, yaitu gaya Coulomb:

1 Ze 2
F= (6-30)
4 o r 2

yang merupakan gaya pusat. Hubungan antara energi potensial V dengan F yang bekerja adalah:
F = dV/dr (6-31)
dengan demikian maka:

1 Ze 2
dV/dr = , jadi:
4 o r 2

1 Ze 2
V=  (6-32)
4 o r

Supaya penulisannya ringkas (¼o)1/2e diganti e', sehingga (6-32) menjadi:

Ze ' 2
V= (6-33)
r
Bab I/Pers. Schrodinger/ 94

Jika kita misalkan gerak internal dalam sistem itu diwakili oleh fungsi  dengan  adalah:
=R (6-34)
maka sebagai representasi dari kasus gaya pusat,  harus mengikuti persamaan:

2  2     1  2
  R' '  R' + R + V(( r) R = E R (6-15)
2m  r  2m r 2

Ze ' 2
Dengan memasukkan harga V =  , dan m diganti  (mengapa ?) maka (6-15) menjadi:
r

2  2     1  2 Ze ' 2
   R' '  R' + R R=ER
2m  r  2 r 2 r

2  2     1  2 Ze ' 2
   R' '  R' + R RER=0
2m  r  2 r 2 r

2 2    1  2 2 Ze ' 2 2
 R' '  R '  R R  ER=0
r  2 2 r 2  2 r 2

2    1  2 Ze ' 2 2
 R' '  R '  R R  ER=0
r r 2  2 r 2
atau:

Jika  2 /  e ' 2 diganti a maka:

2    1  Ze2 2E
 R' '  R '  R R  R=0
r r 2 ar a e' 2

atau

2  Ze2 2E    1  
R' '  R'     R = 0 (6-35)
r  ar a e' 2 r2 

Persamaan (6-35) adalah persamaan Schrodinger untuk atom hidrogen dinyatakan dalam satu
variabel yaitu radial. Jika (6-35) diselesaikan, maka R diperoleh. Padahal T dan  sudah kita
ketahui dari bab 5. Jadi Jika R diperoleh maka  untuk atom mirip hidrogen yang merupakan
penggabungan (hasil kali) R T  juga diperoleh.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 95

Solusi Persamaan Radial


Untuk memperoleh R, sebenarnya kita dapat langsung menyelesaikan (6-35) dengan
menggunakan metode deret. Tetapi relasi recursi yang diperoleh akan terlalu rumit. Agar relasi
recursi yang diperoleh bentuknya sederhana maka kita akan melakukan beberapa langkah awal
yaitu dengan memasukkan r yang sangat besar. Jika r =  , maka (6-35) menjadi:
2E
R ''   R = 0 (6-36)
a e' 2

dan penyelesaian-penyelesaiannya adalah:


2
e  i  2E / a e' r (6-37).
Sekarang pembahasan akan kita fokuskan jika E positif. Untuk E positif, maka bilangan dalam
akar akan negatif, sehingga muncullah i sebagai faktornya r :
2
R  e  i 2E / a e' r E>0 (6-38)
atau, jika harga a dikembalikan ke asalnya maka:

R  e i ( 2  E ) r /  E>0 (6-39)
Simbol  pada (4-9) menunjukkan bahwa R tersebut adalah R yang hanya berlaku untuk r yang
sangat besar, dan merupakan fungsi asymtotik terhadap R yang sesungguhnya.
Bentuk persamaan (6-39) tersebut mengingatkan kita kepada persamaan (6-26) pada bab III
mengenai partikel bebas. Ini berarti untuk r sangat besar dan E > 0 maka elektron atom hidrogen
berada dalam keadaan partikel bebas, atau dengan perkataan lain hidrogen dalam keadaan ion
positif.

Persamaan (4-9) belum memberikan faktor radial yang lengkap bagi fungsi radial
dengan E positif. Studi lebih lanjut mengenai hal ini (baca literatur Quantum Mechanics of One
and Two Electron Atoms , 1957 karangan Bethe dan Salpeter halaman 21-24) menunjukkan
bahwa fungsi radial dengan E positif harganya tertentu (terhingga) untuk sembarang harga r
berapapun harga E positifnya. Ini berarti, bahwa sebagai partikel bebas sembarang harga E
nonnegatif diijinkan atau untuk partikel bebas, energinya kontinum nonnegatif atau tidak energi
level bagi partikel bebas.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 96

Karena kita mendapat energi positif yang kontinum, maka eigen fungsi yang bersangkutan
disebut continuum eigenfunctions. Sebagaimana lazimnya fungsi partikel bebas, maka fungsi
eigen kontinuumpun tak ternormalisasi.
Sekarang kita akan membahas bound state atom Hidrogen yaitu jika E < 0. Jika E negatif
maka bilangan di bawah tanda akar dalam (6-37) adalah positif. Karena berapapun harga r,
fungsi harus bernilai terhingga, maka kita pilih tanda minus untuk persamaan (6-37) tersebut
sehingga:
2
R  e   2E / a e' r E<0 (6-40)
Persamaan (6-40) menunjukkan bahwa R disitu adalah fungsi asymtotik bagi R yang
sesungguhnya. Karena (6-40) adalah asymtotik terhadap R sesungguhnya maka R sesungguhnya
pasti mengandung (6-40). Kita boleh memisalkan R dalam bentuk apapun asal mengandung (6-
40). Misal R sesungguhnya adalah:
2
R = K e   2E / a e' r (6-41)
dengan K adalah fungsi r atau K(r). [ Hati-hati dengan e dan e' pada (6-30). Ingat bahwa e disitu
adalah bilangan basis logaritma natural, tidak ada hubungannya dengan muatan proton sedang e'
ada hubungannya dengan muatan proton ].

Jika  2E / a e' 2 dengan C, maka (6-41) menjadi:

R = K e C r (6-42)
dengan

C=  2E / a e' 2 (6-43)
Penggunaan R dalam (6-43) dijamin tidak hanya berlaku untuk r sangat besar, tetapi untuk
sembarang harga r asal E negatif.
Proses selanjutnya, R pada (6-42), turunan pertamanya ( R') dan turunan keduanya (R'')
dimasukkan pada (6-35), maka (6-35) akan menjadi:
` r2 K '' + ( 2r  Cr2 ) K ' + [ ( 2 Z a1  2 Cr )   (  +1) ] R = 0 (6-44)
Sekarang, kita dapat memasukkan deret pangkat berbentuk:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 97


K=  ck . r k (6-45)
k 0

ke dalam (6-44). Jika kita benar-benar melakukannya, maka akan kita lihat bahwa beberapa
koefisien pada suku-suku yang awal dari deret penyelesaian itu adalah nol. Jika kita misalkan
koefisien pertama yang tidak nol adalah koefisien suku ke s atau cs , maka (6-45) boleh ditulis:

K=  ck . r k ck  0 (6-46)
k s

Jika k  s diganti j maka: k = s diganti j = 0 dan k diganti j + s, sehingga (6-46) menjadi:


 
K=  c js . r js = rs  c js . r j cj+s  0 (6-47)
j0 j0

Selanjutnya cj+s diganti bj sehingga:



K = rs  b j. r j bi  0 (6-48)
j0

(Meskipun kita telah melakukan berkali-kali substitusi, tetapi substituennya adalah substituen
sembarang, jadi tidak mengubah prosedur standar penyelesaian persamaan diferensial dengan
metode deret). Dalam (6-47) s adalah bilangan bulat, yang nilai ditentukan pada saat
menyelesaikan persamaan diferensial. Selanjutnya kita buat fungsi radial baru yaitu M yang
harganya adalah K / rs Jadi:

K = rs M bi  0 (6-49)

M=  bj. r j bi  0 (6-50)
j0

Kita cari K' dan K'' dari (6-49) dan bersama (6-49) kita masukkan ke dalam (6-44), kita peroleh:
r2M'' + [(2s + 2 ) r  2C r2 ] M' + [ s2 + s + ( 2 Z a1 2 C 2 C s ) r   (  +1)] M = 0
(6-51)
Untuk mendapatkan harga s kita tempuh langkah-langkah sebagai berikut:
Masukkan r = 0 ke dalam (6-50) sehingga :
[ s2 + s   (  +1)] = 0 (6-52)
dan diperoleh:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 98

s=  dan s=  1 (6-53)


Dari dua harga s ini, mana yang akan dipergunakan ? Untuk itu ikuti uraian berikut:
Dari (6-42) , (6-49) dan (6-50) kita peroleh:

R = e C r rs  b j r j atau: (6-54)
j0

R = e C r rs M (6-55)

Ingat bahwa e C r = 1  Cr + (Cr)2/ 2 !  . . . . . maka untuk r yang kecil, e C r = 1, sementara


 
itu  b j r j = b0 + b1 r + b2 r2 . . . . sehingga untuk r yang kecil,  b j r j = b0, akibatnya untuk
j0 j0

r yang kecil, (4-24) menjadi:


R = b0 rs (6-56)
b
Untuk s =  maka R = b0 r  sedang untuk s =   1 , maka R = o yang akan menjadi tak
r  1

terhingga untuk r = 0. Padahal yang begitu tidak boleh. Jadi s =   1 dibuang, dan s = 
dipergunakan. Dengan s =  , persamaan (6-51) akan menjadi:
r2M'' + [(2  + 2 ) r  2C r2 ] M' + [  2 +  + ( 2 Z a1 2 C 2 C  ) r  (  +1)] M = 0
r2M'' + [(2  + 2 ) r  2C r2 ] M' + ( 2 Z a1 2 C 2 C  ) r M = 0
r2M'' + [(2  + 2 )  2C r ] r M' + ( 2 Z 1 2 C 2 C  ) r M = 0
jadi:
rM'' + [(2  + 2 )  2C r ] M' + ( 2 Z a1 2 C 2 C  ) M = 0 (6-57)
Sementara itu dengan s =  Persamaan (6-55) menjadi:

R = e C r r  M (6-58)
dengan M adalah dinyatakan pada (6-50) yaitu:

M=  b j. r j (6-59)
j0

   
M' =  j. b j r j 1 =  j. b j r j 1 =  (k  1) . b k 1 r k =  ( j  1) . b j1 r j
j0 j1 k 0 j0
Bab I/Pers. Schrodinger/ 99

  
M'' =  ( j  1) j . b j r j  2 =  ( j  1) j . b j r j  2 =  (k ) (k  1) . b k 1 r k 1 =
j0 j1 k 0


=  ( j) ( j  1) . b j1 r j1
j 0

Jika M, M' dan M'' disubstitusikan ke dalam (6-57), kita peroleh:


   2Z  
  j j  1b j1  2  1 j  1b j1   a  2C  2C   2 C j b j  r j = 0
j0    

Jadi:

  2Z  
 j j  1b j1  2  1 j  1b j1    2C  2C   2 C j  b j  = 0
  a  

dan diperoleh relasi recursi:

2C  2C   2 C. j  2 Z 1
bj + 1 = bj (6-60)
j j  1  2  1 j  1

Sekarang kita harus menguji sifat deret tak terhingga (6-50) untuk r yang besar. Karena untuk r
yang besar sifat deret ditentukan oleh suku-suku yang besar, maka kita akan menguji rasio
antara
bj + 1/ bj untuk j yang besar. Untuk j yang besar:
2C j 2C
bj + 1/ b j =  untuk j besar (6-60)
j2 j

Marilah sekarang kita perhatikan seandainya kita mempunyai bentuk e 2Cr . Jika bentuk e 2Cr ini
kita nyatakan dalam bentuk deret pangkat, maka:

(2C) 2 r 2 (2C) j r j (2C) j1 r j1


e 2Cr = 1 + (2Cr) + ..... + + ... (6-61)
2! j! ( j 1) !

Rasio koefisien r dari sebuah suku dengan suku sebelumnya dari (6-61) tersebut adalah:

(2C) j1 (2C) j (2C) j1 j! 2C 2C


/ = . = = untuk j besar
( j 1) ! j! ( j 1) ! ( 2C ) j j  1 j 1

yang ternyata sama dengan (6-60) untuk j besar. Hal ini mendorong kita untuk menyimpulkan

bahwa untuk j yang besar (6-50) sifatnya mirip e 2Cr , sehingga kita boleh menuliskan:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 100

M ~ e 2Cr (6-62)
atau:

 b j r j ~ e 2Cr (6-63)
j0

dan selanjutnya maka (4-24) dapat ditulis:

R ~ e C r rs e 2Cr atau

R ~ rs e Cr
Karena uraian kita ini tadi berangkat dari s =  , maka:

R ~ r  e Cr (6-64)
Namun perlu diperhatikan bahwa (6-64) akan menjadi tak terhingga jika r tak terhingga dan ini
tidak boleh karena tidak quadratically integrable. Satu-satunya cara untuk mengatasi hal ini
adalah (seperti yang sudah kita kenal pada osilator harmonis) menghentikan deret (6-50) pada
suku tertentu, misal suku ke k. Ini berarti relasi recursi ( 4- 27) harus menjadi nol jika j = k, jadi:

2C  2C   2 C. k  2Za 1
b j = 0 atau:
k k  1  2k  1k  1

2C + 2C  + 2 C k  2 Z a-1 = 0 atau
2C (1 +  + k )  2 Z a-1 k=0,1,2,.... (6-65)
karena  dan k adalah bilangan bulat maka ( 1 +  + k ) pasti adalah bilangan bulat yang baru
yang untuk selanjutnya disebut bilangan kuantum utama = n, jadi:
n = ( 1 +  + k) (6-66)
Dari (6-65) maka hubungan antara  (bilangan kuantum momentum angular ) dengan n
(bilangan kuantum utama adalah:
 =n1k atau:
 <n1 (6-67)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 101

Catatan:
Dalam pembahasan mengenai hidrogen ini mucul bilangan kuantum utama n. Pada
pembahasan mengenai momentum angular, kita telah mengenal dua bilangan kuantum
yaitu  dan m. Karena momentum angular berlaku untuk semua gerak melengkung, dan
gerak elektron dalam atom adalah gerak melengkung maka  dam m juga berlaku pada
gerak elektron dalam atom. Jadi sampai sejauh ini kita mengenal 3 macam bilangan
kuantum adalah atom yaitu n,  dan m.

Energi Level
Jika kita masukkan (6-66) ke dalam (6-65) maka diperoleh:
C n = Z a1 (6-68)

Jika harga a =  2 /  e ' 2 dan C =  2E / a e' 2 dimasukkan kembali, maka diperoleh:

Z 2 e' 2
E= atau: (6-69)
2  2n 2

e' 2 Z 2
E= atau: (6-70)
2 2 n2

jika harga e' = (4o)-1/2 e dimasukkan kembali maka:

1  e2 Z2
E= (6-71)
4 o 2  2 n 2

Untuk atom hidrogen:

1  e2 1
E= (6-72)
4 o 2  2 n 2

m proton . m elektrom
dengan  = = 0,9994557 melektron =9,1044318 . 10kg;
m proton  m elektrom

e =muatan proton=1,602177x1019 C ; Z = nomor atom dan 0 = permitivitas dalam vakum =


8,8541878 x 1012 C / N.m2
6.5 Fungsi Gelombang Atom Hidrogen
Fungsi Radial R
Dengan memanfaatkan (4-35) maka relasi recursi (6-60) menjadi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 102

2Z j   1 n
bj + 1 = bj (6-73)
n a  j  1 ( j  2  2)

Pada pembahasan penurunan (6-66) dinyatakan bahwa polinomial M =  b j r j akan dihentikan


j0

pada saat j = k, sehingga polinomialnya (dikenal dengan Polinomial Laguerre) menjadi:


k +
M=  b jr j (6-66 )
j0

+
Karena menurut (6-66), n = ( 1 +  + k) maka k = n   1, sehingga (6-66 ) menjadi:
n  1
M=  b jr j (6-74)
j0

Fungsi radialnya dinyatakan oleh (4-24 c) yaitu: R = e C r r  M. jadi


n  1
R = e C r r   b jr j atau: (6-75)
j0

jika harga C dimasukkan maka diperoleh :


Z
 r n  1
R = r e na  b jr j atau: (6-76)
j0

R adalah salah bagian saja dari fungsi gelombanh Hidrogen. Perlu diketahui bahwa elektron
dalam atom hidrogen bergerak spherik, artinya pasti terjadi momentum angular. Oleh karena itu
selain fungsi radial, fungsi gelombang hidrogen pasti juga terdiri atas fungsi eigen momentum
angular yang sudah diturunkan pada bab V. Secara keseluruhan fungsi gelombang atom mirip
hidrogen adalah::

=R.T. (6-77)
dengan T dan  dapat dilihat pada bab V tentang momentum angular.
Jika kita perhatikan persamaan (5-30) bab V, tampak bahwa  ditentukan oleh bilangan
kuantum m. Dari (5-64) bab V, tampak bahwa T ditentukan oleh  dan m, dan jika kita amati
persamaan (5-4) bab ini, maka tampak bahwa R ditentukan oleh n dan  maka dapat
disimpulkan bahwa  ditentukan oleh tiga macam bilangan kuantum yaitu n ,  dan m, sehingga
(6-77) biasa ditulis:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 103

(n ,  , m ) = R( n,  ) . T(  , m) . (m) (6-78)


Contoh
Tentukan fungsi gelombang atom hidrogen dengan n = 3,  = 1 dan m = 1.
Jawab:
Menentukan fungsi 
Dengan menggunakan persamaan (5-30) bab V:
1/ 2 1/ 2
 1   1 
 =   ei m    ei  (6-79)
 2   2 

Menentukan T
Dengan menggunakan (5-64) bab V:

 2 + 1 - m ! 
1/ 2
m
    P
 2 .  + m  ! 

m
Kita hitung dulu P :dengan menggunakan (5-63) bab V:

 m
m 1 m /2 d
P = (1 - cos 2 ) (cos 2  - 1) 
 2 .  !  m
d(cos )

1 d2
= (1 - cos 2 ) 1 / 2 (cos 2  - 1)1
21. 1! d(cos ) 2

1 d2
= (1 - cos 2 ) 1 / 2 (cos 2  - 1)1
2 d(cos ) 2

d2
Kita selesaikan dulu (cos 2  - 1) dan supaya tampak sederhana cos  kita ganti x
d(cos ) 2

sehingga:

d2 d2
(cos 2  - 1) = (x 2  1)
d(cos ) 2 dx 2

d
= 2x = 2
dx
Jadi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 104

1
(1 - cos 2 ) 1 / 2 . 2 = sin 
m
P =
 2

Setelah itu, T dapat ditentukan:

 2 + 1 - m ! 
1/ 2
m
    P
 2 .  + m ! 

1/ 2
 31! 
1/ 2
3
=   sin    sin  (6-80)
 2 . 2!  4

Menentukan Fungsi Radial:


Dengan menggunakan (6-76) bab ini:
Z
 r n  1
R = r e na  b jr j
j0

1
r 1
=r. e a
3  b jr j
j0

1
r
=r. e a
3 ( bo + b1 r ) (6-81)
Koefisien b1 ditentukan dengan relasi recursi (6-73) bab ini:
2Z j   1 n
bj + 1 = bj
n a  j  1 ( j  2  2)

jadi:
2 0 11 3 1
b1 = bo =  bo
3 a (0  1) (0  2  2) 6a

Harga b1 dimasukkan ke dalam (6-81):


1 1
 r 1 1  r
R=r. e a
3 ( bo  b o r ) = bo { r . (1  r ) e 3a }
6a 6a
bo dicari dengan normalisasi:


* R d
R =1
0
Bab I/Pers. Schrodinger/ 105

2
    
1 

2 d 2 r 2 dr 1
R = R = b o2   r (1  r) e a 
3 r2 dr = 1
6a
0 0 0  

  
2 

2 1
  r (1  r) e 3 a  r 2 = 1/ b o2
2
6a
0  

  
2 

1 3 1

2
 (r  r  r ) e a  r 2 = 1/ b o2
4 3
0 
3a 62 a 2 

  
2 

1 5 1

4
 (r  r  r ) e 3 a  = 1/ b o2
6
0 
3a 62 a 2 

 2  2  2
 1  1 
4 5 6 2
 r e 3 a d r   3 a r e 3 a d r   2 2 r e 3 a d r = 1/ b o
0 0 06 a

5 6 7
3a  1 3a  1 3a 
4 !.    (5!)   + ( 6 ! )   = 1/ b o2
2
  3 a 2
  2
6 a 2  2 

4. 3. 2. 35 . 25 a5  5. 4. 2. 36 26 a5 + 5 .4. 37 27 a5 = 1/ b o2

36. 22 a5  5. 36 23 a5 + 5. 37 25 a5 = 1/ b o2

3 6 5 5. 3 6 5 5. 3 7 5
a  a + a = 1/ b o2
4 8 32

8. 3 6 5 4. 5. 3 6 5 5 . 3 7 5
a  a + a = 1/ b o2
16 32 32

36 5
( 8  4 . 5 + 5 . 3) a = 1/ b o2
32
1/ 2 1/ 2
36 5 32  32   64 
3 a = 1/ b o2  b o2 =  bo =  
 =  
32 3 . 3 6 .a 5  3. 3 6 .a 5   6. 36.a 5 

1/ 2
8  1  8 1
bo =   = .
2
27 a  6.a  27 6 a2 a

Jadi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 106

1
1  r
R = bo { r . (1  r ) e 3a }
6a
1
8 1 1  r
R= . { r . (1  r ) e 3a }
27 6 a 2 a 6a

Akhirnya  diperoleh yaitu:


(3, 1, 1) = R T  = . . . . . . . . . . (masukkan)
Degenerasi
Apakah energi level atom hidrogen mengalami degenerate ? Untuk menjawab ini marilah kita
lihat persamaan (6-72). Dari persamaan tersebut tampak bahwa energi level atom hidrogen
hanya ditentukan oleh n, padahal fungsi gelombangnya  ditentukan oleh 3 macam bilangan
kuantum, ini berarti dapat saja terjadi bahwa fungsi gelombang yang n sama mempunyai  dan
m berbeda kecuali untuk n = 1. Sebab untuk n = 1, hanya ada satu kemungkinan harga  dan m
yaitu  = 0 dan m = 0, sehingga untuk n = 1 hanya adalah satu macam fungsi gelombang yaitu
(1, 0, 0 ) . Tetapi bagaimana untuk n = 2
Untuk lebih jelasnya kita buat tabel n,  dan m serta fungsi gelombangnya.

Bil. Kuantum Bil Kuant. Angular Bil. Kuan. Magnetik Fungsi Gelombang
Utama n  m
1 0 0 ( 1, 0, 0 )

2 0 0 ( 2, 0, 0 )

1 1 ( 2, 1,  )
 ( 2, 1, 0 )
 ( 2, 1, 1 )
 
3 0  ( 3, 0, 0 )
1  ( 3, 1,  )
 ( 3, 1, 0 )
Bab I/Pers. Schrodinger/ 107

 ( 3, 1, 1 )
2  ( 3, 2,  )
 ( 3, 2,  )
 ( 3, 2, 0 )
 ( 3, 2, 1 )
 ( 3, 2, 2 )
Dst  

Dari tabel di atas tampak bahwa untuk n > 2, maka diperoleh n2 fungsi gelombang berbeda. Jadi
untuk n – 2 ada 4 fungsi gelombang yang berbeda yaitu ( 3, 1,  ) , ( 3, 1, 0 ) , ( 3, 1, 1 ) dan ( 3, 2,

 ) . Karena n nya sama, maka ke empat fungsi gelombang tersebut mempunyai energi level
yang sama. Dengan demikian maka untuk n = 2 energi level atom hidrogen mengalami
degenerasi dengan derajat degenerate = 4.
Dengan penjelasan yang sama maka dapat kita ketahui bahwa ada 9 fungsi gelombang
yang energinya sama untuk n = 3 yaitu: ( 3, 0, 0 ) , ( 3, 1,  ) , ( 3, 1, 0 ) , ( 3, 1, 1 ) , ( 3, 2,  ) , ( 3,

2,  ) ,

( 3, 2, 0 ) , ( 3, 2, 1 ) , dan ( 3, 2, 2 ).

6.6 Bilangan Kuantum Magnetik Spin


Sejauh ini, kita telah menurunkan 3 macam bilangan kuantum, yaitu bilangan kuantum
utama n, Bilangan kuantum momentum angular translasi  dan bilangan kuantum orbital
momentum angular m. Bilangan kuantum utama menentukan energi dengan relasi:

1  e2 1
E=
4 o 2  2 n 2

Bilangan kuantum utama juga berkorelasi dengan kulit lintas, yang hubungannya dapat dilihat
dari tabel berikut:

n 1 2 3 4 5 6 7
Kulit  K L M N O P Q
Bab I/Pers. Schrodinger/ 108

Bilangan kuantum utama ini muncul ketika menentukan fungsi Radial


Bilangan kuantum momentum angular, menentukan momentum angular dengan relasi:

L =  (  1)

Bilangan kuantum  ini juga menentukan bentuk lintasan. Bilangan  muncul ketika kita
hendak menentukan fungsi  . Dalam bahasa spektrum, bilangan  berhubungan dengan nama-
nama orbital.

  0 1 2 3 4 dst
Orbital  s p d f g h
Bilangan kuantum yang ketiga adalah bilangan kuantum orbital momentum angular yang juga disebut
bilangan kuantum magnetik translasi m. Bilangan ini merupakan penentu Lz yaitu proyeksi momentum
angular L pada sumbu z. Hubungan antara Lz dan m adalah:
Lz = m 
Bilangan m ini juga dipandang sebagai penentu orientasi (arah) translasi elektron, karena jika
kita mengetahui m kita dapat mengetahui Lz. Jika kita mengetahui Lz, maka arah momentum
angular dapat diketahui, karena:
Lz = L cos 
dengan  adalah sudut arah L terhadap sumbu z. Jika arah L diketahui, maka dengan kaidah
tangan kanan, arah translasi elektron dapat diketahui.
Apakah dengan 3 macam bilangan kuantum sudah cukup ? Jika mengacu kepada
fenomena makroskopis, maka dapat diketahui bahwa kedudukan planet dalam tata surya
ditentukan oleh 4 macam tetapan, yaitu tetapan energi, tetapan momentum angular, tetapan
komponen momentum angular dan tetapan rotasi. Dua buah planet tidak pernah bertabrakan
karena tidak ada dua planet yang keempat tetapannya sama. Jika fenomena mikroskopik
dipandang sebagai miniatur dari fenomena makroskopik maka atom masih membutuhkan satu
tetapan lagi yang berasal dari gerak rotasi elektron. Kita tahu translasi elektron dalam atom
adalah lintasan sperik, oleh karena itu mempunyai momentum angular L. Karena gerak rotasi
juga bersifat spherik maka gerak rotasi juga harus mempunyai momentum angular yang disebut
momentum angular rotasi, notasinya S. Jika L ditentukan oleh  dalam relasi L =  (  1)

Maka S ditentukan oleh s (bilangan kuantum angular spin) dalam relasi S =  s(s  1) . Kita
Bab I/Pers. Schrodinger/ 109

tahu bahwa L mempunyai komponen yang disebut Lz, maka S harus mempunyai komponen
yang disebut Sz. Jika Lz ditentukan m dalam relasi Lz = m  maka penentu Sz adalah ms dalam
relasi:
Sz = ms 
Kita tahu banyaknya harga m adalah 2  +1 mulai dari   , (  +1) . . . . . .+  . Jika begitu
banyaknya harga ms harus 2s + 1 yaitu dari s sampai + s. Kita juga tahu bahwa m adalah
penentu arah translasi, maka ms pasti penentu arah rotasi. Karena hanya ada 2 macam arah
rotasi, maka tentu hanya ada dua macam harga ms. Padahal banyaknya harga ms = 2s + 1, jadi{
2s + 1 = 2  s=½
Karena harga ms adalah s dan + s maka harga ms = + ½
Dan harga momentum angular rotasi S adalah:

S =  s(s  1) =  3 / 4 = 3
2
Selanjutnya ms = + ½ itulah yang dijadikan sebagai bilangan kuantum ke empat.

6.7 Pengaruh Momentum Angular Translasi Terhadap Energi (Efek Zeeman)
Telah kita ketahui bahwa energi hanya ditentukan oleh bilangan kuantum utama n. Hal
itu benar, manakala atom tidak berada di bawah pengaruh medan magnet eksternal. Tetapi jika
ada medan magnet eksternal maka momentum angular akan mengubah besarnya energi. Berapa
besar perubahan energi yang ditimbulkan oleh momentum angular jika atom berada dalam
medan magnet eksternal yang kuat medannya B, itulah yang akan kita bahas sekarang.
Jika elektron dalam atom bermassa m dan bermuatan e, membentuk lintasan spherik, maka
selain momentum angular L, juga terjadi momen magnet  yang arahnya berlawanan dengan
arah L. Sedang arah L adalah arah ibu jari tangan kanan jika arah lintasan partikel (elektron)
ditunjukkan oleh keempat jari yang digenggamkan. Hubungan antara  dan L adalah:
e
= L (6-82)
2m

tanda negatif tersebut menunjukkan bahwa arah L dab  berlawanan. Menurut tinjauan

mekanika kuantum besarnya L =  (  1) , jadi :


Bab I/Pers. Schrodinger/ 110

e
=  (  1) (6-83)
2m

Jika sebuah atom dengan momen magnet  berada dalam medan magnet eksternal yang kuat
medannya B, maka perubahan energi yang dialami atom itu adalah:
Em =   . B =   . B cos  (6-84)
dengan  adalah sudut antara  dan B.
Substitusi (6-82) ke dalam (6-84) menghasilkan:
e
Em = B . L cos  (6-85)
2m

L cos  adalah Lz jadi:


e
Em = B . Lz (6-86)
2m

Kita juga tahu bahwa Lz = m  jadi:


e
Em = m B (6-87)
2m

( m yang cetak miring adalah bilangan kuantum magnetik sedang m yang cetak tegak adalah
massa partikel/elektron).
e
Kuantitas biasa ditulis , sehingga (6-87) juga boleh ditulis:
2m

Em = m  B (6-88)
 = Bohr Magneton = 9,27402 . 1024 J/T
Dari Persamaan (6-88) itu tampak bahwa bilangan kuantum magnetik akan menentukan
perubahan energi orbital, manakala atom (hidrogen) berada di bawah pengaruh medan magnet
kecuali orbital-orbital yang m-nya nol.
Perubahan energi orbital itu dapat digambarkan sebagai berikut:
m B
m B 3
mB 2 2
1 1 1
Em 0 0 0 0
1 1 1
 
Bab I/Pers. Schrodinger/ 111



Orbital s Orbital p Orbital d Orbital f

Gambar 6.1 : Splitting Energi orbital s, p , d dan f

Dari gambar (6-82) tersebut tampak bahwa selain orbital s, semua orbital mengalami perubahan
energi. Orbital p pecah menjadi 3 sub level magnetik, orbital d menjadi 5 dan orbital f menjadi 7
sub level magnetik. Banyaknya sub level dalam sebuah orbital disebut komponen Zeeman. Jadi
komponen Zeeman orbital s, p, d dan f adalah 1, 3, 5 dan 7. Secara umum dapat dinyatakan
bahwa banyaknya komponen Zeeman adalah 2  +1.

===000===
Soal-soal Bab 6
1. Frekuensi absorpsi terkecil untuk molekul 12C16O adalah 115271 MHz. Hitunglah:
a) Jarak ikatan 12C16O
b) Prediksilah dua frekuensi serapan terkecil berikutnya
c) prediksilah frekuensi serapan terendah bagi 13C16O
2. Hitunglah panjang gelombang garis spektra yang muncul dari transisi n = 6  3 pada atom
hidrogen. Ulangi hal yang sama untuk He.
3. Hitunglah Tingkat energi dasar hidrogen dalam satuan eV.
4. Positron adalah partikel dengan massa sama dengan massa elektron tetapi bermuatan +e.
Tentukan berapa eV tingkat energi dasar atom positronium (atom ini terdiri atas 1 positron
dan 1 elektron.
5. Untuk atom mirip hidrogen dalam keadaan dasar, tentukan < r >
6. Tentukan < r > untuk 2p0 dari atom mirip hidrogen .
7. Tentukan < r2 > untuk 2p1 dari atom mirip hidrogen .
8. Tulislah fungsi radial 2s dan 2p untuk atom mirip hidrogen. Tulis pula fungsi gelombangnya.
9. Harga  untuk orbital d = 2. Berapakah harga  untuk orbital t ?
Catatan :Nama orbital adalah s, p, d, f. Setelah itu alphabetik, dengan j tidak dipergunakan.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 112

10. Untuk atom hidrogen dalam keadaan ground state, tentukan probabilitas mendapatkan
elektron pada jarak lebih dari 2a ?
11. Tentukan, berapakah jari-jari ruang 1s atom hidrogen menggunakan batas probabilitas 90 %
?
12. (a) Tentukan < T > untuk atom hidrogen keadaan dasar. (b) Dengan < T > itu, tentukan
kecepatan elektron.
13. Tentukan populasi ratio gas atom hidrogen antara n = 2 dan n = 1 pada suhu:
(a) 25o C (b) 1000 K (c) 10 000 K
14. Tentukan fungsi gelombang atom hidrogen 3,2,1
15. Fungsi gelombang atom hidrogen didefinisikan sebagai:
 = A r2 er / 3a sin2 e2 i 
a) tentukan A
b) Tentukan n
c) Tentukan 
d) Tentukan L
e) Tentukan Lz
===000===
BAB VII
TEOREMA MEKANIKA KUANTUM
7.1 Pengantar
Persamaan Schrodinger untuk atom yang hanya mepunyai satu elektron dapat kita
selesaikan secara pasti, tetapi tidak demikian halnya untuk atom yang berelektron banyak dan
juga molekul, karena dalam kedua sistem yang terakhir terjadi repulsi antara satu elektron
dengan elektron lain. Untuk itu kita butuhkan metode lain untuk menyelesaikan persamaan
Schrodinger untuk atom berelektron banyak dan molekul. Ada dua metode yang akan kita
bicarakan pada Bab VIII dan Bab IX, yaitu metode variasi dan teori perturbasi. Untuk dapat
memahami kedua metode tersebut kita harus mengembangkan lebih lanjut pemahaman kita
Bab I/Pers. Schrodinger/ 113

terhadap mekanika kuantum, yang secara garis besar telah kita pelajari. Jadi target bab ini
adalah membahas secara lebih mendalam mengenai teorema mekanika kuantum.
Sebelum mulai, marilah kita mengenal beberapa notasi integral yang akan dipergunakan.
Definit integral seluruh ruang atas operator sembarang yang terletak di antara dua buah fungsi
yaitu fm dan fn biasanya ditulis: 
*
 f m A f n d =
 
 

fm A fn = fm A fn = m A n (7-1)

Notasi (7-1) di atas diperkenalkan oleh Dirac, dan disebut notasi kurung. Bentuk integral di atas
juga sering ditulis:
* 
 f m A f n d = Am n (7-2)

Notasi untuk integral seluruh ruang atas dua buah fungsi fm dan fn ditulis:
*
 fm f n d = f m f n =  f m f n  = m n (7-3)

Karena  f * *
m f n d =  *
 fm f n d, maka:

*
m n = m n (7-4)

dan dalam kasus khusus yaitu fm = fn maka (7-4) dapat ditulis : m m * = m m .

Hal-hal lain yang perlu diingat adalah:


*
1)  fm f n d = 1 jika fm = fn dan fungsinya disebut ternormalisasi. (7-5)

*
 fm f n d = 0 jika fm  fn dan fungsinya disebut ortogonal (7-6)

Catatan:
*
 fm f n d juga boleh ditulis m n (Kronikle Delta) yang harganya = 0 jika fm  fn dan

berharga 1 jika fm = fn

2) Jika : A  = a  dengan a bilangan konstan, maka  disebut fungsi eigen sedang a disebut

nilai eigen atau: jika  adalah fungsi eigen terhadap operator A , maka berlaku hubungan:

A  = a  dengan a adalah nilai eigen. (7-7)

7.2 Operator Hermit


Bab I/Pers. Schrodinger/ 114

Untuk memahami operator ini, kita harus mengingat kembali pengertian operator linear
dan pengertian nilai rata-rata. Operator linear adalah operator yang mewakili besaran fisik, misal
operator energi, operator energi kinetik, operator momentum angular dan lain-lain. Selanjutnya

telah kita ketahui pula bahwa jika A adalah operator linear yang mewakili besaran fisik A,
maka nilai rata-rata A dinyatakan dengan:
*
A =  A  d (7-8)

dengan  adalah fungsi keadaan sistem. Karena nilai rata-rata selalu merupakan bilangan real,
maka:
A = A *

atau:

  *
A  d=  
 *
A  d   (7-9)

Persamaan (7-9) harus berlaku bagi setiap fungsi  yang mewakili keadaan tertentu suatu
sistem atau persamaan (7-9) harus berlaku bagi setiap fungsi berkelakuan baik (well behaved
function). Operator linear yang memenuhi persamaan (7-9) itulah yang disebut operator Hermit.
Beberapa buku teks menulis operator Hermit sebagai operator yang mengikuti persamaan:
*  *
 f Ag d =  g (A f ) d (7-10)

untuk fungsi f dan g yang berkelakuan baik. Perlu dicatat secara khusus bahwa pada ruas kiri

persamaan (7-10), operator A bekerja pada fungsi g sedang di ruas kanan, operator bekerja pada
fungsi f. Dalam kasus khusus yaitu jika f = g maka bentuk (7-10) akan tereduksi menjadi bentuk
(7-9).

Teorema yang berhubungan dengan Operator Hermit


Ada beberapa teorema penting sehubungan dengan operator Hermit, yaitu:
Teorema 1: Nilai eigen untuk operator Hermit pasti merupakan bilangan real.

Teorema 2: Dua buah function 1 dan 2 berhubungan dengan operator Hermit A dan baik 1

maupun 2 adalah fungsi eigen terhadap operator A dengan nilai eigen yang
berbeda, maka 1 dan 2 adalah ortogonal. Jika kedua fungsi tersebut mempunyai
Bab I/Pers. Schrodinger/ 115

nilai eigen yang sama atau degenerate (jadi tidak ortogonal), maka selalu ada cara
agar dijadikan ortogonal.
Pembuktian Teorema I:
Ada dua hal penting yang termuat dalam pernyataan teorema I yaitu bahwa operator
yang dipergunakan adalah operator Hermit jadi harus mengikuti (7-9) dan ada pernyataan eigen
value, ini berarti bahwa fungsi yang dibicarakan adalah fungsi eigen, jadi hubungan (7-7)

berlaku. Untuk ini kita misalkan fungsinya adalah , dan karena A adalah operator hermit,
maka menurut (7-9):

  A 
*  *
 A  d = d

atau:
* * *
 A  d =
   A  d (7-11)

Menurut (7-7) :

A = a  dengan a adalah nilai eigen untuk 

A*  * = a*  dengan a* adalah nilai eigen untuk 
sehingga (7-11) dapat ditulis:
*
 
*
a  d = a*  d

 
* *
Menurut (7-5) nilai  d =  d = 1, jadi:

a = a*
Harga a = a* hanya mungkin jika a bilangan real.

Pembuktian Teorema II:



Karena 1 dan 2 adalah fungsi eigen terhadap operator misal operator A , maka berlaku:
 
A 1 = a1 1 dan A 2 = a2 2 (7-12)

Karena A adalah operator Hermit terhadap 1 dan 2 maka menurut (7-10) berlaku:

 1 A2 d =  2 A1 
*  *
d

atau:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 116

* * *
 1 A2 d =  2 A 1 d (7-13)

Substitusikan (7-12) ke dalam (7-13), menghasilkan:


* * *
a2  1 2 d = a1  2 1 d
Menurut teorema I, harga a* = a, jadi:
* *
a2  1 2 d = a1  2 1 d (7-14)

* *
Menurut (7-4),  1 2 d =  2 1 d , jadi persamaan (7-14) boleh ditulis:
* *
a2  1 2 d = a1  1 2 d

atau:
* *
a2  1 2 d  a1  1 2 d = 0

atau:
*
(a2  a1 )  1 2 d = 0 (7-15)

Jika a1 tidak sama dengan a2 maka dari (7-15) tersebut (a2a1) tidak mungkin nol, sehingga:
*
 1 2 d = 0 (7-16)

*
Karena  1 2 d = 0, maka 1 dan 2 ortogonal.

Jadi terbukti, jika dua buah fungsi eigen mempunyai nilai eigen berbeda terhadap
operator tertentu, maka kedua fungsi tersebut ortogonal. Yang menjadi pertanyaan sekarang
adalah, mungkinkah dua buah fungsi eigen yang independen, mempunyai nilai eigen yang sama
? Jawabnya adalah ya. Ini terjadi pada kasus degenerasi. Pada kasus ini, beberapa fungsi eigen
yang independen, mempunyai nilai eigen yang sama. Untuk dua fungsi eigen yang degenerate
atau yang nilai eigen-nya sama, maka kedua fungsi tersebut tidak ortogonal. Dengan demikian,
maka kita hanya boleh mengatakan bahwa dua fungsi eigen yang berhubungan dengan operator
Hermit adalah ortogonal jika kedua fungsi eigen itu tidak degenerate.

Apakah Degenerate itu ?


Bab I/Pers. Schrodinger/ 117

Telah disinggung di atas bahwa jika dua atau lebih fungsi eigen yang independen
mempunyai nilai eigen sama, maka kasus seperti itu disebut degenerate. Untuk lebih memahami
masalah degenerate ini, marilah kita ingat kembali fungsi gelombang partikel dalam kotak yang
telah kita pelajari. Fungsi gelombang partikel dalam kotak 3 dimensi dinyatakan sebagai:
 = x y z dengan :
1/ 2 1/ 2 1/ 2
 2 2nx  2 2ny  2 2ny
x =   sin x ; y =   sin y dan y =   sin y
 Lx  Lx  Ly  Ly  Ly  Ly

jadi:
1/ 2
 8  2nx 2n y  2n y 
=   sin x sin y sin y (7-17)
 Lx. Ly. Lz  Lx Ly Ly

Jika operator Hermit, misal operator Hamilton dikenakan pada fungsi gelombang tersebut maka
nilai eigennya adalah energi yang besarnya:
E = Ex + Ey + Ez
dengan :
2 2 2 2 2 2
h nx h ny h nz
Ex = 2
; E y=
2
dan Ez = 2
(7-18)
8mLx 8mLy 8mLz

sehingga:
2  2 2 2
h  nx ny nz 
E= + +
8m  L2 2
Ly
2
Lz 
 x

Jika kotaknya kubus dengan rusuk L:


2  2 2 2
h  nx + ny + nz 
E= (7-19)
8m  L
2 
 

Jika kotaknya berbentuk kubus, maka menurut (7-19) harga nilai eigen E1-1-2 = E1-2-1 = E2-1-1 =
2  
h  6
meskipun eigen function-nya 1-1-2  1-2-1  2-1-1. Keadaan seperti itulah contoh
8m  L2 
 

kasus degenerate. Untuk kasus degenerate tersebut, biasanya dikatakan bahwa derajad
degenerasinya = 3, karena ada 3 fungsi gelombang berbeda yang nilai eigen-nya sama yaitu 1-1-
Bab I/Pers. Schrodinger/ 118

2; 1-2-1 dan 2-1-1. Sudah barang masih tak terhingga banyak kasus degenerate untuk fungsi
gelombang partikel dalam kotak berbentuk kubus misal pasangan 1-1-3; 1-3-1 dan 3-1-1 dan
masih banyak lagi.
Satu hal yang penting dari keadaan degenerate itu ialah, bahwa jika fungsi-fungsi eigen
yang degenerate itu dikombinasi linearkan, maka akan terbentuk fungsi eigen yang baru.
Contoh:

Jika fungsi  adalah kombinasi linear dari 1-1-2, 1-2-1 dan 2-1-1 yang dinyatakan dalam
bentuk:
 = c1 1-1-2 + c2 1-2-1 + 2-1-1 (7-20)
Karena 1-1-2, 1-2-1 dan 2-1-1 adalah degenerate, maka  pasti merupakan fungsi eigen yang
nilai eigennya sama dengan nilai eigen fungsi-fungsi penyusunnya.
Yang harus diingat adalah bahwa jika  adalah kombinasi linear dari 1-1-2 dan 1-3-1
sehingga dapat ditulis:
 = c1 1-1-2 + c2 1-3-1 (7-21)
maka  bukan fungsi eigen karena nilai eigen 1-1-2 dan c2 1-3-1 pasti tidak sama.
Relasi (7-20) disebut degenerasi karena fungsi eigen penyusunnya degenerate sedang (7-21)
bukan degenerasi.
Jika kepada kita ditanyakan berapa energi  pada (7-20) maka jawabnya adalah E =
2  
h  6
.
8m  L2 
 

Ortogonalisasi
Misal kita mempunyai dua buah fungsi eigen yang degenerate, jadi nilai eigennya sama
maka menurut teorema 2 kedua fungsi tersebut tidak ortogonal. Pertanyaannya adalah dapatkah
kita membuatnya menjadi ortogonal ? Jawabnya adalah, dapat.
Sekarang kita akan menunjukkan bahwa dalam kasus degenerasi (yang fungsi-fungsinya
tidak ortogonal), dapat kita buat menjadi ortogonal. Kita misalkan kita mempunyai operator
Bab I/Pers. Schrodinger/ 119


Hermit A dan dua buah fungsi eigen independen yaitu fungsi f dan fungsi G yang mempunyai
nilai eigen yang sama yaitu s, maka berarti:
 
Af = s f ; AG = s G
Karena nilai eigen keduanya sama, maka f dan G pasti tidak ortogonal. Agar diperoleh dua
fungsi baru yang ortogonal, ditempuh langkah sebagai berikut:
Kita buat fungsi eigen baru yaitu g1 dan g2 yang merupakan kombinasi linear f dan G
sehingga membentuk misalnya:
g1 = f dan g2 = G + c f dengan c adalah konstanta.
Kita harus menentukan harga c tertentu agar g1 dan g2 ortogonal. Agar ortogonal harus dipenuhi
syarat:
*
 g1 g 2 d = 0 atau:

*
f (G + c f ) d= 0 atau :

* *
f G d + cf f d = 0 atau :

*
f G d + c  f * f d = 0 atau :

Jadi agar g1 dan g2 ortogonal, maka harga c harus:


*
c=
 f G d
*
 f f d
Sekarang kita telah mempunyai dua fungsi ortogonal yaitu g1 dan g2 yaitu:
*
g1 = f dan g2 = G + c f dengan c = 
 f G d
*
 f f d
Prosedur yang telah kita tempuh ini disebut Ortogonalisasi Schmidt.

7.3 Ekspansi Sembarang Fungsi Menjadi Kombinasi Linear Fungsi Eigen


Setelah kita membicarakan ortogonalitas fungsi eigen dari operator Hermit, sekarang
akan kita bicarakan sifat penting lain dari fungsi tersebut; sifat ini mengijinkan kita untuk
mengubah bentuk sembarang fungsi F(x) menjadi kombinasi linear fungsi - fungsi eigen. Jika
Bab I/Pers. Schrodinger/ 120

kombinasi linear fungsi eigen itu adalah a11 + a22 + a33..... + ann, atau agar lebih singkat
~
kita tulis saja dengan bentuk  a n n , maka ekspansi fungsi yang dimaksud adalah:
1

~
F(x) =  a n n (7-22)
1

dengan :
*
an =  n F( x ) dx (7-23)
all x

Bagaimana mendapat (7-23) di atas ? Marilah kita ikuti langkah-langkah berikut:


Kedua ruas (7-22) kita kalikan dengan m* sehingga diperoleh:
~
m* F(x) =  a n m* n (7-24)
1

Jika kedua ruas (7-24) diintegralkan maka diperoleh:

1

 m* F(x) dx =  a n m* n dx (7-25)

Telah kita ketahui bahwa :

 m* n dx =  m n (7-26)

sehingga (7-25) dapat ditulis:


~
 m* F(x) dx =  an .  m n (7-27)
1

Ruas kanan (7-27) adalah:


~
 a n .  m n = a1 .  m 1 + a2  m 2 + ....a m  m m + a m +1  m (m+1) +...
1

= a1.  + a2  + ....a m  + a m +1 .  +...


= am
Sehingga (7-27) dapat ditulis:
 m* F(x) dx = am atau am =  m* F(x) dx (7-28)
Jika indek m pada (7-28) diganti n maka persamaan (7-23) yang dicari diperoleh yaitu:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 121

*
an =  n F( x ) dx
all x

Contoh:
Diketahui: F(x) = x untuk 0 < x < a/2
F(x) = 1 x untuk a/2 < x < a
Ekspansilah F(x) ke dalam fungsi eigen untuk partikel dalam kotak satu dimensi yang panjang
kotaknya = a.
Jawab:
Fungsi gelombang partikel dalam kotak satu dimensi dengan panjang kotak = a adalah:
1/ 2
 2 n
n =   sin x (7-29)
 a a

Jadi bentuk ekspansinya menurut (7-22):


1/ 2 ~
~  2 n
F(x) =  a n n =  
1  a  a n sin a
x (7-30)
1

Menurut (7-23) :
*
an =  n F( x ) dx
all x

1/ 2
 2 n
=   
 a
sin
a
x F( x ) dx

1/ 2
 2 n
= 
 a  sin a x F(x) dx
1/ 2 a / 2 1/ 2 a
 2 n  2 n
= 
 a  x . sin
a
x dx +  
 a  (1  x ) . sin
a
x dx
0 a/2

 2 a
3/ 2
= 2 2 sin
n
(7-31)
n  2

Jadi:

a1 =
 2 a
3/ 2
 2 a
3/ 2
 2 a
3/ 2
; a2 = 0 ; a3 =  2 2 ; a4 = 0 ; a5 = 2 2 ; a6 = 0 dan
2
 3  5 

seterusnya.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 122

Kita masukkan (7-31) ke dalam (7-30), maka:


1/ 2 ~
 2 n
F(x) =  
 a  a n sin a
x
1

1/ 2  
  2a  2a3'2  2a 3'2
3' 2
 2  3 5 
=  sin x  sin x sin x  . . . .
 a  2 a 2 2 a 2 2 a 
  3  5  

 2
= 
1/ 2
 2a 3'2  1
sin
 1
x  2 sin
3 1
x  2 sin
5 
x  . . . .
 a 
2  1 2 a 3 a 5 a 

4a  1  1 3 1 5 
= 2
 2
sin x  2
sin x  2
sin x  . . . .
  1 a 3 a 5 a 

Pengertian Complete Set


Pada contoh ekspansi fungsi diatas, fungsi F(x) dapat diekspansi ke dalam bentuk kombinasi
linear fungsi gelombang partikel dalam kotak n dan dalam hal ini himpunan fungsi  disebut
himpunan lengkap atau Complete Set. Apakah semua n dapat digunakan untuk mengekspansi
fungsi F, jawabnya ternyata tidak, hanya himpunan fungsi yang merupakan himpunan lengkap
saja yang dapat digunakan untuk mengekspansi fungsi F. Selanjutnya mengenai himpunan
lengkap, dibuat definisi sebagai berikut:

Himpunan fungsi  dapat disebut sebagai Himpunan Lengkap jika


himpunan fungsi tersebut dapat digunakan untuk mengekspansi
sembarang fungsi F menjadi kombinasi linear dengan mengikuti
~
persamaan F(x) =  a n n dengan an adalah tetapan sembarang.
1

Contoh himpunan fungsi gelombang yang bukan himpunan lengkap adalah himpunan fungsi
gelombang elektron atom hidrogen yang sudah pernah kita pelajari. Meskipun kita tahu bahwa
fungsi gelombang elektron atom hidrogen yaitu (n, l, m ) adalah fungsi r,,, namun jika
seandainya kita mempunyai sembarang fungsi F(r,,) maka fungsi tersebut tidak dapat
diekspansi menjadi kombinasi linear , karena seperti kita ketahui bahwa  hidrogen hanya
berhubungan dengan energi diskrit saja padahal energi elektron bisa saja kontinum, yaitu ketika
elektron dalam proses lepas dari sistem atom menjelang terjadinya ionisasi. Jadi n atom
Bab I/Pers. Schrodinger/ 123

Hidrogen bukan merupakan himpunan lengkap sehingga tidak mungkin kita mengekspansi
F(r,,) menjadi himpunan linear (n, l, m). Fungsi gelombang hidrogen baru disebut himpunan
fungsi lengkap jika menyertakan himpunan fungsi gelombang yang berkorelasi dengan energi
kontinum yang biasanya ditulis (E, l, m). Jika fungsi gelombang hidrogen sudah dinyatakan
secara lengkap seperti itu maka fungsi F(r,,) dapat diekspan, yaitu menjadi kombinasi linear
fungsi diskrit dan kombinasi linear fungsi kontinum.
Teorema 3:

Jika g1, g2... adalah himpunan lengkap fungsi eigen dari operator A dan jika fungsi F
 
juga fungsi eigen dari operator A dengan nilai eigen k (jadi A F = k F) sedang F diekspansi
dalam bentuk F =  a i g i , maka gi yang a i nya tidak nol mempunyai nilai eigen k juga.
i

Jadi ekspansi terhadap F, hanya melibatkan fungsi-fungsi eigen yang mempunyai nilai
eigen yang sama dengan nilai eigen F.
Selanjutnya sebagai rangkuman dari sub-bab 7.2 dan 7.3 dapat dinyatakan bahwa
Fungsi-fungsi eigen dari operator Hermite, membentuk himpunan lengkap ortonormal dan nilai
eigennya adalah real.

7.4 Eigen Fungsi Dari Operator Commute



Jika fungsi  secara simultan adalah fungsi eigen dari dua buah operator A dan

B dengan nilai eigen aj dan bj, maka pengukuran properti A menghasilkan aj dan pengukuran B
menghasilkan bj. Jadi kedua properti A dan B mempunyai nilai definit jika  merupakan fungsi
 
eigen baik terhadap A maupun B .
Pada bab V sub bab 5.1 kita telah menyatakan bahwa suatu fungsi adalah eigen terhadap
 
A dan B jika kedua operator tersebut commute atau:
 
A  = ai  dan B  = bi  Jika : (7-32)
 
[ A,B] = 0 (7-33)
Sekarang pernyataan pada bab V tersebut akan kita buktikan. Yang harus kita buktikan adalah:
 
[ A,B ] = 0
Bab I/Pers. Schrodinger/ 124

Kita tahu:
     
[ A,B] = A B  B A (7-34)
Jika dioperasikan pada i :
     
[ A , B ]i = A B i  B A i
   
= A ( B i )  B ( A i )
 
= A bi   B ai i
 
= bi A   ai B i
= bi ai   ai bi i
 
[ A , B ] = bi ai  ai bi = 0 (terbukti) (7-35)
Pembuktian di atas adalah pembuktian untuk teorema 4 yang bunyinya
 
Teorema 4: Jika Operator linear A dan B mempunyai himpunan fungsi eigen yang sama maka
 
A dan B adalah commute.
   
Perlu diingat A dan B yang dimaksud oleh teorema 4 hanya A dan B yang masing-
 
masing merupakan operator linear. Jika A dan B bukan operator linear maka keduanya bisa
tidak commute meskipun seandainya keduanya mempunyai fungsi eigen yang sama. Sebagai
 
contoh (,) yang kita bahas di bab V, adalah fungsi eigen dari operator L x dan operator L y

tetapi kedua operator tersebut non commute.


 
Teorema 5 : Jika operator Hermite A dan B adalah commute, maka kita dapat memilih
himpunan lengkap fungsi eigen untuk kedua operator itu.
Pembuktiannya adalah sebagai berikut:

Anggap saja fungsi g i adalah fungsi eigen dari operator A dengan nilai eigen a i maka
kita dapat menulis:

A gi = ai gi (7-36)

Jika operator B dioperasikan pada kedua ruas (7-36) di atas, maka:
  
B ( A gi ) = B (ai gi ) (7-37)
  
Karena A dan B commute dan karena B linear maka:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 125

  
A ( B g i ) = ai ( B g i ) (7-38)

Persamaan (7-38) di atas menyatakan bahwa fungsi B g i adalah fungsi eigen terhadap operator

A dengan nilai eigen a i , persis sama dengan fungsi g i yang juga fungsi eigen terhadap operator

A dengan nilai eigen a i . Marilah kita untuk sementara menganggap bahwa nilai eigen dari

operator A tersebut non degenerate, hingga untuk sembarang harga nilai eigen a i yang
diberikan berasal dari satu dan hanya satu fungsi eigen yang linearly independent. Jika ini benar,

maka kedua fungsi eigen g i dan B g i yang mempunyai nilai eigen sama yaitu a i harus linearly
dependent, yaitu, fungsi yang satu harus merupakan kelipatan sederhana dari yang lain,

B gi = ki gi (7-39)
dengan k i adalah konstan. Persamaan (7-39) itu menyatakan bahwa fungsi g i merupakan

fungsi eigen dari operator B sebagaimana yang hendak kita buktikan.
  
Jadi, jika A dan B commute dan fungsi g i adalah fungsi eigen terhadap A maka g i juga

merupakan fungsi eigen dari B (Jadi Teorema 5 adalah kebalikan dari Teorema 4)

Teorema 6: Jika g i dan g j adalah fungsi eigen dari operator Hermite A dengan nilai eigen
  
berbeda (misal A g i = a i g i dan A g j = a j g j dengan a i  a j ), dan jika B adalah

operator linear yang commute terhadap A , maka:
 
< g j  B g i > = 0 atau  g j B g i d = 0 (7-40)
s r

dengan s-r adalah seluruh ruang. Pembuktiannya adalah sebagai berikut:


  
Karena A dan B commute, maka fungsi eigen terhadap A adalah juga fungsi eigen
 
terhadap B , meski dengan nilai eigen berbeda. Jadi gi juga fungsi eigen terhadap B , yang jika
nilai eigennya dimisalkan ki maka:

B gi = ki gi (7-41)
dengan demikian (7-40) boleh ditulis:

 g j k i g i d = ki gj g i = k i . 0 = 0 (terbukti)
sr sr
Bab I/Pers. Schrodinger/ 126

7.5 Paritas
Ada operator mekanika kuantum yang tidak dikenal dalam mekanika klasik, contohnya
adalah operator paritas. Marilah kita ingat kembali bahwa dalam osilator harmonis, kita
mengenal adanya fungsi genap dan ganjil. Akan kita lihat bagaimana sifat ini dikaitkan dengan
operator paritas.

Operator paritas,  dapat dilihat dari efeknya apabila ia bekerja pada sembarang fungsi.
Operator ini akan mengubah tanda semua koordinat Cartessius, sehingga kita boleh
mendefinisikan:

 f ( x, y, z ) = f (x, y, z)

Contohnya:  ( x2  2 x. e2y + 3 z3 ) = { (x)2 2 (-x). e2y + 3 (z)3 }

= x2 + 2 x e2y  3z3
Jika seandainya g i adalah fungsi eigen dari operator paritas dengan nilai eigen a i maka
kita dapat menulis:

 gi = a i gi (7-42)
Sifat paling penting dari operator ini adalah kuadratnya:
   
 2 f ( x, y, z ) =   f ( x, y, z ) =  f (x, y, z) = f ( x, y, z )

Karena f nya fungsi sembarang maka  2 adalah operator satuan (unit Operator), jadi:
 
2 = 1 (7-43)

Sekarang, bagaimana jika kita gunakan  2 untuk (7-42) ? Hasilnya adalah:
    
 2 g i =   g i =  a i g i = a i  g i = a i2 g i (7-44)

Karena  adalah unit operator, maka (7-44) menjadi:

 g i = a i2 g i (7-45)

atau:
ai = + 1 (7-46)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 127

 
Karena ai adalah nilai eigen untuk  2 , maka nilai eigen untuk  2 adalah 1 dan 1. Perlu
dicatat bahwa hal ini berlaku untuk semua operator yang kuadratnya merupakan operator satuan.

Bagaimana fungsi eigen dari operator Paritas ? Kita lihat kembali persamaan (7-42)

 gi = a i gi
Karena nilai eigen operator ini + 1, maka persamaan di atas dapat ditulis:

 gi = + 1 gi (7-47)
Jika gi adalah g(x, y, z), maka:

 g (x, y, z) = + 1 g(x, y, z ) atau (7-48)

g (x, y, z) = + 1 g(x, y, z ) (7-49)


Jika nilai eigennya +1, maka:
g (x, y, z) = g(x, y, z ) (7-50)
jadi g fungsi genap. Jika nilai eigen = 1, maka:
g (x,  y,  z ) = g ( x , y, z ) (7-51)
jadi g adalah fungsi ganjil.. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:

fungsi eigen dari operator paritas adalah semua


fungsi well behaved yang mungkin baik genap
maupun ganjil.

Bagaimana jika Operator Paritas Commute dengan operator Hamilton ?


Manakala operator paritas commute dengan operator Hamilton maka semua fungsi yang
eigen terhadap operator Hamilton pasti eigen juga dengan operator paritas. Kita ambil saja

himpunan fungsi i adalah fungsi eigen terhadap operator H . Kemudian, jika operator paritas
dan Hamilton commute, kita boleh menulis:
 
[ , H ] = 0 (7-52)

dan juga boleh menyatakan bahwa i adalah fungsi eigen bagi operator paritas tidak peduli
fungsi tersebut ganjil atau genap. Untuk sistem partikel tunggal, 
Bab I/Pers. Schrodinger/ 128

  2 2  2 2  
[ H ,  ] = [ (  V ),  ] = [ ,  ] + [ V,  ]
2m x 2 2m x 2

2 2 
=  [ ,  ] + [ V,  ] (7-53)
2m x 2 

2 
Harga [ ,  ] adalah 0, ini dengan mudah dapat dibuktikan sebagai berikut:
x 2

2  2   2
[ ,  ] F(x) =  F(x)   F(x)
x 2 x 2 x 2

2  
= F(x)  F(x)
x 2   x    x 

2 2
= F(x)  F(x) = 0
x 2 x 2

Dengan demikian (7-53) dapat ditulis:


  
[ H ,  ] = [ V,  ] (7-54)
Sekarang kita evaluasi ruas kanan (7-54):
  
[ V(x),  ] F(x) = V(x)  F(x)   V(x)F(x)

= V(x) F(x)  V(x)F(x) (7-55)


Nilai (7-55) ditentukan oleh fungsi energi potensial. Jika fungsi energi potensial adalah fungsi
genap, maka V(x) = V(x), maka (7-55) menjadi:

[ V(x),  ] = 0 sehingga (7-54) menjadi:
 
[H, ]= 0 (7-56)
Ini berarti:
 
Teorema 7: Jika fungsi V adalah fungsi genap, maka H dan  adalah commute, sehingga kita
dapat memilih sembarang fungsi gelombang stasioner baik genap maupun ganjil sebagai
fungsi eigen dari kedua operator tersebut.
Fungsi genap atau ganjil yang merupakan fungsi eigen bagi kedua operator Hamilton dan paritas
itu disebut fungsi definit paritas. 
Bab I/Pers. Schrodinger/ 129

Jika semua energi levelnya adalah non degenerate ( umumnya memang benar untuk
sistem partikel tunggal) berarti hanya ada satu fungsi gelombang independen yang berhubungan
dengan masing-masing energi level. Jadi untuk kasus non degenerate, maka fungsi gelombang
stasioner yang fungsi energi potensialnya fungsi genap adalah definit paritas. Sebagai contoh
fungsi gelombang osilator harmonis adalah definit paritas karena fungsi energi potensialnya ½
kx2 (fungsi energi potensial genap).
Jika energi level degenerate, itu berarti tidak cuma satu fungsi gelombang independen
yang memiliki energi nilai eigen tersebut. Dengan demikian kita mempunyai banyak sekali
pilihan fungsi gelombang sebagai akibat dari kombinasi linear dari fungsi-fungsi degenerasi itu.

7.6 Pengukuran Dan Keadaan Superposisi


Mekanika kuantum dapat dipandang sebagai suatu cara untuk menghitung probabilitas
dari berbagai kemungkinan hasil pengukuran. Sebagai contoh, jika kita mempunyai fungsi
(x,t) maka probabilitas hasil pengukuran posisi partikel pada saat t berada antara x dan x + dx
dinyatakan oleh (x,t)2 dx
Sekarang kita akan memperhatikan pengukuran properti secara umum, misal besaran A.
Untuk ini yang dipertanyakan adalah bagaimana menggunakan  untuk menghitung
probabilitas masing-masing hasil pengukuran A yang mungkin. Kita akan mengupas informasi
apa saja yang dikandung oleh  yang merupakan jantungnya mekanika kuantum. Subyek
pembahasan kita adalah sistem n partikel dan menggunakan q sebagai simbol dari koordinat 3n.
Telah kita postulatkan bahwa hanya nilai eigen ai dari operator  lah yang merupakan
kemungkinan hasil pengukuran besaran A. 
Dengan menggunakan g i sebagai fungsi eigen dari Â, maka kita boleh menulis:
 g i ( q ) = a i gi ( q ) (7-57)
Telah kita postulatkan pada sub bab 7.3 bahwa fungsi eigen dari sembarang operator Hermite
yang mewakili besaran fisik teramati, membentuk himpunan lengkap. Karena g i adalah
himpunan lengkap kita dapat mengekspansi fungsi  dalam suatu deret yang suku-sukunya
adalah g i jadi:
(q,t) =  ci g i ( q ) (7-58a)
i
Bab I/Pers. Schrodinger/ 130

Agar dapat menggambarkan bahwa  adalah fungsi waktu, maka koefisien ci harus merupakan
fungsi waktu sehingga (7-58a) lebih baik ditulis:
(q,t) =  ci (t ) g i ( q ) (7-58b)
i

Karena 2 adalah rapat peluang (probability density) maka:


∫*  d = 1 (7-59)
Substitusi (7-58a) ke dalam (7-59) menghasilkan:
* * * *
  ci (t ) g i  ci (t ) g i d =   ci (t ) g i  c j (t ) g j d = 1 (7-60)
i i i j
Karena pengintegralan hanya terhadap koordinat, maka:
  c*j (t )ci (t )  g *jg i(q ) d = 1 (7-61)
j i

Jika i = j, maka:

  c*i( t ) c i( t ) = 1 atau:
i i

2
 ci = 1 (7-62)
i

Kita akan menguji signifikansi (7-62) secara singkat:


Ingat bahwa jika  fungsi ternormalisasi, maka nilai rata besaran A adalah:
< A > = ∫ * Â  d
Dengan menggunakan (7-58), maka:

< A > =    c *j (t ) g *j  c i( t ) g i(q ) d =   c*j( t ) c i( t )  g *j A g i d
j i j i

atau:
* *
<A>=   c*j( t ) c i( t )  g j ai g i d   c*j( t ) c i( t ) a i  g j g i d
j i j i

2
<A>=  ci a i (7-63)
i

Bagaimana menginterpretasi (7-63) ? Perlu diketahui, bahwa nilai eigen suatu operator adalah
kemungkinan dari bilangan-bilangan yang diperoleh jika kita melakukan pengukuran terhadap
besaran yang diwakili oleh operator tersebut. Dalam sembarang pengukuran terhadap besaran A,
Bab I/Pers. Schrodinger/ 131

kita akan memperoleh salah satu harga a i . Kemudian marilah kita ingat kembali teori mengenai
rata-rata yang kita pelajari dalam matematika. Jika kita mempunyai n buah data X dengan
rincian X1 sebanyak n1, X2 sebanyak n2 dan seterusnya maka, rata-rata X adalah :
n X  n 2 X 2 ...........n i X i . n n n
<X>= 1 1 = 1 X1 + 2 X 2 ..... i X i
n n n n
= P1 X1 + P2 X2...... Pi Xi Jadi:
<X>=  Pi X i (7-64)
i

Sekarang jika dari pengukuran terhadap besaran A diperoleh nilai-nilai eigen a1, a2... ai maka
rata-rata A adalah:
<A>=  Pi a i (7-65)
i

dengan Pi adalah probabilitas mendapatkan nilai a i pada pengukuran besaran A. Jika hanya ada
sebuah fungsi eigen independen untuk setiap nilai eigen (non degenerate) maka banyaknya
eigen fungsi sama dengan banyaknya nilai eigen. Selanjutnya dengan membandingkan (7-65)
terhadap (7-63) maka dapat dipastikan bahwa
2
c i  = Pi (7-66)
yaitu probabilitas memperoleh harga a i ketika dilakukan pengukuran terhadap besaran A.

Teorema 8: Jika a i adalah nilai eigen non degenerate dari operator  dan g i adalah fungsi eigen
ternormalisasi ( Â g i = a i g i ) maka, manakala besaran A diukur dalam sistem
mekanika kuantum yang fungsi statenya pada waktu diadakan pengukuran adalah
, probabilitas mendapatkan hasil a i adalah c i 2, dengan ci adalah koefisien g i
pada ekspansi  = i c i g i . Jika nilai eigen a i degenerate, probabilitas
mendapatkan a i pada saat A diukur adalah jumlah dari c i 2 fungsi-fungsi eigen
yang nilai eigennya a i .
Kapankah hasil pengukuran besaran A dapat diprediksi secara tepat ?. Kita dapat
melakukan itu jika semua koefisien pada ekspansi  = i c i g i adalah nol kecuali satu koefisien
Bab I/Pers. Schrodinger/ 132

saja yaitu misalnya c k . Untuk kasus ini maka (7-66) menjadi c k 2 = Pk = 1. Artinya peluang
untuk mendapatkan nilai eigen seharga a k = 1, artinya, nilai eigennya pasti a k .
Kemudian, untuk selanjutnya kita dapat memandang ekspansi deret  = i c i g i sebagai
ekspresi bentuk umum fungsi  yang merupakan superposisi dari fungsi eigen g i dari operator
Â. Masing-masing fungsi eigen g i berhubungan dengan nilai eigen a i milik besaran A.
Selanjutnya bagaimana cara menghitung koefisien ci sehingga pada akhirnya kita dapat
menghitung ci 2 ? Caranya kita kalikan  = i c i g i dengan g * j kemudian integralkan ke
seluruh ruang, sehingga diperoleh:
∫ g *j  d = ∫g *j i c i g i d = i c i ∫g *j g i .d c i i ∫g *j g i d
Jika ortonormal:
∫g *j  d = c i
atau:
c i = ∫ . g *j d g *j (7-67)
Kuantitas g*j> disebut amplitudo probabilitas. Selanjutnya probabilitas mendapatkan nilai
eigen non degenerate a i pada pengukuran A adalah [lihat (7-66)]:
2  
Pi = c i  = ∫. g *j d  g *j (7-68)
Jadi jika kita mengetahui state sistem sebagaimana ditentukan oleh fungsi  maka kita dapat
menggunakan (7-68) untuk memprediksi probabilitas dari berbagai kemungkinan hasil
pengukuran besaran A.
Teorema 9: Jika besaran B diukur dalam sistem mekanika kuantum yang fungsi statenya pada
saat pengukuran adalah , maka probabilitas dari pengamatan nilai eigen a j dari

operator  adalah <g j  , dengan g j adalah fungsi eigen ternormalisasi yang
mempunyai nilai eigen a j .
Integral <g j ∫g*jd akan mempunyai nilai absolut substansial jika fungsi
ternormalisasi g j dan  berada pada daerah yang saling berdekatan dan dengan demikian
harganya di daerah tertentu dalam ruangan hampir sama. Jika tidak demikian maka bisa terjadi
g j terlalu besar sedang  terlalu kecil (atau sebaliknya) sehingga hasil kali g j .selalu terlalu
Bab I/Pers. Schrodinger/ 133

kecil. Akibatnya absolut kuadratnya juga terlalu kecil sehingga probabilitas untuk mendapatkan
nilai eigen a i juga sangat kecil.
Contoh: Dilakukan pengukuran terhadap Lz elektron atom hidrogen yang fungsinya pada saat
diadakan pengukuran adalah fungsi 2px. Tentukan hasil-hasil pengukuran yang
mungkin dan tentukan pula probabilitas masing-masing hasil pengukuran.

Jawab: a) 2px adalah kombinasi linear dari 2p(+1) dan 2p(1). Jadi harga Lz yang mungkin
adalah  dan   karena Lz adalah m  .
b) Untuk menentukan probabilitas masing-masing, kita ekspansi 2px atas fungsi-fungsi
penyusunnya:
2px = 21/2 2p(+1) + 21/2 2p(1). Persamaan diatas adalah bentuk ekspansi 2px atas
2p(+1) dan 2p(1) dengan koefisien c1 = c2 = 21/2. Menurut teorema 8, probabilitasnya
adalah:
P1 = 21/22 = ½ = P2
P1 adalah probabilitas mendapatkan Lz =  sedang P2 adalah probabilitas mendapatkan
Lz =   
Contoh: Akan dilakukan pengukuran terhadap energi (E) bagi partikel dalam box yang
panjangnya a dan pada saat pengukuran dilakukan partikel berada pada keadaan non
stasioner  = 301/2a5/2x (ax) untuk 0 < x < a. Tentukan hasil-hasil pengukuran yang
mungkin dan tentukan pula probabilitas masing-masing hasil pengukuran
Jawab: Untuk partikel dalam box:
E = n2h2 /(8ma2)dengan n = 1, 2, 3,..... dan non degenerate (karena 1 dimensi) sedang
fungsi eigennya adalah n = (2/a)1/2 sin (n/a) x. Untuk menghitung probabilitasnya maka kita
ekspansi  saat itu atas n, jadi:
 = n cn n
Menurut (7-67)
c i = ∫ . g *j d
jadi:
c n = ∫ .  n d= 301/2a5/2 (2/a)1/2 ∫ x (ax)}sin (n/a) x dx
Bab I/Pers. Schrodinger/ 134

2401 / 2
= [ 1  (1)n ] (Buktikan) (7-69)
n 33
240
Pn = cn2 = [ 1  (1)n ]2.
n 6 6
Catatan: Jika anda akan membuktikan (7-69) yang perlu dicatat adalah bahwa cos n = (1)n
7.7 Postulat-Postulat Mekanika Kuantum
Sepanjang perjalanan kita dalam mempelajari mekanika kuantum, kita telah mengenal
postulat-postulat mekanika kuantum. Sekarang ini, kita akan merangkumnya:

Postulat I. Keadaan (state) sistem dideskripsi oleh fungsi  yang merupakan fungsi
koordinat dan waktu. Fungsi ini disebut fungsi keadaan atau fungsi
gelombang yang memuat semua informasi mengenai sistem. Selanjutnya juga
dipostulatkan bahwa  harus bernilai tunggal, continous, ternormalisasi dan
quadratically integrable.

Postulat II. Setiap besaran fisik teramati, berhubungan dengan operator Hermite linear.
Untuk menurunkan operator ini, tulislah ekspresinya secara mekanika klasik
dalam koordinat Cartessius, dan hubungkanlah dengan komponen momentum

linearnya, kemudian gantilah setiap koordinat x dengan  dan setiap


x


komponen px dengan  i 
x

Postulat III. Nilai yang mungkin, yang dapat diperoleh dari besaran fisik A hanyalah
nilai eigen a i dalam persamaan  g i = a i g i dengan  adalah operator yang
berhubungan besaran fisik A dan g i adalah fungsi eigen yang well behaved.

Postulat IV. Jika  adalah operator Hermite linear yang mewakili besaran fisik teramati
tertentu, maka fungsi g i dari operator  membentuk himpunan lengkap.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 135

Catatan:
Postulat IV di atas lebih bersifat sebagai postulat matematik artinya kurang bersifat
postulat fisik, karena tidak ada pembuktian matematik sama sekali terhadap postulat ini. Karena
tidak ada pembuktian matematik terhadap kelengkapan himpunan, maka kita harus berasumsi
terhadap kelengkapannya. Postulat IV mengijinkan kita untuk mengekspansi fungsi gelombang
untuk sembarang keadaan sebagai superposisi dari fungsi-fungsi eigen ortonormal dari
sembarang operator mekanika kuantum. Ekspansinya adalah dalam bentuk:

 = i c i g i  (7-70)

Postulat V. Jika (q,t) adalah fungsi ternormalisasi yang mewakili suatu sistem pada
saat t, maka nilai rata-rata besaran fisik A pada saat t, adalah:

< A > = ∫*  d (7-71) 

Postulat VI. Keadaan bergantung waktu dalam sistem mekanika kuantum dinyatakan
dengan menggunakan persamaan Schrodinger bergantung waktu:

  
 = H (7-72)
i t

dengan H adalah operator Hamilton (Energi) sistem itu 

7.8 Pengukuran dan Interpretasi Mekanika Kuantum


Dalam mekanika kuantum perubahan suatu sistem terjadi melalui dua macam cara. Yang
pertama perubahan yang terjadi secara berangsur-angsur dari waktu ke waktu (reversibel).
Perubahan jenis ini ditunjukkan oleh persamaan Schrodinger bergantung waktu (7-72). Cara
kedua adalah perubahan yang terjadi secara spontan (irreversibel), diskontinyu (tidak terus
menerus) dan probabilitas kejadiannya sangat fluktuatif dan ditentukan oleh sistem itu sendiri.
Jenis perubahan spontan ini tidak dapat diprediksi secara pasti karena hasil pengukurannya juga
tidak dapat diprediksi secara pasti; hanya probabilitas kejadiannya saja yang dapat diprediksi.
Perubahan spontan dalam  disebabkan oleh pengukuran yang disebut reduksi fungsi
gelombang. Pengukuran terhadap besaran A yang menghasilkan a k berakibat mengubah fungsi
Bab I/Pers. Schrodinger/ 136

menjadi g k yaitu fungsi eigen operator  yang nilai eigennya a k . Untuk lebih jelasnya adalah
sebagai berikut: Misal kita melakukan dua kali pengukuran terhadap Lz elektron dalam atom
hidrogen. Pada pengukuran pertama dihasilkan Lz = 2  . Pada saat ini fungsi gelombangnya
tentu fungsi gelombang dengan m = 2, sehingga secara umum fungsi gelombangnya adalah ( n,

 , 2) dengan  > 2 dan n >  +1. Selanjutnya misal pada pengukuran kedua diperoleh Lz =   .
Pada pengukuran kedua ini, hasil pengukuran pasti berasal dari fungsi gelombang hidrogen yang
m = 1, sehingga fungsi gelombangnya adalah (n,  ,1) dengan  > 1 dan n >  +1. Jadi tampak
adanya perubahan fungsi gelombang secara mendadak akibat adalah pengulangan pengukuran.
Inilah penjelasan dari reduksi fungsi gelombang.
Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian mengenai pengukuran adalah bahwa
dalam mekanika kuantum, pengukuran merupakan sesuatu yang sangat kontroversial.
Bagaimana dan kegiatan apa yang terjadi dalam kaitannya dengan reduksi  pada saat terjadi
pengukuran sungguh sesuatu yang sangat-sangat tidak jelas. Ada fisikawan yang berpendapat
reduksi  merupakan postulat tambahan bagi mekanika kuantum, sementara fisikawan lain
menyatakan bahwa reduksi  merupakan teorema yang diturunkan dari postulat lain. Para ahli
saling berbeda pendapat mengenai reduksi  ini (L.E Balentine, 2004). Balentine mendukung
interpretasi ansemble statistika pada mekanika kuantum, yang dikemukakan oleh Einstein, yang
menyatakan bahwa fungsi gelombang tidak mendeskripsi keadaan sistem tunggal (sebagaimana
dalam interpretasi ortodok) tetapi memberikan deskripsi statistikal terhadap sekelompok sistem
(dalam jumlah besar/ ansemble); dengan interpretasi seperti ini maka silang pendapat mengenai
reduksi fungsi gelombang tidak terjadi.

"Bagi sebagian besar fisikawan, problema untuk mendapatkan teori mekanika kuantum
yang berhubungan dengan pengukuran masih merupakan suatu persoalan yang belum ada
penyelesaiannya. Adanya perbedaan pendapat.... ketidakpastian dalam pengukuran kuantum...
dan lain-lain.... semua itu merefleksikan adanya ketaksepahaman dalam meng-interpretasi
mekanika kuantum secara global " (M. Jammer, 2003)
Sifat probabilistik dalam mekanika kuantum telah membuat para fisikawan bingung,
termasuk di antaranya Einstein, de Broglie dan Schrodinger. Sampai-sampai mereka
Bab I/Pers. Schrodinger/ 137

menyatakan bahwa mekanika kuantum belum memberikan deskripsi yang memuaskan bagi
realitas fisik. Selanjutnya, hukum probabilistik mekanika kuantum, secara sederhana dapat
dipandang sebagai refleksi dari hukum deterministik yang beroperasi pada level sub mekanika
kuantum dan yang melibatkan variabel tersembunyi (hidden variables). Sebuah analogi bagi
kasus ini diberikan oleh fisikawan Bohm, yaitu kasus gerak Brown partikel debu di udara.
Partikel-partikel bergerak di bawah kondisi fluktuasi random, sehingga posisi dan geraknya
tidak dapat ditentukan secara pasti oleh posisi dan kecepatannya. Secara analogis pula, gerak
elektron dapat ditentukan oleh variabel tersembunyi yang ada dalam level sub mekanika
kuantum. Interpretasi ortodok (sering disebut interpretasi Copenhagen) yang dikembangkan oleh
Heissenberg dan Bohr, menafikan adanya variabel tersembunyi dan menyatakan bahwa hukum
mekanika kuantum memberikan deskripsi lengkap bagi realitas fisik.

Pada tahun 1964 J.S. Bell membuktikan bahwa dalam eksperimen tertentu yang
melibatkan dua partikel yang terpisah jauh, yang pada awalnya berada pada daerah yang sama
dalam ruangan, orang harus membuat beberapa kemungkinan teori variabel tersembunyi untuk
memprediksi adanya perbedaan dengan yang dilakukan oleh mekanika kuantum. Dalam teori
lokal, dua partikel yang sangat berjauhan akan saling independen. Hasil beberapa eksperimen
sesuai dengan prediksi mekanika kuantum, dan hal ini memperkuat keyakinan mekanika
kuantum untuk melawan teori variabel tersembunyi lokal.
Selanjutnya analisis yang dilakukan oleh Bell dan kawan-kawan menunjukkan bahwa
hasil eksperimen ini beserta prediksinya terhadap mekanika kuantum adalah tidak kompatibel
dengan pandangan dunia mengenai realisme dan lokalitas. Realisme (juga disebut obyektivitas)
adalah doktrin yang menyatakan bahwa realitas eksternal itu eksis dan sifat-sifat definitnya
adalah independen terhadap benar tidaknya realitas yang kita amati. Sedang lokalitas adalah ke-
instan-an aksi pada jarak yang memungkinkan sebuah sistem berpengaruh terhadap yang lain
ketika sistem itu harus melintas dengan kecepatan yang tidak melebihi kecepatan cahaya.

Teori kuantum memprediksi dan eksperimen mengkorfirmasi bahwa manakala


pengukuran dilakukan pada dua partikel yang pada mulanya berinteraksi dan kemudian
dipisahkan oleh jarak yang tak terbatas maka hasil pengukuran terhadap partikel yang satu
Bab I/Pers. Schrodinger/ 138

dipengaruhi oleh pengukuran partikel yang lain dan juga dipengaruhi oleh sifat kedua partikel
yang diukur. Hal ini membuat adanya pendapat bahwa mekanika kuantum adalah magic (D.
Greenberger, 2004).
Meskipun prediksi-prediksi eksperimen mekanika kuantum tidak arguabel, trtapi
ternyata interpretasi konseptualnya masih saja menjadi topik debat yang hangat dan menarik
bagi para ahli, bahkan sampai saat ini. 
7.9 Matrik dan Mekanika Kuantum
Aljabar Matrik merupakan peralatan yang sangat penting dalam kalkulasi mekanika
kuantum modern. Matrik juga menjadi salah satu cara dalam memformulasikan beberapa teori
mekanika kuantum. Sub bab ini akan mereview ingatan kita tentang matrik dan hubungannya
dengan mekanika kuantum.
Matrik adalah penataan bilangan-bilangan dalam baris dan kolom. Bilangan-bilangan
yang menyusun matrik disebut elemen matrik. Seandainya matrik A terdiri atas m baris dan n
kolom, dan seandainya aij ( i = 1, 2, 3,...... m sedang j = 1, 2, 3,.....n) adalah pernyataan untuk
elemen baris i kolom j, maka:

 a 11 a12 ..... a 1n 
 a 2n 
A =  a 21 a 22 .....
..... ..... ..... ..... 
 a a ..... a mv 
 m1 m 2 

A disebut matrik m x n. Jangan bingung antara matrik dengan determinan, Matrik tidak harus
bujur sangkar dan tidak sama dengan sebuah bilangan tunggal. Jika sebuah matrik hanya terdiri
atas sebuah baris saja, maka matrik itu disebut matrik baris atau matrik vektor. Sedang jika
sebuah matrik hanya terdiri atas sebuah kolom saja, maka matrik itu disebut matrik kolom.
Dua buah matrik A dan B adalah sama jika jumlah baris dan kolomnya sama serta
elemen-elemen yang seletak nilainya sama.
Dua buah matrik dapat dijumlahkan jika kedua matrik itu berdimensi sama.
Penjumlahan dilakukan dengan menggabungkan elemen yang seletak. Jika matrik C = A + B
maka elemen cij = aij+bij dengan i = 1, 2, 3.... m dan j = 1, 2, 3,.... n atau:
Jika C = A + B maka cij = aij + bij (7-73)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 139

Jika sebuah matrik dikalikan dengan sebuah bilangan k yang konstan maka dihasilkan matrik
baru yang elemen-elemen adalah k kali elemen matrik semula, jadi:
C = kA maka cij = kaij (7-74)
Jika Am x n sedang Bn x p, maka perkalian matrik C = A x B adalah matrik berdimensi m
xp
Sebagai contoh:

 1 0  2
A =  01 34 1 1/ 2  B=  2 5 6
  8  3 10 

Jika C = A x B, maka dimensi matrik C adalah 2 x 3, yaitu:

 1 
 1 16 25 
 2 
C=  
 0 23 34 
 
 

Perkalian antar matrik bersifat non commutatif, artinya AB dan BA tidak harus sama. bahkan
untuk contoh kita di atas BA tak terdefinisi.
Matrik yang jumlah baris dan kolomnya sama disebut matrik square atau matrik bujur
sangkar. Matrik bujur sangkar disebut matrik diagonal jika selain elemen diagonal utama, nilai
elemen lain adalah nol. Dan matrik diagonal yang elemen diagonal utamanya 1, disebut matrik
satuan. Contoh matrik satuan orde 3:

1 0 0
 0 1 0
 0 0 1
 

Hubungan matrik dengan Mekanika kuantum


Pada sub bab 7.1, kita telah menjumpai bentuk ∫fi* Â fj d yang juga boleh ditulis <
fi*Âfj>. Bentuk integral tersebut dalam bahasa matrik adalah elemen ij dari matrik A, oleh
karena itu ia juga boleh ditulis Aij. Jadi jika kita mempunyai matrik A berikut:

 A11 A12 ..... 


 
A =  A 21 A 22 ..... ..... 
 . . . . . ..... ..... 
 . . . . . ..... 

maka elemen-elemen:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 140

A11 = < f1*Â f 1> ; A12 = < f1*Âf2>


A21 = < f2*Â f 1> ; A22 = < f2*Â f 2> dan seterusnya
Matrik tersebut di atas disebut matrik representatif dari operator linear  dengan basis {f i }.
Karena pada umumnya { fi } terdiri atas fungsi-fungsi yang banyaknya tak terhingga maka
matrik order A adalah tak terhingga.
 
Jika C = Â + G maka integral sebagai elemen matrik C adalah:
  
Cij = < fi* C  f j> = < fi*Â + G  fj> = ∫ fi* (Â+ G ) fj d

 ∫ fi* Â fj d∫ fi* G fj dij + Gij (7-75)
Jadi:
 
Jika C = Â + G maka Cij = Aij + Gij (7-76)
Dengan menggunakan logika dari (7-73) maka Cij = Aij + Gij pasti berasal dari penjumlahan
matrik C = A + B, sehingga:
 
Jika C = Â + G maka C = A + G (7-77)
 
dengan C, A dan G adalah matrik representatif dari operator linear C , Â dan G .
Hal yang sama, yaitu :

jika C = k maka Cij = k Aij (7-78)
 
Selanjutnya jika: Â = C G maka:
 
Aij = ∫ fi* Â fj d∫ fi* C G fj d (7-79)

Fungsi G fj dapat diekspansi ke dalam suku-suku himpunan fungsi ortonormal {fk} menurut
persamaan :
 
G fj = k ck fk dengan ck = ∫ fk G fj d jadi:
  
G fj = k∫ fk G fj d. fk = k fk G  fj> fk = k Gkj fk (7-80)
dan Aij menjadi:
   
` Aij =∫ fi* C G fj d∫ fi* C k Gkj fk dk ∫ fi* C fk d Gkj
= k Cij Gij (7-81)
Jadi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 141

 
Jika  = C G maka Aij = k Cij Gij (7-82)
Persamaan Aij = k Cij Gij adalah aturan perkalian matrik A = C. G, jadi:
 
Jika  = C G maka A = C. G (7-83)
Selanjutnya kombinasi (7-79) dengan (7-82) menghasilkan aturan penjumlahan yang sangat
bermanfaat, yaitu:
 
k Cij Gij = ∫ fi* C G fj datau:
   
k < fi* C  fj> < fi* G  fj> = < fi* C G  fj> (7-84)
Selanjutnya berangkat dari Aij = < fi*Â fj> kita dapat memperoleh:
Aij = < fi*Â fj> = Aij = ∫ fi* Â fj d
Jika nilai eigen dari fj terhadap  adalah aj maka:
Aij = ∫ fi* aj fj d aj ∫ fi* fj d aj < fi* fj> (7-85)

Satu hal yang sangat mendasar dari hubungan antara matrik dengan operator mekanika
kuantum adalah jika kita memahami matrik representatif A berarti kita juga mengenal
operator Â

7. 10 Fungsi Eigen Untuk Operator Posisi


Kita telah menurunkan fungsi eigen untuk operator momentum linear dan momentum
angular. Pertanyaan kita sekarang adalah, bagaimana fungsi eigen untuk operator posisi ?

Operator posisi ditulis x yang operasinya adalah x kali atau

x = x.
Jika fungsi eigen posisi kita misalkan g(x) dan nilai eigennya a, maka:

x g(x) = a g(x) atau:
x g(x) = a g(x) atau (7-86)
(x  a) g(x) = 0 (7-87)
Dari (7-87) dapat disimpulkan bahwa :
untuk x = a  g(x)  0 (7-88)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 142

untuk x  a  g(x) = 0 (7-89)


Kesimpulan di atas membawa kita kepada pemikiran mengenai sifat g(x), yaitu bahwa
seandainya fungsi state  = g(x), dan jika dilakukan pengukuran terhadap x, maka kemungkinan
hasilnya adalah a, dan itu hanya benar jika probabilitas nya 2 adalah nol untuk x  a agar
memenuhi (7-89).
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai fungsi g(x), akan diperkenalkan fungsi
Heaviside step H(x) yang definisinya (gambar 7-1)

H(x)

1
1/ 
2
x

Gambar 7.1: Fungsi Heaviside step


Dari gambar itu tampak bahwa:
H(x) = 1 untuk x > 0
H(x) = ½ untuk x = 0 (7-90)
H(x) = 0 untuk x < 0
Selanjutnya akan diperkenalkan fungsi Delta Dirac (x) yang merupakan turunan dari fungsi
Heaviside step.
(x) = d H(x) / dx (7-91)
Dari (7-90) dan (7-91) diperoleh:
(x) = 0 untuk x  0 (7-92)
Karena pada x = 0 terjadi lompatan mendadak pada harga H(x), maka turunan tak terhingga, jadi:
(x) = ~ untuk x = 0 (7-93)
Sekarang kita perhatikan (7-90). Jika x diganti x a, maka (7-90) akan menjadi lebih umum,
yaitu dalam bentuk:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 143

H(x  a) = 1 untuk (x – a) > 0


H(x  a) = ½ untuk (x - a) = 0 (7-94)
H(x  a) = 0 untuk (x – a )< 0
atau:
H(x  a) = 1 untuk x > a
H(x  a) = ½ untuk x = a (7-95)
H(x  a) = 0 untuk x < a
Dengan demikian maka:
(xa) = 0 untuk x  a ; (xa) = ~ untuk x = a (7-96)
Sekarang perhatikan integral berikut:
~
 f(x) (x-a) dx
~

Evaluasi terhadap integral tersebut menggunakan metode parsial ∫U dV = UV  ∫V dU dengan


U = f(x) sedang dV = (x-a) dx sehingga dU = f '(x) dx dan mengacu (7-91), maka V = H(xa)
Jadi:
~ ~ ~
 f H  
 f (x) (x-a) dx =
 ( x ) (x - a)   ~  H(xa) f '(x) dx
~ ~

~ ~
 f (x) (x-a) dx = f (~)   H(xa) f '(x) dx (7-97)
~ ~

Karena H(x-a) hilang kalau x < a maka (7-97) menjadi:


~ ~

 (x) (x-a)
f dx = f (~)   H(xa) f '(x) dx (7-97)
~ a

~
Suku  H(xa) f '(x) dx pada (7-97) adalah ∫V dU jadi (7-97) menjadi:
a

~
 f(x) (x-a) dx = f(a) (7-98)
~
Bab I/Pers. Schrodinger/ 144

Jika kita bandingkan (7-98) dengan persamaan j Cj ij = Ci kita dapat melihat bahwa peran
fungsi delta Dirac dalam integral sama dengan peran Kronecker delta dalam jumlah atau
sigma.
Jadi dapat dipastikan:
~
  (x-a) dx = 1 (7-99)
~

Sifat (7-96) dari fungsi delta Dirac sama dengan sifat (7-88) dan (7-89), dari fungsi eigen posisi
g(x). Dengan demikian secara tentatif dapat dinyatakan bahwa fungsi eigen posisi adalah:
g(x) = (x-a) (7-100)


Bab I/Pers. Schrodinger/ 145

Soal-soal Bab 7
1. Apakah <fmÂfn> sama dengan <fmÂfn> ?
2. Apakah suatu operator Hermite dapat ditunjukkan oleh persamaan <mn> = <nm>* ?

3. Diketahui operator  dan G adalah Hermitian dan c adalah bilangan konstan real.
a) buktikan bahwa c adalah Hermitian
b) Buktikan

bahwa Â+ G adalah Hermitian
4. Dengan menggunakan fi = A sin nx dan fj = A' sin mx, buktikan bahwa operator d2/dx2 adalah
operator Hermitian.
5. Mana di antara operator-operator berikut yang dapat menjadi operator mekanika kuantum?
a) ( )1/2 b) d/dx c) d2/dx2 d) i(d/dx)
6. Tentukan nilai integral-integral dari sistem atom hidrogen berikut:
 
a) < 2 Âb) < 3 G c) < 3 C 
 
 adalah operator Lz, G adalah operator momentum angular L2 dan C adalah operator
Hamilton.
7. Jika F(x) = x (a – x ) untuk 0 < x < adalah fungsi gelombang partikel dalam box dan
n = (2/a)1/2sin(n/a) x adalah himpunan lengkap fungsi gelombang dalam box, tentukan:
a) ekspansi F(x) = n an n
b) E1, E2 dan E3
c) probabilitas mendapatkan E1, E2 dan E3
 
8. Jika  adalah operator paritas, tentukan  N jika n bilangan ganjil positif ? Bagaimana pula

jika n genap positif ? (Note: Terapkan  pada sembarang f(x, y, z)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 146


9. Diketahui  adalah operator paritas dan i(x) adalah fungsi gelombang osilator harmonik

ternormalisasi. Didefinisikan bahwa elemen matrik  ij adalah:

 
 ij =  ψ *i  ψ i d


buktikan bahwa elemen matrik  ij = 0 untuk i  j dan  ij = + 1

10. Jika  adalah operator linear dimana Ân = 1. Tentukan nilai eigen dari Â.
11. Buktikan bahwa operator paritas adalah linear. Buktikan pula bahwa operator paritas adalah
hermitian. (Pembuktian cukup dalam satu dimensi)
 
12. Karena operator  adalah Hermitian, maka dua fungsi eigen terhadap  yang mempunyai

nilai eigen berbeda pasti ortogonal. Buktikan !


13. Dengan menggunakan operator L2, sebuah fungsi gelombang mempunyai nilai eigen  6 .

Jika diadakan pengukuran terhadap Lz, tentukan harga-harga yang mungkin dan
probabilitasnya masing-masing.
14. Tentukan:
~ 1 1
a)   (x) dx b)  (x) dx c)  (x) dx
~ ~ 1

15. ) Tentukan:
~ ~
a)  f(x)(x-5) dx Jika f(x) = x2 b)  f(x)(x-6) dx jika f(x) = ½ x2 + 5
~ 0

16. Untuk matrik:


2 1  1  1 
 
A=   B=  
0 3  4 4 
   

Tentukan:
a) AB b) BA c) A + B d) 3A e) A + 4B
===000===

Bab I/Pers. Schrodinger/ 147

bab viii
METODE VARIASI
8.1 Teorema Variasi
Problem sentral kimia kuantum sebenarnya adalah menentukan energi suatu sistem yang
pada dasarnya dapat dilakukan dengan cara menyelesaikan persamaan Schrodinger. Untuk
sistem sederhana seperti partikel dalam box, gerak harmonis satu dimensi atau sistem atom
hidrogen penyelesaian persamaan Schrodinger telah pernah kita lakukan dan tidak
membutuhkan kalkulasi yang terlalu rumit. Namun untuk sistem yang terdiri atas banyak
partikel seperti pada atom berelektron banyak atau pada molekul penyelesaian persamaan
Schrodinger untuk sistem tersebut tidak sederhana atau bahkan merupakan sesuatu yang
mustahil. Untuk itu pada bab ini kita akan mempelajari salah satu metode aproksimasi
(pendekatan) yaitu metode variasi. Metode variasi ini didasari oleh teorema sebagai berikut:

Telah kita ketahui bahwa jika operator Hamilton H adalah operator penentu energi
terendah E1 maka untuk sistem yang fungsi gelombangnya , berlaku:
* 
  H  d  E1
dan untuk sembarang fungsi gelombang ternormalisasi  yang berkelakuan baik dan kondisi
boundarynya sesuai dengan kondisi boundary  maka berlakulah:
* 
  H  d  E1  ternormalisasi (8-1)

dengan  adalah fungsi gelombang partikel yang susungguhnya sedang  adalah fungsi
gelombang aproksimasi atau fungsi variasi.
=====================================================
Pembuktian teorema (8-1):
Untuk membuktikan teorema tersebut, marilah kita perhatikan uraian berikut ini. Telah kita
ketahui bahwa suatu fungsi dapat diekspansi menjadi suatu kombinasi linear yang suku-sukunya
merupakan fungsi eigen. Untuk ini kita misalkan  diekspansi ke dalam fungsi eigen k
sehingga:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 148

=  ak k (8-2)
k

dan karena adalah fungsi eigen maka padanya berlaku:



 H k  E k  k  (8-3)

Substitusi (8-2) ke dalam ruas kiri (8-1) membuat ruas kiri ini menjadi:
*  * * 
  H  d    a k  k H  a j  j d
k j

Dengan menggunakan persamaan eigen (8-3), maka ruas kiri (8-1) menjadi::
*  * *
  H d    a k  k  a j E j  j d
k j

karena aj ; ak dan Ek adalah bukan fungsi, maka mereka dapat dikeluarkan dari tanda integral,
sehingga:
 *
* *
  H d    a k a j E j   k  j d =   a*k a jE j  kj
k j k j

Perlu diingat bahwa  kj berharga 1, jika k = j dan 0 jika k  j sehingga ruas kiri (8-1) menjadi:
 
  H d   a k a k E k ( kita juga boleh menyatakan:   H d   a j a jE j
* * * *

k j

2
karena a *k a k  a k maka:

  H d   a k E k
* 2
(8-4)
k

Mengingat E1 adalah tingkat energi terendah, maka Ek pasta > E1 sehingga:


* 
  H d   a k E k >  a k E1 atau:
2 2

k k

  H d > E1  a k
* 2
(8-5)
k


*
Karena  adalah ternormalisasi maka  d  1 , dan jika ekspansi (8-2) dimasukkan ke

dalam kondisi normalisasi ini maka:


*
1= 
*
 d    a*k a j   k j d =   a*k a j  kj =  a k 2 (8-6)
k j k j k
Bab I/Pers. Schrodinger/ 149

 ak
2
Jika = 1, dimasukkan pada (8-5) maka diperoleh:
k

* ^
 H  d > E1  ternormalisasi (8-7)

Dengan demikian (8-1) terbukti.


========================================================

Teorema dengan pernyataan seperti pada persamaan (8-1) adalah jika  ternormalisasi.
Bagaimana jika  tidak ternormalisasi ?. Fungsi  yang tak ternormalisasi akan menjadi
ternormalisasi, jika dikalikan dengan suatu bilangan yaitu A yang disebut faktor normalisasi,
sehingga (8-1) menjadi:

A 2  * H d  E1 (8-8)

Harga A dapat dihitung dari sifat fungsi ternormalisasi yaitu : A2  * d  1 jadi (8-2) dapat

ditulis:
* 
  H d  E (8-9)
* 1
   d
Keberhasilan penggunaan metode variasi ini ditentukan oleh kemampuan memformulasi 
berdasarkan data boundary condition.
Fungsi  disebut fungsi variasi dan integral (8-1) atau integral (8-9) disebut integral
variasional. Untuk dapat memperoleh aproksimasi yang bagus terhadap energi ground state E1
kita harus mencoba beberapa fungsi variasi yang memberikan hasil terendah tetapi tidak lebih
rendah dari E1 yang sesungguhnya (yaitu E1 yang diperoleh melalui eksperimen). Salah satu cara
untuk mengetahui bahwa fungsi variasi yang kita pergunakan adalah salah, adalah jika fungsi
variasi itu menghasilkan integral variasional yang lebih rendah dari E1, manakala harga E1
sesungguhnya dari sistem itu telah diketahui.

Marilah kita ambil 1 sebagai fungsi gelombang ground state yang sesungguhnya.
Dengan demikian:

H 1  E1 1 (8-10)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 150

Jika secara kebetulan, kita dapat membuat fungsi variasi yang sama dengan 1, maka dengan
menggunakan (8-10) ke dalam (8-1) kita akan melihat bahwa integral variasional tepat sama
dengan E1. Jadi fungsi gelombang ground state menghasilkan integral variasional terendah
untuk suatu sistem.
Dalam praktek, orang sering memasukkan beberapa parameter ke dalam fungsi variasi
dalam rangka memperoleh integral variasional yang semakin mendekati energi ground state
yang sesungguhnya.

Contoh:
Turunkan fungsi variasi  jika fungsi eksaknya merupakan fungsi partikel dalam kotak satu
dimensi yang panjangnya l, dengan kondisi batas berharga 0 jika x = 0 dan x = l .
Aproksimasilah E1.
Jawab:
Fungsi  harus mempunyai sifat-sifat tersebut. Bentuk paling sederhana untuk  yang memenuhi
sifat-sifat tersebut adalah:
=x(lx) untuk 0 < x < l (8-11)

Karena tidak ada pernyataan bahwa  ternormalisasi, maka kita tidak menggunakan (8-1) tetapi

(8-9) dengan operator Hamilton H =  (  2 / 2 m ) d2/dx2 (Ingat energi potensial partikel dalam
kotak satu dimensi adalah 0 untuk di dalam kotak).
Pembilang ruas kiri (8-9) adalah:
2 l 2 2 l 2
*   d  d
  H  d  = 
2m  x(l  x)
dx
2
x (l  x) dx= 
2m  (l x  x 2 )
dx
2
(l x  x 2 ) dx
0 0

 2l 3
= (8-12)
6m
Penyebut ruas kiri (8-9) :
l
l5
 
*
  d = x2 (l  x )2 dx = .
30
0

Jika disubstitusikan pada (8-9) diperoleh:


Bab I/Pers. Schrodinger/ 151

5h 2
> E1 (8-13
4 2 l 2 m

8.2 Fungsi Variasi Linear (Metode LCAO : Linear Combination Atomic Orbital)
Salah satu jenis fungsi variasi yang banyak aplikasinya dalam studi mengenai atom dan
molekul adalah fungsi variasi linear. Fungsi variasi linear adalah kombinasi linear dari fungsi-
fungsi f1 , f2 . . . . . fn yang saling independent :
n
 = c1 f1 + c2 f2 + . . . . . . cn fn =  a jf j (8-14)
j1

dengan  adalah fungsi variasi dan koefisien cj adalah parameter yang akan ditentukan. Fungsi fj
harus memenuhi kondisi boundary sistem. Kita akan membuat batasan sendiri yaitu bahwa 
adalah fungsi real, sehingga cj dan fj semuanya juga harus real.
Sekarang kita akan gunakan teorema variasi persamaan (8-9). Harga:
n n n n
*
 *
 d  =   c f
j j  c f
k k d =   c j c k  f *j f k d (8-15)
j 1 k 1 j 1k 1

 f j f k d
*
Supaya praktis integral overlap ditulis Sjk sehingga:

n n
*
   d =   c j c k S jk (8-16)
j1 k 1

Perlu diingat bahwa untuk fungsi real berarti Sjk =  f j f k d .

Selanjutnya pembilang (8-9) menjadi:


 n  n n n 
*
  H d =   c j f j H  c k f k d =   c j c k  f j Hf k d
j 1 k 1 j1 k 1

Selanjutnya agar praktis  f j Hf k d ditulis Hjk sehingga:

 n n
*
  H d =   c j c k Hjk (8-17)
j1 k 1

Jika ruas kiri persamaan (8-9) kita sebut W (jadi W > 1) maka:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 152

n n
*    c j c k H jk
W=
  H d =
j k
(8-18)
* n n
   d   c j c k S jk
j k

n n n n
W  c j c k S jk =   c j c k H jk (8-19)
j k j k

Selanjutnya W disebut integral variasional yang pada dasarnya adalah fungsi n buah variabel
bebas c1 , c2 , . . . . . . cn jadi:
W = W( c1 , c2 , . . . . cn )
Sekarang kita harus meminimalkan W agar W sedekat mungkin dengan E1. Kondisi yang
dibutuhkan untuk memperoleh W minimal terhadap variabel tertentu adalah turunan parsial
pertamanya terhadap variabel tertentu tersebut harus nol.
W
=0 c = 1, 2, 3 . . . . . . . . n (8-20)
c i

Selanjutnya (8-19) didiferensialparsialkan terhadap ci untuk mendapatkan n buah persamaan:


n n W  n n  n n
  c j c k S jk . c i
+W.
c i
  c j c k S jk =
c i
  c j c k H jk
j k j k j k

i = 1, 2, 3 . . . . n (8-21)
Suku pertama ruas kiri (8-21) hilang karena ∂W/∂ci = 0, jadi:

 n n  n n
W.
ci
 c j c k S jk =
ci
  c j c k H jk i = 1, 2, 3 . . . . n (8-22)
j k j k

Karena ci adalah variabel-variabel bebas satu terhadap yang lain maka:


c j   0 jika i  j c j
 sehingga kalau begitu = ij
ci  = 1 jika i = j ci

 n n
Selanjutnya marilah kita evaluasi
c i
  c j c k S jk .
j k

 n n n n 
  c j c k S jk =  c j ck S jk
ci j k j k ci
Bab I/Pers. Schrodinger/ 153

n n c j n n ck
=   ck S jk +   c j S jk
j k ci j k ci

n n n n
=   ckS jk ij +   c jS jk ik (8-23)
j k j k

Jika suku pertama ruas kanan (8-23) kita kembangkan j-nya mulai 1sampai n (k tidak
dikembangkan) maka ketika j = i harga ij = 1 sedang untuk harga i yang lain ij = 0 sehingga:
n n n
 ck S jk ij =  c k S ik
j k k

(8-24)
Analog dengan itu jika suku kedua ruas kanan (8-23) kita kembangkan j-nya mulai 1sampai n (k
tidak dikembangkan) maka ketika j = i harga ik = 1 sedang untuk harga i yang lain ik = 0

sehingga:
n n n
 c jS jk  ik =  c jS ji (8-25)
j k j

Dengan memasukkan (8-24) dan (8-25) ke dalam (8-23) maka (8-23) menjadi:

 n n n n

ci
 c j c k S jk =  c k S ik +  c jS ji (8-26)
j k k j

n n
Pada hakekatnya  c k S ik =  c jS ji karena baik j maupun k mulai 1 sampai dengan n.
k j

Dengan demikian maka (8-26) dapat ditulis:

 n n n
  c j c k S jk = 2  c k S ik (8-27)
ci j k k

Jika Sjk diganti Hjk maka:

 n n n

c i
 c j c k H jk = 2  c k H ik (8-28)
j k k

Substitusi (8-27) dan (8-28) ke dalam (8-22) menghasilkan:


n n
2W  c k S ik = 2  c k H ik
k k
Bab I/Pers. Schrodinger/ 154

atau:
n n
 c k H ik  W  c k S ik =0
k k

atau:
n
 (H ik  Sik W) ck = 0 (8-29)
k

Persamaan (8-29) tersebut adalah himpunan yang terdiri atas n buah persamaan simultan, linear,
homogen dinyatakan dalam n buah variabel tak diketahui yaitu c1 , c2 . . . . . cn. Untuk n = 2,
persamaan (8-29) adalah:
(H11 – S11W)c1 + (H12 – S12W)c2 = 0
(H21 – S21W)c1 + (H22 – S22W)c2 = 0
Secara umum, untuk n fungsi, persamaan (8-29) menjadi:
(H11 – S11W)c1 + (H12 – S12W)c2 . . . . . .+ (H1n – S1nW)cn = 0
(H21 – S21W)c1 + (H22 – S22W)c2 . . . . . + (H2n – S2nW)cn = 0 (8-30)
...............................................
(Hn1 – Sn1W)c1 + (Hn2 – Sn2W)c2 . . . . . + (Hnn – SnnW)cn = 0
Penyelesaian (8-30) harus non trivial, artinya c1 sampai dengan cn ≠ 0, untuk itu determinan
koefisiennya harus nol, jadi det.(Hij  SijW) = 0 atau:
H12  S12 W .......... ......... H1n  S1n W
H11  S11 W
H 21  S 21 W .......... ......... H 2n  S 2 n W
H 21  S 21 W . =0 (8-31)
.......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... ..........
H n1  S n1 W .......... .........
H n1  S n1 W H nn  S nn W

Untuk n = 2, maka (8-31) menjadi:

H 11  S11W H 12  S12 W
0 (8-32)
H 21  S 21W H 22  S 22 W

Penyelesaian determinan (8-31) akan menghasilkan sebuah persamaan aljabar berderajat n


dalam W yang tidak diketahui. Persamaan itu mempunyai n akar yaitu W1 sampai Wn yang jika
ditata mulai yang nilainya terendah, urutannya adalah:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 155

W1 < W2 < W3 <. . . . < Wn (8-33)


Jika kita menandai state sistem sesuai dengan urutan kenaikan energinya, maka kita peroleh:
E1 < E2 < . . . . . . < En < En+1 < . . . . . (8-34)
Kita tahu dari (8-9) bahwa:

 * H d
E1 <
*
   d
^
*
Karena   H  d disebut W, pada W terdiri atas W1 , W2 . dst, maka kita dapat menuliskan:
*
   d

E1 < W1 ; E2 < W2 ; . . . . . . . En < Wn (8-35)


dengan E1 adalah energi terendah sesungguhnya dari state (1), E2 adalah energi terendah
sesungguhnya dari state (2) dan seterusnya.
Dari uraian di atas maka kita tahu bahwa dengan metode variasi linear kita dapat
memperkirakan E1 sampai En dengan menggunakan W1 sampai dengan Wn. Apa bedanya
dengan teorema variasi pada pasal 8-1 ? Teorema variasi hanya dapat memperkirakan E1 saja.
Untuk mendapatkan aproksimasi energi yang akurat, maka kombinasi linear yang dibuat
tentu jangan hanya tiga atau empat suku saja, tetapi dapat ratusan, ribuan atau bahkan jutaan
suku kombinasi linear. Untuk itu, dukungan komputer sangat esensial untuk melakukan
kalkulasi numeriknya. Cara paling efisien untuk menyelesaikan (8-31) (yang biasa disebut
persamaan sekular) adalah dengan metode matrik.
Untuk memperoleh aproksimasi terhadap fungsi gelombang ground state-nya, kita
gunakan W1 untuk disubstitusikan pada (8-30), sehingga kita dapat memperoleh c1(1) ; c2(1) ; c3(1)
; . . . . cn(1) . Superskrip (1) digunakan untuk menandai bahwa koefisien c1 sampai dengan cn
tersebut berhubungan dengan W1. Setelah harga c diperoleh maka kita masukkan ke dalam
fungsi aproksimasi:
n
1 =  ck1 f k (8-36)
k 1
Bab I/Pers. Schrodinger/ 156

Penggunaan W yang lebih tinggi (W2 , W3 dst) akan menghasilkan aproksimasi fungsi
gelombang tereksitasinya yaitu 2 3 dan seterusnya.
Contoh :
Gunakan fungsi x (a – x) untuk 0 < x < a, untuk menyusun fungsi variasi linear  untuk partikel
dalam box satu dimensi. Tentukan pula energi dan fungsi gelombang state pertama sampai state
ke empat.
Jawab:
n
 =  c k fk
k 1

Kita gunakan f1 = x ( a  x) . Karena kita harus ingin mengaproksimasi sampai dengan n = 4


maka kita harus memilih f1 sampai dengan f4 yang harga memenuhi 0 < x < a . Tak terhingga
banyaknya f1 sampai dengan f4 yang dapat kita buat maka kita harus memilih yang peng-
integralnya sederhana. Untuk f2 kita pilih x2 (a – x)2 . Karena telah kita pilih fungsi genap untuk
f1 dan f2 maka kita harus memilih fungsi ganjil untuk f3 dan f4 agar pada pengintegralan banyak
yang hilang. kita ambil untuk f3 adalah x ( a – x ) ( ½ a – x ) dan f4 nya adalah x2( a – x )2( ½ a –
x ), jadi:

f1 = x ( a  x) ;
f2 = x2 (a – x)2 ; (8-37)
f3 = x ( a – x ) ( ½ a – x ) ;
f4 = x2( a – x )2( ½ a – x )
Karena f1 dan f2 genap sedang f3 dan f4 ganjil, maka:
S13 = S31 = 0 ; S14 = S41 = 0 ; S23 = S32 = 0 ; S24 = S42 = 0 (8-38)
H13 = H31 = 0 ; H14 = H41 = 0 ; H23 = H32 = 0 ; H24 = H42 = 0 (8-39)
Persamaan sekularnya adalah:
H11  S11W H12  S12 W H13  S13 W H14  S14 W
H 21  S 21W H 22  S 22 W H 23  S 23 W H 24  S 24 W
=0
H 31  S 31 W H 32  S 32 W H 33  S 33 W H 34  S 34 W
H 41  S 41W H 42  S 42 W H 43  S 43 W H 44  S 44 W

atau:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 157

H11  S11W H12  S12 W 0 0


H 21  S 21W H 22  S 22 W 0 0
H 33  S 33 W H 34  S 34 W =0 (8-40)
0 0
0 0 H 43  S 43 W H 44  S 44 W

atau:
H11  S11 W H 12  S12 W H 33  S 33 W H 34  S 34 W
x =0 (8-40a)
H 21  S 21 W H 22  S 22 W H 43  S 43 W H 44  S 44 W

Jadi:
H11  S11W H12  S12 W
=0 dan (8-41)
H 21  S 21W H 22  S 22 W

H 33  S 33 W H 34  S 34 W
=0 (8-42)
H 43  S 43 W H 44  S 44 W

Untuk mengevaluasi W dari (8-41) dan (8-42) kita tentukan dulu masing-masing harga H dan S:
a  2  d2
  2a 2
H11 = < f1 H f1 > =  x(a – x)    [x(a – x)] dx =
 2m  dx 2 6m
0  

a
a5
S11 = < f1f1 > =  [x(a – x)]2 dx =
30
0

analog dengan itu kita peroleh:


a  2  d2
H12 = H21 =  x(a – x)    [x2(a – x)2] dx =  2 a5/30m 
 2m  dx 2
0  

H22 =  2 a7/105m ; H33 =  2 a5/40m ; H34 = H43 =  2 a7/280m


S12 = S21 = a7/140 ; S22 = a9/630 ; S33 = a7/840 ; S44 = a11/27720
S34 = S43 = a9/5040
Selanjutnya (8-41) menjadi:

 2a 3 a 5  2a 5 a 7
 W  W
6m 30 30m 140 =0 (8-43)
 2a 5 a 7  2a 7 a 9
 W  W
30m 140 105m 630

Baris pertama dikalikan dengan 420m/a3 , baris kedua dikalikan dengan 1260m/a5 , maka (8-43)
menjadi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 158

70 2  14 m a 2 W 14 2a 2  3m a 4 W =0 (8-44)


42 2  9 m a 2 W 12 2a 2  2m a 4 W

Jadi:

m2a4 W2  56 ma2  2 W + 252  4 = 0


sehingga (8-41) menghasilkan 2 harga W yaitu:

W = 0,1250018  2 /ma2 dan 1,293495  2 /ma2


Dengan cara yang sama, (8-42) juga menghasilkan 2 macam harga W yaitu:

W = 0,5002930  2 /ma2 dan W = 2,5393425  2 /ma2


Jika memperhatikan urutan harga W yang diperoleh, maka (8-41) menghasilkan W1 dan W3 jadi
(8-41) pasti berkorelasi dengan fungsi gelombang variasi 1 dan 3, sementara itu juga dapat
kita lihat bahwa (8-41) berhubungan dengan f1 dan f2, jadi 1 dan 3 pasti merupakan kombinasi
linear dari f1 dan f2 dan kita boleh menyatakannya dengan:

1 = c11 f1 + c 21 f 2 3 = c13 f 1 + c 23 f 2 (8-45)

Sementara itu, harga W yang diperoleh dari (8-42) adalah urutan ke 2 dan ke empat jadi (8-42)
menghasilkan W2 dan W4 yang pasti berkorelasi dengan fungsi gelombang variasi 2 dan 4.
Tampak pula bahwa (8-42) berhubungan dengan f3 dan f4, jadi 2 dan 4 pasti merupakan
kombinasi linear dari f3 dan f4 dan kita boleh menyatakannya dengan:

2 = c 32  f 3 + c 42  f 4 4 = c 34  f3 + c 44  f 4 (8-46)

Catatan:
1) indek koefisien c menunjukkan fungsi f yang bersangkutan sedang superscripnya
menunjukkan energi W nya.
2) fungsi 1 adalah fungsi variasi yang berenergi W1 dan seterusnya.
Selanjutnya kita akan mengaproksimasi harga koefisien c dalam rangka menentukan fungsi
variasi. Persamaan sekular (8-41) yang berkorelasi dengan f1 dan f2 berasal dari kombinasi
persamaan:
H11  S11W c1  H12  S12W c2  0 (8-47)
H 21  S21W c1  H 22  S22W c2  0
Bab I/Pers. Schrodinger/ 159

Karena (8-47) berasal dari (8-41) maka harga W yang berhubungan adalah W1 dan W3 .
Untuk W = W1 maka: (8-47) menjadi:

H11  S11W1 c11  H12  S12W1 c21  0


(8-48)
H 21  S21W1 c11  H 22  S22W1 c21  0
Untuk W = W3 maka: (8-47) menjadi:

H11  S11W3 c13  H12  S12W3 c23  0


(8-49)
H 21  S21W3 c13  H22  S22W3 c23  0

Jika semua harga H, S dan W yang dibutuhkan dimasukkan maka c1 , c 2 dapat diperoleh
1 1

dari (8-48) dan dari (8-49) kita dapat memperoleh harga c13 dan c 23 sehingga

1 = c11 f1 + c 21 f2 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan)

 3 = c13 f1 + c 23 f2 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan)

Harga c untuk 2 dan 4 diperoleh dengan cara yang sama tetapi bertolak dari (8-42).
Persamaan sekular (8-42) yang berkorelasi dengan f3 dan f4 berasal dari kombinasi persamaan:
H33  S33W c3  H34  S34W c4  0 (8-50)
H 42  S43W c3  H 44  S44W c4  0
Karena (8-50) berasal dari (8-42) maka harga W yang berhubungan adalah W2 dan W4 .
Untuk W = W2 maka: (8-50) menjadi:

H33  S33W2 c32  H34  S34W2 c42  0


(8-51)
H 42  S43W2 c32  H44  S44W2 c42  0
Untuk W = W4 maka: (8-50) menjadi:

H33  S33W4 c34  H34  S34W4 c44  0


(8-52)
H 42  S43W 4c34  H 44  S44W4 c44  0

Jika semua harga H, S dan W yang dibutuhkan dimasukkan maka c 32  , c 42  dapat diperoleh

dari (8-51) dan dari (8-52) kita dapat memperoleh harga c 34  dan c 34  sehingga

2 = c 32  f3 + c 42  f4 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan)


Bab I/Pers. Schrodinger/ 160

3 = c 34  f4 + c 34  f4 = . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (dapat ditentukan)

8.3 Matrik, Nilai Eigen dan Vektor Eigen


Matrik diperkenalkan oleh ahli hukum dan matematisi Arthur Cayley untuk mencari
jalan pintas dalam menangani kombinasi fungsi linear dan transformasi linear dari sebuah
himpunan variabel menjadi himpunan yang lain.
Anggap saja kita mempunyai n buah persamaan linear dengan n buah variabel, yaitu:
a11x1 + a12x2 . . . . . . . . . . a1nxn = b1
a21x1 + a22x2 . . . . . . . . . . a2nxn = b2
a31x1 + a32x2 . . . . . . . . . . a3nxn = b3 (8-53)
...........................
an1x1 + an2x2 . . . . . . . . . . annxn = bn
Dalam bahasa matrik himpunan (8-53) tersebut dapat ditulis:
 a 11 a 12 ....... a 1n   x 1   b1 
a a 22 a 2n   x 2   b 2 
 21 .......
 a 31 a 32 ....... a 3n   x 3    b 3  (8-54)
 ....... ....... ....... .......   .......   ....... 
a a n2 ....... a nn   x n   b n 
 n1

A x= b (8-55)
dengan A adalah matrik koefisien sedang x dan b adalah matrik kolom. Kesamaan antara (8-53)
dan (8-54) dapat dengan mudah dibuktikan melalui perkalian matrik A dengan x. Matrik A
merupakan matrik bujur sangkar, sehingga determinannya dapat ditentukan, Jika det.A  0
maka A disebut nonsingular. Jika A1 adalah invers dari A, maka antara keduanya berlaku
hubungan:

AA1 = A1A = 1 (8-56)


Jika matrik A nonsingular, maka seandainya (8-55) dikalikan dengan A1 diperoleh A1 (Ax) =
A1b. Karena perkalian matrik bersifat asosiatif, maka A1 (Ax) = (A1A) x = x sehingga:
x = A1b (8-57)
Persamaan (8-57) merupakan solusi dari himpunan (8-53)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 161

Metode variasi linear merupakan metode yang hampir selalu dipergunakan untuk memperoleh
aproksimasi fungsi gelombang molekul dan matrik menawarkan cara yang paling efisien untuk
mencari penyelesaian terhadap persamaan-persamaan dalam metode variasi.
n
Jika fungsi f1 , f2 . . . . fn dalam fungsi variasi linear  =   ck fk adalah ortonormal,
k 1

i j
maka S1j = ij =  10 jika sehingga persamaan (8-30) dapat ditulis:
 jika i  j

H11c1 + H12c2 . . . . . . + H1ncn = Wc1


H21c1 + H22c2 . . . . . . + H2ncn = Wc2
H31c1 + H32c2 . . . . . . + H3ncn = Wc3 (8-58)
.............................
Hn1c1 + Hn2c2 . . . . . . + Hnncn = Wcn
dan dalam bahasa matrik (3-6) dapat ditulis:
 H11 H12 ....... H1n   c1   c1 
H H 22 H 2n   c 2  c 
 21 .......  2 
 H 31 H 32 ....... H 3n   c 3   W  c 3  (8-59)
 ....... ....... ....... .......   .......   ....... 
H H n2 ....... H nn   c n  c 
 n1  n 

B c = Wc (8-60)
dengan H adalah matrik bujur sangkar yang elemen matriknya Hij = < fiĤfj > dan c adalah
vektor kolom dari koefisien c1 , c2 , . . .cn. Dalam (8-60) H adalah matrik yang diketahui, c dan
W belum diketahui dan akan dicari penyelesaiannya.
Jika kita mempunyai relasi:
Ac=c (8-61)
dengan A adalah matrik bujur sangkar dan c adalah vektor kolom yang paling tidak ada satu
elemennya yang tidak nol, dan  adalah skalar, maka c disebut vektor eigen dari matrik A dan L
disebut nilai eigen dari matrik A.
Komparasi antara (8-60) dan (8-61) menunjukkan bahwa sebenarnya penyelesaian
problema variasi linear dengan Sij = ij adalah problema penentuan nilai eigen dan vektor eigen
dari matrik H yang nilai eigennya adalah W dan vektor eigennya adalah c.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 162

Catatan:
Jika c adalah vektor eigen dari matrik A, maka jelas bahwa k c pasti juga vektor
eigen dari A (sudah tentu jika k konstan). Jika k dipilih sedemikian rupa sehingga:
n
2
 ci =1 (8-62)
i 1
maka vektor kolom c disebut ternormalisasi.
Dua buah vektor kolom b dab c yang masing-masing mempunyai n elemen disebut
ortogonal jika :
n
 b *ic i = 0 (8-63)
i 1
Sekarang marilah kita perhatikan persamaan eigen (8-60) yang mempunyai n nilai eigen yaitu
W1, W2 . . . . Wn dan mempunyai n vektor eigen yaitu c1 , c2 . . . . . . cn sedemikian rupa
sehingga:
Hc( i ) = Wic( i ) i = 1, 2, 3, . . . . . . n (8-64)

dengan c( i ) adalah vektor kolom matrik H yang elemen-elemennya adalah c1i  , c 2i  . . . . c ni  .

Selanjutnya marilah kita buat matrik C yang elemen-elemennya adalah vektor eigen matrik H,
dan kita buat matrik W yang merupakan matrik diagonal yang elemen diagonalnya nilai eigen
matrik H. Jadi:

 c1 c12 ......... c1n  


 1
 
 1 
 c2 c22 ........ c2n  
   W1 0 . . . . . 0 
 W2 . . . . . 0 
C=   W=  0 (8-65)
. . . . . ..... ..... .....  ..... ..... ..... ..... 
 0 0 . . . . . Wn 
  
 
 cn1 cn2 ........ cnn  
 
 
Ternyata Himpunan persamaan nilai eigen (8-64) dapat ditulis:
HC = CW (8-66)
Jika masing-masing ruas (8-66) kita kalikan C1 maka diperoleh:
C1HC = W (8-67)
Beberapa Istilah Matrik:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 163

1. Matrik Simetrik
Matrik bujur sangkar B adalah Matrik Simetrik jika elemen bij = bji. Contoh:
7 2 5 
B = 2 3i 5  3i 
5 5 - 3i 0 

2. Matrik Hermitian
Matrik bujur sangkar D adalah matrik Hermitian jika elemen d ij = d*ij . Contoh:

7  2i 5 
D =  2i 3i 5  3i 
5 5 - 3i 0 

3. Matrik ortogonal
Matrik ortogonal adalah matrik yang transposenya = inversnya
4. Unitary Matrix
Matrik yang inversnya sama dengan konjugate transposenya atau U1 = U†
Orang dapat membuktikan bahwa dua vektor eigen dari matrik Hermitian H yang
berhubungan dengan nilai eigen yang berbeda adalah ortogonal (Levine, 1998) Untuk vektor
eigen dari H yang nilai eigennya sama, orang dapat membuat kombinasi linear di antara mereka
untuk mendapatkan vektor eigen yang ortogonal bagi H. Lebih lanjut, vektor eigen yang tak
ternormalisasi dapat dikalikan dengan suatu bilangan konstan agar menjadi vektor eigen
ternormalisasi. Dengan demikian, vektor eigen dari matrik Hermitian dapat dipilih dan dijadikan
ortonormal. Jika vektor eigen yang dipilih adalah ortonormal, maka vektor eigen matrik C
dalam (8-65) unitary matrix, sehingga C1 = C†, sehingga (8-67) menjadi:

C† HC = W jika Ĥ Hermitian (8-68)


Dengan C† adalah transpose dari konjugate-nya C.
Jika Ĥ real dan simetrik maka berlaku hubungan:
C HC = W jika Ĥ real dan simetrik (8-69)
Berikut ini adalah beberapa istilah dan notasi matrik:

Nama Matrik Notasi Cara mendapatkannya


Transpose A A Mengubah semua baris matrik a
menjadi kolom
Bab I/Pers. Schrodinger/ 164

kompleks konjugasi dari A A* Mengganti semua elemen matrik A


dengan kompleks konjugasinya
Konjugasi transpose atau A (A*)  ; Dicari konjugasi A, lalu di
Konjugasi Hermit (A dagger) transpose.
Semua elemen A diganti dengan
Adjoint A atau adjugasi A ^
kofaktornya kemudian ditranspose
adj A atau A

A1 Bagilah semua elemen dari adj. A


Inversi A
dengan det.A

Contoh:

 3 2i 
 
Tentukan nilai eigen dari matrik Hermitian: A   .
- 2 i 0 
 
Jawab: Persamaan karakteristik jika nilai eigennya dimisalkan  menurut (8-61) adalah :
det ( aij - ij ) = 0. Jadi:
3- 2i = 0
2i 

2   4 = 0  1 = 4 dan 2 = 1


Untuk 1 = 4, himpunan persamaan simultan (8-58) H dan W berturut-turut diganti dengan A
dan  adalah:
(1) (1)
(3  1) c1 + 2 i c2 = 0

(1) (1)
2i c1  1 c 2 = 0

atau:
(1) (1)
 c1 + 2 i c2 = 0

(1) (1)
2i c1  c 2 = 0

sehingga:
(1) (1)
c1 = 2 i c2
Bab I/Pers. Schrodinger/ 165

Normalisasinya menghasilkan:

(1) 2 (1) 2 (1) 2 (1) 2 (1) 2


1 = c1 + c2 = 4 c2 + c2 = 5 c2

(1) 2 1 (1) (1)


c2 = ; c2 = 1 / 5 ; c 2  1/ 5
5
(1) (1)
 c1 = 2 i c2 = 2 / 5

Dengan cara yang sama untuk 2 = 1, diperoleh:


( 2) ( 2)
  c1 =  i / 5 ; c2  2/ 5

Matrik vektor eigen ternormalisasinnya adalah:

 2i / 5   i / 5 
c (1)    ; c ( 2)  
  2/ 5 

 1/ 5   
Soal Bab 8
1. Gunakan fungsi variasi  = ecr untuk atom hidrogen; pilihlah parameter c untuk
meminimalkan integral variasi dan hitunglah % error integral variasional terhadap energi
ground state hidrogen yang sesungguhnya .

2. Jika fungsi variasi ternormalisasi  = 3 /  3  1 / 2 x untuk 0  x   diaplikasikan pada sister


partikel dalam box, kita akan mendapatkan bahwa integral variasionalnya sama dengan nol,
dan ini berarti lebih kecil dari pada energi ground state yang sesungguhnya. Bagaimana
dengan hal ini ?
3. Untuk partikel dalam box tiga dimensi yang sisi-sisinya a, b dan c, tulislah fungsi variasi yang
merupakan perluasan dari fungsi satu dimensi  = x   x  yang digunakan pada sub bab

8.1. Gunakan integral (8-12) dan persamaan yang menyertainya untuk mengevaluasi integral
variasional pada kasus tiga dimensi. Tentukan % error-nya.
4. (a) Diketahui sebuah sistem partikel tunggal satu dimensi dengan energi potensial:
V = b untuk ¼   x  ¾  dan V = 0 untuk 0  x ¼  dan ¾   x   .
Bab I/Pers. Schrodinger/ 166

dan di luar itu V =  (b konstan). Gunakan fungsi variasi 1 = 2 /  1 / 2 sin x/  untuk

0  x   untuk meng-estimasi energi ground state untuk b =  2 / m 2 dan bandingkan

hasilnya dengan energi ground state yang sesungguhnya yaitu E = 5,750345  2 / m 2 .



Untuk menghemat waktu dalam mengevaluasi integral, perlu diingat bahwa <1 H 1> =
 
<1 T 1> + <1 V 1> , dan jelaskan mengapa <1 T 1> persis sama dengan energi

ground state partikel dalam box yaitu h 2 / 8m 2 .


(b) Untuk sistem dan kasus yang sama gunakan fungsi variasi  = x   x  .

5. Sebuah partikel berada dalam box sperik yang radiusnya b, energi potensialnya V = 0 dan
untuk 0  r  b dan V =  untuk r > b. Gunakan fungsi variasi  = b  r untuk 0  r  b
dan  = 0 untuk r > b untuk mengestimasi energi ground statenya dan bandingkan dengan

nilai yang sesungguhnya yaitu h 2 / 8mb 2 .


2
6. Sebuah osilator satu dimensi mempunyai V = cx dengan c konstan. Rancanglah fungsi
variasi dengan sebuah parameter untuk sistem itu, dan tentukan nilai optimum untuk
parameter itu untuk meminimalkan integral variasional, dan estimasilah energi ground state.

7. Untuk partikel dalam box yang panjangnya  , gunakan fungsi variasi  = x k   x k untuk

0  r   . Kita akan membutuhkan integral berikut:


1 s s  t 1 ( s  1) (t  1)
0 x   x  dx  
t
 ( s  t  2)

dimana fungsi gamma mengikuti relasi (z + 1) = z(z). Adanya fungsi gamma tersebut,
tidak perlu membuat anda risau, karena fungsi gamma tersebut akan hilang sendiri.

  
(a) Buktikan bahwa integral variasionalnya adalah  2 / m 2 4k 2  k / 2k  1

(b) Tentukan nilai optimum dari k dan tentukan pula % error terhadap energi ground state
untuk nilai k ini.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 167

8. Gunakan fungsi variasi  = 1 /(a 2  x 2 ) pada osilator harmonik satu dimensi. Pilihlah harga

a untuk meminimalkan integral variasional dan tentukan % errornya. Beberapa bentuk


integral yang dibutuhkan adalah:
 
1  1 3
 dx  ;  dx 

0 x2  a2
2
 4a 3 
0 x2  a2
3
 16a 5

 
x2  x2 
 dx  ;  dx 

0 x2  a2 2 4a

0 x2  a2 4 4a 5

9. Pada tahun 1971, melalui sebuah karya ilmiah dipublikasikan bahwa aplikasi fungsi variasi


2 2

ternormalisasi N. e  br / ao  cr/a o untuk atom hidrogen dengan meminimalkan parameter b
dan c menghasilkan energi 0,7 % di atas energi ground state yang sesungguhnya. Tanpa
melakukan kalkulasi apapun berikan penjelasan bahwa pernyataan itu pasti salah.
2 2
10. Untuk atom hidrogen ground state, gunakan fungsi variasi Gauss  = e  cr / ao . Tentukan
nilai optimum c dan % error energinya.
11. Dengan metode Gauss, selesaikan kombinasi persamaan linear berikut:
  X1  X2 + 4 X3 + 2 X4 = 16
  X1  X3 + 4 X4 = 
  X1 + X2 + X3  X4 = 8
4 X1 + 6 X2 + 2 X3 + X4 = 3

12. Tentukan A* , A dan A dari:

 7 3 0
 
A   2  1 2i i 
 1  i 4 2
 
13. a) Tentukan nilai eigen dan vektor eigen ternormalisasi dari:

2 2 

A  
2 1 
 
Bab I/Pers. Schrodinger/ 168

b) Apakah matrik A real dan simetrik ?


c) Apakah matrik A Hermitian ?
d) apakah matrik vektor eigen C ortogonal
e) buktikan bahwa C1AC adalah matrik diagonal yang elemennya nilai eigen.
14. Tentukan nilai eigen dan vektor eigen ternormalisasi dari matrik

  1 0  2
 
A  0 5 0 
 2 4 2 
 

===000===
BAB IX
METODE PERTURBASI
9.1 Pengantar
Sekarang kita akan membahas metode aproksimasi penting kedua dalam mekanika
kuantum setelah metode variasi yaitu metode perturbasi atau metode gangguan atau metode
Simpangan. Jika seandainya kita mempunyai sistem dengan Hamiltonian bebas waktu Ĥ dan
kita tidak mungkin menyelesaikan secara eksak persamaan Schrodinger:
Ĥn = En n (9-1)
untuk mendapatkan fungsi dan nilai eigennya, dan jika Ĥ hanya berbeda sedikit dengan operator
Hamilton Ĥ0 dari suatu sistem yang persamaan Schrodinger-nya yaitu:
Ĥ0 n(0) = E n(0)  n(0) (9-3)
yang dapat diselesaikan dengan pasti, maka sistem dengan Ĥ disebut sistem terperturbasi
sedang sistem dengan Ĥ0 disebut sistem takterperturbasi.
Sebagai contoh sistem perturbasi adalah sistem osilator takharmonis yang Ĥ nya adalah::

2 d2
Ĥ= + ½ k x2 + c x3 + d x4 (9-3)
2m dx 2

Hamiltonian (9-3) tersebut tidak berbeda jauh dengan Hamiltonian dari sistem osilator
harmonis:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 169

2 d2
Ĥ0 =  + ½ k x2 (9-4)
2m dx 2

Jika tetapan c dan d pada (9-3) itu kecil, maka diperkirakan bahwa fungsi dan nilai eigen dari
osilator takharmonis tidak terlalu jauh dengan yang harmonis. Jika perbedaan antara Ĥ dan Ĥ0
kita sebut Ĥ' . Perbedaan Hamiltonian ini kita sebut perturbasi. Jadi Perturbasi kita definisikan
dengan:
Ĥ' = Ĥ – Ĥ0 (9-5a)
jadi:
Ĥ = Ĥ0 + Ĥ' (9-5b)
(Awas tanda ' tidak berhubungan dengan differensial). Untuk contoh osilator takharmonis
dengan Hamiltonian (9-3), perturbasinya dikaitkan dengan osilator harmonis adalah:
Ĥ' = c x3 + d x4 (9-6)
Yang menjadi tugas kita adalah menyatakan fungsi dan nilai eigen dari sistem yang terperturbasi
(yang tidak diketahui) dinyatakan dalam fungsi dan nilai eigen sistem yang takterperturbasi
(yang dapat diketahui). Dalam menangani kasus ini, kita akan membayangkan bahwa perturbasi
berlangsung secara gradual, artinya perubahan dari takterperturbasi menjadi terperturbasi
berlangsung secara continous atau berangsur-angsur (tidak mendadak/spontan). Secara
matematika, hal seperti ini berarti memasukkan parameter  kedalam Hamiltonian dalam bentuk
relasi sebagai berikut:

Ĥ = Ĥ0 +  Ĥ' (9-7)
Jika  = nol, maka kita mempunyai sistem takterperturbasi. Seiring dengan meningkatnya ,
maka perturbasi akan tumbuh semakin besar, dan jika  = 1, maka dikatakan perturbasi aktif
secara penuh (fully turned on).

9.2 Teori Perturbasi Nondegenerate


Teori perturbasi untuk energi degenerate dan nondegenerate adalah berbeda. Sekarang
kita akan membahas yang nondegenerate lebih dulu. Jika n(0) adalah fungsi gelombang dari
sebuah partikel takterperturbasi nondegenerate dengan energi En(0), dan jika n adalah fungsi
Bab I/Pers. Schrodinger/ 170

gelombang terperturbasi menjadi n(0) , maka untuk sistem terperturbasi, persamaan


Schrodinger-nya adalah:
Ĥn = (Ĥ0 +  Ĥ') n = En n (9-8)
Karena Hamiltonian (9-8) tersebut bergantung pada parameter , maka n dan En merupakan
fungsi . Jadi:
n = n(q) dan En = En()
dengan q adalah koordinat sistem. Sekarang n dan En akan kita ekspansi sebagai deret Taylor
dalam  (artinya deret pangkat ).

 dk  k
n =   k
n 
 k!
k 0  d   -0

d n d 2 n 2
=  n -0 +  +  (9-9)
d  0
d 2   0 2!

 dkE  k
En =   k
n 
 k!
k 0  d   -0

d En d2En 2
= E n -0 +  +  (9-10)
d  0 d2  0 2!

 d k  k
Selanjutnya agar penulisannya ringkas,  n  ditulis n(k) dan
 dk 
   -0 k !

 d k En  k
  ditulis En(k) jadi:
 dk  k !
   -0

Sehingga untuk k = 0, maka:

d 0 n 0
n(0) = =  n  -0 . (9-11a)
d0  0 0!

d0En 0
En(0) = = E n  -0 (9-11b)
d0  0 0!
Bab I/Pers. Schrodinger/ 171

dan k = 1, 2, 3 . . . . .

dkn 1
n(k) = k = 1, 2 . . . . (9-12a)
dk  0
k!

dkEn 1
En(k) = k = 1, 2, . . . (9-12b)
dk  0 k!

sehingga (9-9) dan (9-10) dapat ditulis:


n = n(0) +  n(1) + 2n(2) + 3 n(3) + . . . .kn(4) + . . . . (9-13)
En = En(0) +  En(1) + 2En(2) + 3En(3) + . . . . + kEn(k) + . . . . (9-14)
n(k) dan En(k) disebut koreksi order k terhadap fungsi gelombang dan energi. Kita akan
mengasumsikan bahwa deret (9-13) dan (9-14) adalah konvergen untuk  = 1 dan kita berharap
bahwa untuk perturbasi (simpangan) yang kecil, suku-suku awal deret akan memberikan
aproksimasi yang bagus bagi fungsi gelombang dan energi yang sesungguhnya.
Kita ambil n(0) ternormalisasi, jadi < n(0) n(0)> = 1. Tanpa harus menganggap bahwa
n ternormalisasi, kita mensyaratkan agar:
< n(0) n> = 1
Jika n tidak mengikuti < n(0)n> = 1, maka hasil kali n dengan konstanta 1/<n(0)n>
akan menghasilkan fungsi gelombang terperturbasi yang jauh dari properti seharusnya.
Kondisi < n(0) n> = 1 ini disebut normalisasi intermediate. Perlu dicatat bahwa hasil
kali n dengan konstanta tidak akan mengubah harga energi dalam persamaan Schrodinger :
Ĥn = Enn sehingga penerapan normalisasi intermediate tidak berpengaruh terhadap hasil
koreksi energi.
Substitusi (9-13) ke dalam normalisasi intermediate < n(0) n> = 1 menghasilkan:
1 = < n(0) n(0) > + < n(0)n(1) > + 2< n(0) n(2) > + . . . . .
Karena < n(0) n(0) > pasti = 1, maka < n(0)n(1) > + 2< n(0) n(2) > + . . . . .= 0. Karena
 pasti tidak nol, maka:
< n(0)n(1) > = < n(0) n(2) > = 0 dst (9-15)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 172

Dari (9-15) itu tampak bahwa koreksi pada fungsi gelombang n(k) adalah ortogonal terhadap
n(0) jika normalisasi intermediate dipergunakan.
Substitusi (9-13) dan (9-14) ke dalam (9-8) menghasilkan:
(Ĥ0 +  Ĥ' ) (n(0) +  n(1) + 2n(2) + 3 n(3) + . . .)
= (En(0) +  En(1) + 2En(2) + 3En(3) + . . .) (n(0) +  n(1) + 2n(2) + 3 n(3) + . . .)
Suku-suku yang pangkat nya sama dikumpulkan, hingga menjadi:
Ĥ0 n( 0) +  ( Ĥ'n(0) + Ĥ0n(1) ) + 2 ( Ĥ'n(2) + Ĥ0n(1) ). . .
= En(0)n(0) +  (En(1)n(0)+ En(0)n(1) + 2 (En(2)n(0) + En(1)n(1) + En(0)n(2) ) . . .
(9-16)
Sekarang (dengan asumsi konvergen) maka suku-suku yang berderajat sama dari kedua
ruas persamaan (9-16) bernilai sama untuk sembarang harga . Dari suku 0 diperoleh:
Ĥ0 n( 0)= En(0)n( 0) (9-17)
Dari suku  diperoleh:
( Ĥ'n(0) + Ĥ0n(1) ) = (En(1)n(0)+ En(0)n(1) atau:
Ĥ0n(1)  En(0)n(1) = En(1)n( 0)  Ĥ'n(0) (9-18)

Koreksi Energi Order Pertama


Untuk mendapatkan harga En(1) , kita kalikan (9-18) dengan m(0)* kemudian
diintegralkan ke seluruh ruang, sehingga menjadi:
m(0)Ĥ0n(1) >  En(0) <m(0)n(1)> = En(1)<m(0)n( 0)>  <m(0)Ĥ'n(0)>
(9-19)
Operator Ĥ(0) adalah Hermitian, sehingga suku pertama ruas kiri (9-19) adalah::
 m(0)Ĥ0n(1) > = n(1)Ĥ0m(0)>* = n(1)Ĥ0m(0)>*
= n(1)Em(0)* m(0)>* = Em(0)m(0) n(1) > (9-20)
Substitusi (9-20) ke dalam (9-19) menghasilkan:
 Em(0)n(1)m(0)>  En(0) <m(0)n(1)> = En(1)<m(0)n( 0)>  <m(0)Ĥ'n(0) >
atau:
 Em(0)  En(0) ) <m(0)n(1)> = En(1)<m(0)n( 0)>  <m(0)Ĥ'n(0) >
Bab I/Pers. Schrodinger/ 173

(9-21)
Jika m = n, maka ruas kiri (9-21) menjadi nol sedang <m(0)n( 0)> = <n(0)n( 0)> =
<m(0)m( 0)> = 1, jadi:
 0 = En(1)  <n(0)Ĥ'n(0) > atau:

En(1)  <n(0)Ĥ'n(1) > = ∫n(0)* Ĥ'n(0) d H'nn (9-22)*b


Kesimpulan:
Koreksi order pertama terhadap energi diperoleh dengan merata-rata perturbasi Ĥ’
dengan mengacu pada fungsi takterperturbasi yang bersangkutan.

Jika koreksi terhadap energi sudah diperoleh maka energi sistem terperturbasi En adalah:
En = En(0) + En(1) (9-23)
dengan En = energi sistem terperturbasi (yang diaproksimasi) ; En(0) = energi sistem tak
terperturbasi dan En(1) = koreksi energi order pertama.
Contoh:

2 d2 1 2
Untuk osilator tak harmonis yang hamiltoniannya adalah Ĥ=   kx + px3+
2m dx 2 2

qx4, tentukan (a) koreksi order pertama untuk energi ground state, dan (b) tentukan energi
ground state untuk osilator tak harmonis tersebut.
Jawab:
a) Untuk osilator harmonis, energi ground state adalah E0 = ½ h . Koreksi order pertama untuk
energi ground sate yang ditanyakan adalah E0(1). Menurut (9-22):
En(1) =∫n(0)* Ĥ'n(0) d jadi:
~ (0)* (0)
E0(1) =  0 Ĥ'0 dx
~

dengan :
0(0)= fungsi gelombang tak terperturbasi (osilator harmonis) ground state =
2
(/)1/4 e ( / 2) x
Bab I/Pers. Schrodinger/ 174

2 d2 1 2 d2 1
Ĥ' = Ĥ – Ĥ0 = (   kx 2 + px3+ qx4) – (   kx 2 ) = px3+ qx4
2m dx 2 2 2m dx 2 2

jadi:
~ ( / 2) x 2 ( px3+ qx4 ) (/)1/4 ( / 2) x 2 dx
E0(1) =  (/)1/4 e e atau
~

~ 2 ~ 2
E0(1) =  ( px3+ qx4 ) (/)1/2 e  x dx = (/)1/2  ( px3+ qx4 ) e  x dx
~ ~

~ ~2 2
= (/)1/2  px3 e  x dx + (/)1/2  qx4 e x dx
~ ~

~ 3  x 2
 px e dx adalah integral fungsi ganjil dengan batas ~ s/d +~ = 0. jadi:
~

~ 4  x 2
E0(1) = 0 + (/)1/2  qx e dx
~

~ 2 3q
= 2q  x4 e x dx =
0 4 2

Koreksi Fungsi Gelombang Order Pertama


Untuk m  n, persamaan (9-21) menjadi:

 ( E m(o )  E n(o) ) <m(0)n(1)> =  <m(0) H ' n(0) > m n (9-24)

Untuk memperoleh n(1), kita mengekspansinya ke dalam suku-suku yang terdiri atas himpunan

fungsi eigen tak terperturbasi m(0) dari operator hermitian H o :

n(1) = a
m
o 
nm m , dengan anm    mo  n1  (9-25)

Dengan menggunakan anm    mo   n1  , persamaan (9-24) menjadi:



( E m(o )  E n(o) ) anm =    mo  H '  no  m n

atau:

  mo H '  no H 'mn
anm = = (9-26)
En(o )  Em(o ) En( o)  Em(o )
Bab I/Pers. Schrodinger/ 175

Koefisien anm pada ekspansi (9-25) dinyatakan dalam bentuk (9-26), kecuali untuk ann , yaitu

o . Dari persamaan kedua pada (9-25), dapat dinyatakan bahwa


koefisien dari  m

ann   n(o )  n(1)  . Ingat bahwa pemilihan normalisasi intermediate untuk  n , membuat

  n(o )  n(1)  = 0 [persamaan (9-15)]. Karena itu, ann   n(o)  n(1)  = 0, sehingga (9-25) dan

(9-26) memberikan koreksi order pertama terhadap fungsi:



  mo H '  no  (o)
n  
(1)
(o) (o)
m (9-27)
mn E n  E m

Arti lambang  adalah kita menjumlah semua state tak terperturbasi kecuali state n.
mn

Dengan menggunakan harga  = 1 dalam (9-13) dan menggunakan koreksi fungsi


gelombang order pertama, kita mempunyai sebuah aproksimasi terhadap fungsi gelombang
perturbasi yaitu:

  mo H '  no
 n   n(o )  
mn En(o )  Em(o )
 m(o ) (9-28)

Secara ringkas dapat ditulis koreksi untuk orde pertama:


En = En(0) +  H'nn = En(0) +  En(1)
'
H mn
 n   n(o )   E
mn
(o)
n  E m(o )
 m(o ) =  n   n(o )    n(1)

Contoh aplikasi Teori Perturbasi


Jika Hamilton Perturbasi Ĥ' adalah
1/ 2
x 2  nx 
Ĥ' = V1 dan  n =    sin ,
a a  a 

Dimana V1 adalah ketinggian potensial pada x = a. Koreksi orde pertama pada energi level ke-n
persamaan (9-22)*b adalah
 V 
En(1) =  n x 1  n 
 a 
Bab I/Pers. Schrodinger/ 176

1/ 2 1/ 2
 V1  a 2  nx   2   nx 
=      sin x    sin dx
 a 0 a  a  a  a 

2V1 a nx
=
a2  0
x. sin 2
a
.dx

1
= V1
2
1
Tampak untuk perturbasi orde pertama menaikkan energi semua level sebesar V1
2
1
Jadi En = En(0) +  H'nn = En(0) +  En(1) = En(0) +  V1
2

Koreksi orde pertama fungsi gelombang diberikan oleh persamaan (9-26) dan untuk problem ini
 2
x  sin kx  sin mx dx 
a
 2 V1
a   a  a 
amk=  
0


Em0  Ek0 
Denominatornya =
h2
8ma 2
  
m 2  k 2  m 2  k 2 E1 
Untuk mengevaluasi integral kita gunakan relasi trigonometrik
1
sin  sin   cos     cos   
2

Kita substitusikan ke H'km

1 
H'km =
 2
V1  ycosk  my  cosk  mydy
0

1  1 ( k  m ) 1 ( k  m ) 
=

V1 
2
 k  m 
2 
0
z cos zdz 
k  m 2 0  y cos ydy 

1  2 2 
= V1    
2
== (k-m, k+m ganjil)
 k  m  k  m 
2 2

2  1 1 
= V1   
2 
 k  m  k  m  
2 2

H'km =0 == (k-m, k+m genap)


Misal m adalah keadaan energi terendah  1 . Aplikasinya adalah

2  1 1 16 V1
H'21 = V1  2  2     0.18V1
2 3 1  9 2

H'31 =0
Bab I/Pers. Schrodinger/ 177

2  1 1  32 V1
H'41 = V1  2  2     0.0144V1
2 5 3  225  2

H'51 = 0, dan seterusnya.


Perhatikan integral H'21 = -0,18V1, sedangkan denominatornya adalah
E10  E20  (12  2 2 ) E1  3E1

E10  E40  (12  4 2 ) E1  15E1

Sehingga

0,18  V1  V 
a12 =    0,06 1 
3  E1   E1 

a12 = a15 =…..= 0

0,0144  V1  V 
a14 =    0,0096 1 
15  E1   E1 

Sehingga
 V1  0 V 
 1 =  10  0,06  2  0.0096 1  40
E
 1  E1 

Koreksi Energi Order Kedua


Jika koefisien 2 pada (9-16) disamakan, kita akan memperoleh:
 
H '  n(1) + H o  n( 2) = E n( 2)  n(o) + E n(1)  n(1) + E n(o )  n( 2)

atau:
 
H o  n( 2)  E n(o)  n( 2) = E n( 2)  n(o) + E n(1)  n(1)  H '  n(1) (9-29)

Perkaliannya dengan  m(o)* , dilanjutkan dengan integrasi seluruh ruang, menghasilkan:



  m(o) H o  n( 2)   E n(o)   m(o )  n( 2) 


= E n( 2)   m(o )  n(o )  + E n(1)   m(o )  n(1)     m(o ) H '  n(1)  (9-30)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 178


Integral   m(o) H o  n( 2)  dalam persamaan tersebut persis sama dengan integral dalam (9-20),

tetapi  n(1) diganti dengan  n( 2) . Penggantian  n(1) oleh  n( 2) , membuat persamaan (10-20)

menjadi:

  m(o) H o  n( 2)  = E m(o)   n(o)  n( 2)  (9-31)

Penggunaan (9-31) disertai dengan ortonormalitas fungsi tak terperturbasi pada (9-30)
menghasilkan:

E m(o )   n(o)  n( 2)   E n(o)   m(o )  n( 2) 


= E n( 2)   m(o )  n(o )  + E n(1)   m(o )  n(1)     m(o ) H '  n(1) 

atau:

( E m(o )  E n(o) )   m(o )  n( 2) 


= E n( 2)  mn + E n(1)   m(o)  n(1)     m(o ) H '  n(1)  (9-32)

Untuk m = n, ruas kiri (9-32) menjadi nol, dan kita memperoleh:



0 = E n( 2)    n(o ) H '  n(1) 

atau:

E n( 2) =   n(o) H '  n(1)  (9-33)

Jika kita mengamati persamaan (9-33), maka tampaknya untuk dapat mengkalkulasi koreksi
order kedua untuk energi, kita harus sudah mempunyai koreksi order pertama untuk fungsi

gelombang. Namun fakta menunjukkan bahwa pemahaman akan  n(1) sudah cukup pula untuk

menentukan E n(3) . Sehingga secara lebih umum dapat dinyatakan, bahwa jika kita sudah

mempunyai koreksi ke-k untuk fungsi gelombang, maka kita sudah dapat menentukan koreksi
ke (2k + 1) untuk energi (Bates, 1961).

Substitusi (9-27) untuk  n(1) ke dalam (10-33) menghasilkan:


Bab I/Pers. Schrodinger/ 179


   mo H '  no 
E n( 2) =   n(o) H'  E n(o)  E m(o )
 m(o) 
m n

  mo H '  no 
Karena  E n(o)  E m(o)
adalah a m dan nilainya konstan, tentu saja dapat dikeluarkan dari
m n

tanda integral, sehingga :



  mo H '  no  
E n( 2)   E n(o)  E m(o )
  n(o ) H '  m
(o)
 (9-34)
m n

Karena H bersifat hermitian, maka:
  
  m(o) H '  n(o)    n(o ) H '  m
(o)
 =   m(o) H '  n(o) 

 2
=   m(o ) H '  n(o) 

sehingga (9-34) menjadi:


 2 2
  mo H '  no  H m' n
E n( 2)   E n(o)  E m(o)
=  (o )
 E m(o)
(9-35)
mn m n E n

yang merupakan pernyataan E n( 2) yang diinginkan, yang dinyatakan dalam terminologi fungsi

gelombang dan energi.

Aplikasi E n( 2) ke dalam (9-14) dengan  = 1 adalah aproksimasi state energi perturbasi,

yaitu:
2
E n  E n(o)  H n' n   H m' n (9-35)
mn

yang integralnya meliputi fungsi gelombang tak terperturbasi yang ternormalisasi.


Formula untuk koreksi energi order yang lebih tinggi tidak dibahas dalam buku ini,
tetapi yang berminat dapat mempelajarinya dari Bates, 1961 halaman 181-185. Bentuk
perturbasi yang kita bahas dalam sub bab ini disebut teori perturbasi RayleighSchrodinger.

Diskusi. Persamaan (9-28) menunjukkan bahwa efek perturbasi pada fungsi gelombang  n(o)

diinfiltrasi oleh konstribusi dari state lain yaitu  m(o) , m  n . Dengan adanya faktor
Bab I/Pers. Schrodinger/ 180

1 /( E n(o)  E m(o) ) , konstribusi terbesar terhadap fungsi gelombang terperturbasi datang dari state

energi terdekat dengan state n.


Untuk mengevaluasi koreksi order pertama untuk energi, kita cukup hanya dengan

mengevaluasi H n' n , sedang untuk mengevaluasi koreksi energi order kedua, kita harus

mengevaluasi elemen matrik H ' antara state ke-n dan seluruh state m yang lain, dan kemudian
malakukan penjumlahan sebagaimana (9-35). Dalam banyak kasus, adalah sangat tidak
mungkin untuk mengevaluasi koreksi energi order kedua secara eksak. Apalagi untuk order
ketiga atau yang lebih tinggi, tentu akan jauh lebih sukar, meski dengan bantuan komputer
sekalipun.
Penjumlahan dalam (9-28) dan (9-36) adalah jumlah meliputi state-state yang berbeda.
Jika beberapa level energi adalah degenerate, maka kita harus menjumlahkan semua fungsi
gelombang yang saling independen sehubungan dengan level degenerate tersebut.
Alasan mengapa kita melakukan penjumlahan sebagaimana (9-28) dan (9-36) adalah
karena kita memerlukan himpunan lengkap fungsi-fungsi untuk melakukan ekspansi (9-25) dan
oleh karena itu kita harus melibatkan semua fungsi gelombang linear independen dalam
penjumlahan. Jika problem tak terperturbasi melibatkan fungsi gelombang kontinum (misal
kasus atom hidrogen), maka kita juga harus menyertakan integrasi terhadap fungsi kontinum itu.

Jika  (o) menyatakan fungsi gelombang kontinum tak terperturbasi dengan energi E (o) , maka

(9-27) dan (9-35) menjadi:



  mo H '  no  H E' n
 n(1)   E n(o)  E m(o )
 m(o) +  E (o )  E ( o )  
(o)
dE (o )
mn n
2
H m' n H E' n
E n( 2) =  E (o )  E ( o ) +  E (o)  E (o) dE
(o)

m n n m n

dengan H E(o)n   (o) H '  n(o) . Integral pada persamaan-persamaan tersebut adalah meliputi

rentang state energi kontinum (misal dari nol sampai tak terhingga pada atom hidrogen).
Bab I/Pers. Schrodinger/ 181

Keberadaan state kontinum dalam problem tak terperturbasi membuat evaluasi terhadap E n( 2)

menjadi lebih rumit lagi.

Aplikasi koreksi orde kedua


Jika fungsi  k( 0) dan  m( 0) adalah real, integral H'km dan H'mk adalah sama. Ekspresi koreksi energi
untuk orde kedua adalah

2
H mk
E m( 2) = 
k Em0  Ek0
Dengan menggunakan harga elemen matriks yang didapat di atas kita dapat memperoleh koreksi
E1 orde kedua

(0,180V1 ) 2 (0,0144V1 ) 2
E1( 2) = 
 3E1  15E1
V12 V2
=  0,0109  0,0000139 1
E1 E1
V12
 -0,0109
E1
Energi E1 adalah koreksi orde kedua, sehingga

V12
E1 = E10 + 0,500V1 – 0,0109
E1

Metode Variasi-Perturbasi
Metode variasi-perturbasi memungkinkan kita melakukan estimasi dengan hasil lebih

akurat terhadap E n( 2) dan teori koreksi energi perturbasi order lebih tinggi untuk sistem ground

state. Metode ini dilandasi oleh pertidaksamaan:


  (o) 
u H o  E (o)
g u + u H '  E (1)
g  (o)
g +  g H '  E (1) ( 2)
g u  Eg (9-37)

dengan u adalah sembarang fungsi yang memenuhi syarat dan memenuhi kondisi boundary
sedang label g merujuk pada ground state. Pembuktian (9-37) dapat dilihat pada Hameka (1981)
sun bab 7-9. Dengan mengambil u sebagai fungsi variasi dengan parameter yang meminimalkan

ruas kiri (9-37), kita dapat mengestimasi E g( 2) . Fungsi u dapat menjadi estimator terhadap  g(1)

yaitu fungsi gelombang ground state koreksi order kesatu dan dengan demikian, selanjutnya u
Bab I/Pers. Schrodinger/ 182

dapat digunakan untuk mengestimasi E g(3) yaitu energi ground state koreksi order ketiga.

Integral variasional yang sama dapat digunakan untuk memperoleh koreksi fungsi gelombang
dan energi order yang lebih tinggi.
9.3 Metode Perturbasi untuk Atom Helium Ground State
Atom helium terdiri atas sebuah inti bermuatan +2e dan dua buah elektron. Kita anggap
bahwa inti atom berada dalam keadaan diam pada posisi (0,0,0) dalam sistem koordinat.
Koordinat elektron 1 dan 2 berturut-turut adalah (x1, y1, z1) dan (x2, y2, z2); lihat gambar 9.1.
Jika kita mengambil muatan inti +Ze sebagai pengganti +2e, maka pembahasan kita
tidak hanya untuk atom helium, tetapi untuk semua partikel (atom atau ion) yang mirip helium
  2+
yaitu atom atau ion yang elektronnya dua seperti H , Li , Be , dan lain-lain. Operator
Hamiltoniannya adalah:

  2 2  2 2 Ze' 2 Ze' 2 e' 2


H =  1  2    (9-38)
2me 2m e r1 r2 r1 2

dengan me adalah massa elektron, r1 adalah jarak dari inti sampai elektron 1, r2 adalah jarak

dari inti sampai elektron 2 dan r1 2 adalah jarak antara elektron 1 terhadap elektron 2. Dua suku
yang pertama adalah operator untuk energi kinetik elektron; suku ketiga dan keempat adalah
energi potensial antara elektron dengan inti atom sedang suku terakhir adalah energi potensial
akibat repulsi antar elektron. Energi potensial suatu sistem yang terdiri atas partikel-partikel
yang saling berinteraksi tidak dapat ditulis sebagai jumlah dari energi potensial partikel
individual; energi potensial merupakan sifat sistem sebagai sebuah kesatuan. 

e
 (x1 , y1, z1)
r1 2 
e
(x2 , y2, z2) 

r2 r1 


+2e

Gambar 9.1 Jarak antar partikel dalam atom helium


Bab I/Pers. Schrodinger/ 183

Persamaan Schrodinger untuk sistem mirip helium ini melibatkan enam variabel bebas.
Dalam koordinat spherik polar,
 = r1 , 1 ,  1, r 2 , 2 ,  2  (9-39)

Operator 12 adalah operator  2 , yang (r, , ) nya diganti dengan (r1, 1, 1) ; operator  22

adalah operator  2 , yang (r, , ) nya diganti dengan (r2, 2, 2); variabel r12 adalah:

r12 = [(x1  x2)2 + (y1  y2)2 + (z1  z2)2]½ , dan melalui transformasi dari koordinat
Cartesius ke dalam koordinat spherik polar, kita dapat menyatakan r12 dalam terminologi
koordinat (9-39), yaitu:
r12 = [(r1 sincos1  r1 sincos2)2 + (r1 sinsin1  r1 sinsin2)2

+ (r1cos1  r1cos2)2]½ ,
Karena adanya suku 1 / r12, akibatnya persamaan Schrodinger tidak dapat diselesaikan melalui
teknik pemisahan variabel, sehingga harus menggunakan metode aproksimasi. Untuk
 
menggunakan metode perturbasi, kita harus memisahkan H menjadi dua bagian, yaitu H o dan
 
H ' . H o adalah Hamiltonian untuk problem yang dapat diselesaikan secara eksak. Biasanya
pemisahannya adalah sebagai berikut:

  2 2  2 2 Ze' 2 Ze' 2
Ho =  1  2   (9-40)
2m e 2 me r1 r2

 e' 2
H' = (9-41)
r1 2

Tampak bahwa (9-40) merupakan jumlah dari dua buah Hamiltonian mirip hidrogen, jadi:
  
H o = H 1o  H 2o (9-42)

o  2 2 Ze' 2 o  2 2 Ze' 2
H1 =  1  ; H2 =  2  (9-43)
2m e r1 2 me r2

Sistem helium disebut tak terperturbasi adalah jika kedua elektron dalam atom helium tersebut
tidak ada gaya sama sekali. Meskipun realita fisik seperti itu tidak pernah kita jumpai, namun
kita tetap menggunakannya semata-mata untuk jembatan dalam menuju kalkulasi final.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 184

Karena Hamiltonian tak terperturbasi (9-42) adalah jumlah Hamiltonian untuk dua
partikel, maka dapat diperkirakan bahwa fungsi gelombang tak terperturbasinya merupakan
hasil kali fungsi tak terperturbasi dari masing-masing partikel. Sehingga dapat kita tulis:

 (o) =  (o) = F1r ,  ,   . F2 r ,  ,   (9-44)


r 1 , 1 ,  1 , r 2 , 2 ,  2  1 1 1 2 2 2

dan energi tak terperturbasinya adalah:

E (o ) = E1 + E2 (9-45)
Persamaan Schrodinger untuk masing-masing partikel adalah:
 
H 1o F1  E1 F1 dan H 2o F2  E 2 F2 (9-46)
 
Karena H 1o dan H 2o adalah Hamiltonian untuk atom mirip hidrogen, tentu saja fungsi dan nilai

eigen (9-46) adalah fungsi dan nilai eigen untuk atom mirip hidrogen. Dari bab VI dapat kita
ketahui bahwa:

Z 2 e' 2 Z 2 e' 2
E1   ; E2   ; (9-47)
n12 2a o n 22 2a o

 1 1  e' 2 n1 1, 2, 3 , . . . . . . . .
E (o)   Z 2   n 2  1, 2, 3 , . . . . . . . .
(9-48)
 n 2 n 2  2a o
 1 2 

dengan a o adalah radius Bohr. Persamaan (9-48) merupakan energi order nol dari kedua

elektron yang terikat oleh inti atom.


Untuk level terendah, nilai n1  1 , n 2  1 , dan fungsi eigen order nol-nya (lihat bab VI)

adalah:
1/ 2  Z r 1/ 2  Z r
(o) 1  Z  ao
1 1  Z  ao
2
    e .   e (9-49)
1s 2  1/ 2  ao  1/ 2  ao
 
Energi ground state tak terperturbasinya adalah:

e' 2
E (o2)  (2) Z 2 (9-50)
1s 2a o
2
Kuantitas  ½ e’ /ao adalah energi ground state untuk hidrogen yang nilainya sudah kita ketahui
yaitu 13,606 eV. Jadi untuk helium dengan Z = 2, adalah:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 185

E (o2)  108,8 eV (9-51)


1s

Bagaimana energi order nol ini dibandingkan dengan energi ground state helium yang
sesungguhnya? Berdasarkan eksperimen, energi ionisasi pertama helium adalah 24,6 eV. Energi
ionisasi kedua atom helium, berarti ionisasi terhadap ion He+. Karena ion He+ adalah partikel
mirip hidrogen, maka energi ionisasinya secara teoritik dengan mudah dapat dihitung, yaitu 22
(13,606 eV) = 54,4 eV. Jika kita anggap energi order nol adalah energi ionisasi total helium
[anggapan ini adalah implisit dalam (9-38)], maka energi ground state atom helium adalah
(26,6 + 54,4) eV = 79,0 eV. Jadi energi order nol mempunyai error 38%. Kesalahan ini cukup
besar, karena nilai terminologi perturbasi e’2/r12 tidak cukup kecil untuk diabaikan.

Langkah berikutnya adalah mengevaluasi koreksi perturbasi order pertama. Level


ground state tak terperturbasi adalah level yang non degenerate. Koreksi energi order pertama
adalah:

E (1)   (o) H'  (o)

2 2      2 Z r 1  2 Z r 2
z 6 e' 2 1
    e
(1) ao ao
E =
2 6
 ao 0 0 0 0 0 0 r12

 x r12 dr1 r22 dr2 sin  1d 1 sin  2 d 2 d1d 2 (9-52)

Evaluasi integral (9-52) dapat saja tidak usah diperhatikan dan kita bisa langsung melihat (9-55)
sebagai hasil evaluasi (9-52), tetapi bagi yang ingin mengikuti proses evaluasi integral (9-52),
langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
 Yang pertama kali harus dilakukan adalah meng-ekspansi 1/r12 menjadi bentuk berikut
(Eyring, dkk., 1944):

 

1 
4 r
r12
=   2  1 r 1  m ( 1 , 1 * m ( 2 ,  2 ) (9-53)
0 m 

Lambang r artinya lebih kecil dari pada r1 dan r2 sedang r lebih besar dari pada r1 dan r2.

Substitusi (9-53) ke dalam (9-52) menghasilkan:


Bab I/Pers. Schrodinger/ 186

2 2      2 Z r 1  2 Z r 2 
Z 6 e' 2 4 r
 

E (1)
=      e
ao ao
 
 m ( 1 , 1 ) * m ( 2 ,  2 )
 2 a o6  0 m    2  1 r
 1
0 0 0000

 x r12 dr1 r22 dr2 sin  1d 1 sin  2 d 2 d1d 2

2 2      2 Z r 1  2 Z r 2
 * 

Z 6 e' 2 4 
1 r
E (1) =
 2 6
ao
  2  1     e
ao ao
r 1
m
 ( 1 , 1 )
m
 ( 2 ,  2 )
 0 m    0 0 0000

 x r12 dr1 r22 dr2 sin  1d 1 sin  2 d 2 d1d 2 (9-53a)

Selanjutnya (9-53a) dikalikan dengan  oo ( oo ) * dan kemudian dibagi  oo ( oo ) * = ¼, jadi

nilai (9-53a) tidak berubah, kemudian diadakan penataan ulang sehingga hasilnya adalah:

 2 2      2 Z r 1  2 Z r 2
16 Z 6 e' 2 
1
E (1)
=
a o6
  2  1     e
ao ao
e
 0 m    0 0 0000

x
r
r 1
 m
 ( 1 , 1 ) *  o o m
o ( 1 , 1 ). o ( 1 , 1 ) *   ( 2 ,  2 )

 x r12 dr1 r22 dr2 sin  1d 1 sin  2 d 2 d1d 2 (9-53a)

Persamaan (9-53a) ditata ulang, menjadi:

 2Z 2Z

16 Z 6 e' 2  
1 r1
r  ao r 2
E (1)
=    r1 r2 e
2 2 ao
r 1
e dr1dr2
a o6  0 m    2  1 0 0

2 

    
m
x ( 1 , 1 ) *  oo ( 1 , 1 ). sin  1 d 1d1 )
0 0

2 

  o ( 2 ,  2 ) * 
o m
x ( 2 ,  2 ) sin  2 d 2 d 2 ) (9-53b)
0 0

Selanjutnya, dengan ortonormalitas,


2 

    
m
Integral fungsi harmonik sperik ( 1 , 1 ) *  oo ( 1 , 1 ). sin  1 d 1d1 akan bernilai
0 0

1 untuk   m  0 dan akan nol untuk harga  dan m yang lain. Hal yang sama juga terjadi pada
Bab I/Pers. Schrodinger/ 187

integral fungsi sperik harmonik yang lain sehingga hanya untuk orbital dengan nilai   m  0 ,
persamaan (9-53b) menjadi:

 2Z 2Z
   ao r 2
16 Z 6 e' 2 r1
ao  1
 r12 r22 e
(1)
E =  e dr1dr2 (9-53c)
a o6 00  r 

Persamaan (9-53c) juga dapat ditulis sebagai berikut:

 2Z 2Z
  2  ao r 2
16 Z 6 e' 2 r1
ao  1
 r12 e
(1)
E =   r2 e dr1 dr2 (9-53d)
a o6 00  r 

Jika integrasi akan dilakukan terhadap r1 lebih dulu, maka (9-53d) ditulis:

 2Z   2Z 

16 Z 6 e' 2 ao
r2
 2  ao r 1  1  
 
(1)
E = r22 e  r1 e   dr1 dr2 (9-53e)
a o6 0 0  r  
 
atau:

 2Z

16 Z 6 e' 2 r2
E (1)
=  r22 e ao
I dr2 (9-53e)
a o6 0

 2Z
 r1
ao  1 
dengan I =  r12 e 
 r
 dr1 . Untuk mengevaluasi I, rentang integrasi dipecah menjadi dua

0

yaitu antara 0 sampai r2 dan antara r2 sampai   , sehingga I dapat ditulis:


r2 2Z  2Z
 r1  r1
ao  1  ao  1 
   r12 e 
 r
 dr1 +

 r12 e 
 r
 dr1 

0 r2

1
Bagaimana dengan ? Untuk rentang 0 sampai r2, maka r> (baca: r besar) adalah r2 sedang
r
pada rentang r2 sampai tak terhingga, r> adalah r1, jadi I dapat ditulis:
r2 2Z  2Z
 r1  r1
ao  1  ao  1
   r12 e 
 r2
 dr1 +

 r12 e   dr1
 r1 
0 r2

r2 2Z  2Z

r12  ao r1 r1
  r1 e
ao
= e dr1 + dr1
0
r2 r2
Bab I/Pers. Schrodinger/ 188

Subtitusi I ke dalam (9-53d) menghasilkan:

 2Z  r 2Z  2Z 
16 Z 6 e' 2  r2
 2 r12  r1  r1

  dr1   r1 e
(1) ao ao ao
E = r22 e  e dr1 dr2
a o6 0  0
r2 r2 
 
atau:
 2Z  r 2Z 
16 Z 6 e' 2  r2
 2  r1

 r2 e 
(1) ao ao
E =  r12 e dr1 dr2
a o6 0  0 
 
2Z  2Z 
  r2   r1 
16Z 6 e' 2 ao  ao
+  r22 e r e dr1 dr2 (9-54)
a 6o  1 
0 r
2 
kita sederhanakan bentuknya menjadi:
 2Z

16 Z 6 e' 2 r2
E (1)
=  r2 e
ao
I1 dr2
a o6 0

2Z
  r2
16 Z 6 e' 2
+ 2
 r2 e
ao
I 2 dr2 (9-54a)
a 6o 0
r2 2Z  2Z
 r1  r1
dengan I 1   r1 e ao
2
dr1 dan I 2   r1 e ao
dr1
0 r2
Dengan menggunakan:
 2 
2 e bx dx = e bx  x  2 x  2  , diperoleh:
 x
 b b 2 b 3 

 
2Z 2Z
 
r2  r1  r1  2 
r 2r1 2
I1   r12 e ao dr1 = e ao  1   
 2Z  2 3
0  2Z   2Z 
 a       
o a a 
  o   o  
r2
  2Z r  
 1
 r12 a o r1a o2 a 3o 
= e a o     
 

2Z 2Z 2 4Z 3 
 0
2Z
r2 

ao  r22 a o r2 a o2 a o3   a o3 
=e      
 2Z 2 Z 2 4 Z 3   4 Z 3 

Bab I/Pers. Schrodinger/ 189

 2Z 2Z 2Z 
 a o 2  ao r2 a o2  r2
ao a o3  ao r2 a o3 
= r2 e  r2 e  e  
 2Z 2Z 2 4Z 3 4Z 3 
 
1
Dengan menggunakan  xe bx dx = e bx bx  1 , diperoleh:
b2
2Z 2Z
  r1 
r1 2   2Z  
ao ao  
I 2   r1 e ao
dr1 = e  r  1
  a o  1 
r2 4Z 2  

  2Z r   
2Z
r2  
 a o 1  a o a o2   a o2 
ao  a o 
= e  r  = 0  e  r 
 2Z 1 4Z 2   2 Z 2 4Z 2 
      
  r2  
 
2Z 2Z 
2Z a r2
a 2  r2 
 r2  2   o r2 e a o  o e a o 
ao  a a
= e  o r2  o  =  2 Z 4 Z 2 
 2Z
 4Z 2   

Selanjutnya I1 dan I2 dimasukkan ke dalam (9-54a):


 2Z  2Z 2Z 2Z 

16 Z 6 e' 2 r2
 a o 2  ao r2 a o2  r2
a o3  ao r2 a o3 
2
(1) ao ao
E = r e  r
 2Z 2 e  r
2 2
e  e  dr
3 2
a o6 0  2 Z 4 Z 3
4 Z 
 
2Z  2Z 2Z 
  r2   r2  r2 
16 Z 6 e' 2 2 ao  a o ao a o2 ao 
+
a 6o
 r2 e  2Z
r2 e 
4Z 2
e

dr2
0
 
 4Z 2Z 4Z 2Z 
16 Z 6 e' 2  a o 3  ao r2 a o2 2  ao r2 a o3  r2
a o3  r2

   2Z r2 e
ao
=  r e
2 2
 r e
3 2
 r e ao
3 2 dr2
a o6 0 2Z 4Z 4Z 
 

 
4Z 2Z 
 r2  r2 
16 Z 6 e' 2 ao 3 a a o2 ao 
+   2Z r2 e o  r22 e dr2
a 6o 0 4Z 2 
 
16 Z 6 e' 2  a o  a o  a o3  a o  
4 3 2 2
(1) a o2  a o  a3  ao 
E =  3!   2!   o    . 
a o6  2 Z  4Z  2 Z 2  4Z  4Z 3  4Z  4 Z 3  2 Z  

16 Z 6 e' 2  a o  a o   a o  
4 3
a o2
+ 3!   2!  
a o6  2Z  4 Z  4 Z 2  4 Z  
Bab I/Pers. Schrodinger/ 190

16 Z 6 e' 2  1  a o  1  a o  
5 5 5 5
(1) 1  ao  1  ao 
E =  3.      6   4 
a o6  2 8  Z  26  Z  2  Z  2  Z  

16 Z 6 e' 2  1  a o  1  a o  
5 5
+ .3.    
a o6  2 8  Z  2 7  Z  
5
16Z 6 e' 2  a o   1 1 1 1 
E (1) =        
a o6  Z   2 6 2 6 2 4 2 7 
5
16 Z 6 e' 2  a o   2 2 8 1 
=        
a o6  Z   2 7 2 7 2 7 2 7 
5
16 Z 6 e' 2  a o   5 
=    
a o6  Z   2 7 

Jadi:

5Z  e' 2 
E (1) =   (9-55)
8 a 
 o 
Jika diaplikasikan pada helium, Z = 2, persamaan (9-55) menjadi:

10  e' 2  10  e' 2
 = 
 10
=
E (1) = .13,606 eV = 34,0 eV
8  a o 
 4  2a
 o
 4

Jadi aproksimasi untuk helium ground dengan memperhitungkan sampai dengan koreksi order
pertama adalah:

E (o)  E (1) = 108,8 eV + 34,0 eV = 74,8 eV (9-56)


Dengan koreksi seperti itu, kesalahannya terhadap energi ground state yang sesungguhnya
adalah 5,3 %.
Kita telah berhasil menghitung koreksi order pertama untuk gelombang. Untuk
menghitung koreksi energi kedua dibutuhkan koreksi order pertama untuk fungsi gelombang,
yang dapat diperoleh melalui evaluasi terhadap elemen matrik dari 1/r12 mulai dari ground state
tak terperturbasi sampai dengan seluruh state tereksitasi termasuk state kontinum dan
melakukan penjumlahan serta integrasi. Tidak seorangpun yang telah berhasil menggambarkan

bagaimana mengevaluasi secara langsung semua konstribusi untuk E 2  . Perlu dicatat bahwa
Bab I/Pers. Schrodinger/ 191

efek  (1) ( koreksi fungsi order pertama), bercampur dengan fungsi gelombang dari konfigurasi

lain, selain 1s2; hal ini kita sebut konfigurasi interaksi. Memang, kontribusi terbesar yang
berpengaruh terhadap fungsi gelombang helium yang sesungguhnya, berasal dari konfigurasi
1s2, yang merupakan fungsi gelombang order nol tak terperturbasi.

E ( 2) untuk helium ground state telah dievaluasi dengan metode variasi-perturbasi


[persamaan (9-37)]. Untuk memperoleh aproksimasi dengan koreksi yang sangat akurat, Scherr
dan Knight (1963) menggunakan fungsi variasi yang terdiri atas 100 suku untuk memperoleh
koreksi (sampai order keenam) fungsi gelombang. Fungsi ini kemudian dipergunakan untuk
menghitung koreksi energi sampai order ke 13. Berdasarkan perhitungan yang pernah dilakukan

oleh J. Midtal (1965), besarnya koreksi energi order kedua E ( 2) = 4,3 eV sedang order ketiga

E (3) = +0,1 eV . Sampai dengan koreksi order ketiga, aproksimasi energi ground state untuk
helium adalah:

E = E (o)  E (1)  E ( 2)  E (3)


= 108,8 eV + 34,0 eV 4,3 eV + 0,1 eV = 79,0 eV
yang sesuai dengan nilai eksperimen yaitu 79,0 eV.

9.4 Metode Variasi Untuk Helium Ground State


  
Sebelum ini, telah kita nyatakan bahwa Hamiltonian untuk helium adalah H  H o  H ' dan

fungsi eigen untuk H o adalah  (o) sebagaimana dinyatakan dalam persamaan (9-49). Apakah

yang terjadi seandainya kita menggunakan fungsi gelombang ground state perturbasi order nol

 g(o) sebagai fungsi variasi  dalam integral variasional?. Jika itu yang dilakukan, maka integral
 
variasional  H  =  H  menjadi:

    
 H  =  g(o) H o  H'  g(o) =  g(o) H o g(o)  H' g(o)

 
=  g(o) H o (o)
g   g(o) H' g(o) = E g(o)  E g(1) (9-57)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 192

Jadi dengan menggunakan  g(o) sebagai fungsi variasi dihasilkan energi yang sama dengan yang

dihasilkan oleh perturbasi sampai dengan order pertama.


Sekarang akan kita bahas fungsi variasi untuk atom helium ground state. Jika kita

menggunakan  g(o) sebagaimana (9-49), hasil yang diperoleh adalah sama dengan hasil

perturbasi order pertama yaitu 74,8 eV. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, marilah kita
masukkan sebuah parameter ke dalam (9-49). Kita akan mencoba menggunakan fungsi:
3  
1    ao r1  ao r 2
    e .e (9-58)
  ao 
Persamaan (9-58) tersebut diadopsi dari (9-49) yang nomor atom Z diganti parameter
variasional  (baca: zeta). Parameter  mempunyai interpretasi fisik yang sederhana. Karena
sebuah elektron cenderung menghalangi yang lain dari inti atom, akibatnya muatan inti efektif
yang diterima oleh masing-masing elektron lebih kecil dari pada muatan penuh inti yaitu +Z.
Jika sebuah elektron, terhalang secara penuh dari inti, maka kita nyatakan bahwa muatan inti
efektif adalah Z1; karena kedua elektron dalam helium ground state berada pada orbital yang
sama, akibatnya maka tidak mungkin masing-masing saling menghalangi secara penuh, jadi
diperkirakan nilai  berkisar antara Z1 sampai Z.

Sekarang kita akan mengevaluasi integral variasional. Untuk melancarkan hal ini, kita
tulis kembali Hamiltonian (9-39) dalam bentuk:

   2 2 e' 2  2 2 e' 2  e' 2 e' 2 e' 2


H =  1   2      Z     Z   (9-59)
 2me r1 2m e r2  r1 r2 r12

Masuknya parameter  ke dalam (9-39) hingga membentuk (9-59) tidak mengubah nilai
Hamiltonian (9-39), artinya (9-59) adalah sama dengan (9-39). Suku-suku yang berada dalam
kurung kurawal adalah jumlah dari Hamiltonian mirip hidrogen untuk inti yang bermuatan ;
sementara itu, persamaan (9-58) adalah hasil kali dua fungsi 1s mirip hidrogen dengan muatan
inti .. Oleh karena itu, jika suku dalam kurung itu beroperasi pada , berarti kita mempunyai
sebuah persamaan eigen dan nilai eigen-nya adalah jumlah energi 1s mirip hidrogen dengan
muatan inti . Jadi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 193

  2 2 e' 2  e' 2 
 2 2 e' 2  2 
 1   2    =   a  (9-60)
 2me r1 2m e r2   o 

Dengan menggunakan (9-59) dan (9-60), kita memperoleh:

 e' 2 2 e'
2
 *
  * H  d =    
2
 *  d + (  Z ) e ' d
ao ao r1

e' 2  *   *
+ (  Z )e' 2  d + e' 2  d (9-61)
ao r2 r12

Kita ambil ƒ1 sebagai fungsi ternormalisasi dari orbital 1s mirip hidrogen dengan muatan inti 
bertautan dengan elektron 1; dan kita ambil fungsi sejenis yaitu ƒ2 untuk elektron 2:
3/ 2   r 3/ 2   r
1   ao
1 1   ao
2
ƒ1 =   e ; ƒ2 =   e (9-62)
 1/ 2  ao   1/ 2  ao 
dengan catatan  = ƒ1.ƒ2. Selanjutnya kita evaluasi integral-integral yang berada dalam
persamaan (9-61)

  *  d   ƒ 8
1 ƒ1 ƒ28ƒ2 d1 d2 = 1

 * ƒ18ƒ1 ƒ28ƒ2  ƒ18ƒ1  ƒ18ƒ1 


     2=

8
d = d1 d2 = d1 . ƒ2 ƒ2 d d1 .
r1 r1 r1 r1

3/ 2   r 3/ 2   r
1   ao
1 1   ao
1

 1/ 2 
 e .   e  2
  ao   1/ 2  ao 
=  r1
r12 dr1  sin  1d 1  d1
0 0 0

3 2  2
 r1
1  
 r1e dr1  sin  1d 1  d1
ao
=  
  ao  0 0 0

3
 
2
1    ao 
=      cos  1 0 2 
  ao   2 
3 2
1    ao  
=     22  =
  ao   2  ao

Dengan cara yang sama diperoleh:


Bab I/Pers. Schrodinger/ 194

 * 
 r2
d =
ao

 *
Akhirnya kita harus mengevaluasi e' 2  r12
d . Ini persis sama dengan (9-52), hanya Z diganti

, sehingga hasilnya analog dengan (9-55), yaitu:

 * 5  e' 2 
 
e' 2  r12
d =
8 a 
(9-63)
 o 
Jadi integral variasional (9-61) mempunyai nilai:

  5  e' 2
  * H  d  =    2 Z   
2
 (9-64)
 8  ao
Sebagai pengujian, jika kita menggunakan  = Z dalam (9-64) akan kita peroleh bahwa nilai (9-
64) tepat sama dengan hasil teori perturbasi order pertama, (9-50) ditambah (9-55).
Sekarang kita mencari nilai parameter  agar integral variasional bernilai minimal.

   5  e' 2 
 =0
 
 * H  d   2  2Z  
 8  a o 

 = Z  5/16 (9-65)
Sebagai antisipasi, muatan inti efektif terletak antara Z dan Z1. Dengan menggunakan (9-65)
dan (9-64), kita peroleh:
2
  5 25  e' 2  5  e' 2
  * H  d =   Z  Z 
2
 =   Z   (9-66)
 8 256  a o  16  a o

Dengan meletakkan Z = 2, kita memperoleh aproksimasi untuk energi helium ground state yaitu
(27/16)2e’2/ao = (729/128)e’2/2ao = 77,49 eV. Dibandingkan dengan nilai yang
sesungguhnya yaitu 79,0 eV , kesalahannya adalah 1,9 %. Jadi, dengan memasukkan parameter
, kesalahan yang semula 5,3% turun menjadi tinggal 1,9 %.
Bagaimana kita memperbaiki hasil integral variasional ? Kita dapat mencoba fungsi
yang mempunyai bentuk umum (9-58), yaitu perkalian dua fungsi, yaitu fungsi elektron 1 dan
fungsi elektron 2.

 = u(1). u(2) (9-67)


Bab I/Pers. Schrodinger/ 195

Namun, kita dapat menggunakan berbagai bentuk u dalam (9-67) sebagai ganti dari bentuk
eksponensial tunggal sebagaimana digunakan pada (9-58). Prosedur sistematik untuk
memperoleh fungsi u yang menghasilkan nilai integral variasional terkecil akan dibahas di bab
XI. Prosedur itu menunjukkan bahwa pilihan terbaik untuk u dalam (9-67) menghasilkan
integral variasional 77,9 eV, yang masih mempunyai kesalahan 1,4 %. Hal ini menimbulkan
pertanyaan, mengapa (9-67) tidak dapat menghasilkan integral variasional yang tepat sama
dengan 79,0 eV ?. Jawabnya adalah, ketika kita menulis fungsi (9-67), dalam bentuk perkalian
dua fungsi terpisah untuk masing-masing elektron, kita telah membuat sebuah aproksimasi.

Perlu dicatat, bahwa terminologi Hamiltonian e' 2 / r12 dalam persamaan Schrodinger untuk

helium merupakan kuantitas yang bersifat sebagai satu kesatuan dan tidak separabel. Untuk
dapat mencapai energi ground state yang sesungguhnya, kita membutuhkan fungsi yang tidak
sesederhana (9-67).

Model atom Bohr yang memberikan penjelasan mengenai energi secara tepat dan
memuaskan untuk atom hidrogen, ternyata gagal ketika diterapkan untuk helium. Kemudian,
pada hari-hari awal lahirnya mekanika kuantum, ada teori baru yang memberikan perlakuan
yang akurat untuk helium. Teori baru tentang helium ini diprakarsai oleh Hylleraas pada tahun
1928-1930. Dia menggunakan fungsi variasi yang memperhitungkan jarak antar elektron r12
secara eksplisit. Hal ini memungkinkan orang untuk membicarakan berapa besar efek yang
diberikan oleh sebuah elektron dalam pergerakannya, terhadap elektron yang lain. Fungsi yang
dipergunakan oleh Hylleraas adalah:

   r1   r 2 
 ao
 = N e .e ao
1  b r 12  (9-68)
 
 

N adalah tetapan normalisasi,  dan b adalah parameter variasional. Karena:


r12   x1  x 2 2   y1  y 2 2   z1  z 2 2 
1/ 2
(9-69)

akibatnya fungsi (9-68) bersifat tidak sesederhana bentuk perkalian fungsi (9-67). Minimalisasi
terhadap integral variasional terhadap masing-masing parameter, menghasilkan parameter  =
1,849 dan b = 0,364/ao dan energi ground state 78,7 eV, yang artinya, kesalahannya 0,3 eV
Bab I/Pers. Schrodinger/ 196

atau 0,38 %. Dengan menggunakan fungsi yang lebih rumit (terdiri atas 6 suku dan
mengandung r12), Hylleraas berhasil memperoleh energi ground state helium dengan kesalahan
hanya 0,013 %.
Pekerjaan Hylleraas, dikembangkan oleh para ahli lain. Dengan menggunakan fungsi
variasi yang terdiri atas 1078 suku, Pakeris memperoleh energi ground state helium

2,903724375 (e' 2 / ao ) . Dengan mempergunakan fungsi yang lebih disempurnakan, Schwartz

memperbaiki hasil kerja Pakeris, dan memperoleh energi ground state helium
9
2,903724375 (e' 2 / ao ) . Hasil ini hanya berbeda dalam rentang 10 (e' 2 / a o ) terhadap energi

ground state helium non relativistik yang sesungguhnya (Levine, 1998)


Kalkulasi variasional terhadap litium ground state menggunakan fungsi 60 suku dan

mengandung r12 , r23 dan r13 menghasilkan energi ground state  (e' 2 / ao ) . Bandingkan

dengan energi litium ground state yang sesungguhnya, 7,47807 (e' 2 / ao ) . Kalkulasi variasional

dengan fungsi yang mengandung rij menjadi sangat rumit untuk atom berelektron banyak karena
akan melibatkan suku yang sangat banyak serta integral yang sangat rumit.

9.6 Teori Perturbasi untuk Level Energi Degenerate


Sekarang kita akan membahas level energi yang derajad degenerasinya adalah d. Tentu
saja kita mempunyai d fungsi gelombang tak terperturbasi yang linear independen. Kita akan
memberi label 1, 2, 3, . . .d untuk state dari level-level degenerate itu. Persamaan Schrodinger
tan terperturbasinya adalah:

H o n(o)  E n(o ) n(o ) (9-70)

dengan

E1(o)  E 2(o )  E 3(o) ......E d(o ) (9-71)

2 2
 2 e' 2 e'  *
  * H  d =   ao   *  d + (  Z )e' ao  r1
d

e' 2  *  *
+ (  Z )e' 2
ao  r2
d + e' 2  r12
d (9-61)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 197

Kita ambil ƒ1 sebagai fungsi ternormalisasi dari orbital 1s mirip hidrogen dengan muatan inti 
bertautan dengan elektron 1; dan kita ambil fungsi sejenis yaitu ƒ2 untuk elektron 2:
3/ 2   r 3/ 2   r
1   ao
1 1   ao
2
ƒ1 =   e ; ƒ2 =   e (9-62)
 1/ 2  ao   1/ 2  ao 
dengan catatan  = ƒ1.ƒ2. Selanjutnya kita evaluasi integral-integral yang berada dalam
persamaan (9-61)

  *  d   ƒ 8
1 ƒ1 ƒ28ƒ2 d1 d2 = 1

 * ƒ18ƒ1 ƒ28ƒ2  ƒ18ƒ1  ƒ18ƒ1 


   d1 .  ƒ2 ƒ2 d
 2=

8
d = d1 d2 = d1 .
r1 r1 r1 r1

3/ 2   r 3/ 2   r
1   ao
1 1   ao
1

 1/ 2 
 e .   e
1/ 2  a  2
  ao    o 
=  r12 dr1  sin 1d1  d1
0
r1 0 0

3 2  2
 r1
1  
 r1e dr1  sin  1d 1  d1
ao
=  
  ao  0 0 0

3
 
2
1    ao 
=      cos  1 0 2 
  ao   2 
3 2
1    ao  
=     22  =
  ao   2  ao

Dengan cara yang sama diperoleh:


 * 
 r2
d =
ao

 *
Akhirnya kita harus mengevaluasi e' 2  r12
d . Ini persis sama dengan (9-52), hanya Z diganti

, sehingga hasilnya analog dengan (9-55), yaitu:

 * 5  e' 2 
 
e' 2  r12
d =
8 a 
(9-63)
 o 
Jadi integral variasional (9-61) mempunyai nilai:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 198

  5  e' 2
  * H  d  =    2 Z   
2
 (9-64)
 8  ao
Sebagai pengujian, jika kita menggunakan  = Z dalam (9-64) akan kita peroleh bahwa nilai (9-
64) tepat sama dengan hasil teori perturbasi order pertama, (9-50) ditambah (9-55).
Sekarang kita mencari nilai parameter  agar integral variasional bernilai minimal.
Problem perturbasinya adalah:

H n  E n n (9-72)
  
H  H o  H ' (9-73)
Apabila  semakin mendekati nol, nilai eigen pada (9-72) semakin mendekati nilai eigen

(9-70); jadi kita mempunyai lim  0 E n  E n(o) . Ini juga berarti bahwa untuk  mendekati 0,

fungsi eigen persamaan (9-72) mendekati fungsi eigen (9-70). Apakah ini berarti bahwa

lim  0  n   n(o) ? Jawabnya adalah, tidak harus demikian. Jika E n(o ) non degenerate, fungsi

 n(o) ternormalisasi yang berasal dari H o dengan nilai eigen E n(o) merupakan fungsi yang unik,

dan kita boleh yakin bahwa lim  0 E n  E n(o) . Namun, jika nilai eigennya berlevel d-fold

degenerate, maka solusi untuk persamaan (9-70) adalah kombinasi linear berikut:

c1 1(o)  c 2 2(o)  . . . .  c d  d(o ) (9-74)

dengan nilai eigen (9-71). Himpunan secara linear, fungsi ternormalisasi:

 1(o)   2(o)  . . .   d(o)

yang kita gunakan sebagai fungsi eigen untuk state yang terdegenerate adalah fungsi yang tidak
unik karena akan ada d macam fungsi yang nilai eigennya sama. . Dengan menggunakan (9-74)
kita dapat menyusun himpunan-himpunan fungsi ternormalisasi berderajat degenerate d yang
banyaknya tak terhingga. Sebagai contoh, untuk state 2p atom hidrogen yang bersifat 3-fold
degenerate, kita dapat menggunakan fungsi 2p1, 2p0 dan 2p+1, atau fungsi 2px , 2py dan 2pz atau
himpunan 3 fungsi independen yang lain untuk disusun menjadi kombinasi linear. Untuk eigen
terperturbasi yang mengalami d-fold degenerate, dapat dinyatakan bahwa seandainya 
mendekati nol, kombinasi linear yang dihasilkan adalah:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 199

d
 lim  n   ci i(o )  1  n  d  
 0 i 1

Tugas kita yang pertama adalah menentukan fungsi gelombang order nol (9-75) untuk perturbasi

H ' . Jika fungsi yang akan kita tentukan itu kita beri nama  n(o ) , maka:

d
 n(o)   ci i(o)  1  n  d (9-76)
i 1

Masing-masing fungsi  n(o) dalam (9-76) mempunyai koefisien yang berbeda. Himpunan fungsi

order nol yang benar bergantung pada bentuk perturbasi H ' .
Perlakuan terhadap level d-fold degenerate berlangsung sebagaimana perlakuan pada

non degenerate (sub bab 9.2), tentu saja kita gunakan  n(o ) sebagai ganti untuk  n(o) .

Sebagaimana (9-13) dan (9-14), kita telah mempunyai:


n = d(0) +  n(1) + 2n(2) + 3 n(3) + . . n = 1, 2, ...d (9-77)
En = Ed(0) +  En(1) + 2En(2) + 3En(3) + . . . n = 1, 2, ...d (9-78)
dimana pada perlakuan ini (9-71) juga digunakan. Substitusi (9-77) dan (9-78) ke dalam

persamaan Schrodinger H n  E n n , menghasilkan:
 
( H o  H ' ) n(0) +  n(1) + 2n(2) + 3 n(3) + . .)

= (Ed(0) +  En(1) + 2En(2) + 3En(3) + . . .)n(0) +  n(1) + 2n(2) + 3 n(3) + . .)


Penyamaan suku yang mempunyai koefisien 0 pada persamaan tersebut, menghasilkan

H o n(o)  E d(o)  n(0) . Dengan teorema pada bab 3 sub bab 3.6, masing-masing kombinasi linear

 n(0) (n = 1,2 . . . d) adalah fungsi eigen dari H o dengan nilai eigen E n(o) , dan persamaan

tersebut tidak memberikan informasi baru.


Penyamaan suku yang mempunyai koefisien 1 menghasilkan:
 
H o n(1)  H '  n(o)  E d(o) n(1)  E n(1) n(o)
 
H o n(1)  E d(o) n(1)  E n(1) n(o)  H '  n(o ) , n = 1,2, . . .d (9-79)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 200

Selanjutnya (9-79) dikalikan dengan  m(o)* dan dintegralkan seluruh ruang dengan m adalah

salah satu state yang berada dalam level d-degenerate tak terperturbasi, jadi m terletak antara 1
dan d atau 1  m  d .

  

 m(o)* H o n(1)  E d(o) n(1)   m(o )* E n(1) n(o)  H '  n(o ) 
Jika tanda * tidak ditulis dan diadakan penataan , diperoleh:

 
   

 m(o) H o  n(1)  E d(o)  m(o)  n(1)  E n(1)  m(o)  n(o)   m(o) H '  n(o ) , 1  m  d   
(9-80)


Dari persamaan (9-20) kita mempunyai  m(o) H o  n(1)  E m(o)  m(o)  n(1) = 0. Dari (9-   

71) kita E m(o)  E d(o) untuk 1  m  d , jadi  m(o) H o  n(1)  E d(o)  m(o)  n(1)     juga = 0,

sehingga (9-80) menjadi:

 (o)
m

 
H '  n(o )  E n(1)  m(o)  n(o)  0 ,  1 m  d (9-80a)

Substitusi kombinasi linear (9-76) ke dalam (9-80a) menghasilkan:

 (o )  d   d 
 m H '
  ci i(o)   E n(1)   m(o)  ci i(o)   0
 i 1   i 1 
atau:
d
 i m
c  (o) 
H ' (o)
i  E (1)
d
n  ci  m  i
(o ) (o )

0   (9-81)
i 1 i 1

Fungsi gelombang order nol  i(o) (i – 1, 2, . . d) untuk level degenerate selalu dapat dipilih

yang ortonormal, sehingga berlaku:

 ( o ) (o )
m i   mj (9-82)

untuk rentang m dan i antara 1 dan d. Jika (9-82) dimasukkan ke dalam (9-81) kita peroleh:

 d
 
d
(o ) 
 m n   mj  c i  0 ,
(o) (1)
 H '  i  E m = 1, 2, . . .d (9-83)
 i 1 i 1 
Bab I/Pers. Schrodinger/ 201

Persamaan (9-83) ini merupakan himpunan d persamaan homogen linear dari d koefisien yang

 '
tak diketahui. Jika agar tampak sederhana,  m(o ) H '  i(o) ditulis H mi 
, maka persamaan (9-

83) dapat dijabarkan menjadi:


' ' '
( H 11  E n(1) )c1  H 12 c 2  . . . . . .  H1d cd  0
' ' 
H 22 c1  ( H 11  E n(1) )c 2  . . . . . .  H '2d c d  0 (9 - 84)
...............................................
  '
H d' 1c1  H 'd2 c 2  . . . . . .  ( H 11  E n(1) )c d  0

Agar himpunan persamaan linear (9-84) memiliki solusi trivial, determinan koefisien himpunan
tersebut harus nol, jadi:

 

det  m(o) H '  i(o)  E n(1) mj = 0  (9-85)
' ' '
( H 11  E n(1) ) H 12 ...... H1d
' ' 
H 21 ( H 22  E n(1) ) . . . . . . H '2d
0 (9 - 86)
...............................................
 '
H d' 1 H 'd2 ...... ( H dd  E n(1) )

Persamaan (9-86) disebut persamaan sekular, yang merupakan persamaan aljabar berderajat d

dinyatakan dalam E n(1) . Tentu saja persamaan ini mempunyai akar sebanyak d, yaitu

E1(1) , E 2(1) , . . . , E d(1) , yang merupakan koreksi order pertama untuk level d-degenerate tak

terperturbasi.
Jika akar-akarnya semuanya berbeda, maka koreksi perturbasi order pertama memecah level d-
fold degenerate tak terperturbasi menjadi sebanyak d level energi perturbasi yang saling berbeda
yaitu:

E d(o)  E1(1) ; E d(o)  E1( 2) ; . . . . . . E d(o)  E d(1)

Jika ada beberapa akar yang sama maka pemecahannya tidak lengkap menjadi sebanyak d level
perturbasi. Namun, untuk pembahasan kali ini, kita akan mengasumsikan bahwa akar-akar (9-
86) saling berbeda.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 202

Setelah mendapatkan d macam nilai koreksi energi order pertama, kita akan kembali ke
(9-84) untuk mendapatkan nilai ci yang belum diketahui, yang merupakan penentu fungsi
gelombang order yang sesungguhnya. Untuk menentukan fungsi gelombang order nol :

 n(o)  c1 1(o )  c 2 2(o)  . . . .  c d d(o) (9-87)

yang energinya adalah akar E n(1) , kita harus menyelesaikan (9-84) untuk c2, c3, . . . cd dinyatakan

dalam c1 dan kemudian c1 dihitung melalui normalisasi. Penggunaan (9-87) ke dalam

 n(o )  n(o)  1 menghasilkan:

d

2
c1 1 (9-88)
k 1

Untuk setiap akar E n(1) , (n = 1, 2, . . ., d), kita mempunyai himpunan-himpunan koefisien c1

yang berbeda yang akan memberikan fungsi gelombang order nol sesungguhnya yang berbeda
juga. Dalam sub bab berikutnya akan ditunjukkan bahwa:

E n(1) =  n(o) H '  n(o ) , n = 1, 2, . . ., d (9-89)

yang sama dengan formula untuk non degenerate (9-22), tetapi tentu saja hanya fungsi yang
dipergunakan.
Dengan prosedur yang sama dengan kasus degenerate itu, sekarang kita dapat
menghitung koreksi order pertama untuk fungsi gelombang order nol serta dengan demikian
juga dapat menghitung koreksi energi order kedua.

Sebagai contoh, akan kita lihat efek perturbasi H ' terhadap level energi degenerate terendah
dari partikel dalam box tiga dimensi. Kita telah tahu bahwa tiga state terendahnya adalah

 2(o,1),1 ,  1(,o2),1 dan  1(,o1,)2 . Fungsi-fungsi tersebut ortonormal, dan persamaan sekular (9-86)

adalah:
(o )  (o ) (o) 
(o) (o )  (o)
 211 H ' 211  E n(1)  211 H ' 121  211 H ' 112
(o ) (o ) (o )  (o) (o)  (o )
 121 H ' 211  121 H ' 111  E n(1)  121 H ' 112 0
(o ) (o) (o )  (o) (o)  (o )
 112 H ' 211  112 H ' 121 .  112 H ' 112  E n(1)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 203

Penyelesaian persamaan tersebut menghasilkan koreksi energi order pertama:

E11 ; E 21 ; E31 (9-90)

Jadi melalui koreksi order pertama, level degenerate tripel tak terperturbasi, pecah menjadi tiga
level, yaitu:

(6h 2 / 8ma 2 )  E11 ; (6h 2 / 8ma 2 )  E 21 ; (6h 2 / 8ma 2 )  E 31

Dengan menggunakan akar-akar (9-90) kita akan memperoleh himpunan-himpunan persamaan


simultan (9-84). Jika masing-masing himpunan ini diselesaikan, akan kita peroleh tiga
himpunan koefisien yang membedakan ketiga fungsi gelombang order nolnya.

9.6 Penyederhanaan Persamaan Sekular


Penyelesaian persamaan sekular (9-86) akan lebih mudah jika elemen-elemen determinan selain elemen
diagonal bernilai nol. Dalam sebagian besar kasus, elemen-elemen di luar elemen diagonal adalah nol,
sehingga (9-86) dapat ditulis:
'
( H 11  E n(1) ) 0 ...... 0
'
0 ( H 22  E n(1) ) . . . . . . 0
0 (9 - 91)
...............................................
'
0 0 ...... ( H dd  E n(1) )
 11 n  22 n  
H '  E 1 H '  E 1 . . . . . . . . H '  E 1 = 0
dd n 
1
E1  '
H 11 1 '
; E 2  H 22 ; ...... ; '
 H dd E d1
 (9-92)
Sekarang kita akan menentukan fungsi gelombang order pertama. Kita akan mengasumsikan
bahwa akar-akar (9-92) masing-masing berbeda satu terhadap yang lain. Untuk akar E n1  H 11
'
,
persamaan (9-84) menjadi:

0 =0

H '
22
'
 H 11 
c2 =0
.....
..............
H '
dd
'
 H 11 
cd = 0
'
Karena kita mengasumsikan bahwa semua akar-akarnya berbeda, tentu saja nilai H 22 '
 H 11 , .   .,
H '
dd
'
 H 11 
, tidak mungkin nol. Dengan demikian,
c2 = 0, c3 =
0, . . . . . cd = 0
Bab I/Pers. Schrodinger/ 204

Kondisi normalisasi pada (9-88) menghasilkan c1 = 1. Jadi fungsi gelombang order nol yang
'
sesungguhnya berdasarkan koreksi energi perturbasi order pertama H 11 adalah [(persamaan 9-76)]:
0    0 
 1 1
'
Dengan cara yang sama, untuk akar H 22 , diperoleh:
 20    20 
Dengan menggunakan akar-akarnya yang tersisa, dan dengan cara yang sama pula, diperoleh:
 30    30  ,
0 
. . . .,  d   d
0 

Jadi, jika determinan sekular berbentuk determinan diagonal, maka fungsi  1 ,  2 , . . .  d yang
0  0  0 
kita asumsikan merupakan fungsi gelombang terperturbasi order nol yang sesungguhnya.
Kebalikan dari
pernyataan di atas, juga benar. Jika fungsi-fungsi yang kita asumsikan ternyata adalah fungsi perturbasi
yang benar, maka determinan sekularnya merupakan determinan diagonal. Dari 1
0    0  , kita
1
d
0   c  0  adalah c = 1, dan c = c = . . . = c = 0, jadi untuk n = 1,
koefisien pada ekspansi 1  i i 1 2 3 d
i 1
himpunan persamaan simultan (9-84) menjadi:

'
H 11  E10   0 , '
H 21  0 , .. . . . . . H d' 1  0
Aplikasi hal yang sama untuk fungsi  n0  yang lain, membawa kita pada kesimpulan bahwa H mi
'
0
untuk i  m . Dengan demikian, penggunaan fungsi order nol akan membuat determinan sekular
menjadi determinan diagonal. Perlu diingat juga bahwa koreksi energi order pertama dapat diperoleh
dengan cara menghitung rata-rata dengan menggunakan fungsi gelombang order nol, jadi:

E n1  H nn
'
  n0  H '  n0  (9-93)
Pada umumnya, jika determinan sekular tidak berbentuk determinan diagonal, maka bentuknya
adalah determinan blok. Sebagai contoh:
'
( H 11  E n(1) ) '
H 12 0 0
' '
H 21 ( H 22  E n(1) ) 0 0
' 0 (9 - 94)
. 0 0 ( H 31  E n(1) ) '
H 34 .
' '
0 0 H 43 ( H dd  E n(1) )
Determinan sekular (9-94) mempunyai bentuk yang sama dengan persamaan sekular variasi linear (8-
40) dengan Sij = ij. Dengan cara yang sama dengan yang digunakan untuk menunjukkan bahwa dua
dari fungsi variasi adalah kombinasi linear dari f1 dan f2 dua yang lain adalah kombinasi linear dari f3
dan f4 [Persamaan (8-45) dan (8-46)], kita dapat menunjukkan bahwa dua fungsi gelombang order nol
adalah kombinasi linear dari  1
0  dan  0  sedang dua yang lain adalah kombinasi linear dari  0 
2 3
dan  4 :
0 
Bab I/Pers. Schrodinger/ 205

10   c1 10   c 2 20  ,

 20   c1' 10   c '2 20 

 30   c3 30   c 4 40  ,

 40   c3'  30   c 4'  40 


dimana tanda absen digunakan untuk menunjukkan koefisien yang berbeda.
Jika
determinan sekular dari teori perturbasi degenerate adalah dalam bentuk determinan blok, maka
persamaan sekular akan pecah menjadi dua atau lebih persamaan sekular yang lebih kecil, dan
himpunan persamaan simultan (9-84) untuk koefisien ci pecah menjadi dua atau lebih himpunan
persamaan simultan yang lebih kecil.
Selanjutnya, bagaimana kita dapat memilih fungsi-fungsi gelombang order nol yang benar yang dengan

itu kita dapat melakukan simplifikasi terhadap persamaan sekularnya ?. Jika ada operator A yang
 
kommute baik terhadap H o maupun H ' , maka kita dapat memilih fungsi tak terperturbasi yang
   
merupakan fungsi eigen dari operator A . Karena A yang kommute terhadap H o maupun H ' , dengan
demikian fungsi eigen pilihan kita itu akan membuat integral H ij' bernilai nol jika  i
0  dan  0 
j
 
mempunyai nilai eigen berbeda terhadap A (lihat teorema 6 bab 7). Jadi, jika nilai eigen A untuk
 0  , 0  , . . . . . . ,  0  semuanya berbeda, maka determinan sekularnya akan berbentuk determinan
1 2 d
diagonal, dan kita akan memperoleh fungsi gelombang order nolnya. Jika beberapa nilai eigennya ada
yang sama, maka yang kita peroleh adalah determinan blok. Pada umumnya, fungsi order nol merupakan
kombinasi linear dari fungsi-fungsi tak terperturbasi yang mempunyai nilai eigen sama terhadap

operator A .

9.7 Perturbasi Pada Helium Tereksitasi


Kita telah
membahas teori perturbasi untuk helium ground state. Sekarang kita akan membahas helium tereksitasi
yang terendah. Energi tak terperturbasinya dapat dihitung dengan menggunakan (9-48). Tingkat eksitasi
tak terperturbasi yang terendah mempunyai n1 = 1 dan n2 = 2 atau n1 = 2 dan n2 = 1, dan substitusinya
pada (9-48) menghasilkan:
 e' 2 
5Z 2
E 0     
a 
8
 o
20  e' 2 
=  2 = 5(13,606 eV) = 68,03 eV
8  2a o 
(9-95)
Ingat, bahwa level n = 2 untuk hidrogen adalah 4-fold degenerate karena untuk hidrogen 2s dan 2p
mempunyai energi yang sama. Jadi level energi tak terperturbasi tereksitasi pertama adalah 8-fold
degenerate; fungsi gelombang tak terperturbasinya adalah:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 206

 10   1s (1)2 s (2)

 50   1s (1)2 p y (2)


(9-96)
 20   1s (2)2s (1)

 60   1s (2)2 p y (1)



 30   1s (1)2 p x (2)

 70   1s (1)2 p z (2)

 40   1s (2)2 p x (1)

 80   1s(2)2 p z (1)


dengan 1s(1)2s(2) adalah perkalian antara fungsi hidrogen 1s untuk elektron pertama dengan fungsi
hidrogen 2s untuk elektron kedua. Sebagai contoh, bentuk eksplisit dari fungsi  8
0  adalah:

5/ 2 3/ 2
1  Z  1  Z 
 80     r1 .e  Zr1 / 2 ao
cos  1 .   e  Zr2 / ao
42  1/ 2
 ao   1/ 2  ao 
Kita lebih memilih bentuk real untuk fungsi 2p dari pada bentuk kompleksnya.
Karena level tak terperturbasinya adalah degenerate, kita harus menyelesaikan persamaan sekularnya.
Persamaan sekular (9-86) mengasumsikan bahwa fungsi  1 ,  2 , .......  8
0  0  0  adalah ortonormal.
Kondisi ini ternyata dipenuhi. Sebagai contoh:

0 * 0  d =
 1 1 1s(1) * 2s(2) * 1s(1)2s(2) d 1 d 2
=
 1s(1) d1  2s(2) d 2
2 2
=1.1=1

0 * 0  d =
 1 2 1s(1) * 2s(2) * 1s(2)2s(1) d 1 d 2
=
 1s(1)2s(1)d 1  1s(2)2s(2)d 2 =0.0=0
Karena adalah 8 fungsi tak terperturbasi, jadi determinan sekularnya pasti mempunyai 82 = 64 elemen.

Operator H ' adalah Hermitian, dan H ij'  H 'ji

   . Juga, karena H ' dan    . . . . .    semuanya
*
1
0
8
0

real, kita mempunyai H ij'   *   


 H 'ji , jadi H ij'  H 'ji . Determinan sekular bersifat simetrik terhadap
Bab I/Pers. Schrodinger/ 207

diagonal utama. Hal ini membuat pekerjaan mengevaluasi integral menjadi terpotong sekitar
separuhnya.
Dengan
menggunakan konsiderasi paritas, kita dapat menunjukkan bahwa sebagian besar integral bernilai nol.
' 
Pertama, marilah kita lihat H 13 :
'
H 13 =
     
e' 2
      1s (1)2 s (2)
r12
1s (1)2 p x (2) dx1 dy1 dz1 dx 2 dy 2 dz 2
      
Fungsi s hidrogen hanya bergantung pada r = (x + y + z )½ dan oleh karena itu merupakan fungsi
2 2 2

genap. Fungsi 2px(2) adalah fungsi ganjil terhadap x2, dan r12 dinyatakan oleh (9-69). Jika kita
menginversi ke enam koordinat, r12 tidak berubah:
r12 = [(x1 +
2 2 2
x2) + (y1 + y2) + (z1 + z2) ] = r12
' 
Kemudian, jika keenam koordinat pada H 13 diinversi, nilainya berubah menjadi minus nilai semula.
'  ' 
Jadi H 13 tersebut merupakan integral fungsi ganjil, sehingga kita boleh menyimpulkan bahwa H 13 =
' ' '
' '
0. Dengan alasan yang sama kita peroleh H 14 = H 15 = H 16
H 17 = H 18
= = 0 dan
' ' ' ' ' ' '
H 23 = H 24 = H 25 = H 26 = H 27 = H 28 = 0. Sekarang kita akan mengevaluasi H 35 :
     
' e' 2
H 35 =       1s (1)2 p x (2)
r12
1s (1)2 p y (2) dx1 dy1 dz1 dx 2 dy 2 dz 2
      
Perhatikan pengaruh perubahan x1  x2 dan x2  x2. Transformasi ini tidak mengubah harga r12.
Fungsi 1s(1) dan 2py(2) tidak terpengaruh oleh perubahan ini, namun 2px(2) menjadi negatif terhadap
' 
nilai semula. Dengan demikian secara keseluruhan nilai H 35 menjadi negatif terhadap transformasi ini,
'  ' ' '   
dan dapat disimpulkan pula bahwa H 35 = 0. Dengan cara yang sama diperoleh H 36 = H 37 = H 38 =0
'  ' 
' '  
dan H 45 = H 46 = H 47 = H 48 = 0. Dengan melakukan transformasi y1  y1 dan y2  y2 dapat
' ' ' '   
ditunjukkan bahwa H 57 = H 58 = H 67 = H 68 = 0. Dengan demikian persamaan sekularnya adalah:
'
b11 H 12 0 0 0 0 0 0
'
H 12 b22 0 0 0 0 0 0
'
0 0 b 33 H 34 0 0 0 0
'
0 0 H 34 b 44 0 0 0 0
' =0 (9-97a)
0 0 0 0 b 55 H 56 0 0
'
0 0 0 0 H 56 b 66 0 0
'
0 0 0 0 0 0 b 77 H 78
'
0 0 0 0 0 0 H 78 b88

bii  H ii'  E 1 i = 1, 2, ....., 8
Bab I/Pers. Schrodinger/ 208

Determinan sekularnya berbentuk determinan blok, dan hasilnya adalah perkalian empat buah
determinan yang masing-masing adalah determinan order dua. Dapat kita simpulkan bahwa
fungsi gelombang order nolnya mempunyai bentuk sebagai berikut:

10   c1 10   c 2 20  ,  20   c1 10   c 2 20 


 

 30   c3 30   c 4 40  ,  40   c3 30   c 4 40 


 
(9-97b)
 50   c5 50   c6 60  ,  60   c5 50   c6 60 
 

 70   c 7 70   c8 80  ,  80   c 7 70   c8 80 


 


dimana koefisien c berhubungan dengan akar pertama sedang c berhubungan dengan akar
kedua.
Determinan yang pertama dari (9-97a) adalah:
' '
H 11  E 1 H 12
' ' =0 (9-98)
H 12 H 22  E 1

Kita mempunyai:
 
' e' 2
H 11   .......... .  1s (1)2 s(2)
r12
1s (1)2s (2) dx 1 . . . . . . . . .dz 2
 

atau:

' e' 2
H 11    1s (1)2 2 s (2)2 d 1 d 2
r12

' e' 2
H 22    1s (2)2 2 s (1)2 d 1 d 2
r12

Variabel integrasinya merupakan variabel yang dapat diberi sembarang simbol. Marilah kita
'
sekarang melakukan pe-label-an ulang terhadap variabel dalam H 22 dengan ketentuan sebagai

berikut: Kita adakan pertukaran x1 dan x2, pertukaran y1 dan y2 serta pertukaran z1 dan z2.
Pelabelan ulang ini tidak mengubah nilai r12, jadi:

' 2 '
2 e'
H 22    1s (1) 2 s (2)
2
d 2 d 1  H 11 (9-99)
r12
Bab I/Pers. Schrodinger/ 209

' ' ' ' ' '


Argumentasi yang sama menunjukkan bahwa H 33 = H 44 , H 55 = H 66 dan H 77 = H 88 .
'
Selanjutnya H 11 diberi simbol J 1s 2 s :

' 2
2 e'
H 11  J 1s 2 s    1s (1) 2 s(2)
2
d 1 d 2 (9-100)
r12

Bentuk (9-100) merupakan contoh integral Coulomb. Nama ini muncul karena adanya fakta
bahwa J 1s 2 s sama dengan energi elektrostatik yang muncul dari repulsi antara elektron pertama

yaitu yang fungsi densitas probabilitasnya [1s]2 dengan elektron kedua. yang fungsi densitas
'
probabilitasnya [2s]2. Selanjutnya H 12 diberi simbol K1s 2 s :

' e' 2
H 12  K1s 2 s    1s(1)2s (2) 2 s (1)1s (2) d 1 d 2 (9-101)
r12

Ini disebut integral pertukaran karena fungsi yang letaknya sebelah menyebelah dengan e’2/r12
berbeda satu dengan yang lain hanya lantaran pertukaran elektron satu dengan dua. Definisi
umum untuk integral Coulomb J ij dan integral pertukaran K ij adalah:

e' 2 e' 2
j ij  f i 1 f j 2  f i 1 f j 2  ; K ij  f i 1 f j 2  f j 1 f i 2  (9-102)
r12 r12

Integrasinya dilakukan untuk seluruh rentang koordinat spasial dari elektron 1 dan 2 dan fi dan
fj adalah orbital spasial.
Substitusi (9-99) sampai (9-101) ke dalam (9-98) menghasilkan:

J 1s 2 s  E 1 K 1s 2 s
=0 (9-103)
K 1s 2 s J 1s 2 s  E 1

J 1s 2 s  E 1 
2
 K 1s 2 s 2

J 1s 2 s  E 1   K 1s 2 s

E 1  J 1s 2 s  K1s 2 s

`` E11  J 1s 2 s  K 1s 2 s ; E 21  J 1s 2 s  K 1s 2 s (9-104)


Bab I/Pers. Schrodinger/ 210

Sekarang kita dapat menghitung koefisien dari fungsi gelombang order nol yang berhubungan

dengan dua harga E 1 tersebut.. Untuk ini kita gunakan (9-84). Jika hanya ada dua harga E 1 ,
maka hanya ada dua harga koefisien c, sehingga (9-84) menjadi:

H '
11 
 E11 c1  H 12
'
c2 = 0

'
H 21 '
c1  H 22 
 E 21 c 2 = 0
atau:
J 1s 2 s  ( j1s 2 s  K1s 2 s )c1  K 1s 2 s c 2 = 0

K1S 2 S c1  J 1s 2s  J 1s 2 s  K1s 2 s c 2 =0

atau:
K1s 2 s c1  K1s 2 s c 2 = 0

K1S 2 S c1  K 1s 2 s c 2 = 0

Kedua persamaan tersebut sama, yaitu:


K1s 2 s c1  c 2  = 0

Karena K 1s 2 s pasti tidak nol, maka c1 + c2 = 0 atau c1 = c2. Dari normalisasi:


10  10  = 1, diperoleh:

c1 10   c 2 20  c1 10   c 2 20  = 1

atau:

c1 10   c1 20  c1 10   c1 20  = 1

 10   10   c1  10   20   c1  20   10   c1  20   20  = 1


2 2 2 2
c1

2 2 2 1
c1  c1 = 1  c1 = ½ = 2 , jadi:

c1  2 1 / 2

Substitusi c1 ke dalam (9-97b) menghasilkan dua fungsi order nol yaitu:


Bab I/Pers. Schrodinger/ 211

10   2 1 / 2 ( 10    20  )  2 1 / 2 1s (1)2s (2)  2 s (1)1s (2) (9-105)

 20   2 1 / 2 ( 10    20  )  2 1 / 2 1s(1)2 s (2)  2 s(1)1s(2) (9-106)

Tiga determinan yang lain dari (9-97a) adalah:


'
b11 H 12 0 0 0 0 0 0
'
H 12 b22 0 0 0 0 0 0
'
0 0 b 33 H 34 0 0 0 0
'
0 0 H 34 b 44 0 0 0 0
'
0 0 0 0 b 55 H 56 0 0
'
0 0 0 0 H 56 b 66 0 0
'
0 0 0 0 0 0 b 77 H 78
'
0 0 0 0 0 0 H 78 b88

'
H 33  E 1 '
H 34
=0 (9-107)
'
H 34 '
H 33  E 1

'
H 55  E 1 '
H 56
=0 (9-108)
'
H 56 '
H 55  E 1

'
H 77  E 1 '
H 78
=0 (9-109)
'
H 78 '
H 77  E 1

' '
Perhatikan H 33 dan H 55 :

 
e' 2
 .........  1s (1)2 p x (2)
'
H 33 = 1s (1)2 p x (2) dx1 .......... ...dz 2
 
r12

 
e' 2
 .........  1s (1)2 p y (2)
'
H 55 = 1s (1)2 p y (2) dx1 .......... ...dz 2
 
r12

Kedua integral tersebut adalah sama, hanya 2 p x (2) diganti 2 p y (2) , dan kedua orbital ini

sepenuhnya sama dan hanya berbeda orientasinya dalam ruangan. Selanjutnya, juga dapat
' ' '
digunakan lasan yang sama untuk menyatakan bahwa H 77 juga sama dengan H 33 dan H 55 .

Ketiga integral ini disebut integral Coulomb J 1s 2 p . Jadi:


Bab I/Pers. Schrodinger/ 212

e' 2
  1s(1)2 p z (2)
' ' '
H 33 = H 55 = H 77 = J 1s 2 p = 1s (1)2 p z (2) d 1 d 2
r12
' ' '
Selanjutnya perhatikan H 34 , H 56 dan H 78 :

 
e' 2
 .........  1s (1)2 p x (2)
'
H 34 = 1s (2)2 p x (1) dx1 .............dz 2
 
r12

 
e' 2
 .........  1s (1)2 p y (2)
'
H 55 = 1s (2)2 p y (1) dx1 .......... ...dz 2
 
r12

 
e' 2
 .........  1s (1)2 p z (2)
'
H 78 = 1s (1)2 p z (2) dx1 .............dz 2
 
r12

Ketiga integral tersebut adalah sama dan ketiganya disebut integral pertukaran K 1s 2 p . Jadi:

e' 2
  1s(1)2 p z (2)
' ' '
H 34 = H 56 = H 78 = J 1s 2 p = 1s (2)2 p z (1) d 1 d 2
r12

Dengan demikian ketiga determinan (9-107) sampai (9-109) adalah identik dan mempunyai
bentuk:

J 1s 2 p  E 1 K1s 2 p
=0
K 1s 2 p J 1s 2 p  E 1

Determinan ini mirip dengan (9-103), dan dengan analogi terhadap (9-104)  (9-106), kita
memperoleh:

E 31  E 51  E 71  J 1s 2 p  K 1s 2 p (9-110)

E 41  E 61  E81  J 1s 2 p  K1s 2 p (9-111)

 30   2 1 / 2 1s (1)2 p x (2)  1s (2)2 p x (1)

 40   2 1 / 2 1s (1)2 p x (2)  1s (2)2 p x (1)


 50   2 1 / 2 1s (1)2 p y (2)  1s (2)2 p y (1)
(9-112)
 60   2 1 / 2 1s (1)2 p y (2)  1s(2)2 p y (1)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 213

 70   2 1 / 2 1s (1)2 p z (2)  1s (2)2 p z (1)

 80   2 1 / 2 1s (1)2 p z (2)  1s (2)2 p z (1)

Ternyata bahwa repulsi e’2/r12 telah mengubah dugaan kita terhadap degenerasi. Semula diduga
bahwa energi level he tereksitasi adalah 8-fold denegerate.. Ternyata 8-ford hipotetis ini pecah
menjadi 2 buah level non degenerate 1s2s dan 2 buah level yang masing-masing 3-fold
degenerate yang berhubungan dengan konfigurasi 1s2p.

Untuk mengevaluasi integral Coulomb dan integral pertukaran dalam E 1 pada

persamaan (9-104) dan (9-110) kita dapat menggunakan ekspansi 1/r12 sebagaimana telah kita
lakukan pada (9-53), dan hasilnya adalah (buktikan !):

17 Ze' 2 59 Ze' 2
J 1s 2 s  = 11,42 eV J 1s 2 p 
81 a o 243 a o

= 13,21 eV

16 Ze' 2 (9-113)
K 1s 2 s  = 1,19 eV
729 a o

112 Ze' 2
K1s 2 p  = 0,93 eV
6561 a o

dengan menggunakan Z = 2. Ingat bahwa E 0  = 68,08 eV. Jadi ada empat level energi koreksi
order pertama, yaitu (gambar 9.2):

E 0   E11  E 0   J 1s 2 s  K 1s 2 s  57,8 eV

E 0   E 21  E 0   J 1s 2 s  K 1s 2 s  55,4 eV

E 0   E 31  E 0   J 1s 2 p  K 1s 2 p  53,7 eV

E 0   E 41  E 0   J 1s 2 p  K 1s 2 p  53,9 eV

53,9 eV
Kp
1s2p

55,4 eV
55,7 eV

1s2s
Ks
57,8 eV
Jp
Bab I/Pers. Schrodinger/ 214









 Gambar 9.2 : Level tereksitasi pertama dari atom helium
Koreksi energi order pertama menunjukkan bahwa level bawah dari 1s2p ternyata lebih rendah dari
level atas pada konfigurasi 1s2s. Studi terhadap spektrum atom helium menunjukkan bahwa
kenyataannya tidak seperti itu. Kesalahan ini akan terhapus jika dilakukan koreksi energi perturbasi
dengan order yang lebih tinggi.

9.8 Perbandingan antara Metode Variasi dengan Perturbasi


Penggunaan metode variasi hanya terbatas untuk level ground state dari sebuah atom atau
molekul yang merupakan state dari sebagian besar unsur atau senyawa kimia sedang metode perturbasi
dapat diterapkan untuk seluruh state dalam atom dan molekul. Meskipun metode perturbasi, secara
teoritik dapat digunakan untuk melakukan kalkulasi terhadap seluruh state, namun kenyataannya, adalah
sangat rumit untuk melakukan kalkulasi penjumlahan terhadap state diskrit yang banyaknya tak
terhingga dan kalkulasi integral untuk mengevaluasi koreksi order kedua atau yang lebih tinggi.
Dengan metode perturbasi, kita dapat mengkalkulasi energi dengan hasil yang sangat
akurat (sampai dengan koreksi order 2k+1) dengan menggunakan fungsi gelombang order k.
Sementara itu, meskipun metode variasi tidak dapat menghasilkan kalkulasi secara sangat
akurat, tetapi metode ini dapat digunakan untuk menghitung energi dengan fungsi gelombang
yang tidak harus akurat.
Meskipun hampir semua kalkulasi terhadap fungsi gelombang molekul telah dilakukan
orang dengan menggunakan metode variasi, namun ada baiknya dilakukan kembali kalkulasi
yang sama tetapi dengan metode perturbasi.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 215

9.9 Teori Perturbasi Bergantung Waktu


Dalam spektroskopi, kita selalu bekerja dengan sistem dalam state stasioner, mengekspose-nya
menjadi radiasi elektromagnet (cahaya), dan kemudian melakukan pengamatan setelah sistem
mengalami transisi menjadi sistem stasioner yang baru. Radiasinya menghasilkan energi
potensial bergantung waktu pada operator Hamiltonian, jadi kita harus menggunakan persamaan
Schrodinger bergantung waktu. Metode pendekatan yang lazim dipergunakan dalam kasus ini
disebut teori perturbasi bergantung waktu.
Perhatikan sebuah sistem (atom atau molekul) dan kita misalkan sistem itu mempunyai

Hamiltonian bebas waktu H o (dalam keadaan tidak ada radiasi maupun perturbasi bergantung

waktu yang lain) dan mempunyai perturbasi bergantung waktu H ' . Persamaan Schrodinger
bebas waktu untuk problem tak terperturbasi adalah:

H o ko  E ko ko (9-114)

dengan E ko adalah energi stasioner dan  ko adalah fungsi gelombang. Selanjutnya, persamaan

Schrodinger bergantung waktu (dalam keadaan ada radiasi) adalah:


 
i t

 
 H o  H'   (9-115)

dengan  adalah fungsi gelombang bergantung pada koordinat spasial, koordinat spin (diberi
simbol q) dan bergantung waktu, jadi  = (q,t).

Pada mulanya, kita anggap bahwa H ' (t ) tidak ada (dianggap dalam keadaan tak

terperturbasi). Dengan demikian persamaan Schrodingernya (tak terperturbasi) adalah:


   o
 H  (9-116)
i t
iEkot / 
Kemungkinan bahwa sistem ini stasioner, diberikan oleh ko  e  ko , dengan  ko adalah

fungsi eigen dari H o [persamaan (9-114)]. Tiap-tiap ko merupakan solusi dari (9-116).

Selanjutnya, kombinasi linear:

iEkot / 
 o   c k ko =  ck e  ko (9-117)
k k
Bab I/Pers. Schrodinger/ 216

adalah solusi dari persamaan Schrodinger (9-116) . Tetapan c k adalah sebuah tetapan bebas

waktu.

Fungsi ko membentuk himpunan lengkap (karena mereka merupakan fungsi eigen dari

operator Hermitian H o ), sedemikian rupa sehingga setiap solusi (9-116) dapat dinyatakan
dalam bentuk (9-117). Dengan demikian (9-117) adalah solusi umum bagi persamaan

Schrodinger bergantung waktu (9-116), dan H o bersifat bebas waktu.

Sekarang kita anggap bahwa H ' (t ) sadah ada. Dalam keadaan ini, (9-117) tidak lagi

merupakan solusi persamaan Schrodinger bergantung waktu. Namun, karena fungsi tak

terperturbasi ko membentuk himpunan lengkap, akibatnya fungsi  yang sesungguhnya dapat

berada di sembarang waktu yang diekspansi sebagai kombinasi linear dari fungsi ko menurut

relasi  o   bk ko . Karena H bergantung waktu, tentu saja  akan berubah terhadap waktu
k

dan ekspansi koefisien bk juga berubah terhadap waktu. Oleh karena itu:

iEkot / 
=  bk t  e  ko (9-118)
k

Dalam kondisi limit H ' (t ) 0, ekspansi (9-118) akan tereduksi menjadi (9-117).

Substitusi (9-118) ke dalam persamaan Schrodinger bergantung waktu (9-115) dan


penggunaan (9-114) menghasilkan:

 dbk iEkot /  o iEkot / 


  e
i k dt
k +  E ko bk e  ko
k

iEkot /  iEkot /  
=  bk e E ko ko +  bk e H ' ko
k k

 dbk iEkot /  o iEkot /  


  e
i k dt
k =  bk e H ' ko
k

Selanjutnya kita kalikan dengan  mo * dan diintegrasi ke seluruh koordinat spasial dan

spin. Dengan menggunakan sifat ortonomalitas dari fungsi gelombang tak terperturbasi, kita
peroleh:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 217

 dbk iEkot /  o o iEkot /  


  e
i k dt
m k =  bk e  mo H ' ko
k

Karena faktor  mo  ko , semua suku pada ekspansi ruas kiri menjadi nol kecuali satu yaitu jika

m = k , sehingga:

 dbk iEkot /  iEkot /  



i dt
e =  bk e  mo H ' ko
k

 dbk iEmo t / 
Karena k = m, maka ruas kiri dapat ditulis  e , sehingga::
i dt
 dbk iEmo t /  iEkot /  

i dt
e =  bk e  mo H ' ko
k

atau:
dbk i 
o
 i Em 
 Eko t /  
dt
= 

 bk e  mo H ' ko (9-119)
k

Marilah kita menganggap bahwa perturbasi H ' (t ) diaplikasikan pada t = 0 dan bahwa sebelum

perturbasi diaplikasikan sistem berada dalam keadaan stasioner pada keadaan n dengan energi
o
E no . Oleh karena itu, fungsi pada t = 0 adalah   e iEn t /  no , dan pada t = 0 nilai dari

koefisien ekspansi pada (9-118) adalah bn (0) = 1 dan bk (0) = 0 untuk k  n . Jadi:

bk (0)   kn (9-120)

Untuk memfasilitasi solusi (9-119), kita akan mengasumsikan bahwa perturbasi H ' adalah kecil
dan hanya bekerja dalam waktu yang singkat. Dalam kondisi seperti itu, perubahan nilai
koefisien bk dari nilai asal pada saat perturbasi diaplikasikan adalah sangat kecil. Sebagai

aproksimasi, kita dapat mengganti koefisien ekspansi pada ruas kanan (9-119) dengan nilai
asalnya (9-120), sehingga:

=  e i Em  En t /   mo H ' no
dbk i o o 
dt 

Selanjutnya perturbasi H ' diaplikasikan dari t = 0 sampai t = t’. Integrasi dari t = 0
sampai t = t’, dan dengan menggunakan (9-120) diperoleh:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 218

  e i Em  En t /   mo H ' no dt
t'
i o o 
bm (t ' )   mn (9-121)
0

Penggunaan hasil aproksimasi (9-121) untuk koefisien ekspansi dalam (9-118) memberikan
aproksimasi yang dikehendaki terhadap fungsi keadaan pada t = t’ pada kasus yang perturbasi

bergantung waktunya ( H ' ) diaplikasikan pada t = 0 untuk sistem dalam keadaan stasioner n.

Untuk t setelah t’, aksi perturbasi telah berhenti, dan H ' = 0. Dengan demikian
persamaan (9-119) memberikan dbm / dt  0 untuk t > t’. Oleh karena itu, untuk t setelah

pencahayaan terhadap perturbasi, fungsi  adalah [persamaan (9-118)]:


o
 =  bm t ' e iEmt /  mo untuk t  t ' (9-122)
m

dengan bm t ' koefisien sebagaimana dinyatakan oleh (9-121). Dalam (9-122),  adalah

superposisi dari  mo yaitu fungsi eigen operator H o . Telah kita bahas dalam bab 7, bahwa

pengukuran energi sistem pada t setelah t’ akan menghasilkan sebuah nilai eigen E mo yaitu nilai

eigen dari operator H o , dan probabilitas memperoleh E mo adalah sama dengan kuadrat dari

nilai koefisien ekspansi atau bm t ' .


2

o
Perturbasi bergantung waktu mengubah fungsi dari e iEn t /  no menjadi superposisi (9-

122). Kemudian, pengukuran energi mengubah  menjadi salah satu energi fungsi eigen
o
e iEmt /  mo . Hasil bersihnya adalah transisi dari keadaan stasioner n menjadi keadaan stasioner

m, dengan probabilitas terjadinya transisi adalah bm t ' .


2


Bab I/Pers. Schrodinger/ 219

Soal-Soal

1. Untuk osilator tak harmonik dengan Hamiltonian (9-3), evaluasilah E (1) untuk keadaan
tereksitasi pertama.

2. Sebuah partikel dalam sistem box satu dimensi mempunyai fungsi energi potensial sebagai
berikut:
V = b untuk ¼ l < x < ¾ l , V = 0 untuk 0 < x < ¼ l dan x > ¾ l

dan di luar itu V = tak terhingga, dengan b =  2 / ml 2 . Perlakukan sistem sebagai partikel
terperturbasi dalam box.
(a) Tentukan koreksi energi order pertama untuk seluruh state stasioner dengan bilangan
kuantum n.

(b) Untuk ground state dan tereksitasi pertama, bandingkan E (0)  E (1) dengan energi yang

sesungguhnya yaitu 5,750345  2 / ml 2 dan 20,23604  2 / ml 2 .

3. Untuk partikel terperturbasi dalam box sebagaimana tersebut pada soal (2) di atas, tentukan
koreksi order pertama untuk fungsi gelombang yang stasioner pada keadaan dengan bilangan
kuantum n

4. Ketika Hylleraas memulai kalkulasinya pada helium, saat itu belum diketahui apakah ion

hidrida terisolasi (ion H ) merupakan entitas yang stabil atau tidak. Kalkulasilah energi

ground state ion H , diprediksi dengan fungsi trial (9-58). Bandingkan hasilnya dengan
energi ground state atom hidrogen, yaitu 13,6 eV, dan tunjukkan bahwa fungsi variasi

sederhana ini mengindikasikan bahwa H tidak stabil. (Dengan fungsi variasi yang lebih

kompleks, dihasilkan energi ground state H adalah 14,35 eV).
Bab I/Pers. Schrodinger/ 220


5. Ada lebih dari satu cara untuk memisahkan Hamiltonian H menjadi bagian tak terpertubasi
 
H o dan bagian perturbasi H ' . Selain yang dapat kita lihat pada (9-40) dan (9-41),
pemisahan Hamiltonian untuk atom helium adalah sebagai berikut:

 2 2 2 2  5  e' 2  5  e' 2
Ho =  1  2   Z    Z  
2me 2m e  16  r1  16  r2

 5 e' 2 5 e' 2 e' 2


H' =   
16 r1 16 r2 r12

Bagaimana fungsi gelombang tak terperturbasinya ? Kalkulasilah E (0) dan E (1) untuk
ground state. (Lihat sub bab 9.4)

6. Sebagian besar (tetapi tidak semua) pengaruh gerak inti atom helium dapat dikoreksi dengan
cara mengganti me dengan massa tereduksi  dalam menyatakan energi. Tentukan, energi

helium merupakan pangkat berapa dari me ? [Lihat persamaan (9-66)].

7. Kalkulasilah < r1 > untuk fungsi trial helium (9-58).

8. Tunjukkan bahwa persamaan sekular (9-85) dapat ditulis sebagai:

 
 
det  (mo) H '  i(o)   mi ( E n(0)  E n(1) ) = 0

BAB X
SPIN ELEKTRON DAN PRINSIP PAULI
10.1 Spin Elektron
Setiap orang yang mempelajari ilmu kimia, pasti familiar dengan spektrum warna
kuning yang berasal dari nyala unsur natrium. Pengujian secara cermat terhadap spektrum
natrium menunjukkan bahwa garis kuning tertajam yang biasa disebut garis D sesungguhnya
terdiri atas dua garis yang berjarak sangat rapat. Garis D unsur natrium ini berasal dari transisi

konfigurasi tereksitasi 1s2 2s2 2p6 3s2 3p1 ke keadaan dasar (ground state). Sifat doublet garis
Bab I/Pers. Schrodinger/ 221

kuning serta garis-garis lain dari spektrum natrium ini, menunjukkan adanya kelipatan dua
terhadap ekspektasi banyaknya state dikaitkan dengan elektron valensi.
Untuk menjelaskan struktur spektra atom natrium ini, Uhlenbeck dan Goudsmit
menyatakan pada tahun 1925, bahwa elektron mempunyai momentum angular intrinksik selain
momentum angular orbital dalam pergerakannya mengelilingi inti atom. Selanjutnya
momentum intrinksik ini disebut momentum angular spin atau disederhanakan menjadi spin
saja, yaitu suatu momentum angular yang muncul dari gerak rotasi elektron terhadap sumbunya.
Perlu diingat bahwa “spin” elektron ini bukan merupakan efek klasik, dan gambaran mengenai
elektron yang berotasi pada sebuah sumbunya itu, tidak dapat dikonsiderasikan untuk
merepresentasikan realitas fisik. Momentum angular intrinksik ini adalah nyata, tetapi tidak
visualisasi model yang dapat dengan mudah digunakan untuk menjelaskan asal-usulnya secara
pantas. Kita tidak dapat berharap untuk memperoleh pemahaman yang layak terhadap patikel
mikroskopik atas dasar sebuah model yang diambil dari pengalaman di dalam dunia
makroskopik. Perlu pula diketahui bahwa partikel-partikel elementer lain selain elektron, juga
mempunyai momentum angular spin.

Pada tahun 1928, Paul Dirac mengembangkan mekanika kuantum relativistik untuk
gerak sebuah elektron, dan dalam pembahasannya spin elektron muncul secara natural. Teori
Dirac juga mengindikasikan adanya elektron bermuatan positif yang disebut positron, meskipun
Dirac tidak secara penuh merealisasikannya pad tahun 1928. Positron baru diketemukan pada
tahun 1932. Positron ini merupakan sebuah antipartikel dari elektron.
Dalam pembahasan secara non relativistik yang akan dipergunakan di sini, elektron
harus dikenal sebagai sebuah hipotesis tambahan. Kita telah mempelajari bahwa setiap properti
fisik berhubungan dengan operator Hermitian linear dalam mekanika kuantum. Untuk properti
momentum angular orbital yang mempunyai analogi dengan mekanika klasik, kita dapat
menyusun operator mekanika kuantumnya, dengan menggunakan ekspresi klasik dan mengganti
px, py dan pz dengan operator yang sesuai. Namun, momentum angular spin dari sebuah

partikel mikroskopik, tidak mempunyai analogi dengan mekanika klasik, sehingga kita tidak
dapat menggunakan metode seperti itu untuk membangun sebuah operator bagi momentum
Bab I/Pers. Schrodinger/ 222

angular spin. Untuk tujuan ini, kita akan secara sederhana menggunakan simbol-simbol untuk
operator spin, tanpa memberikan bentuk eksplisit dari simbol-simbol itu.
   
Analog dengan operator momentum angular orbital L2 , L x , L y , L z maka kita menggunakan
   
simbol S 2 , S x , S y , S z untuk operator momentum angular spin dan dipostulatkan sebagai

operator linear dan Hermitian. S 2 adalah operator untuk kuadrat dari besarnya momentum

angular spin total dari sebuah partikel. S z adalah operator momentum angular spin partikel

untuk komponen z. Selanjutnya hubungan antara momentum angular total dengan komponen-
komponennya adalah:
   
S 2  S x2  S y2  S z2 (10-1)

Dipostulatkan bahwa operator momentum angular spin mengikuti relasi kommutasi yang sama
  
sebagaimana operator momentum angular orbital. Analog dengan [ L x , L y ]  i L z ,
     
[ L y , L z ]  i L x , [ L z , L x ]  i L y ( lihat bab 5), kita dapat menyatakan bahwa:
        
[ S x , S y ]  i S z , [ S y , S z ]  i S x , [ S z , S x ]  i S y (10-2)

Selanjutnya sebagaimana untuk operator momentum angular orbital yang sudah dibahas pada
bab 5, kita juga dapat menyatakan bahwa:
     
[S 2 , S x ] = [S 2 , S y ] = [S 2 , S z ] = 0 (10-3)

Selanjutnya karena nilai eigen L2 adalah (  1)  2 kita juga dapat menyatakan bahwa nilai

eigen untuk S 2 adalah:

s ( s  1) 2 s = 0, ½ , 1 . . . . (10-4)

dan nilai eigen untuk S z adalah:

ms  , ms = s, s+1, . . . ., s1, s (10-5)

Bilangan kuantum s disebut spin partikel. Meskipun pada pembahasan bab 5 tidak terdapat
pembatasan bahwa elektron hanya mempunyai sebuah harga s, namun eksperimen menunjukkan
Bab I/Pers. Schrodinger/ 223

bahwa semua elektron hanya mempunyai satu macam harga s yaitu ½ . Dengan s = ½ maka
diperoleh:

S=  s ( s  1) =  ½ 3 (10-6)

Untuk s = ½ , persamaan (10-5) memberikan dua kemungkinan nilai eigen untuk S z , yaitu ½ 

dan ½  . Jika fungsi eigen yang berhubungan dengan masing-masing nilai eigen untuk S z ini

kita sebut  dan , maka persamaan eigennya dapat ditulis:



S z  = ½   (10-7)

S z  = ½   (10-8)

Selanjutnya dengan menggunakan (10-4) dan s = ½ , dapat diketahui bahwa nilai eigen untuk
  
S 2 = ¾  2 . Karena operator S 2 adalah kommute terhadap operator S z , maka  dan  yang
 
merupakan fungsi eigen terhadap S z merupakan fungsi eigen pula terhadap operator S 2 .

Dengan demikian persamaan eigen yang menghubungkan operator S 2 dengan fungsi dan nilai
eigennya adalah:
 
S 2  = ¾  2  S 2  = ¾  2  (10-9)
  
Operator S z tidak kommute terhadap operator S y dan S z , oleh karena itu fungsi  dan  tidak
 
merupakan fungsi eigen untuk S y dan S z . Istilah spin up diberikan untuk ms = ½ sedang spin

down untuk ms =  ½ . Perhatikan gambar 10.1. Akan kita tunjukkan bahwa dua kemungkinan

untuk bilangan kuantum ms, membuat garis rangkap dua pada spektra logam alkali.
Fungsi gelombang yang telah kita pelajari sebelumnya adalah fungsi koordinat ruang
dari sebuah partikel ;  = (x, y, z). Sekarang kita boleh bertanya. Apakah variabel untuk
fungsi  dan  ? Kadang-kadang orang menggunakan koordinat spin , tanpa membuat
spesifikasi buat koordinat tersebut. Yang lebih sering, orang menggunakan ms sebagai variabel

penentu fungsi  dan . Jika kita menggunakan ms sebagai variabel, kita mempunyai.

 = (ms)  = (ms) (10-10)


Bab I/Pers. Schrodinger/ 224

Sebagaimana biasa, kita menginginkan agar fungsi eigen ternormalisasi. Ketiga variabel x, y
dan z pada fungsi gelombang sebuah partikel mempunyai rentang kontinum dari   sampai 
sehingga bentuk normalisasinya adalah::
  
2
    (x, y, z) dx dy dz = 1
  
Variabel ms pada fungsi eigen spin elektron hanya mempunyai dua macam nilai diskrit yaitu +
½ dan  ½ , sehingga normalisasinya adalah:
1/2 2 1/2 2
  (m )
s
1 ;   (m )
s
1 (10-11)
ms   1/2 ms   1/2

S
½ 
½ 3 

½ 
S

Gambar 10.1: Dua kemungkinan arah vektor spin elektron terhadap


sumbu z. Pada masing-masing kasus, S terletak pada permukaan kerucut
yang sumbunya adalah sumbu z.
Karena fungsi eigen  dan  berhubungan dengan nilai eigen yang berbeda dari operator

Hermitian S z , maka keduanya pasti ortogonal, jadi:

1/2
   *(ms ) .  (m )  0
s
(10-12)
ms   1/2

Ketika kita menganggap fungsi gelombang sebuah elektron adalah fungsi yang lengkap, yang
terdiri atas variabel ruang maupun spin, maka normalisasinya adalah:

1/2    2
      (x, y, z, m )
s
dx dy dz  1 (10-13)
ms   1/2      
Bab I/Pers. Schrodinger/ 225

Notasi penjumlahan untuk seluruh variabel spin dan integral untuk seluruh variabel ruang
seperti pada (10-13) tersebut selanjutnya disederhanakan menjadi:

2
   (x, y, z, ms ) d

sedang untuk integral seluruh rentang variabel ruang saja digunakan notasi  dv.

10.2 Spin Pada Atom Hidrogen


Fungsi gelombang yang menyatakan kedudukan sebuah elektron, tidak hanya bergantung
pada koordinat x, y, z tetapi juga bergantung pada spin elektron. Apakah pengaruh masalah ini
terhadap fungsi gelombang dan tingkat energi pada atom hidrogen?

Jika fungsi koordinat dinyatakan dengan (x, y, z) dan fungsi spin misalnya saja kita

nyatakan dengan g(ms), maka fungsi gelombang elektron tunggalnya secara lengkap dapat

ditulis sebagai berikut:


(x, y, z). g(ms)

dengan g(ms) adalah fungsi yang mewakili baik fungsi  maupun bergantung nilai ms-nya.

Jika ms = ½ maka g(ms) mewakili  dan jika ms = ½ maka g(ms) mewakili . Tetapi agar

pembahasannya lebih umum, g(ms) dapat dipandang sebagai kombinasi linear dari  dab .

[Jadi g(ms) = c1  + c2 Karena operator Hamilton tidak berpengaruh terhadap fungsi spin,

maka:
 
H [ ( x, y, z ) .g ( m ) ]  g (m ) H [ ( x, y , z ) ]  E[ ( x, y , z ) .g ( m ) ]
s s s

dan tampak bahwa memperhitungkan efek spin, tidak berpengaruh terhadap energi elektron.
Artinya, efek spin tidak mempengaruhi energi elektron. Dengan demikian spin yang berbeda
hanya membuat kemungkinan state elektron menjadi dua kali lipat; untuk (x, y, z) misalnya,

kita dapat mempunyai dua kemungkinan fungsi state yaitu:

 (x, y, z) dan (x, y, z).


Bab I/Pers. Schrodinger/ 226

10.3 Prinsip Pauli


Kita misalkan ada sebuah sistem yang terdiri atas beberapa partikel identik. Dalam mekanika
klasik, identitas masing-masing partikel tidak menimbulkan konsekuensi khusus. Sebagai
contoh, beberapa bola identik yang menggelinding di meja billiard. Adalah sangat mungkin
sekali, untuk mengikuti gerak masing-masing bola secara individual, misal saja dengan
menggambarkan bekas lintasan gerak bola itu. Kita dengan mudah dapat mengatakan bahwa
bola satu bergerak pada lintasan tertentu, sedang bola dua bergerak pada lintasan tertentu yang
lain, begitu seterusnya. Jadi, meskipun bola-bola tersebut identik, kita dapat mengenalinya
dengan memperhatikan lintasan yang ditempuhnya. Jadi identitas bola tidak berpengaruh pada
gerak bola-bola ini.

Dalam mekanika kuantum, prinsip ketidakpastian menyatakan bahwa kita tidak dapat
mengikuti lintasan eksak yang ditempuh oleh sebuah partikel mikroskopik. Jika partikel
mikroskopik, semuanya mempunyai perbedaan massa, atau muatan atau spin, maka kita dapat
menggunakan perbedaan itu untuk mengenali satu partikel dari partikel yang lain. Tetapi, jika
semua partikel tersebut identik, dan satu-satunya cara yang kita miliki hanyalah mengikuti
lintasan sebagaimana dalam mekanika klasik, maka pengenalan dengan cara ini akan kehilangan
kemampuan dalam mekanika kuantum, karena adanya prinsip ketidakpastian. Oleh karena itu,
fungsi gelombang masing-masing dalam suatu sistem yang terdiri atas interaksi beberapa
partikel identik, pasti tidak dapat dikenali, artinya sangat tidak mungkin untuk menentukan
fungsi apa untuk partikel yang mana. Sebagai contoh, menurut perlakuan perturbasi untuk atom
helium tereksitasi dalam bab 9, terlihat bahwa fungsi 1s(1)2s(2), yang menyatakan elektron
kesatu pada orbital 1s dan elektron kedua pada orbital adalah bukan fungsi gelombang order nol
yang benar. Pernyataan yang lebih baik untuk menyatakan fungsi gelombang helium tereksitasi
adalah:

2½[ 1s(1)2s(2)  1s(2)2s(1)]


yang tidak men-spesifikasi elektron yang mana yang berasa pada orbital 1s dan elektron mana
yang berada pada orbital 2s. (Jika dua partikel identik terpisah dengan baik satu dari yang lain,
Bab I/Pers. Schrodinger/ 227

maka fungsi gelombangnya tidak tumpang tindih, dan keduanya dipandang sebagai partikel
yang dapat dibedakan)
Sekarang akan diturunkan pembatasan terhadap wilayah fungsi gelombang untuk
menentukan índistinguishability (tingkat ketakterbedakan) sebuah partikel dalam mekanika
kuantum. Fungsi gelombang sebuah sistem yang terdiri atas n partikel bergantung pada variabel
ruang dan spin. Untuk partikel 1 variabelnya adalah x1,y1,z1,ms. Sekarang kita gunakan q1

untuk menyatakan x1,y1,z1,ms. Jadi fungsi gelombang untuk sistem n partikel adalah

 ( q1, q2,.q3 . . . . .,qn.)



Sekarang dibuat sebuah operator permutasi P1 2 yang mempertukarkan semua koordinat dari

partikel 1 dan 2:

P1 2 ƒ( q1, q2,.q3 . . . . .,qn.) = ƒ ( q2, q1,.q3 . . . . .,qn.) (10-14)

Sebagai contoh, efek P1 2 pada fungsi yang mempunyai elektron 1 pada 1s dengan spin up, dan

elektron 2 pada 3s dengan spin down adalah:



P1 2 [1s(1)(1)3s(2)(2)] = [1s(2)(2)3s(1)(1)]
 
Bagaimana nilai eigen P1 2 ? Jika P1 2 diaplikasikan dua kali, maka akan menghasilkan fungsi

asalnya:
 
P1 2 P1 2 ƒ ( q1, q2,.q3 . . . . .,qn.) = ƒ ( q1, q2,.q3 . . . . .,qn.)
 
Oleh karena itu P122 = 1 . Selanjutnya kita ambil wi dan ci sebagai fungsi dan nilai eigen dari

operator P1 2 , Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa:

P1 2 wi = ci wi
   
Aplikasi P1 2 pada P1 2 wi = ci wi menghasilkan P122 wi = P1 2 ci wi atau:
 
P122 wi = ci P1 2 wi
  
Jika P122 diganti 1 dan P1 2 wi diganti ci wi maka diperoleh:

wi = ci2 wi
Bab I/Pers. Schrodinger/ 228


sehingga nilai eigen operator P1 2 yaitu ci diperoleh yaitu:

ci =  1

Jika wi adalah fungsi eigen dari operator P1 2 yang nilai eigennya +1, maka:

P1 2 w() ( q , q ,.q . . . . .,q .) = (+1) w() ( q , q ,.q . . . . .,q .)
1 2 3 n 1 2 3 n
w( ) ( q2, q1,.q3 . . . . .,qn.) = w( ) ( q1, q2,.q3 . . . . .,qn.) (10-15)

Fungsi sebagaimana w , yang memiliki sifat (10-15) yang tidak berubah jika partikel 1 dan 2

dipertukarkan disebut simetrik terhadap pertukaran partikel 1 dan 2. Untuk nilai eigen 1,
diperoleh:
w() ( q2, q1,.q3 . . . . .,qn.) =  w() ( q1, q2,.q3 . . . . .,qn.) (10-16)

Fungsi w() pada (10-16) disebut antisimetrik terhadap pertukaran partikel 1 dan 2.

Hendak tidak menjadi rancu antara sifat simetrik dan antisimetrik terhadap pertukaran
partikel dengan sifat genap dan ganjil dalam kaitannya dengan inversi pada ruangan. Fungsi
x1  x 2 adalah simetrik terhadap pertukaran 1 dan 2 dan merupakan fungsi ganjil dari x1 dan

x2 sedang fungsi x12  x 22 adalah simetrik terhadap pertukaran 1 dan 2 dan merupakan fungsi

genap dari x1 dan x2.



Selanjutnya bagaimana definisi dari operator P i j ? Analog dengan (10-14), maka:

P i j ƒ( q1, qi,.. . . .qj ,.,qn.) = ƒ( q1, qj,.. . . .qi ,.,qn.) (10-17)
 
Nilai eigen untuk P i j sama dengan nilai eigen untuk P1 2 , yaitu +1 dan 1.

Sekarang kita akan membahas fungsi gelombang sistem yang terdiri atas n partikel
mikroskopik identik. Karena masing-masing partikel tak terbedakan, maka pemberian label
terhadapnya tidak memberikan pengaruh apapun terhadap sistem. Dengan demikian, dua fungsi
gelombang:

 ( q , q ,.. . . .q ,.,q .) dan ( q , q ,.. . . .q ,.,q .)


1 i j n 1 j i n
harus berhubungan dengan state sistem yang sama. Dua fungsi yang berhubungan dengan state
yang sama dapat dibedakan oleh bilangan konstan sebagai pengali. Jadi:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 229

( q , q ,.. . . .q ,.,q .) = c( q , q ,.. . . .q ,.,q .)


1 i j n 1 j i n

P i j ( q1, qi,.. . . .qj ,.,qn.) = c( q1, qi,.. . . .qj ,.,qn.) (10-18)

Persamaan (10-18) menyatakan bahwa  adalah fungsi eigen dari P i j . Kita tahu, bahwa hanya

ada dua kemungkinan nilai eigen dari P i j yaitu +1 dan 1. Jadi disimpulkan bahwa fungsi

gelombang untuk sistem n partikel identik pasti simetrik atau antisimetrik terhadap pertukaran i
dan j atau secara lebih umum dapat dinyatakan bahwa fungsi gelombang n partikel identik
adalah bersifat simetrik terhadap sembarang pertukaran atau antisimetrik terhadap sembarang
pertukaran dua partikel.
Telah kita ketahui, bahwa ada dua kemungkinan kasus untuk fungsi gelombang partikel
identik, yaitu kasus simetrik dan anti simetrik. Namun fakta-fakta eksperimen menunjukkan
bahwa untuk elektron, hanya kasus antisimetrik yang terjadi. Jadi kita mempunyai sebuah
postulat tambahan dalam mekanika kuantum, yang menyatakan bahwa fungsi gelombang untuk
sistem elektron harus antisimetrik terhadap pertukaran dua elektron sembarang. Postulat yang
penting ini Prinsip Pauli sesuai dengan nama fisikawan Wolfgang Pauli.
Pauli menunjukkan bahwa teori medan kuantum relativistik meng-indikasikan bahwa partikel
yang spin-nya tengahan ( s = 1 3
,
2 2
dan seterusnya ) mempunyai fungsi gelombang antisimetrik,

sedang partikel dengan spin bilangan bulat ( s = 0, 1, 2 dan seterusnya) mempunyai fungsi
gelombang simetrik, Fakta-fakta eksperimen ternyata menuntun kita pada kesimpulan yang
sama. Partikel yang mempunyai fungsi gelombang antisimetrik seperti elektron disebut fermion
( sesuai dengan nama Enrico Fermi) sedang partikel yang mempunyai fungsi gelombang
simetrik disebut boson ( sesuai dengan nama S.N. Bose).

Prinsip Pauli mempunyai konsekuensi menarik terhadap sistem fermion identik.


Persyaratan antisimetrik menyatakan bahwa:
( q1, q2,.q3 . . . . .,qn.) = ( q2, q1,.q3 . . . . .,qn.) (10-19)

Jika elektron 1 dan 2 mempunyai koordinat dan spin yang sama, maka q1 = q2, sehingga:

( q , q ,.q . . . . .,q .) = ( q , q ,.q . . . . .,q .)


1 1 3 n 1 1 3 n
Bab I/Pers. Schrodinger/ 230

2=0
( q , q ,.q . . . . .,q .) = 0 (10-20)
1 1 3 n
Jadi dua elektron dengan spin yang sama mempunyai probabilitas nol untuk dijumpai pada titik
yang sama dalam ruang tiga dimensi. (Yang dimaksud dengan spin sama adalah mempunyai
nilai ms yang sama). Karena  merupakan fungsi kontinum, maka arti dari (10-20) adalah

bahwa probabilitas untuk mendapatkan dua elektron dengan spin sama berada pada posisi
berdekatan adalah sangat kecil. Jadi prinsip Pauli memaksa elektron yang spin-nya sama berada
pada jarak saling berjauhan satu terhadap yang lain; untuk mendeskripsi hal ini, orang sering
menyebut tolakan Pauli di antara beberapa elektron. Tolakan ini bukan gaya fisik yang real,
tetapi hanya refleksi dari fakta bahwa fungsi gelombang elektronik harus antisimetrik terhadap
pertukaran elektron.

10.4 Atom Helium


Sekarang akan dibahas lagi mengenai atom helium ditinjau dari spin elektron dan prinsip
Pauli. Dalam bab 9 telah kita ketahui bahwa fungsi gelombang helium ground state order nol
pada perlakuan perturbasi adalah 1s(1)1s(2). Untuk melibatkan spin dalam perhitungan, kita
harus fungsi koordinat ruang dengan fungsi eigen spin. Oleh karena itu, kita harus menentukan
fungsi spin untuk dua elektron. Kita akan menggunakan notasi (1)(2) jika elektron 1 spin up,
elektron 2 spin up. Jika elektron 1 spin up dan elektron 2 spin down maka notasinya adalah
(1)(2). Dengan penataan seperti itu kelihatannya dengan mudah kita akan memperoleh 4
kemungkinan notasi fungsi spin, yaitu:

(1)(2) (1)(2) (1)(2) (2)(1)


Tidak ada masalah untuk fungsi pertama dan kedua, tetapi fungsi ketiga dan keempat melanggar
prinsip “tak terbedakan”. Sebagai contoh marilah kita perhatikan fungsi ketiga. Pada fungsi
ketiga itu, elektron 1 spin up sedang elektron kedua spin down. Lantas, bagaimana cara
membedakan elektron 1 dan elektron 2?
Untuk menangani kedua fungsi terakhir ini , marilah kita ingat kembali situasi yang sama ketika
menangani helium tereksitasi pada bab 9. Pada saat itu, dengan bertolak dari:
1s(1)2s(2) dan 2s(1)1s(2)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 231

kita memperoleh dua fungsi order nol yang benar yaitu 2½[1s(1)2s(2)  2s(1)1s(2)]. Analog
dengan itu, jika bertolak dari dua fungsi (1)(2) dan (1)(2) maka fungsi order nol yang kita
peroleh adalah:

2½[(1)(2)  (1)(2)]. (10-21)


Kedua fungsi (10-21) tersebut adalah kombinasi linear ternormalisasi yang berasal dari
(1)(2) dan (2)1)

yang merupakan fungsi eigen dari operator P1 2 yang bersifat simetrik atau antisimetrik. Jika

elektron 1 dan 2 dipertukarkan maka 2½[(1)(2) +(1)(2)]. akan menjadi:

2½[(2)(1) +(2)(1)].

yang persis sama dengan fungsi asalnya. Sementara itu, pertukaran pada fungsi 2½[(1)(2)
(1)(2)] akan menghasilkan:

2½[(2)(1) (2)(1)]
yang 1 kali fungsi asalnya. Untuk menunjukkan bahwa (10-21) ternormalisasi adalah sebagai
berikut:


1 1
  (1)  2   (1) 2 * .  (1)  2   (1) 2 
m m 2 2
s1 s 2

1
    2  (1)  2 *  (1) 2 * .  (1)  2   (1) 2 
m m
s1 s 2

1
   2  (1) *  2 *  (1)  2   (1) *  2 *  (1) 2 
m m
s1 s 2

    (1) *  2  *  (1)  2 .   (1) *  2 *  (1) 2 

1 1
   2  (1) *  2 *  (1)  2    2  (1) *  2 *  (1) 2 
m m m m
s1 s 2 s1 s 2
Bab I/Pers. Schrodinger/ 232

1 1
   2  (1) *  2 *  (1)  2    2  (1) *  2 *  (1) 2 
m m m m
s1 s 2 s1 s 2

1 1

2
  (1) 2   2 2 
2
  (1) *  (1)   2 *  2 
m m m m
s1 s2 s1 s2

1 1
  (1) *  (1)   2 *  2  2   (1)   22 
2

2
m m m m
s1 s2 s1 s2

Dengan menggunakan sifat (10-11) dan (10-12) diperoleh:


1 1

2
  (1) 2   2 2 
2
  (1) *  (1)   2 *  2 
m m m m
s1 s2 s1 s2

1 1
  (1) *  (1)   2 *  2  2   (1)   22 ½ + 0 + 0 + ½ = 1
2

2
m m m m
s1 s2 s1 s2

Dengan demikian kita telah memperoleh empat buah kemungkinan fungsi spin elektron helium
yaitu:

  (1) 2 (10.22)



Simetrik   1 2 (10.23)
 1 2   1 2  2 (10.24)

Antisimetrik  1 2   1 2 2 (10.25)

Selanjutnya sekarang kita akan menyatakan fungsi gelombang helium grounds state order nol
dengan melibatkan spin. Kita tahu bahwa fungsi spasial (koordinat ruang) 1s(1)2s(2) adalah
fungsi simetrik terhadap pertukaran partikel. Sementara itu, menurut prinsip Pauli, fungsi
gelombang elektron secara keseluruhan harus bersifat antisimetrik terhadap pertukaran elektron.
Oleh karena itu fungsi spasial 1s(1)2s(2) yang simetrik itu harus dikalikan dengan satu-satunya
fungsi spin yang antisimetrik, agar secara keseluruhan menjadi antisimetrik, sebagaimana
disyaratkan oleh prinsip Pauli. Dengan demikian, fungsi gelombang helium yang melibatkan
fungsi spin adalah:
0) = 1s(1)2s(2). 2½[(1)(2)  (1)(2)] (10-26)

Fungsi (0) adalah fungsi eigen dari operator P1 2 dengan nilai eigen 1.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 233

Perlu diingat, bahwa spin tidak berpengaruh terhadap energi, oleh karena itu, sebagai
sebuah pendekatan perhitungan energi, operator Hamilton (Hamiltonian) merupakan operator
energi yang sudah sangat memadai, meskipun Hamiltonian tidak melibatkan spin.
Selanjutnya akan ditunjukkan bahwa spin memang benar-benar tidak berpengaruh
terhadap energi. Untuk ini kita gunakan kalkulasi energi atom helium ground state, dengan
metode variasi. Fungsi variasi yang digunakan adalah:

 = ƒ(r1, r2, r3) . 2½[(1)(2)  (1)(2)]

dengan ƒ adalah fungsi spasial ternormalisasi yang bersifat simetrik dari dua elektron dalam
helium. Integral variasionalnya adalah:

  * H  d =     ƒ*(r1, r2, r3) . 2½[(1)(2)  (1)(2)]*
m m
s1 s 2

x H ƒ(r1, r2, r3) . 2½[(1)(2)  (1)(2)] dv1 dv2 .

Karena H hanya bekerja pada fungsi koordinat (spasial) dan tidak pada fungsi spin, integral
variasionalnya menjadi:

 ƒ*(r , r , r ) H ƒ(r , r , r )
1 2 3 1 2 3  ½ [(1)(2)  (1)(2)]2
m m
s1 s 2

Karena fungsi spin ternormalisasi (10-25), maka integral variasionalnya tereduksi menjadi:
 
  * H  d  =  ƒ* (r , r
1 2 3, r ) H ƒ(r1, r2, r3)

yang merupakan bentuk yang sudah kita kenal sebelum spin dilibatkan.
Sekarang kita akan membahas helium tereksitasi. Telah kita ketahui bahwa fungsi
spasial untuk helium eksitasi terendah adalah:

2½[1s (1) 2s (2)  2s (1)1s(2)]


Karena fungsi spasial tersebut sudah antisymetrik, maka harus dikalikan dengan fungsi spin
yang simetrik. Karena ada tiga fungsi spin yang simetrik sudah barang tentu kita dapat
memperoleh tiga fungsi degenarate dari atom helium tereksitasi yang melibatkan spin, yaitu:

2½[1s (1) 2s (2)  2s (1)1s(2)] (1)(2) (10-27)

2½[1s (1) 2s (2)  2s (1)1s(2)] (1)(2) (10-28)

2½[1s (1) 2s (2)  2s (1)1s(2)] 2½[(1)(2)  (1)(2)]  (10-29)


Bab I/Pers. Schrodinger/ 234

Untuk tingkat eksitasi berikutnya, persyaratan antisimetrik untuk fungsi gelombang secara
menyeluruh, akan menggiring kita kepada fungsi gelombang order nol:

2½[1s (1) 2s (2)  2s (1)1s(2)] 2½[(1)(2)  (1)(2)]  (10-30)

Prosedur yang sama dapat digunakan jika kita ingin membahas helium tereksitasi pada 1s12p1.

10.5 Prinsip Eksklusi Pauli


Sejauh ini, kita belum melihat konsekuensi yang spektakuler dari spin elektron dan
prinsip Pauli. Dalam atom hidrogen dan helium, faktor spin dalam fungsi gelombang dan
persyaratan antisimetrik hanya berpengaruh terhadap degenerasi terhadap level tetapi tidak
berpengaruh terhadap energi. Untuk litium, ceritanya agak sedikit berbeda.
Pendekatan perturbasi natural terhadap atom litium melibatkan gaya repulsi antar
elektron sebagai perturbasi yang terletak di suku akhir dari Hamiltonian. Melalui langkah yang
sama sebagaimana kita lakukan pada helium, fungsi gelombang tak terperturbasi pada litium
adalah perkalian 3 fungsi gelombang mirip hidrogen. Untuk ground state,
(0) = 1s(1)1s(2)1s(3) (10-31)
dan energi order nol tak terperturbasinya adalah.

 1 1 1   Z 2 e' 2  2
 = 27 e' =  27 (13,606) eV =  367,4 eV
E(0) =      
 12 12 12   2 a o 
 2 ao

 
Koreksi energi order pertamanya adalah E(1) =  (0) H ' (0) . Perturbasi H ' terjadi dari

repulsi antar elektron, sehingga:


2 2
2 2 2 e' 2 2 2 e'
E(1) =  1s(1) 1s(3) 1s(3) r1.2
dv1 +  1s(1) 1s (3) 1s (3)
r1.3
dv 2

2
2 2 2 e'
+  1s(1) 1s(3) 1s(3) r2.3
dv 3

Pemberian label 1, 2 dan 3 pada elektron tidak berpengaruh terhadap nilai integral, karena
ketiga elektron adalah partikel identik, Jadi nilai masing-masing integral tersebut adalah sama,
meskipun terdapat perbedaan label, E(1) boleh ditulis:
2 2
2 2 2 e' 2 2 2 e'
E(1) =  1s(1) 1s(3) 1s(3) r1.2
dv1 +  1s(1) 1s (3) 1s (3)
r1.2
dv 2

2
2 2 2 e'
+  1s(1) 1s (3) 1s (3)
r1.2
dv 3
Bab I/Pers. Schrodinger/ 235

atau:
2
2 2 2 e'
E(1) = 3    1s (1) 1s (3) 1s(3) dv1 dv 2 .dv 3
r1.2

Bentuk di atas dapat ditata ulang menjadi:


2
2 2 e' 2
E(1) = 3   1s (1) 1s (3) dv1 dv 2 . 1s (3) dv 3
r1.2

2
tanpa mengubah nilai. Integral elektron ketiga yaitu  1s(3) dv 3 nilainya 1 Sehingga:

2
2 2 e'
E(1) = 3   1s (1) 1s (3) dv1 dv 2 .
r1.2

yang dapat dievaluasi sebagaimana perturbasi pada helium (bab 9) dan diperoleh:

 5Z  e' 
2
E(1) = 3    = 3  15  13,606 eV = 153,1 eV
 4  2a o 
 4

E(0) + E(1) = 214,3 eV


Karena kita dapat menggunakan fungsi gelombang perturbasi order nol sebagai fungsi variasi
(ingat diskusi pada awal sub bab 9.4), dengan demikian menurut prinsip variasi, E(0) + E(1) harus
sama atau lebih besar dari pada energi ground state yang sesungguhnya. Nilai eksperimental dari
litium ground state, diperoleh dengan cara menjumlah energi ionisasi pertama, kedua dan
ketiga, yaitu sebesar (C.E. Moore, 1970):

 (5,39 + 75,64 + 122,45) eV = 203,5 eV


Tampak bahwa E(0) + E(1) lebih kecil dari pada energi ground state yang sesungguhnya, sehingga

hal ini bertentangan dengan prinsip variasi. Atas dasar ini, maka konfigurasi 1s3 untuk litium
ground state, yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung E(0) + E(1) dianggap tidak benar
karena nilai energi yang lebih rendah dari pada nilai energi ground state yang diperoleh melalui

fakta eksperimen kimia. Kalau kita tetap menganggap 1s3 untuk litium ground state tersebut
adalah benar, maka kita harus menganggap bahwa konfigurasi ground state untuk unsur kimia

bernomor atom Z adalah 1sZ. Hal ini akan membuat kerancuan terhadap pemahaman sifat-sifat
periodik unsur.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 236

Sudah barang itu, kesalahan tersebut menggugurkan prinsip Pauli mengenai spin. Fungsi
gelombang hipotetis 1s(1)1s(2)1s(3) adalah simetrik terhadap pertukaran dua elektron
sembarang. Jika kita mengikuti prinsip Pauli, kita harus mengalikan fungsi spasial ini dengan
fungsi spin yang antisimetrik. Adalah mudah untuk membentuk fungsi spin 3 elektron yang
simetrik yaitu (1)(2)(3), namun adalah tidak mungkin untuk susunan 3 elektron yang
menghasilkan fungsi antisimetrik. Selanjutnya bagaimana konfigurasinya agar kita peroleh 3
elektron yang secara keseluruhan menjadi antisimetrik?
Marilah kita mencoba membangun fungsi antisimetrik yang terdiri atas 3 elektron. Kita
gunakan ƒ, g dan h untuk fungsi koordinat ketiga elektron secara berturut-turut. Kita bertolak
dengan fungsi:
ƒ(1)g(2)h(3) (10-32)
yang tentu saja tidak antisimetrik. Fungsi antisimetrik yang kita inginkan harus terkonversi
 
menjadi minus fungsi itu sendiri jika oleh salah satu operator permutasi P1 2 atau P1 3 atau

P 2 3 . Aplikasi masing-masing operator ini terhadap fungsi (10-32) menghasilkan:

ƒ(2)g(1)h(3)
ƒ(3)g(2)h(1) (10-33)
ƒ(1)g(3)h(2)

Kita dapat saja mencoba memperoleh fungsi antisimetrik dengan cara membuat kombinasi

linear terhadap ke empat fungsi (10-32) dan (10-33), tetapi upaya ini akan gagal. Aplikasi P1 2

terhadap dua fungsi terakhir pada (10-33), menghasilkan:


ƒ(3)g(1)h(2) dan ƒ(2)g(3)h(1) (10-34)
yang tidak termasuk dalam (10-32) maupun (10-33). Oleh karena itu, kita harus memasukkan ke
enam fungsi (10-32), (10-33) dan (10-34) ke dalam kombinasi linear antisimetrik yang kita
inginkan. Ke enam fungsi ini adalah enam (3 . 2 . 1) kemungkinan permutasi dari 3 elektron
dalam 3 fungsi yaitu ƒ, g dan h. Jika ƒ(1)g(2)h(3) adalah solusi dari persamaan Schrodinger
dengan nilai eigen E, maka lantaran identitas partikel, masing-masing fungsi (10-32) sampai
Bab I/Pers. Schrodinger/ 237

(10-34) harus juga merupakan solusi dengan nilai eigen yang sama yaitu E, dan sembarang
kombinasi linear dari fungsi-fungsi ini adalah merupakan fungsi eigen dengan nilai eigen E.
Kombinasi linear antisimetriknya mempunyai bentuk sabagai berikut:
c1 ƒ(1)g(2)h(3) + c2 ƒ(2)g(1)h(3) + c3 ƒ(3)g(2)h(1) + c4 ƒ(1)g(3)h(2)

+ c5 ƒ(3)g(1)h(2)+ c6 ƒ(2)g(3)h(1) (10-35)



Karena fungsi ƒ(2)g(1)h(3) = P1 2 ƒ(2)g(1)h(3), dalam rangka memperoleh (10-35) sebagai

fungsi eigen dari operator P1 2 dengan nilai eigen 1, kita harus membuat c2 = c1. Dengan alas
 
yang sama, karena ƒ(3)g(2)h(1) = P 1 3 ƒ(1)g(2)h(3) dan ƒ(1)g(3)h(2) = P 2 3 ƒ(1)g(2)h(3),

sehingga kita harus membuat c3 = c1 dan c4 = c1. Karena ƒ(3)g(1)h(2) = P1 2 ƒ(3)g(2)h(1),

kita harus membuat c5 = c3 = c1. Selanjutnya kita akan memperoleh c6 = c1. Dengan demikian
kombinasi linear (10-35) dapat ditulis:
c1 [ƒ(1)g(2)h(3)  ƒ(2)g(1)h(3)  ƒ(3)g(2)h(1)  ƒ(1)g(3)h(2)

+ ƒ(3)g(1)h(2)+ ƒ(2)g(3)h(1)] (10-36)


yang dengan mudah dapat dibuktikan bahwa fungsi kombinasi linear (10-36) adalah
antisimetrik terhadap pertukaran 1-2, 1-3 dan 2-3. [ jika semua tanda pada (10-36) positif, maka
kita akan memperoleh fungsi simetrik].
Marilah kita asumsikan bahwa fungsi ƒ, g dan h adalah ortonormal dan kita pilih c1
sedemikian rupa sehingga (10-36) ternormalisasi. Untuk memperoleh harga c1, kalikan (10-36)
dengan komplek konjugasinya kemudian dintegralkan.. Kita akan memperoleh integral 36 suku.
Tapi dari karena asumsi ortonormal, maka hanya 6 integral yang nilainya masing-masing 1
(karena ortonomal) sedang 30 fungsi yang lain bernilai nol (karena ortogonal). Yang bernilai
satu adalah yang berasal dari perkalian fungsi yang sama. Jadi:

 10  36 * 10  36d =1

c12 . (1+1+1+1+1+1) = 1
1
c1 =
6
Bab I/Pers. Schrodinger/ 238

Kita dapat memperoleh (10-36) dengan cara sebagaimana kita lakukan di atas, tetapi ada cara
yang jauh lebih sederhana, yaitu (lihat bab 8) dengan menggunakan determinan order 3 berikut:

ƒ(1) g(1) h(1)


 1 ƒ(2) g(2) h(2)
6 (10  37)
ƒ(3) g(3) h(3)

Sifat antisimetrik melekat pada determinan (10-37), sebab pertukaran label elektron, berarti
terjadi pertukaran baris pada determinan. Kita tahu bahwa salah satu sifat determinan adalah
nilainya lipat 1 dari nilai asalnya jika dilakukan pertukaran baris. Ini merupakan sifat
antisimetrik.
Dengan menggunakan determinan (10-37), sangatlah mungkin untuk membuat fungsi
spin antisimetrik untuk 3 elektron. Jika ƒ diganti , g diganti  dan h diganti , maka (10-37)
menjadi:

 (1)  (1)  (1)


1
 (2)  (2)  (2) (10-38)
6
 (3)  (3)  (3)

Meskipun (10-38) antisimetrik, namun kita harus menolaknya, karena nilai (10-38) adalah nol,
sehingga determinan tersebut hilang nilainya. Ini berarti kita tidak mungkin membuat fungsi
spin antisimetrik 3 elektron yang tidak nol.
Selanjutnya kita akan menggunakan (10-37), untuk menyusun sebuah fungsi gelombang
order nol untuk litium ground state dengan melibatkan variabel spasial maupun spin. Sekarang,
fungsi ƒ, g dan h tidak hanya fungsi spasial tetapi juga mengandung variabel spin. Kita
misalkan:

ƒ(1) = 1s(1)(1) (10-39)


Fungsi (10-39) itu disebut orbital-spin yaitu hasil kali antara fungsi orbital sebuah elektron
dengan fungsi spin elektron tersebut. Jika g(1) pada (10-37) diganti 1(s)(1), hal ini akan
membuat dua kolom identik pada determinan (10-37) dan fungsi gelombang akan hilang karena
nilai determinannya nol. Hal ini kemudian menimbulkan kasus penting yang disebut prinsip
eksklusi Pauli yang menyatakan: Dua buah elektron tidak boleh menempati orbital-spin yang
Bab I/Pers. Schrodinger/ 239

sama.. Cara lain untuk menyatakan hal ini adalah dengan menyatakan bahwa tidak ada dua
elektron dalam sebuah atom yang mempunyai nilai sama untuk semua bilangan kuantumnya.
Prinsip eksklusi Pauli adalah konsekuensi dari prinsip Pauli yang lebih umum, yaitu persyaratan
antisimetrik dan bersifat kurang memuaskan dibandingkan dengan statemen antisimetrik, karena
prinsip eksklusi Pauli hanya dilandasi oleh fungsi gelombang order nol aproksimasi, bukan
fungsi gelombang eksak. Karena penggantian g(1) = 1s(1)(1) melanggar prinsip eksklusi Pauli,
maka dipilih g(1) = 1s(1)(1). Selanjutnya bagaimana dengan h(1)? Untuk menghindari
kemungkinan pelanggaran terhadap prinsip eksklusi Pauli, maka kita pilih h(1) = 2s(1)(1).
Pergantian terhadap ƒ, g dan h yang lain pada (10-37) dilakukan identik dengan pergantian
terhadap ƒ(1), g(1) dan h(1), sehingga fungsi gelombang order nol untuk litium ground state
yang dibangun melalui (10-37) adalah:

1s (1) (1) 1s (1)  (1) 2s (1) (1)


1
(0) = 1s (2) (2) 1s (2)  (2) 2 s (2) (2) (10-40)
6
1s (3) (3) 1s (3)  (3) 2 s (3) (3)

Perlu dicatat secara khusus bahwa masing-masing elemen pada determinan (10-40) bukan
perkalian sederhana antara fungsi spasial dan fungsi spin sebagaimana dalam atom hidrogen dan
helium, namun masing-masing elemen determinan adalah kombinasi linear antara fungsi spasial
dan fungsi spin.

Karena kita telah memilih h(1) = 2s(1)(1) untuk litium, tentu saja sebagaimana
hidrogen dan helium, litium ground state juga dobel degenerasi, karena adanya dua
kemungkinan arah spin elektron pada orbital 2s. Kedua kemungkinan diagram untuk litium
adalah:
1s 2s dan 1s 2s
    
Tiap-tiap orbital, misal 1s atau 2p+1 atau 2p0 dan seterusnya, dapat berisi dus elektron dengan

spin berlawanan, sedang tiap orbital-spin, misal 1s atau 1s dan seterusnya hanya dapat berisi
satu elektron.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 240

2 1
Meskipun konfigurasi 1s 2p mempunyai energi tak terpertubasi E(0) yang sama besarnya
2 1
dengan konfigurasi 1s 2s , namun jika kita memperhitungkan efek repulsi antar elektron pada

perhitungan E(1) atau koreksi yang lebih tinggi, akan ternyata bahwa konfigurasi 1s22s1 lebih
2 1 2
rendah energinya dari pada 1s 2p . Dengan alasan yang sama 1s pada helium lebih rendah

energinya dari pada 1s12s1.


Kita akan menutup sub bab ini dengan mendiskusikan masalah prinsip eksklusi Pauli,
yang kita ulangi statemen-nya sebagai berikut: Dalam sistem fermion identik, tidak ada dua
partikel yang dapat menempati state yang sama. Jika kita mempunyai sistem yang terdiri atas n
partikel yang saling berinteraksi (misal sebuah atom), maka ada sebuah fungsi gelombang (yang
melibatkan 4n variabel) untuk sistem yang dimaksud itu. Lantaran adanya interaksi antar
partikel, fungsi gelombang sistem tidak dapat dinyatakan sebagai hasil kali fungsi gelombang
masing-masing partikel; atau secara singkat dapat dinyatakan bahwa kita hanya dapat
membicarakan fungsi sistem secara global dan tidak dapat membicarakan fungsi partikel secara
individual. Namun, jika interaksi antar partikel tidak terlalu besar, maka sebagai aproksimasi,
kita boleh mengabaikan interaksi itu, dan menyatakan fungsi gelombang order nol dari sistem
tersebut sebagai hasil kali fungsi gelombang partikel-partikel individual. Dalam fungsi
gelombang order nol ini, tidak boleh ada dua fermion yang mempunyai fungsi gelombang (state)
yang sama.

Lain halnya untuk sistem yang terdiri atas beberapa partikel boson. Karena boson
mensyaratkan fungsi gelombang yang simetrik terhadap pertukaran partikel, maka tidak ada
batasan mengenai banyaknya boson yang dapat berada pada sebuah state.

10.6 Determinan Slater


Slater menyatakan (1929) bahwa determinan (10-40) memenuhi persyaratan antisimetrik
untuk atom berelektron banyak. Determinan seperti (10-40) disebut determinan Slater. Semua
elemen dalam kolom-kolom pada determinan Slater melibatkan orbital-spin yang sama, sedang
elemen dalam sebuah baris melibatkan elektron yang sama. [Karena pertukaran baris dan kolom
Bab I/Pers. Schrodinger/ 241

tidak mengubah nilai determinan, tentu saja determinan Slater (10-40) dapat ditulis dalam
bentuk yang lain]. 
Sekarang akan kita coba, bagaimana menyatakan fungsi gelombang order nol helium
2
yang sudah kita kenal sebelumnya, dalam determinan Slater. Untuk konfigurasi ground state 1s ,
kita mempunyai orbital-spin 1s dan 1s, yang menghasilkan determinan Slater sebagai berikut:

1 1s(1) (1) 1s(1)  (1) 1


= 1s(1)1s(2) [(1)(2)  (1)(2)] (10-41)
2 1s(2) (2) 1s(2)  (2) 2

yang sesuai dengan (10-26). Untuk konfigurasi tereksitasi 1s12s1, kita mempunyai 4 macam
orbital-spin, sehingga dihasilkan 4 macam determinan Slater, yaitu:

1 1s(1) (1) 2s(1) (1) 1 1s(1) (1) 2s(1)  (1)


D1 = D2 =
2 1s(2) (2) 2s(2) (2) 2 1s(2) (2) 2s(2)  (2)

1 1s(1)  (1) 2s(1) (1) 1 1s(1)  (1) 2s(1)  (1)


D3 = D4 =
2 1s(2)  (2) 2s(2) (2) 2 1s(2)  (2) 2s(2)  (2)
Perbandingan dengan (10-27) sampai (10-30), menunjukkan bahwa fungsi gelombang order nol
1 1
1s 2s dihubungkan dengan 4 macam determinan Slater sebagai berikut:

2½[1s (1) 2s (2)  2s (1)1s(2)] (1)(2) = D1 (10-42)

2½[1s (1) 2s (2)  2s (1)1s(2)] (1)(2) = D4 (10-43)

2½[1s (1) 2s (2)  2s (1)1s(2)] 2½[(1)(2)  (1)(2)] = 2½(D2+D3)


  (10-44)

2½[1s (1) 2s (2)  2s (1)1s(2)] 2½[(1)(2)  (1)(2)] = 2½(D2D3)


 (10-45)
(Untuk memperoleh fungsi order nol yang merupakan fungsi eigen dari operator momentum
angular dan spin, seringkali kita menggunakan kombinasi linear determinan Slater dari suatu
konfigurasi; lihat bab XI)
Berikutnya akan kita bahas beberapa notasi determinan Slater. Sebagai pengganti
terhadap  dan  untuk fungsi spin, orang sering menggunakan garis bar di atas fungsi spasial
untuk menunjukkan fungsi  sedang fungsi spasial yang tanpa bar berarti fungsi spasial dengan
Bab I/Pers. Schrodinger/ 242

fungsi spin . Misal 1s(1)(1) cukup ditulis 1s(1) sedang 1s(1) cukup ditulis 1s (1) . Dengan

demikian persamaan (10.40) dapat ditulis:

1s(1) 1s (1) 2 s(1)


1
(0) = 1s (2) 1s(2) 2s (2) (10-46)
6
1s (3) 1s(3) 2s (3)

Notasi (10-46) sering dipersingkat lagi, tanpa menuliskan faktor normasilasi, dan hanya
dinyatakan dalam satu baris, yaitu:

(0) = 1s1s 2s (10-47)

Sekarang akan kita balik. Jika determinan Slater ditulis (0) = 1s1s2s2p , bagaimana notasi

determinan Slaternya secara lengkap. Dari orbital-spin yang tertulis, dapat dipastikan bahwa
sistem (atom) terdiri atas 4 elektron. Elektron 1 berada di 1s dengan spin , elektron 2 pada 1s
dengan spin , elektron 3 pada 2s dengan spin  dan elektron 4 pada 2p dengan spin . Karena
1 1
sistemnya 4 partikel maka faktor normalisasinya adalah = . Dengan demikian
4! 24
determinan Slaternya adalah:

1s(1) (1) 1s(1)  (1) 2s(1) (1) 2p(1) (1)


1 1s(2) (2) 1s(2)  (2) 2s(2) (2) 2p(2) (2)
(0) = 
24 1s(3) (3) 1s(3)  (3) 2s(3) (3) 2p(3) (3)
1s(4) (4) 1s(4)  (1) 2s(4) (4) 2p(4) (4)

atau

1s(1) 1s(1) 2s(1) 2p(1)


1 1s(2) 1s(2) 2s(2) 2p(2)
(0) = 
24 1s(3) 1s(3) 2s(3) 2p(3)
1s(4) 1s(4) 2s(4) 2p(4)

10.7 Perturbasi terhadap Lithium Ground State


Bab I/Pers. Schrodinger/ 243

Marilah kita menerapkan perturbasi untuk atom litium ground state. Untuk ini kita
gunakan:
 2 2 2 2  2 2 Z e' 2 Z e' 2 Z e' 2
Ho  1  2     
2me 2 me 2m e 3 r1 r2 r3
 e' 2 e' 2 e' 2
H'  
r12 r 2 3 r13

Telah kita peroleh sebelumnya bahwa untuk memenuhi prinsip Pauli, konfigurasi litium ground
2 1
state harus 1s 2s . Fungsi gelombang order nolnya adalah (10-40):

1s (1) (1) 1s (1)  (1) 2s (1) (1)


1
(0) = 1s (2) (2) 1s (2)  (2) 2 s (2) (2)
6
1s (3) (3) 1s (3)  (3) 2 s (3) (3)

1
= [1s(1)1s(2)2s(3)(1)(2)(3) 1s(1)2s(2)1s(3)(1)(2)(3)
6
 1s(1)1s(2)2s(3)(1)(2)(3) + 1s(1)2s(2)1s(3)(1)(2)(3)
+ 2s(1)1s(2)1s(3)(1)(2)(3)  2s(1)1s(2)1s(3)(1)(2)(3)
Berapakah E(0) ?. Masing-masing suku pada (0) mengandung perkalian dua buah 1s dari fungsi
mirip hidrogen dan sebuah 2s dari fungsi mirip hidrogen yang dikalikan lagi dengan faktor spin.

H o adalah jumlah dari 3 buah Hamiltonian mirip hidrogen yang tidak melibatkan spin. Jadi

(0) adalah kombinasi linear suku-suku, yang masing-masing adalah fungsi eigen dari H o
0 
dengan nilai eigen sebesar E1s  E1s  E 2 s . Jadi:
(0) 0 

 1 1 1  Z 2 e' 2 81
E (0) 
=     = (13,606 eV) =  275,5 eV (10-48)
2 2 2  2a 4
1 1 2  o

Untuk memperoleh E(1), kita harus mengevaluasi  (0) H '  (0) . Untuk ini kita akan

mengadakan pengelompokan suku-suku pada (0) yang faktor spinnya sama.


1
(0) = [ 1s(1)2s(2)1s(3)  1s(1)1s(2)2s(3) ] (1)(2)(3)
6
1
+ [1s(1)1s(2)2s(3)  2s(1)1s(2)1s(3) ] (1)(2)(3)
6
Bab I/Pers. Schrodinger/ 244

1
+ [2s(1)1s(2)1s(3) 1s(1)2s(2)1s(3) ] (1)(2)(3) (10-49)
6
atau:
(0) = a (1)(2)(3) + b (1)(2)(3) + c (1)(2)(3) = A + B + C (10-50)
Selanjutnya kita evaluasi E(1)
 
E(1) =   (o) * H ' (o) d =  ( A  B  C ) * H ' (A  B  C) d

2  2  2   
E(1) = A H ' d + B H ' d +  C H ' d +  A * B H ' d +  B * C H ' d
   
+  A * C H ' d +  AB * H ' d +  BC * H ' d +  AC * H ' d (10-51)

Karena sifat ortogonalitas, enam suku terakhir pada (10-51) adalah nol. Sebagai contoh, integral

 A * BH d melibatkan penjumlahan fungsi spin sebagai berikut:
  [  (1) (2) (3)] * [ (1)  (2) (3)]
m1 m2 m3
=
  (1) (1)  (2)  (2)  (3) (3) = 0 . 0 . 1 = 0
m1 m2 m3
Dengan demikian kita peroleh:
2  2  2  
E(1) =  A H ' d +  B H ' d +  C H ' d +  A * B H ' d
2 
Kini akan kita evaluasi  A H ' d . Telah kita ketahui bahwa: A = a (1)(2)(3), jadi:
2  2 
 A H ' d  =  a.  (1) (1) (3) H ' d
=
2 
 a H ' d v1d v 2 d v3 .   [  (1) (2) (3)]
2
m1 m2 m3
=
2 
 a H ' d v1d v 2 d v3 .   (1)  (1)  (2) (2)  (3) (3)
m1 m2 m3
Karena sifat ortonormal, maka   (1)  (1)  1 ,   (2) (2)  1 dan   (3) (3)  1 sehingga
m1 m2 m3
diperoleh:
2  2 H ' d
A H ' d = a v1d v 2 d v3
Analog dengan itu juga kita peroleh:
2  2  2  2 H ' d
 B H ' d =  b H ' d v1d v2 d v3 dan C H ' d = c v1d v 2 d v3 sehingga,
Bab I/Pers. Schrodinger/ 245

2 H ' d 2 H ' d 2 H ' d


E(1) = a v1d v 2 d v3 + b v1d v 2 d v3 + c v1d v 2 d v3 (10-52)
dan tampak bahwa fungsi spin tidak lagi terlibat. Marilah sekarang kita kembalikan a, b c dan

H ke bentuk asalnya sehingga (10-52) menjadi:

2 H ' d 2 H ' d 2 H ' d


E(1) =  a v1d v 2 d v3 +  b v1d v 2 d v3 +  c v1d v 2 d v3
2
 1   e' e' e' 
=   6 1s(1)2s(2)1s(3) sss     dv1dv 2 dv3
 r1.2 r2.3 r1.3 
2
 1   e' e' e' 
+   6 1s(1)1s(2)2s(3) -sss     dv1dv 2 dv3
 r1.2 r2.3 r1.3 
2
 1  
+   2s(1)1s(2)1s(3) - sss  e'  e'  e'  dv1dv 2 dv3
 6   r1.2 r2.3 r1.3 
Dengan menggunakan sifat ortonormal dari fungsi orbital 1s dan 2s, selanjutnya akan
dapat kita peroleh:
e' e'
E(1) = 2 1s 12 2 s22 dv1dv 2 +  1s12 1s2 2 dv1dv 2
r1.2 r1.2
+
e'
1s12s21s22s1 r1.2 dv1dv 2
Dan ternyata bentuk tersebut adalah integral Coulomb dan integral Pertukaran (exchange
integral), jadi:
E(1) = 2J1s2s + J1s1s  K1s2s (10-53)
Telah kita ketahui pada bab 9, bahwa
5 Ze' 2 17 Ze' 2 16 Ze' 2
J1s2s = ; J1s1s  dan K1s2s = sehingga:
8 ao 81 a o 729 a o

(1) 5965  e' 2 


E = = 83,5 eV
972  2 a o 
 
Melalui perturbasi order pertama diperoleh energi ground state litium adalah E(0) + E(1) yaitu
sebesar  192,0 eV. Jika nilai ini dibandingkan dengan nilai energi ground state yang diperoleh
melalui eksperimen yaitu 203,5 eV, masih ada perbedaan 11,5 eV. Agar perbedaan semakin
kecil, kita harus melakukan perhitungan terhadap fungsi gelombang dan koreksi energi dengan
order yang lebih tinggi.

10.8 Metode Variasi untuk Litium Ground State


Fungsi gelombang perturbasi order nol atom litium (10-40) memperhitungkan muatan
inti penuh (Z = 3) baik untuk 1s maupun 2s. Diperkirakan, orbital 2s yang letaknya terhadap inti
Bab I/Pers. Schrodinger/ 246

atom cukup terhalang oleh orbital 1s, akan menerima muatan inti kurang dari 3. Dengan alasan
ini, maka diperkenalkan dua parameter variasi yang berbeda yaitu b1 untuk muatan yang
diterima 1s dan b2 untuk 2s ke dalam (10-40).
Telah kita ketahui bahwa fungsi gelombang mirip hidrogen untuk 1s adalah
3/ 2
e  Z / a r . Jika Z untuk 1s diganti b1 maka fungsi gelombang 1s menjadi:
1 Z
 
 1/ 2  a 
3/ 2
1  b1 
ƒ=   e  b1 / ao  r (10-54)
1/ 2  a 
  o
Sedang fungsi 2s dengan Z diganti b2 adalah:
3/ 2
 b2   b r
 2  2 e  b2 / ao  r
1
g=   (10-55)
1/ 2  a  ao 
4(2 )  o 
Dengan demikian kita dapat mencoba menggunakan fungsi variasi:

ƒ(1)(1) ƒ(1)(1) g(1)(1)


= ƒ(2)(2) ƒ(2)(2) g(3)(3) (10-56)
ƒ(3)(3) ƒ(3)(3) g(3)(3)

Penggunaan muatan berbeda b1dan b2 untuk 1s dan 2s membuat orbital kehilangan
ortogonalitas, dengan demikian (10-56) tak ternormalisasi. Nilai terbaik dari parameter variasi
W W
diperoleh melalui  0 dan  0 , dengan W adalah energi variasi yang sering disebut
b1 b2

^
*
integral variasional . Telah kita pelajari bahwa W =
  H  d (lihat bab 8). Hasilnya adalah
*
   d
b1 = 2,686, b2 = 1,776 dan energi variasi yang dicari adalah W = 201,2 eV. Harga ini sangat
dekat dengan energi litium ground state yang sesungguhnya yaitu 203,5. 
10.9 Momen Magnetik Spin
Ingat bahwa (bab 6) momentum angular orbital L menghasilkan momen magnetik L
sebesar (e/2me)L. Atas dasar ini, sangatlah masuk akal jika kita beranggapan bahwa
momentum angular spin S dapat menghasilkan momen magnetik s = (e/2me)S. Tetapi perlu
Bab I/Pers. Schrodinger/ 247

juga diketahui, bahwa berbeda dengan momentum angular orbital yang merupakan fenomena
klasik, ternyata momentum angular spin merupakan fenomena relativistik, oleh karena itu kita
tidak boleh begitu saja menganalogikan momen magnetik spin secara langsung dari momen
magnetik orbital. Menurut kalkulasi Dirac dalam quantum relativistik (yang tidak dibahas
disini) nilai momen magnetik spin dalam sistem satuan internasional adalah:

 e 
s = ge   S
 2me 
Dirac menyatakan bahwa nilai faktor g untuk elektron adalah 2, jadi:
 e 
s=    S (10-57)
 me 

Karena S =  ss  1 dan harga bilangan kuantum s = ½ , maka besarnya momen magnetik

spin elektron dalam sistem satuan internasional adalah:

 e 
s=  3   (10-58)
 2me 
Dalam kajian yang lebih cermat, ternyata bahwa nilai g2 tidak tepat = 2, tetapi sedikit lebih
besar (P. Kush, 1966), yaitu:
2
  
ge = 2 ( 1 + +   + . . . . = 2,0023
2  2 
sedang  didefinisikan sebagai:

e2
= = 0,007297 (10-59)
4 o c

Sifat feromagnetik pada besi adalah akibat dari momen dipol magnetik elektron.
Dua kemungkinan arah spin elektron dan hubungan momen magnetik spin dengan
sumbunya menghasilkan dua tingkat energi berbeda jika medan magnet eksternal diaplikasikan.
Dalam spektroskopi ESR, orang melakukan pengamatan terhadap transisi kedua tingkat energi
ini. Spektroskopi ESR (Electron Spin Resonance) dikenakan pada spesies radikal bebas, atau
ion logam transisi yang mempunyai satu atau beberapa elektron tak berpasangan. Karena
adanya elektron tak berpasangan, akibatnya radikal bebas dan ion logam transisi tertentu
Bab I/Pers. Schrodinger/ 248

mempunyai momen magnetik serta spin elektron total tidak nol. Itulah sebabnya spektroskopi
ESR dapat bekerja atas spesies-spesies tersebut.
Beberapa inti atom, mempunyai spin dan momen magnetik spin yang tidak nol. Dalam
spektroskopi NMR (Nuclear Magnetic Resonance), pengamatan dilakukan atas dasar transisi
tingkat energi inti untuk sampel yang berada dalam medan magnet eksternal. Proton dengan
spin = ½ adalah kajian utama dalam spektroskopi NMR.

Soal Bab X
1) Hitunglah besarnya sudut yang dibentuk oleh vektor spin S dengan sumbu z untuk elektron
dengan fungsi spin .

2) (a) Tunjukkan bahwa P1 2 kommut dengan Hamiltonian untuk atom litium
 
(b) Tunjukkan bahwa P1 2 dan P 2 3 tidak saling kommut.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 249

 
(c) Tunjukkan bahwa P1 2 dan P 2 3 kommut apabila mereka diaplikasikan pada fungsi

antisimetrik

3) Tunjukkan bahwa P1 2 Hermitian

4) Simetrik atau antisimetrik atau buka keduanyakah fungsi berikut:


(a) ƒ(1)g(2)(1)(2); (b) ƒ(1)ƒ(2)[(1)(2)  (1)(2)]

(c) ƒ(1)ƒ(2)ƒ(3)(1)(2)(3) (d) ea(r1r2)

(e) [ƒ(1)g(2)  g(1)ƒ(2)][(1)(2)  (2)(1)] (f) r 12 2 e  a(r1  r2 )

5) Jelaskan, mengapa fungsi N e  a r1 e  a r2 (r1  r2) tidak boleh digunakan sebagai fungsi
variasi untuk helium ground state ?
6) Jika elektron mempunyai nilai spin = nol, bagaimana fungsi gelombang order nol untuk
ground state dan first excited state ? (repulsi antar elektron diabaikan)

7. Antisimetrisasi operator A didefinisikan sebagai operator yang meng-antisimetriskan hasil

kali fungsi n buah elektron tunggal yang dikalikan dengan n !1 / 2 . Untuk n = 2, kita akan

memperoleh:
 1 f (1) g(1)
Af (1) g (2) =
2 f (2) g(2)
 
(a) untuk n = 2, nyatakan A dalam term P12
   
(b) untuk n = 3, nyatakan A dalam term P12 , P13 dan P23 .

8. Turunkan persamaan (10-53) untuk E 1 litium dari persamaan (10-52)

===000===
BAB XI
ATOM BERELEKTRON BANYAK
11. 1 Metode Hartree – Fock – Self – Consistent – Field
(Metode SCF Hartree dan Fock)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 250

Untuk hidrogen, fungsi gelombangnya secara eksak telah diketahui. Helium dan
Lithium, aproksimasi akurat terhadap fungsi gelombangnya juga telah diketahui dengan metode
variasi. Untuk atom-atom yang elektronnya lebih banyak, pendekatan terbaik untuk memperoleh
fungsi gelombangnya adalah dengan prosedur Hartree-Fock yang akan segera kita bahas.
Metode Hartree-Fock merupakan basis yang digunakan untuk sistem atom atau molekul yang
berelektron banyak. Operator Hamilton untuk atom yang mempunyai n elektron adalah:

2 n 2 n Ze' 2 n -1 n e' 2
Ĥ=  i   +   (11-1)
2m e i  1 i  1 ri i  1 ji 1 rij

dengan asumsi bahwa massa intinya relatif tak terhingga . Suku pertama (11-1) adalah jumlah
operator energi kinetik ; suku ke dua adalah jumlah operator energi potensial yang timbul dari
atraksi masing-masing elektron terhadap inti yang bermuatan Ze'; (untuk atom netral, Z = n).
Suku terakhir adalah jumlah operator energi potensial yang timbul dari repulsi antar elektron.
11.1.1 Metode Hartree SCF
Karena adanya suku repulsi antar atom e'2/rij, akibatnya tidak mungkin dilakukan
pemisahan variabel terhadap persamaan Schrodinger bagi sistem berelektron banyak. Jika untuk
sementara suku terakhir itu diabaikan maka (11-1) menjadi:

2 n 2 n Ze' 2
Ĥ=  i  
2m e i  1 i  1 ri

dan itu merupakan Hamiltonian untuk n buah atom mirip hidrogen, dan dengan demikian fungsi
gelombangnya dapat kita peroleh. Fungsi gelombang yang kita peroleh itu disebut fungsi
gelombang sistem berelektron banyak order nol. Jadi fungsi gelombang order nol adalah
kelipatan n kali fungsi gelombang mirip hidrogen:

(0) = f1 (r1 ; 1 ; 1) f2 (r2 ; 2 ; 2) f3 (r3 ; 3 ; 3) . . . . . f n (rn ;  n ; n)(11-2)


dengan fungsi untuk hidrogennya adalah:

f = Rnl (r)  m (, )  (11-3)

Untuk kondisi ground state kita akan mengisi masing-masing orbital dengan 2 elektron yang
spin-nya berlawanan untuk memperoleh orbital dengan energi terendah sesuai dengan prinsip
Bab I/Pers. Schrodinger/ 251

eksklusi Pauli. Tahap berikutnya kita menggunakan fungsi variasi yang sama dengan (11-2)
tetapi tidak dibatasi untuk atom hidrogen. Untuk itu fungsi variasi yang digunakan adalah:
 = g1 (r1 ; 1 ; 1) g2 (r2 ; 2 ; 2) g3 (r3 ; 3 ; 3) . . . . . g n (rn ;  n ; n) (11-4)
dan kita harus menentukan g1 , g2 . . . . . gn , yang jauh lebih sukar dari pada kalkulasi fungsi
variasi yang pernah kita lakukan pada bab VIII. Dalam (11-4) kita harus memvariasi fungsi gi .
[Setelah kita memperoleh aproksimasi terbaik yang mungkin bagi gi , ternyata persamaan (11-4)
masih hanya merupakan fungsi aproksimasi. Perlu diingat bahwa tidak mungkin melakukan
pemisahan variabel terhadap persamaan Schrodinger sistem berelektron banyak, sehingga fungsi
gelombang yang sesungguhnya tidak dapat dinyatakan sebagai hasil kali n fungsi gelombang
sistem elektron tunggal ].

Kita aproksimasikan bahwa fungsi terbaik yang mungkin adalah hasil kali fungsi radial dan
faktor spherical harmonic:
m
gi = hi (ri )   i (, ) (11-5)
i

m m
dengan hi (ri ) adalah fungsi radial (lihat bab VI) dan   i (, ) adalah = T i .  (m) Prosedur
i i

kalkulasi gi, diperkenalkan oleh Douglas Hartree pada th 1928 dan disebut metode Hartree self-
consistent-field (SCF). Hartree menggunakan argumen fisika intuitif untuk sampai pada
prosedur SCF. Pembuktian terhadap prosedur SCF dilakukan oleh Slater dan Fock pada tahun
1930. Langkah-langkah prosedur Hartree adalah sebagai berikut. Pertama kita membuat
permisalan :

 = s1 (r1 ; 1 ; 1) s2 (r2 ; 2 ; 2) s3 (r3 ; 3 ; 3) . . . . . s n (rn ;  n ; n) (11-6)


dengan si adalah fungsi radial ternormalisasi dikalikan dengan spherical harmonik. Untuk fungsi
(11-6) probabilitas kerapatan (densitas) elektron i adalah si2. Sekarang kita memusatkan
perhatian kepada elektron 1 dan memandang elektron 2, 3, . . . n sebagai distribusi muatan
elektrostatik yang dilalui oleh perpindahan elektron 1. Energi potensial yang ditimbulkan oleh
muatan Q1 dan Q2 adalah V12 = Q1Q2/4o r12 = Q1' Q2'/ r12. Sekarang kita nyatakan segmen dQ2
dalam hubungan dQ2 = 2 dv2 dengan 2 adalah distribusi kerapatan muatan 2 per unit volume.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 252

Dengan demikian maka: Q2 =   2 dv 2 dan potensial yang ditimbulkan oleh Q1 dan Q2 dapat
ditulis:

Q1 2
4 o  r12
V12 = dv 2 

Untuk elektron 2 (dengan muatan e), rapat muatan 2 adalah = es22, dan elektron ke 1 , Q1
= e, maka:
2
s2
V12 = e' 2  r12
dv 2 

dengan e' 2 = e2/40 . Dengan demikian maka:


2 2 2
s3 s4 sn
V13 = e' 2  r13
dv 3 ; V14 = e' 2  r14
dv 4 ; . . . .V1n = e' 2  r1n
dv n

Jika energi potensial yang ditimbulkan oleh elektron 1 dengan elektron-elektron yang lain
dijumlahkan, diperoleh:
2
n sj
V12 + V13 + V14 + . . . . + V1n =   e' 2
r1 j
dv j
j 2

Jika energi potensial elektron 1 dengan elektron lain digabungkan dengan energi potensial yang
ditimbulkan oleh elektron 1 dengan inti, maka diperoleh V1, yaitu:
2
n sj Ze' 2
V1 (r1 , 1, 1 ) =   e' 2
r1 j
dv j 
r1
(11-7)
j 2

Sekarang kita membuat aproksimasi lebih lanjut di bawah asumsi bahwa fungsi gelombang
terjadi karena hasil kali fungsi elektron tunggal. Kita juga mengasumsikan bahwa potensial
efektif yang bekerja pada sebuah elektron dapat diaproksimasikan sebagai fungsi r saja.
Aproksimasi medan sentral ( bahwa V hanya merupakan fungsi r) ini dapat dibuktikan
keakuratannya. Selanjutnya kita merata-rata V1 (r1 , 1, 1) ke seluruh batas sudut  ( 0 s/d )
dan seluruh  (0 s/d 2) agar dengan demikian, maka energi potensial hanya bergantung pada
jari-jari r1.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 253

2 

  V1 (r1 , 1 , 1 ) sin 1 d1 d1


V1 (r1 ) = 0 0 (11-7)
2 

  sin  d d
0 0

Sekarang kita menggunakan V1 (r1) sebagai energi potensial dalam persamaan Schrodinger
untuk sistem sebuah elektron,

 2 
 12  V1 (r1 ) t 1 (1)  1 t 1 (1) (11-9)
 2m e 

dan menyelesaikan t1(1), yang dipandang sebagai orbital bagi elektron 1. Dalam (11-9), 1

adalah energi orbital dari elektron 1. Karena energi potensial dalam (11-9) adalah spherically
symmetric, maka faktor momentum angular dalam t1(1) pasti spherical harmonic yang

melibatkan  1 dan m1. Faktor radial dalam t1 yaitu R(r1) adalah solusi persamaan Schrodinger

satu dimensi yang sudah kita kenal pada bab VI yaitu solusi persamaan (1-14 bab VI). Analog
dengan penyelesaian (1-14) pada bab VI tersebut, maka di sini kita dapat memperoleh fungsi
gelombang atau orbital 1s , 2s , 2p dan seterusnya untuk elektron 1. Namun, karena V(r1) bukan

merupakan potensial Coulomb yang sederhana, maka akibatnya fungsi radial R(r1) tentu tidak

sama dengan fungsi radial pada atom mirip hidrogen.

Sekarang kita ganti memperhatikan elektron 2 dan kita anggap ia melintas di atas awan
muatan yang densitasnya:

e{t1 (1)2 + s3(3)2 + s4(4)2 + . . . + sn(n)2 }

Kita hitung energi potensial efektif V2(r2) dan kita selesaikan persamaan Schrodinger sistem

elektron tunggal untuk elektron 2 sehingga kita peroleh orbital (fungsi) t2 (2) dan energi

elektron2 yaitu 2. Kita lanjutkan proses seperti ini sampai elektron ke n. Dengan cara seperti

ini maka kita memperoleh himpunan orbital dari masing-masing elektron dalam atom yang
disebut fungsi gelombang Hartree Self-Consistent-Filed. (Tidak dibahas secara detail)

Penentuan energi atom dengan pendekatan Hartree SCF .


Bab I/Pers. Schrodinger/ 254

Kita telah bicarakan bahwa jika ada n elektron dalam atom maka energi elektron tersebut
berturut-turut adalah 1, 2 . . . . . n. Apakah dengan demikian berarti energi atom tersebut

adalah 1+ 2 +. . . . . + n ? Ternyata salah. Mengapa ? Ketika kita menghitung 1, kita

menyelesaikan persamaan Schrodinger untuk sebuah elektron (11-9). Energi potensial dalam
(11-9) tersebut melibatkan repulsi antara elektron 1 dengan elektron 2, elektron 1 dengan
elektron 3, elektron 1 dengan elektron 4 . . . . dan elektron 1 dengan elektron n. Ketika kita
menghitung 2, kita juga melibatkan repulsi antara elektron 2 dengan elektron 1, elektron 2

dengan elektron 3, elektron 2 dengan elektron 4 . . . . dan elektron 2 dengan elektron n, begitu
seterusnya. Jika energi atom kita perhitungkan secara langsung dengan menjumlah 1+ 2 +. . . .

. + n atau i i , maka itu berarti gaya repulsi diperhitungkan dua kali. Untuk itu pada

perhitungan energi atom, nilai i i harus dikoreksi sebagai berikut:

2 2
n n 1 n e' 2 g i (i) g j ( j)
E=  i      rij
dv i dV j
i 1 i 1 ji 1

atau:

E=   i   J ij (11-10)
i i ji

suku pengurang pada (11-10) di atas disebut faktor koreksi yang merupakan harga rata-rata dari
repulsi elektron dalam orbital Hartree (11-4) dimana repulsi rata-rata elektron dalam orbital
Hartree (10-4) dikurangkan pada total energi orbital, dan Jij adalah integral Coulomb yang
sudah kita kenal pada persamaan (9.7-100).
Sebagai contoh, untuk atom berilium yang terdiri atas 4 elektron:
elektron 1 berada pada orbital 1s
elektron 2 berada pada orbital 1s
elektron 3 berada pada orbital 2s
elektron 4 berada pada orbital 2s
Maka:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 255

2 2
4 3 4 e' 2 g i (i) g j ( j)
E=   i     rij
d i d j
i 1 i 1 j 2

2 2
3 4 e' 2 g i (i) g j ( j)
Faktor koreksinya saja yaitu    rij
d i d j kita sebut B, maka:
i 1 j 2

3  2 2 2 2
 e '2 g i ( i ) g 2 ( 2) e'2 g i (i) g 3 (3)
B=    ri2
di d2   ri3
d i d 3
i 1 

e'2 gi (i)
2
g 4 (4)
2 
+  di d4 
ri4 

3 2 2 3 2 2
e'2 g i (i) g 2 ( 2) e'2 g i (i) g 3 (3)
=   ri2
d i d  2    ri3
di d3
i 1 i 1

3 2 2
e'2 g i (i) g 4 (4)
+   ri4
di d4
i 1

= B1 + B2 + B3
2 2 2 2 2 2
e'2 g1(1) g 2 (2) e ' 2 g 2 ( 2) g 2 ( 2) e'2 g 3 (3) g 2 ( 2)
B1 =
 r12
d1 d2 +
 r22
d2 d2 +  r32
d3 d2

2 2 2 2 2 2
e'2 g1(1) g 3 (3) e ' 2 g 2 ( 2) g 3 (3) e'2 g 3 (3) g 3 (3)
B2 =
 r13
d1 d3 +  r23
d  2 d 3 +  r33
d3 d3

2 2 2 2 2 2
e'2 g1(1) g 4 ( 4) e ' 2 g 2 ( 2) g 4 ( 4) e'2 g 3 (3) g 4 (4)
B3 =  r14
d1 d4 +  r24
d2 d4 +  r34
d3 d4

Perlu diketahui bahwa:


g1(1) adalah orbital dari elektron 1, jadi orbital 1s

g2(2) adalah orbital dari elektron 2, jadi orbital 1s

g3(3) adalah orbital dari elektron 3, jadi orbital 2s

g4(4) adalah orbital dari elektron 4, jadi orbital 2s

Dengan mengetahui fungsi gelombang 1s dan 2s maka faktor koreksi repulsi B dapat dihitung,
dan dengan demikian, maka E berilium dapat dihitung.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 256

Himpunan orbital dengan n = 1 disebut shell K, n = 2 disebut L, n = 3 disebut M dan


seterusnya. Orbital yang n dan  nya tertentu disebut subshell. Misal subshell 3s berarti n = 3
dan  = 0, sub shell 3p berarti n = 3 dan  = 1, dan seterusnya.

Probabilitas Kerapatan Elektron


Jika sebuah sub shell terdiri atas himpunan orbital yang mempunyai fungsi gelombang gi seperti

tersebut pada persamaan (11-5), maka probabilitas kerapatan elektron pada sub shell itu jika
terisi penuh adalah :
  2
2  g i2 = 2  h (n , ) (r ).
mi
i
(, )
m   m

 2
= 2 h(n,  )(r)2  mi
 (, ) (11-11)
i
m

Munculnya faktor 2 adalah dari sepasang elektron pada masing-masing orbital. Menurut
 2
teorema addisi spherical-harmonic (Baca Merzbacher, sub bab 9.7) nilai  
mi
i
(, ) pada
m

persamaan (11-11) adalah (2  +1)/4. Sehingga jumlah probabilitas kerapatan elektron adalah :

2
h(n,  )(r) .{ (2  +1)/2} (11-11a)

Catatan:
Untuk subshell setengah penuh, maka faktor 2 pada (11-11) ditiadakan sehingga jumlah
probabilitas kerapatan elektron menjadi:
2
h(n,  )(r) .{ (2  +1)/4} (11-11b)

Metode Hartree-Fock SCF


Jika diperhatikan secara cermat, ternyata terdapat kesalahan mendasar terhadap fungsi
gelombang Hartree (11-4). Meskipun kita telah memenuhi atensi terhadap spin dan eksklusi
Pauli dengan cara memasukkan elektron tidak lebih dari dua untuk tiap-tiap orbitalnya, namun
aproksimasi fungsi gelombang yang kita bicarakan tersebut masih belum memperhitungkan
Bab I/Pers. Schrodinger/ 257

product (hasil kali) dari kombinasi linear anti simetrik dari orbital spin. Untuk mengatasi
kesalahan ini, maka kita harus menggunakan orbital spin dan memperhitungkan product (hasil
kali) dari kombinasi linear anti simetrik dari orbital spin tersebut. Koreksi ini dilakukan oleh
Fock (dan oleh Slater) pada tahun 1930 dan kalkulasi SCF yang menggunakan orbital spin anti
simetric disebut metode Hartree-Fock SCF.
Persamaan differensial untuk memperoleh orbital Hartree-Fock mempunyai bentuk
umum yang sama dengan bentuk (11-9):

^
F ui = i ui (11-12)

^
dengan ui adalah orbital spin ke-i, operator F adalah operator Fock yang pada hakekatnya

adalah Hamiltonian Hartree-Fock dan nilai eigen i adalah energi orbital spin i. Jika

dibandingkan dengan Hamiltonian Hartree efektif yaitu suku-suku dalam kurung pada (11-9),
^
ternyata operator Hartree-Fock F mempunyai suku ekstra. Ekspresi Hartree-Fock untuk energi
total atom melibatkan pertukaran integral Kij selain integral Coulomb Jik yang terdapat pada

ekspresi Hartree (11-10). (Lihat Sub Bab 13.16).


Energi orbital ei dalam persamaan Hartree-Fock (11-12) dapat dipandang sebagai aproksimasi

yang cukup bagus bagi harga negatif dari energi yang dibutuhkan untuk meng-ionisasi subshell
terdekat dari sebuah atom dengan cara melepas elektron dari orbital spin i (Teorema Koopman,
sub bab 15.6).
Secara original, kalkulasi Hartree-Fock untuk sebuah atom, dilakukan dengan
menggunakan integrasi numerik untuk menyelesaikan persamaan differensial (11-12) dan
orbital-orbital yang dihasilkan dinyatakan dalam tabel fungsi radial untuk berbagai nilai r. Pada
tahun 1951, Roothaan mengusulkan untuk menyatakan orbital Hartree-Fock sebagai kombinasi
linear dari himpunan lengkap fungsi yang sudah diketahui ( dan disebut fungsi basis) . Jadi
misal untuk lithium, orbital Hartree-Fock untuk 1s dan 2s dapat kita tulis:

f=  bi i g=  ci i (11-13)
i i
Bab I/Pers. Schrodinger/ 258

dengan i ( dibaca chi i ) adalah beberapa himpunan lengkap sedang bi dan ci adalah koefisien

ekspansi yang diperoleh melalui prosedur SCF. Karena fungsi i merupakan lengkap, maka

ekspansinya adalah valid. Prosedur ekspansi Roothaan memungkinkan kita untuk memperoleh
fungsi gelombang Hartree-Fock dengan menggunakan aljabar matrik (untuk detailnya lihat sub
bab 13.16). Prosedur Roothaan merupakan prosedur yang dapat dilakukan secara komputerized
dan merupakan metode yang kini digunakan untuk memperoleh fungsi gelombang Hartree-
Fock.
Fungsi basis yang biasa digunakan untuk kalkulasi atom Hartree-Fock adalah himpunan
dari Slater Type Orbital (STO) yang bentuk ternormalisasinya adalah :

 2 / a  n  / 2
1
r
r n1 . e / a .  m (11-14)
1
2n !  / 2
dengan  m = Tm .  (m).

Parameter  disebut eksponen orbital yang harganya adalah:


 = ( Z – sn  ) / n (11-15)

dengan Z = nomor atom, n = bilangan kuantum utama sedang sn  disebut tetapan screening

(seleksi) yang dihitung dengan menggunakan aturan Slater ( Ira N. Levine, 1991, Quantum
Chemistry, Edisi ke empat, Prentice Hall Inc, New Jersey, Halaman 544 )

11. 2 Orbital dan Tabel Periodik


Konsep orbital dan prinsip eksklusi Pauli memungkinkan kita untuk memahami tabel
periodik unsur. Orbital 1s adalah fungsi gelombang elektron tunggal. Kita telah pula
menggunakan orbital untuk menyatakan aproksimasi bagi fungsi gelombang atom elektron
banyak, menulis fungsi gelombang sebagai determinan Slater dari orbital spin elektron tunggal.
Dalam aproksimasi yang paling kasar, kita mengabaikan semua repulsi antar elektron dan
menyatakannya dalam bentuk orbital mirip hidrogen. Kita membangun tabel periodik dengan
mengisikan elektron-elektron ke dalam orbital-orbital, yang masing-masing orbital maksimum
berisi dua elektron dengan spin berlawanan. Gambar 11-1 menunjukkan energi orbital dari atom
Bab I/Pers. Schrodinger/ 259

netral dalam keadaan ground state yang dikalkulasi dengan metode Thomas-Fermi-Dirac yang
menggunakan ide mekanika statistik untuk memperoleh aproksimasi fungsi gelombang. Energi
orbital atom (energi AO) Gb. 11-2 umumnya sesuai dengan energi menurut Hartree-Fock
maupun energi hasil eksperimen (J. C. Slater, 1998)
Dari gambar 11-1 tampak bahwa energi suatu orbital menurun seiring dengan naiknya Z.
Ini berarti energi orbital 1s untuk H lebih besar dari pada energi 1s-nya He. Penurunan energi ini
terjadi karena meningkatnya tarikan inti terhadap elektron.
Untuk Z > 1, ternyata orbital dengan n sama tetapi  nya berbeda mempunyai energi
berbeda, yaitu, misal untuk n = 3, ternyata:
E3s < E3p < E3d Z>1
Splitting energi level ini, (yang untuk hidrogen adalah degenerate) muncul karena adanya
repulsi antar elektron. (Ingat aplikasi teori perturbasi untuk He pada sub bab 9. 7 ) .
Posisi relatif orbital tertentu berubah seiring dengan perubahan Z. Untuk atom H letak
orbital 3d adalah di bawah 4s, tetapi untuk Z dari 7 sampai 20, orbital 4s di bawah 3d. Untuk Z
yang lebih besar lagi energi 3d menjadi lebih rendah lagi.. Sebagai contoh kita lihat Z = 19,
energi 4s < 3d, sehingga konfigurasi 19K ground state adalah 1s22s22p63s23p64s1. Ingat bahwa
orbital s mempunyai penetrasi yang lebih besar dari pada orbital p atau d ; ini memungkinkan
orbital 4s terletak pada posisi lebih rendah dari pada 3d untuk beberapa harga Z tertentu. Perlu
dicatat bahwa penurunan secara tiba-tiba (sudden drop) dari energi 3d dimulai pada Z = 21.

Mengingat 3d terletak di bawah 4s untuk Z > 20, tentunya orang menjadi heran,
mengapa konfigurasi ground state dari, katakan saja 23V yaitu . . . . . 3d34s2, lebih mungkin dari
pada 3d5. Penjelasan untuk hal ini adalah sebagai berikut:
Adalah benar bahwa konfigurasi 3d5 mempunyai jumlah energi orbital lebih rendah dari pada
3d34s2, namun sebagaimana ditunjukkan dalam persamaan (11-10) dalam metode Hartree dan
juga akan dapat kita lihat pada sub-bab 13. 6 untuk metode Hartree-Fock, bahwa energi atom
adalah bukan sekedar jumlah dari energi orbital masing-masing elektronnya. Meskipun Jumlah
energi orbital 3d5 lebih rendah, namun level terendah dari konfigurasi 3d5 masih lebih tinggi
dari pada level terendah 3d34s2.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 260

Gambar 11-2 menunjukkan bahwa pemisahan antara orbital ns dan np adalah jauh lebih
sempit dari pada antara np dengan nd, hal ini menghasilkan bahwa ns2np6 menjadi konfigurasi
oktet yang sangat stabil. (atau ns2np6 sangat stabil karena jarak energi nd sangat jauh dari np
sehingga elektron dari np tidak mudah bertransisi ke nd)
Konsep orbital merupakan konsep dasar dalam diskusi kualitatif mengenai sifat kimia atom dan
molekul. Betapapun, harus diingat bahwa penggunaan konsep orbital adalah suatu model aproksimasi;
untuk sampai pada fungsi gelombang yang sesungguhnya, kita harus menyelesaikan determinan Slater
dari orbital spin.

11.3 Korelasi Elektron
Energi yang dihitung dengan metode Hartree-Fock mempunyai error sekitar ½ % sampai
1 % . Secara absolut, kesalahan ini memang tidak besar, tetapi bagi para chemist, kesalahan
sekian itu dianggap terlalu besar. Sebagai contoh energi total atom karbon adalah sekitar 1000
eV, dan ½ % dari nilai ini adalah 5 eV. Kesalahan 5 eV dari 1000 eV ini, dirasa sangat besar
bagi para chemist karena kesalahan ini sama besarnya dengan nilai energi ikatan tunggal yang
besarnya juga 5 eV. Jika energi ikatan diperoleh dari selisih antara energi molekul dengan
energi atom-atom penyusunnya, maka kesalahan beberapa eV dari masing-masing atom tentu
akan menimbulkan kesalahan yang tidak kecil. Kita harus mencari cara untuk memperbaiki
energi dan fungsi gelombang Hartree-Fock. ( bahasan kita ini akan lebih applikabel untuk
molekul dari pada untuk atom).

Perhitungan besarnya interaksi antar elektron dalam fungsi gelombang Hartree-Fock SCF, hanya
dilihat dari nilai rata-ratanya, artinya metode ini menganggap bahwa setiap elektron
menimbulkan efek interaksi yang sama besarnya setiap saat. Padahal sesungguhnya tidak
demikian. Sebagai contoh, dalam helium, jika salah satu elektron pada suatu saat berada pada
posisi dekat dengan inti maka elektron secara ke-energian memberi sumbangan yang lebih
dibandingkan dengan elektron yang kedua yang pada saat itu berada pada jarak yang lebih jauh
dari inti. Gerakan elektron mengelilingi inti saling berhubungan antara satu dengan yang lain
dan ini disebut korelasi elektron , artinya jika pada saat tertentu elektron yang satu berada pada
posisi tertentu, maka elektron lain berada pada posisi tertentu yang lain. Kita harus memperoleh
jalan, untuk memasukkan korelasi elektron pada saat tertentu ( instantaneous electron
correlation ) ke dalam fungsi gelombang.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 261

Sebenarnya, fungsi gelombang Hartree-Fock telah memperhitungkan faktor korelasi


elektron. Hal ini dijelaskan sebagai berikut:
Fungsi Hartree-Fock mengikuti persyaratan anti simetrik dari prinsip Pauli, artinya persamaan
(10-20) akan menjadi nol, karena itu [persamaan (10-20)], akan lenyap jika dua elektron yang
spin-nya sama mempunyai koordinat spasial ( orbital spasial) yang sama. Untuk fungsi Hartree-
Fock, hal ini berarti probabilitas untuk dua buah elektron dengan spin yang sama berada dalam
orbital yang sama adalah sangat kecil, jadi Hartree-Fock telah memperhitungkan korelasi dari
gerak elektron dengan spin yang sama. Hal ini membuat energi Hartree-Fock lebih rendah dari
pada hasil perhitungan energi Hartree. Ada orang menyebut hal ini dengan istilah Fermi hole di
sekeliling elektron dalam fungsi Hartree-Fock, yang menunjukkan sebuah daerah yang
probabilitasnya untuk mendapatkan elektron dengan spin yang sama sangat kecil..

Energi korelasi adalah selisih antara energi eksak non relativistik dengan energi Hartree-
Fock. Untuk He energi korelasi ini besarnya 1,1 eV ( sub bab 11. 1 )
Kita telah menunjukkan dua cara untuk menentukan korelasi elektron pada saat tertentu.
Metode yang pertama adalah mengenalkan jarak elektronik rij ke dalam fungsi gelombang ( sub

bab 9. 4 ). Metode ini hanya praktis untuk sistem yang elektronnya tidak banyak.
Metode yang kedua adalah interaksi konfigurasi. Telah kita jumpai pada sub bab 9. 3
dan sub bab 10. 4 bahwa fungsi gelombang order nol untuk He ground state 1s2 adalah:

1s(1)1s(2) [ (1)(2)  (2)(1) ] 2 ½


Kita berpendapat bahwa koreksi order pertama dan order lebih akan menggabungkan
konstribusi dari konfigurasi tereksitasi, yang menimbulkan Configuration Interaction ( CI ),
yang juga disebut Configuration Mixing ( CM ).
Cara yang paling lazim dilakukan dalam kalkulasi CI pada sebuah atom atau molekul
adalah dengan metode variasi. Langkahnya dimulai dengan memilih himpunan basis (basis set)
dari fungsi elektron tunggal  . Pada prinsipnya himpunan basis ini merupakan himpunan
i
lengkap, tetapi dalam praktek, orang dibatasi untuk menggunakan himpunan basis pada ukuran
tertentu saja. Orang berharap bahwa pilihan yang tepat terhadap himpunan basis akan
Bab I/Pers. Schrodinger/ 262

menghasilkan aproksimasi yang akurat bagi himpunan lengkap. Untuk kalkulasi atom, STO (
11-14) adalah pilihan yang selalu digunakan.
Orbital atom ( atau molekul) SCF i ditulis sebagai kombinasi linear dari himpunan

basis, dan persamaan Hartree-Fock ( 11-12) diselesaikan untuk memperoleh koefisien bagi
kombinasi linear ini. Banyaknya orbital atom (atau molekul ) menyatakan jumlah yang sama
bagi banyak himpunan basis yang digunakan. Orbital dengan energi terendah dinyatakan sebagai
orbital terpilih untuk ground state. Orbital yang tersisa disebut orbital virtual.
Penggunaan orbital terpilih dan orbital spin virtual menghasilkan fungsi anti simetrik
untuk atom berelektron banyak yang mempunyai beberapa kemungkinan orbital terpilih.
Sebagai contoh, untuk He, dapat dibentuk fungsi-fungsi yang berhubungan dengan konfigurasi

1s2 atau 1s12s1 atau 1s12p1 atau 2p2 atau dan lain-lain. Sementara itu, setiap konfigurasi
tertentu, dapat menghasilkan lebih dari sebuah fungsi gelombang ; ingat bahwa konfigurasi

1s12s1 He menghasilkan fungsi gelombang (10-27) sampai dengan (10-30). Masing-masing


fungsi elektron-banyak i adalah sebuah determinan Slater atau kombinasi linear dari beberapa

determinan Slater; penggunaan lebih dari sebuah determinan Slater dikehendaki untuk fungsi
shell terbuka tertentu sebagaimana (10-44) dan (10-45). Masing-masing i disebut fungsi

konfigurasi state atau fungsi konfigurasi atau disederhanakan menjadi konfigurasi saja. ( Nama
yang terakhir itu ternyata tidak menguntungkan, karena menggiring kepada kerancuan antara

konfigurasi elektron seperti 1s2 dengan fungsi konfigurasi sebagaimana  1s 1s . )

Sebagaimana kita lihat dalam teori perturbasi, fungsi gelombang sesungguhnya dari
atom (atau molekul) mengandung konstribusi dari konfigurasi lain, selain kontribusi dari
konfigurasi utama yang dimasukkan ke dalam . Dengan alasan ini maka kita menyatakan 
sebagai kombinasi linear dari fungsi konfigurasi i.

 i ci i (11-16)

Kemudian kita memandang (11-16) sebagai fungsi variasi linear ( sub bab 8. 2). Variasi dari
koefisien ci dalam rangka meminimalkan integral variasional membawa kita kepada persamaan

determinantal:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 263

det ( Hij  E Sij ) = 0 (11-17)

[ Hanya fungsi konfigurasi yang nilai eigen momentum angularnya sama dengan state  saja
yang memberi konstribusi pada ekspansi (11.16) ; lihat nanti pada sub bab 11. 5.
 Karena fungsi konfigurasi elektron-banyak i dilandasi oleh himpunan basis elektron

tunggal yang bersifat himpunan lengkap, maka himpunan dari seluruh kemungkinan fungsi
konfigurasi adalah himpunan lengkap untuk problema elektron banyak. Sembarang fungsi anti
simetrik elektron banyak ( termasuk fungsi gelombang eksaknya ) dapat dinyatakan sebagai
kombinasi linear dari fungsi i[Pembuktian untuk ini, lihat P.O. Lowdin, Adv. Chem. Phys.,

2, 207, (1959) . ; halaman 260-261 ]. Oleh karena itu, jika kita melakukan kalkulasi CI dengan
cara berangkat dari himpunan basis elektron-tunggal lengkap dan melibatkan semua fungsi
konfigurasi yang mungkin, maka kalkulasi CI ini akan menghasilkan fungsi gelombang eksak 
untuk atom (molekul ) pada state yang ditentukan. Dalam praktek, kita dibatasi oleh berbagai
keterbatasan, yaitu tidak mungkin untuk menggunakan himpunan basis lengkap dalam ekspansi
tak terhingga, artinya orang hanya dapat menggunakan himpunan basis tak lengkap dengan
ekspansi sampai suku tertentu saja. Alasan lain mengapa kerja praktek tidak sepenuhnya sesuai
dengan prinsip adalah, kalaupun kita dapat membuat himpunan basis lengkap sesuai prinsip,
pada akhirnya kita tidak akan mengambil semua kemungkinan fungsi konfigurasi karena jumlah
fungsi konfigurasi yang mungkin adalah terlalu banyak. Unsur " seni " dalam metode CI justru
terletak pada kemampuan dalam memilih konfigurasi yang diharapkan memberikan konstribusi
terbesar. Atas dasar ini, maka menggunakan terlalu banyak fungsi konfigurasi dalam rangka
memperoleh fungsi gelombang yang akurat, mengakibatkan kalkulasi interaksi konfigurasi
untuk sistem yang terdiri atas beberapa elektron akan menjadi sangat rumit.

Jadi, dalam mengerjakan kalkulasi CI, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:


pertama, kita pilih saja himpunan basis elektron tunggal  , kedua menyelesaikan persamaan
i
Hartree-Fock (11-12) untuk menentukan orbital atom ( atau molekul) elektron-tunggal i

sebagai kombinasi linear dari himpunan basis, ketiga membentuk fungsi konfigurasi elektron
banyak i, keempat menyatakan fungsi gelombang  sebagai kombinasi linear dari fungsi
Bab I/Pers. Schrodinger/ 264

konfigurasi tadi, dan akhirnya menyelesaikan persamaan linear simultan untuk menentukan ci

dalam (11-16).
Sebagai contoh, perhatikan Be ground state. Metode Hartree-Fock SCF akan

mendapatkan bentuk terbaik untuk orbital 1s dan 2s dalam determinan Slater 1s 1s 2s 2s  dan
menggunakan ini untuk fungsi gelombang ground state. [ kita menggunakan notasi (10-47) ].
Lalu kita akan libatkan konstribusi dari fungsi konfigurasi tereksitasi ( sebagai contoh

1s 1s 3s 3s  ) dalam fungsi variasi linear untuk Ground state. Bunge melakukan kalkulasi CI
untuk Be ground state dengan menggunakan kombinasi linear 650 buah fungsi konfigurasi. ( C.

F. Bunge, 2003). Energi Hartree-Fock = 14,5730 (e'2/a), sedang kalkulasi Bunge dengan CI

menghasilkan – 14,6669(e'2/a). Energi non relativistik eksaknya adalah 14,6674 (e'2/a).

11.4 Momentum Angular Gabungan


Untuk atom elektron-banyak, operator masing-masing momenta angular elektron adalah
tidak commute dengan operator Hamilton, tetapan gabungannya commute. Hingga kita perlu
mempelajari bagaimana menggabungkan momenta angular.
Kita misalkan ada sebuah sistem, yang kepadanya bekerja dua buah vektor momentum
angular yaitu M1 dan M2. Keduanya itu bisa vektor momentum angular orbital dari dua

elektron dalam atom ( M tersebut adalah L, tetapi juga bisa merupakan momentum angular spin
dari dua buah elektron dalam atom ( M tersebut adalah S ). Kita misalkan bilangan kuantum

momentum angularnya adalah j1 dan j2 sehingga nilai eigen M12 = j1 (j1 + 1)  2 dan M22 = j2

(j2 + 1)  2.

Selanjutnya kita misalkan bilangan kuantum magnetiknya adalah m1 dan m2 sehingga

nilai eigen untuk Mz1 = m1  dan Mz2 = m2  . Dengan mengacu sifat commutatif pada bab V ,

maka dapat dinyatakan :


[ Mx1 , My1] = i  Mz1 dst (11-18)

[ Mx2 , My2] = i  Mz2 dst (11-18)

Kita definisikan bahwa M adalah momentum angular total, jadi:


Bab I/Pers. Schrodinger/ 265

M = M1 + M2 (11-20)

M dengan ketiga komponennya adalah:


M = Mx i + My j + Mz k (11-21)
Persamaan vektor (11-20) menghasilkan tiga buah persamaan skalar:
Mx = Mx1 + Mx2 , My = My1 + My2 , Mz = Mz1 + Mz2 (11-22)

Untuk operator M2, kita dapat turunkan:

M2 = M . M = Mx2 + My2 + Mz2 (11-23)


dan:

M2 = M . M = (M1+ M2 )2 . (M1+ M2 )2

atau:

M2 = M12+ M22 + M1. M2 + M2. M1 (11-24)

Jika M1dan M2 merujuk elektron berbeda, mereka akan saling commute karena masing-masing

hanya akan berpengaruh kepada fungsi koordinat salah satu elektron dan tidak kepada yang lain.
Jika M1 dan M2 adalah momentum angular orbital dan spin dari sebuah elektron maka mereka

juga commute karena yang satu hanya berpengaruh pada fungsi koordinat spasial sedang yang
lain hanya berpengaruh pada fungsi spin. Jadi (11-24) menjadi:

M2 = M12+ M22 + 2M1. M2 (11-25)

atau:

M2 = M12+ M22 + 2 (Mx1Mx2 + My1My2 + Mz1Mz2 (11-26)

Sekarang kita akan menunjukkan bahwa komponen momentum angular total, mengikuti
lazimnya relasi commutasi momentum angular. Kita tahu menurut persamaan (1-4 bab V) :
[ Mx , My ] = [ Mx1 + Mx2 , My1 + My2 ]

= [ Mx1 , My1 + My2 ] + [Mx2 , My1 + My2 ]

= [ Mx1 , My1 ] + [Mx1 , My2 ] + [Mx2 , My1 ] +[ Mx2 , My2 ]

Karena semua komponen M1 commute dengan komponen M2, maka :

[ Mx , My ] = [ Mx1 , My1 ]+[ Mx2 , My2 ]


Bab I/Pers. Schrodinger/ 266

= i  Mz1 + i  Mz2 = i  (Mz1+ Mz2 )

atau:
[ Mx , My ] = i  Mz (11-27 )
Permutasi siklik x, y dan z menghasilkan:
[ My , Mz ] = i  Mx ; [ Mz , Mx ] = i  My (11-28)
Analog dengan (2-12 bab V), maka dapat ditulis:

[ M2, Mx ] = [ M2, My ] = [ M2, Mz ] = 0 (11-29)


Uraian di atas bertujuan untuk menyatakan bahwa sifat momentum angular total M adalah
analog dengan sifat momentum angular orbital L maupun momentum angular spin S. Jadi, jika
kita anggap bahwa momentum angular total M berkorelasi dengan bilangan kuantum

momentum angular J maka nilai eigen dari operator M2 adalah :

M2 = J ( J + 1 )  2 J = 0, ½ , 1, 1½ , 2, . . . . (11-30)
dan jika bilangan kuantum magnetik gabungan kita sebut mj maka nilai eigen operator Mz
adalah:
Mz = mj  mj =  J, (J + 1) . . . . . . + J (11-31)
Sekarang kita ingin mencari, bagaimana hubungan antara bilangan kuantum J dengan
bilangan kuantum j1 dan j2 dan hubungan antara bilangan kuantum magnetik gabungan mj

dengan m1 dan m2. bertolak dari dua momenta angular yang digabungkan pada (11-20). Kita

juga ingin menentukan fungsi eigen dari operator M2 dan operator Mz. Fungsi eigen ini pasti
ditentukan oleh bilangan kuantum J dan mj. Dan dalam notasi ket fungsi eigen fungsi eigen
yang ditentukan oleh bilangan kuantum J dan mj ditulis J mj > . Fungsi eigen untuk operator

M12 dan Mz1 yang bilangan kuantumnya j1 dan m1, dalam notasi ket ditulis j1m1>. Sedang

fungsi eigen untuk operator M22 dan Mz2 yang bilangan kuantumnya j2 dan m2, dalam notasi

ket ditulis j2m2>.

(Catatan: Notasi ket adalah notasi yang lazim digunakan untuk menyatakan fungsi
eigen dengan cara menuliskan bilangan kuantum penentunya. Sebagai contoh,
Bab I/Pers. Schrodinger/ 267

fungsi gelombang Hidrogen yang ditentukan oleh bilangan kuantum n,  , m, dalam


notasi ket ditulis : n,  ,m = n  m > }
Dengan mudah dapat dibuktikan bahwa :

[Mx , M12] = [My , M12] = [Mz' M12 ] = 0 (11-32a)

dan kita juga dapat membuktikan :

[Mx , M22] = [My , M22] = [Mz' M22 ] = 0 (11-32b)

Dengan bukti di atas maka kita dapat yakin bahwa kita dapat mempunyai sebuah fungsi eigen

simultan bagi ke empat operator M12 , M22 , M2 dan Mz fungsi eigen J mj > dapat ditulis

secara lebih lengkap sebagai j1 j2 J m j > . Namun, kita dapat buktikan bahwa operator M2

tidak commute dengan operator Mz1 dan Mz2 , jadi fungsi j1 j2 J m j > bukan merupakan

fungsi eigen bagi Mz1 dan Mz2.

Seandainya kita mengambil himpunan lengkap fungsi j1 m1 > untuk partikel 1 dan

himpunan lengkap fungsi j2 m2 > untuk partikel 2 dan membentuk semua kemungkinan hasil

kali j1 m1 > j2 m2 > , maka kita akan mempunyai himpunan lengkap fungsi untuk dua buah

partikel. Masing-masing fungsi eigen (yang masih tak diketahui) j1 j2 J m j > dapat diekspansi

menggunakan himpunan lengkap ini:


j1 j2 J m j > =  c { j1 j2 J m j ; m1 m2 )j1 m1 > j2 m 2 > (11-33)

dengan koefisien ekspansi adalah c (j1 . . . . . . m2 ). [ Tentang bentuk (11-33) dapat dilihat pada

: Ira N Levine, Quantum Chemistry, New Jersey, 1991, halaman 157 – 159 ]
Fungsi j1 j2 J m j > adalah fungsi eigen dari operator commute M12, M22, M2 dan Mz dengan

nilai eigen:

M1 2 M 22 M2 Mz
j1 (j1 + 1)  2 j2 (j2 + 1)  2 J (J + 1)  2 mj 
Bab I/Pers. Schrodinger/ 268

Fungsi j1 m1>j 2m 2 > adalah fungsi eigen dari operator commute M12, Mz1, M22 dan Mz2

dengan nilai eigen:


M1 2 Mz1 M2 2 Mz2
j1 (j1 + 1)  2 m2  j2 (j2 + 1) m2 
2

Karena fungsi j1 j2 J m j > yang diekspansikan dalam (11-33) adalah fungsi eigen dari operator

M12 dengan nilai eigen j1 ( j1 + 1)  2 , berarti dalam penjumlahan itu kita hanya melibatkan

suku-suku yang mempunyai nilai j1 yang sama sebagaimana dalam fungsi j1 j2 J m j > (Lihat

teorema 3 pada akhir sub bab 7. 3). Dengan alasan sama, hanya suku-suku dengan nilai j2 sama

sebagaimana dalam j1 j2 J m j > saja yang dilibatkan dalam penjumlahan. Dengan demikian,

penjumlahan hanya terjadi pada m1 dan m2 saja. Selanjutnya dengan menggunakan Mz = Mz1

+ Mz2, maka:

mj = m1 + m2 (11-34)

Jadi masing-masing fungsi eigen momentum angular total j1 j2 J m j > adalah kombinasi linear

dari hasil kali j1 m1>j 2 m 2 > yang nilai m nya memenuhi persamaan (11-34).

Sekarang kita memperoleh nilai yang mungkin dari bilangan kuantum momentum angular total
J yang muncul dari penggabungan bilangan kuantum angular individual yaitu j1 dan j2.

Sebelum mendiskusikan kasus secara umum, kita bahas dulu kasus j1 = 1 dan j2 = 2.
Nilai m1 yang mungkin adalah 1 , 0 , +1 dan m2 yang mungkin adalah 2, 1, 0, +1, +2. Jika
kita mendeskripsi sistem dengan bilangan kuantum j1, j2, m1, m2, maka total banyaknya mj

adalah 15, berasal dari tiga kemungkinan harga m1 dan 5 kemungkinan harga m2. Marilah kita
tabulasi kelima belas kemungkinan mj itu:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 269

m1 = 1 0 +1

3 2 1 2 = m2

2 1 0 1


1 0 +1 0
0 +1 +2 +1
+1 +2 +3 +2
Masing-masing nilai mj dalam tabel itu adalah jumlah dari m1 dengan m2 pada baris atas dan

kolom paling kanan. banyaknya masing-masing harga mj yang terjadi adalah :

Nilai mj  2 1 0 1 2 3

Frekuensi kejadiannya 1 2 3 3 3 2 1

Nilai mj paling tinggi adalah +3. Karena rentang mj adalah dari J sampai +J, maka nilai J
tertinggi harus +3. Sehubungan dengan J = 3, tentu ada tujuh harga mj yang terletak dalam
rentang antara 3 sampai 3. Jika ke tujuh harga mj yang berhubungan dengan j = 3 itu diambil,
maka sisanya adalah:

Nilai mj 2 1 0 1 2

Frekuensi kejadiannya 1 2 2 2 1

Nilai mj tertinggi yang tersisa adalah 2, harus berasal dari J = 2. Untuk J = 2 ada 5 harga mj.
Jika kelima harga mj yang berasal dari J = 2, ini di ambil maka yang tersisa adalah:

Nilai mj 1 0 1

Frekuensi kejadiannya 3 3 3
Bab I/Pers. Schrodinger/ 270

Nilai mj yang tersisa ini berasal dari J = 1. Jadi, pada penggabungan bilangan kuantum
momentum angular j1 = 1 dan j2 = 2, maka kita simpulkan bahwa bilangan kuantum
momentum angular total (gabungan)nya adalah maksimum 3 dan minimum 1. Jmax = 3 berasal

dari 1 + 2, sedang Jmin = 1 berasal dari 12. Harga J yang mungkin adalah 3 , 2, 1.

Banyaknya state (mj) yang berasal dari J = 3 ada 7 yaitu 3, 2,1, 0, 1, 2, 3. Tujuh buah state
ini berasal dari 2x3 + 1 atau 2J +1. Banyaknya state yang berasal dari J = 2 ada lima sedang
yang berasal dari J = 1 ada tiga.
Dari uraian di atas, maka secara umum, jika dua buah momentum angular dengan
bilangan kuantum momentum angular j1 dan j2 digabungkan, maka:

Jmax = j1 + j2 (11-35a)

Harga J yang mungkin adalah:

Jmax , ( Jmax  1), Jmax  2, . . . . . . . . . . Jmin (11-35b)

Setiap harga J menghasilkan (2J + 1) harga mj yaitu : - J , . . . 0, . . . + J, maka dari semua harga
J yang mungkin , banyaknya harga mj yang dihasilkan adalah:

J max
Banyaknya state atau mj =   2J  1  (11-36)
J min

Sedang Jmin adalah:

Jmin = j1 – j2 (11-37)


Contoh 1: a) Tentukan nilai bilangan kuantum momentum angular total yang
mungkin, yang berasal dari penggabungan dua buah momenta angular
dengan bilangan kuantum : j1 = 2 dan j2 = 3/2

b) Tentukan pula banyak state yang terjadi


c) Tentukan nilai masing-masing state dan frekuensi kejadiannya.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 271

Jawab:
a) J maksimum = 7/2 ; J minimum = ½ jadi J yang mungkin = 7/2, 5/2, 3/2
dan ½
1/ 2
b) Banyaknya state =  (2J  1) = (2x7/2 +1) + (2x5/2+1) + (2x3/2+1) +
7/2

(2x1/2 +1)
= 8 + 6 + 4 + 2 = 20 state
c) Harga mj yang mungkin:
* Dari J = 7/2, maka harga mj  7/2 , 5/2, 3/2, 1/2, 1/2, 3/2, 5/2, 7/2
* Dari J = 5/2, maka harga mj  5/2, 3/2, 1/2, 1/2, 3/2, 5/2
* Dari J = 3/2, maka harga mj  3/2, 1/2, 1/2, 3/2
* Dari J = 1/2, maka harga mj  1/2, 1/2,
Jadi harga mj dan frekuensi kejadiannya adalah:

Harga mj 7/25/23/21/2 1/2  3/2  5/2  7/2 


Frekuensi   2  4  3  2  1 


Bagaimana jika ada 3 harga j digabungkan ? Misal digabungkan 3 buah j yaitu j1 = 1, j2 = 2 dan
j3 = 3.Caranya kita gabungkan dulu j1 dengan j2. Dari penggabungan ini J yang mungkin adalah
3, 2 dan 1. Lalu masing-masing J digabungkan dengan j3, sehingga J akhir yang diperoleh
adalah:

6, 5, 4, 3, 2, 1, 0 ( ini merupakan penggabungan J = 3 dengan j3 = 3)


5, 4, 3, 2, 1 ( ini merupakan penggabungan J = 2 dengan j3 = 3)
4, 3, 2 ( ini merupakan penggabungan J = 1 dengan j3 = 3)
Bab I/Pers. Schrodinger/ 272

11. 5 Momentum Angular Atom Elektron Banyak


Penggabungan Momentum angular orbital.
Total Momentum angular orbital untuk n elektron adalah jumlah vektor momenta
angular dari masing-masing elektron, jadi:
n
L=  Li (11-41)
i1

Jika total momentum angular orbital L ini ditentukan harganya oleh bilangan kuantum

momentum angular L maka hubungan antara L dan L pasti:

L2 = L ( L + 1)  2

Bilangan kuantum L juga biasa disebut bilangan kuantum angular orbital kopling, yang
merupakan penggabungan dari masing-masing bilangan kuantum angular orbital  .
Jika dalam bab VI telah kita kenal bahwa harga  berhubungan dengan orbital s, p, d, f, g . . .

dst, maka bilangan kuantum momentum angular gabungan L berhubungan dengan orbital
sebagai berikut:

L 0 1 2 3 4 5 6 7 8 (11-42)
orbital S P D F G H I K L

Contoh 2:
Tentukan nilai yang mungkin dari bilangan kuantum angular orbital kopling L, yang

muncul dari atom Karbon dengan konfigurasi 1s22s22p13d1 ? Orbital-orbital apakah yang
muncul ?
Jawab:
Elektron-elektron pada orbital s, bilangan kuantum momentum angular orbitalnya adalah
nol jadi sama sekali tak memberikan sumbangan terhadap momentum angular orbital kopling.
Sebuah elektron pada 2p mempunyai  = 1 dan sebuah elektron pada 3d mempunyai  = 2, jadi

gabungannya, L maksimal = 3 sedang L minimal = 1, maka L = 3, 2, 1. Orbital yang muncul


adalah P, D dan F.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 273

Penggabungan Momentum Angular Spin


Total Momentum angular spin S untuk n elektron adalah jumlah vektor momenta
angular spin dari masing-masing elektron, jadi:
n
S=  Si (11-43)
i1

Jika total momentum angular spin S ini ditentukan harganya oleh bilangan kuantum momentum

angular spin S maka hubungan antara S dan S pasti:

S2 = S ( S + 1)  2

Bilangan kuantum S juga biasa disebut bilangan kuantum angular spin kopling, yang
merupakan penggabungan dari masing-masing bilangan kuantum angular spin s.
Contoh 3:
Tentukan nilai yang mungkin dari bilangan kuantum angular spin kopling S, yang

muncul dari atom Karbon dengan konfigurasi 1s22s22p13d1 ?


Jawab:
Kita perhatikan dulu elektron pertama dan kedua pada 1s. Bilangan kuantum angular
spin-nya masing-masing adalah s = ½ . Berdasarkan aturan (11-39), seharusnya kita

memperoleh S maksimal = 1 dan minimal = 0, sehingga kemungkinan S = 1 dan 0. Tetapi


berdasarkan prinsip eksklusi Pauli, jika salah satu elektron mempunyai ms = ½ maka elektron

yang lain harus mempunyai ms = ½. Sehingga bilangan kuantum magnetik spin koplingnya

yaitu Ms = 0. Karena hanya ada satu kemungkinan Ms yaitu Ms = 0, maka S = 1 tidak mungkin

dan yang mungkin adalah S = 0. Jadi bilangan kuantum spin gabungan untuk dua elektron pada

orbital 1s adalah S = 0. Dengan penjelasan yang sama, maka S untuk dua elektron pada 2s juga
= 0. Sekarang kita lihat sebuah elektron pada 2p dan sebuah elektron pada 3d, yang masing-

masing mempunyai bilangan kuantum spin s = ½ , jadi gabungannya adalah S maksimal = 1

dan minimal = 0, sehingga S = 1 dan 0. Dengan demikian maka S untuk atom karbon dengan

konfigurasi 1s22s22p13d1 adalah S = 1 dan 0.


Bab I/Pers. Schrodinger/ 274

Contoh 4:

Tentukan L dan S dari konfigurasi np3.


Jawab:
Kasus tersebut melibatkan 3 elektron. Masing-masing elektron mempunyai  = 1 dan s = ½ .

Kita akan menggabungkan  untuk memperoleh L lebih dulu. Dari elektron pertama dan

kedua, diperoleh L maksimal = 2, dan minimal 0, jadi L = 2, 1, 0. Sekarang L = 2, 1, 0 kita

gabungkan dengan  = 1 dari elektron ke tiga, jadi L yang mungkin adalah:

L = 3, 2, 1 ( dari L = 2 dan  =1)

L = 2, 1, 0 ( dari L = 1 dan  =1)

L = 1 ( dari L = 0 dan  =1)

Dari uraian di atas maka harga L yang mungkin = 3, 2, 1, 0. Tetapi kemungkinan L = 3 harus

disingkirkan karena jika L = 3 diterima maka harus ada ML = 3 s/d 3. ML = 3 hanya mungkin
jika orbital np(+1) berisi 3 elektron sedang ML = 3 hanya terjadi jika orbital np(1) berisi 3

elektron. Padahal jika sebuah orbital berisi 3 elektron, hal ini merupakan pelanggaran terhadap
prinsip eksklusi Pauli. Oleh karena itu harga bilangan kuantum momentum angular kopling
yang mungkin adalah:

L = 2, 1, 0

Sekarang kita tentukan S . Dari elektron pertama dan kedua diperoleh S maksimum = 1 dan

minimum ) jadi S = 1 dan 0. S yang diperoleh dari elektron pertama dan kedua itu digabungkan
dengan s elektron ke tiga, dan diperoleh:

S = 3/2 , ½ ( dari S = 1 dan s = ½ )

S =½ (dari S = 0 dan s = ½ )

Jadi dari ketiga elektron itu S gabungan yang mungkin adalah S = 3/2 dan ½ . 

Untuk L = 2, tidak mungkin mempunyai S = 3/2 sebab agar L = 2 maka 2 elektron berada pada
p yang dengan m = 1 atau 1, sedang satu elektron berada pada p dengan m = 0. Dalam kondisi

seperti ini maka L = 2, hanya mempunyai kemungkinan S = ½ .


Bab I/Pers. Schrodinger/ 275

Untuk L = 1, maka 2 elektron harus berada pada p dengan m = 0 dan satu elektron berada pada

p dengan m =  atau + 1. Untuk distribusi seperti ini S = ½

Untuk L = 0, maka satu elektron pada p dengan m = 1, satu elektron pada p dengan m = 0 dan

satu elektron pada p dengan m = 1. Distribusi ini menghasilkan S = 3/2.

Cara praktis menentukan L dan S

Menentukan L dan S dengan menggunakan (11-35) dan (11-38) mempunyai resiko yaitu

adanya L atau S gabungan yang harus dianulir karena melanggar prinsip eksklusi Pauli. Untuk
itu, cara yang aman adalah dilakukan distribusi elektron pada orbitalnya, lalu dihitung ML = m

gabungan dan Ms = ms gabungan. Setelah itu L dan S dapat dihitung yaitu:

L = ML

S = Ms 

Dengan cara ini, kasus np3 tadi diselesaikan sebagai berikut:


Kemungkinan distribusi 3 elektron tersebut adalah:

m= 1 0 1
    kemungkinan 1

   kemungkinan 2

   kemungkinan 3

Dari kemungkinan 1, ML = 1 + 0 +  = 0  L =0

Ms = ½ + ½ + ½ = 3/2  S = 3/2

Dari kemungkinan 2, ML = 1  1 +  =   L =1

Ms = ½  ½ + ½ = ½  S = ½ 

Dari kemungkinan 3, ML = 1  +  =   L =1

Ms = ½  ½  ½ = ½  S = ½

Bab I/Pers. Schrodinger/ 276


Term Simbol

Term simbol suatu atom adalah simbol atom yang ditulis berdasarkan harga L dan S
yang diturunkan dari konfigurasi elektron atom tersebut pada keadaan tertentu. Secara umum

term simbol suatu konfigurasi berdasarkan L dan S ( jika interaksi L dan S tidak
diperhitungkan) adalah:
*X

X = lambang / simbol state, ditentukan oleh L [ bilangan kuantum angular orbital kopling
seperti ditunjukkan oleh (10-42) ]

* = multiplisitas = 2 S + 1 =  1 = singlet , 2 = duplet , 3 = triplet, 4 = quartet , 5 = quintet , 6 =


sextet . . . .

Sebagai ilustrasi, berdasarkan contoh soal 2, atom karbon dengan konfigurasi 1s22s22p13d1

mempunyai L = 3, 2, 1 sehingga simbolnya adalah F , D dan P. Sedang dari contoh soal 2,

diperoleh untuk konfigurasi 1s22s22p13d1 , S = 1 dan 0. Untuk S = 1, maka * = 3 sedang

untuk S = 0, * = 1 jadi term simbol yang berasal konfigurasi 1s22s22p13d1 adalah:


1P , 3P, 1D, 3D, 1F, 3F (11-44)

Setiap term simbol mengalami degenerasi. Derajat degenerasinya adalah (2 L + 1) (2 L +1).

Misal simbol 1P mempunyai L = 1 dan S = 0, jadi simbol 1P terdegenerasi dengan derajat


degenerasi = (2x1+1) (2x0 + 1) = 3. Dengan cara seperti itu maka derajat degenerasi untuk
simbol-simbol:
1P , 3P, 1D, 3D, 1F, 3F berturut-turut adalah
3 , 9, 5, 15, 7, 21
(Term simbol dan degenerasi tersebut belum memperhitungkan interaksi antara L dan S )
Sekarang, bagaimana term simbol untuk contoh soal 4 ? Berdasarkan penyelesaian contoh soal

nomor 4, harga L dan S yang mungkin adalah :

Kemungkinan 1 : L = 0 dan S = 3/2  term simbol 4S

L =1 dan S = ½  term simbol 2P


Bab I/Pers. Schrodinger/ 277

L = 2 dan S = ½  term simbol 2D

Hubungan antara L dan ML serta S dan Ms pada Sebuah term Simbol

Hubungan antara L dan ML analog dengan hubungan antara  dan m yaitu:

ML =  L ,  L + 1, . . . . . . , + L

Sedang hubungan antara S dan Ms analog dengan hubungan antara s dan ms, yaitu:

Ms =  S ,  S + 1, . . . . . , + S

Sekarang jika misalnya saja kita membahas term 1D , maka L = 2 jadi ML = 2, 1, 0, 1,2 dan S

= 0, jadi Ms = 0, dengan demikian maka banyaknya state = (2 L + 1) (2 S + 1) = 5. Lima state


itu dideskripsi oleh :

State ke  1 2 3 4 5
ML = 2 1 0 1 2 (11-45)
Ms = 0 0 0 0 0
  

Untuk term 3P , maka L = 1 jadi ML = 1, 0, 1 dan S = 0, jadi Ms = 1, 0, 1, dengan demikian

maka banyaknya state = (2 L + 1) (2 S + 1) = 9. Lima state itu dideskripsi oleh :


State ke  1 2 3 4 5 6 7 8 9
ML =  1  0 0 0 1 1 1 (11-46)

Ms =  0 1  0 1  0 1
 

Aturan Hund
Untuk menentukan, term mana yang berasal dari sebuah konfigurasi yang energinya paling
rendah dapat diketahui dengan menerapkan aturan Hund empirik berikut: Untuk term yang

muncul dari sebuah konfigurasi, term yang S nya terbesar, energinya terendah. Jika lebih dari

satu term yang S nya terbesar maka term yang L nya terbesar merupakan penentu energi
terendah.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 278

Contoh 5:

Diketahui konfigurasi ns1np3. Dari term simbol yang berasal dari konfigurasi tersebut,
Tentukan term simbol dengan energi terendah.
Jawab:

Dari ns1 diperoleh L = 0 dan S = ½

Dari np3, diperoleh L = 2 S =½

L =1 S =½

L =0 S = 3/2

Selanjutnya L dan S dari ns1 dan np3 digabungkan.

Penggabungan L = 2 S = ½ dengan L = 0 S = ½ menghasilkan L = 2 S = 1 dan 0,

term simbolnya adalah 3D dan 1D.

Penggabungan L = 1 S = ½ dengan L = 0 S = ½ menghasilkan L = 1 S = 1 dan 0,

term simbolnya adalah 3P dan 1P.

Penggabungan L = 0 S = 3/2 dengan L = 0 S = ½ menghasilkan L = 0 S = 2 dan 1,

term simbolnya adalah 5S dan 3S

Jadi term simbol yang dihasilkan oleh ns1np3 adalah:


5S , 3S, 3P , 1P , 3D , 1D (11-47)

Term Simbol dengan energi terendah adalah: 5S


Perlu dicatat, bahwa aturan Hund hanya sesuai untuk menentukan tingkat energi
terendah, tetapi tidak dapat untuk menentukan urutan tingkat energi dari yang terendah sampai
yang tertinggi. Sebagai contoh, jika aturan Hund digunakan untuk mengurutkan term simbol

yang berasal dari ns1np3, seharusnya urutannya adalah:


5S < 3D< 3P < 3S < 1D < 1P

Tetapi berdasarkan hasil pengamatan, urutannya yang benar adalah:


5S < 3D< 3P < 1D < 3S < 1P.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 279

Sesungguhnya, orang tidak usah menentukan semua kemungkinan term simbol dari sebuah
konfigurasi, jika hanya akan mengetahui term simbol dengan energi terendah. Sebagai contoh

misal kita ingin mengetahui term simbol dari konfigurasi d3. Untuk ini kita distribusi 3 elektron
ini ke dalam sub shell d dengan spin up semuanya seperti gambar berikut:
  
m= 2 +1 0 1 2

Dari gambar di atas tampak bahwa ML = 2 + 1 + 0  L = 3  Termnya adalah F

Ms = ½ + ½ + ½  S = 3/2  * = 4

sehingga term simbol dengan energi terendah berdasarkan prediksi Hund adalah 4F.

Nilai Eigen dari Fungsi Spin Elektron Ganda

Atom He dengan konfigurasi 1s12s1 menghasilkan term simbol 3S dengan degenerasi (2L+1)
(@S+1) = 3 dan 1S dengan degenerasi = (1) (1) = 1. Tiga fungsi gelombang order nol (10-27(
sampai (10-29) harus berhubungan dengan degenerasi tripel dari term 3S dan fungsi (10-30)

harus berhubungan dengan term 1S. Karena S = 1 dan Ms = 1, 0, +1 untuk term 3S, maka
ketiga fungsi spin (10-27) sampai (10-29) pasti merupakan fungsi eigen dari ŝ2 dengan nilai

eigen S ( S + 1)  2 = 2  2 dan juga fungsi eigen dari operator ŝz dengan eigen Ms  =  , 0 ,  .

Sedangkan fungsi spin (10-30) adalah fungsi eigen dari operator ŝ2 dengan nilai eigen S ( S +
1)  2 = 0 dan juga fungsi eigen dari operator ŝz dengan eigen Ms  = 0. Selanjutnya hal ini akan
kita buktikan:

Dari persamaan (11-43), maka operator spin untuk dua elektron adalah:
ŝ = ŝ 1 + ŝ2 (11-49)
Komponen Z untuk persamaan (11-49) adalah::
ŝz = ŝ1z + ŝ2z (11-50)
Jika (11-50) dioperasikan pada fungsi spin (1)(2), maka:
ŝ(1)(2)= ŝ1z(1)(2) + ŝ2z(1)(2)
= (2)ŝ1z(1) + (1)ŝ2z(2)]
Bab I/Pers. Schrodinger/ 280

= ½  (1)(2) + ½  (1)(2)
=  (1)(2) (11-51)
[ telah digunakan (10-7) untuk memperoleh (11-51) tersebut ]. Dengan cara yang sama kita
peroleh:
ŝz(1)(2) =   (1)(2) (11-52)
ŝz[(1)(2) + (1)(2) ] = 0 (11-53)
ŝz[(1)(2)  (1)(2) ] = 0 (11-54)
Sekarang kita perhatikan ŝ2. Kita tahu berdasarkan (11-26) bahwa:
ŝ2 = ŝ21 + ŝ22 + 2 (ŝ1x ŝ2x + ŝ1yŝ2y + ŝ1zŝ2z ) (11-55)
jadi:
ŝ2 (1)(2) = (2)ŝ21 (1) + (1)ŝ22(2) + 2ŝ1x(1)ŝ2x(2)
+ 2ŝ1y(1)ŝ2y(2) + 2ŝ1z(1)ŝ2z(2) ) (11-55)
Dengan menggunakan persamaan (10.7) sampai (10-9) dan (10-70) dan (10-71), kita peroleh:
ŝ2 (1)(2) = 2  2 (1)(2) (11-56)

yang menunjukkan bahwa (1)(2) adalah fungsi eigen operator ŝ2 yang berkait dengan S = 1.
Dengan cara yang sama kita peroleh:
ŝ2(1)(2) = 2  2 (1)(2)
ŝ2 [(1)(2) + (1)(2) ] = 2  2 [(1)(2) + (1)(2) ]
ŝ2 [(1)(2)  (1)(2) ] = 0
Jadi, fungsi eigen spin dalam persamaan (10-27) sampai (10-30) berhubungan dengan nilai bilangan
kuantum spin total berikut:

Fungsi S Ms Multiplisitas
(1)(2) 1 1 (11-57)
2 ½ [(1)(2) + (1)(2) ] 1 0 Triplet (11-58)
(1)(2) 1 1 
2 ½ [(1)(2)  (1)(2) ] 0 0 Singlet (11-60)

Fungsi Gelombang Atom


Bab I/Pers. Schrodinger/ 281

Dalam sub bab 10. 6, telah ditunjukkan bahwa dua dari empat fungsi gelombang order
nol dari He dengan konfigurasi 1s12s1 dapat ditulis sebagai determinan Slater tunggal, tetapi dua
fungsi yang lain dinyatakan sebagai kombinasi linear dari dua buah determinan Slater. Karena

operator L2 dan operator S2 commute dengan Hamiltonian (11-1) dan dengan operator

permutasi Pij, maka fungsi-fungsi order nol merupakan fungsi eigen dari operator L2 dan

operator S2. Karena determinan Slater D2 dan D3 pada sub bab 10. 6 adalah bukan fungsi eigen
bagi operator-operator itu, maka mereka bukan fungsi order nol. Kita telah menunjukkan bahwa

kombinasi linear (10-44) dan (10-45) adalah fungsi eigen dari operator S2, dan mereka juga

dapat ditunjukkan untuk menjadi fungsi eigen dari operator L2.

Untuk konfigurasi sub shell penuh (misal He 1s2 atau He ground state) kita hanya

menyatakan bahwa determinan Slater tunggal merupakan fungsi eigen dari L2 dan S2 dan ia juga
merupakan fungsi order nol untuk non degenerate untuk term 1S. Konfigurasi dengan sebuah
elektron diluar sebuah sub shell yang penuh ( misal konfigurasi boron ground sate) hanya
menghasilkan sebuah term ; determinan Slater dari konfigurasi tertentu berbeda dari yang lain
hanya dalam nilai m dan ms elektron dan semuanya adalah fungsi order nol dari state-state nya
sebuah term. Jika semua elektron dalam suatu sub shell semuanya tak berpasangan sehingga

spinnya sama (boleh semuanya  maupun semuanya ) , maka fungsi order nolnya adalah

determinan Slater tunggal. [ Sebagai contoh lihat (10-42)]. Jika ini ternyata salah, maka kita
dapat membuat kombinasi linear dari determinan Slater untuk menyatakan fungsi order nol yang

merupakan fungsi eigen dan operator L2 dan S2. Kombinasi linearnya dapat diperoleh dengan
cara menyelesaikan persamaan sekular dalam teori perturbasi degenerate . Tabulasi dari
kombinasi untuk berbagai konfigurasi telah dibuat orang (Slater, Atomic Structure, Vol. II).
Perhitungan energi term atom dengan kalkulasi Hartree-Fock dapat dilakukan dengan
memanfaatkan kombinasi linear ini, dan dengan perhitungan itu dapat ditentukan fungsi orbital
determinan Slater yang paling mungkin.

Tiap-tiap fungsi gelombang yang berasal dari sebuah term atom adalah fungsi eigen bagi
operator L2, operator S2, operator Lz dan operator Sz. Oleh karena itu, manakala seseorang
Bab I/Pers. Schrodinger/ 282

melakukan kalkulasi interaksi-konfigurasi ( C I ) , maka hanya fungsi konfigurasi yang


mempunyai nilai eigen L2, S2, Lz, dan Mz yang sama dengan konfigurasi yang ditentukan saja
yang dilibatkan dalam ekspansi (11-16). Sebagai contoh jika term simbol untuk He ground state

adalah 1S, dengan demikian L = 1 dan S = 0. Jika kita hendak melakukan kalkulasi interaksi
konfigurasi 1s12p1 maka kita harus menentukan nilai eigen dari konfigurasi itu. Nilai eigen

dapat dilihat dari L dan S dari term simbol yang dihasilkan dari konfigurasi itu. Jika term

simbol dari 1s12p1 ada yang mempunyai L = 0 S =0 seperti yang dihasilkan 1s2 maka fungsi
konfigurasi yang seperti itu saja yang dilibatkan dalam ekspansi (11-19). Ternyata, term simbol
yang berasal dari 1s12p1 adalah 1P dan 3P. Jadi tidak ada term 1S yang berasal dari 1s12p1, jadi
tidak ada fungsi konfigurasi yang berasal dari 1s12p1 yang boleh dilibatkan dalam ekspansi (11-
16), ini berarti bahwa tidak terjadi fungsi gelombang C I yang berasal dari 1s12p1.

Paritas dari State Atom


Perhatikan Hamiltonian untuk atom (11-1). Telah kita tunjukkan pada sub bab 7. 5, bahwa

operator paritas  adalah commute dengan operator energi kinetik. Kuantitas 1/ri adalah (11-1)
adalah:


ri1 = x i2  y i2  z i2 1/ 2
Penggantian masing-masing koordinat dengan harga negatifnya, tidak mengubah harga 1/ri. Juga

     
rij1 = x i  x j 2  y i  y j 2  z i  z j 2 
1 / 2


dan inversi tidak berpengaruh pada 1/rij. Jadi  commute dengan Hamiltonian untuk atom, dan
kita dapat memilih fungsi gelombang atom untuk memiliki paritas tertentu.
Untuk atom elektron tunggal, fungsi gelombang spasialnya adalah:

 = R(r)  m  R(r) Tm () 

Fungsi radial tidak mengalami perubahan dalam inversi, sehingga paritas ditentukan oleh faktor

sudut ( angular). Fungsi angular  m adalah genap jika  genap dan ganjil jika  nya ganjil. Jadi

state sebuah atom elektron tunggal dapat mempunyai paritas genap atau ganjil, tergantung  nya.
Bab I/Pers. Schrodinger/ 283

Sekarang untuk atom n-elektron. Dalam pendekatan Hartree-Fock, kita menuliskan


fungsi gelombang sebagai determinan Slater ( kombinasi linear determinan Slater) dari orbital
spin. Fungsi gelombang merupakan jumlah suku-suku, dan faktor spasial dalam masing-masing
suku mempunyai bentuk:
m m
R1(r1) . . . . . Rn(rn)   1    n nn
1 n

Paritas dari bentuk di atas ditentukan oleh faktor spherical-harmonic-nya. bentuk di atas dapat

ganjil
atau genap bergantung pada  1 +  2 + . . .  n =   i nya ganjil atau genap. Jika
i

  i nya genap maka  juga genap, jika   i nya ganjil maka  juga ganjil. Sebagai contoh
i i

untuk fungsi 1s22s12p3,   i = 0 + 0 + 0 + 1 + 1 + 1 = 3 , maka semua state yang muncul dari


i

konfigurasi tersebut mempunyai paritas ganjil. (Argumen ini sebenarnya didasari oleh
aproksimasi SCF untuk , tetapi konklusinya valid sangat untuk bila diterapkan untuk 
sesungguhnya)

Penggabungan Momentum Angular Atom (Interaksi Spin Orbit)


Kita tahu bahwa tiap-tiap elektron dalam atom bekerja momentum angular orbital dan
spin. Gabungan kedua jenis momentum itu menghasilkan momentum angular elektron total J
dengan:
J=L+S (11-61)
Penggabungan L dan S membentuk J itu disebut interaksi spin orbit.

Hubungan antara J dengan bilangan kuantum angular elektron total J adalah:

J2 = J ( J + 1)  2 (11-62a)

Karena J adalah gabungan dari L dan S, maka J pasti gabungan dari L dan S . Harga J
maksimum dan minimum adalah:

J max = L + S dan J min =  L  S  (11-62b)

sehingga, harga J yang mungkin adalah :


Bab I/Pers. Schrodinger/ 284

J max , J max  . . . . J min (11-62c)

Splitting Term Simbol


Apakah konsekuensi dari diperhitungkannya interaksi L dan S ?. Dengan diperhitungkan-nya
interaksi antara L dan S, muncullah J. Akibatnya muncullah bilangan kuantum yang berasal dari

J yaitu J . Akibat yang lain terjadi pada term simbol. Untuk jelasnya perhatikan kasus berikut.

Dari konfigurasi 1s12p1 misalnya diperoleh L = 1 dan S = 1 dan 0. Jika interaksi antara L dan
S belum diperhitungkan maka diperoleh dua term simbol yaitu 3P dan 1P. Bagaimana sekarang,
jika interaksi spin orbit diperhitungkan ?

Jika spin orbit diperhitungkan, maka dari 3P diperoleh yang L = 1 dan S = (31)/2 = 1

diperoleh J maka = 2 dan J min = 0 jadi J = 2, 1 dan 0. Dari sini disimpulkan bahwa term 3P
terpecah menjadi 3 level yaitu:
3P dengan J = 2  ditulis 3P2.
3P dengan J = 1  ditulis 3P1.
3P dengan J = 0  ditulis 3P0.

Bagaimana untuk term 1P ? Term ini mempunyai L = 1 sedang S = (1-1)/2 = 0, jadi J = 1.


Dengan demikian maka hanya 1 level dari term 1P yaitu 1P1.

Menentukan level term energi terendah

Kita sudah dapat menentukan term yang energinya terendah, yaitu yang S terbesar . Dan

jika ada dua term berbeda yang S nya sama, maka yang L nya terbesar yang energinya terendah.
Jadi dari kasus di atas, kita sudah tahu bahwa energi 3P < 1P. Yang kita bahas sekarang adalah,
dari 3P yang pecah menjadi tiga level 3P2, 3P1 dan 3P1 manakah yang energinya terendah ?.
Untuk ini kita lihat ilustrasi distribusi elektron berikut:
Konfigurasi 1s1 2p1 yang menghasilkan term 3P. pasti berasal dari distribusi:

e  e  
m = 0 +1 0 1
Bab I/Pers. Schrodinger/ 285

Distribusi di atas ada tiga kemungkinan :



      Kemungkinan (1)
m = 0 +1 0 1

      Kemungkinan (2)
m = 0 +1 0 1

      Kemungkinan (3)
m = 0 +1 0 1

Kemungkinan (1)  ML = 1 sedang Ms = 1 jadi J = 2

Kemungkinan (2)  ML = 1 sedang Ms = 0 jadi J = 1

Kemungkinan (3)  ML = 1 sedang Ms = 1 jadi J = 0


Dari aturan Hund kita tahu bahwa kemungkinan (1) lah yang energinya paling rendah, jadi

energi terendah terjadi pada J = 2 ( = J terbesar) . Jadi level term yang energinya terendah
adalah 3P2.
Apakah kita dapat menyimpulkan bahwa sebuah term akan mempunyai energi terendah jika

J nya terbesar ? Secara teoritik jawabnya ya !. Tetapi fakta empirik menunjukkan bahwa teori

yang menyatakan J terbesar akan memberikan energi terkecil untuk term yang sama hanya
benar jika konfigurasinya tidak lebih dari setengah penuh. Untuk atom yang konfigurasi

elektronnya lebih dari setengah penuh, maka yang terjadi adalah sebaliknya, jadi J terkecil
justru yang energinya terendah. Untuk itu kita lihat konfigurasi np4( lebih dari setengah penuh).
Untuk konfigurasi np4, distribusi elektronnya yang mungkin adalah:


ee e e  kemungkinan (1)
 
ee ee  kemungkinan (2)
 
e ee e  kemungkinan (3)

Dari kemungkinan (1) L = 1 dan S = 1  Term simbol 3P

Dari kemungkinan (1) L = 2 dan S = 0  Term simbol 1D


Bab I/Pers. Schrodinger/ 286

Dari kemungkinan (1) L = 0 dan S = 1  Term simbol 3S


Dari data di atas, maka level yang energinya terendah adalah 3P. Dari level ini maka dapat

diketahui bahwa J = 2, 1,0. Jadi level term yang muncul adalah 3P2 , 3P
1 dan 3P .
0 Secara
teoritik yang energinya terkecil adalah level 3P2 tetapi fakta empirik menunjukkan bahwa yang
energinya terkecil adalah 3P0 . Dari pembahasan di atas, maka dibuat aturan sebagai berikut:

Jika sebuah term simbol *X terdegenerasi menjadi beberapa level *X3 J maka untuk

yang berasal dari konfigurasi lebih dari setengah penuh berlaku J terkecil

memberikan energi terkecil, tetapi untuk yang berasal dari konfigurasi setengah
penuh atau kurang dari setengah penuh, maka energi terkecil dimiliki oleh level yang

J nya terbesar.

Mengenai hal ini akan lebih jelas setelah mempelajari energi interaksi spin orbit khususnya (11-
67)

11. 6 Splitting Level *X J

Seperti halnya S yang mempunyai komponen Sz dan L yang mempunyai komponen Lz,
maka J juga mempunyai Jz yang nilainya adalah:
Jz = Mj  (11-62d)
Mj adalah bilangan kuantum magnetik elektron total, yang harganya :

Mj =  J ,  J +1, . . . . . . + J b (11-62e)
Catatan: persamaan (11-62a) sampai (11-62e) adalah analog dengan bentuk-bentuk persamaan
yang berhubungan dengan momentum angular dan komponennya, yang sudah kita kenal
sebelumnya.
Pengaruh magnetik yang muncul dari interaksi spin orbit, mengakibatkan tiap-tiap level term

simbol mengalami splitting menjadi (2 J + 1) state. Energi masing-masing state berhubungan


dengan Mj yang bersangkutan.
Contoh:
Diketahui term 3P. Dari term ini, tentukan:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 287

a) Level-level term simbolnya


b) Tentukan harga berapa state dan Mj-nya dari masing-masing level term.
c) jika term 3P tersebut berasal dari atom dengan nomor atom 28, level term yang manakah yang
energinya terendah ?
d) buatlah ilustrasi dari splitting masing-masing level.
Jawab:

Dari simbol P diperoleh L = 1, dari multiplisitas = 3, diperoleh S = 1

Jadi , J maka = 2 , J min = 0, sehingga J = 2 , 1, 0 jadi:


a) Level term simbolnya adalah: 3P2 , 3P1 dan 3P0.
b) 3P2 terdiri atas (2x2 + 1) = 5 state, yaitu state dengan Mj = 2, 1, 0, 1, 2.
3P
1 terdiri atas (2x1 + 1) = 3 state, yaitu state dengan Mj = 1, 0, 1
3P terdiri atas (2x0 + 1) = 1 state (non degenerate) , yaitu state dengan Mj =0
0

c) karena atom nomor 28, konfigurasinya berakhir dengan d8, maka konfigurasi asalnya adalah

lebih dari setengah penuh, jadi level yang energinya terendah adalah yang J paling kecil
yaitu:
3P .
0

d-1) Splitting level term 3P2

Mj





3P2 


Bab I/Pers. Schrodinger/ 288



d-2) Splitting level term 3P1

Mj



3P1 



Energi Level Term Spin Orbit


Telah kita ketahui bahwa diperhitungkannya faktor spin membuat term simbol ter-splitting

menjadi (2 J + 1) level yang disebut Term level spin-orbit. Berapa besar perubahan energi yang
ditimbulkan oleh pengaruh spin orbit telah diturunkan secara lengkap dengan menggunakan
treatment relativistik Dirac untuk elektron. Di sini kita akan membahas interaksi spin orbit ini
secara kualitatif.
Jika kita membayangkan diri kita mengendarai elektron di dalam atom, maka dalam
pandangan kita, inti atom akan mengelilingi elektron yang kita kendarai, persis seperti kita
memandang matahari yang mengelilingi bumi kita. Dalam pandangan relativistik, maka inti
atom bergerak relatif terhadap elektron. Gerak ini, menghasilkan momen magnet inti yang
berinteraksi dengan momen magnet elektron. Energi interaksi yang ditimbulkan oleh momen
magnet  dengan medan magnet B dinyatakan dalam bab VI yaitu B . Momen magnet yang
ditimbulkan oleh spin elektron ( s ) adalah sebanding dengan momentum angular spinnya ( S )
dan medan magnet yang muncul dari adanya gerak relatif inti adalah sebanding dengan
momentum angular elektron L. Oleh karena itu energi interaksi spin orbit sebanding dengan L .
S. Dot Product antara L dan S bergantung pada orientasi/arah relatif kedua vektor ini. Harga
momentum angular elektronik total (J = L + S ) juga bergantung pada orientasi relatif L dan S,
Bab I/Pers. Schrodinger/ 289

jadi energi interaksi spin orbit bergantung pada J. Karena J bergantung pada J maka energi

interaksi spin orbitpun bergantung pada J [ lihat persamaan (11-67) ]


Hamiltonian (11-1), sama sekali tidak melibatkan interaksi spin orbit. Hamiltonian
untuk spin orbit untuk sistem atom elektron tunggal adalah (Lihat Bethe dan Jackiw, bab 8 dan
23).
11 dV ^ ^
ĤS.O = .L .S (11-63)
2m e c 2 r dr

dengan V adalah fungsi energi potensial elektron dalam atom. Cara untuk memperoleh ĤS.O
untuk atom elektron banyak, pertama abaikan dulu ĤS.O dan lakukan dulu kalkulasi SCF (sub
bab 11. 1) menggunakan aproksimasi medan sentral (central field approximation ) untuk
mendapatkan energi potensial efektif Vi(ri) bagi masing-masing elektron i dalam medan dari

inti dan elektron-elektron lain dipandang sebagai awan muatan [ Persamaan (11-7) dan (11-8).
Kemudian dilakukan penjumlahan (11-63) untuk semua elektron, sehingga diperoleh:
1 1 dVi (ri ) ^
ĤS.O =
2m e c2
 ri dri
.L .S
i
^
i
i

agar ringkas persamaan di atas ditulis:

ĤS.O =   i . L^ i . S^ i (11-64)
i

dengan
1 1 dVi ( ri )
i = . (11-64a)
2m e c 2 ri dri

^ dan ^ adalah operator momentum angular orbital dan spin untuk elektron i. (
sedang L
iS i
^ .^ )
Untuk atom elektron tunggal ĤS.O =  L S

Kita sadar bahwa jika energi interaksi spin orbit ES.O diperhitungkan dengan cara memperoleh
fungsi eigen dan nilai eigen dari operator Ĥ(11-1) + Ĥ(11-64) , maka kalkulasinya akan sangat

rumit. Oleh karena itu, ES.O diperhitungkan dengan pendekatan perturbasi yaitu
ES.O = <ĤS.O >
Bab I/Pers. Schrodinger/ 290

atau : (untuk atom elektron tunggal)


^ . ^ 
ES.O = < L S > (11-65)

Kita tahu bahwa karena J = L + S maka:

J . J = ( L + S ) . ( L + S ) = L2 + S2 + 2L . S
Kita tahu pula bahwa J . J = J2. cos 0 = J2, jadi:
L . S = ½ ( J2  L2  S2 )
Jika L . S = ½ ( J2  L2  S2 ) maka ini berarti bahwa ½ ( J2  L2  S2 ) adalah nilai eigen dari
^ ^
operator L . S jadi dapat kita tulis:

 ^ ^
L . S  = ½ ( J  L  S ) 
2 2 2 (11-65a)

Subtitusi (11-65a) ke dalam (11-65) dihasilkan:


 ES.O = <½  ( J2  L2  S2 ) > = ½  ( J2  L2  S2 ) < >
= ½  ( J2  L2  S2 )

Karena J2 = J ( J + 1)  2 ; L2 = L ( L + 1)  2 dan S2 = S ( S + 1)  2 maka:

 ES.O = ½  2 [ J ( J + 1)  L ( L + 1)  S ( S + 1) ] (11-66)

yang juga biasa ditulis

 ES.O = ½A  2 [ J ( J + 1)  L ( L + 1)  S ( S + 1) ] (11-67)

Secara kualitatif harga tetapan A ditentukan oleh L dan S . Dengan menggunakan (11-67) ini
maka secara kualitatif dapat dijelaskan mengapa term simbol yang sama tetapi J nya berbeda
mempunyai energi yang berbeda.
11. 7 Hamiltonian Atom
Hamiltonian sebuah atom terdiri atas tiga bagian yaitu:
Ĥ = Ĥo + Ĥrep + ĤS.O (11-68)
dengan Ĥo adalah jumlah Hamiltonian mirip hidrogen:
n  
2 Ze' 2
Ĥ =
o
   2 m e  i2  ri


(11-69)
i 1  
Bab I/Pers. Schrodinger/ 291

Ĥrep adalah Hamiltonian yang berasal dari repulsi antar elektron,

e' 2
Ĥrep =  rij
(11-70)
i ji

dan ĤS.O yaitu Hamiltonian yang berasal dari interaksi spin orbit:
n
ĤS.O =  i ^ ^
L i . Si (11-71)
i 1

Jika kita hanya memperhitungkan Ĥo, maka semua state yang mempunyai konfigurasi dengan n
sama adalah degenerate. Jika Ĥrep diperhitungkan, maka tiap konfigurasi menghasilkan satu atau
lebih term simbol. Jika ĤS.O juga ikut diperhitungkan maka tiap term simbol pecah menjadi
beberapa level term simbol. Masing-masing level ini akan mengalami ( 2 J + 1) fold
degenerate, yang masing-masing berhubungan dengan nilai Mj nya.
State ( 2 J + 1) yang berasal dari sebuah level term simbol yang pada mulanya
degenerate akan mengalami splitting jika berada dalam medan magnet eksternal dengan kuat
medan B. Energi masing-masing hasil pemecahan level ini ditentukan oleh ĤB, yang menurut
analogi persamaan (6-3) bab VI, maka:
^ ^ ^
ĤB =   . B =  (  L +  S ) . B (11-72)

Dengan L = e/2me)L [analog dengan (6-1) bab VI ] dan S = e/me)S { analogi (10-57) bab
X ], maka (11-22) ditulis:
^ ^
ĤB = e/2me L  S ) . B
Kita sudah kenal Bohr magneton  = e  /2m , jadi:
 ^ ^  ^ ^ ^
 ĤB =  L  S ) . B =  L  S  S ) . B
 
atau:
 ^ ^  ^ ^
ĤB = . B J  S ) = . ( B J  S )
 
Jika B yang digunakan diambil yang searah sumbu z, maka B = B. k, dengan k adalah vektor
unit arah z. Kita tahu bahwa vektor J = Jx i + Jy j + Jz k, jadi BJ = B k (Jx i + Jy j + Jz k) = B
Jz. Analog dengan itu, maka BS = B Sz, sehingga:
Bab I/Pers. Schrodinger/ 292

 ^ ^
ĤB = . B J Z  S Z ) (11-73)

Dengan menggunakan teori perturbasi order pertama, diperoleh (Bethe & Jackiw , halaman
179):
EB =  g B Mj (11-74)
dengan g ( disebut faktor Lande) adalah:
    
J J 1  L L 1 J J 1 
J J  1 
g=1+ (11-75)

Ini berarti jika atom dengan level 3P2 berada dalam medan magnet eksternal dengan kuat medan
B, maka level tersebut akan mengalami perubahan energi sebagai berikut:

Mj

 g
B

 g
B

3P2 

 g
B

 g
B

Soal-soal
1. Berapa banyaknya elektron yang dapat diletakkan pada:
(a) shell yang bilangan kuantum utamanya = n
(b) subshell yang bilangan kuantumnya n dan 
(c) sebuah orbital
(d) spin orbit
Bab I/Pers. Schrodinger/ 293

2. Jika R(r1) adalah faktor radial pada fungsi t1 dalam persamaan differensial Hartree (11-9),
tulislah persamaan differensial tersebut dinyatakan dalam R.

3. Tentukan nilai yang mungkin untuk bilangan kuantum angular total j yang merupakan hasil
penggabungan momenta angular dengan bilangan kuantum:
(a) ½ dan 4
(b) 2 , 3 dan ½

4. Tentukan term simbol yang muncul dari konfigurasi elektron berikut:

(a) 1s2 2s2 2p6 3p 5g

(b) 1s2 2s2 2p 3p 5d

5. Tentukan state apa saja yang berasal dari term berikut:

(a) 4F ; (b) 1S ; (c) 3P ; (d) 2D

6. Berapa banyaknya state yang dimiliki oleh konfigurasi karbon berikut:

(a) 1s2 2s2 2p2

(a) 1s2 2s2 2p 3p

7. Benar atau salah pernyataan berikut:


(a) Multiplisitas dari setiap term yang jumlah elektronnya ganjil pasti merupakan bilangan
genap.
(b) Multiplisitas dari setiap term yang jumlah elektronnya genap pasti merupakan bilangan
ganjil.

8. Tentukan kemungkinan-kemungkinan multiplisitas term yang muncul dari konfigurasi


berikut:

(a) f ; (b) f2 ; (c) f3 ; (d) f7 ; (e) f12 ; (f) f13


Bab I/Pers. Schrodinger/ 294

9. Tentukan level-level yang muncul dari term berikut, dan nyatakan degenerasi dari masing-
masing level:

(a) 1S ; (b) 2S ; (c) 3F ; (d) 4D

10. Untuk state dengan term 3D3, tentukan besarnya:

(a) momentum angular orbital elektron total


(b) momentum angular spin elektron total
(c) momentum angular elektron total

===000===

DAFTAR PUSTAKA

Balentine, L.E., Am. J. Phys., 55, 785, 2004

Bates, D.R., Quantum Theory, Academic Press, New York, 1961

Bell, R.P., Tunnel Effect in Chemistry , Chapmann & Hall, London, 1990

Berry. R.S. J. Chem. Educ., 43, 283, (1966)

Bunge, C. F. , Phys. Rev. A.,14, 2003

Cohen, I., and Bustard, T., J. Chem. Educ., 43, 187, (1966).

De Witt B.S dan Graham, R.N. , Am.J.Phys., 39, 724 , (1971)

d'Espagnat, Conceptual Foundations of Quantum Mechanics, Wiley, New York (1974).

Eyring, H., Walter, J., Kimball, G.E., Quantum Chemistry, Wiley, New York, 1944

Greenberger, D. , Physics Today (dimuat dalam majalah N.D. Mermin, April 2004

Hameka, H.F., Quantum Mechanics, Wiley, New York, 1981

Jammer, M., The Philosophy of Quantum Mechanics, Wiley, New York, 2003

Kauzmann, W., Quantum Chemistry, New York, 1997 hal 703-713


Bab I/Pers. Schrodinger/ 295

Kush, P., Physics Today, ND Mermin, 1966

Levine, Ira N, Molecular Spectroscopy Prentice Hall, Inc., New Jersey, 1998

Levine, Ira N, Quantum Chemistry, Prentice Hall, Inc., New Jersey, 1991

Lowdin, P.O., Adv. Chem. Phys., 2, 207, (1959) . ; halaman 260-261

Midtal, J., Modern Physics, Academic Press, New York, 1965

Moore, C.E. , Ionization Potentials and Ionization Limits, NSRDS-NBS 34, National Bereau
of Standards, 1970

Scherr, C.W., dan Knight, R.E., Revolution Modern Physics, 35, 436, 1963

Slater, J. C., Quantum Theory of Matter, edisi 2, Mc-Graw Hill, 1998

Zukav, G.,; An Overview of the New Physics, Morrow, New York (2001)

Anda mungkin juga menyukai