Gagasan bahwa perusahaan harus "senang" pelanggan mereka telah menjadi begitu
mengakar sehingga para manajer jarang memeriksanya. Tapi tanyakan pada diri Anda sendiri:
Seberapa sering seseorang menggurui perusahaan secara khusus karena layanannya yang over-
the-top? Anda mungkin bisa memikirkan beberapa contoh, seperti pelancong yang membuat titik
kembali ke hotel yang memiliki staf yang sangat perhatian. Tapi Anda mungkin tidak bisa
menemukan banyak.
Sekarang tanyakan pada diri sendiri: Seberapa sering konsumen memotong perusahaan
longgar karena pelayanannya yang mengerikan? Sepanjang waktu Mereka membalas dendam
pada maskapai penerbangan yang kehilangan tas mereka, penyedia kabel yang teknisinya
membuat mereka menunggu, perusahaan seluler yang perwakilannya menahan mereka, dan
binatu kering yang tidak mengerti maksud "pesanan terburu-buru".
Misi langsung jelas: Pemimpin perusahaan harus memfokuskan organisasi layanan mereka
untuk mengurangi ketidaksetiaan dengan mengurangi usaha pelanggan. Namun, para manajer
layanan resah tentang bagaimana merekayasa ulang pusat kontak mereka-departemen yang
dibangun di atas fondasi untuk memuaskan pelanggan-harus mempertimbangkan hal ini:
Pergeseran besar sedang berlangsung dalam hal preferensi layanan pelanggan. Meskipun
kebanyakan perusahaan percaya bahwa pelanggan sangat menyukai layanan telepon langsung
untuk layanan mandiri, data terbaru kami menunjukkan bahwa pelanggan sebenarnya tidak
peduli. Ini adalah titik kritis dan mungkin menandai akhir layanan berbasis telepon sebagai
saluran utama untuk interaksi layanan pelanggan. Bagi manajer layanan yang giat, ini memberi
kesempatan untuk membangun kembali organisasi mereka seputar swalayan dan, dalam
prosesnya, untuk mengurangi usaha pelanggan dengan sepenuh hati, di tempat yang dimilikinya.
Tentang Penelitian
Kami mendefinisikan "loyalitas" sebagai niat pelanggan untuk terus berbisnis dengan
perusahaan, meningkatkan pengeluaran mereka, atau mengatakan hal baik tentang hal itu (atau
menahan diri untuk tidak mengatakan hal buruk). Selama periode tiga tahun, kami mensurvei
lebih dari 75.000 pelanggan B2C dan B2B tentang interaksi layanan terakhir mereka di saluran
utama tanpa tatap muka, termasuk panggilan telepon langsung, permintaan suara, web, obrolan,
dan e-mail. Perusahaan tersebut mewakili puluhan industri, mulai dari barang elektronik
konsumen dan barang kemasan hingga perbankan dan perjalanan dan liburan, di Amerika Utara,
Eropa, Afrika Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Kami mengisolasi unsur-unsur dari setiap
interaksi yang mendorong loyalitas pelanggan, baik secara positif maupun negatif, dan
mengendalikan variabel termasuk jenis masalah layanan, apakah ditangani oleh in-house atau
contact center luar, masa jabatan rep dengan perusahaan, ukuran perusahaan, tipe kepribadian
pelanggan, mood pelanggan sebelum interaksi, biaya beralih, frekuensi iklan dilihat atau
didengar, kualitas dan nilai produk yang dirasakan, harga produk, industri, dan perusahaan
tertentu. Akhirnya, kami melakukan beberapa ratus wawancara terstruktur untuk memahami
strategi dan operasi layanan pelanggan perusahaan secara rinci.
Meskipun penelitian kami terfokus secara eksklusif pada interaksi contact center,
namun juga membuat intuisi bahwa temuan ini juga berlaku untuk pertemuan tatap muka.
TAMBAHAN----
STOP TRYING TO DELIGHT YOUR CUSTOMERS begitu kata Mathew Dixon, Karen
Freeman, dan Nicholas Toman di Harvard Business Review. Menurut mereka segala upaya
membuat customer menjadi WOW itu tidak langsung berpengaruh dengan loyalitas mereka.
“Abang-abang dan nona ini kemana aja, yah?” Tanya saya dalam hati sambil menelusuri
kalimat demi kalimat dalam tulisan mereka.
Sudah dari dulu membuat customer menjadi WOW itu memang tidak langsung mempengaruhi
loyalitas customer. Sejak dahulu melampaui ekspektasi customer itu tidak secara direct
mendorong loyalitas customer.
Nah lho?
Wah .. ini saya terpaksa membongkar rahasia service excellence. Saya harus mengeluarkan apa
yang tersembunyi di dapur service excellence saya. Terpaksa!
Semua berawal dari hasil penelitian Dr. Noriaki Kano, yang kemudian dikenal sebagai Kano
Model. Dalam hasil penelitiannya, Dr. Kano menjabarkan bahwa ada tiga kategori atribut yang
dimiliki oleh suatu produk, yaitu basic alias must have, performance alias more is better, dan
kategori delighter alias unexpected.
Kategori basic alias must have ini adalah atribut dasar yang tidak akan menambah kepuasan
customer secara menyolok bila ada, dan bila tidak ada akan menyebabkan kekecewaan customer.
Contoh dari kategori ini adalah keberadaan roda pada mobil. Ketika membeli mobil, kita tentu
tidak akan bilang, “Luar biasa. Mobil baruku lengkap rodanya.” Coba bila mobil tersebut
diantar ke rumah kita tanpa roda?
Kategori performance ini adalah atribut produk yang bila tidak ada membuat customer kecewa,
bila ada dan kualitas serta kuantitasnya ditambah, maka hal ini bisa membuat customer
bertambah puas. Semisal ini adalah head unit pada mobil yang baru kita beli. Tentu kita merasa
OK saja bila ternyat mobil kita mempunyai head unit yang mereknya sama dengan merek mobil
atau merek lain yang baru kita kenal pada saat membeli mobil tersebut. Apa yang kita rasakan
bila ternyata head unit yang dipasang di mobil kita bermerek Nakamichi?
Kategori delighter adalah atribut produk yang tidak kita duga akan ada pada produk tersebut.
Pada contoh membeli mobil, kita mendapati ternyata di baris kursi belakang sudah tertanam Play
Station 4 dan kursi pijat di tempat kita nyetir. WOW bukan?
Setelah membaca tiga paragraph terakhir tadi tentu kita mulai berpikir, “Rasanya membuat
WOW customer itu membuat mereka loyal kok. Terus kenapa Mas Mathew Dixon dan kawan-
kawan tidak sependapat?”
Tunggu dulu. Bayangkan bila kita mendapatkan Playstation 4 plus kursi pijat, namun head unit
kita ala kadarnya (kelihatan kalau kualitasnya buruk) dan karpet mobilnyapun kelihatan jelek?
Tentu hal yang WOW akan berkurang kekuatan efeknya. Kategori performance memang adalah
kunci dari loyalitas customer.
Kita tidak bisa mebuat customer loyal dengan membuat mereka WOW bila pada level
performance kita amburadul. Konsistensi bisnis kita pada level performance ini adalah faktor
paling besar dalam membangun loyalitas customer. Ketika kita sudah mampu menampilkan
excellence pada level performance, maka saat itu loyalitas customer akan mulai terbangun. Jika
saat itu kita sesekali menambah unsur WOW, dijamin efeknya akan kuat.
Mathew Dixon, Karen Freeman, dan Nicholas Toman memang mempunyai landasan yang kuat
dengan pernyataan, “Stop trying to delight your customers.” Landasan itu adalah, perbaiki terus
kinerja kita pada kategori performance karena disitulah pertaruhan terbesar loyalitas customer
kita. Perusahaan-perusahaan yang terkenal hebat dalam delighting customers (Disney, Ritz
Carlton, Sheraton, Amazon, Zappos, dll) adalah perusahaan yang terus menerus memperbaiki
diri pada level performance.
Service excellence adalah melakukan semua proses terkait produk secara di atas rata-rata. Service
excellence adalah tentang memastikan konsistensi prima bisnis atau profesi kita pada level
performance. Hanya setelah kita mampu menciptakan service excellence kita bisa membuat
service delight. Hanya setalah kita prima pada jenjang performance kita bisa memainkan kartu
WOW kita.
Nugroho Nusantoro | Service Excellence Trainer | Public Speaker | Tel: 081703963534 | BBM
PIN: 75358989 | www.nugrohonusantoro.com Silahakan download DUA ebook bisnis terbaru
saya di: nugrohonusantoro.com/inow.zip [caption id="attachment_292707" align="aligncenter"
width="300" caption="Ebook Innovate Now! Dan Business Tips 2014"][/caption]