Anda di halaman 1dari 13

Bagamana Memilih Program?

indoprogress.com/2019/02/​bagamana-memilih-program/

Bagamana Memilih Program? 11 February 2019 Hizkia Yosias Polimpung Harian IndoPROGRESS February 11, 2019

Kredit ilustrasi: Managed Programs, LLC

KONON kata para warganet bijak pandai nan mahabenar, dalam memilih presiden
nanti, jangan pilih orangnya, tapi pilih programnya. Pandangan ini juga beranak-pinak
—sejauh yang mampir ke linimasa medsos dan japri saya—beberapa puluh infografis,
pamflet dan meme yang mencoba “secara objektif” menyombongkan capaian-capaian
program pemerintah/pasangan calon (paslon) capres-cawapres inkumben maupun
rancangan program paslon penantangnya dalam kompetisi Pemilu 2019. Begitu
banyak program, begitu meriah janji, dan begitu bersemangat para tim sukses dan
para pengikut masing-masing kubu memberi penjelasan, pembelaan dan serangan ke
kubu lain. Tapi sebenarnya, bagaimana cara menilai sebuah program? Atau, lebih
tepatnya, bagaimana cara menilai sebuah program tanpa harus terjebak pada
pengultusan sosok capres dan ban serepnya?

Saya ingin menyumbang ide tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menilai
sebuah program paslon capres-cawapres (dan juga program politik secara umum)
secara objektif dan tanpa baper (bawa perasaan). Khusus yang terakhir ini, yaitu tanpa
baper, hanya bisa dicapai apabila kita benar-benar memiliki standar objektif untuk
menilai sebuah program. Sehingga pilihan (atau tidak memilih) kita adalah karena
program, dan bukan karena orangnya. Alhasil jutaan kali calon kita dihujat secara ad
hominem, dijadikan bulan-bulanan meme, dan diolok-olok di grup Whatsapp, kita tidak
akan tersinggung. Soalnya, kita tidak akan peduli secara personal dengan orangnya,

1/13
sejauh program yang dijanjikannya dapat dipertanggungjawabkan. Sama seperti ide,
program itu relatif otonom dari pencetusnya. Kita bisa saja menjadi psikoanalis
Lacanian tanpa harus cinta pada sang psikoanalis Jacques Lacan, sama halnya kita bisa
memilih sepasang capres-cawapres karena programnya tanpa harus menjadi cebong
ataupun kampret.

Dua Objektivitas

Lalu standar objektif. Di titik ini kita harus benar-benar jelas. Yang saya maksud
dengan standar objektif di sini tidak hanya persoalan objektivitas ilmiah, namun
terlebih penting adalah objektivitas idiologis. Objektivitas ilmiah harus tunduk pada
objektivitas idiologis. Objektivitas idiologis merupakan kenyataan tak terelakkan bahwa
objektivitas hanya bisa diakses melalui subjektivitas tertentu. Posisi universal tidak
akan bisa digapai apabila subjek tidak berpijak pada posisi partikular dan spesifik, dan
bahkan ikatan ruang-waktu tertentu (dan para penggemar kepatutan politik, silakan
tambahkan: suku, ras, jender, orientasi seksual, hobi, bla..bla..). Namun demikian,
posisi partikular-spesifik idiologis yang paling pokok adalah posisi kelasnya. Sentralitas
posisi kelas ketimbang posisi lainnya adalah dikarenakan posisi ini berpengaruh pada
keberlangsungan hidup seseorang dari hari ke hari, yang pada gilirannya
memengaruhi pilihan-pilihan—sadar atau tidak—posisi identitas lainnya. Dengan
demikian, objektivitas idiologis menunjuk pada fakta bahwa: 1) objektivitas hanya akan
menjadi objektif dari perspektif kelas tertentu; dan 2) seluruh objektivitas yang berlaku
umum adalah selalu objektivitas dengan corak partikular kelas tertentu.[1]

Di atas landasan objektivitas idiologis inilah kemudian dibangun argumentasi-


argumentasi rasional dan ilmiah untuk menjustifikasinya. Amdal (analisis dampak
lingkungan) akan pertambangan semen di Pegunungan Kendeng tentu saja mengikuti
kaidah-kaidah ilmiah. (Perlu diingat: ilmiah bukan berarti jaminan benar; ilmiah berarti
prosedural dan terbuka untuk diperdebatkan sedari asumsi, metode, analisis sampai
interpretasinya). Namun bentuk keilmiahan yang seperti itu, adalah selalu bias
kepentingan idiologis dari kelas yang menyeponsorinya. Alhasil, keilmiahan dari Amdal
Kendeng tampak sebagai irasionalitas apabila dipandang dari posisi kelas yang lain.
Demikian pula sebaliknya, analisis-analisis yang dipakai untuk mengecam rencana
penambangan Kendeng tentu tampak irasional bagi para pendukungnya. Kata teman
saya yang mendukung, “mereka yang menolak ini nggak mikir berapa keuntungan yang
bisa dipakai untuk membangun Rembang.” Takaran mengenai apa yang penting dan
yang menentukan (determinan) selalu berbeda-beda di dalam setiap analisis; ia selalu
bersembunyi di balik tirai asumsi, namun menentukan arah sistematika, paparan dan
simpulan analisis tersebut.

Sebelum lebih jauh, beberapa dari pembaca yang kebetulan hobi mempersekusi
posmodernisme pasti langsung bermuka kecut sejak membaca poin di atas. Tapi
tenang saja, arah saya bukan ke sana. Karena saat saya menandaskan bahwa
objektivitas ilmiah hanyalah ilmiah sejauh posisi subjektif kelas yang membiaskannya,
dan bahwa yang universal hanya bisa diakses oleh posisi partikular, dan bahwa,
karenanya, objektivitas dan universalitas adalah selalu berbeda-beda berdasarkan
corak pembiasnya, sebenarnya klaim ini belum selesai. Klaim lanjutan saya, yang
2/13
bahkan saya yakin Anda sobat anti-posmo tidak cukup punya nyali untuk mengklaim—
dan mempertanggung-jawabkan—adalah ini: bahwa hanya objektivitas dan
universalitas yang dihasilkan dari posisi partikular atau perspektif kelas pekerja
sajalah yang paling objektif dan universal. Paling objektif: karena ia mampu
menjelaskan “objektivitas-objektivitas” lain yang dihasilkan perspektif lain non-pekerja:
penguasa, pemodal, moral, relijius, jender, kultural, etika, dst. Pula karena mencakup
kelompok-kelompok yang selain dirinya sendiri, maka ia universal. Penjelasan lebih
lanjut tentu bukan menjadi kompetensi artikel how to ini.[2]

Hikmah yang bisa dipetik sampai di sini adalah bahwa berhubung objektivitas ilmiah
akan selalu tunduk pada objektivitas idiologis, maka seluruh analisis/klaim kebenaran
ilmiah harus merengkuh terlebih dahulu objektivitas idiologisnya. Catatan tebal di sini:
hal ini sama sekali tidak lantas berarti bahwa setelah objektivitas idiologis disadari dan
direalisasikan, lantas objektivitas ilmiah sama sekali diabaikan. Dengan kata lain, tidak
bisa kita memilih program hanya karena pemimpinnya mengklaim berpihak pada kita
(rakyat, pekerja, dst.); lebih dari itu, keberpihakan tersebut harus bisa dijelaskan dan
dipertanggungjawabkan secara rasional. Kelembaman, kecerobohan dan
kesembronoan ini amat perlu didisiplinkan, bahkan dihukum bila perlu. Mao tegas
mengatakan, kontra aktivis liberal pro-kebebasan berpendapat, “tidak ada investigasi,
maka jangan ia diberi hak bicara! [..] Karena ia justru akan menyesatkan massa.
Omong kosong tidak menyelesaikan masalah, lantas mengapa menjadi tidak adil
melarangnya berbicara?” Alasan lainnya, karena ia juga justru akan menciderai potensi
universal dan absolut dari posisi idiologis tersebut; karena hanya melalui prosedur
rasional sajalah suatu klaim objektif akan menjadi universal.

Posisi Politik Kelas Pekerja

Jadi apabila kita sudah memahami apa arti anti-baper dan objektivitas dalam artikel ini,
maka kita bisa mulai ke poin saya mengenai cara menilai program. Karena saya
memilih posisi partikular sebagai perspektif pekerja, maka sentralitas pekerja sebagai
kelas adalah yang akan membiaskan objektivitas ilmiah yang akan dibangun. Pekerja
sebagai kelas, di sini, jelas kepentingan idiologisnya, yaitu bukan sekadar hak normatif,
bukan kenaikan upah, bukan hak asasi manusia, bukan kesetaraan, bukan kekayaan,
bukan kelayakan, bukan bebas pelecehan, bukan keselamatan kerja, bukan
kemenangan paslon, bukan pengakuan historis maupun legal; bukan sekedar atau
bahkan sama sekali bukan ini semua! Kepentingan pekerja sebagai kelas cuma ini:
kehancuran total sistem yang selamanya membuatnya menjadi pekerja yang
tereksploitasi, yaitu sistem kapitalisme, titik. Seperti kata Winston di 1984-nya Orwell,
“if this is granted, all else follow” (kalau ini diizinkan, maka yang lainnya akan mengikuti);
bila kehancuran kapitalisme bisa diperoleh, maka semua rentetan hak normatif, hak
ekosob dan apapun label aktivis-aktivis liberal moralis-humanis itu semua akan
didapatkan.

Jika seorang pekerja, atau yang mengklaim berperspektif pekerja tidak memiliki
kepentingan politik akan kehancuran kapitalisme—dan tidak bisa
mempertanggungjawabkan kepentingan ini secara objektif, maka sebenarnya ia belum
menjadi bagian dari kelas pekerja itu sendiri.[3] Memang benar pekerja tersebut secara
3/13
objektif tidak memiliki akses ke kapital-mesin dan otonomi akan kapital-
hidup/tenaganya sendiri (ini definisi kelas yang saya ajukan). Namun objektivitas
pekerja tersebut seketika menjadi gugur apabila diletakkan dalam idiologi perjuangan
kelas pekerja yang tujuannya hanyalah kebangkrutan kapitalisme secara total.

Mengapa? Karena pekerja semacam ini cenderung melihat kesengaraan dan


ketertindasannya semata-mata sebagai persoalan etis dan moralis: kejahatan negara,
ulah asing dan aseng, konspirasi Yahudi, plot patriarki, kerakusan manusia, hegemoni
Barat, dst. Cara pandang yang absen adalah yang melihat kemalangan ini sebagai
akibat dari ketimpangan sistemik dalam kapitalisme yang setidaknya bisa dilihat dalam
tiga relasi ini: relasi kelas (aspek ekonomi-politik), relasi produksi (aspek sosio-
ekonomi) dan relasi kerja-upahan (aspek politik-bisnis); ketiga relasi inilah yang
kemudian memanifestasi dalam apa yang kita sebut kejahatan negara, ketidakhadiran
negara, dominasi Barat, hegemoni maskulin, dst.—dan bukan sebaliknya!
Pelembagaan ketimpangan sistemik ini adalah proyek politik kelas;[4] karenanya ia
harus dilihat pula sebagai perjuangan politik kelas. Melihat diri kita sebagai kelas, dan
perjuangan kita sebagai perjuangan kelas, ketimbang sekadar drama “perjuangan
kehidupan yang keras,” adalah satu-satunya cara bagi kita untuk bisa merengkuh
subjektivitas politik kelas pekerja. Dikatakan politik, karena ia tidak sekadar hak
normatif, ekonomis dan kekenyangan harian; ia politis karena ia berambisi pada
perubahan tatanan sosial yang ada dan perlawanan terhadap mereka (kelas lawan)
yang mempertahankan status quo tatanan sosial yang ada tersebut. Visi tatanan sosial
tanpa kelas dan perlawanan terhadap eksploitasi sistemik adalah yang membentuk
subjektivitas pekerja, dan bukan sebaliknya.

Saat subjektivitas kelas pekerja ini terbentuk maka hal yang otomatis akan
diperolehnya adalah objektivitas idiologi perjuangan kelasnya, yaitu bahwa segala
bentuk perjuangan dan perlawanan kelas pekerja harus diarahkan pada dan
direncanakan untuk pengakhiran ketiga relasi sentral dalam kapitalisme—kelas,
produksi dan kerja-upahan—yang timpang. Adalah arahan dan perencanaan ini yang
perlu dikaji secara rasional, dan dirancang strateginya ke dalam program-program
yang memiliki luaran terukur, lengkap dengan kerangka waktu yang jelas. Selama tidak
ada penjelasan ilmiah dan sistematis mengenai langkah-langkah strategis dan taktis
perjuangan untuk membangkrutkan modus produksi kapitalisme, maka seluruh
analisis “saintifik” berikut turunan rekomendasi dan program-programnya tidaklah
valid dan, malangnya, justru dengan sendirinya memperkuat kapitalisme itu sendiri.
Oleh karena itu, sekali lagi saya tekankan: hanya bias perspektif kelas saja lah yang
paling valid bagi pekerja sebagai kelas itu sendiri, dan bukan perspektif-perpektif
lainnya.[5]

4/13
Kredit ilustrasi: monabaker.org

Jadi, Bagaimana Caranya?

Baiklah, cukup sudah teori. Jadi, bagaimana langkah-langkah menilai program paslon?

1. Tentukan tujuan akhir yang kita mau untuk menjadi tolak ukur baik/buruknya suatu
program.

Harus jelas: yang ‘kita’ mau di sini, persis seperti uraian saya sebelumnya, adalah kita
sebagai kelas pekerja. Kita, kelas pekerja, di sini mencakup seluruh orang di sektor
apapun (mulai tambang, manufaktur, dagang, kreatif, seni, digital, finansial, sampai
janitor, asisten rumah tangga, dan bahkan pekerja seks komersial) yang: 1) secara
objektif tidak memiliki akses akan alat produksi/kerja, akan entitas produksi (pabrik,
perusahaan, dst.), dan yang tidak otonom dalam menentukan penggunaan
tenaga/keterampilan kerjanya, dalam menentukan jam hidup/kerjanya, dan dalam
menentukan arah bisnis/unit usahanya. Seorang pekerja di pabrik di Cikarang, dengan
demikian sama buruhnya dengan CEO startup yang tergantung sepenuhnya pada
investor dan Direktur Eksekutif NGO yang tak punya asa jika tanpa donor. 2) secara
subjektif memilih melihat objektivitas kondisinya di poin 1 tidak semata-mata sebagai
kemalangan, kegagalan hidup atau azab ilahi, melainkan memandangnya sebagai
diakibatkan oleh perjuangan kelas (pekerja yang kalah). “Kita” di sini adalah kita
sebagai kelas pekerja yang memenuhi syarat secara objektif maupun subjektif;
keduanya mutlak harus terpenuhi.

Tujuan akhir yang kita mau sebagai kelas pekerja sudah jelas: adalah tamatnya sistem
relasi kelas, produksi dan kerja yang timpang yang menjadi muara dari seluruh
penderitaan dan ketertindasan kelas pekerja berjender apapun, berjabatan apapun,

5/13
dan di sektor manapun, yaitu kapitalisme. Nah, menentukan tujuan akhir tidak bisa
hanya abstrak seperti ini. Meminjam anak-anak startup, menentukan visi haruslah
SMART: Specific, Measurable, Attainable, Relevant, Timely (terperinci, terukur, bisa
dicapai, relevan dan ada deadline-nya).

Jadi, berdasarkan SMART, kita harus merumuskan bagaimana itu spesifiknya kondisi
kelak saat kapitalisme tidak ada lagi. Sehingga andaikata menggunakan perincian yang
saya pakai di atas, terdapat tiga penjelmaan kapitalisme yang menurut saya paling
sentral: relasi kelas, relasi sosial produksi, dan relasi kerja-upahan. (Relasi-relasi
lainnya—relasi kuasa, relasi jender, rasisme, baratsentrisme, relasi industrial, dst.—
adalah turunan dari ketiga relasi ini). Saat ketiga relasi sentral dalam kapitalisme ini
sudah tidak ada lagi, barulah jargon tamatnya kapitalisme mendapatkan bentuk
kongkritnya. Dengan kata lain, kita perlu membayangkan imajinasi alternatif mengenai
dunia tanpa kapitalisme. Untuk menggantikan ketiga relasi ini dengan alternatif yang
berpihak pada kepentingan pekerja, maka kelas pekerja perlu terlebih dahulu
merumuskan bentuk dan kondisi-kondisi yang memungkinkan: i) masyarakat yang
tidak lagi tersegregasi berdasar akses terhadap modal untuk mengupayakan
penghidupan/kehidupan, ii) tatanan sosial-politik yang tidak lagi melestarikan
ketimpangan kelas dan rezim kerja-upahan, dan iii) relasi kerja yang tidak lagi berbasis
upah. Berikutnya kita perlu merumuskan standar ukuran untuk mengukur apakah
alternatif ini sudah benar-benar terjadi. Tanpa ini, sayangnya, menjadi tidak mungkin
untuk memilih program mana yang paling baik. Karena dengan absennya standar,
maka menjadi tidak berdasar pula pilihan program kita. Bukan sekadar karena
menjadi ilmiah, melainkan ia akan kehilangan pendasaran kelasnya.

Kemudian, visi dan tujuan tersebut harus dapat dicapai, artinya realistis. Dengan lain
kata, tujuan tersebut harus mungkin untuk dicapai dengan bercermin pada situasi dan
kondisi sumber daya dan modalitas yang ada. Tujuan yang berlebihan dan tidak
berjejak pada realitas dan batasan kondisi riil justru akan berujung bencana.
Berikutnya, setelah realistis, ia harus relevan … tentu saja bagi perjuangan kelas
pekerja untuk mengakhiri kapitalisme. Artinya, program-program yang akan dinilai
harus dinilai seberapa jauh ia menyumbang bagi pencapaian cita-cita perjuangan kelas
untuk mengakhiri kapitalisme. Program-program tersebut mesti diperiksa bagaimana
ia mampu memfasilitasi, mempercepat atau bahkan secara langsung mengakhiri
proyek politik kelas untuk melanggengkan ketimpangan dalam relasi kelas, relasi
produksi, dan relasi kerja-upahan. Alhasil, program yang tidak memiliki visi, atau tidak
mengandung potensi, atau bahkan berkontradiksi dengan visi dunia tanpa kelas, visi
produksi yang demokratis (non-oligopoli dan non-oligarkis) dan visi kerja tanpa harus
menjebloskan diri dalam relasi timpang berbasis gaji dengan bumbu-bumbu moralis
work-ethic-nya, maka program tersebut tidak layak di pilih.

Terakhir, apabila ia memang layak di pilih, kita perlu tentukan deadline capaian-
capaian yang bisa diukur. Dengan kata lain, kita perlu perencanaan dengan kerangka
waktu yang jelas. Meleset tidak apa; karena ia akan bisa dievaluasi dan diperbaiki.
Pasalnya, yang terpenting di sini adalah visi dan perencanaan jangka panjang yang
jelas dari kelas pekerja. Tanpa perencanaan strategis, maka kelas pekerja hanya akan
selalu mengeluh, bersenandung agoni, menuntut, dan akan selalu kecewa.
6/13
(Kekecewaan mereka yang “mengaku” kelas pekerja ini pun sebenarnya menggelikan:
sudah tahu bahwa negara dan penguasa adalah berpihak pada kepentingan kapital,
mengapa kaget dan kecewa saat menyaksikan dan merasakan tersebut? Dan lebih
oxymoron lagi, ketimbang merancang perencanaan dan program strategis jangka
panjang untuk pembebasan dan kemandirian, seluruh energinya malah habis buat
memaki, berkampanye, dan mempublikasikan heroisme “perlawanan”-nya yang
sebenarnya tidak terbedakan dari tindakan konyol memprovokasi kebrutalan
kekuasaan). Oh kemanakah hilangnya tradisi panjang perencanaan sosialis sejak Lenin
sampai Allende yang tersohor itu?

2. Takar ekses yang jadi efek samping dari moderasi

Buat saya, apabila suatu program tidak sesuai visi pekerja, dan secara realistis tidak
ada tanda-tanda ia akan ke arah sana, maka saya lebih memilih untuk melupakan itu
semua. Dari pada capek-capek dan habis energi untuk membahas hal yang tidak jelas
jluntrungannya, sayalebih memilih fokus ke upaya merumuskan dan mengerjakan
alternatif dengan skenario tanpa melibatkan “kebaikan hati” paslon-paslon tersebut.
Apapun hasil pemilu nanti, siapapun yang menang, tinggal kita sesuaikan lebih lanjut
taktik-taktik untuk mengakalinya. (Tentu saja saya akan dengan senang hati
mendukung apabila ada kawan-kawan yang memang punya argumen untuk terlibat
dalam paslon-paslonan ini). Tapi baiklah, bagi yang memilih moderat, mencoba
konformis, dan berpikir “masa sih paslon-paslon ini tidak bisa dipengaruhi?” seraya
memilih the lesser evil, mungkin saya bisa sumbangkan satu atau dua masukan
bersahabat.

Kita perlu menakar ekses atau efek samping terekstrim dan terjauh dari program yang
kita pilih berdasarkan moderasi kriteria pertama. Ukurannya dua: apabila ekses itu
bisa secara realistis kita, kelas pekerja, mitigasi atau bahkan atasi sama sekali, maka
silakan dipilih; namun apabila ekses tersebut tidak akan bisa dimitigasi atau diatasi
bahkan apabila seluruh rakyat pekerja bersatu melawan, maka lupakan saja. Belum
selesai. Ekses yang termitigasi tersebut juga perlu ditakar: apabila ekses tersebut
berpotensi melemahkan basis-basis perjuangan rakyat (semangatnya,
penghidupannya, pengetahuannya, solidaritasnya, dan bahkan populasinya), maka
sebaiknya buang jauh-jauh pilihan tersebut. Karena sekalipun nanti kita berhasil
mengatasi ekses tersebut, maka itu hanya akan jadi istilahnya pyrrhic victory,
kemenangan yang sebenarnya tidak bisa disebut menang karena pihak kita benar-
benar habis secara populasi, energi, biaya dan sumber daya. Istilah kerennya, nggak
worth it. Sebaliknya, jika kita memiliki—nah ini poin pentingnya—strategi untuk
mengantisipasi, memitigasi dan mengatasi ekses-ekses tersebut, maka silakan dipilih.

Lagi-lagi adalah strategi yang menjadi kata kunci di sini. Perencanaan strategis adalah
mutlak dan vital bagi pilihan dan manuver moderasi yang kita ambil. Strategi ini, lagi-
lagi, mesti terukur dan menjelma dalam langkah-langkah taktis yang kongkrit, bisa
diverifikasi, dan ada tenggat waktunya. Tidak bisa lagi kita mengulang dalih-dalih
senior-senior kita yang mengatakan “melawan dari dalam,” “masuk dulu ke sistem,
baru kita pikirkan cara melawan dari dalam,” dan omong-kosong lainnya untuk

7/13
menjustifikasi syahwat borjuis dan neolib mereka. Tidak! Kelas pekerja harus
mencurigai (dan bila kedapatan, memusuhi) orang-orang yang menggunakan dalih ini
untuk masuk ke lingkaran kekuasaan.

Namun demikian, kecurigaan tersebut tidak bisa hanya sebatas luapan emosional
belaka. Kecurigaan tersebut, lagi-lagi, musti objektif: ia harus mampu menjelaskan
bahwa kecurigaan tersebut adalah didasarkan pada absennya paparan strategis dan
taktis dari mereka yang berdalih melawan dari dalam sistem tersebut, dan tidak
sekadar dilandasi kecemburuan yang disuarakan seolah-olah revolusioner. Karena itu,
sebaliknya, mereka yang beralasan melawan dari dalam, wajib hukumnya memiliki
dan mengomunikasikan strategi-strategi dan ukuran-ukuran capaian yang ditargetkan
dengan manuvernya untuk masuk bercengkerama dengan kekuasaan. Tanpa ini, tidak
ada alasan bagi kita, kelas pekerja, untuk percaya pada seluruh omong kosongnya di
ruang publik; jika memang begini, maka ajakan saya kepada kawan-kawan sekalian:
recehkan!

3. Exit strategy, siapkan strategi untuk menyudahi moderasi dan kembali ke barisan kelas
pekerja.

Saat kita memoderasi dan menurunkan (sedikiiit saja, jangan banyak-banyak) standar
visioner kita untuk menilai program-program paslon yang adalah calon penguasa,
maka selain kita harus memiliki strategi moderasi, kita juga wajib memiliki strategi
keluar (exit strategy) dan menyudahi moderasi tersebut. Absennya strategi keluar ini
justru seringkali berujung tidak terbedakannya kita dengan apa yang tadinya hendak
kita lawan, dan akhirnya membuat kita melenceng sangat jauh dari visi perjuangan
kelas pekerja. Kalau sudah seperti ini, saya pribadi hanya berharap Gulag yang terbaik
untuk Anda.

Salah satu komponen strategi keluar adalah indikator terukur atau tenggat waktu
terjadwal mengenai bilamana dan dalam kondisi apa tujuan-tujuan dari strategi
moderasi kita sudah tercapai. Moderasi sebagai strategi harus juga memiliki garis
batas mengenai syarat-syarat untuk menilai bahwa tujuan moderasi kita sudah
tercapai, atau tidak akan tercapai. Perencanaan skenario adalah kerangka yang bisa
dipakai di sini. Skenario yang dirancang mesti bisa merumuskan langkah-langkah yang
akan diambil kelak saat tujuan moderasi sudah tercapai. Langkah tersebut, tentu saja
harus membawa, membelokkan, dan mengarahkan hasil strategi moderasi tersebut ke
arah pemenuhan visi perjuangan kelas pekerja. Sehingga menjadi penting bahwa
dalam merumuskan strategi moderasi, ia juga harus menghitung dan
menginventarisir skenario-skenario taktis untuk keluar dan mengentikan moderasi. Itu
pun jika moderasinya berhasil.

Namun demikian, apabila dalam perkembangannya, moderasi kita menunjukkan


tanda-tanda kegagalan: semakin banyak indikator capaian yang tidak tercapai,
semakin banyak sumber daya yang habis, dan semakin jauh (berkebalikan) kita dengan
agenda-agenda perjuangan kelas, maka di titik ini strategi keluar juga diperlukan.
Untuk ini, lagi-lagi kita harus menimang-nimang, dalam perhitungan strategis dalam
rangka mencapai visi penyudahan ketimpangan sistemik kapitalisme, apakah masih
8/13
tetap worth it untuk tetap berada di jalur moderasi? Jika masih, maka apa strategi
cadangannya? Inilah mengapa kita perlu juga punya rencana cadangan atau, yang
dalam jargon Holywood, plan B atau contingency plan. Lagi-lagi, kerangka SMART juga
bisa membantu merumuskan ini.

Terakhir, strategi moderasi harus juga menyertakan strategi dan bahkan program-
program kongkrit untuk memperkuat basis-basis kekuatan kelas pekerja ekstra-
kekuasaan politik resmi (yi. negara/pemerintah). Hal ini diperlukan karena pada
dasarnya, strategi moderasi sebenarnya, dan seharusnya, adalah strategi untuk
mengulur waktu dan mengondisikan kekuasaan dalam sistem agar supaya saat basis-
basis dan strategi perjuangan kelas pekerja sudah mantap dan kongkrit dan siap
eksekusi, maka di situ kita harus keluar dan menyudahi moderasi. Sehingga adalah
konyol bagi setiap kita yang masuk ke dalam sistem namun sama sekali menjadi
terputus dengan basis-basis kongkrit perjuangan kelas di luar sistem kekuasaan resmi.
Lagi-lagi, untuk orang-orang seperti ini saya mendoakan Gulag termanis untuk anda.

Simpulan

Sampai di sini saya kira, kita, kelas pekerja, sudah punya cukup kerangka dalam
menilai program-program para paslon Pemilu April 2019 mendatang. Adalah visi dan
strategi pembebasan kelas pekerja dari kapitalisme yang berulang kali saya tekankan,
justru karena kedua hal inilah yang absen ditemui di diskusi-diskusi, pertemuan, dan
perdebatan mereka-mereka yang mengaku berpihak pada pekerja. Mengatakan “anti-
kapitalisme”, “pro kesetaraan”, bla..bla.. adalah hal mudah, tentu saja; untuk itu, kita
perlu lebih serius mengkualifikasi jargon-jargon instagrammable tersebut dengan
menginterogasi visi dan strateginya: apakah berada pada jalan pengakhiran
kapitalisme atau tidak.

Memilih paslon tentu saja harus berdasarkan programnya. Bahkan terlebih dari itu,
eligibilitas dan elektabilitas paslon harus semata-mata ditentukan berdasarkan
programnya. Hal ini dengan demikian akan mengeliminasi standar etis dan moral
borjuis. Contoh ekstrimnya adalah Stalin, misalnya, yang mengualifikasi ‘kebaikan’
seseorang berdasarkan acuan-acuan yang sepenuhnya materialis dan menggunakan
indikator perjuangan revolusioner (versinya, tentu saja). Di sampul belakang buku
Lenin, Materialism and Empirio-Criticism, Stalin menulis dengan tinta merah:

“1) Kelembekan, 2) Kemalasan, 3) Kebodohan; Hanya ketiga hal inilah yang bisa disebut
‘keburukan’ (vices). Hal lainnya, asalkan tanpa ketiga hal tersebut, tidak diragukan lagi
adalah ‘kebaikan’ (virtue).

NB! Kalau seseorang itu 1) kuat (secara mental), 2) aktif, 3) cerdas (atau cakap), maka ia
adalah baik, tidak peduli dengan ‘keburukan-keburukan’-nya! No 1) ditambah 3) sama
dengan 2).”[6]

Cara memandang “objektif” seperti Stalin ini tentu saja teramat sangat men-trigger
mereka-mereka yang moralis dan esensialis di pergerakan. Pikir mereka, “jadi
mentang-mentang seseorang punya strategi dan taktik yang bisa
dipertanggungjawabkan secara eksekutif dan revolusioner, lantas ia bebas bertindak
9/13
amoral?!” Tentu saja hal ini sah untuk dikeluhkan. Bahkan, justru dilema ini adalah
yang penting untuk ditegaskan dan disepakati di kalangan pergerakan kelas pekerja.
Apakah kita akan segera mendiskualifikasi seseorang karena tindakannya yang
amoral? Apakah hukuman bagi mereka yang kerja-kerjanya kontributif bagi visi
pembebasan kelas pekerja namun terpeleset kasus imoral adalah hukuman seumur
hidup (mati, persekusi, eksil, dst.)? Dan, yang lebih penting, apakah moralitas akan
selalu membawa kita keluar penindasan kapitalisme? Kita benar-benar perlu
menyeriusi persoalan ini.

Kelas pekerja seharusnya memiliki moralitasnya sendiri. Visi dan garis perjuangan
strategis berupa penghancuran total akan kapitalisme dan segala avatarnya, tidak
lantas membuat kelas pekerja absen dari standar-standar moral. Namun demikian,
seperti apa seharusnya takaran moralitas yang harus kita pakai saat berjumpa dengan
kasus-kasus amoral di kalangan kita? Lenin, dalam “The Tasks of the Youth League,”
yang ditulis pada 2 Oktober 1920 (LCW, vol. 31), menandaskan banyak hal tentang
moralitas. Saya kutipkan agak panjang.

“Seringkali dikatakan bahwa kita tidak memiliki etika kita sendiri; acap kali para borjuis
menuduh kita menolak seluruh moralitas. Ini adalah metode untuk mengaburkan isunya,
untuk melemparkan debu di mata para pekerja dan petani [..] Kita menolak moralitas apapun
yang didasarkan pada konsep-konsep di luar manusia dan di luar kelas. Kita harus katakan
bahwa ini adalah pembodohan, penipuan, dan pelemahan pekerja dan petani yang
menguntungkan kepentingan para tuan tanah dan kapitalis. Kita katakan pada mereka bahwa
moralitas kita seluruhnya tunduk pada kepentingan perjuangan kelas proletariat. Moralitas
kita berakar dari kepentingan perjuangan kelas proletariat. [..] Kita katakan: moralitas
haruslah mengabdi pada upaya menghancurkan masyarakat lama yang eksploitatif dan pada
upaya menyatukan seluruh pekerja di dalam kelas proletariat. Saat orang berkhotbah
moralitas pada kita, kita balik katakan: bagi kami, moralitas terdapat pada kesatuan disiplin
dan kesadaran massa akan perjuangan melawan kaum pengeksploitasi. Kita tidak percaya
pada moralitas abadi, dan kita akan telanjangi kesesatan-kesesatan seluruh dongeng
moralitas. Moralitas adalah melayani tujuan untuk mengangkat manusia dan masyarakat ke
tingkatan yang lebih tinggi dan menghancurkan eksploitasi pekerja.” (hal, 291-4).[7]

Sehingga pertanyaan “moral” kita untuk menilai segala bentuk imoralitas adalah:
sejauh mana imoralitas ini berdampak pada pelemahan dan terhambatnya “upaya
menghancurkan masyarakat lama yang eksploitatif dan pada upaya menyatukan
seluruh pekerja di dalam kelas proletariat”dandalammembentuk“kesatuan disiplin dan
kesadaran massa akan perjuangan melawan kaum pengeksploitasi.”Ini dan hanya
inilah yang bisa menjadi landasan argumen untuk menghukum sang imoral tersebut
dengan mengacu pada visi pembebasan kelas pekerja. Dengan demikian, saat kita
mendengar kecaman, tudingan, hujatan dan hukuman kawan-kawan kita yang
mengaku kelas pekerja atau pro-pekerja, namun dalam kecamannya tersebut
menggunakan justifikasi-justifikasi borjuis, moralis, dan etis seperti: kemanusiaan
universal, cinta kasih, kesetaraan, dosa, bla..bla.., ketimbang argumentasi perjuangan
kelas, maka kita tahu mereka adalah musuh-musuh yang berniat mengaburkan
perjuangan kita dan memecah persatuan kita kelas pekerja.

Oleh karena itu, jangan gentar dan kecut hati apabila adalah kawan-kawan progresif
10/13
Anda yang mencela Anda dalam menggunakan standar moral yang ketat dalam garis
perjuangan kelas, dalam bersikeras menilai berdasarkan strategi visioner dan utopia
pembebasan kelas pekerja dari kapitalisme. Karena orang-orang ini adalah jelmaan
dan para minion dari idiologi kapitalisme hari ini yang kata Slavoj Zizek tugasnya hanya
satu: “bukan menghancurkan oposisi, melainkan menghancurkan harapan akan dunia
tanpa kapitalisme.” Dengan dalih realistis, imajinasi kita dibuat lumpuh; dengan dalih
moral humanis, standar perjuangan kita dikaburkan. Bagi musuh dalam selimut ini,
tentu saja hukuman “moralis” ala kelas pekerja juga bisa berbentuk Gulag. Akhirnya,
seperti puisi Bertolt Brecht, “the Interrogation of the Good,” terhadap orang-orang “baik”
ini, kita akan katakan:

“Karenanya dengarkan kami: kami tahu

Engkau adalah musuh kami. Inilah mengapa kami akan

Sekarang juga menghadapkan engkau ke tembok

Namun mempertimbangkan

Capaian-capaian dan karaktermu yang serba baik

Kami akan menghadapkan engkau ke tembok yang baik dan menembakmu

Dengan peluru yang baik dari pistol yang baik dan menguburkan engkau

Dengan sekop yang baik di tanah yang baik.”[8]

Sebelum saya mengingkari subjudul “simpulan” saya dengan tidak kunjung


menyimpulkan artikel ini, maka baiklah saya memulainya di paragraf ini. Kembali ke
dua kunci di atas untuk menilai segala macam program, baik program paslon, namun
juga program kawan, lawan, dan juga program kita sendiri: yaitu visi dan strategi dalam
menamatkan kapitalisme berikut seluruh ekspresinya dalam ketimpangan relasi kelas,
produksi dan kerja-upahan. Dengan demikian, secara umum bisa kita simpulkan di sini
bahwa cara kelas pekerja menilai sebuah program seharusnya adalah menilai
sejauh mana suatu program memuluskan jalan menuju bubarnya kapitalisme.
Kelas pekerja perlu memiliki standar ukuran baku dan operasional untuk menakar
seberapa ampuh suatu program untuk menantang dominasi kapitalisme. Ukuran
tersebut juga mesti bisa mendeskripsikan dan menunjukkan secara pasti kapan dan
kondisi seperti apakah yang menandakan bahwa kapitalisme sudah tidak ada lagi.
Dengan kata lain, kelas pekerja perlu untuk memiliki konsepsi alternatif bagi
kapitalisme. Di sini penting untuk mengurai kapitalisme ke bentuk-bentuk dan
penjelmaan operasionalnya di kehidupan sehari-hari sebagaimana yang saya usulkan
di atas.

“Tolak!”, dan nada-nada lainnya yang sering kita jumpai di skena pergerakan sosial,
sayangnya tidak bisa kita kualifikasi sebagai program. Kelas pekerja perlu lebih
visioner dan lebih strategis. Apa yang akan dilakukan setelah menolak? Apa
rencananya jika penolakan kita tidak digubris? Apa strateginya apabila sampai
kapanpun penolakan kita tidak akan pernah berbuah positif, ketimbang malah
semakin memicu brutalitas aparat kekuasaan? Saya bahkan sempat suudzon, jangan-
11/13
jangan, dengan sedikit-sedikit mengatakan “tolak!”, sebenarnya ini sekadar
kompensasi kita akan ketiadaan visi, ketiadaan harapan dan ketiadaan masa depan.
Kekuasaan semakin brutal, eksploitasi semakin kurang ajar, dan pelecehan semakin
frontal; tentu saja ini semua tidak mungkin tidak memantik emosi. Namun, emosi
belaka tidak akan membawa kita kemana-mana. Hanya perencanaan strategis jangka
panjang saja yang akan menunjukkan jalur kongkrit pembebasan kita.

Oleh karena itu, kawan-kawan sekalian, dilihat standpoint pekerja maka program
apapun: politik, sosial, ekonomi, bisnis, kultural, dst., harus bermuara, dan hanya
bermuara pada pengakhiran kapitalisme. Begitu pula dengan kualifikasi personal dan
etis: jika hanya memilih pemimpin yang merakyat, maka rentenir dan tengkulak pun
juga blusukan merakyat; demikian juga jika hanya sekadar tegas, maka Hitler pun juga
bisa. Tidak peduli apakah yang mencanangkan program tersebut adalah aktivis senior,
profesor progresif pujaan, pemuka agama kritis, ideolog sosialis, penggerak gerakan
koperasi pekerja, pejuang HAM, penulis buku-buku “kiri,” atau bahkan dewan redaksi
IndoPROGRESS, kita sudah punya kerangka objektif untuk menilainya. Seperti Antonio
Negri, kini kita tahu bahwa “proposal politik apa pun yang katanya melawan sistem
kapitalis, struktur politik yang menopangnya, dan seluruh sistem kehidupan yang ada,
tanpa menyajikan perencanaan jelas untuk transformasi modus produksi, adalah
revolusioner PALSU.”***

Hizkia Yosias Polimpung adalah peneliti di Koperasi Riset Purusha dan editor di
IndoProgress

————–

[1] Uraian lebih jauh mengenai analisis materialis akan universalitas ini, yaitu
mutlaknya partikularitas sebagai pintu masuk bagi universalitas, lihat Judith Butler,
Ernesto Laclau, & Slavoj Žižek, Contingency, Hegemony, Universality: Contemporary
Dialogues On The Left (Verso, 2000).

[2] Klaim ini, secara filosofis, saya buktikan secara ontologis di buku saya: Hizkia Y.
Polimpung, Ontoantropologi: Fantasi Realisme Spekulatif Quentin Meillassoux (Aurora,
2017).

[3] Para pembaca Marx akan teringat persoalan ‘pembentukan kelas’, dari kelas-pada-
dirinya-sendiri (class in itself) menjadi kelas-bagi-dirinya-sendiri (class for itself). Bagi
yang juga membaca pekerjaisme, mis. Mario Tronti dan Toni Negri, pasti akan teringat
dengan konsep ‘komposisi subjektif kelas’ yang membedakannya dari ‘komposisi
teknis-organik kelas’.

[4] Lihat, misalnya, Gérard Duménil & Dominique Lévy, Capital Resurgent: Roots of the
Neoliberal Revolution (Harvard, 2004).

[5] Di lain kesempatan saya akan tunjukkan juga bahwa bahkan sekalipun apabila
anda tidak merasa pekerja (mis. anda lebih merasa identitas jender, atau jabatan
pekerjaan, atau asal-usul primordial anda adalah yang lebih mengemuka ketimbang
12/13
kenyataan—yang anda sangkal—bahwa anda adalah kelas buruh), perspektif pekerja
tetap adalah yang paling universal. Bahkan bagi kapitalis itu sendiri, menggunakan
perspektif pekerja justru dapat menguntungkan, dan—berita buruk buat kita—bisa
dipakai untuk menumpas gerakan pekerja itu sendiri. Ini adalah konsekuensi dari
objektivitas dan universalitas perspektif pekerja. Berperspektif pekerja, memang, tidak
lantas berarti berpihak pada pekerja. Dua hal yang sayangnya terpisah. Bahkan dalam
perspektif pekerja, tetap perlu digelar pertempuran kelas!

[6] “1) Weakness, 2) Idleness, 3) Stupidity; These are the only things that can be called vices.
Everything else, in the absence of the aforementioned, is undoubtedly virtue. | NB! If a man
is 1) strong (spiritually), 2) active, 3) clever (or capable), then he is good, regardless of any
other “vices”! 1) plus 3) make 2).” Dikutip dari Slavoj Zizek, Less Than Nothing, h. 126.,
terjemahan saya sendiri.

[7] Terjemahan saya sendiri dari teks Inggris: “It is often suggested that we have no ethics
of our own; very often the bourgeoisie accuse us Communists of rejecting all morality. This is
a method of confusing the issue, of throwing dust in the eyes of the workers and peasants
[..] We reject any morality based on extra-human and extraclass concepts. We say that this
is deception, dupery, stultification of the workers and peasants in the interests of the
landowners and capitalists. We say that our morality is entirely subordinated to the
interests of the proletariat’s class struggle. Our morality stems from the interests of the class
struggle of the proletariat. [..] We say: morality is what serves to destroy the old exploiting
society and to unite all the working people around the proletariat. When people tell us
about morality, we say: to us all morality lies in this united discipline and conscious mass
struggle against the exploiters. We do not believe in an eternal morality, and we expose the
falseness of all the fables about morality. Morality serves the purpose of helping human
society rise to a higher level and rid itself of the exploitation of labor.”

[8] Terjemahan saya sendiri dari nukilan teks Inggris. Puisi lengkap di sini; animasinya
di sini.

13/13

Anda mungkin juga menyukai