Anda di halaman 1dari 11

Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945

Sebelum Diamandemen

Sistem pemerintahan ini tertuang dalam penjelasan UUD 1945


tentang 7 kunci pokok sistem pemerintahan. Yaitu :
1. Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).
2. Sistem Konstitusional.
3. Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden, dan tidak bertanggung jawab terhadap
DPR.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Berdasarkan tujuh kunci pokok tersebut, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945
menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa
Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan
presidensial ini adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan.

Pada saat sistem pemerintahan ini, kekuasaan presiden


berdasarkan UUD 1945 adalah sebagai berikut :

1. Pemegang kekuasaan legislatif.


2. Pemegang kekuasaan sebagai kepala pemerintahan.
3. Pemegang kekuasaan sebagai kepala Negara.
4. Panglima tertinggi dalam kemiliteran.
5. Berhak mengangkat & melantik para anggota MPR dari utusan daerah atau golongan.
6. Berhak mengangkat para menteri dan pejabat Negara.
7. Berhak menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara
lain.
8. Berhak mengangkat duta dan menerima duta dari Negara lain.
9. Berhak memberi gelaran, tanda jasa, dan lain – lain tanda kehormatan.
10. Berhak memberi grasi, amnesty, abolisi, dan rehabilitasi.

Dampak negatif yang terjadi dari sistem pemerintahan yang bersifat presidensial ini
adalah sebagai berikut :

1. Terjadi pemusatan kekuasaan Negara pada satu lembaga, yaitu presiden.


2. Peran pengawasan & perwakilan DPR semakin lemah.
3. Pejabat – pejabat Negara yang diangkat cenderung dimanfaat untuk loyal dan
mendukung kelangsungan kekuasaan presiden.
4. Kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan orang – orang yang dekat presiden.
5. Menciptakan perilaku KKN.
6. Terjadi personifikasi bahwa presiden dianggap Negara.
7. Rakyat dibuat makin tidak berdaya, dan tunduk pada presiden.

Dampak positif yang terjadi dari sistem pemerintahan yang bersifat presidensial ini
adalah sebagai berikut :

1. Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan.


2. Presiden mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid.
3. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti.
4. Konflik dan pertentangan antar pejabat Negara dapat dihindari.
Ilustrasi

Indonesia memasuki era reformasi. Dimana bangsa Indonesia ingin dan bertekad untuk
menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Oleh karena itu perlu disusun
pemerintahan berdasarkan konstitusi (konstitusional). Yang bercirikan sebagai berikut :

 Adanya pembatasan kekuasaan ekskutif.


 Jaminan atas hak – hak asasi manusia dan warga Negara.
Pengertian Sistem Pemerintahan
Pada prinsipnya sistem pemerintahan itu mengacu pada bentuk hubungan antara lembaga legislatif
dengan lembaga eksekutif (Sri Soemantri, 1981:76). Sir Walter Bagehot (1955) kemudian membedakan
antara sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial. Meskipun sebenarnya
Bagehot hanya sekedar mencoba untuk memperbandingkan antara sistem yang berlaku di Inggris dan di
Amerika Serikat, namun pembedaan ini lalu menjadi klasifikasi pokok bagi sistem pemerintahan itu sendiri.
Namun demikian uraian tentang sistem pemerintah Indonesia di sini akan sedikit diperluas. Tidak hanya
meliputi hubungan antara Presiden yang merupakan lembaga eksekutif dengan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) sebagai lembaga legislatif semata. Uraian di sini juga akan meliputi penjelasan sekedarnya tentang
lembaga-lembaga ketatanegaraan Indonesia yang lain.

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA

Berdasarkan undang – undang dasar 1945 sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah sebagai
berikut :
1. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka.
2. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak
terbatas)
3. Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan majelis permusyawaratan rakyat.
4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi dibawah MPR. Dalam menjalankan pemerintahan
Negara kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan prsiden.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden harus mendapat persetujuan dewan perwakilan rakyat
dalam membentuk undang – undang dan untuk menetapkan anggaran dan belanja Negara.
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden yang mengangkat dan memberhentikan mentri Negara. Menteri Negara
tidak bertanggung jawab kepada DPR.
7. Kekuasaan kepala Negara tidak terbatas. presiden harus memperhatikan dengan sungguh – sungguh usaha DPR.

Kekuasaan pemerintahan Negara Indonesia menurut undang–undang dasar 1 sampai dengan pasal 16. pasal
19 sampai dengan pasal 23 ayat (1) dan ayat (5), serta pasal 24 adalah:
1. Kekuasaan menjalan perundang – undangan Negara atau kekuasaan eksekutif yang dilakukan oleh pemerintah.
2. Kekuasaan memberikan pertimbangan kenegaraan kepada pemerintah atau kekuasaan konsultatif yang dilakukan
oleh DPA.
3. Kekuasaan membentuk perundang – undang Negara atau kekuasaan legislatif yang dilakukan oleh DPR.
4. Kekuasaan mengadakan pemeriksaan keuangan Negara atau kekuasaan eksaminatif atau kekuasaan inspektif yang
dilakukan oleh BPK.
5. Kekuasaan mempertahankan perundang – undangan Negara atau kekuasaan yudikatif yang dilakukan oleh MA.

Berdasarkan ketetapan MPR nomor III / MPR/1978 tentang kedudukan dan hubungan tata kerja lembaga
tertinggi Negara dengan atau antara Lembaga – lembaga Tinggi Negara ialah sebagai berikut:
1. Lembaga tertinggi Negara adalah majelis permusyawaratan rakyat. MPR sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
dalam Negara dengan pelaksana kedaulatan rakyat memilih dan mengangkat presiden atau mandataris dan wakil
presiden untuk melaksanakan garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan putusan – putusan MPR lainnya. MPR
dapat pula diberhentikan presiden sebelum masa jabatan berakhir atas permintaan sendiri, berhalangan tetap sesuai
dengan pasal 8 UUD 1945, atau sungguh – sungguh melanggar haluan Negara yang ditetapkan oleh MPR.
2. Lembaga – lembaga tinggi Negara sesuai dengan urutan yang terdapat dalam UUD 1945 ialah presiden (pasal 4 –
15), DPA (pasal 16), DPR (pasal 19-22), BPK (pasal 23), dan MA (pasal 24).
a. Presiden adalah penyelenggara kekuasaan pemerintahan tertinggi dibawah MPR. Dalam melaksanakan kegiatannya
dibantu oleh seorang wakil presiden. Presiden atas nama pemerintah (eksekutif) bersama – sama dengan DPR
membentuk UU termasuk menetapkan APBN. Dengan persetujuan DPR, presiden dapat menyatakan perang.
b. Dewan pertimbangan Agung (DPA) adalah sebuah bahan penasehat pemerintah yang berkewajiban memberi
jawaban atas pertanyaan presien. Selain itu DPA berhak mengajukan pertimbangan kepada presiden.
c. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebauh badan legislative yang dipilih oleh masyarakat berkewajiban selain
bersama – sama dengan presiden membuat UU juga wajib mengawasi tindakkan – tindakan presiden dalam
pelaksanaan haluan Negara.
d. Badan pemeriksa keuangan (BPK) ialah Badan yang memeriksa tanggung jawab tentang keuangan Negara. Dalam
pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. BPK memriksa semua pelaksanaan APBN. Hasil
pemeriksaannya dilaporkan kepada DPR.
e. Mehkamah Agung (MA) adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksanaan
tugasnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh lainnya. MA dapat mempertimbangkan dalam
bidang hukum, baik diminta maupun tidak diminta kepada kepada lembaga – lembaga tinggi Negara.

Untuk memperjelas bagaimana hubungan antara lembaga tertinggi Negara dengan lembaga tinggi Negara dan
lembaga tinggi Negara dengan lembaga tinggi Negara lainnya menurut UUD 1945, perhatikan dengan seksama bagan
– bagan dibawah ini yang di elaborasi oleh kansil.:

EKSEKUTIF
Kekuasaan pemerintah (eksekutif) diatur dalam UUD 1945 pada BAB II pasal 4 sampai dengan pasal 15.
Pemerintahan republic Indonesia terdiri dari Aparatur pemerintah republic Indonesia terdiri dari Aparatur Pemerintah
Pusat, Aperatur Pemrintah daerah dan usaha – usaha Negara.Aperatur pemrintah pusat terdiri dari :
a. Kepresidenan beserta Aparatur utamanya meliputi :
1) Presiden sebagai kepala Negara merangkap kepala pemerintahan (eksekutif).
2) Wakil presiden
3) Menteri – menteri Negara / lembaga non departemen. Menurut keputusan prsiden Republik Indonesia nomor 102
Tahun 2001 tanggal 13 september 2001 bahwa departemen merupakan unsure pelaksana pemerintah yang di pimpin
oleh seorang menteri Negara yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Departemen luar negeri,
departemen pertahanan dan dewpartemen lainnya.
4) Kejaksaan agung
5) Sekretariat Negara
6) Dewan – dewan nasional
7) Lembaga – lembaga non departemen menurut keputusan presiden RI nomor 166 tahun 2000, seperti publik
Indonesia (ANRI), LAN, BKN, dan perpunas, dan lain – lain.

2. Perbandingan antara Indische Staatsregeling dengan UUD 1945


Rupanya secara umum telah diyakini bahwa sistem pemerintahan Indonesia menurut Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945) itu adalah sistem presidensial. Keyakinan ini secara yuridis samasekali tidak
berdasar. Tidak ada dasar argumentasi yang jelas atas keyakinan ini.
Apabila diteliti kembali struktur dan sejarah penyusunan UUD 1945 maka tampaklah bahwa sebenarnya
sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 itu adalah sistem campuran. Namun sistem campuran ini
bukan campuran antara sistem presidensial model Amerika Serikat dan sistem parlementer model Inggris.
Sistem campuran yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemerintahan campuran model Indische
Staatsregeling (‘konstitusi’ kolonial Hindia Belanda) dengan sistem pemerintahan sosialis model Uni
Sovyet.
Semua lembaga negara kecuali Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), merupakan turunan langsung
dari lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda dahulu, yang berkembang melalui pengalaman
sejarahnya sendiri sejak zaman VOC. Sementara itu, sesuai dengan keterangan Muhammad Yamin (1971)
yang tidak lain adalah pengusulnya, MPR itu dibentuk dengan mengikuti lembaga negara Uni Sovyet yang
disebut Sovyet Tertinggi. Secara ringkas, maka apabila lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda
menurut Indische Staatsregeling dan lembaga-lembaga negara Indonesia menurut UUD 1945 tersebut
disejajarkan, maka akan tampak sebagai berikut:

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sovyet Tertinggi


Presiden/Wakil Presiden Gouverneur Generaal/
Luitenant Gouverneur Generaal
Dewan Pertimbangan Agung Raad van Nederlandsch-Indie
Dewan Perwakilan Rakyat Volksraad
Badan Pemeriksa Keuangan Algemene Rekenkamer
Mahkamah Agung Hooggerechtshof van Nederlandsch-Indie

3. Hubungan antara Presiden dengan DPR


Alur berpikir seperti terurai di atas dapatlah membantu kita untuk memahami mengapa Presiden menurut
UUD 1945 (sebelum amandemen) itu memiliki kekuasaan yang luar biasa besar. Hal ini dapat dimengerti,
sebab Gouverneur Generaal, yang kekuasaannya ditiru oleh UUD 1945 dalam bentuk kekuasaan Presiden
itu, adalah viceroy Belanda. Di tangan Gouvernuer Generaal-lah, kekuasaan tertinggi atas Hindia Belanda
itu terletak. Atas dasar itulah maka dapat dimengerti bahwa Presiden menurut UUD 1945 (sebelum
amandemen) itu relatif omnipotent.
Di lain pihak, DPR yang merupakan turunan Volksraad-pun tidak dapat melepaskan diri dari sifat-
sifat Volksraad itu sendiri. Volksraad pada masa penjajahan Belanda itu dibentuk sebagai ‘wakil’ rakyat
Hindia Belanda, yang berhadapan dengan Gouverneur Generaal yang mewakili Mahkota Belanda itu.
Fungsi Volksraad dengan demikian pertama-tama adalah sebagai lembaga pengawas pemerintahan
kolonial Hindia Belanda, bukan sebagai lembaga legislatif. Lembaga legislatif Hindia Belanda
tetaplah Gouverneur Generaal itu sendiri. Pola hubungan ini diikuti oleh UUD 1945 (sebelum amandemen).
DPR pertama-tama adalah lembaga pengawas Presiden, dan bukan lembaga legislatif. Lembaga legislatif
menurut UUD 1945 adalah Presiden (bersama dengan DPR).
Namun dalam Sidangnya pada tanggal 19 Oktober 1999 MPR membatasi kekuasaan Presiden, dan
mengalihkan kekuasaan legislatif dari Presiden bersama DPR tersebut kepada DPR (bersama Presiden).
Konstruksi konstitusional ini lebih mirip dengan konstruksi model Inggris. Kekuasaan legislatif di Inggris
sepenuhnya ada di tangan Parliament, meskipun pengesahan secara nominal tetap ada di tangan Raja.
Presiden dengan demikian bertindak sebagai the ‘royal’ gouvernment, dan DPR bertindak sebagai the loyal
opposition.

4. Kedudukan MPR
Pada awalnya MPR mempunyai fungsi yang presis sama dengan fungsi Sovyet Tertinggi di Uni Sovyet
atau Majelis Nasional di Republik Tiongkok (yang masih lestari berlaku di Taiwan dan Republik Rakyat
Cina itu). MPR seperti halnya Sovyet Tertinggi maupun Majelis Nasional merupakan pelaksana Kedaulatan
Rakyat. Dalam rangka itu MPR membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang akan menjadi
pedoman kerja pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Akan tetapi MPR pada prinsipnya tidak dapat menyelenggarakan pemerintahan yang sebenarnya
merupakan kewenangannya itu. Untuk itu maka MPR memberikan mandat pemerintahan itu kepada
Kepala Negara (yang bergelar Presiden itu). Itu sebabnya maka maka Kepala Negara merupakan
Mandataris MPR, yang tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Hal inilah yang mendasari
kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas pemerintahan di Indonesia itu. Hal ini mirip dengan
sistem di Uni Sovyet pula. Sovyet Tertinggi menyerahkan mandat pemerintahan kepada Presidium Sovyet
Tertinggi, yang bersifat kolektif itu (Denisov, A. dan M. Kirichenko, 1960).
Lebih jauh, dengan demikian tidaklah tepat apabila dikatakan bahwa Presiden itu berfungsi sebagai Kepala
Negara seperti halnya sistem presidensial model Amerika Serikat (Thomas James Norton, 1945).
Berdasarkan Penjelasan Umum UUD 1945, MPR memegang kekuasaan negara yang tertinggi. Untuk
kemudian MPR mengangkat Kepala Negara yang bergelar Presiden itu. Dengan demikian jabatan yang
menjalankan pemerintahan itu adalah Kepala Negara, sedangkan Presiden itu hanyalah gelar dari Kepala
Negara Indonesia semata. Sebaliknya tidak tepat pula apabila dikatakan bahwa Presiden Indonesia itu
juga merangkap sebagai Kepala Pemerintahan seperti Perdana Menteri Inggris (William A. Robson, 1948
dan Wade, E.C.S & Godfrey Phillips, 1970). Hal ini mengingat bahwa Presiden Indonesia itu mendapat
mandat pemerintahan dari Pemegang Kedaulatan Rakyat, dan bukan dari Parlemen.
Namun politik hukum Indonesia sejak Masa Reformasi telah mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia
secara signifikan. Ada upaya untuk melakukan amerikanisasi sistem pemerintahan Indonesia. Sejak awal
masa Reformasi, ada upaya nyata untuk menghapus eksistensi MPR ini, dan diubah menjadi sistem
pemerintahan model Amerika Serikat. Pada ini muncul lembaga negara yang samasekali baru, yaitu
Dewan Perwakilan Daerah. Secara politis, lembaga ini merupakan akomodasi dari hilangnya Fraksi
Daerah dalam susunan MPR. Akan tetapi dari sudut kelembagaan itu sendiri, lembaga baru ini menjadi
semacam lembaga Senate dalam susunan Congress di Amerika Serikat. Dengan demikian susunan MPR
itu sendiri terdiri atas DPR dan DPD, mirip dengan susunan Congress, yang terdiri atas Senate dan House
of Representativesitu. Bedanya, DPD di Indonesia itu tidak diberi kewenangan apapun, kecuali hanya
memberi usulan dan pertimbangan. Sesuatu yang sangat tidak efisien dan efektif. Masalahnya mengapa
Indonesia harus mengacu pada sistem Amerika Serikat? Entahlah. Seringkali muncul pertanyaan ironik:
mengapa sistem pemerintahan Indonesia tersebut tidak mengacu saja pada Uganda atau Nepal misalnya,
sebagai sesama negara yang berdaulat?

5. Eksistensi Penasehat Presiden


Reformasi sistem pemerintahan Indonesia di Masa Refomasi seperti terurai di atas ditandai pula dengan
sebuah dagelan konstitutif. Melalui Amandemen Keempat pada tanggal 10 Agustus 2002 Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) sebagai lembaga pemasehat Presiden dihapus. Namun pada saat yang sama
dibentuklah Dewan Pertimbangan Presiden (DPP). Masalahnya, perbedaan antara kedua lembaga ini
hanya pada istilah ‘Agung’ dan istilah ‘Presiden’ semata. Tidak lebih, tidak kurang. Hal ini menunjukkan
bahwa perancang perubahan ini samasekali tidak mengacu pada sejarah lembaga prestisius ini, dan
rupanya juga tidak pernah mempelajari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1967, tentang Dewan
Pertimbangan Agung itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa lembaga pemasehat Kepala Negara semacam ini merupakan suatu lembaga
kenegaraan purba yang telah ada sejak masa Romawi dahulu. Para kaisar Romawi itu senantiasa
didampingi oleh sekelompok penasehat yang tergabung dalam Curia Regis. Lembaga pendamping Kepala
Negara ini tetap bertahan hingga dewasa ini di pelbagai negara. Di Inggris terdapat Privy Council yang
merupakan pendamping Kepala Negara Inggris (King/Queen). Pada masa sebelum Revolusi Perancis
dikenal lembaga conseil du roy, yang pada masa Napoleon diganti menjadi conseil d’etat. Di Belanda
terdapat Raad van State, dan di Malaysia serta di Brunai dikenal lembaga Dewan Raja.
Pada hakekatnya bersama dengan kepala negara, lembaga penasehat ini merupakan sistem
pemerintahan purba. Sistem pemerintahan ini baru memiliki sistem pemerintahan pembanding sejak
munculnya teori Trias Politika, yang diterapkan di Amerika Serikat atas dasar Konstitusi Amerika Serikat itu
sendiri. Pada saat membentuk sistem organisasi dagangnya VOC-pun juga mengikuti pola ini. Gouverneur
Generaalmengendalikan reksa dagangnya di seberang lautan (overzee) bersama dengan Raad van
Indie (Kleintjes, Ph., 1932 & Schrieke, J.J., 1938-1939). Pada masa pemerintahan jajahan Hindia Belanda
lembaga ini berubah nama menjadi Raad van Nederlandsch-Indie. Sedemikian prestisius dan
terhormatnya kedudukan lembaga pendamping Gubernur Jenderal ini, sehingga Kleintjes (1932)
menempatkan Raad van Nederlandsch-Indie ini sejajar dengan jabatan Gubernur Jenderal itu sendiri.
Inilah rupanya yang mendasari Ketetapan MPRS nomor XX/MPRS/1966, tentang Memorandum DPR-GR
Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik
Indonesia, menempatkan DPA sejajar dengan Presiden sebagai sesama lembaga tinggi negara. Akan
tetapi apapun posisinya, baik DPA maupun DPP merupakan lembaga pendamping Presiden. Tidak ada
perubahan fungsi sedikitpun antara keduanya. Hal ini tampak jelas dalam pengaturan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1963 tersebut di atas. Jadi, tidak ada dasar akademik yang signifikan sedikitpun untuk
menghapus DPA dan mengubahnya menjadi DPP itu. Tidak lebih daripada sekedar dagelan konstitusional
itu tadi.

6. Sistem Keuangan Negara


Adapun mengenai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) jelas lembaga kenegaraan ini mengambil alih
fungsi Algemeene Rekenkamer. Bahkan Indische Comptabilietswet (ICW) dan Indische Bedrijvenswet
(IBW) tetap lestari menjadi acuan kerja BPK sampai munculnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003,
tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, tentang Perbendaharaan Negara.
Bahkan Soepomo sendiri secara eksplisit mengatakan bahwa badan ini '... dulu dinamakan Rekenkamer,
...' (Muhammad Yamin, 1971:311).
Selanjutnya, kedudukan BPK ini terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah. Akan tetapi tidak
berdiri di atas Pemerintah. Lebih jauh hasil pemeriksaan BPK itu diberitahukan kepada DPR (Bonar
Sidjabat, 1968:9-10; Muhammad Yamin, 1971:308-311). Artinya, BPK hanya wajib melaporkan hasil
pemeriksaannya kepada DPR. Dengan demikian BPK merupakan badan yang mandiri, serta bukan
bawahan DPR. Hal yang sama dijumpai pula pada hubungan kerja antara Algemeene
Rekenkamer dengan Volksraad.

7. Kekuasaan Kehakiman
Sama halnya dengan BPK, Mahkamah Agung juga mengambil alih fungsi Hooggerechtshof van
Nederlandsch-Indie. Ketentuan-ketentuan tentang kekuasaan kehakiman warisan Hindia Belanda diambil
alih pula ke dalam sistem hukum tentang kekuasaan kehakiman Indonesia beberapa waktu lamanya
sampai terbentuk ketentuan yang baru. Bedanya, pada masa penjajahan Belanda dahulu, terdapat
dualisme susunan kekuasaan kehakiman ini. Ada Europeesche Rechtsspraak yang menangani pelbagai
perkara golongan Eropa, dan ada pula Indische Rechtssspraak yang menangani perkara-perkara
golongan inlanders (pribumi). Kelak pada masa penjajahan Jepang, dualisme ini dihapus.
Selain itu, pada masa penjajahan Belanda, badan peradilan agama merupakan badan peradilan khusus
yang tidak berdiri sendiri. Artinya, pada Pengadilan Landraad ada jabatan Penghoeloe yang menangani
perkara-perkara agama Islam, atas nama Ketua Landraad setempat. Hal ini tetap berlangsung di
Pengadilan Negeri di masa Kemerdekaan. Perkara-perkara agama itu masih memerlukan fiat eksekusi dari
Ketua Pengadilan Negeri manakala hendak dilakukan eksekusi. Hal ini baru berakhir tahun 1989 dengan
munculnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama. Sejak itu Badan Peradilan
Agama menjadi badan peradilan khusus yang berdiri sendiri, sejajar dengan badan peradilan Umum.
Pada masa Reformasi, muncul dua lembaga kehakiman yang baru. Kedua lembaga kehakiman tersebut
adalah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, yang muncul pada Amandemen Ketiga pada tanggal 9
November 2001. Komisi Yudisial tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang
menyangkut mafia peradilan, sesuatu yang keberadaannya antara ada dan tiada itu. Sementara itu
Mahkamah Konstitusi merupakan suatu lembaga antitesa atas buruknya kinerja lembaga peradilan itu
sendiri yang berpuncak pada Mahkamah Agung itu.

Kategori: Lainnya
Menurut UUD 1945, bahwa sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak menganut sistem pemisahan
kekuasaan atau separation of power (Trias Politica) murni sebagaimana yang diajarkan Montesquieu, akan tetapi
menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of power). Hal-hal yang mendukung argumentasi tersebut,
karena Undang-Undang Dasar 1945 :

a. Tidak membatasi secara tajam, bahwa tiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh suatu organisasi/badan tertentu yang
tidak boleh saling campur tangan.

b. Tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas 3 bagian saja dan juga tidak membatasi kekuasaan dilakukan oleh 3
organ saja

c. Tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan MPR, pasal 1 ayat 2, kepada lembaga-lembaga negara
lainnya.

a. Pokok-pokok Sistem Pemerintahan Republik Indonesia

1) Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.
Provinsi tersebut adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Bali, Banten, Bengkulu, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Gorontalo, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat,
Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Barat, Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Sumatra Selatan.

2) Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan adalah presidensial.


3) Pemegang kekuasaan eksekutif adalah Presiden yang merangkap sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Presiden dan wakilnya dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan 5 tahun. Namun pada pemilu tahun 2004,
Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket untuk masa jabatan 2004 – 2009.

4) Kabinet atau menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, serta bertanggung jawab kepada presiden.

5) Parlemen terdiri atas 2 bagian (bikameral), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD). Para anggota DPR dan DPD merupakan anggota MPR. DPR terdiri atas para wakil rakyat yang dipilih melalui
pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Anggota DPD adalah para wakil dari masing-masing provinsi yang
berjumlah 4 orang dari tiap provinsi. Anggota DPD dipilih oleh rakyat melalui pemilu dengan sistem distrik
perwakilan banyak. Selain lembaga DPR dan DPD, terdapat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang
anggotanya juga dipilih melaui pemilu. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya
pemerintahan.

6) Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, yaitu pengadilan tinggi
dan pengadilan negeri serta sebuah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

7) Sistem pemerintahan negara Indonesia setelah amandemen UUD 1945, masih tetap menganut Sistem Pemerintahan
Presidensial, karena Presiden tetap sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden juga berada di
luar pengawasan langsung DPR dan tidak bertanggung jawab pada parlemen. Namun sistem pemerintahan ini juga
mengambil unsur-unsur dari sistem parlementer & melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-
kelemahan yang ada dalm sistem presidensial.

b. Beberapa variasi dari Sistem Pemerintahan Presidensial RI

1) Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan
mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
2) Presiden dalam mengangkat pejabat negara perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Contohnya dalam
pengangkatan Duta untuk negara asing, Gubernur Bank Indonesia, Panglima TNI dan kepala kepolisian.

3) Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Contohnya
pembuatan perjanjian internasional, pemberian gelar, tanda jasa, tanda kehormatan, pemberian amnesti dan abolisi.

4) Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran).

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, dapat difahami bahwa dalam perkembangan sistem pemerintahan
presidensial di negara Indonesia (terutama setelah amandemen UUD 1945) terdapat perubahan-perubahan sesuai
dengan dinamika politik bangsa Indonesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama.
Perubahan baru tersebut antara lain, adanya pemilihan presiden langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and
balance dan pemberian kekuasaan yang lebih besar pada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.
Secara umum dengan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada era reformasi, telah banyak
membawa perubahan yang mendasar baik terhadap ketatanegaraan (kedudukan lembaga-lembaga negara), sistem
politik, hukum, hak asasi manusia, pertahanan keamanan dan sebagainya. Berikut ini dapat dilihat perbandingan
model sistem pemerintahan negara republik Indonesia sebelum dan setelah dilaksanakan amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 :

Masa Orde Baru (Sebelum amandemen UUD 1945)

Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagai
berikut :

a. Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat)

Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekua-saan belaka (machtsaat). Ini
mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, dalam
melaksanakan tugasnya/ tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum.

b. Sistem Konstitusional

Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Sistem ini memberikan ketegasan cara pengendalian
pemerintahan negara yang dibatasi oleh ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga ketentuan dalam hukum lain
yang merupakan produk konstitusional, seperti Ketetapan-Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah,
dan sebagainya.

c. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia Tugas
Majelis adalah:
1) Menetapkan Undang-Undang Dasar,
2) Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara,
3) Mengangkat kepala negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden).

Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut
garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan
bertanggungjawab kepada Majelis. Presiden adalah “manda-taris” dari Majelis yang berkewajiban menjalankan
ketetapan-ketetapan Majelis.

d. Presiden ialah penyelenggara peme-rintah Negara yang tertinggi menurut UUD.

Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada di tangan Presiden. Hal itu karena
Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi juga dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan
rakyat yang berupa Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan MPR lainnya.

e. Presiden tidak bertanggungjawab ke-pada Dewan Perwakilan Rakyat.

Kedudukan Presiden dengan DPR adalah neben atau sejajar. Dalam hal pembentukan undang-undang dan menetapkan
APBN, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan DPR.
Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari Dewan. Presiden
tidak dapat membu-barkan DPR seperti dalam kabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden.

f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak ber-tanggungjawab kepada Dewan Perwa-kilan
Rakyat.

Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan mentri-mentri negara. Menteri-mentri itu tidak
bertanggungjawab kapada DPR dan kedudukannya tidak tergantung dari Dewan., tetapi tergantung pada Presiden.
Menteri-menteri merupakan pembantu presiden.

g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.


Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan berarti ia “diktator” atau tidak terbatas.
Presiden, selain harus bertanggung jawab kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh-sungguh suara-suara dari
DPR karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah anggota MPR). DPR juga
mempunyai wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta
pertanggungjawaban Presiden, apabila dianggap sungguh-sungguh melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tarcela.

Masa Reformasi (Setelah Amandemen UUD 1945)

Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. Tentang
sistem pemerintahan negara republik Indonesia dapat dilihat di dalam pasal-pasal sebagai berikut :

a. Negara Indonesia adalah negara Hukum.

Tercantum di dalam Pasal 1 ayat (3), tanpa ada penjelasan.

b. Sistem Konstitusional

Secara eksplisit tidak tertulis, namun secara substantif dapat dilihat pada pasal-pasal sebagai berikut :
- Pasal 2 ayat (1)
- Pasal 3 ayat (3)
- Pasal 4 ayat (1)
- Pasal 5 ayat (1) dan (2)
- Dan lain-lain

c. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
MPR berdasarkan Pasal 3, mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut :
- Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
- Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
- Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.

d. Presiden ialah penyelenggara peme-rintah Negara yang tertinggi menurut UUD.

Masih relevan dengan jiwa Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2).

e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Dengan memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara (Presiden) dari Pasal 4 s.d. 16, dan
Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 s.d. 22B), maka ketentuan bahwa Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR
masih relevan. Sistem pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap menerapkan sistem presidensial.

f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak ber-tanggungjawab kepada Dewan Perwakilan
Rakyat.

Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden yang
pembentukan, pengubahan dan pembubarannya diatur dalam undang-undang Pasal 17).

g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.


Presiden sebagai kepala negara, kekua-saannya dibatasi oleh undang-undang. MPR berwenang memberhentikan
Presiden dalam masa jabatanya (Pasal 3 ayat 3). Demikian juga DPR, selain mempunyai hak interpelasi, hak angket,
dan menyatakan pendapat, juga hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas
(Pasal 20 A ayat 2 dan 3).
Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945

Menurut UUD 1945, bahwa sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan
atau separation of power (Trias Politica) murni sebagaimana yang diajarkan Montesquieu, akan tetapi menganut sistem
pembagian kekuasaan (distribution of power). Hal-hal yang mendukung argumentasi tersebut, karena Undang-Undang
Dasar 1945 :

a. Tidak membatasi secara tajam, bahwa tiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh suatu organisasi/badan tertentu yang tidak
boleh saling campur tangan.

b. Tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas 3 bagian saja dan juga tidak membatasi kekuasaan dilakukan oleh 3 organ saja

c. Tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan MPR, pasal 1 ayat 2, kepada lembaga-lembaga negara lainnya.

a. Pokok-pokok Sistem Pemerintahan Republik Indonesia

1) Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi. Provinsi
tersebut adalah Nanggroe Aceh Darussalam, Bali, Banten, Bengkulu, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Gorontalo, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Lampung, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Papua, Papua Barat, Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat,
Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Sumatra Selatan.

2) Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan adalah presidensial.


3) Pemegang kekuasaan eksekutif adalah Presiden yang merangkap sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Presiden dan wakilnya dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan 5 tahun. Namun pada pemilu tahun 2004,
Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket untuk masa jabatan 2004 – 2009.

4) Kabinet atau menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, serta bertanggung jawab kepada presiden.

5) Parlemen terdiri atas 2 bagian (bikameral), yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD). Para anggota DPR dan DPD merupakan anggota MPR. DPR terdiri atas para wakil rakyat yang dipilih melalui
pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Anggota DPD adalah para wakil dari masing-masing provinsi yang berjumlah 4
orang dari tiap provinsi. Anggota DPD dipilih oleh rakyat melalui pemilu dengan sistem distrik perwakilan banyak. Selain
lembaga DPR dan DPD, terdapat DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang anggotanya juga dipilih melaui pemilu.
DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.

6) Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, yaitu pengadilan tinggi dan
pengadilan negeri serta sebuah Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

7) Sistem pemerintahan negara Indonesia setelah amandemen UUD 1945, masih tetap menganut Sistem Pemerintahan
Presidensial, karena Presiden tetap sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden juga berada di luar
pengawasan langsung DPR dan tidak bertanggung jawab pada parlemen. Namun sistem pemerintahan ini juga mengambil
unsur-unsur dari sistem parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada
dalam sistem presidensial.

b. Beberapa variasi dari Sistem Pemerintahan Presidensial RI

1) Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan mengawasi
presiden meskipun secara tidak langsung.

2) Presiden dalam mengangkat pejabat negara perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Contohnya dalam
pengangkatan Duta untuk negara asing, Gubernur Bank Indonesia, Panglima TNI dan kepala kepolisian.

3) Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR. Contohnya pembuatan
perjanjian internasional, pemberian gelar, tanda jasa, tanda kehormatan, pemberian amnesti dan abolisi.

4) Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran).

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, dapat difahami bahwa dalam perkembangan sistem pemerintahan
presidensial di negara Indonesia (terutama setelah amandemen UUD 1945) terdapat perubahan-perubahan sesuai dengan
dinamika politik bangsa Indonesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan
baru tersebut antara lain, adanya pemilihan presiden langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance dan
pemberian kekuasaan yang lebih besar pada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.
Secara umum dengan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada era reformasi, telah banyak
membawa perubahan yang mendasar baik terhadap ketatanegaraan (kedudukan lembaga-lembaga negara), sistem politik,
hukum, hak asasi manusia, pertahanan keamanan dan sebagainya. Berikut ini dapat dilihat perbandingan model sistem
pemerintahan negara republik Indonesia sebelum dan setelah dilaksanakan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 :

Masa Orde Baru (Sebelum amandemen UUD 1945)

Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagai
berikut :

a. Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat)


Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekua-saan belaka (machtsaat). Ini mengandung
arti bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, dalam melaksanakan tugasnya/
tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

b. Sistem Konstitusional

Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Sistem ini memberikan ketegasan cara pengendalian
pemerintahan negara yang dibatasi oleh ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga ketentuan dalam hukum lain yang
merupakan produk konstitusional, seperti Ketetapan-Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan
sebagainya.

c. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia Tugas
Majelis adalah:
1) Menetapkan Undang-Undang Dasar,
2) Menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara,
3) Mengangkat kepala negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden).

Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut
garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab
kepada Majelis. Presiden adalah “manda-taris” dari Majelis yang berkewajiban menjalankan ketetapan-ketetapan Majelis.

d. Presiden ialah penyelenggara peme-rintah Negara yang tertinggi menurut UUD.

Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh ada di tangan Presiden. Hal itu karena Presiden
bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi juga dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang
berupa Garis-garis Besar Haluan Negara ataupun ketetapan MPR lainnya.

e. Presiden tidak bertanggungjawab ke-pada Dewan Perwakilan Rakyat.

Kedudukan Presiden dengan DPR adalah neben atau sejajar. Dalam hal pembentukan undang-undang dan menetapkan
APBN, Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama dengan DPR. Presiden
tidak bertanggungjawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari Dewan. Presiden tidak dapat
membu-barkan DPR seperti dalam kabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden.

f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak ber-tanggungjawab kepada Dewan Perwa-kilan Rakyat.

Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan mentri-mentri negara. Menteri-mentri itu tidak bertanggungjawab
kapada DPR dan kedudukannya tidak tergantung dari Dewan., tetapi tergantung pada Presiden. Menteri-menteri merupakan
pembantu presiden.

g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.

Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan berarti ia “diktator” atau tidak terbatas.
Presiden, selain harus bertanggung jawab kepada MPR, juga harus memperhatikan sungguh-sungguh suara-suara dari DPR
karena DPR berhak mengadakan pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah anggota MPR). DPR juga mempunyai
wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden,
apabila dianggap sungguh-sungguh melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya atau perbuatan tarcela.

Masa Reformasi (Setelah Amandemen UUD 1945)

Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal. Tentang sistem
pemerintahan negara republik Indonesia dapat dilihat di dalam pasal-pasal sebagai berikut :

a. Negara Indonesia adalah negara Hukum.

Tercantum di dalam Pasal 1 ayat (3), tanpa ada penjelasan.

b. Sistem Konstitusional

Secara eksplisit tidak tertulis, namun secara substantif dapat dilihat pada pasal-pasal sebagai berikut :
- Pasal 2 ayat (1)
- Pasal 3 ayat (3)
- Pasal 4 ayat (1)
- Pasal 5 ayat (1) dan (2)
- Dan lain-lain

c. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). MPR
berdasarkan Pasal 3, mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut :
- Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
- Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
- Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.
d. Presiden ialah penyelenggara peme-rintah Negara yang tertinggi menurut UUD.

Masih relevan dengan jiwa Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2).

e. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Dengan memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara (Presiden) dari Pasal 4 s.d. 16, dan Dewan
Perwakilan Rakyat (Pasal 19 s.d. 22B), maka ketentuan bahwa Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR masih
relevan. Sistem pemerintahan negara republik Indonesia masih tetap menerapkan sistem presidensial.

f. Menteri negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak ber-tanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden yang
pembentukan, pengubahan dan pembubarannya diatur dalam undang-undang Pasal 17).

g. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.


Presiden sebagai kepala negara, kekua-saannya dibatasi oleh undang-undang. MPR berwenang memberhentikan Presiden
dalam masa jabatanya (Pasal 3 ayat 3). Demikian juga DPR, selain mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan
pendapat, juga hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas (Pasal 20 A ayat 2 dan 3).

Anda mungkin juga menyukai