Anda di halaman 1dari 27

Intervensi Psikolososial Terhadap Terapi Nyeri Pada Lansia

Yuliana Putri Lestari, Andi Hasnah Suaib

A. Pendahuluan

Lanjut usia ( lansia ) didefinisikan sebagai orang-orang yang

berusia > 65 tahun. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga

dua kali lipat dibandingkan dewasa muda. Penyakit yang sering

menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker, neuralgia

trigeminal, neiralgia pasca-herpetik, reumatika polimialgia, dan penyakit

degeratif. Lokasi yang sering mengalami nyeri: sendi utama / penyangga

tubuh, punggung, tungkai bawah,dan kaki.1

Diperkirakan sebanyak 116 juta orang Amerika mengalami nyeri

persisten. Nyeri persisten yaitu nyeri yang berlangsung selama 6 bulan dan

merupakan masalah yang sering terjadi pada lansia. Pada lansia, nyeri

persisten cenderung menyebabkan pasien tidak dapat mempertahankan

independen dan gaya hidup, selain itu tingkat nyeri yang lebih tinggi juga

dikaitkan fungsi kognitif yang lambat, peningkatan psikologis, dan risiko

gangguan kecemasan atau gangguan mood.2

Nyeri, berdasarkan International Association for the Study of Pain

(IASP) pada tahun 1997, didefinisikan sebagai pengalaman sensorik atau

emosional yang tidak menyenangkan, yang terkait dengan potensi atau

adanya kerusakan jaringan.3

1
Nyeri akut hebat memicu kejadian nyeri kronik dikemudian hari,

penyebab penting respon stress dan alasan humanitas maka nyeri operasi

harus ditanggulangi berbeda dengan nyeri kronik berdasarkan three step

analgetic ladder WHO.4

B. Pengertian Nyeri

Nyeri, berdasarkan International Association for the Study of Pain

(IASP) pada tahun 1997, didefinisikan sebagai pengalaman sensorik atau

emosional yang tidak menyenangkan, yang terkait dengan potensi atau

adanya kerusakan jaringan.3 Definisi nyeri tersebut menjelaskan konsep

bahwa nyeri adalah produk kerusakan struktural, bukan saja respon sensorik

dari suatu proses nosisepsi, harus dipercaya seperti yang dikatakan

penderita, tetapi juga merupakan respon emosional (psikologik) yang

didasari atas pengalaman termasuk pengalaman sebelumnya.3

Persepsi nyeri menjadi sangat subyektif tergantung kondisi emosi dan

pengalaman emosional sebelumnya. Toleransi terhadap nyeri meningkat

bersama pengertian, simpati, persaudaraan, alih perhatian, pendekatan

kepercayaan budaya, pengetahuan, pemberian analgesia, ansiolitik,

antidepresan, dan pengurangan gejala. Sedangkan toleransi nyeri menurun

pada keadaan marah, cemas, kebosanan, kelelahan, depresi, penolakan

sosial, isolasi mental, dan keadaan tidak menyenangkan.4

2
C. Klasifikasi Nyeri

Berdasarkan patofisiologinya, nyeri dibagi atas nyeri nosiseptif dan

nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif terjadi akibat aktivasi nosiseptor saraf

secara terus menerus oleh stimulus noxious (jejas, penyakit, inflamasi).

Intensitas nyeri nosiseptif berbanding lurus dengan intensitas kadar

stimulus, semakin besar kerusakan, semakin nyeri. Nyeri nosiseptif dapat

dibagi lebih lanjut menjadi:5

1. Nyeri viseral (berasal dari organ viseral). Nyeri viseral dirasakan

sebagai sensasi kram atau nyeri tumpul yang dalam dan dapat beralih ke

lokasi lain (referred pain).5

2. Nyeri somatik (berasal dari jaringan seperti kulit, otot, kapsul sendi, dan

tulang). Nyeri somatik superfisial (kutaneus), biasanya nyeri

terlokalisasi dengan baik, dirasakan seperti rasa gatal, tajam, tertusuk,

terbakar, sampai dengan nyeri tajam. Nyeri somatik profunda, sensasi

nyeri biasanya tumpul.5

Nyeri neuropatik disebabkan gangguan pada sistem saraf pusat

atau perifer, atau menggambarkan jejas atau kerusakan pada sistem saraf.

Penyebab biasanya trauma, inflamasi, penyakit metabolik (misal diabetes),

infeksi (misal herpes zoster), tumor, toksin, atau penyakit neurologis

primer. Kadang nyeri neuropatik disebut sebagai nyeri ‘patologis’.

Keadaan nyeri kronis terjadi saat nyeri timbul tanpa adanya pemicu.

Proses ini dilandasi oleh sensitisasi. Sensitisasi sentral menjadi alasan

mengapa nyeri neuropati seringkali tidak bersesuaian dengan intensitas

3
stimulus (seperti hiperalgesia atau alodinia) atau muncul saat tidak ada

stimulus jelas (nyeri persisten). Sifat nyeri neuropati adalah terbakar atau

panas, geli, tertusuk, seperti tersengat listrik, diremas, nyeri dalam,

spasme, atau dingin.5

Berdasarkan waktunya, nyeri dibagi atas nyeri akut dan nyeri kronis.

Nyeri akut awalnya didefinisikan hanya berdasarkan batas waktu. Namun

kini dikenal definisi yang lebih luas, yaitu pengalaman kompleks yang tidak

menyenangkan, terkait dengan emosi, kognitif, dan sensorik, sebagai respon

terhadap trauma jaringan. Nyeri akut awalnya dirasakan sebagai nyeri

dengan intensitas tertinggi yang kemudian berangsur-angsur menghilang

bersamaan dengan sembuhnya jejas yang mendasari. Nyeri akut biasanya

bersifat nosiseptif. Meskipun hanya berlangsung sebentar, jika dibiarkan

stimulus nyeri dapat menyebabkan penderitaan, remodelling neuron, atau

berlanjut menjadi nyeri kronis.5

Nyeri kronis dulu didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung lebih

dari 3-6 bulan setelah jejas berlangsung. Kini, nyeri kronis adalah nyeri

yang berlanjut setelah selesainya proses penyembuhan, dengan intensitas

jejas yang minimal atau tidak cukup menjelaskan adanya rasa nyeri tersebut.

Ada juga yang mendefinisikan nyeri kronis sebagai nyeri persisten yang

mengganggu tidur dan kehidupan sehari-hari atau mengurangi derajat

kesehatan dan kemampuan fungsional individu.5

4
D. Mekanisme Nyeri

Nyeri dapat timbul oleh berbagai jenis stimuli yang di klasifikasikan

sebagai mekanik, suhu, dan stimuli kimia. Terdapat tiga kategori reseptor

nyeri, atau nosiseptor. Nosiseptor mekanis berespons terhadap kerusakan

mekanis misalnya tersayat, terpukul atau cubitan; nosiseptor suhu berespons

terhadap suhu ekstrim, terutama panas; dan nosiseptor polimodal yang

berespons sama kuat terhadap semua jenis rangsangan yang merusak,

termasuk bahan kimia iritan yang dikeluarkan oleh jaringan yang cedera.

Karena manfaatnya untuk kelangsungan hidup maka nosiseptor juga tidak

beradaptasi terhadap rangsangan yang menetap atau berulang3,4.

Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri

terdapat 4 proses yakni transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi:3,4

1. Mekanisme Transduksi

Merupakan perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi

aktifitas listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti

prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrien, substans P, potassium,

histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau

mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan

anyaman ujung-ujung bebas serat-serat aferen A delta dan C. Reseptor-

reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam

pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf aferen A delta dan

C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan

sensorik nyeri dari perifer ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi

5
antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya

impuls nyeri.3,4

2. Transmisi

Transmisi merupakan proses perambatan impuls nyeri melalui

serabut A-delta dan C yang menyusul proses tranduksi. Oleh serabut

aferen A-delta dan C, impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke

medula spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis. Sel-sel neuron di

medula spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini

disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls

nyeri tadi oleh serabut aferen A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-

sel neuron yang berada di kornu antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-

sel neuron yang berada di kornu anterior medula spinalis. Aktifasi sel-

sel neuron di kornu antero-lateral akan menimbulkan peningkatan tonus

sistem saraf otonom simpatis dengan segala efek yang dapat

ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornu anterior

medula spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di

daerah cedera dengan segala akibatnya.3,4

3. Modulasi

Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin,

NA, 5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls

nyeri yang diteruskan oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron

nosisepsi di kornua dorsalis medula spinalis tidak semuanya diteruskan

ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Di daerah ini akan terjadi

6
interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem

inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana

yang lebih dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka

penderita akan merasakan sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem

inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan sensibel

nyeri.3,4

4. Persepsi

Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses

yang sangat kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang

akhirnya menghasilkan sensibel nyeri. Akhirnya persepsi nyeri adalah

pengalaman subjektif nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh

aktivitas transmisi nyeri oleh saraf.3,4

7
E. Nyeri Akut

Nyeri akut merupakan gejala dimana intensitas nyeri berkorelasi

dengan beratnya lesi atau stimulus. Cedera jaringan atau inflamasi akut

akan menyebabkan pengeluaran berbagai mediator inflamasi, seperti:

bradikinin, prostaglandin, leukotrien, amin, purin, sitokin, dan sebagainya

yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung

atau tidak langsung. Sebagian dari mediator inflamasi tersebut dapat

langsung mengaktivasi nosiseptor dan sebagian lainnya menyebabkan

sensitisasi nosiseptor yang menyebabkan hiperalgesia.6

Nyeri akut dibagi atas: Pertama, nyeri yang muncul pada pasien,

dimana sebelumnya tidak ada nyeri kronik. Untuk pasien dengan nyeri

akut tipe ini, pengobatan ditujukan terhadap nyeri dan penyebabnya.

Kedua, nyeri yang datang tiba-tiba pada pasien yang sebelumnya sudah

menderita nyeri kronik akan tetapi nyeri akut tidak berhubungan dengan

nyeri kronik. Misalnya: pasien dengan nyeri kanker yang diderita selama

ini, kemudian menderita patah tulang tanpa berhubungan dengan

kankernya, dan mengalami nyeri. Keadaan seperti ini selain pengobatan

untuk nyeri yang lama, perlu ditambahkan analgetik yang sesuai untuk

patah tulang. Ketiga, nyeri akut yang merupakan eksaserbasi nyeri kronik

yang selama ini diderita oleh pasien. Misalnya: seorang pasien dengan

nyeri kanker kronik dan mengalami nyeri patah tulang oleh karena

memberatnya penyakit. Oleh karena itu kecemasan sangat mempengaruhi

8
intensitas nyeri. Untuk kasus seperti ini, terapi ditujukan untuk

menurunkan kecemasan yang dapat berupa dukungan emosional.6

Nyeri akut adalah respons neuro fisiologis secara normal dan prediktif

terhadap rangsangan mekanik, termal, atau rangsangan kimia. Nyeri akut

umumnya berbatas waktu. Etiologi biasanya berhubungan dengan prosedur

invasif, trauma, atau penyakit medis. Sensasi nyeri biasanya terbatas pada

area trauma atau kerusakan atau area yang langsung mengelilinginya.

Transmisi rangsangan nyeri dari perifer ke sumsum tulang belakang dan

supraspinal menghasilkan respon stres neuro endokrin. Respon neuro

endokrin yang dominan terhadap nyeri melibatkan interaksi hipotalamus-

pituitari-adrenokortikal dan simpatus adrenal, menghasilkan nada simpatis

yang meningkat, peningkatan katekolamin dan sekresi hormon katabolik

termasuk kortisol, hormon adrenokortikotropik, hormon antidiuretik,

glukagon, aldosteron, renin, angiotensin II, dan penurunan sekresi hormon

anabolik.7

F. Nyeri Kronik

Nyeri kronis atau nyeri persisten terjadi lama setelah kerusakan / cedera

jaringan sembuh (penyebab nyeri tidak jelas). Pasien dengan nyeri kronis

dapat mengalami perubahan fisiologi dengan gejala: depresi, withdrawal

(menarik diri), anorexia, fatique (lemah), hipersomnolen atau insomnia,

irritabilitas atau ketidakstabilan emosi, kurang inisiatif dan inaktifitas.

Perubahan tersebut dapat ringan dan memerlukan observasi keluarga,

kerabat, dan tenaga sosial. Pasien mungkin sepertinya tidak merasakan

9
nyeri (nadi dan ekspresi wajah tidak menunjukkan rasa sakit). Nyeri kronis

ini cenderung sulit untuk diatasi karena dipengaruhi oleh faktor fisiologi

dan psikologi. Manajemen yang ideal memerlukan multidisiplin, whole-

person approach dan waktu yang panjang.1 Kategorisasi Pasien Nyeri

Kronis

Mungkin ada gunanya memikirkan pasien nyeri kronis sebagai pasien

yang menderita salah satu dari tiga kategori besar: perifer (nociceptive),

neuropatik, dan sentral (non-nociceptive).

 Nyeri nosiseptif: Nyeri yang etiologinya merupakan peradangan atau

kerusakan perifer yang berkelanjutan. Rasa sakit ini mungkin responsif

terhadap obat atau prosedur.

 Nyeri neuropatik: Nyeri akibat trauma pada saraf perifer. Rasa sakit ini

mungkin responsif terhadap farmakoterapi.

 Nyeri sentral: Fenomena ini memiliki banyak nama, seperti" pain

amplification,"brain pain" dan "nyeri non-nociception." Sindrom

Fibromyalgia adalah contoh klasik dari jenis nyeri kronis ini.

Psikotropika dan terapi non-opioid lainnya, termasuk terapi perilaku,

dapat bermanfaat. Opioid dikontraindikasikan dengan etiologi nyeri

sentral. Ketiga jenis rasa sakit dapat hidup berdampingan dan dapat

mengambil manfaat dari strategi manajemen nyeri non-obat: terapi

perilaku kognitif (CBT), terapi gerakan, dan pendidikan.

Nyeri Nociceptive dan Neuropatik

10
Secara historis, hampir semua chronic non-cancer pain (CNCP) dianggap

baik nociceptive atau neuropatik. Dalam model CNCP, penyebab nyeri

yang mendasari diyakini hasil dari stimulasi perifer serabut saraf nyeri

atau sensorik yang terletak di dalam regio anatomi nyeri. Dalam skema ini,

secara perifer terapi terarah seperti perawatan topikal, suntikan, opioid,

dan operasi diyakini dapat membantu. Contoh nyeri nosiseptif perifer

termasuk osteoarthritis, rheumatoid arthritis, dan nyeri kanker. Sementara

contoh nyeri neuropatik perifer termasuk nyeri neuropatik diabetes dan

neuralgia pascaherpes.

Namun, selama dekade terakhir, kumpulan bukti telah terakumulasi untuk

menunjukkan bahwa ketiga jenis dari nyeri, nyeri sentral, kemungkinan

akan jauh lebih umum daripada nyeri nociceptive atau neuropatik di

antaranya orang dewasa usia kerja dengan CNCP. Perbedaan ini sangat

penting untuk dijadikan nyeri sentral, tidak seperti nyeri nociceptive dan

neuropatik, tidak responsif terhadap terapi perifer atau opioid.

Central Pain atau Central Sensitization (CS)

Status nyeri sentral prototipikal adalah sindrom fibromyalgia. Tetapi

penelitian saat ini menunjukkan bahwa nyeri sentral adalah gangguan

spektrum, yang termasuk keluarga besar diagnosis nyeri non-kanker kronis

yang umum. Nyeri punggung bawah kronis, sakit kepala kronis, dan

fibromyalgia sangat terkait dengan CS. Skrining untuk sindrom nyeri

sentral sangat penting baik untuk pengobatan yang berhasil dan untuk

menghindari tidak perlu bahaya over-medikalisasi dengan scan berulang,

11
suntikan, operasi, dan opioid. Karena pemeriksaan, pencitraan, dan

laboratorium sering tidak menonjol dalam sindrom nyeri sentral, diagnosis

ditegakkan melalui anamnesis yang cermat, peninjauan gejala, dan

penggunaan instrumen skrining CS yang divalidasi. Apalagi diberikan

tingginya co-kejadian depresi, kecemasan, PTSD, dan gangguan adiktif

dalam individu dengan CS, itu merekomendasikan bahwa skrining untuk

komorbiditas ini juga termasuk dalam evaluasi awal.

Jika kita memperlakukan sindrom nyeri sentral hanya dengan obat-obatan,

kita akan gagal. Ini sama dengan mengobati diabetes dengan insulin atau

obat-obatan saja, tanpa upaya yang sesuai untuk mengubah diet atau berat

badan.8

Ada sejumlah presentasi psikologis umum yang terkait dengan

pengalaman nyeri kronis:

 Kegelisahan

 Pasien dengan nyeri kronis sering secara spesifik berfokus pada

kecemasan

Sehubungan dengan makna atau makna dari rasa sakit mereka dan

dampak yang ditimbulkannya kehidupan mereka. Hal yang mendasari

mungkin termasuk keyakinan bahwa nyeri terkait dengan bahaya dan

akan ada konsekuensi progresif dari nyeri yang dialami (cacat,

kehilangan pekerjaan, dll.). Akibatnya, pasien akan mengambil

tindakan menghindar karena alasan ini dan sering membatasi hidup

12
mereka. Kecemasan bisa dimengerti pada pasien yang mengalami nyeri

kronis.

Gangguan kecemasan umum

Ini ditandai dengan kecemasan dan kecemasan yang berlebihan, dan

untuk diagnosis ini telah terjadi pada sebagian besar hari selama 6 bulan

sebelumnya. Ini juga terkait dengan:

• Gelisah

• Kelelahan

• Konsentrasi yang sulit

• Gangguan tidur

• Menandai ketegangan otot

 Depresi

Hubungan antara rasa sakit dan depresi

Orang yang menderita nyeri kronis seringkali memiliki mood yang rendah.

‘Depresi’ dapat merujuk pada apa pun dari suasana hati rendah hingga

parah melumpuhkan penyakit mental di mana orang tidak dapat berfungsi

dan melaksanakan kesehariannya. Tingkat depresi hadir dalam banyak rasa

nyeri pasien tidak akan didiagnosis sebagai penyakit kejiwaan. Pasien

dengan riwayat depresi memiliki risiko lebih tinggi mengembangkan rasa

13
nyeri, meskipun sebaliknya rasa nyeri sebenarnya merupakan prediktor

depresi yang lebih kuat.

Pada depresi nyeri kronis dapat terjadi akibat:

 Mengurangi kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan atau kontak

yang memperkuat secara positif.

 Lebih sering terpapar dengan kejadian yang tidak menyenangkan

(rasa sakit, perawatan, dll).

 Banyak intervensi yang gagal dan stres kronis yang belum

terselesaikan.9

 Pada nyeri kronis, depresi umumnya paling baik ditangani sebagai

respons psikologis terhadap kondisi nyeri dan hasil yang

menyertainya. Pendekatan perilaku kognitif multidisipliner untuk

masalah nyeri biasanya merupakan jalan terbaik ke depan

meskipun kadang-kadang depresi dapat menjadi berat dan mungkin

memerlukan obat.9

Tabel 1. Perbedaan nyeri akut dan nyeri kronik1

Nyeri Akut Nyeri Kronis


Terjadi segera setelah terjadi Terjadi setelah kerusakan/cedera
kerusakan/cedera jaringan jaringan hilang atau sembuh
Dianggap sebagai peringatan Tidak memiliki fungsi proteksi
kerusakan/cedera jaringan; proteksi
kerusakan jaringan lebih lanjut
Aktivasi nosiseptos Melibatkan sensitisasi sentral dan
kelainan struktur permanen susunan
saraf pusat
Aktivasi sistem saraf simpatis Adaptasi fisiologis

14
Durasi singkat Durasi lama
Hilang setelah kerusakan jaringan Terjadi lama setelah resolusi
hilang kerusakan/ cedera jaringan
Secara langsung berkaitan dengan Tidak berkaitan secara langsung
kerusakan/cedera, kondisi dengan kerusakan/ cedera jaringan,
postoperasi, dan proses penyakit prosedur operasi, dan proses
penyakit
Respon terhadap terapi Sulit respon terhadap terapi

G. Nyeri Pada Lansia

Secara historis, manajemen nyeri pada lansia didominasi oleh model

medis yang memadang nyeri sebagai sebagai tanda peringatan cedera atau

kerusakan jaringan. Selama dekade terakhir, metode biopsikososial

memperoleh pengakuan sebagai pendekatan yang berguna untuk

konseptualisasi nyeri pada lansia. Metode biopsikososial menjelaskan

bahwa nyeri adalah pengalaman kompleks yang dapat dipengaruhi oleh

biologisnya, psikologis, dan konteks sosial. Biopsikososial

menggambarkan system dinamis dimana,misalnya berkonstribusi faktor

(mis. aktivitas penyakit) dalam satu konteks (mis. biologis) dapat

mempengaruhi faktor dalam konteks lain (misalnya keyakinan tentang

nyeri dalam konteks psikologis, sosial dukungan dalam konteks sosial).

Sistemnya dinamis dan saling berhubungan , sehingga intervensi ditujukan

pada satu konteks (mis. perawatan untuk mengurangi depresi) dapat

mempengaruhi konteks lainnya (misalnya peningkatan manajemen diri,

peningkatan sosial interaksi)

 Konteks biologi

15
Pasien dengan penyakit yang lebih lanjut (mis. osteoarthritis berat,

kanker stadium lanjut) cenderung mengalami nyeri berat. Biomarker

peradangan (misalnya profil ekspresi gen di leukosit darah perifer )

telah ditemukan terkait dengan peningkatan nyeri dan perkembangan

penyakit di usia lanjut yang menderita osteoarthritis. Bukti terbaru

variasi genetik mempengaruhi perkembangan nyeri kronis meluas ke

nyeri tubuh. Kondisi komorbiditas terjadi pada usia lanjut dan dapat

meningkatkan risiko nyeri dan mempersulit manajemen nyeri. Studi

terbaru juga menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam struktur dan

fungsi otak pada lansia yang mengalami nyeri persisten. Penggunaan

obat nyeri dapat menjadi tantangan karena perubahan fisiologis yang

berkaitan dengan usia yang berubah, penyerapan obat, bioavailabilitas,

dan waktu transit. Selanjutnya faktor psikologis (misalnya keengganan

pasien untuk melaporkan rasa nyeri, pandangan fatalistic tentang rasa

sakit, ketakutan akan efek samping, dan kecanduan) dapat berdampak

pada efektivitas regimen obat.

 Konteks psikologis

Tekanan psikologis (misalnya depresi, kecemasan, gangguan suasana

hati) telah lama dikaitkan dengan peningkatan nyeri pada lansia.

Faktor-faktor perilaku kognitif (missal : rasa sakit yang menggejala,

rasa takut yang berhubungan dengan rasa sakit) penting dalam

memahami rasa nyeri dan kecacatan pada lansia.

16
Nyeri katastrofisasi mengacu pada kecenderungan untuk fokus dan

memperbesar sensasi nyeri, dan untuk merasa tidak berdaya dalam

menghadapi nyeri.

 Konteks Sosial

Variasi dalam lingkugan keluarga, komunitas, pekerjaan, dan perawatan

kesehatan dapat memainkan peran dalam bagaimana pasien lansia dapat

menyesuaikan diri dengan rasa nyeri. Penelitian menunjukkan bahwa

isolasi sosial dan status sosial-ekonomi adalah dua faktor yang

berdampak terhadap rasa nyeri. Kematian orang yang dicinta,

kehilangan status sosial, kehilangan kemerdekaan, dan kesulitan

mempertahankan hubungan sosial dapat berkonstribusi pada

eksaserbasi nyeri persisten. Status sosial ekonomi rendah (SES) juga

memiliki dampak luas pada kesehatan dan dikaitkan dengan percepatan

usia biologis. Individu dalam SES rendah memiliki gejala nyeri yang

lebih kronis dan berada pada risiko yang lebih besar.

Penilaian nyeri adalah kunci untuk mengelola dan mengontrol

rasa sakit yang optimal pada populasi lansia. Pelaporan diri pasien

adalah sumber yang paling dapat diandalkan dalam penilaian rasa sakit.

Riwayat medis termasuk gejala nyeri yang merinci lokasi, durasi,

karakter, radiasi, dan gejala saraf yang terkait, membantu

mempersempit diagnosis banding. Riwayat penggunaan obat dan efek

pengobatan juga merupakan bagian penting dari penilaian nyeri. Ini

dibantu oleh pemeriksaan fisik, dengan fokus pada keluhan

17
pasien. Kapasitas kognitif pasien mungkin berkurang oleh komorbiditas

lainnya. Dengan demikian, pemeriksaan fisik dan anamnesis sangat

penting.

Meskipun rasa sakit adalah gejala subjektif, itu akurat untuk

membantu membandingkan dan meningkatkan hasil modalitas

manajemen. Pilihan pengukuran rasa sakit alat tergantung pada kognitif

pasien, visual, pendengaran, dan status komunikatif. Penilaian nyeri

tidak lengkap tanpa mengevaluasi dampak rasa sakit pada pasien. Nyeri

mempengaruhi status psikologis dan fungsional dan dampaknya

mungkin juga diperluas untuk mempengaruhi fungsi budaya, spiritual

dan sosial dari keluarga dan komunitas. Nyeri adalah masalah

multifaset dan paling baik ditangani melalui pendekatan

individual. Tujuannya tidak hanya untuk meningkatkan kontrol rasa

sakit, tetapi juga, untuk meningkatkan fungsi dan mengubah perilaku

nyeri.10

Manajemen Nyeri Pada Lansia :

1. Asesmen nyeri pada geriatri yang valid, reliabel, dan dapat

diaplikasikan menggunakan Functional and Pain Scale seperti dibawah

ini:

Tabel 2. Functional Pain Scale Skala nyeri

18
2. Intervensi non-farmakologi :

a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area

nonseptif untuk menginduksi pelepasan opoid endogen

b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan / perkutan, dan akupuntur.

c. Blok saraf atau radiasi tumor.

d. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau alternatif : terapi

relaksasi, umpan balik positif,hypnosis.

e. Fisioterapi dan okupasi.

3. Intervensi farmakologi ( tekanan pada keamanan pasien )

a. Non-opoid: OAINS, p aracetamol, COX-2 inhibitor, antidepresan

trisiklik, amitriptilin, ansiolitik.

b. Opoid : Resiko adiksi rendah jika digunakan untuk nyeri akut (

jangka pendek). Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat / bulking

agent untuk mencegah konstipasi (preparat senna, sorbitol)

Berikan opoid jangka pendek.Dosis rutin dan teratur memberikan

efek analgesik yang lebih baik daripada pemberian intermiten.

Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikan dengan berlahan, Jika

efek analgesia mesih kurang adekuat, dapat menaikkan opoid

sebesar 50-100% dari dosis semula.

c. Analgesik adjuvant : OAINS dan amfetamin : meningkatkan

toleransi opoid dan resolusi nyeri Notriptilin, klonazepam,

karbamazepin, fenitoin, gabapntin, tramadol, mexiletiline,: efektif

untuk nyeri neuropatik , Antikonvulsan :untuk neuralgia trigeminal.

19
Gabapentin : neuralgia pasca-herpetik 1-3x100mg sehari dan dapat

ditingkatkan menjadi 300 mg/hari.

4. Resiko efek samping OAINS meningkatk pada lansia. Insidens

perdarahan gastrointestinal meningkat hampir dua kali lipat pada

pasien >65 tahun

5. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk

aborsi,distribusi, metabolisme, dan eliminasi.

6. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik.

Absorbs sering tidak teratur karena adanya penundaan waktu transit

atau sindrom malabsorbsi

7. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.

8. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih

singkat

9. Lakukan monitor ketat jika mengubah atau meningkatkan dosis

pengobatan

10. Efek samping penggunaan opoid yang paling sering dialami konstipasi

11. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi

(misalnya pasien mengkonsumsi analgesik, antidepresant,dasn sedasi

secara rutin harian)

12. Prinsip dasar terapi farmakologi : mulailah dengan dosis rendah,lalu

dinaikkan perlahan hingga tercapai dosis yang diinginkan.

13. Nyeri yang tidak terkontrol dengan baik dapat mengakibatkan:

20
a. Penurunan/keterbatasan mobilitas. Pada akhirnya dapt mengarah ke

depresi karena frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan

menurunnya kemampuan funsional.

b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat

menurunkan imunitas tubuh

c. Kontrol nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab

munculnya agitasi dan gelisah

d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih

banyak.polifarmasi dapat meningkatkan resiko jatuh dan delirium.

14. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada

geriatri:

a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang

dan efek samping gastrointestinal lebih besar)

b. Opoid: pentazocine, butorphanol (merupakan campuaran

anatagonis dan agonis, cenderung memproduksi efek

psikotomimetik pada lansia); metadon, levorphanol (waktu paruh

panjang)

c. Propoxyphene: neurotoksik

d. Antidepresen: tertiary amine trycylics (efek samping

anrikolinergik)

15. Semua pasien yang mengkonsumsi opoid, sebelumnya harus diberikan

kombinasi preparat senna dan obat pelunak feces (buliking agents).

21
16. Pemilihan analgesik menggunakan 3-step ladder WHO( sama dengan

manajemen pada nyeri akut)

a. Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opoid

b. Nyeri sedang: opoid minor,dapat dikombinasikan dengan OAINS

dan analgesik adjuvant.

c. Nyeri berat: opoid poten Satu-satunya perbedaan dalam terapi

analgesik ini adalah penyesuaian dosis dan hati-hati dalam

memberikan obat kombinasi.1

H. Intervensi Psikososial

Beberapa intervensi psikososial untuk terapi nyeri

 CBT

Fokus dari CBT adalah membantu pasien mengubah rasa nyeri

yang relevan dengan pikiran, emosi, dan perilaku dengan melatih

pasien berbagai keterampilan, termasuk relaksasi, aktivitas

mondar-mandir, trestrukturisasi kognitif dan pemecahan masalah.

Pada lansia yang mengalami nyeri artrits, nyeri kanker, nyeri

punggung bawah, migraine dan tension type headech, CBT

menyebabkan penurunan nyeri yang signifikan (biasanya ringan

sampai sedang) dan perbaikan signifikan dalam indeks penyeuaian

nyeri, seperti ukuran depresi, kecemasan, nyeri katastrofi, self-

efficacy, dan tingkat aktifitas.2

22
CBT mengusulkan bahwa orang bereaksi dan mengelola penyakit

mereka dengan cara yang konsisten dengan keyakinan mereka

tentang penyakit mereka, diri mereka sendiri dan dunia mereka.

Contoh:

Keyakinan: 'nyeri punggung adalah tanda kerusakan yang sedang

berlangsung'.

Strategi Coping: hindari aktivitas yang memperburuk rasa sakit.

Pikiran: ‘Saya benar-benar melukai diri sendiri. Kali ini mungkin

tidak akan membaik. "

Emosi: kecemasan.

Keyakinan: 'memiliki kesulitan adalah tanda kelemahan'.

Strategi Coping: dorong diri lebih keras untuk mengatasi, jangan

akui masalah

Pikiran: "Orang lain mengatasi masalah mereka, saya harus terus

berjalan."

Emosi: frustrasi, stres, depresi.

CBT mencoba untuk mengatasi pikiran, perasaan, dan perilaku ini,

dan keyakinan yang mendasarinya. CBT adalah intervensi yang

disediakan oleh staf dengan pelatihan khusus. Intervensi ini

ditawarkan pada berbagai tingkat keterampilan oleh perawat,

23
psikolog atau konselor. Beberapa tim layanan nyeri termasuk staf

dengan keterampilan CBT yang akrab dengan berbagai kesulitan

yang menyertainyeri kronis. Lainnya didasarkan pada layanan

kesehatan mental NHS yang ada.9

 Pengungkapan emosi

Intervensi pengungkapan emosi untuk nyeri didasarkan pada

premis bahwa ketidakmampuan pasien untuk mengalami,

mengidentifikasi, menyatakan, dan memproses emosi negatif dapat

menyebabkan eksaserbasi nyeri dan tekanan psikologis. Secara

emosional, peserta diminta untuk menuis atau berbicara beberapa

sesi (4-6) 15-30 menit tentang pikiran dan perasaan terdalam

mereka terkait dengan pengalaman yang membuat stress.2

 Intervensi pikiran-tubuh

MBSR menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam

penerimaan nyeri dan fungsi fisik pada pasien yang mengalami

nyeri punggung kronis, namun tidak memiliki efek signifikam pada

rasa sakit atau kualitas hidup. Studi tentang yoga memberikan hasil

pada pasien lansia yang menderita osteoarthritis (usia rata-rata 80

tahun) menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam fungsi fisik

tetapi tidak memiliki efek pada rasa sakit, kekakuan, atau gejala

depresif. 2

 Pendidikan tentang nyeri kronis

 Dukungan untuk meningkatkan kualitas hidup

24
 Aktivitas dan olahraga bertingkat dan berjalan

 Dorongan untuk berpartisipasi dalam kegiatan lain (kerja, hobi,

dll)9

 Pemberian antidepresan trisiklik telah terbukti membantu

mengurangi nyeri neuropatik, telah terbukti membantu nyeri kepala

kronis dan harus dimonitor secara ketat terhadap pasien depresi

karena risiko bunuh diri dan mungkin menyebabkan overdosis.

Meskipun biasa digunakan dalam latihan rasa sakit, dosis

antidepresan trisiklik cukup jarang untuk menutupi gejala

komorbid afektif utama. Agen antidepresan lain yang biasa

digunakan atau dosis yang tepat harus dipertimbangkan ketika ada

gejala afektif yang signifikan, dengan pemantauan ketat mengingat

faktor risiko terkait dengan overdosis.11

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Zulkifli, Zainal R, Puspita Y. Panduan Manajemen Nyeri RSUP DR. Moh.

Hoesin Palembang. Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensive RSUP

DR. Moh. Hoesin Palembang. 2014

2. Keefe FJ, Porter L, Somers T, et all. Psychosocial interventions for managing

pain in older adults: outcomes and clinical implications. British Journal of

Anaesthesia. 2013.

3. Hartwig M dam Wilson L. Nyeri. Dalam: Price S dan Wilson L.

Patofisiologi. Vol. 2. Ed. 6. Jakarta: EGC. 2012: 1063-1070.

4. Gaol H dan Pryambodho. Manajemen Nyeri. Dalam: Tanto C.Kapita Selekta

Kedokteran. Vol. 2. Ed 4. Jakarta: Media Aesculapius. 2014: 544-550

5. Wijaksono, Villyastuti Y, dan Sutiyono D. Masalah Nyeri. Dalam:

Anestesiologi. Semarang: IDSAI. 2010: 295-308

6. Tanra H.A, Nyeri Akut. Departemen Ilmu Anastesi, Perawatan Intensive dan

Manajemen Nyeri, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar.

7. Meliala L dan Pinzon R. Breakthrough in Management of Acute Pain. Dexa

Medica. 2007; No. 4 Vol. 20: 151-155

8. A Provider and Community Resource. Pain Treatment Guidelines. Oregon

Pain Guidance. 2016

9. Brook P, Connell J, Pickering T. Pain Management. Oxford University Press.

2011.

10. Rastogi R, Meek BD. Management of chronic pain in elderly frail patients

finding a suitable personalized method of control. Department of

26
Anesthesiology, Washington University School of Medicine, Saint Louis,

USA. 2013

11. Abdi S, Chopra P, Smith H. Pain Medicine. Mc Graw Hill. 2009

27

Anda mungkin juga menyukai