PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Miopia merupakan kelainan refraksi yang paling sering dijumpai. Hasil survei
the Beaver Dam Study mendapatkan prevalensi miopia sebesar 26,2% (Wang dkk.;
1994), The Baltimore Eye Survey di Baltimore mendapatkan prevalensi miopia pada
dewasa sebesar 22,7% (Katz dkk.; 1997). Lim dkk. (2005) melaporkan prevalensi
miopia di Singapura mencapai 30% - 65% populasi dan untuk Indonesia Saw dkk.
(2002) melaporkan prevalensi miopia sebesar 48,1%. Hasil survei Riskesdas 2013
sebesar 4,6% dan prevalensi low vision 0,9% (Kemenkes RI, 2013).
(< -3 Dioptri), miopia sedang (-3 sampai dengan -6 Dioptri) dan miopia berat/tinggi
(> -6 Dioptri). Prevalensi miopia tinggi di dunia kira-kira 0,3% - 9,6% dan di populasi
orang muda Asia prevalensi miopia tinggi bahkan mencapai 16%. Laporan dari
meningkat. Peningkatan prevalensi miopia tinggi ini perlu mendapat perhatian karena
didapatkan kelainan di retina dan koroid pada 30% - 70% penderita miopia tinggi
(McBrien dkk., 2001). Laporan Dimitrova dkk. (2002) dan Flitcroft dkk. (2005)
abnormalitas struktur dinding bolamata (retina, koroid dan sklera). Dikemukakan pula
oleh Curtin (1985) dan Jonas dkk. (2004) bahwa perubahan degeneratif banyak
dijumpai pada sumbu bolamata > 26 mm atau setara dengan miopia tinggi.
1
Salah satu kelainan mata yang terkait dengan miopia dan berpotensi
menyebabkan kebutaan adalah glaukoma sudut terbuka primer (GSTaP) (Leung dkk.
(2006). Mitchell dkk. (1999) mendapatkan hubungan yang kuat antara GSTaP
dengan miopia, dengan Rasio Odd 2,3 pada miopia ringan ( ≥ - 1,0 sampai < - 3,0 D)
dan Rasio Odd 3,3 pada mata miopia sedang- tinggi ( ≥ - 3,0 D). Hasil penelitian
tersebut sejalan dengan laporan Grodum dkk. (2001) yang menyebutkan individu
dengan miopia berisiko 2-3 kali lebih sering menderita glaukoma dibanding non
miopia. Mata miopia mempunyai probabilitas menjadi glaukoma 1/35, lebih tinggi
dibanding mata emmetropia (1/70) atau mata hiperopia (1/183) (Curtin, 1985).
antara 7,5% - 28% dan prevalensi ini meningkat seiring dengan bertambahnya
normal
2
Mata miopia memiliki sumbu bolamata lebih panjang dan ruang vitreus lebih
dalam (Scott dan Grosvenor, 1993; Saw dkk., 2005) yang disebabkan oleh peregangan
dinding bolamata (sklera, koroid dan retina). Pemanjangan sumbu bolamata terjadi
terhadap kenaikan tekanan intra okular (TIO) (Liu dkk., 2002). Pada mata dengan
kondisi demikian sering didapatkan nisbah cup:disc yang lebar, penipisan serabut
saraf retina (SSR) dan abnormalitas lamina cribrosa serta disfungsi vaskuler
membuat mata miopia lebih rentan terhadap perubahan glaukomatosa (Fong dkk.,
1990; Jonas dkk., 2004 ; Saw dkk., 2005; Lim dkk., 2005; Leung dkk., 2006; Lou
dkk., 2006). Miopia telah diketahui merupakan salah satu faktor risiko GSTaP namun
tidak mudah untuk mengetahui apakah pada seorang penderita miopia telah mulai
insidous dan tidak disertai rasa sakit menyulitkan untuk mendeteksi defek
glaukomatosa pada tahap dini dan baru diketahui setelah kerusakan struktural dan
dengan neuropati optik glaukomatosa, degenerasi sel-sel ganglion retina dan akson-
aksonnya disertai defek lapang pandang yang khas dengan sudut iridokornealis
fungsional papil N Optikus dan ketebalan SSR (Stamper dkk., 2009). Prevalensinya
paling tinggi di seluruh dunia dibandingkan tipe glaukoma lain (Quigley dan Broman,
2006; Leske, 2007; Loyo-Berrios dan Blustein, 2007) dengan rasio kurang lebih 3:1
3
Kebutaan akibat glaukoma bersifat permanen dan merupakan penyebab
kebutaan ke dua terbanyak setelah katarak (Quigley, 2005; Quigley dan Broman, 2006;
meningkat, sebagaimana dilaporkan oleh Quigley dan Broman (2006) bahwa pada
tahun 2010 diperkirakan ada 60 juta orang di dunia menderita glaukoma, baik sudut
terbuka maupun sudut tertutup dan diperkirakan 8,4 juta orang diantaranya akan
mengalami kebutaan. Pada tahun 2020 diperkirakan akan ada kurang lebih 80 juta
penderita glaukoma.
Grus dan Sun (2008) mengemukakan bahwa perlu waktu kurang lebih 10 tahun
sejak mulai terjadi perubahan di tingkat seluler sampai muncul tanda klinis yang dapat
dideteksi (Gambar 1). Deteksi adanya perubahan glaukomatosa pada individu yang
memiliki faktor risiko dapat mencegah atau memperlambat terjadinya kebutaan akibat
glaukoma. Patogenesis GSTaP bersifat multifaktorial dan sampai saat ini masih belum
diketahui pasti. Mekanisme kerusakan sel-sel ganglion retina dan akson-akson pada
GSTaP diduga terjadi dalam 2 fase. Fase pertama adalah degenerasi sel akibat trauma
primer yang dapat berupa TIO yang tinggi atau disfungsi vaskuler yang
menyebabkan kematian sebagian sel-sel ganglion retina dan aksonnya. Fase kedua
terjadi karena efek toksik produk degenerasi neuron primer ditambah keadaan
abnormal yang masih tetap berlangsung. Degenerasi sekunder terjadi lebih lambat
namun lebih hebat dan meluas ke sel-sel dan serabut-serabut akson di sekitarnya
sehingga kerusakan menjadi lebih luas dan berat (Caprioli, 2007; Agarwal, 2009).
4
Pengaruh genetik
Faktor-faktor lingkungan
Salah satu faktor yang diduga ikut berperan dalam degenerasi sekunder pada
peningkatan antibodi terhadap protein okuler tertentu di dalam serum dan humor
aquos penderita glaukoma (Reichelt, 2000). Pada dasarnya individu sehat memiliki
kehidupannya. Profil antibodi alamiah ini dapat digunakan sebagai baku-emas untuk
dibandingkan dengan profil antibodi penderita penyakit imun tertentu (Grus dkk.,
2004; Grus dan Sun, 2008; Cojocaru dkk., 2009; Nagele dkk., 2013). Perubahan profil
autoantibodi secara taat azas didapatkan pada penderita glaukoma tekanan normal
(GTN) maupun glaukoma tekanan tinggi (GSTaP) dari ras yang berbeda (Grus dkk,
2006; Grus dan Sun, 2008). Protein okuler yang memicu pembentukan antibodi dapat
berasal dari struktur seluler serabut saraf retina, N. Optikus atau matriks ekstra seluler.
5
Tabel 1 menyajikan antibodi yang didapatkan pada penderita glaukoma dari
berbagai penelitian.
Arbuckle (2003) dan Grus dkk. (2006) mengemukakan bahwa adanya antibodi
tertentu mungkin tidak secara langsung bertanggung jawab atas munculnya penyakit
autoimun namun adanya antibodi tertentu atau profil antibodi tertentu sering kali
menandai adanya penyakit pada individu yang memiliki faktor risiko walau secara
klinis tampak sehat (Gambar 2). Berbagai penelitian telah melaporkan adanya
perubahan profil antibodi di dalam humor akuos dan serum penderita GSTaP.
antibodi anti protein okuler itu merupakan penyebab atau akibat penyakit, namun
perubahan profil antibodi tersebut dapat digunakan sebagai penanda biologis yang
spesifik dan akurat untuk deteksi dini kerusakan glaukomatosa sebelum muncul
retina sehingga timbul reaksi antigen-antibodi (Wax dkk., 1998; Tezel, 2010). Di sisi
lain, menurut hasil penelitian Kitaya dkk. (2000) pada hewan coba yang dibuat miopia
terjadi peningkatan permeabilitas ke arah dalam (inward permeability atau Pin) yang
antibodi alamiah di dalam darah dan protein retina dapat memicu reaksi imunologis.
Penelitian tentang respon antibodi serum pada glaukoma telah banyak dilakukan
sedang pada miopia sampai saat ini belum didapatkan referensi. Berdasarkan teori
6
terhadap protein retina pada kelompok emetropia dengan kelompok miopia, kelopok
Tabel 1. Antibodi anti protein okuler pada Glaukoma sudut terbuka primer
No Antibodi BM Didapatkan pada Sumber
kepustakaan
1. Anti Glutation S- 29 kDa GTN (55%), GSTaP (48%), Yang dkk., 2001
transferase kontrol (20%), hepatitis
autoimun
2. Anti myelin basic 16 kDa GTN, GSTaP, SM Joachim dkk.,
protein ( MBP ) 2008
3. Anti γ-enolase 50 kDa GTN (26%), GSTaP (25%), Maruyama dkk.,
kontrol (11%), cancer 2000
associated retinopathy
4. Anti –rhodopsin 40 kDa GTN ( 68% ), GSTaP Romano dkk.,
1995
5. Anti α-fodrin 120 kDa GTN (95%), GSTaP (78%), Gruss dkk., 2006
( spectrin ) kontrol
6. Anti small heat GTN , GSTaP, kontrol Tezel dkk., 1998
shock protein (hsp) Tezel dan Wax,
αA-crystallin ~20 kDa 2000 ; Tezel dkk.,
αB-crystallin 2000; Grus dkk.,
hsp 27 27 kDa 2004 ; Reichelt
dkk., 2008
7. Anti GAG 40 kDa- GTN, GSTaP, kontrol Tezel dkk., 1999
(chondroitin sulfat 90 kDa
/ heparan sulfat)
8. Anti αB-crystallin, 21 kD, GSTaP ( humor aquos) Joachim dkk.,
vimentin, 57 kDa, 2006
Hsp 70 70 kDa
Hsp 60 60 kDa GSTaP (serum, kultur sel) Wax dkk., 2008
Hsp 90 90 kDa Joachim dkk.,
2009
9. Histon H4 12 kD GSTaP Reinchelt dkk.,
2008
10. Retinaldehyde- 29 kD GSTaP, HTO Reinchelt dkk.,
binding protein 2008
GTN: Glaukoma Tekanan Normal , GSTaP: Glaukma Sudut Terbuka Primer, SM :
sklerosis multipel, HTO : Hipertensi Okuler, GAG:Glikosamino glikan.
dan histologis berbeda. Mata emetropia diasumsikan sebagai mata sehat-normal, mata
miopia adalah mata ‘di luar normal’ dan mata GSTaP adalah mata dengan kondisi
7
patologis yang nyata. Penelitian tentang respon antibodi terhadap protein okuler pada
GSTaP dengan kontrol individu normal/ sehat telah banyak dilaporkan namun belum
antara emetropia, miopia dan GSTaP diduga juga akan menyebabkan perbedaan
respon antibodi terhadap protein retina. Pada penelitian ini dilakukan analisis
perbedaan respon antibodi terhadap protein retina antara kelompok emetropia, miopia,
miopia+ GSTaP dan GSTaP, antara kelompok-kelompok bukan GSTaP dan kelompok-
kelompok GSTaP serta dianalisis pula protein-protein retina tertentu yang dapat
cup/disc serta penipisan lapisan SSR dapat dijumpai pada miopia dan GSTaP.
Korelasi antara ketebalan SSR, panjang sumbu bolamata dan nisbah cup/disc dengan
respon antibodi juga akan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.
B. Rumusan masalah:
8
3. Adakah protein-protein retina tertentu yang dapat dipertimbangkan
4. Adakah hubungan ketebalan serabut saraf retina (SSR), nisbah cup/ disc
panjang sumbu bola mata dan status ada tidak GSTaP dengan respon
C. Tujuan Peneltian
berikut:
kelompok GSTaP.
kelompok-kelompok GSTaP.
nisbah cup:disc, panjang sumbu bolamata dan status ada tidak GSTaP dengan
D. Manfaat:
sebagai berikut:
9
1. Manfaat Teoritis:
2. Manfaat klinis:
penerapan klinis hasil penelitian ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Manfaat klinis yang dapat dikembangkan dari hasil penelitian ini adalah:
10
glaukomatosa dapat menjadi dasar untuk mengembangkan prosedur
panjang sumbu bola mata dan status ada tidak GSTaP dengan respon
E. Keaslian Penelitian:
Miopia adalah kelainan refraksi terbanyak dan merupakan salah satu faktor
risiko GSTaP, khususnya miopia aksial. Perubahan struktural jaringan dan fungsional
akibat pemanjangan sumbu bolamata pada miopia aksial yang berupa peregangan
dinding bola mata, penipisan serabut saraf retina, gangguan perfusi, atrofi peripapil
lebih rentan terhadap glaukoma (Kitaya dkk., 2000; McBrien dkk., 2001; Dimitrova
dkk., 2002). Gambaran klinis yang hampir sama dan perjalanan penyakit yang bersifat
kronis insidous menyebabkan tidak mudah untuk mengetahui apakah pada seorang
penderita miopia telah mulai terjadi degenerasi glaukomatosa kecuali telah muncul
alamiah di dalam serum dan humor akuos penderita glaukoma menunjukkan indikasi
kuat keterlibatan komponen autoimun dalam patogenesis penyakit (Grus dkk., 2004;
Joachim dkk., 2007 & 2008; Reinchelt dkk., 2008; Gramlich dkk., 2013). Adanya
peningkatan atau perubahan pola respon antibodi terhadap protein retina dan N.
Optikus pada penderita glaukoma tekanan normal (GTN) maupun tekanan tinggi
11
(GSTaP) dibandingkan dengan kelompok kontrol telah dilaporkan dalam beberapa
Penelitian tentang perubahan respon antibodi dalam serum dan humor aquos
pada GSTaP telah banyak dilakukan. Pada umumnya diteliti respon antibodi pada
GSTaP atau GTN dibandingkan dengan kelompok kontrol individu normal atau
individu dengan hipertensi okuler sebagaimana ditampilkan pada tabel 1 (Grus dkk.,
2004; Joachim dkk., 2007 & 2008; Reinchelt dkk., 2008; Gramlich dkk., 2013).
Penelitian juga dilakukan dengan hewan coba untuk memahami mekanisme atau
patogenesis perubahan respon antibodi terhadap protein retina secara in vivo/ in vitro
dan dikaitkan dengan GSTaP atau kondisi yang menjadi faktor risiko GSTaP. Laspas
dkk. (2011) meneliti patomekanisme penurunan jumlah sel ganglion dan respon
antibodi setelah pemberian antigen okuler dan antigen non okuler. Wax dkk. (2008)
meneliti aktivasi sel T setelah hewan coba diimunisasi dengan Hsp 27 dan Hsp 60.
Perubahan profil atau pola respon antibodi pada penyakit autoimun seringkali
muncul beberapa tahun sebelum didapatkan gejala dan tanda klinis yang nyata pada
penderita (Joachim dkk., 2008; Arbuckle dkk., 2003). Suatu kompleks protein
spesifik yang menjadi penanda proses glaukomatosa akan dapat membantu mendeteksi
imunologis untuk mengetahui pola respon antibodi terhadap protein retina atau protein
1995; Grus dkk., 2006; Grus dan Sun, 2008). Penelitian yang telah dilakukan selama
ini adalah respon antibodi pada GTN, GSTaP atau hipertensi okuler (Yang dkk., 2001;
12
Grus dkk, 2006; Grus dan Sun, 2008; Joachim dkk. 2008; Reinchelt, 2008) dan tidak
Laporan tentang aspek imunologi miopia sejauh ini hanya dikemukakan oleh
Shmalyey dan Redka (2012) namun tanpa ada kelompok kontrol sebagai pembanding
mengaitkan aspek imunologi miopia sebagai salah satu faktor risiko GSTaP dengan
aspek imunologi GSTaP. Patogenesis miopia dan GSTaP berbeda namun kedua
kelainan tersebut dapat saling terkait, diduga respon antibodi pada miopia juga akan
karena dalam penelitian ini dilakukan analisis respon antibodi terhadap protein retina
pada miopia dibandingkan dengan respon antibodi pada emetropia, miopia + GSTaP
dan GSTaP saja, analisis respon antibodi terhadap protein-protein retina pada
profil atau pola respon antibodi antara kelompok-kelompok yang diteliti diasumsikan
informasi awal bagi penelitian selanjutnya, yaitu penelitian untuk menjajagi kandidat
13
blotting thd serum
pasien dan status
oftalmologis lain
Tezel, G. Hernandez, Immunostaining Hsp 6 mata postmortem Terdapat
R and Wax, MB . dalam retina dan dari pasien dg peningkatan
(2000) papil N. Optikus glaukoma sudut immunostaining Hsp
pada mata normal terbuka primer, 6 60 dan Hsp 17 pada
dan mata mata dari pasien dg mata glaukomatous.
glaukomatous glaukoma tekanan
dan 6 mata dari
individu sehat
sebagai kontrol.
Grus, FH. dkk (2006) Autoantibodi serum Penelitian belah Pasien glaukoma
thd alfa –fodrin lintang thd 60 pasien memiliki
didapatkan pada glaukoma masing- karakteristik respon
pasien glaukoma di masing dari Jerman antibodi yg berbeda
Jerman dan Amerika dan dengan kontrol.
Serikat Amerika.Dilakukan Didapatkan respon
pemeriksaan antibodi terhadap
immunoblotting dari alfa-fodrin pada
serum pasien kelompok Jerman
maupun Amerika
Joachim, SC. dkk Pola antibodi IgG Penelitian belah Terdapat perbedaan
(2007) dlm humor aquos lintang terhadap 15 pola antibodi yang
pasien dg glaukoma pasien dg glaukoma bermakna antara
sudut terbuka primer sudut terbuka primer, pasien glaukoma
dan glaukoma 14 pasien denga sudut terbuka primer
pseudoexfoliasi glaukoma dengan glaukoma
pseudoexfoliasi dan pseudoexfoliasi.
15 kontrol. Protein yang
Dilakukan teridentifikasi adalah
pemeriksaan western Hsp27, α-enolase,
blot thd humor aquos aktin GAPDH
pasien dan kontrol (gliseraldehid -3-
fosfat dehidrogenase)
Joachim, SC. dkk Antibodi thd alfaB- Penelitian belah Terdapat perbedaan
(2007) kristalin, vimentin, lintang terhadap 21 bermakna antara
dan Hsp 70 di dalam pasien glaukoma pola antibodi
humor aquos pasien tekanan normal dan kelompok glaukoma
dengan glaukoma 21 kontrol. dengan kelompok
tekanan normal dan Dilakukan kontrol
pola antibodi IgG thd pemeriksaan
antigen retina di immunoblotting thd
dalam humor aquos humor aquos kedua
kelompok
Joachim, SC. dkk Perubahan profil Penelitian Imunisasi Hsp 27
(2009) kompleks antibodi eksperimental meningkatkan
pada model hewan dengan imunisasi hilangnya sel
coba dengan tikus dengan Hsp27 ganglion retina dan
glaukoma intraperitoneal mempengaruhi pola
eksperimental anti antibodi sistemik
Laspas, P. Dkk Antibodi autoreaktiv Penelitian Autoimmunitas
(2011) dan hilangnya sel eksperimental terhadap antigen
14
ganglion retina pada dengan pemberian okuler neuronal dg
tikus yang diinduksi antigen homogenat diperantarai oleh
dengan imunisasi N. Optikus, keratin antibodi autoreaktif
antigwn okuler dan kontrol pada berperan dalam
tikus proses inflamasi yg
menyebabkan
degenerasi sel
ganglion retina.
Joachim, SC. dkk Peningkatan respon Penelitian Iskemia akibat
(2011) antibodi terhadap eksperimental kenaikan TIO
heat shock protein dengan membuat memicu perubahan
dan antigen jaringan iskemi okuler (dg yg kompleks dlm
pada model iskemi meningkatkan TIO) reaktivitas antibodi
okuler kemudian diperiksa serum pada hewan
respon antibodi coba.
serum.
Shmalyey, S. and Aspek imunologis Penelitian belah Anak dg miopia
Redka, I. (2012) miopia pada anak lintang melibatkan stabil mengalamai
usia sekolah dasar 60 anak seha dan 40 imunodefisiensi.
anak dg miopia stabil
usia 7-11 th.
Pengamatan meliputi
identifikasi sub
populasi limfosit,
aktifitas fagosit,
konsentrasi IgA, IgM
dan IgG serum.
Rahmi, FL (2013, Respon autoantibodi Penelitian Terdapat perbedaan
penelitian ini) thd protein retina observasional pola respon
pada miopia analitik dg subjek autoantibodi thd
dibandingkan dg emtropia, miopia, potein retina diantara
emtropia dan miopia+ GSTaP dan kelompok yg diteliti.
glaukoma sudut GSTaP. Dilakukan Protein sebagai
terbuka primer pemeriksaan kandidat penanda
immunoblotting dan biologis degenerasi
pemeriksaan klinis glaukomatosa adalah
mata lainnya kelompok protein dg
BM 40 kDa, 60-90
kDa dan 125 kDa
15