Anda di halaman 1dari 18

DEMAM TIFOID

Definisi Tifoid
Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi dari
Salmonella enterica subspecies enterica serotype Typhi (Soedarmo, 2002). Demam tifoid
masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular
yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok
penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak
orang sehingga dapat menimbulkan wabah (Widiastuti, 2001).

1. Epidemiologi
Secara global, demam tifoid dianggap sebagai penyakit yang penting dan masih tidak
terlaporkan dengan baik namun prevalensinya cukup tinggi di negara berkembang. Angka
insiden dari demam tifoid di dunia adalah berkisar antara 198 per 100.000 (Vietnam) sampai
980 per 100.000 (India) pada tahun 2000 (Sinha, 1999; Lin, 2000). Insiden yang sma juga
ditemukan di Chile, Nepal, South Africa, dan Indonesia sejak sekitar 15 tahun terakhir.
Estimasi insiden demam tifoid berkisar antara 16-33 juta kasus baru per tahun dengan
216.000-600.000 angka kematian per tahun (Widiastuti, 2001) dimana kebanyakan terdapat
di daerah Asia Pasifik.

Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid di Indonesia


pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan menjadi 15,4 per
10.000 penduduk Insiden demam tifoid bervariasi tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan. Di daerah rural (Jawa Barat) terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk
sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.

2. Faktor Risiko
Perbedaan insiden demam tifoid di daerah perkotaan seperti pada data di atas, biasanya
terkait dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan
pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan (Widodo, 2006).
Karena itu, faktor risiko terkenanya demam tifoid adalah bagi individu yang tinggal di
lingkungan dengan sanitasi yang kurang baik.
Basil salmonella menular manusia ke manusia melalui makanan dan minuman. Jadi
makanan dan minuman yang di konsumsi manusia telah tercemar oleh komponen feses atau
urin dari pengidap tifoid. Beberapa kondisi kehidupan menusia yang sangat berperan adalah :

1. Hygiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa. Hal ini
jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh anak.
2. Hygiene makanan dan minuman yang rendah . faktor ini paling berperan pada penularan
tifoid. Banyak sekali contoh diantaranya: makanan yang dicuci dengan air yang
terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk dengan
tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu, sampah atau dihinggapi lalat, air
minum yang tidak dimasak, dan sebagainya.
3. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kecuali sampah yang
tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
4. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.
5. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.
6. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.
7. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid.

3. Etiologi
Etilogi dari demam tifoid adalah Salmonella enterica subspecies enterica serotype
Typhi (). S. Typhi sama seperti salmonella lainnya yaitu termasuk gram negatif, memiliki
flagel, tidak berkapsul, tidak berspora. Ukuran antara (2-4) x 0,6 μm. Suhu optimum untuk
tumbuh adalah 37⁰ C dengan PH antara 6-8. Perlu diingat bahwa basil ini dapat hidup hingga
beberapa minggu di dalam air es, sampah dan debu. Reservoir satu-satunya adalah manusia,
yaitu seseorang yang sedang sakit atau karier.

S.typhi termasuk bacillus anaerobik fakultatif yang dapat memfermentasi glukosa,


mengubah nitrat menjadi nitrit, mensintesis peritrichous flagella ketika motil, memiliki
antigen somatik (O), antigen flagellar (H), antigen amplop (K). S.typhi juga memiliki
lipopolisakarida, sebuah makromolekul kompleks, disebut endotoksin, yang membentuk
bagian luar dari dinding sel.

Endotoksin ini terdiri dari tiga lapisan: sebuah luar (O, oligosakarida), tengah (R, inti),
dan basal (lapisan lipid A). S. Typhi ini juga mampu menghasilkan R plasmid-transmisi
sebagai antimikroba resistan.
4. Patogenesis
Perjalanan penyakit dari demam tifoid ditandai dengan invasi bakteri yang kemudian
bermultiplikasi dalam sel mononuclear fagositik, hati, limfa, nodus limfatikus, dan Plak
Peyeri di ileum (Machfoedz, 2007). Masuknya Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke
dalam tubuh manusia adalah melalui makanan yang terkontaminasi bakteri tersebut. Sebagian
bakteri mati oleh asam lambung, sebagian lagi lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya
berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel utama (sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia, kuman-kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagositosis terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dalam makrofag dan seterusnya dibawa ke Plak Peyeri
ileum distal, kelenjar getah bening mesenterika, duktus torasikus, dan akhirnya masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebabkan bakterimia pertama yang asimpotamik serta
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial terutama hati dan limfa. Di dalam organ-organ
ini, kuman keluar dari sel fagositik untuk selanjutnya berkembangbiak di luar sel atau ruang
sinusoid. Selanjutnya, kuman ini masuk ke dalam sirkulasi darah kembali dan menimbulkan
bakterimia yang kedua disertai dengan tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, dan secara ‘intermitten’ akan
disekresikan ke dalam lumen usus. Sebgagian kuman dikeluarkan melalui feses namun
sebagiannya lagi masuk kembali ke sirkulasi darah setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang lagi, berhubung makrofag telah teraktifasi dan hiperaktif, maka pada saat fagositosis
Salmonella kembali, dilepaskan sejumlah mediator radang yang selanjutnya akan
menimbulkan gejala reaksi inflamasi seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, instabilitas vaskuler gangguan mental dan koagulasi.

Di dalam Plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan.


Perdarahan saluran cerna dapat terjadi karena erosi pembuluh darah sekitar Plak Peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding
usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat menyebabkan perforasi usus.

5. Gambaran Klinis
Masa tunas demam tifoid berlangsung sekitar 10-14 hari. Gejala-gejala yang timbul
sangat bervariasi, mulai dari yang ringan sampai berat, dari asimptomatik hingga gambaran
penyakit khas yang disertai dengan komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa
dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epistaksis (Widodo, 2006). Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.
Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari.

Pada minggu kedua gejala-gejala lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif
(bradikardia relatif adlaah peningkatan suhu badan 10C tidak diikuti peningkatan denyut nadi
8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepid an ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.

6. Langkah Diagnostik
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia (±
3000-8000 per mm³), dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis
dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu, dapat ditemukan pula
anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan penunjang hitung jenis leukosit dapat
terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat
meningkat.

Terjadinya leucopenia akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan mediator
endogen yang ada. Diperkirakan kejadian leucopenia 25 %, namun banyak laporan bahwa
dewasa ini hitung leukosit kebanyakan dalam batas normal atau leukositosis ringan.
Terjadinya trombositopenia berhubungan dengan produksi yang menurun dan destruksi yang
meningkat oleh sel-sel RES. Sedangkan anemia juga disebabkan peroduksi hemoglobin yang
menurun dan adanya perdarahan intestinal yang tak nyata (occult bleeding). Perlu diwaspadai
bila terjadi penurunan hemoglobin secara akut pada minggu ke 3-4, karena bisa disebabkan
oleh perdarahan hebat dalam abdomen.

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Bebeapa
pemeriksaan bakteriologis yang dapat dilakukan, yaitu:
a. Biakan darah
Biakan pada agar darah dan agar Mac Conkey menunjukkan bahwa kuman tumbuh tanpa
meragikan laktosa, gram negative dan menunjukkan gerak positif.

b. Biakan bekuan darah


Bekuan darah dibiakkan pada botol berisi 15 ml kaldu empedu. Biakkan ini lebih sering
memberikan hasil positif.

c. Biakan tinja
Hasil positif selama masa sakit. Diperlukan biakan berulang untuk mendapatkan hasil
positif. Biakan tinja lebih berguna pada penderita yang sedang diobati dengan
kloramfenikol.

d. Biakan empedu
Penting untuk mendeteksi adanya karier dan pada stadium lanjut penyakit. Empedu
dihisap melalui tabung duodenum dan diolah dengan cara seperti tinja.

e. Biakan air kemih


Pemeriksaan ini kurang berguna bila dibandingkan dengan biakan darah dan tinja. Biakan
air kemih positif pada minggu sakit ke 2 dan 3.

f. Biakan salmonella typhi


Specimen untuk biakan dapat diambil dari darah, sumsum tulang, feses, dan urin.
Spesimen darah diambil pada minggu I sakit saat demam tinggi. Spesimen feses dan urin
pada minggu ke II dan minggu-minggu selanjutnya. Pembiakan memerlukan waktu kurang
lebih 5-7 hari. Bila laporan hasil biakan menyatakan “basil salmonella tumbuh”, maka
penderita sudah pasti mengidap demam tifoid. Spesimen ditanam dalam biakan empedu.
Sensitifitas tes ini rendah, dapat disebabkan oleh beberapa hal: pasien telah dapat
antibiotik sebelumnya, waktu pengambilan spesimen tidak tepat, volume darah yang
diambil kurang, darah menggumpal, dll. Spesimen darah dari sumsum tulang mempunyai
sensitifitas yang lebih tinggi.

Bahan pemeriksaan lain :

- Serologis Widal
Tes serologis widal adalah reaksi antara antigen dengan aglutinin yang merupakan
antibody spesifik terhadap komponen basil salmonella di dalam darah manusia. Prinsip
tesnya adalah terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang dideteksi
yakni aglutinin O dan H.

Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam sampai


puncaknya pada minggu ke 3-5. Aglutinin ini dapat bertahan sampa lama 6-12 bulan.
Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat, pada minggu ke 4-6 dan menetap dalam
waktu yang lebih lama, sampai 2 tahun kemudian.

Interpretasi Reaksi Widal :

a. Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan kesepakatan atau perjanjian
pada suatu daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut. Kebanyakan pendapat bahwa
titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis demam tifoid.
b. Reaksi widal negative tidak menyingkirkan diagnosis tifoid.

Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti adalah bila didapatkan kenaikan titer
4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Perlu diingat bahwa banyak
faktor yang mempengaruhi reaksi widal sehingga mendatangkan hasil yang keliru baik
negative palsu atau positif palsu. Hasil tes negative palsu seperti pada keadaan
pembentukan anti bodi yang rendah yang dapat ditemukan pada keadaan-keadaan gizi
jelek, konsumsi obat-obat imunosupresif, penyakit agammaglobuilinemia, leukemia,
karsinoma lanjut, dll. Hasil tes positif palsu dapat dijumpai pada keadaan pasca vaksinasi,
mengalami infeski sub klinis beberapa waktu yang lalu, aglutinasi silang, dll.

Enzim transaminase
Peradangan pada sel-sel hati menyebabkan enzim-enzim transaminase (SGOT, SGPT)
sering ditemukan meningkat. Banyak pendapat bahwa hal ini disebabkan karena banyak
faktor, seperti pengaruh endotoksin, mekanisme imun dan obat-obatan. Bila proses
peradangan makin berat maka tes fungsi hati lainnya akan terganggu, seperti bilirubin
akan meningkat, albumin akan menurun, dll. Secara klinis bila tes fungsi hati terganggu
dan disertai ikterus dan hepatomegali disebut hepatitis tifosa atau hepatitis salmonella.

Lipase dan amylase


Basil tahan salmonella sampai menginvasi pancreas, dapat menimbulkan pancreatitis,
maka enzim lipase dna amylase akan meningkat.

7. Diagnosis
Penegakan diagosis sedini mungkin akan sangat bermanfaat untuk menentukan terapi
yang tepat dan mencegah komplikasi. Penegetahuan gambaran klinis penyakit ini
sangat penting untuk mendeteksi secara dini. Walaupun pada waktu tertentu diperluakn
pemeriksaan tambahan untuk membantu penegakan diagnosis, seperti yang dijelaskan
di atas.

Sindroma klinis adalah kumpulan gejala-gejala demam tifoid. Diantara gejala klinis
yang sering ditemukan pada tifoid yaitu: demam, sakit kepala, kelemahan, nausea, nyeri
abdomen, anoreksia, muntah, gangguan gastrointestinal, insomnia, hepatomegali,
splenomegali, penurunan kesadaran, bradikardi relative, kesadaran berkabut, dan feses
berdarah.

Diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas tiga macam, yaitu:

A. Suspek demam tifoid (suspect case)


Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala umum,
gangguan saluran cerna dan lidah tifoid. Jadi sindrom demam tifoid didapatkan belum
lengkap. Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.

B. Demam tifoid klinis (probable case)


Telah didapatkan gejala klinis yang lengkap atau hampir lengkap, serta
didukung oleh gambaran laboratorium yang menunjukkan demam tifoid.

C. Demam tifoid konfirmasi (confirm case = demam tifoid konfirmasi)


Bila gejala klinis sudah lengkap dan ditemukannya basil kuman Salmonella
typhoid, maka pasien sudah pasti menderita demam tifoid. Cara yang dianggap paling
tepat dalam mendeteksi adanya kuman salmonella typhi adalah dengan melakukan
pemeriksaan biakan salmonella typhi, pemeriksaan pelacak DNA Salmonella Typhi
dengan PCR (polymerase Chain Reaction), dan adanya kenaikan titer 4 kali lipat pada
pemeriksaan widal II, 5-7 hari kemudian.
8. Tata Laksana
Sampai saat in masih dianut Trilogi Penobatan Demam Tifoid, yaitu:

A. Istirahat dan perawatan


Dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan.
Penderita yang dirawat harus bedrest total untuk mencegah terjadinya komplikasi
terutama perdarahan dan perforasi. Bila penyakit mulai membaik dilakukan
mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. BAB dan
BAK sebaiknya dibantu perawat. Hindari pemasangan kateter urine tetap, bila
tidak ada indikasi.

B. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif)


Dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara
optimal. Hal-hal yang harus diperhatikan, di antaranya:

 Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta pada pasien yang sulit makan. Dosis
parenteral sesuai dengan kebutuhan harian. Bila ada komplikasi dosis cairan
disesuaikan dengan kebutuan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori
yang optimal.

 Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah
selulose untuk mencegah komplikasi, perdarahan dan perforasi. Diet
diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak (tim), dan nasi biasa bila keadaan
penderita membaik, diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim. Namun bila
penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair
yang selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat
kesembuhan penderita.

 Terapi simptomatik
Dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum
penderita :

1. Roboransia/vitamin
2. Antipiretik diberikan untuk kenyamanan penderita, terutama untuk anak-
anak
3. Antiemetik diperlukan bila penderita muntah-muntah berat

a. Pemberian Antimikroba
Dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Kebijakan dasar
pemberian anti mikroba

o Antimikroba segera diberikan bila diagnose klinis demam tifoid telah dapat
ditegakkan, baik dalam bentuk diagnosis konfirmasi, propable, maupun
suspek.
o Anti mikroba yang dipilih harus dipertimbangkan :
1. Telah dikenal sensitif dan potensial untuk demam tifoid.
2. Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat berpenetrasi dengan baik ke
jaringan serta mempunyai afinitas yang tinggi menuju organ sasaran.
3. Berspektrum sempit.
4. Cara pemberian yang mudah dan dapat ditoleransi dengan baik oleh
penderita termasuk anak dan wanita hamil.
5. Efek samping yang minimal.
6. Tidak mudah resisten dan efektif mencegah karier.

Tabel Obat Antimikroba untuk Penderita Demam Tifoid

Antibiotika Dosis Kelebihan dan keuntungan

50 mg/Kg bb/Hr - Merupakan obat yang


sering digunakan dan
Dewasa : 4 x 500 mg (2 gr)
telah lama dikenal efektif
Anak : 100 mg/Kg BB/Hr, untuk demam tifoid
max 2 gr selama 10 hr - Murah dan dapat diberi
Kloramfenikol
dibagi dalam 4 dosis per-oral, sensitivitas
masih tinggi
- Pemberian PO/IV
- Tidak diberikan bila
leukosit <2000/mm³

Dewasa : 2-4 gr/Hr - Cepat menurunkan suhu,


lama pemberian pendek
Seftriakson selama 3-5 hr
dan dapat dosis tunggal
Anak : 80 mg/Kg BB/Hr serta cukup aman untuk
dosis tunggal selama 5 hari anak
- Pemberian IV
Dewasa : 3-4 gr/Hr - Aman untuk penderita
hamil
Anak : 100 mg/Kg BB/Hr
- Sering dikmbinasi
selama 10 hari
Ampisilin & dengan kloramfenikol
amoksisilin pada pasien kritis
- Tidak mahal
- Pemberian PO/IV
Dewasa : 2x 160-800 mg - Tidak mahal
selama 2 minggu - Pemberian per oral
Kotrimoksasol
Anak : TMP 6-10 mg/Kg
BB/Hr atau SMX 30-50
mg/Kg/Hr selama 10 hari

Siprofloksasin : 2x500 mg - Pefloksasin dan


selama 1 minggu fleroksasin lebih cepat
menurunkan suhu
Ofloksasin : 2x200-400 mg
- Efektif mencegah relaps
selama 1 minggu
dan karier
Quinolone
Plefoksasin : 1x400 mg - Pemberian per oral
selama 1 minggu - Anak : tidak dianjurkan
karena efek samping
Fleroksasin : 1x400 mg
selama 1 minggu pada pertumbuhan tulang

Cefixim Anak : 15-20 mg/KgBB/ Hr - Aman untuk anak


dibagi dalam 2 dosis selama - Efektif
10 hari - Pemberian per oral

Dewasa : 4x500 mg - Dapat untuk anak dan


dewasa
Tiamfenikol Anak : 50 mg/Kg BB/Hari
- Dilaporkan cukup
selama 5-7 hari bebas panas
sensitif pada beberapa
daerah

Pengobatan demam tifoid pada wanita hamil, memerlukan perhatian khusus.


Tiamfenikol tidak boleh diberikan pada trimester pertama Karena kemungkinan efek
teratogenik terhadap fetus manusia belum dapat disingkirkan, pada kehamilam lebih lanjut
tiamfenikol baru dapat digunakan. Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3
kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine,
dan grey syndrome pada neonatus. Obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol
tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid pada ibu hamil. Obat yang dianjurkan
adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson.

9. Pencegahan
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akn
berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid,
serta menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun negara. Tindakan preventifsebagai
bahan upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid
mencangkup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit
dan factor pejamu (host) serta faktor lingkungan.

Secara garis besar, ada tiga strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu:

A. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun
kasus karier tifoid.
B. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi akut maupun karier.
C. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi.
Pencegahan juga dapat dilakukan melalui pemberian vaksin. Vaksin untuk demam
tifoid pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960 efektifitas vaksin telah
ditegakkan, keberhasilan proteksi senesar 51-88% (WHO). Vaksinasi tifoid belum dianjurkan
rutin di USA ataupun di daerah lain. Indikasi pemberian vaksin ini adalah bila:

A. Hendak mengunjungi daerah endemic, risiko terserang demam tifoid semakin tinggi
untuk daerah berkembang (Amerika Latin, Asia, Afrika)
B. Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid.
C. Petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.

DEFINISI PARATIFOID
Demam paratifoid adalah penyakit enteric yang disebabkan oleh bakteri gram negative
Salmonella paratyphii. Bakteri ini ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar.
penyakit infeksi bakteri yang menyerang usus dan aliran darah. Penyakit paratifus memiliki
gejala yang mirip dengan dengan penyakit tifus, namun lebih ringan, jarang menimbulkan
komplikasi, dan dapat lebih cepat sembuh bila dibandingkan dengan tifus. Tidak hanya
gejala, penyakit paratifus juga memiliki cara penularan yang sama dengan penyakit tifus,
yaitu melalui konsumsi makanan atau minuman yang sudah terkontaminasi tinja orang yang
terinfeksi bakteri, baik infeksi akut maupun kronik yang tidak bergejala (karier). Hubungan
seksual sesama jenis juga bisa menjadi penyebab paratifus, walaupun kasusnya tergolong
sangat sedikit. (Priyanto, 2009).

1. ETIOLOGI
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari
Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora,
motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat
hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.
Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1) Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian
ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini
tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2) Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid
tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3) Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh
penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut
aglutinin.

2. PATOFISIOLOGI
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.Typhi) dan Salmonella parathypi (S.Parathypi)
ke dalam tubuh manusia terjadi melalui mekanisme makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang
baik, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikum kuman yang terdapat
pada makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama
yang asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendothelial tubuh terutama di
hati dan limfa. Di organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi
darah lagi sehingga mengakibatkan bakterimia kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda
dan gejala penyakit infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus
usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental,
dan koagulasi (Mandal, 2004)
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri
yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan
otot, serosa usus, dan dapat menghasilkan perforasi.
3. Manifestasi Klinis
Menifestasi klinis demam tifoid sangat luas dan bervariasi, dari manifestasi yang
atipikal hingga klasik, dari yang ringan hingga complicated. Penyakit ini memiliki
kesamaan dengan penyakit demam yang lainnya terutama pada minggu pertama sehingga
sulit dibedakan, maka untuk menegakkan diagnosa demam tifoid perlu ditunjang
pemeriksaan laboratorium penunjang. Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita
kelompok umur 5 – 30 tahun, laki – laki sama dengan wanita resikonya terinfeksi. Jarang
pada umur dibawah 2 tahun maupun diatas 60. Masa inkubasinya umumnya 3-60 hari
(Soedarmo, 2002)

Manifestasi klinis secara umum bekaitan dengan perjalanan infeksi kuman.

1) Panas badan. Pada demam typhoid, pola panas badan yang khas adalah tipe step
ladder pattern dimana peningkatan panas terjadi secara perlahan-lahan, terutama pada
sore hingga malam hari. Biasanya pada saat masuk rumah sakit didapatkan keluhan
utama demam yang diderita kurang lebih 5-7 hari yang tidak berhasil diobati dengan
antipiretika.
2) Lidah tifoid. Pada pemeriksaan fisik, lidah tifoid digambarkan sebagai lidah yang
kotor pada pertengahan, sementara hiperemi pada tepinya, dan tremor apabila
dijulurkan.
3) Bradikardi relatif. Pada penderita tifoid peningkatan denyut nadi tidak sesuai dengan
peningkatan suhu, dimana seharusnya peningkatan 10C diikuti oleh peningkatan
denyut nadi sebanyak 8 kali/menit. Bradikardi relatif adalah keadaan dimana
peningkatan suhu 10C diikuti oleh peningkatan nadi 8 kali/menit.
4) Gejala saluran pencernaan (anoreksia, mual, muntah, obstipasi, diare, perasaan tidak
enak di perut dan kembung, meteorismus).
5) Hepatosplenomegali.
6) Gejala infeksi akut lainnya ( nyeri kepala, pusing, nyeri otot, batuk, epistaksis).
7) Gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis

1. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan darah, Pemeriksaan darah untuk kultur (biakan empedu) Salmonella
typhosa dapat ditemukan dalam darah penderita pada minggu pertama sakit, lebih
sering ditemukan dalam urine dan feces dalam waktu yang lama. Lalu selanjutnya
ada pemeriksaan widal, pemeriksaan widal merupakan pemeriksaan yang dapat
menentukan diagnosis thypoid abdominalis secara pasti. Pemeriksaan ini perlu
dikerjakan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. (diperlukan darah vena
sebanyak 5 cc untuk kultur dan widal)
b) Pemeriksaan sumsum tulang belakang
Terdapat gambaran sumsum tulang belakang berupa hiperaktif Reticulum Endotel
System (RES) dengan adanya sel makrofag.
4. DIAGNOSA
Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan infeksi Salmonella Typhii disertai dengan
Gangguan lalu pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
anoreksia. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan/bedrest. Gangguan
keseimbangan cairan (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan pengeluaran cairan yang
berlebihan (diare/muntah).
5. PENCEGAHAN
Menurut (Widiastuti, 2001) pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain
Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang
sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindiksi pada wanita
hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik. Lama proteksi 5
tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K
vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved).
Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml
yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri
kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil
dan riwayat demam pada pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara
intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil,
menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun.
Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang
yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi
kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA
Becker, Gretchen. Type 2 Diabetes: An Essential Guide for the Newly Diagnosed. 2001.
Newyork: Publisher Group West

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI

Mandal, dkk. Penyakit Infeksi. Erlangga. Jakarta : 2004


Machfoedz, I., 2007, Metodologi Penelitian Hadi, U., 2006, Resistensi Antibiotik, Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV, Jilid III, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, Jakarta Bidang Kesehatan, Keperawatan, dan Kebidanan, Penerbit
Fitramaya, Yogyakarta.

Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PERKENI


2006 Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus. PERKENI 2007

Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. 2007. Jakarta: FKUI

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar IlmuPenyakit Dalam
jilid III. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI .Jakarta : 2006

Priyanto, 2009, Farmakoterapi & Terminologi Medis, Hal 30-32, Leskonfi, Jakarta

Soedarmo, S.P., Garna, H., Hadi Negoro, S.R., 2002, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak :
Infeksi dan Penyakit Tropis, Edisi I, Hal 367-375, FKUI, Jakarta

Widiastuti, S., 2001, Belajar Bertolak dari Masalah Demam Typhoid, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang

Anda mungkin juga menyukai