PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
tempat kerja dan lingkungan kerja secara langsung ataupun tidak langsung.
Keselamatan dan kesehatan kerja yang disingkat K3 adalah semua kegiatan untuk
menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya
penyelenggaraan rumah sakit dan harus dalam keadaan terpelihara dan berfungsi
dengan baik. Pada pasal 12 menegaskan juga bahwa rumah sakit harus memiliki
tenaga tetap yang meliputi tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian,
tenaga manajemen rumah sakit, dan tenaga nonkesehatan dan setiap tenaga
kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus bekerja sesuai dengan standar
pasien. Pada pasal 16 juga menegaskan peralatan medis dan nonmedis harus
1
2
layak pakai. Hal tersebut penting diperhatikan karna rumah sakit wajib memiliki
dalam bekerja.
Menurut laporan dari The national Safety Council (NSC) tahun 2008 ada 41%
dari petugas medis tidak masuk bekerja akibat penyakit dan kecelakaan kerja.
Penyebab terbesar akibat kecelakaan kerja adalah tertusuk jarum suntik (Neadle
Stick Injuries). Kasus lain di USA yang tercatat 5000 pertahunya terinfeksi
hepatitis B dan setiap tahun 600.000 – 1000.000 luka tertusuk jarum suntik.
Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa 4% dari
seluruh rumah sakit yang teliti, menghasilkan sekitar 721.800 kasus terinfeksi
nosokomial (HAIs) dan 99.000 kematian setiap tahunya, dan rumah sakit rata –
rata mengeluarkan dana $28 - $33 juta untuk menanggulangi kasus tersebut (More
et al, 2013). Menurut survei yang dilaksanakan di 183 Rumah Sakit di Amerika,
terinfeksi dari pelayanan atau lingkungan yang ada di Rumah Sakit pada tahun
Untuk jumlah kasus penyakit akibat kerja tahun 2011 – 2014, yaitu pada
tahun 2011 sejumlah 57.929, tahun 2012 sejumlah 60.322, tahun 2013 sejumlah
97.144, dan tahun 2014 sejumlah 40.696. Provinsi dengan jumlah kasus penyakit
akibat kerja tertinggi pada tahun 2011 adalah Provinsi Jawa Tengah, Sulawesi
Utara dan Jawa Timur, pada tahun 2012 adalah Provinsi Sumatera Utara,
Sumatera Selatan dan Jawa Barat, pada tahun 2013 adalah Provinsi Banten,
3
Gorontalo, dan Jambi. Sedangkan pada tahun 2014 adalah Provinsi Bali, Jawa
Salah satu upaya dalam rangka pemberian perlindungan tenaga kerja terhadap
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di rumah sakit adalah dengan cara
memberikan Alat Pelindung Diri (APD). Pemberian APD kepada tenaga kerja
merupakan upaya terakhir apabila upaya rekayasa (engineering) dan cara kerja
pelindung diri atau personal protective equipment merupakan alat yang digunakan
untuk melindungi pekerja dari luka atau penyakit yang diakibatkan oleh adanya
kontak dengan bahaya (hazards) di tempat kerja, baik yang bersifat kimia,
seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi
bahaya di tempat kerja (Yusnita, 2017). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa alat pelindung diri bermanfaat bagi petugas kesehatan untuk melindungi
diri dari sumber bahaya tertentu, yang berasal dari pekerjaan maupun lingkungan
31.776 kasus (32.06%) dan 57.626 kasus (58,15%) karena tindakan yang tidak
4
aman (Jamsostek, 2011). Tindakan tidak aman (unsafe action) adalah tindakan
terjadinya kecelakaan yang disebabkan oleh berbagai hal seperti tidak memakai
Alat Pelindung Diri (APD), tidak mengikuti prosedur kerja, tidak mengikuti
Penelitiaan yang dilakukan oleh Novita pada tahun 2014 menyatakan bahwa
semakin muda usia, semakin sedikit masa kerja, semakin lengkap Alat Pelindung
Diri yang tersedia maka semakin baik perilaku penggunaan Alat pelindung Diri.
tahun 2016 menyatakan bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam kepatuhan
penggunaan Alat Pelindung Diri adalah pengetahuan (70%) dan ketersediaan Alat
Pelindung Diri (67,8%), dan yang kurang berpengaruh adalah lama kerja dan
kebijakan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Banda di RS
Penelitian yang dilakukan Putra tahun 2015 menunjukan bahwa perawat IGD
perawat yang memiliki sikap negatif dalam menggunakan APD adalah sebanyak
53,3% dengan alasan terbanyak yang tidak menggunakan Alat Pelindung Diri
sebagai survei pendahuluan kepada 5 orang perawat rawat inap di Rumah Sakit
Sari Mutiara, 5 orang perawat yang ditanya memiliki jawaban yang sama. Dimana
5
Pelindung Diri (APD) saat bekerja, terutama jika persediaan APD itu habis seperti
misalnya masker, sarung tangan dan yang lainya. Perawat juga mengatakan tidak
menggunakan sarung tangan dan masker karena malas, repot, tidak terbiasa dan
mengetahui bahwa risiko yang bisa didapatkan dari bahan berupa darah, urin,
feses dan sputum yang berasal dari pasien berpotensi menyebabkan penyakit
Alat Pelindung Diri pada Perawat di Rawat Inap Rumah Sakit Sari Mutiara
MedanTahun 2019”.
di instalasi rawat inap tidak terlepas dari kepatuhan petugas dalam menggunakan
alat pelindung diri saat bekerja, maka didapatkan rumusan masalah sebagai
berikut . “Faktor - faktor apa saja yang berhubungan dengan perilaku penggunaan
Alat Pelindung Diri di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Sari Mutiara Tahun
2019?“
6
kepatuhan penggunaan Alat Pelindung Diri pada perawat di Ruang Rawat Inap
perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri di Rawat Inap Rumah Sakit sari
Alat Pelindung Diri di Rawat Inap Rumah Sakit sari Mutiara Tahun 2019.
7
Alat Pelindung Diri di Rawat Inap Rumah Sakit sari Mutiara Tahun 2019.
Pelindung Diri di Rawat Inap Rumah Sakit sari Mutiara Tahun 2019.
Alat Pelindung Diri di Rawat Inap Rumah Sakit sari Mutiara Tahun 2019.
Bagi rumah sakit penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
masukan dasar pertimbangan dalam usaha perbaikan rumah sakit pada umumnya