Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 66 tahun 2016 Bab

1 pada pasal 1 tentang Kesehatan dan Keselamatan kerja di Rumah Sakit

menyatakan bahwa keselamatan kerja adalah upaya yang dilakukan untuk

mengurangi terjadinya kecelakaan, kerusakan dan segala bentuk kerugian baik

terhadap manusia maupun yang berhubungan dengan peralatan, obyek kerja,

tempat kerja dan lingkungan kerja secara langsung ataupun tidak langsung.

Keselamatan dan kesehatan kerja yang disingkat K3 adalah semua kegiatan untuk

menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya

pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja (Kemenkes, 2010).

Menurut Undang-undang RI No. 44 tahun 2009 pasal 11 menegaskan bahwa

prasarana rumah sakit harus memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta K3

penyelenggaraan rumah sakit dan harus dalam keadaan terpelihara dan berfungsi

dengan baik. Pada pasal 12 menegaskan juga bahwa rumah sakit harus memiliki

tenaga tetap yang meliputi tenaga medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian,

tenaga manajemen rumah sakit, dan tenaga nonkesehatan dan setiap tenaga

kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus bekerja sesuai dengan standar

profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar prosedur operasional yang

berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan

pasien. Pada pasal 16 juga menegaskan peralatan medis dan nonmedis harus

memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan

1
2

layak pakai. Hal tersebut penting diperhatikan karna rumah sakit wajib memiliki

sistem pencegahan kecelakaan dengan tujuan mencegah terjadinya kecelakaan

dalam bekerja.

Menurut laporan dari The national Safety Council (NSC) tahun 2008 ada 41%

dari petugas medis tidak masuk bekerja akibat penyakit dan kecelakaan kerja.

Penyebab terbesar akibat kecelakaan kerja adalah tertusuk jarum suntik (Neadle

Stick Injuries). Kasus lain di USA yang tercatat 5000 pertahunya terinfeksi

hepatitis B dan setiap tahun 600.000 – 1000.000 luka tertusuk jarum suntik.

Center for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa 4% dari

seluruh rumah sakit yang teliti, menghasilkan sekitar 721.800 kasus terinfeksi

nosokomial (HAIs) dan 99.000 kematian setiap tahunya, dan rumah sakit rata –

rata mengeluarkan dana $28 - $33 juta untuk menanggulangi kasus tersebut (More

et al, 2013). Menurut survei yang dilaksanakan di 183 Rumah Sakit di Amerika,

Healthcare Associated Infections (HAIs) terdapat 648.000 pasien dari 721.800

terinfeksi dari pelayanan atau lingkungan yang ada di Rumah Sakit pada tahun

2011 (Kemenkes, 2011).

Untuk jumlah kasus penyakit akibat kerja tahun 2011 – 2014, yaitu pada

tahun 2011 sejumlah 57.929, tahun 2012 sejumlah 60.322, tahun 2013 sejumlah

97.144, dan tahun 2014 sejumlah 40.696. Provinsi dengan jumlah kasus penyakit

akibat kerja tertinggi pada tahun 2011 adalah Provinsi Jawa Tengah, Sulawesi

Utara dan Jawa Timur, pada tahun 2012 adalah Provinsi Sumatera Utara,

Sumatera Selatan dan Jawa Barat, pada tahun 2013 adalah Provinsi Banten,
3

Gorontalo, dan Jambi. Sedangkan pada tahun 2014 adalah Provinsi Bali, Jawa

Timur dan Sulawesi Selatan (BPJS, 2015).

Salah satu upaya dalam rangka pemberian perlindungan tenaga kerja terhadap

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di rumah sakit adalah dengan cara

memberikan Alat Pelindung Diri (APD). Pemberian APD kepada tenaga kerja

merupakan upaya terakhir apabila upaya rekayasa (engineering) dan cara kerja

yang aman (work practice) telah maksimum dilakukan (Nunik, 2012).

Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA) alat

pelindung diri atau personal protective equipment merupakan alat yang digunakan

untuk melindungi pekerja dari luka atau penyakit yang diakibatkan oleh adanya

kontak dengan bahaya (hazards) di tempat kerja, baik yang bersifat kimia,

biologis, radiasi, fisik, elektrik, mekanik dan lainya (Yusnita,2017).

Sedangkan menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI

No.8/MEN/VII/2010, alat pelindung diri atau personal protective equipment

didefinisikan sebagai alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi

seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi

bahaya di tempat kerja (Yusnita, 2017). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan

bahwa alat pelindung diri bermanfaat bagi petugas kesehatan untuk melindungi

diri dari sumber bahaya tertentu, yang berasal dari pekerjaan maupun lingkungan

pekerjaan dan sebagai usaha untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan

cedera atau sakit.

Faktor utama penyebab kecelakaan kerja di indonesia adalah faktor perilaku

31.776 kasus (32.06%) dan 57.626 kasus (58,15%) karena tindakan yang tidak
4

aman (Jamsostek, 2011). Tindakan tidak aman (unsafe action) adalah tindakan

yang dapat membahayakan pekerja maupun orang lain dan menyebabkan

terjadinya kecelakaan yang disebabkan oleh berbagai hal seperti tidak memakai

Alat Pelindung Diri (APD), tidak mengikuti prosedur kerja, tidak mengikuti

peraturan keselamatan kerja maupun bekerja tidak hati-hati (Pratiwi, 2012).

Penelitiaan yang dilakukan oleh Novita pada tahun 2014 menyatakan bahwa

semakin muda usia, semakin sedikit masa kerja, semakin lengkap Alat Pelindung

Diri yang tersedia maka semakin baik perilaku penggunaan Alat pelindung Diri.

Sedangkan Menurut penelitian yang dilakukan Sudarmo di RSUD Banjarmasin

tahun 2016 menyatakan bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam kepatuhan

penggunaan Alat Pelindung Diri adalah pengetahuan (70%) dan ketersediaan Alat

Pelindung Diri (67,8%), dan yang kurang berpengaruh adalah lama kerja dan

kebijakan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Banda di RS

Konawe tahun 2015 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara

pengetahuan dan sikap terhadap kepatuhan penggunaan Alat pelindung Diri.

Penelitian yang dilakukan Putra tahun 2015 menunjukan bahwa perawat IGD

memiliki pengetahuan yang tinggi terhadap penggunaan APD (63,30%). Dan

perawat yang memiliki sikap negatif dalam menggunakan APD adalah sebanyak

53,3% dengan alasan terbanyak yang tidak menggunakan Alat Pelindung Diri

adalah karena sudah terbiasa tidak menggunakan APD (Putra, 2015).

Dengan memperhatikan kondisi lapangan serta hasil tanya jawab peneliti

sebagai survei pendahuluan kepada 5 orang perawat rawat inap di Rumah Sakit

Sari Mutiara, 5 orang perawat yang ditanya memiliki jawaban yang sama. Dimana
5

mereka menjawab bahwa masih seringnya mereka tidak menggunakan Alat

Pelindung Diri (APD) saat bekerja, terutama jika persediaan APD itu habis seperti

misalnya masker, sarung tangan dan yang lainya. Perawat juga mengatakan tidak

menggunakan sarung tangan dan masker karena malas, repot, tidak terbiasa dan

lupa terutama saat memasukan obat ke pasien. Padahal perawat sendiri

mengetahui bahwa risiko yang bisa didapatkan dari bahan berupa darah, urin,

feses dan sputum yang berasal dari pasien berpotensi menyebabkan penyakit

menular dan infeksi.

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka peneliti tertarik untuk meneliti

tentang “Analisis Faktor – faktor yang berhubungan dengan perilaku penggunaan

Alat Pelindung Diri pada Perawat di Rawat Inap Rumah Sakit Sari Mutiara

MedanTahun 2019”.

1.2 Rumusan Masalah

Banyaknya penyebab yang dapat mempengaruhi terjadinya kecelakaan kerja

di instalasi rawat inap tidak terlepas dari kepatuhan petugas dalam menggunakan

alat pelindung diri saat bekerja, maka didapatkan rumusan masalah sebagai

berikut . “Faktor - faktor apa saja yang berhubungan dengan perilaku penggunaan

Alat Pelindung Diri di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Sari Mutiara Tahun

2019?“
6

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui anailis faktor – faktor yang berhubungan dengan

kepatuhan penggunaan Alat Pelindung Diri pada perawat di Ruang Rawat Inap

Rumah Sakit Sari Mutiara tahun 2019.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik perawat di Rawat Inap Rumah Sakit Sari

Mutiara tahun 2019.

2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi perawat berdasarkan Pengetahuan

dengan perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri di Rawat Inap Rumah

Sakit Sari Mutiara tahun 2019.

3. Untuk mengetahui distribusi frekuensi perawat berdasarkan Pengawasan

dengan perilaku penggunaan Alat pelindung Diri di Rawat Inap Rumah

Sakit Sari Mutiara tahun 2019.

4. Untuk mengetahui distribusi frekuensi perawat berdasarkan Sikap dengan

perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri di Rawat Inap Rumah Sakit sari

Mutiara Tahun 2019.

5. Untuk mengetahui distribusi frekuensi perawat berdasarkan Ketersediaan

dengan perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri di Rawat Inap Rumah

Sakit sari Mutiara Tahun 2019.

6. Untuk mengetahui hubungan Pengetahuan dengan perilaku penggunaan

Alat Pelindung Diri di Rawat Inap Rumah Sakit sari Mutiara Tahun 2019.
7

7. Untuk mengetahui hubungan Pengawasan dengan perilaku penggunaan

Alat Pelindung Diri di Rawat Inap Rumah Sakit sari Mutiara Tahun 2019.

8. Untuk mengetahui hubungan Sikap dengan perilaku penggunaan Alat

Pelindung Diri di Rawat Inap Rumah Sakit sari Mutiara Tahun 2019.

9. Untuk mengetahui hubungan Ketersediaan dengan perilaku penggunaan

Alat Pelindung Diri di Rawat Inap Rumah Sakit sari Mutiara Tahun 2019.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat terhadap Rumah Sakit

Bagi rumah sakit penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

masukan dasar pertimbangan dalam usaha perbaikan rumah sakit pada umumnya

dan diharapkan dapat memberikan masukan untuk meningkatkan Kesehatan

Keselamatan Kerja di Rumah sakit.

1.4.2 Manfaat Akademik

Dapat mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku

penggunaan APD di rumah sakit, dengan harapan dapat menambah atau

memperkaya pengetahuan tentang teori-teori dalam meningkatkan kualitas

pelayanan Kesehatan Keselamatan Kerja.

1.4.3 Manfaat Peneliti

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memahami dan mengetahui

tentang penulisan laporan penelitian serta menambah pengalaman dalam bidang

penelitian khususnya mengenai Kesehatan Keselamatan Kerja.

Anda mungkin juga menyukai