Diajukan pada Bidang Kajian Ilmu social dan sebagai salah satu syarat kelulusan
di Program Excellent Class Pondok Pesantren Daar El Qolam
oleh:
2012 M/1433 H
LEMBAR PERSETUJUAN
Oleh:
Karya Tulis Ilmiah ini telah disahkan dan diterima sebagai salah satu syarat
kelulusan pada Program Excellent Class, Pondok Pesantren Daar el-Qolam,
PasirGintung, Jayanti, Tangerang pada ……………………
BAB I
PENDAHULUAN
B. RumusanMasalah
Dengan menimbang latar belakang penelitian yang telah penulis
kemukakan, maka penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut :
Rumah adalah tempat pertama bagi manusia. Ia ibarat dekapan dada ibu
yang penuh kasih sayang dan kehangatan, yang akan mengobarkan segala potensi
yang luar biasa. Seorang anak yang dilahirkan, lalu ia diasuh dirumahnya, ia akan
mendapatkan limpahan kasih sayang dari setiap anggota keluarganya.
Makanannya adalah cinta dan ridha, yang dicampur dengan sucinya air susu ibu,
dan kelembutan dari ayah dan kakeknya. Meski begitu kadang kita masih
menemukan adanya iklim keluarga yang tidak harmonis, sehingga berpengaruh
besar pada cara adaptasi anak, dan menganggu perkembangan baiknya.1
Jika hubungan antara anak dan keluarga kuat, maka rumah akan menjadi
salah satu sumber inspirasi pengetahuan mereka. Sedangkan jika anak-anak tidak
mendapatkan arahan dari ayah dan ibunya, yang bisa meneranngi
Perceraian adalah perbuatan yang tidak bertanggung jawab dan melanggar
perintah Allah. Sesuatu yang tidak baik, tidak terpuji, pengkhianatan dan
perbuatan yang tidak bertanggung jawab terhadap berlangsungnya kehidupan
yang semestinya dibina dan dikembangkan.
1
Nu’aim Ar-Rifai, ash-shihhah An-Nafsiyah,hal.298
Sebenarnya hal ini lebih merupakan puncak gunung dari krisis keberanian
(courage) ketimbang krisis ‘teori atau metode’ tentang keluarga sakinah,
mawahdah, wa rahmah. Keberanian untuk mewujudkan pengetahuan tersebut
dalam bentuk nyata (actual performance) itulah yang kurang. Keberanian harus
didukung oleh konsekuensi tingkat kesadaran (consciousness) seseorang. Di
sinilah pentingnya kemampuan memimpin diri sendiri sebagai orangtua. Intinya
dalah kemampuan diri dalam mengendalikan hawa nafsu. Pimpinlah nafsu diri
sendiri, atau nafsu itu yang akan memimpin keseluruhan hidup kita! Orangtua
harus mampu menegakkan disiplin atas diri sendiri sebelum menerapkannya pada
anggota keluarga. Maka, perlu kiranya orangtua belajar pengenalan diri yang lebih
tinggi sehingga tidak lagi bersikap reaktif namun menjadi proaktif dan kreatif.
Memang tidak mudah, Namun percayalah semua itu akan kita peroleh
sekali lagi dengan keberanian mengaktualisasikan pengetahuan yang telah kita
miliki. Sintesa antara kecerdasan intelektual, intuitif dan emosi akan mewarnai
kepemimpinan orangtua di dalam keluarga. Hal ini akan memungkinkan orangtua
untuk mampu mengelola hubungan dengan anggota keluarga, peristiwa, dan
gagasan dalam keluarganya. Sehingga keluarga sakinah, mawahdah, wa rahmah
akan terwujud.
Ada enam sifat yang harus dimiliki oleh orangtua (menurut Warren
Bennis) yaitu visioner; berkemauan kuat; integritas; amanah; rasa ingin tahu; dan
berani.
1. Sifat Visioner adalah orangtua mempunyai ide yang jelas tentang apa yang
diinginkan keluarga baik masing-masing pribadi maupun bersama dan memiliki
kekuatan untuk bertahan ketika mengalami kemunduran atau kegagalan.
2. Sidat Berkemauan kuat adalah orangtua mencintai apa yang dikerjakan dan
kesungguhan yang luar biasa dalam menjalani hidup, dikombinasikan dengan
kesungguhan yang luar biasa dalam menjalani hidup, dikombinasikan dengan
kesungguhan dalam bekerja menjalani profesi (berkarya di luar rumah).
3. Sifat Integritas adalah orangtua tahu kekuatan dan kelemahan yang dimiliki,
namun tetap teguh memegang prinsip dan belajar dari pengalaman bagaimana
belajar.
4. Sifat Amanah adalah orangtua memperoleh kepercayaan dari anggota keluarga.
5. Sifat Rasa ingin tahu adalah orangtua ingin selalu belajar sebanyak mungkin.
6. Sifat Berani adalah orangtua berani mengambil resiko, bereksperimen, dan
mencoba hal-hal baru.
Alasan tersebut di atas adalah alasan yang paling kerap dikemukakan oleh
pasangan suami – istri yang akan bercerai. Ketidakharmonisan bisa disebabkan
oleh berbagai hal antara lain, krisis keuangan, krisis akhlak, dan adanya orang
ketiga. Dengan kata lain, istilah keharmonisan adalah terlalu umum sehingga
memerlukan perincian yang lebih mendetail.
Perzinahan
Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk
mengakhiri sebuah perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah
berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta. Untuk mengatasi kesulitan akibat
sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan harus merefleksi diri untuk memahami
masalah sebenarnya, juga harus berupaya untuk mencoba menciptakan kerjasama
dalam menghasilkan keputusan yang terbaik.
Dalam sebuah perkawinan pasti tidak akan lepas dari yang namanya
masalah. Masalah dalam perkawinan itu merupakan suatu hal yang biasa, tapi
percekcokan yang berlarut-larut dan tidak dapat didamaikan lagi secara otomatis
akan disusul dengan pisah ranjang seperti adanya perselingkuhan antara suami
istri. Langkah pertama dalam menanggulangi sebuah masalah perkawinan adalah :
Setiap orang yang hidup di dunia ini pasti tidak lepas dari masalah.
Terkadang, masalah hidup yang dihadapi seseorang berujung kepada konflik. Jadi,
konflik dalam setiap kehidupah adalah sebuah keniscayaan. Dalam keluarga juga
demikian. Kehidupan rumah tangga, pada dasarnya, juga tidak terlepas dari
ancaman munculnya konflik. Perbedaan cara berpikir sering kali menjadikan
sebuah konflik dalam keluarga mencuat. Konflik tersebut, terkadang berujung
pada pertengkaran. Sebagai orang tua, tentu tidak berharap terjadi konflik dalam
kehidupan rumah tangganya. Apalagi, jika mempunyai anak kecil. Pertengkaran,
idealnya, tidak dilakukan oleh siapapun, termasuk orangtua. Namun, kenyataanya
berbicara lain; pertengkaran sering kali terjadi di lingkungan rumah tangga. Entah
demi alasan apapun, yang pasti pertengkaran tidak baik dilakukan. Pertengkaran
bahkan terjadi di depan anak, saat sebagian orang tua sedang marah, kemudian
terjadi pertengkaran, mereka tidak peduli apakah di dekatnya ada seorang anak
atau tidak.
Disisi yang lain, ada pula sebagian kalangan yang mampu memanfaatkan
pertengkaran keluarga (suami istri) sebagai sesuatu yang bermanfaat. Ini karena
keluarga tersebut menggunakan kaidah bertengkar yang islami. Ada beberapa tips
bertengkar yang islami. Namun, perlu kita ketahui bahwa bertengkar, sebenarnya
merupakan fenomena yang sulit dihindari dalam kehidupan rumah tangga. Kalau
ada seseorang yang berkata “saya tidak pernah bertengkar dengan istri saya!”
peryataan ini memiliki dan kemungkinan ia belum beristri atau berdusta.
Bertengkar sebenarnya, sebuah keadaan diskusi, hanya saja diantarkan dalam
muatan emosi tingkat tinggi. Kalau tahu etikanya, dalam bertengkar pun kita bisa
mereguk hikmah. Betapa tidak, justru dalam pertengkaran, setiap kata yang
terucap mengandung muatan perasaan yang sangat dalam, yang mencuat dengan
desakan energy tinggi, pesan pesanya terasa kental, lebih mudah dicerna
ketimbang basa-basi tanpa emosi.berikut adalah kiat bertengkar secara islami:
B. Mental anak
Bertumpuknya masalah, membuat mereka tidak bisa berkonsentrasi pada
Anak membutuhkan perhatian, bimbingan, ddidikan orang tua mereka untuk
membentuk kepribadian serata karakter yang baik. Anak butuh waktu sebagai
anak-anak bermain, bercanda bersama keluarga dalam suasana aman bahagia.
Masa pertumbuhan anak sungguh harus di perhatikan , karena saat itulah
merupakan Golden Age untuk menumbuhkembangkan segala talenta dan
segala kemampuan yang dimilikinya. Baik kemampuan intelektual, spiritual,
moral, keterampilan, dan lain-lain. Jika orang tua membimbingnya dan tidak
memberi teladan yang baik, maka perkembanganya dalam segala aspek itupun
terhambat.
Jika orang tua bercerai atau berpisah, bukanya dukungan yang didapatkan
tapi malah beban berat, sakit hati, kehancuran dan luka batin yang akan
ditanggung, akibat perceraian orang tua yang terjadi. Tentu semua ini akan
membentuk sikap dan kepribadian yang tidak diharapkan sebagaimana yang
dimiliki anak-anak yang mengalami cinta kasih dan perhatian utuh dan penuh
dari keluarganya. Jika anak tersebut bersifat terbuka, masih mudah untuk
disadarkan dan di ajak bicara serta mudah mendapat pengaruh yang baik dari
luar yang dengan penuh ketulusan mau membantunya. Tapi kebanyakan dari
mereka bersifat tertutup, karena luka batin yang dialaminya dia malu dan tidak
mau orang lain mengetahuinya ini merupakan kesulitan tersendiri untuk
menembus dinding, tembok batin kepribadian mereka.
Mereka, anak-anak korban perceraian orangtua, pada umumnya:
1. Merasa minder, malu, tertutup dan amat sangat pendiam, kehilangan
keceriaanya.
2. Murung, sedih, penakut.
3. Mencari peratian dengan tingkah polah yang over acting.
4. Kebiasaan berkata jorok untuk mencari perhatian.
5. Berperilaku kasar, suka berantem, melawan.
6. Melamun, tidak kensentrasi pada pelajaran atau kegiatan di sekolah,
sehingga pelajaran di sekolah cenderung menurun.
7. Sensitive, mudah tersinggung, bahkan mudah sekali menangis karena
hal yang sepele, missal ada teman yang salah bicara, dia merasa itu
ditujukan pada dirinya (terlalu sensitive dan mudah terluka).
8. Pembohong, pembual dan cerita yang tidak-tidak, hanya khayalanya
saja.
9. Mencuri hanya untuk cari perhatian.
10. Sikap yang kasar, agresif, suka mengganggu teman-temanya.
11. Suka marah dan mengamuk.
12. Perasaan tidak aman (insecurity).
13. Tidak diinginkan atau rasa ditolak oleh orangtuanya, sedih, kesepian,
kehilangan.
14. Merasa bersalah, atau menyalahkan diri sebagai penyebab orangtuanya
bercerai.
15. Suka melamun dan membayangkan seandainya orangtuanya bersatu
lagi.
16. Melarikan diri dari rumah, sering tinggal berlama-lama di rumah
teman yang dia merasa cocok dan menerimanya.
17. Browsing/ surfing situs porno.
18. Melampiaskan kesepianya dengan bermain tanpa tahu batas.
19. Apatis, cuek, asosial, tidak mau berteman.
20. Histeris, teriak-teriak atau menangis meraung-raung tanpa sebab.
21. Kalau berteman, senangnya eksklusif, hanya dengan satu orang, atau
orang tertentu saja.
22. Yang paling menakutkan kalau mereka mencari pelarian dari kesepian
hidupnya dengan penggunaan narkoba dan sex bebas.
1. Anak-anak bisa trauma, sehingga mereka bisa tiba sakit (untuk yang
pertahanan tubuhnya lemah).
2. Prestasi belajar di sekolah jadi menurun, akibat kepikiran orangtuanya
yang selalu rebut dan bertengkar setiap hari.
3. Terjadi perubahan sikap.
Anak menjadi lebih tertutup, tidak mau lagi bergaul dengan orang-orang
yang mengetahui bahwa orangtuanya nggak akur (akibat gossip tetangga dan
ejekan teman- teman), bahkan bisa menyebabkan si anak tidak respect lagi pada
orangtua sebagai akibat dari lunturnya kepercayaan si anak pada sosok
orangtuanya.
4. Image orangtua berubah di mata anak
Tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa orang yang berasal dari
keluarga yang kurang harmonis, jadi takut menikah ketika trauma
pertengkaran kedua orangtuanya terus membayangi kepala. Ada juga
yang sebaliknya, trauma itu tetap ada, tapi dijadikan pelajaran yang
sangat berharga “jika orangtua saya dulu membuat saya trauma akibat
ketidakharmonisan yang mereka pertontonkan, maka saya tidak boleh
melakukan hal itu pada anak saya”.
Biasanya karena pusing mau berpihak pada ayah atau ibu mereka.
Jadi lebih memilih untuk tidak memihak keduanya dan berusaha mencari
hal baru di luar rumah. Dan menjadi permisif terhadap hal negatif, jika benteng
keimanan yang dimiliki tidak cukup kuat, dan orangtua juga kurang peduli
terhadap anaknya (menganggap ketidakharmonisan dalam keluarga tidak
menyebabkan dampak apa-apa bagi si anak).
Memasuki usia antara 2-5 tahun, anak berada dalam masa ingin tahu yang
tinggi terhadap sesuatu. Sehingga, ia sering kali melontarkan pertanyaan
kepada orang tua atau pengasuhnya. Biasanya, pertanyaan tersebut tidak jauh
dari apa yang anak temui. Jika hubungan antara anak dan keluarga kuat, maka
rumah akan menjadi salah satu sumber inspirasi pengetahuan mereka.
Sedangkan jika anak-anak tidak mendapatkan arahan dari ayah dan ibunya,
yang bisa menerangi kelamnya mereka, maka mereka akan mencari orang
lain yang dianggap bisa menggantikan keduanya, dan dari orang-orang
tersebut anak akan memperoleh pendidikan yang telah tercemarkan,
pengetahuan yang rendah, dan tidak memiliki kualitas komitmen.2
2
Felix thoma, Tarbiyyatu Al-A’liyah,hal.77.
Saat ke sekolah, anak bukan hanya membawa tas, buku, dan alat-alat tulis
lainya, tapi mereka juga membawa darah ibu dan ayahnya, sifat-sifat dan
akhlak keduanya, bahasa yang biasa didengarnya dirumah, penampilan yang
biasa dihiaskan kepadanya, nasabnya, wawasanya, mahzabnya, jamaahnya,
club latihanya, club yang didukungnya, hartanya. Semua ini bukanlah hal
yang membahayakan selama anak-anak diberi pemahaman dan pengertian
yang baik, dan selama keharmonisan rumah terjaga, iklim demokratis
terbangun, cinta dan kasih sayang optimal diberikan. Merupakan suatu
kebiasaan yang besar, jika anak berangkat ke sekolah semmentara rumahnya
dipenuhi ooleh api kemarahan, kesewenangan, dan kekerasan. Jika itu yang
terjadi, maka anak akan belajar membandingkan antara suasana rumahnya
dengan suasana rumah temanya.
Dari sana, ia akan belajar hal-hal baru yang berbeda dan berlawanan
dengan apa yang ia rasakan di rumah. Disanalah pertarungan di dalam
jiwanya akan bermula, anak akan memulai pemberontakanya, melawan nilai-
nilai yang ia anggap salah, memprotes segala pertengkaran yang sering
dilakukan oleh ayah dan ibunya. Jika sekolah dapat merengkuh tanganya dan
memberikan kasih sayang dalm proses pendidikanya, maka segala tekanan
jiwa yang dirasakan anak akan menjadi ringan, dan ia akan dapat beradaptasi
denga baik dengan pelajaran-pelajaran yang diberikan. Tapi jika sekolah tak
jauh berbeda kondisinya dengan apa yang ia rasakan dirumahnya, maka
kiamat jiwanya akan semakin membesar. Dan tunas-tunas yang baru
berkembang akan menjadi layu dan tertekan pikiranya. Di rumah mereka tak
bisa mendapatkan ketenangan, dan disekolah mereka tak mendapatkan
tempat belajar yang nyaman.
Oleh karena itulah, syaikh Muhammad Al-Basyir Al-Ibrahim
menasehatkan kepada guru, “ aku memohon perlindungan kepada Allah
untuk kalian wahai anak-anakku. Aku berharap dalam mendidik anak kecil
kalian bersandar kepada kurikulum dan buku-buku. Karena disiplin yang
dibekali denga alat-alat kekerasan tidak akan menciptakan anak-anak yang
pintar, tidak akan mampu membangun umat, dan tidak akan memperbaharui
kehidupan. Disiplin-disiplin tersebut layaknya hanya sebagai rambu-rambu
dan garis aturan yang membawa pada suatu tujuan. Sedangkan sandaran
utamanya adalah kebaikan-kebaikanyang berasal dari jiwa kita. Yang bisa
ditularkan kepada anak didik kita. Di dalam pikiran mereka(anak didik) kita
terdapat kebenaran, di dalam tindakan mereka ada kemaslahatan dan
perbaikan, dan pada lidah mereka ada kefasihan dan kelancaran berbicara.3
Oleh karena itu, setiap rumah hendaknya mengevaluasi kembali
bagaimana kondisi yang berjalan selama ini. Bagaimana cara mendidik anak-
anak dan saran yang dipergunakan selama ini. Lalu ajaklah mereka berdialog
mengenai hal-hal yang mereka sukai dan tidak disukai. Cara-cara seperti
inilah yang dapat menyelamatkan orang tua dari kesalahan mendidik, agar
tidak seperti menanam di lautan, berladang di tengah gurun pasir.
3
Muhammad bin Ibrahim Al-hamdu, ma’a al-Muallimin,hal.19.
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Daar el-Qolam
Gintung jayanti tangerang. .
2. Waktu penelitian
Penulis melakukan penelitian ini di mulai dari bulan agustus s.d
November 2012, dengan matrik kegiatan sebagai berikut :
Bulan
No. Kegiatan April Mei Juni Juli Agustus September
1 Pengesahan Judul Ѵ
Pembuatan
2 Proposal Ѵ
3 Proses Penelitian Ѵ Ѵ
4 Pengambilan Data Ѵ Ѵ
5 Pengolahan Data Ѵ
6
6 Persiapan Laporan Ѵ
B. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan data yang alummi dalam mendiskripsikan penulis
melakukan penelitian dengan metode deskriptif kuantitatif, yaitu dengan
memberikan angket kepada santriwati excellent class sebanyak 6 orang.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Seluruh santriwati excellent class di pondok pesantren daar el-
qolam.
2. Sampel
Penulis mengambil sampel 6 orang santriwati.
3. Jenis metode penelitian
Jeis metode penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif
kualitatif.
4. Prosedur penelitian
D. Instrumen penelitian
Penelitian yang penulis gunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik
pengumpulan data secara interview atau wawncara langsung, Berdasarkan
instrument penelitian yang telah ditentukan.
Berikut daftar pertanyaan yang penulis gunakan.