IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. ET
Umur : 29 tahun
Agama : Islam
Alamat : Bogor
ANAMNESIS
Keluhan Utama : Pasien datang keluhan BAB disertai darah dan lender sejak 2 bulan
SMRS
Pasien datang ke poliklinik Bedah Digestive RSUD Ciawi dengan keluhan BAB disertai darah
dan lender sejak 2 bulan SMRS. Tinja yang keluar bercampur darah segar dan lendir. Pasien
panas di bagian anusnya saat BAB dan mulas pada perutnya. Pasien harus mengedan dan
membutuhkan waktu yang lama untuk mengeluarkan tinja tetapi tinja yang keluar sedikit dan
bentuknya tipis seperti pita dan sering merasa tidak puas saat BAB. Selain itu pasien juga
mengaku masih bisa kentut.
Namun setelah BAB pasien merasa lemas, dan nyeri perut sebelah kiri disertai muntah dan
demam. Berat badan pasien terus berkurang (4kg) dalam 2 bulan terakhir.
Pemeriksaan Fisik
HR : 90 x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36’7OC
Rectal Touche
Laboratorium
Hb : 13,5 g/dL
Ht : 37,3 %
Leukosit : 8.800
Trombosit : 246.000
SGOT : 16 U/L
SGPT : 37 U/L
Rongent Thorax
- USG Abdomen
- BNO
- CT-Scan Abdomen
RESUME
Differential Diagnosa
Tumor Kolon
Tumor Rectum
Diventikulosis
Hemmoroid
Fissura Ani
Terapi
Rencana Colonoscopy
Prognosis
A. Tumor Kolon
Tumor kolon merupakan sekelompok sel abnormal yang tumbuh tidak terkendali
yang terletak pada kolon. Tumor kolon dibagi menjadi dua, yaitu tumor jinak dan tumor
ganas. Yang membedakan dari kedua jenis tumor ini adalah sifatnya. Tumor ganas
mempunyai sifat invasif atau merusak jaringan sekitar sedangkan tumor jinak tidak.
Tumor jinak kolon atau disebut polip adalah petumbuhan jaringan yang menonjol
ke dalam lumen traktus gastrointestinal. Secara umum ,terdapat 2 tipe polip jinak yaitu
polip non-neoplastik dan polip neoplastik. Polip non-neoplastik terdiri dari hamartoma,
polip hyperplastik dan polip inflamasi. Polip neoplastik terdiri dari berbagai macam polip
adenomatous dan poliposis coli herediter. Sedangkan tumor ganas kolon adalah suatu
pertumbuhan tumor yang bersifat ganas dan merusak sel DNA dan jaringan sehat
disekitar kolon (bersifat invasif).
Epidemiologi
Di dunia kanker kolon menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan
mortalitas. Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolon dengan tingkat
mortalitas lebih dari 50%. 9,5% pria penderita kanker terkena kanker kolon, sedangkan
pada wanita angkanya mencapai 9,3% dari total jumlah penderita kanker. Angka insiden
tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru, sedangkan angka
insiden terendah terdapat pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel. Didapatkan suatu
hubungan yaitu 1) terdapat perbedaan insiden pada pria dan wanita yang berusia lanjut,
yang meningkat seiring dengan usia 2) meningkatnya insiden kanker kolon seiring
dengan kepadatan penduduk 3) rendahnya insiden pada pria yang belum pernah menikah.
Kanker kolon merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering terdapat
pada pria maupun wanita. Di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus kanker kolon,
data di Departemen Kesehatan didapati angka 1,8 per 100 ribu penduduk. Sejak tahun
1994-2003, terdapat 372 keganasan kolorektal yang datang berobat ke RS Kanker
Dharmais (RSKD). Berdasarkan data rekam medik hanya didapatkan 247 penderita
dengan catatan lengkap, terdiri dari 203 (54,57%) pria dan 169 (43,45%) wanita berusia
antara 20-71 tahun.
1. Kelainan di kolon
a. Polip
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari
kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses
dimulai dari hiperplasia sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan dari
displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen,
inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan
perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia
dan invasif karsinoma.
Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi maligna;
dan berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous
adenoma dan villous adenoma. Tujuh puluh persen dari polip berupa
adenomatous, dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous
adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.
Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari
adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa
invasif karsinoma pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari adenoma
berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur. Polip yang
diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi
tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk
menjadi kanker kolorektal. Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak
berhubungan dengan meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari
kanker meningkat dari 2,5-4 kali lipat jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7
kali lipat pada pasien yang mempunyai multipel polip. Waktu yang dibutuhkan
untuk menjadi malignansi tergantung beratnya derajat displasia.
b. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
- Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon, sekitar
1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan
kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding
lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah
2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang
direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada
ulseratif kolitis dengan mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan
total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun.
- Penyakit Crohn’s
Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk menderita
kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis.
Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar 20%.
Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma
pada tempat yang terjadi fibrosis. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker
dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan crohn’s disease.8
2. Faktor Genetik
a. Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker
kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang
mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker
kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak
memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.
3. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian,
meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara
serat dan kanker kolorektal.
Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko
kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk
asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal.
Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan
perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida
dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel
kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen
reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan
kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang
secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari
pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi
pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah
akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal,
karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif
dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis
dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini
dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon;
(b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya
resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel
yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker
kolorektal.
4. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali
untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan
merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk
menderita adenoma yang berukuran besar. Pemakaian alkohol juga menunjukkan
hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas
dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan,
pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara
obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin
intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The Nurses Health Study
telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara aktifitas fisik dengan terjadinya
adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko
terjadinya adenoma.
5. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita
adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per
100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000
orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn).
Peningkatan resiko kanker kolorektal meningkat sesuai dengan usia.
Patofisiologi
Secara umumnya dinyatakan bahwa untuk perkembangan karsinoma kolon
merupakan interaksi anatara faktor lingkungan dan genetik. Faktor lingkungan multiple
beraksi terhadap predisposisi genetik atau defek yang didapat dan berkembang menjadi
karsinoma kolon. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap,
dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation, perkembangan
dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen,
inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan perkembangan
dari formasi adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu
proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper.
Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG
menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang
terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi
melakukan kontrol negatif (penekanan) pada pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah
satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat molekul 53 kDa. Gen p53 juga
berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper
berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom
dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor membuka peluang
terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan
melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-onkogen,
TSG, dan gen gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga
gen ini, atau salah satu tidak berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan
menyebabkan penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses
terbentuknya kanker dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu
siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan
jumlah kematian sel akibat gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi
sel yang tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari
ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel, yang sering terjadi
adalah mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga tidak berfungsi
baik, akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia
adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan,
tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.
Manifestasi Klinis
Secara garis besar gejala pada tumor colon terbagi menjadi tiga, yaitu gejala local,
gejala sistemik, dan gejala peyebaran (metastasis):7
1. Gejala lokal
a. Perubahan kebiasaan buang air
- Perubahan frekuensi buang air, konstipasi atau diare
- Sensasi seperti belum selasai buang air besar (masih ingin tapi tidak bisa keluar)
- Feses bercampur darah atau keluar darah pada saat BAB, feses bercampur lender,
feses berwarna kehitaman
- Nyeri pada saat BAB
- Mual dan muntah
- Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh pasien
2. Gejala umum
- Penurunan berat badan
- Hilangnya nafsu makan
- Sering merasa lelah, pucat
3. Gejala metastase
- Pasien tampak kuning, jika terdapat metastase ke hepar
- Nyeri pada perut
Penatalaksanaan
A. Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai
penanganan kuratif untuk kanker kolon. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan
batas yang luas dan maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan
fungsi dari kolon sebisanya. Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon kiri dapat
ditangani dengan dekompresi. Tumor yang menyebabkan perforasi membutuhkan eksisi
dari tumor primer dan proksimal kolostomi, diikuti dengan reanastomosis dan closure
dari kolostomi.9
B. Penyinaran (Radioterapi)
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray
berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi,
yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan
tergantung pada tipe dan stadium dari kanker.
Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi
tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk
membunuh sel kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan
yang sehat disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya
berlangsung beberapa menit.
Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi yang
diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang
menghasilkan radiasi disebut radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral
atau implant langsung pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih
tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan
beberapa penanganan internal radiasi secara sementara menetap didalam tubuh.
C. Kemoterapi
Kemoterapi sangat efektif digunakan ketika kehadiran tumor sangat sedikit dan
fraksi dari sel maligna yang berada pada fase pertumbuhan banyak. Obat kemoterapi
bisa dipakai sebagai single agen atau dengan kombinasi, contoh : 5-fluorouracil (5FU),
5FU + levamisole, 5FU + leucovorin. Pemakaian secara kombinasi dari obat kemoterapi
tersebut berhubungan dengan peningkatan survival ketika diberikan post operatif kepada
pasien tanpa penyakit penyerta. Terapi 5FU + levamisole menurunkan rekurensi dari
kanker hingga 39%, menurunkan kematian akibat kanker hingga 32%.
B. Cancer Rectum
Kanker rektum merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran
cerna dimana kanker tersebut menyerang kolon dan rektum. Lebih dari 60% tumor
kolorektal berasal dari rektum. Kanker rektum merupakan salah satu jenis kanker yang
tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia, namun penyakit ini bukan
tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini, maka kemungkinan
untuk sembuh dapat mencapai 50%.
Anatomi dan Fisiologi
Secara anatomis, rektum berada setinggi vertebrae sakrum ketiga sampai ke garis
anorektal. Secara fungsional dan endoskopis, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan
spinchter. Bagian spinchter atau disebut juga annulus hemoroidalis dikelilingi oleh
muskulus levator ani dan fascia coli dari fascia supra ani. Bagian ampula terbentang dari
vertebrae sakrum ketiga sampai diafragma pelvis pada insersio muskulus levator ani.
junction dan 35 cm pada bagian yang terluas yaitu ampula. Pada manusia, dinding rektum
terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang tersusun oleh epitel kolumner, mukosa
dan inferior. Arteri hemoroidalis superior (arteri rektal superior) merupakan kelanjutan
dari arteri mesenterika inferior. Arteri hemoroidalis media (arteri rektal media)
merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Arteri hemoroidalis inferior (arteri rektal
Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna dan berjalan
ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior untuk selanjutnya melalui vena lienalis
dan menuju vena porta. Vena ini tidak memiliki katup sehingga tekanan dalam rongga
perut atau intra abdominal sangat menetukan tekanan di dalam vena tersebut. Vena
hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke vena pudenda interna yang kemudian melalui
isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke kelenjar limfe iliaka.
Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat mengakibatkan limfadenopati
inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan v. hemoroidalis
Persarafan rektum terdiri dari sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik
berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4 yang
berfungsi mengatur emisi air mani dan ejakulasi. Sedangkan untuk serabut parasimpatis
berasal dari sakral 2, 3, dan 4 yang berfungsi mengatur fungsi ereksi penis dan klitoris serta
mengatur aliran darah ke dalam jaringan. Hal ini menjelaskan terjadinya efek samping dari
pembedahan pada pasien-pasien dengan kanker rektum, yaitu disfungsi ereksi dan tidak
1. Polip
kali dideskripsikan oleh Duke pada tahun 1926. Evolusi dari kanker itu sendiri
merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel
dan invasif kanker. Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan polip menjadi kanker
itu sekitar 5-10 tahun. Kebanyakan adenoma tetap jinak, namun, jenis histologis, ukuran
polip, dan bukti adanya displasia berhubungan dengan transformasi menjadi kanker. Data
dari National Polyp Study dan St. Mark’s Hospital menunjukkan hampir 75-85%
adenoma adalah adenoma tubular; 8-15% tubulovillous; dan 5-10% adalah villous.
dasar yang luas. Hanya 1% polip yang diameternya kurang dari 1 cm menunjukan
transformasi menjadi ganas, sedangkan 50% polip yang diameternya lebih dari 2 cm
- Ulseratif Kolitis
Ulseratif kronis merupakan faktor resiko yang jelas untuk kanker kolorektal
sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Resiko
perkembangan kanker pada pasien berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan
berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ilseratif kolitis. Resiko kumulatif
sebesar 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang
direkomendasikan untuk seseorang dengan resiko tinggi dari kanker kolorektal pada
total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun.
Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi
kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat esensial untuk semua pasien yang
didiagnosis dengan displasia yang berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling
pergumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi
anatomi.
- Crohn’s Disease
Pasien yang menderita Crohn’s Disease mempunyai resiko tinggi untuk menderita
kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kronis.
Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada Crohn’s Disease sekitar 20%. Pasien
dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat
biopsi dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah
dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula
- Faktor Genetik
1. Riwayat Keluarga
Sekitar 15 % dari seluruh kanker rektum muncul pada pasien dengan riwayat kanker
kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak
mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan
kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih kecil
dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker kolon dan
deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang
besar. Dua sindrom yang utama dari sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal
telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi menuju
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC yang berlokasi pada
kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring
Pada FAP yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak
untuk dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat dan ketika hal
polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan elektif harus sedapat
mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening untuk polip harus dimulai pada
saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari
selama enam bulan mengurangi rata-rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang
mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma,
hepatoblastomas, kanker pankreas, dan medulloblastoma otak. Varian dari FAP
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan II. Dua
generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada usia yang
terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi
dari abnormal repeating sequences dari DNA yang dikenal sebagai mikrosatelit
phenotype mutator yang dikarakteristikan oleh frekuensi DNA dan replikasi error
endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung, dan traktus biliaris. Jika
poorly differentiated dengan gambaran mukosa dan signet-cell, reaksi yang mirip
dengan Crohn’s Disease (nodul limfoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer
Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma
kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila
kolorektal pada usia yang sangat muda dan sreening harus dimulai pada usia 20 tahun
atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosis
kanker kolorektal yang berhubungan dengan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan
Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosis menderita kanker kolorektal
pada usia 44 tahun, dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita kanker
kolorektal pada usia 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik
daripada pasien dengan sporadik kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa
- Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging, dan diet rendah serat
hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan
mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah
peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor
sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga
pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah
akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal,
karakteristik ini didapat dari bukti teraktifitasnya enzim COX2 dan stress oksidatif
dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan
Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan
lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi’ atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme
tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan
pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan
- Gaya Hidup
Pria dan perempuan yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai resiko tiga
kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.
Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan resiko dua setengah kali
kanker kolorektal.
dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan,
pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi
Nurse Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara aktivitas
fisik dengan terjadinya adenoma yang dapat diartikan penurunan aktivitas fisik akan
- Usia
Proporsi dari semua kanker pada usia lanjut (≥65 tahun) laki-laki dan perempuan
adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria usia lanjut hampir 7 kali (2158 pe
100.000 orang per tahun) dan pada perempuan berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per
100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda
(30-64 tahun). Resiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia,
terutama pada laki-laki berusia 50 tahun atau lebih dan hanya 3% dari kanker
kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. Lima puluh lima persen
kanker terdapat pada usia ≥ 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000 populasi yang
berumur kurang dari 65 tahun dan 337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari
65 tahun.
Patofisiologi
Pada mukosa rektum yang normal, sel-sel epitelnya akan mengalami regenerasi
setiap 6 hari. Pada keadaan patologis seperti adenoma, terjadi perubahan genetik yang
mengganggu proses diferensiasi dan maturasi dari sel-sel tersebut yang dimulai dengan
inaktivasi gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) yang menyebabkan terjadinya replikasi
tak terkontrol. Peningkatan jumlah sel akibat replikasi tak terkontrol tersebut akan
menyebabkan terjadinya mutasi yang akan mengaktivasi K-ra onkogen dan mutasi gen p53,
hal ini akan mencegah terjadinya apoptosis dan memperpanjang hidup sel. Kanker kolon
dan rektum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus) dimulai
sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan
normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor
primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).
kolorektal, keduanya merupakan akibat dari mutasi. Jalur pertama, disebut jalur
adenomatous polyposis coli (APC)/ β-katenin ditandai dengan instabilitas kromosom yang
menyebabkan akumulasi bertahap serangkaian onkogen dan gen penekan tumor. Perubahan
molekuler kanker kolon terjadi secara bertahap dimulai dari proliferasi epitel kolon lokal,
akhirnya berkembang menjadi kanker invasif. Hal ini disebut sebagai sekuensi adenoma-
karsinoma.
merupakan faktor paling awal yang berperan dalam kejadian tersebut. Defek gen ini
pertama kali didapatkan pada sindrom familial adenomatous polyposis (FAP) dan
ratusan adenoma yang berkembangnya menjadi kanker. Fungsi protein APC berkaitan
dan siklin D1, yang mendorong proliferasi sel. Mutasi APC terdapat pada 80% kanker
- Mutasi Kirsten rat sarcoma (K-RAS). Gen K-RAS mengkode suatu molekul
transduksi sinyal yang berpindah – pindah antara keadaan aktif terikat guanine
trifosat dan keadaan inaktif terikat guanosin difosfat. Rat sarcoma (RAS) yang telah
APC. Gen ini mengalami mutasi pada kurang dari 10% adenoma yang kurangnya
kurang dari 1 cm, pada 50% adenoma yang lebih besar daripada 1 cm, dan pada 50 %
karsinoma.
- Delesi 18q21. Hilangnya gen penekan kanker di 18q21 ditemukan pada 60 % hingga
70 % kanker kolon. Tiga gen diketahui terletak di lokasi kromosom ini: deleted in
colorectal cancer (DCC) mengalami delesi pada karsinoma kolon, DPC4 dan
dengan karsinogenesis kolon belum dapat dipastikan secara jelas namun, DCC
mengkode suatu molekul perekat sel yang disebut netrin-1, yang berperan dalam
sinyal transforming growth factor β (TGF- β). Karena sinyal TGF- β biasanya
menghambat siklus sel, hilangnya gen ini memungkinkan sel tumbuh tidak terkendali.
- Hilangnya p53. Hilangnya gen penekan tumor ini ditemukan pada 70% hingga 80%
kolorektal.
- Jalur kedua ditandai dengan lesi genetik di DNA mismatch repair genes (gen untuk
memperbaiki ketidakcocokan DNA). Gen ini berperan pada 10–15% kasus sporadik.
Gangguan perbaikan DNA yang disebabkan oleh inaktivasi gen mismatch repair
genes merupakan hal yang mendasar dan sangat mungkin untuk mengawali proses
pembentukan kanker kolorektal. Mutasi herediter pada satu dari lima gen perbaikan
kolon non poliposis herediter (hereditary nonpolyposis colon carcinoma). Gen ini
MLH1 merupakan salah satu yang sering terlibat dalam karsinoma kolon sporadik.
sekuensi DNA repetitif biasanya, yang disebut mikrosatelit, menjadi tidak stabil
selama replikasi DNA dan menyebabkan perubahan luas pada pengulangan ini.
pada proses perbaikan ketidakcocokan DNA, sehingga jalur ini sering disebut jalur
MSI. Sebagian besar sekuensi mikrosatelit terletak di regio noncoding gen sehingga
mutasi gen ini mungkin tidak berbahaya. Namun, sebagian sekuensi mikrosatelit
terletak di region pengkode atau promontor gen yang berperan dalam pengendalian
pertumbuhan sel epitel kolon dan gen BAX menyebabkan apoptosis. Gangguan pada
perbaikan ketidakcocokan menyebabkan akumulasi mutasi pada gen ini dan gen
sebelum terdiagnosis.
Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektum antara lain adalah:
1. Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah segar
2. Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar-benar kosong saat BAB.
4. Keluhan tidak nyaman pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada perut
atau nyeri.
gluteus.
menembus dinding rectus dan menginfiltrasi vagina, prostat, vesica urinaria atau os.
Sacrum.
Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau rektum
2. Stadium I/Duke A
Sel kanker dapat ditemukan di sel mukosa di dinding rektum dan menyebar ke sel
sub mukosa.
Gambar 6. Stadium I
3. Stadium II/Duke B
Stage II B. Sel kanker menyebar ke sel serosa tetapi belum menembus dinding
Stage II C. Sel kanker menembus statum serosa menuju dinding organ terdekat
4. Stadium III/Duke C
Stage III A
-Sel kanker menembus sel mukosa, sub mukosa dan sel otot. Sel kanker dapat
-Sel kanker menembus sel mukosa, sub mukosa. Sel kanker dapat menyebar 4-6
Stage III B
- Sel kanker menyebar sampai sel otot, serosa tetapi tidak sampai ke organ
terdekat. Sel kanker menyebar 1-3 kelenjar getah bening organ terdekat atau
sel kanker terbentuk disekitar kelenjar getah bening.
- Sel kanker menyebar sampai sel otot atau sel serosa. Sel kanker menyebar 4-6
kelenjar getah bening terdekat
- Sel kanker menyebar dari sel mukosa sampai sel submukosa dan mungkin
dapat menyebar ke permukaan sel otot. Sel kanker menyebar lebih dari 7
kelenjar getah bening
Stage III C
- Sel kanker menyebar sampai ke sel serosa tetapi tidak menyebar ke organ
- Sel kanker menyebar dari sel otot sampai sel serosa atau sel serosa tetapi tidak
menyabar ke >1 kelenjar getah bening atau sel kanker terbentuk di jaringan
5. Stadium IV/Duke D
- Stage IVA Sel kanker menyebar sampai ke dinding rektum dan organ
terdekat atau kelenjar getah bening. Kanker menyebar ke satu organ yang
jauh dari rektum seperti hepar, paru-paru, ovarium, kelenjar getah bening
yang jauh.
- Stage IVB Sel kanker menyebar sampai ke dinding rektum dan organ
terdekat atau kelenjar getah bening. Sel kanker menyebar >1 organ yang jauh
Pemeriksaan Fisik
pembesaran kelenjar getah bening atau adanya hepatomegali. Sekitar 75% kanker rektum
dapat dipalpasi pada pemeriksaan rectal touche. Pemeriksaan rectal touche akan mengenali
tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, massa akan teraba keras dan menggaung.
- Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah terhadap
cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os. Coccygeus.
- Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan.
Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rektum.
Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan
fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat,
- Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik pertumbuhan
Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi kanker rektum, antara lain:
1. Biopsi
ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan, Secara patologi
anatomi, adenokarsinoma merupakan jenis yang paling sering, yaitu sekitar 90-95% dari
kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors,
volume tumor dan berhubungan dengan sisa tumor setelh reseksi. CEA akan menurun sampai
normal setelah 4-8 minggu post reseksi kuratif. 20-30% kekambuhan tidak disertai dengan
4. Foto Rontgen
Foto rontgen dengan barium enema, yaitu cairan yang mengandung barium yang
dimasukkan melalui rektum untuk kemudian dilakukan foto rontgen. Barium enema
pemeriksaan ini akan tampak filling defect biasanya sepanjang 5-6 cm berbentuk anular atau
apple core. Dinding usus tampak rigid dan gambaran mukosa rusak.
Setelah penderita menelan barium, maka barium akan tampak putih pada foto rontgen
menunjukkan adanya ulkus, erosi, tumor dan varises kerongkongan. Barium juga dapat
diberikan dalam bentuk enema untuk melapisi usus besar bagian bawah. Kemudian dilakukan
foto rontgen untuk menunjukkan adanya polip, tumor atau kelainan struktur lainnya.
Prosedur ini bisa menyebabkan nyeri kram serta menimbulkan rasa tidak nyaman.
Barium yang diminum atau diberikan sebagai enema pada akhirnya akan dibuang
kedalam tinja, sehingga tinja tampak putih seperti kapur. Setelah pemeriksaan, barium harus
segera dibuang karena bisa menyebabkan sembelit yang berarti. Obat pencahar bisa diberikan
Keuntungan dari pemeriksaan rontgen dengan barium enema yaitu sensitivitas untuk
kanker kolon 65-95%, tidak memerlukan sedasi, keberhasilan sangat tinggi, tersedia
diseluruh rumah sakit, dan cukup aman. Kelemahannya berupa lesi T1 sering tidak
terdiagnosis.
5. Endoskopi
a. Sigmoidoscopi
Merupakan sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid,
apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope dimasukkan
melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk
biopsi. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada usia 50 tahun merupakan
berada pada tingkatan resiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip
adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk
dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di
distal kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-
10% pasien.17,18
dan rektum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.
Kolonoskopi merupakan cara paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan
ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih
perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman
dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi, dan perforasi) hanya muncul
kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk
mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut divertikulitis,
sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon, dan
neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik
Penatalaksanaan
Beberapa jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektum. Beberapa adalah terapi
standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi standar untuk
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk stadium
I dan II kanker rektum, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III juga dilakukan
pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode penetuan stadium
kanker, banyak pasien kanker rektum dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan
pada stadium II dan III. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan,
meskipun sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien
masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel
1) Eksisi Lokal
Jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat dihilangkan tanpa
melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika kanker ditemukan dalam bentuk polip,
2) Reseksi
Jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan anastomosis.
termasuk pengangkatan seluruh rektum, mesorektum, dan bagian dari otot levator ani dan
dubur. Proses ini merupakan pengobatan yang efektif namun mengharuskan pembuatan
kolostomi permanen.
Gambar 19. Reseksi dan Anastomosis
sampai kelenjar limfe retroperitoneal. Kemudian melalui insisi perineal, anus dieksisi dan
menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal rendah.
Seleksi penderita harus dilakukan dengan teliti, antara lain dengan menggunakan
Tumor tidak jelas, termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound dan termasuk poorly
2. Radiasi
Sebagaimana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III lanjut,
radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan. Peran lain
radioterapi adalah sebagai terapi tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor lokal
yang sudah diangkat melalui pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh
tertentu. Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang
lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan
metastasis jauh, radiasi telah berguna mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut,
misalnya pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada
3. Kemoterapi
(Stadium II lanjut dan stadium III). Terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU)
dikombinasikan dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan.
5-FU merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen lainnya,
Protokol ini menurunkan angka kekambuhan kira-kira 15% dan menurunkan angka
selain praktis juga ekonomis. Dalam pertemuan ASCO (American Society of Clinical
Oncology) pada bulan Juni 2004 dilaporkan bahwa pemakaian capetabine dengan dosis
1250mg/m2 2x/hari siberikan hari 1-14 berturut-turut disusul masa istirahat 1 minggu
dan kemudian dilanjutkan siklus berikutnya mempunyai efek sama dengan protokol
Mayo dalam harapan hidup tetapi efek sampingnya lebih sedikit seperti diare,
stomatitis, nausea/muntah, ntropenia. Efek samping lain dari capetabine yang sering
sulit ditentukan
D. Hemoroid
Hemoroid adalah pelebaran vena di dalam pleksus hemoroidales yang tidak
merupakan keadaan patologis, hanya apabila menimbulkan keluhan atau penyulit
diperlukan tindakan.
Hemoroid adalah dilatasi varikosus vena dari plexus hemorrhoidal inferior dan
superior. Hemoroid dibedakan menjadi dua, interna dan eksterna. Hemoroid interna
adalah pleksus vena hemoroidales superior diatas garis mukokutan dan ditutupi oleh
mukosa. Sering terdapat pada tiga posisi primer, yaitu kanan depan, kanan belakang, dan
kiri lateral, sedangkan hemoroid yang lebih kecil terdapat diantara ketiga letak primer
tersebut. Hemoroid eksterna merupakan pelebaran dan penonjolan pleksus hemoroid
inferior yang terdapat di bagian distal garis mukokutan di dalam jaringan dibawah epitel
anus.
Epidemiologi
Klasifikasi
Diagnosa hemorrhoid dapat ditegakkan salah satunya dengan anoskopi. Anoskopi
adalah pemeriksaan pada anus dan rektum dengan menggunakan sebuah spekulum.
Pemeriksaan ini dapat menentukan letak dari hemorrhoid tersebut. Secara anoskopi,
berdasarkan letaknya hemorrhoid terbagi atas :
a. Hemorrhoid eksterna
Merupakan pelebaran dan penonjolan vena hemorrhoidalis inferior yang timbul di
sebelah luar musculus sphincter ani.
b. Hemorrhoid interna
Merupakan pelebaran dan penonjolan vena hemorrhoidalis superior dan media yang
timbul di sebelah proksimal dari musculus sphincter ani.
Kedua jenis hemorrhoid ini sangat sering dijumpai dan terjadi pada sekitar 35%
penduduk yang berusia di atas 25 tahun. Hemorrhoid eksterna diklasifikasikan sebagai
bentuk akut dan kronis. Bentuk akut dapat berupa pembengkakan bulat kebiruan pada
pinggir anus yang merupakan suatu hematoma. Bentuk ini sering terasa sangat nyeri dan
gatal karena ujung-ujung saraf pada kulit merupakan reseptor nyeri. Hemorrhoid eksterna
kronis atau skin tag biasanya merupakan sequele dari hematoma akut.
a. Derajat I : bila terjadi pembesaran hemorrhoid yang tidak prolaps ke luar kanalis
analis yang hanya dapat dilihat dengan anorektoskop.
b. Derajat II : pembesaran hemorrhoid yang prolaps dan menghilang atau dapat masuk
kembali ke dalam anus secara spontan.
c. Derajat III : pembesaran hemorrhoid yang prolaps dimana harus dibantu dengan
dorongan jari untuk memasukkannya kembali ke dalam anus.
d. Derajat IV : prolaps hemorrhoid yang yang permanen. Prolaps ini rentan dan
cenderung mengalami trombosis dan infark.
Gejala Klinis
Gejala klinis hemoroid dapat dibagi berdasarkan jenis hemoroid, yaitu :
1. Hemoroid Interna
Gejala yang biasa adalah protrusio, pendarahan, nyeri tumpul dan pruritus.
Trombosis atau prolapsus akut yang disertai edema atau ulserasi luar biasa nyerinya.
Hemoroid interna bersifat asimtomatik, kecuali bila prolaps dan menjadi stangulata.
Tanda satu-satunya yang disebabkan oleh hemoroid interna adalah pendarahan darah
segar tanpa nyeri per rektum selama atau setelah defekasi. Gejala yang muncul pada
hemoroid interna dapat berupa:
Perdarahan
Merupakan gejala yang paling sering muncul dan biasanya merupakan awal dari
penyakit ini. Perdarahan berupa darah segar dan biasanya tampak setelah defekasi
apalagi jika fesesnya keras. Selanjutnya perdarahan dapat berlangsung lebih hebat,
hal ini disebabkan karena prolaps bantalan pembuluh darah dan mengalami kongesti
oleh sphincter ani.
Prolaps
Dapat dilihat adanya tonjolan keluar dari anus. Tonjolan ini dapat masuk kembali
secara spontan ataupun harus dimasukan kembali oleh tangan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman
Nyeri biasanya ditimbulkan oleh komplikasi yang terjadi (seperti fisura, abses dll)
hemoroid interna sendiri biasanya sedikit saja yang menimbulkan nyeri. Kondisi ini
dapat pula terjadi karena terjepitnya tonjolan hemoroid yang terjepit oleh sphincter
ani (strangulasi).
Keluarnya Sekret
Walaupun tidak selalu disertai keluarnya darah, sekret yang menjadi lembab
sehingga rawan untuk terjadinya infeksi ditimbulkan akan menganggu kenyamanan
penderita dan menjadikan suasana di daerah anus.
2. Hemoroid Eksterna
Rasa terbakar
Nyeri, jika terjadi thrombosis yang luas dengan udem dan radang.
Gatal atau pruritus anus.
Diagnosis
Diagnosis hemoroid ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesa
Pada anamnesa biasanya didapatkan pasien mengeluhkan adanya darah segar pada
saat buang air besar, darah yang keluar bisa menetes dan bisa juga keluar terus
menerus dan tidak bercampur dengan feses. Selain itu pasien juga akan mengeluhkan
adanya gatal-gatal pada daerah anus. Serta keluhan adanya massa pada anus dan
membuatnya merasa tidak nyaman, biasanya pada hemoroid interna derajat II dan
hemoroid eksterna. Pasien juga akan mengeluhkan nyeri pada hemoroid interna
derajat IV dan hemoroid eksterna.
Perdarahan yang disertai nyeri mengindikasikan hemoroid eksterna yang sudah
mengalami trombosis. Biasanya hemoroid interna mulai menimbulkan gejala setelah
terjadi prolapsus, sehingga mengakibatkan perdarahan, ulserasi, atau trombosis.
Hemoroid eksterna juga bisa terjadi tanpa gejala atau dapat ditandai dengan nyeri
akut, rasa tak nyaman, atau perdarahan akibat ulserasi dan thrombosis.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya pembengkakan vena yang
mengindikasikan hemoroid eksterna atau hemoroid interna yang sudah mengalami
prolaps, biasanya jika berupa prolapsnya hemoroid interna akan terlihat adanya
mukus yang keluar saat pasien disuruh untuk mengedan. Jika pasien mengeluhkan
perdarahan kemungkinan bisa menyebabkan anemia sekunder yang dapat dilihat dari
konjungtiva palpebra pasien yang sedikit anemis, tapi hal ini mungkin terjadi. Daerah
perianal juga diinspeksi untuk melihat ada atau tidaknya fisura, fistula, polip atau
tumor. Pada rectal toucher juga dinilai ukuran, perdarahan dan tingkat keparahan
inflamasi. Biasanya agak susah meraba hemoroid interna karena tekanan vena yang
tidak tinggi dan biasanya tidak nyeri. Rectal toucher juga dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan karsinoma rektum.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan laboratorium
untuk mendeteksi apakah terjadi anemia pada pasien dan pemeriksaan anoskopi serta
sigmoideskopi. Anoskopi dilakukan untuk menilai mukosa rektal dan mengevaluasi
tingkat pembesaran hemoroid. Hasil anoskopi hemoroid interna yang tidak
mengalami prolaps biasanya terlihat gambaran vascular yang menonjol keluar, dan
apabila pasien diminta mengejan akan terlihat gambaran yang lebih jelas. Sedangkan
dengan menggunakan sigmoideskopi dapat mengevaluasi kondisi lain sebagai
diagnose banding untuk perdarahan rektal dan rasa tak nyaman seperti pada fisura
anal dan fistula, colitis, polip rectal, dan kanker.
Penatalaksanaan
Terapi Non Farmakologi
Dapat diberikan pada semua kasus hemoroid terutama hemoroid interna derajat 1,
disebut juga terapi konservatif, diantaranya adalah :
Koreksi konstipasi dengan meningkatkan konsumsi serat (25-30 gram sehari), dan
menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi.
Meningkatkan konsumsi cairan (6-8 gelas sehari)
Menghindari mengejan saat buang air besar, dan segera ke kamar mandi saat merasa
akan buang air besar, jangan ditahan karena akan memperkeras feses.
Rendam duduk dengan air hangat yang bersih dapat dilakukan rutin dua kali sehari
selama 10 menit pagi dan sore selama 1 – 2 minggu, karena air hangat dapat
merelaksasi sfingter dan spasme.
Tirah baring untuk membantu mempercepat berkurangnya pembengkakan.
Terapi Farmakologi
Terapi Pembedahan
Skleroterapi
Teknik ini dilakukan dengan menginjeksikan 5 % fenol dalam minyak nabati yang
tujuannya untuk merangsang. Lokasi injeksi adalah submukosa hemoroid. Efek dari
injeksi adalah edema, reaksi inflamasi dengan proliferasi fibroblast dan thrombosis
intravascular. Reaksi ini akan menyebabkan fibrosis pada submukosa hemoroid sehingga
akan mencegah atau mengurangi prolapsus jaringan hemoroid. Terapi ini disertai anjuran
makanan tinggi serat dapat efektif untuk hemoroid interna derajat I dan II. Menurut
Acheson dan Scholfield pada tahun 2009, teknik ini murah dan mudah dilakukan, tetapi
jarang dilaksanakan karena tingkat kegagalan yang tinggi.
Hemoroidektomi
Teknik dipakai untuk hemoroid derajat III atau IV dengan keluhan menahun, juga untuk
penderita denga perdarahan berulang dan anemia yang tidak sembuh dengan terapi lain
yang lebih sederhana. Prinsipnya adalah eksisi hanya dilakukan pada jaringan yang
benar-benar berlebihan, dan pada anoderm serta kulit yang normal dengan tidak
mengganggu sfingter anus. Selama pembedahan sfingter anus biasanya dilatasi dan
hemoroid diangkat dengan klem atau diligasi dan kemudian dieksisi.
E. DIVERTIKULOSIS
Divertikulosis merupakan suatu keadaan pada kolon yang dicirikan dengan
adanya hernasi mukosa melalui muskularis yang membentuk kantong seperti botol. Bila
satu kantong atau lebih mengalami peradangan, keadaan ini disebut sebagai divertikulitis.
Kolon sigmoid adalah tempat yang paling sering terjadinya divertikulosis
Divertiklosis kolon merupakan penyebab yang umum dari perdarahan saluran cerna
bagian bawah, berperan hingga 40% sampai 55% dari semua kasus perdarahan.
Divertikula kolon merupakan lesi yang diperoleh secara umum dari usus besar pada
perut.
Gejala Klinis
Penyakit divertikular atau duvertikulosis, pada umumnya tidak memberikan gejala
klinik pada 70-75% pasien, divertikulosis umumnya ditandai dengan gejala nyeri perut yang
tidak spesifik tanpa adanya bukti proses inflamasi. Gejala Divertikulosis sering dipicu saat
makan, seperti rasa kram atau nyeri pada perut bawah, kembung dan konstipasi yang lebih
sering terjadi dibandingkan diare, nyeri palpasi kuadran kiri bawah disekitar kolon sigmoid.
Gejala-gejala tersebut nonspesifik tersebut tumpang tindih dengan gejala inflamatory bowel
syndrome yang baru dapat ditegakkan sebagai suatu divertikulosis setelah melakukan
pemeriksaan tambahan
Saat ini, tidak ada klasifikasi yang disepakati secara universal mengenai penyakit
divertikular, pasien dengan divertikulosis ditemukan kadang tidak bergejala, gejala yang
berulang dan dapat disertai komplikasi.
Klasifikasi Deskripsi
Divertikulosis asimptomatic Pasien dengan divertikula dan tidak adanya tanda
atau gejala peradangan
Divertikulosis symptomatic Pasien dengan gejala divertikula tetapi tanpa
uncomplicated gejala peradangan
Divertikulosis symptomatic Pasein dengan gejala divertikula yang berulang
recurrent (lebih dari 1 serangan pertahun) tanpa gejala
peradangan
Divertikulosis complicated Pasien dengan gejala divertikula yang
menunjukkan tanda peradangan disertai
komplikasi (perdarahan, abses, plegmon,
perforasi, purulen, dan peritonisis fecal, striktur,
fistula)
Diagnosis
Untuk mendiagnosis divertikulosis, dilakukan anamnesis yang cermat mengenai
keluhan utama, menanyakan riwayat perubahan pola defekasi, frekuensi dan konsistensi
feses. Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kelainan kolon adalah dispesia,
hematokezia, anemia, benjolan dan obstruksi karena radang dan keganasan.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan nyeri tekan lokal ringan dan sigmioid sering dapat
diraba sebagai struktur padat. Tidak ada demam maupun leukositosis bila tidak ada
radang. Bisa teraba tegang pada kuadran kiri bawah, dapat teraba massa seperti sosis
yang tegang pada sigmoid yang terkena. Pada pemeriksaan fisis dilakukan rectal toucher
untuk mengetahui adanya nyeri tekan, penyumbatan maupun darah.
Pada penyakit divertikel yang asimptomatik, diagnosis biasa ditemukan secara
kebetulan pada pemeriksaan barium enema, endoskopi atau pada pemeriksaan CT Scan
untuk tujuan lain. Pada pemeriksaan x-ray abdomen, pasien divertikulitis akut 30-50%
dapat ditemukan kelainan berupa dilatasi usus kecil/usus besar yang merupakan tanda
ileus, tanda-tanda obstruksi, densitas jaringan lemak mengindikasikan adanya
plegmon/abses.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan konservatif penyakit divertikular dilakukan dengan konsumsi makanan
tinggi serat dan sehat, asupan cairan yang baik. Pemberiaan makanan berserat sebagai
suplemen dalam makanan pada pengobatan asimptomatik dan simptomatik penyakit
divertikular, tidak hanya dapat mencegah terjadinya divertikel namun sekaligus dapat
mengurangi dan memperbaiki gejala-gejala serta mencegah timbulnya komplikasi.
Cereal bran paling bermanfaat dalam menurunkan waktu transit di sepanjang saluran
cerna.
Mengurangi makanan daging dan lemak
Memperbanyak makan sayuran dan buah-buahan
Tambahan serat 30-40 gram/hari atau pemberian laktulosa yang dapat meningkatkan
berat feses (sebagai osmotik laksatif pada simptomatik divertikulosis) 2x15 ml/hari.
Pemberian antibiotik rifaximin yang kurang diabsorbsi ditambah suplemen serat, dapat
mengurangi gejala divertikulosis yang tidak berkomplikasi.
Kasus ringan tanpa tanda perforasi diobati dengan diet cair atau pemberian cairan
intravena (IV), pelunak feses, tirah baring dan antibiotik spektrum luas. Antibiotik yang
bermanfaat melawan bakteri gram negatif anaerob dapat diberikan pada penderita yang
diduga mengalami perforasi atau abses. Insisi dan drainase abses mungkin diperlukan
setelah fase akut diindikasikan pemberian diet residu tinggi.
Tindakan operasi pada divertikulosis dilakukan baik operasi elektif maupun operasi
darurat berdasarkan keadaan sebagai berikut: a).Perforasi bebas dengan peritonitis
generalisata, b).Obstruksi, c).Abses yang tidak dapat diresolusi melalui piranti perkutan,
d).Fistula, e).Pengobatan konservatif tidak berhasil dan keadaan pasien yang makin
memburuk.
Pembedahan hanya diperlukan pada penyakit yang berat, luas atau pada komplikasi.
Pembedahan yang diperlukan adalah reseksi kolon yang sakit disertai anastomosis untuk
memulihkan kontuinitas.
Pasien yang memerlukan operasi segera adalah yang menunjukkan tanda-tanda
peritonitis atau obstruksi total, dilakukan dengan cara reseksi segmen usus yang sakit,
biasanya kolon sigmoid, dan pengangkatan kolon (kolostomi) tepat disebelah proksimal
titik reseksi. Rektum biasanya ditutup dengan stapler.
Pembedahan elektif kolon sebelah kiri tanpa peritonitis: reseksi segmen yang terlibat
dan sambungkan ujung-ujungnya (anastomosis primer), pembedahan darurat kolon sebelah
kiri dengan peritonitis difus: reseksi segmen yang terlibat, tutup usus distal (yaitu: rektum
bagian atas) dan keluarkan usus proksimal sebagai ujung kolostomi (prosedur hartmann).
Pada pembedahan darurat pada kasus divertikulosis dengan komplikasi seperti abses yag
luas, peritonitis, obstruksi total dan perdarahan hebat. Pada kasus ini dilakukan pembedahan
2 kali dimana pada operasi pertama dilakukan pembersihan cavum peritonium, reseksi
segmen kolon yang terkena, dan dilakukan kolostomi temporer kemudan beberapa bulan
dilakukan operasi kedua dan pada operasi ini dilakukan penyambungan kembali kolon (re-
anastomosis).
Pembedahan darurat kolon sebelah kiri dengan peritonitis minimal atau tapa peritontis,
reseksi segmen yang terlibat dan sambungkan ujung-ujungnya (anastomosis primer).
Pada kasus divertikulosis raksasa, dilakukan reseksi divertikula yang dilanjutkan dnegan
reseksi segmen kolon yang terlibat. Pada beberapa kasus dapat dilakukan reseksi divertikula
atau diverticulectomy. Namun tindakan ini tidak dianjurkan karena jika terdapat suatu
massa pada kolon, akan memicu suatu reaksi inflamasi dan pengangkatan seluruhnya dari
sumber inflamasi yang akan menyebabkan komplikasi adalah hal yang terpenting.
Gambar 8. Prosedur operasi 2 tahap dengan Hartmann Prosedur, Reseksi usus dan colostomy dan
reanastomosis