Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN KASUS

BUANG AIR BESAR BERDARAH

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. ET

Umur : 29 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Bogor

ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis

Keluhan Utama : Pasien datang keluhan BAB disertai darah dan lender sejak 2 bulan
SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poliklinik Bedah Digestive RSUD Ciawi dengan keluhan BAB disertai darah
dan lender sejak 2 bulan SMRS. Tinja yang keluar bercampur darah segar dan lendir. Pasien
panas di bagian anusnya saat BAB dan mulas pada perutnya. Pasien harus mengedan dan
membutuhkan waktu yang lama untuk mengeluarkan tinja tetapi tinja yang keluar sedikit dan
bentuknya tipis seperti pita dan sering merasa tidak puas saat BAB. Selain itu pasien juga
mengaku masih bisa kentut.
Namun setelah BAB pasien merasa lemas, dan nyeri perut sebelah kiri disertai muntah dan
demam. Berat badan pasien terus berkurang (4kg) dalam 2 bulan terakhir.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Tidak ada riwayat bab berdarah sebelumnya


- Hipertensi (-)
- Diabetes Mellitus (-)
- Alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:


- Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 120/70 mmHg

HR : 90 x/menit

RR : 20x/menit

Suhu : 36’7OC

Rectal Touche

Tonus sfingter ani : Normotoni

Mukosa rectum : Licin, tidak teraba massa, nyeri tekan (-)

Sarung tangan : Feses (+), lendir (-), darah (-)


Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Hb : 13,5 g/dL

Ht : 37,3 %

Leukosit : 8.800

Trombosit : 246.000

GDS : 102 mg/dL

SGOT : 16 U/L

SGPT : 37 U/L

Kreatinin : 0.67 mg/dL

Ureum : 10.7 mg/dL

Rongent Thorax

Kesan : Cor dan Pulmo tidak tampak kelainan

Pemeriksaan Penunjang Anjuran

- USG Abdomen
- BNO
- CT-Scan Abdomen

RESUME

Differential Diagnosa

 Tumor Kolon
 Tumor Rectum

 Diventikulosis

 Hemmoroid

 Fissura Ani

Terapi

 Rencana Colonoscopy

Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam


TINJAUAN PUSTAKA

A. Tumor Kolon
Tumor kolon merupakan sekelompok sel abnormal yang tumbuh tidak terkendali
yang terletak pada kolon. Tumor kolon dibagi menjadi dua, yaitu tumor jinak dan tumor
ganas. Yang membedakan dari kedua jenis tumor ini adalah sifatnya. Tumor ganas
mempunyai sifat invasif atau merusak jaringan sekitar sedangkan tumor jinak tidak.
Tumor jinak kolon atau disebut polip adalah petumbuhan jaringan yang menonjol
ke dalam lumen traktus gastrointestinal. Secara umum ,terdapat 2 tipe polip jinak yaitu
polip non-neoplastik dan polip neoplastik. Polip non-neoplastik terdiri dari hamartoma,
polip hyperplastik dan polip inflamasi. Polip neoplastik terdiri dari berbagai macam polip
adenomatous dan poliposis coli herediter. Sedangkan tumor ganas kolon adalah suatu
pertumbuhan tumor yang bersifat ganas dan merusak sel DNA dan jaringan sehat
disekitar kolon (bersifat invasif).

Epidemiologi
Di dunia kanker kolon menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan
mortalitas. Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolon dengan tingkat
mortalitas lebih dari 50%. 9,5% pria penderita kanker terkena kanker kolon, sedangkan
pada wanita angkanya mencapai 9,3% dari total jumlah penderita kanker. Angka insiden
tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru, sedangkan angka
insiden terendah terdapat pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel. Didapatkan suatu
hubungan yaitu 1) terdapat perbedaan insiden pada pria dan wanita yang berusia lanjut,
yang meningkat seiring dengan usia 2) meningkatnya insiden kanker kolon seiring
dengan kepadatan penduduk 3) rendahnya insiden pada pria yang belum pernah menikah.
Kanker kolon merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering terdapat
pada pria maupun wanita. Di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus kanker kolon,
data di Departemen Kesehatan didapati angka 1,8 per 100 ribu penduduk. Sejak tahun
1994-2003, terdapat 372 keganasan kolorektal yang datang berobat ke RS Kanker
Dharmais (RSKD). Berdasarkan data rekam medik hanya didapatkan 247 penderita
dengan catatan lengkap, terdiri dari 203 (54,57%) pria dan 169 (43,45%) wanita berusia
antara 20-71 tahun.

Etiologi dan Faktor Resiko

1. Kelainan di kolon
a. Polip
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari
kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses
dimulai dari hiperplasia sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan dari
displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen,
inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan
perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia
dan invasif karsinoma.
Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi maligna;
dan berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous
adenoma dan villous adenoma. Tujuh puluh persen dari polip berupa
adenomatous, dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous
adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.
Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari
adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa
invasif karsinoma pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari adenoma
berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur. Polip yang
diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi
tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk
menjadi kanker kolorektal. Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak
berhubungan dengan meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari
kanker meningkat dari 2,5-4 kali lipat jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7
kali lipat pada pasien yang mempunyai multipel polip. Waktu yang dibutuhkan
untuk menjadi malignansi tergantung beratnya derajat displasia.
b. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
- Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon, sekitar
1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan
kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding
lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah
2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang
direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada
ulseratif kolitis dengan mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan
total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun.

- Penyakit Crohn’s
Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk menderita
kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis.
Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar 20%.
Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma
pada tempat yang terjadi fibrosis. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker
dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan crohn’s disease.8

2. Faktor Genetik
a. Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker
kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang
mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker
kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak
memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.

b. Herediter Kanker Kolorektal


Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju
mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan
adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling
penting dalam menegakkan diagnosa dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat
kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih
kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker
kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan
adenoma yang besar. Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama
dari sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua
sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki
mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan
hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).

3. Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian,
meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara
serat dan kanker kolorektal.
Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko
kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk
asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal.
Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan
perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level insulin, trigliserida
dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini mengarah pada sel epitel
kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga memperlihatkan interaksi oksigen
reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan
kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang
secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari
pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi
pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah
akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal,
karakteristik ini didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif
dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis
dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini
dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen kolon;
(b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut, misalnya
resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal epitel
yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker
kolorektal.

4. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali
untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan
merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk
menderita adenoma yang berukuran besar. Pemakaian alkohol juga menunjukkan
hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas
dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan,
pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara
obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin
intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The Nurses Health Study
telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara aktifitas fisik dengan terjadinya
adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas fisik akan meningkatkan risiko
terjadinya adenoma.

5. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita
adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per
100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000
orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn).
Peningkatan resiko kanker kolorektal meningkat sesuai dengan usia.

Menurut WHO, faktor resiko kanker kolorektal :


1. Berusia > 50 tahun
2. Sindroma adenomatous popilposis ( familial, hamartomatous poliposis dan Peutz
jagers sindrom)
3. Riwayat kanker kolorektal pada keluarga
4. Inflamatory bowel disease
5. Riwayat menderita kanker kolorektal
6. Riwayat menderita polip kolrektal

Patofisiologi
Secara umumnya dinyatakan bahwa untuk perkembangan karsinoma kolon
merupakan interaksi anatara faktor lingkungan dan genetik. Faktor lingkungan multiple
beraksi terhadap predisposisi genetik atau defek yang didapat dan berkembang menjadi
karsinoma kolon. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap,
dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation, perkembangan
dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen,
inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan perkembangan
dari formasi adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu
proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper.
Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG
menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang
terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi
melakukan kontrol negatif (penekanan) pada pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah
satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat molekul 53 kDa. Gen p53 juga
berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper
berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom
dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor membuka peluang
terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan
melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-onkogen,
TSG, dan gen gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga
gen ini, atau salah satu tidak berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan
menyebabkan penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses
terbentuknya kanker dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu
siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan
jumlah kematian sel akibat gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi
sel yang tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari
ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel, yang sering terjadi
adalah mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga tidak berfungsi
baik, akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia
adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan,
tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.

Gambar 1. Adenoma Carcinoma Sequences

Manifestasi Klinis
Secara garis besar gejala pada tumor colon terbagi menjadi tiga, yaitu gejala local,
gejala sistemik, dan gejala peyebaran (metastasis):7

1. Gejala lokal
a. Perubahan kebiasaan buang air
- Perubahan frekuensi buang air, konstipasi atau diare
- Sensasi seperti belum selasai buang air besar (masih ingin tapi tidak bisa keluar)
- Feses bercampur darah atau keluar darah pada saat BAB, feses bercampur lender,
feses berwarna kehitaman
- Nyeri pada saat BAB
- Mual dan muntah
- Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh pasien

2. Gejala umum
- Penurunan berat badan
- Hilangnya nafsu makan
- Sering merasa lelah, pucat

3. Gejala metastase
- Pasien tampak kuning, jika terdapat metastase ke hepar
- Nyeri pada perut

Tabel 1. Gambaran klinis karsinoma kolorektal


KOLON KANAN KOLON KIRI REKTUM
ASPEK KLINIS Kolitis Obstruksi Proktitis
NYERI Karena penyusupan Obstruksi Obstruksi
DEFEKASI Diare/diare berkala Konstipasi progresif Tenesmi terus
menerus
OBSTRUKSI Jarang Hampir selalu Hampir selalu
DARAH PADA Samar Samar/makroskopik Makroskopik
FESES
FESES Normal/diare berkala Normal Perubahan bentuk
DISPEPSIA Sering Jarang Jarang
ANEMIA Hampir selalu Lambat Lambat
MEMBURUKNYA Hampir selalu Lambat Lambat
KEADAAN UMUM
Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis yang cermat sering dapat menentukan diagnosis. Gejala dan tanda
yang sering ditemukan pada kelainan kolon adalah dyspepsia, hematokezia, anemia,
bemjolan, dan obstruksi. Yang perlu ditanyakan adalah perubahan pola defekasi,
frekuensi dan konsitensi tinja.
Pemeriksaan Fisik
Rectal toucher untuk menilai :
a. Tonus sfingter ani : kuat atau lemah.
b. Ampula rektum : kolaps, kembung atau terisi feses
c. Mukosa : kasar,berbenjol benjol, kaku
d. Tumor : teraba atau tidak, lokasi, lumen yang dapat ditembus jari,
mudah berdarah atau tidak, batas atas dan jaringan sekitarnya, jarak dari garis
anorektal sampai tumor.

Penatalaksanaan

A. Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai
penanganan kuratif untuk kanker kolon. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan
batas yang luas dan maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan
fungsi dari kolon sebisanya. Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon kiri dapat
ditangani dengan dekompresi. Tumor yang menyebabkan perforasi membutuhkan eksisi
dari tumor primer dan proksimal kolostomi, diikuti dengan reanastomosis dan closure
dari kolostomi.9

B. Penyinaran (Radioterapi)
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray
berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi,
yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan
tergantung pada tipe dan stadium dari kanker.
Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi
tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk
membunuh sel kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan
yang sehat disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya
berlangsung beberapa menit.
Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi yang
diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang
menghasilkan radiasi disebut radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral
atau implant langsung pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih
tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan
beberapa penanganan internal radiasi secara sementara menetap didalam tubuh.

C. Kemoterapi
Kemoterapi sangat efektif digunakan ketika kehadiran tumor sangat sedikit dan
fraksi dari sel maligna yang berada pada fase pertumbuhan banyak. Obat kemoterapi
bisa dipakai sebagai single agen atau dengan kombinasi, contoh : 5-fluorouracil (5FU),
5FU + levamisole, 5FU + leucovorin. Pemakaian secara kombinasi dari obat kemoterapi
tersebut berhubungan dengan peningkatan survival ketika diberikan post operatif kepada
pasien tanpa penyakit penyerta. Terapi 5FU + levamisole menurunkan rekurensi dari
kanker hingga 39%, menurunkan kematian akibat kanker hingga 32%.

B. Cancer Rectum
Kanker rektum merupakan tumor ganas terbanyak di antara tumor ganas saluran
cerna dimana kanker tersebut menyerang kolon dan rektum. Lebih dari 60% tumor
kolorektal berasal dari rektum. Kanker rektum merupakan salah satu jenis kanker yang
tercatat sebagai penyakit yang paling mematikan di dunia, namun penyakit ini bukan
tidak dapat disembuhkan. Jika penderita telah terdeteksi secara dini, maka kemungkinan
untuk sembuh dapat mencapai 50%.
Anatomi dan Fisiologi

Secara anatomis, rektum berada setinggi vertebrae sakrum ketiga sampai ke garis

anorektal. Secara fungsional dan endoskopis, rektum dibagi menjadi bagian ampula dan

spinchter. Bagian spinchter atau disebut juga annulus hemoroidalis dikelilingi oleh

muskulus levator ani dan fascia coli dari fascia supra ani. Bagian ampula terbentang dari

vertebrae sakrum ketiga sampai diafragma pelvis pada insersio muskulus levator ani.

Panjang rektum sekitar 10-15 cm dengan keliling 15 cm pada bagian rectosigmoid

junction dan 35 cm pada bagian yang terluas yaitu ampula. Pada manusia, dinding rektum

terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang tersusun oleh epitel kolumner, mukosa

muskularis, submukosa, muskularis propia, dan serosa.

Gambar 1. Anatomi Rektum

Vaskularisasi daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior, media,

dan inferior. Arteri hemoroidalis superior (arteri rektal superior) merupakan kelanjutan

dari arteri mesenterika inferior. Arteri hemoroidalis media (arteri rektal media)

merupakan cabang dari arteri iliaka interna. Arteri hemoroidalis inferior (arteri rektal

inferior) merupakan cabang dari arteri pudenda interna.


Gambar 2. Vaskularisasi Rektum

Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna dan berjalan

ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior untuk selanjutnya melalui vena lienalis

dan menuju vena porta. Vena ini tidak memiliki katup sehingga tekanan dalam rongga

perut atau intra abdominal sangat menetukan tekanan di dalam vena tersebut. Vena

hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke vena pudenda interna yang kemudian melalui

vena iliaka interna dan menuju sistem vena cava.

Pembuluh limfe daerah anorektum membentuk pleksus halus yang mengalirkan

isinya menuju kelenjar limfe inguinal yang selanjutnya mengalir ke kelenjar limfe iliaka.

Infeksi dan tumor ganas pada daerah anorektal dapat mengakibatkan limfadenopati

inguinal. Pembuluh rekrum di atas garis anorektum berjalan seiring dengan v. hemoroidalis

seuperior dan melanjut ke kelenjar limfe mesenterika inferior dan aorta.

Persarafan rektum terdiri dari sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut simpatik

berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan 4 yang

berfungsi mengatur emisi air mani dan ejakulasi. Sedangkan untuk serabut parasimpatis
berasal dari sakral 2, 3, dan 4 yang berfungsi mengatur fungsi ereksi penis dan klitoris serta

mengatur aliran darah ke dalam jaringan. Hal ini menjelaskan terjadinya efek samping dari

pembedahan pada pasien-pasien dengan kanker rektum, yaitu disfungsi ereksi dan tidak

dapat mengontrol buang air kecil.

Gambar 3. Persarafan Rektum

Etiologi dan Faktor Risiko

Faktor risiko kanker rektum antara lain9,10:

1. Polip

Konsep tentang kanker kolorektal merupakan perkembangan dari polip pertama

kali dideskripsikan oleh Duke pada tahun 1926. Evolusi dari kanker itu sendiri

merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel

mukosa, formasi adenoma, perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna

dan invasif kanker. Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan polip menjadi kanker

itu sekitar 5-10 tahun. Kebanyakan adenoma tetap jinak, namun, jenis histologis, ukuran
polip, dan bukti adanya displasia berhubungan dengan transformasi menjadi kanker. Data

dari National Polyp Study dan St. Mark’s Hospital menunjukkan hampir 75-85%

adenoma adalah adenoma tubular; 8-15% tubulovillous; dan 5-10% adalah villous.

Adenoma tubular biasanya membentuk tangkai sedangakan adenoma villous mempunyai

dasar yang luas. Hanya 1% polip yang diameternya kurang dari 1 cm menunjukan

transformasi menjadi ganas, sedangkan 50% polip yang diameternya lebih dari 2 cm

melindungi daerah dari karsinoma.

2. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease

- Ulseratif Kolitis

Ulseratif kronis merupakan faktor resiko yang jelas untuk kanker kolorektal

sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Resiko

perkembangan kanker pada pasien berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan

berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ilseratif kolitis. Resiko kumulatif

sebesar 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang

direkomendasikan untuk seseorang dengan resiko tinggi dari kanker kolorektal pada

ulseratif kronis dengan menggunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan

total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun.

Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi

sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif menyimpulkan bahwa

kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat esensial untuk semua pasien yang

didiagnosis dengan displasia yang berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling

penting dari analisa mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan


adanya invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada

pergumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi

anatomi.

- Crohn’s Disease

Pasien yang menderita Crohn’s Disease mempunyai resiko tinggi untuk menderita

kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kronis.

Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada Crohn’s Disease sekitar 20%. Pasien

dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat

yang terjadi fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty dimana

biopsi dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah

dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula

kronik pasien dengan Crohn’s Disease.

- Faktor Genetik

1. Riwayat Keluarga

Sekitar 15 % dari seluruh kanker rektum muncul pada pasien dengan riwayat kanker

kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang

mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker

kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak

memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.

2. Herediter Kanker Kolorektal

Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju

mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan

adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling


penting dalam menegakkan diagnosis dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat

kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih kecil

dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker kolon dan

deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma yang

besar. Dua sindrom yang utama dari sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal

telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi menuju

kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu Familial Adenomatous

Polyposis (FAP) dan Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer (HNPCC).

- FAP (Familial Adenomatous Polyposis)

Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC yang berlokasi pada

kromosom 5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring

kepada kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada usia 40 sampai 50 tahun.

Pada FAP yang telah berlangsung cukup lama, didapatkan polip yang sangat banyak

untuk dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat dan ketika hal

itu terjadi, direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy

diikuti dengan endoskopi pada bagian yang tersisa.

Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu banyak

polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan elektif harus sedapat

mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening untuk polip harus dimulai pada

saat usia muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari

selama enam bulan mengurangi rata-rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang

mungkin muncul pada sindrom FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma,
hepatoblastomas, kanker pankreas, dan medulloblastoma otak. Varian dari FAP

termasuk Gardner’s Syndrome dan Turcot’s Syndrome.

- HNPCC (Hereditary Non Polyposis Colorectal Cancer)

Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan II. Dua

generasi multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada usia yang

muda (± 45 tahun), dengan predominan lokasi kanker. Abnormalitas genetik ini

terdapat pada mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi

dari abnormal repeating sequences dari DNA yang dikenal sebagai mikrosatelit

(mikrosatelite instability). Retensi dari squences ini mengakibatkan ekspresi dari

phenotype mutator yang dikarakteristikan oleh frekuensi DNA dan replikasi error

(RER + Phenotype) dimana predisposisi tersebut menyebabkan seseorang memiliki

multitude dari malignasi primer.

Pasien dengan HNPCC mungkin juga memiliki adenomasebaceous, dan

carsinoma sebaceous) dan multipel keratocanthoma, termasuk kanker dari

endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung, dan traktus biliaris. Jika

dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada HNPCC seringkali

poorly differentiated dengan gambaran mukosa dan signet-cell, reaksi yang mirip

dengan Crohn’s Disease (nodul limfoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer

infiltrasi kanker koloraktal), kehadiran infiltrasi limfosit diantara tumor.

Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC, pada keadaan ini adenoma

kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila

dibandingkan dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan

waktu 8-10 tahun.


Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker

kolorektal pada usia yang sangat muda dan sreening harus dimulai pada usia 20 tahun

atau lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosis

kanker kolorektal yang berhubungan dengan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan

HNPCC yang didiagnosis menderita kanker kolorektal yang berhubungan HNPCC.

Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosis menderita kanker kolorektal

pada usia 44 tahun, dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita kanker

kolorektal pada usia 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik

daripada pasien dengan sporadik kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa

pasien dengan HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi

berdasarkan kombinasi fluorourasil dari pada pasien tanpa kelainan ini.

- Diet

Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging, dan diet rendah serat

berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan

penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya

hubungan antara serat dan kanker kolorektal. Ada dua hipotesis yang menjelaskan

mekanisme hubungan antara diet dan resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah

pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan

adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah mengkonsumsi diet yang

berenergi tinggi yang mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan

peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor

sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga

memperlihatkan interaksi oksigen reaktif.


Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat meningkatkan pembentukan kanker

kolorektal. Hipotesis keduanya adalah identifikasi berkelanjutan dari agen yang

secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari

pengamatan tersebut, dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi

pertahanan lokal epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah

akibat terpapar toksin yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal,

karakteristik ini didapat dari bukti teraktifitasnya enzim COX2 dan stress oksidatif

dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan

mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenomadan aberrant crypt foci.

Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan

lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi’ atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme

tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan

pertahanan fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan

antara diet dan resiko kolorektal.

- Gaya Hidup

Pria dan perempuan yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai resiko tiga

kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.

Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan resiko dua setengah kali

untuk 7000 kematian karena kolorektal di Amerika dihubungkan dengan pemakaian

rokok. Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan meningkatnya risiko

kanker kolorektal.

Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktivitas, obesitas,

dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan,
pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi

antara obesitas dan aktivitas fisik menunjukkan penekanan pada aktivitas

prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan resiko kanker kolorektal. The

Nurse Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara aktivitas

fisik dengan terjadinya adenoma yang dapat diartikan penurunan aktivitas fisik akan

meningkatkan resiko terjadinya adenoma.

- Usia

Proporsi dari semua kanker pada usia lanjut (≥65 tahun) laki-laki dan perempuan

adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria usia lanjut hampir 7 kali (2158 pe

100.000 orang per tahun) dan pada perempuan berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per

100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda

(30-64 tahun). Resiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia,

terutama pada laki-laki berusia 50 tahun atau lebih dan hanya 3% dari kanker

kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun. Lima puluh lima persen

kanker terdapat pada usia ≥ 65 tahun, angka insiden 19 per 100.000 populasi yang

berumur kurang dari 65 tahun dan 337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari

65 tahun.

Patofisiologi

Pada mukosa rektum yang normal, sel-sel epitelnya akan mengalami regenerasi

setiap 6 hari. Pada keadaan patologis seperti adenoma, terjadi perubahan genetik yang

mengganggu proses diferensiasi dan maturasi dari sel-sel tersebut yang dimulai dengan

inaktivasi gen Adenomatous Polyposis Coli (APC) yang menyebabkan terjadinya replikasi

tak terkontrol. Peningkatan jumlah sel akibat replikasi tak terkontrol tersebut akan
menyebabkan terjadinya mutasi yang akan mengaktivasi K-ra onkogen dan mutasi gen p53,

hal ini akan mencegah terjadinya apoptosis dan memperpanjang hidup sel. Kanker kolon

dan rektum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus) dimulai

sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan

normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari tumor

primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati).

Terdapat dua teori yang dipercaya menjadi patogenesis terjadinya kanker

kolorektal, keduanya merupakan akibat dari mutasi. Jalur pertama, disebut jalur

adenomatous polyposis coli (APC)/ β-katenin ditandai dengan instabilitas kromosom yang

menyebabkan akumulasi bertahap serangkaian onkogen dan gen penekan tumor. Perubahan

molekuler kanker kolon terjadi secara bertahap dimulai dari proliferasi epitel kolon lokal,

pembentukan adenoma kecil, kemudian progresif membesar, menjadi displastik, dan

akhirnya berkembang menjadi kanker invasif. Hal ini disebut sebagai sekuensi adenoma-

karsinoma.

Proses genetik yang berperan pada jalur pertama adalah:

- Hilangnya APC. Dalam pembentukan adenoma diperkirakan bahwa hilangnya APC

merupakan faktor paling awal yang berperan dalam kejadian tersebut. Defek gen ini

pertama kali didapatkan pada sindrom familial adenomatous polyposis (FAP) dan

sindrom gardner, mutasi sel germinativum di gen APC menyebabkan terbentuknya

ratusan adenoma yang berkembangnya menjadi kanker. Fungsi protein APC berkaitan

erat dengan β-katenin. APC normal meningkatkan penguraian β-katenin, dengan

hilangnya fungsi APC, β-katenin yang menumpuk berpindah ke nukleus dan


mengaktifkan transkripsi beberapa gen, seperti celuler myelocytomatosis gene (MYC)

dan siklin D1, yang mendorong proliferasi sel. Mutasi APC terdapat pada 80% kanker

kolon sporadik terdapat mutasi APC.

- Mutasi Kirsten rat sarcoma (K-RAS). Gen K-RAS mengkode suatu molekul

transduksi sinyal yang berpindah – pindah antara keadaan aktif terikat guanine

trifosat dan keadaan inaktif terikat guanosin difosfat. Rat sarcoma (RAS) yang telah

bermutasi terperangkap dalam keadaan aktif dan mengeluarkan sinyal mitotik

sekaligus mencegah apoptosis. Mutasi K-RAS biasanya terjadi setelah hilangnya

APC. Gen ini mengalami mutasi pada kurang dari 10% adenoma yang kurangnya

kurang dari 1 cm, pada 50% adenoma yang lebih besar daripada 1 cm, dan pada 50 %

karsinoma.

- Delesi 18q21. Hilangnya gen penekan kanker di 18q21 ditemukan pada 60 % hingga

70 % kanker kolon. Tiga gen diketahui terletak di lokasi kromosom ini: deleted in

colorectal cancer (DCC) mengalami delesi pada karsinoma kolon, DPC4 dan

Mothers against decapentaplegic homolog 2 (SMAD2). Gen yang berhubungan

dengan karsinogenesis kolon belum dapat dipastikan secara jelas namun, DCC

mengkode suatu molekul perekat sel yang disebut netrin-1, yang berperan dalam

fungsi akson. DPC/SMAD4 dan SMAD2 mengkode komponen– komponen jalur

sinyal transforming growth factor β (TGF- β). Karena sinyal TGF- β biasanya

menghambat siklus sel, hilangnya gen ini memungkinkan sel tumbuh tidak terkendali.

- Hilangnya p53. Hilangnya gen penekan tumor ini ditemukan pada 70% hingga 80%

kanker kolon, kehilangan serupa jarang ditemukan pada adenoma, yang


mengisyaratkan bahwa mutasi p53 sering muncul diakhir dari karsinogenesis

kolorektal.

- Jalur kedua ditandai dengan lesi genetik di DNA mismatch repair genes (gen untuk

memperbaiki ketidakcocokan DNA). Gen ini berperan pada 10–15% kasus sporadik.

Gangguan perbaikan DNA yang disebabkan oleh inaktivasi gen mismatch repair

genes merupakan hal yang mendasar dan sangat mungkin untuk mengawali proses

pembentukan kanker kolorektal. Mutasi herediter pada satu dari lima gen perbaikan

ketidakcocokan DNA (MutS protein homolog 2 (MSH2), mutS homolog 6 (MSH6),

MutL homolog 1(MLH1), PMS1, dan PMS2) menyebabkan timbulnya karsinoma

kolon non poliposis herediter (hereditary nonpolyposis colon carcinoma). Gen ini

MLH1 merupakan salah satu yang sering terlibat dalam karsinoma kolon sporadik.

Hilangnya gen perbaikan kecocokan DNA menghasilkan keadaan hypermutable yang

sekuensi DNA repetitif biasanya, yang disebut mikrosatelit, menjadi tidak stabil

selama replikasi DNA dan menyebabkan perubahan luas pada pengulangan ini.

Instabilitas mikrosatelit (MSI) adalah suatu tanda terjadinya gangguan molekular

pada proses perbaikan ketidakcocokan DNA, sehingga jalur ini sering disebut jalur

MSI. Sebagian besar sekuensi mikrosatelit terletak di regio noncoding gen sehingga

mutasi gen ini mungkin tidak berbahaya. Namun, sebagian sekuensi mikrosatelit

terletak di region pengkode atau promontor gen yang berperan dalam pengendalian

pertumbuhan sel. Gen–gen ini mencakup reseptor transforming growth factor β

(TGF-β) tipe II dan Bcl-2-associated X protein (BAX). Sinyal TGF-β menghambat

pertumbuhan sel epitel kolon dan gen BAX menyebabkan apoptosis. Gangguan pada
perbaikan ketidakcocokan menyebabkan akumulasi mutasi pada gen ini dan gen

pengatur pertumbuhan lain yang memuncak pada timbulnya karsinoma kolorektal.

Gambar 4. Patofisiologi Kanker Rektum

Gejala Klinis dan Staging

Kanker rektum tidak menimbulkan gejala selama bertahun-tahun, gejala timbul

perlahan-lahan dan sering telah ada sejak berbulan-bulan, kadang-kadang bertahun-tahun,

sebelum terdiagnosis.

Tanda dan gejala yang mungkin muncul pada kanker rektum antara lain adalah:

1. Perubahan pada kebiasaan BAB atau adanya darah pada feses, baik itu darah segar

maupun yang berwarna hitam.

2. Diare, konstipasi atau merasa bahwa isi perut tidak benar-benar kosong saat BAB.

3. Feses yang lebih kecil dari biasanya.

4. Keluhan tidak nyaman pada perut seperti sering flatus, kembung, rasa penuh pada perut

atau nyeri.

5. Penurunan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.

6. Mual dan muntah.

7. Rasa letih dan lesu.


8. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala pada traktus urinarius dan nyeri pada daerah

gluteus.

Penyabaran karsinoma rektum dapat melalui;

1. Penyebaran langsung: penyebaran longitudinal tidak melebihi 6 cm. Penyebaran kolateral

menembus dinding rectus dan menginfiltrasi vagina, prostat, vesica urinaria atau os.

Sacrum.

2. Penyebaran hematogen: penyebaran melalui vena porta ke hepar. Penyebaran melalui

hipgastrika ke jantung, paru dan tempat lainnya

3. Penyebaran limfogen: penyebaran tumor dekat anus ke Inguinalis

Stadium kanker rektum yaitu:


1. Stadium 0 (carcinoma in situ)

Kanker belum menembus membran basal dari mukosa kolon atau rektum

Gambar 5. Stadium 0 (Carcinoma In Situ)


(Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robbins buku ajar patologi. 7th ed. Jakarta: EGC; 2007.
654-56 p.11)

2. Stadium I/Duke A

Sel kanker dapat ditemukan di sel mukosa di dinding rektum dan menyebar ke sel

sub mukosa.
Gambar 6. Stadium I

3. Stadium II/Duke B

Stage II A. Sel kanker menyebar ke sel otot menuju sel serosa

Stage II B. Sel kanker menyebar ke sel serosa tetapi belum menembus dinding

Stage II C. Sel kanker menembus statum serosa menuju dinding organ terdekat

Gambar 7. Stadium IIA, IIB, dan IIC

4. Stadium III/Duke C

Stage III A

-Sel kanker menembus sel mukosa, sub mukosa dan sel otot. Sel kanker dapat

menyebar 1-3 kelenjar getah bening

-Sel kanker menembus sel mukosa, sub mukosa. Sel kanker dapat menyebar 4-6

kelenjar getah bening


Gambar 8. Stadium IIIA

Stage III B
- Sel kanker menyebar sampai sel otot, serosa tetapi tidak sampai ke organ
terdekat. Sel kanker menyebar 1-3 kelenjar getah bening organ terdekat atau
sel kanker terbentuk disekitar kelenjar getah bening.
- Sel kanker menyebar sampai sel otot atau sel serosa. Sel kanker menyebar 4-6
kelenjar getah bening terdekat
- Sel kanker menyebar dari sel mukosa sampai sel submukosa dan mungkin
dapat menyebar ke permukaan sel otot. Sel kanker menyebar lebih dari 7
kelenjar getah bening

Gambar 9. Stadium IIIB

Stage III C

- Sel kanker menyebar sampai ke sel serosa tetapi tidak menyebar ke organ

terdekat. Sel kanker menyebar 4-6 kelenjar getah bening.

- Sel kanker menyebar dari sel otot sampai sel serosa atau sel serosa tetapi tidak

menyebar ke organ terdekat. Sel kanker menyebar ke 7 kelenjar getah bening


- Sel kanker menyebar sampai sel serosa dan organ terdekat. Sel kanker

menyabar ke >1 kelenjar getah bening atau sel kanker terbentuk di jaringan

terdekat kelenjar getah bening

Gambar 10. Stadium IIIC

5. Stadium IV/Duke D

- Stage IVA Sel kanker menyebar sampai ke dinding rektum dan organ

terdekat atau kelenjar getah bening. Kanker menyebar ke satu organ yang

jauh dari rektum seperti hepar, paru-paru, ovarium, kelenjar getah bening

yang jauh.

- Stage IVB Sel kanker menyebar sampai ke dinding rektum dan organ

terdekat atau kelenjar getah bening. Sel kanker menyebar >1 organ yang jauh

dari rektum atau masuk ke lapisan dinding abdomen.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari kemungkinan metastasis seperti

pembesaran kelenjar getah bening atau adanya hepatomegali. Sekitar 75% kanker rektum
dapat dipalpasi pada pemeriksaan rectal touche. Pemeriksaan rectal touche akan mengenali

tumor yang terletak sekitar 10 cm dari rektum, massa akan teraba keras dan menggaung.

Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:

- Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah terhadap

cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os. Coccygeus.

- Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan.

Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada lapisan otot dinding rektum.

Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan

fiksasi karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat,

buli-buli, dinding posterior vagina, atau dinding anterior uterus.

- Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik pertumbuhan

primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi.

Dari pemeriksaan colok dubur (Rectal Touche) dapat diketahui:

- Adanya tumor rektum

- Lokasi dan jarak dari anus

- Posisi tumor, melingkar atau menyumbat lumen

- Perlengketan dengan jaringan sekitar

Pemeriksaan Penunjang

Ada beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi kanker rektum, antara lain:
1. Biopsi

Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika

ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus dilakukan, Secara patologi

anatomi, adenokarsinoma merupakan jenis yang paling sering, yaitu sekitar 90-95% dari

kanker usus besar. Jenis lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors,

adenosquamouscarsinomas, dan undifferentiated tumors.

2. Pemeriksaan Tumor Marker

CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), CA 242, CA 19-9. CEA berkolerasi dengan

volume tumor dan berhubungan dengan sisa tumor setelh reseksi. CEA akan menurun sampai

normal setelah 4-8 minggu post reseksi kuratif. 20-30% kekambuhan tidak disertai dengan

peningkatan CEA. CEA normal < 5ngr.

3. Uji FOBT (Faecal Occult Blood Test)

Untuk melihat perdarahan di jaringan. FOBT baik digunakan untuk screening,

meskipun spesifik dan sensitivitasnya terbatas.

4. Foto Rontgen

Foto rontgen dengan barium enema, yaitu cairan yang mengandung barium yang

dimasukkan melalui rektum untuk kemudian dilakukan foto rontgen. Barium enema

dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin sebelum dilakukan pemeriksaan lain. Pada

pemeriksaan ini akan tampak filling defect biasanya sepanjang 5-6 cm berbentuk anular atau

apple core. Dinding usus tampak rigid dan gambaran mukosa rusak.

Setelah penderita menelan barium, maka barium akan tampak putih pada foto rontgen

dan membatasi saluran pencernaan, Barium yang terkumpul di daerah abnormal

menunjukkan adanya ulkus, erosi, tumor dan varises kerongkongan. Barium juga dapat
diberikan dalam bentuk enema untuk melapisi usus besar bagian bawah. Kemudian dilakukan

foto rontgen untuk menunjukkan adanya polip, tumor atau kelainan struktur lainnya.

Prosedur ini bisa menyebabkan nyeri kram serta menimbulkan rasa tidak nyaman.

Barium yang diminum atau diberikan sebagai enema pada akhirnya akan dibuang

kedalam tinja, sehingga tinja tampak putih seperti kapur. Setelah pemeriksaan, barium harus

segera dibuang karena bisa menyebabkan sembelit yang berarti. Obat pencahar bisa diberikan

untuk mempercepat pembuangan barium.

Keuntungan dari pemeriksaan rontgen dengan barium enema yaitu sensitivitas untuk

kanker kolon 65-95%, tidak memerlukan sedasi, keberhasilan sangat tinggi, tersedia

diseluruh rumah sakit, dan cukup aman. Kelemahannya berupa lesi T1 sering tidak

terdiagnosis.

Gambar 12. Foto Rontgen Dengan Barium Enema

5. Endoskopi

a. Sigmoidoscopi

Merupakan sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan sigmoid,

apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat sigmoidoscope dimasukkan

melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip atau sampel jaringan dapat diambil untuk

biopsi. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada usia 50 tahun merupakan

metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang asimptomatik yang

berada pada tingkatan resiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip
adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk

dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di

distal kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-

10% pasien.17,18

Gambar 13. A. Posisi fleksibel sigmoidoskop di kolon, B. Tip dari sigmoidoskop,


C. Gambaran kolon hasil FS

Gambar 14. Posisi pasien saat sigmodoskopi dan kolonoskopi


b. Kolonoskopi

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukkan gambaran seluruh mukosa kolon

dan rektum. Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.

Kolonoskopi merupakan cara paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan

ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih

baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%.

Sebuah kolonoskopi juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, menontrol

perdarahan dan dilatasi dari striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman

dimana komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi, dan perforasi) hanya muncul

kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk

mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel disease, non akut divertikulitis,

sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon, dan

neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik

kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik,

sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostic.

Penatalaksanaan

Beberapa jenis terapi tersedia untuk pasien kanker rektum. Beberapa adalah terapi

standar dan beberapa lagi masih diuji dalam penelitian klinis. Tiga terapi standar untuk

kanker rektum yang digunakan, antara lain ialah:

1. Pembedahan

Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk stadium

I dan II kanker rektum, bahkan pada pasien suspek dalam stadium III juga dilakukan
pembedahan. Meskipun begitu, karena kemajuan ilmu dalam metode penetuan stadium

kanker, banyak pasien kanker rektum dilakukan pre-surgical treatment dengan radiasi dan

kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal sebagai neoadjuvant

chemotherapy, dan pada kanker rektum, neoadjuvant chemotherapy digunakan terutama

pada stadium II dan III. Pada pasien lainnya yang hanya dilakukan pembedahan,

meskipun sebagian besar jaringan kanker sudah diangkat saat operasi, beberapa pasien

masih membutuhkan kemoterapi atau radiasi setelah pembedahan untuk membunuh sel

kanker yang tertinggal.

Tiga pembedahan yang dipakai, antara lain:

1) Eksisi Lokal

Jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor dapat dihilangkan tanpa

melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika kanker ditemukan dalam bentuk polip,

operasinya dinamakan polypectomy.

2) Reseksi

Jika kanker lebih besar, dilakukan reseksi rektum lalu dilakukan anastomosis.

Dilakukan juga pengambilan limfonodus di sekitar rektum lalu diidentifikasi apakah

limfonodus tersebut juga mengandung sel kanker.

Pengangkatan kanker rektum biasanya dilakukan dengan reseksi abdominoperianal,

termasuk pengangkatan seluruh rektum, mesorektum, dan bagian dari otot levator ani dan

dubur. Proses ini merupakan pengobatan yang efektif namun mengharuskan pembuatan

kolostomi permanen.
Gambar 19. Reseksi dan Anastomosis

Gambar 20. Reseksi dan Kolostomi

Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum dan sigmoid

dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limfe pararektum dan retroperitoneal

sampai kelenjar limfe retroperitoneal. Kemudian melalui insisi perineal, anus dieksisi dan

dikeluarkan seluruhnya dengan rektum melalui abdomen.

Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi dengan

menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal rendah.

Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma terbatas.

Seleksi penderita harus dilakukan dengan teliti, antara lain dengan menggunakan

endoskopi ultrasonografik untuk menentukan tingkat penyebaran di dalam dinding

rektum dan adanya kelenjar ganas pararektal.


Indikasi dilakukannya eksisi lokal kanker rektum adalah:

1) Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate.

2) T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound.

3) Termasuk well-differentiated atau moderately well differentiated secara histologi.

4) Ukuran kurang dari 3-4 cm.

Kontraindikasi dilakukannya eksisi lokal pada kanker rektum adalah:

Tumor tidak jelas, termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound dan termasuk poorly

differentiated secara histologi

2. Radiasi

Sebagaimana telah disebutkan, untuk banyak kasus stadium II dan III lanjut,

radiasi dapat menyusutkan ukuran tumor sebelum dilakukan pembedahan. Peran lain

radioterapi adalah sebagai terapi tambahan untuk pembedahan pada kasus tumor lokal

yang sudah diangkat melalui pembedahan, dan untuk penanganan kasus metastasis jauh

tertentu. Terutama ketika digunakan dalam kombinasi dengan kemoterapi, radiasi yang

digunakan setelah pembedahan menunjukkan telah menurunkan resiko kekambuhan

lokal di pelvis sebesar 46% dan angka kematian sebesar 29%. Pada penanganan

metastasis jauh, radiasi telah berguna mengurangi efek lokal dari metastasis tersebut,

misalnya pada otak. Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada

pasien yang memiliki tumor lokal yang unresectable.

3. Kemoterapi

Adjuvant chemotherapy (menangani pasien yang tidak terbukti memiliki penyakit

residual tapi beresiko tinggi mengalami kekambuhan) dipertimbangkan pada pasien


dimana tumornya menembus sangat dalam atau tumor lokal yang bergerombol

(Stadium II lanjut dan stadium III). Terapi standarnya ialah dengan fluorouracil, (5-FU)

dikombinasikan dengan leucovorin dalam jangka waktu enam sampai dua belas bulan.

5-FU merupakan anti metabolit dan leucovorin memperbaiki respon. Agen lainnya,

levamisole, meningkatkan sistem imun, dapat menjadi substitusi bagi leucovorin.

Protokol ini menurunkan angka kekambuhan kira-kira 15% dan menurunkan angka

kematian kira-kira sebesar 10%.

Pemberian capetabine sebagai prodrug 5-FU mendapat perhatian khusus karena

selain praktis juga ekonomis. Dalam pertemuan ASCO (American Society of Clinical

Oncology) pada bulan Juni 2004 dilaporkan bahwa pemakaian capetabine dengan dosis

1250mg/m2 2x/hari siberikan hari 1-14 berturut-turut disusul masa istirahat 1 minggu

dan kemudian dilanjutkan siklus berikutnya mempunyai efek sama dengan protokol

Mayo dalam harapan hidup tetapi efek sampingnya lebih sedikit seperti diare,

stomatitis, nausea/muntah, ntropenia. Efek samping lain dari capetabine yang sering

dijumpai adalan Hand foot syndrome.

Indikasi pemberian kemoterapi untuk mencegah kekambuhan dengan kriteria:

a. Derajat keganasan III-IV

b. Invasi tumor ke limfatik dan pembuluh darah

c. Adanya obstruksi usus

d. Kelenjar yang diperiksa kurang dari 12 buah

e. Stadium T4, N0, M0 atau T3 dengan perforasi terlokalisasi

f. Tepi sayatan dengan positif untuk tumor


g. Tepi sayatan dengan penentuan batas yang terlalu dekat dengan tumor atau

sulit ditentukan

D. Hemoroid
Hemoroid adalah pelebaran vena di dalam pleksus hemoroidales yang tidak
merupakan keadaan patologis, hanya apabila menimbulkan keluhan atau penyulit
diperlukan tindakan.
Hemoroid adalah dilatasi varikosus vena dari plexus hemorrhoidal inferior dan
superior. Hemoroid dibedakan menjadi dua, interna dan eksterna. Hemoroid interna
adalah pleksus vena hemoroidales superior diatas garis mukokutan dan ditutupi oleh
mukosa. Sering terdapat pada tiga posisi primer, yaitu kanan depan, kanan belakang, dan
kiri lateral, sedangkan hemoroid yang lebih kecil terdapat diantara ketiga letak primer
tersebut. Hemoroid eksterna merupakan pelebaran dan penonjolan pleksus hemoroid
inferior yang terdapat di bagian distal garis mukokutan di dalam jaringan dibawah epitel
anus.

Epidemiologi

Sekitar 75% orang mengalami penyakit hemoroid setidaknya sekali seumur


hidupnya, hemoroid banyak terjadi pada dewasa berusia 45 – 60 tahun, dan juga sering
terjadi pada wanita hamil.

Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab pasti timbulnya hemoroid masih belum pasti, hanya saja ada beberapa
faktor pendukung terjadinya hemoroid, yaitu :
1. Anatomik : vena daerah anorektal tidak mempunyai katup dan pleksus hemoroidalis
kurang mendapat sokongan dari otot dan fascia sekitarnya.
2. Umur : pada umur tua terjadi degenerasi dari seluruh jaringan tubuh, juga otot
sfingter menjadi tipis dan atonis.
3. Keturunan : dinding pembuluh darah lemah dan tipis.
4. Pekerjaan : orang yang harus berdiri , duduk lama, atau harus mengangkat barang
berat mempunyai predisposisi untuk hemoroid.
5. Mekanis : semua keadaan yang menyebabkan meningkatnya tekanan intra abdomen,
misalnya penderita hipertrofi prostat, konstipasi menahun dan sering mengejan pada
waktu defekasi.
6. Endokrin : pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstremitas dan anus oleh karena ada
sekresi hormone relaksin.
7. Fisiologi : bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada penderita sirosis
hepatis.

Klasifikasi
Diagnosa hemorrhoid dapat ditegakkan salah satunya dengan anoskopi. Anoskopi
adalah pemeriksaan pada anus dan rektum dengan menggunakan sebuah spekulum.
Pemeriksaan ini dapat menentukan letak dari hemorrhoid tersebut. Secara anoskopi,
berdasarkan letaknya hemorrhoid terbagi atas :

a. Hemorrhoid eksterna
Merupakan pelebaran dan penonjolan vena hemorrhoidalis inferior yang timbul di
sebelah luar musculus sphincter ani.
b. Hemorrhoid interna
Merupakan pelebaran dan penonjolan vena hemorrhoidalis superior dan media yang
timbul di sebelah proksimal dari musculus sphincter ani.

Kedua jenis hemorrhoid ini sangat sering dijumpai dan terjadi pada sekitar 35%
penduduk yang berusia di atas 25 tahun. Hemorrhoid eksterna diklasifikasikan sebagai
bentuk akut dan kronis. Bentuk akut dapat berupa pembengkakan bulat kebiruan pada
pinggir anus yang merupakan suatu hematoma. Bentuk ini sering terasa sangat nyeri dan
gatal karena ujung-ujung saraf pada kulit merupakan reseptor nyeri. Hemorrhoid eksterna
kronis atau skin tag biasanya merupakan sequele dari hematoma akut.

Gambar 2. Hemorroid Interna dan Externa

Hemoroid interna dikelompokkan ke dalam 4 derajat, yakni:

a. Derajat I : bila terjadi pembesaran hemorrhoid yang tidak prolaps ke luar kanalis
analis yang hanya dapat dilihat dengan anorektoskop.
b. Derajat II : pembesaran hemorrhoid yang prolaps dan menghilang atau dapat masuk
kembali ke dalam anus secara spontan.
c. Derajat III : pembesaran hemorrhoid yang prolaps dimana harus dibantu dengan
dorongan jari untuk memasukkannya kembali ke dalam anus.
d. Derajat IV : prolaps hemorrhoid yang yang permanen. Prolaps ini rentan dan
cenderung mengalami trombosis dan infark.

Gejala Klinis
Gejala klinis hemoroid dapat dibagi berdasarkan jenis hemoroid, yaitu :

1. Hemoroid Interna
Gejala yang biasa adalah protrusio, pendarahan, nyeri tumpul dan pruritus.
Trombosis atau prolapsus akut yang disertai edema atau ulserasi luar biasa nyerinya.
Hemoroid interna bersifat asimtomatik, kecuali bila prolaps dan menjadi stangulata.
Tanda satu-satunya yang disebabkan oleh hemoroid interna adalah pendarahan darah
segar tanpa nyeri per rektum selama atau setelah defekasi. Gejala yang muncul pada
hemoroid interna dapat berupa:
 Perdarahan
Merupakan gejala yang paling sering muncul dan biasanya merupakan awal dari
penyakit ini. Perdarahan berupa darah segar dan biasanya tampak setelah defekasi
apalagi jika fesesnya keras. Selanjutnya perdarahan dapat berlangsung lebih hebat,
hal ini disebabkan karena prolaps bantalan pembuluh darah dan mengalami kongesti
oleh sphincter ani.
 Prolaps
Dapat dilihat adanya tonjolan keluar dari anus. Tonjolan ini dapat masuk kembali
secara spontan ataupun harus dimasukan kembali oleh tangan.
 Nyeri dan rasa tidak nyaman
Nyeri biasanya ditimbulkan oleh komplikasi yang terjadi (seperti fisura, abses dll)
hemoroid interna sendiri biasanya sedikit saja yang menimbulkan nyeri. Kondisi ini
dapat pula terjadi karena terjepitnya tonjolan hemoroid yang terjepit oleh sphincter
ani (strangulasi).
 Keluarnya Sekret
Walaupun tidak selalu disertai keluarnya darah, sekret yang menjadi lembab
sehingga rawan untuk terjadinya infeksi ditimbulkan akan menganggu kenyamanan
penderita dan menjadikan suasana di daerah anus.

2. Hemoroid Eksterna
 Rasa terbakar
 Nyeri, jika terjadi thrombosis yang luas dengan udem dan radang.
 Gatal atau pruritus anus.

Diagnosis
Diagnosis hemoroid ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesa
Pada anamnesa biasanya didapatkan pasien mengeluhkan adanya darah segar pada
saat buang air besar, darah yang keluar bisa menetes dan bisa juga keluar terus
menerus dan tidak bercampur dengan feses. Selain itu pasien juga akan mengeluhkan
adanya gatal-gatal pada daerah anus. Serta keluhan adanya massa pada anus dan
membuatnya merasa tidak nyaman, biasanya pada hemoroid interna derajat II dan
hemoroid eksterna. Pasien juga akan mengeluhkan nyeri pada hemoroid interna
derajat IV dan hemoroid eksterna.
Perdarahan yang disertai nyeri mengindikasikan hemoroid eksterna yang sudah
mengalami trombosis. Biasanya hemoroid interna mulai menimbulkan gejala setelah
terjadi prolapsus, sehingga mengakibatkan perdarahan, ulserasi, atau trombosis.
Hemoroid eksterna juga bisa terjadi tanpa gejala atau dapat ditandai dengan nyeri
akut, rasa tak nyaman, atau perdarahan akibat ulserasi dan thrombosis.

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya pembengkakan vena yang
mengindikasikan hemoroid eksterna atau hemoroid interna yang sudah mengalami
prolaps, biasanya jika berupa prolapsnya hemoroid interna akan terlihat adanya
mukus yang keluar saat pasien disuruh untuk mengedan. Jika pasien mengeluhkan
perdarahan kemungkinan bisa menyebabkan anemia sekunder yang dapat dilihat dari
konjungtiva palpebra pasien yang sedikit anemis, tapi hal ini mungkin terjadi. Daerah
perianal juga diinspeksi untuk melihat ada atau tidaknya fisura, fistula, polip atau
tumor. Pada rectal toucher juga dinilai ukuran, perdarahan dan tingkat keparahan
inflamasi. Biasanya agak susah meraba hemoroid interna karena tekanan vena yang
tidak tinggi dan biasanya tidak nyeri. Rectal toucher juga dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan karsinoma rektum.

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan laboratorium
untuk mendeteksi apakah terjadi anemia pada pasien dan pemeriksaan anoskopi serta
sigmoideskopi. Anoskopi dilakukan untuk menilai mukosa rektal dan mengevaluasi
tingkat pembesaran hemoroid. Hasil anoskopi hemoroid interna yang tidak
mengalami prolaps biasanya terlihat gambaran vascular yang menonjol keluar, dan
apabila pasien diminta mengejan akan terlihat gambaran yang lebih jelas. Sedangkan
dengan menggunakan sigmoideskopi dapat mengevaluasi kondisi lain sebagai
diagnose banding untuk perdarahan rektal dan rasa tak nyaman seperti pada fisura
anal dan fistula, colitis, polip rectal, dan kanker.

Penatalaksanaan
Terapi Non Farmakologi
Dapat diberikan pada semua kasus hemoroid terutama hemoroid interna derajat 1,
disebut juga terapi konservatif, diantaranya adalah :
 Koreksi konstipasi dengan meningkatkan konsumsi serat (25-30 gram sehari), dan
menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi.
 Meningkatkan konsumsi cairan (6-8 gelas sehari)
 Menghindari mengejan saat buang air besar, dan segera ke kamar mandi saat merasa
akan buang air besar, jangan ditahan karena akan memperkeras feses.
 Rendam duduk dengan air hangat yang bersih dapat dilakukan rutin dua kali sehari
selama 10 menit pagi dan sore selama 1 – 2 minggu, karena air hangat dapat
merelaksasi sfingter dan spasme.
 Tirah baring untuk membantu mempercepat berkurangnya pembengkakan.

Terapi Farmakologi

 Salep anastetik lokal


 Kortikosteroid
 Laksatif
 Analgesik
 Suplemen flavonoid, membantu mengurangi tonus vena dan mengurangi
hiperpermeabilitas serta efek antiinflamasi (Acheson dan Schirfield, 2008)

Terapi Pembedahan

Hemorrhoid Institute of South Texas (HIST) menetapkan indikasi tatalaksana


pembedahan hemoroid antara lain :

 Hemoroid interna derajat II berulang


 Hemoroid derajat III dan IV dengan gejala
 Mukosa rektum menonjol keluar anus
 Hemoroid interna derajat I dan II dengan penyakit penyerta seperti fisura
 Kegagalan penatalaksanaan konservatif
 Permintaan pasien

Adapun jenis pembedahan yang sering dilakukan yaitu :

 Skleroterapi
Teknik ini dilakukan dengan menginjeksikan 5 % fenol dalam minyak nabati yang
tujuannya untuk merangsang. Lokasi injeksi adalah submukosa hemoroid. Efek dari
injeksi adalah edema, reaksi inflamasi dengan proliferasi fibroblast dan thrombosis
intravascular. Reaksi ini akan menyebabkan fibrosis pada submukosa hemoroid sehingga
akan mencegah atau mengurangi prolapsus jaringan hemoroid. Terapi ini disertai anjuran
makanan tinggi serat dapat efektif untuk hemoroid interna derajat I dan II. Menurut
Acheson dan Scholfield pada tahun 2009, teknik ini murah dan mudah dilakukan, tetapi
jarang dilaksanakan karena tingkat kegagalan yang tinggi.

 Ligasi dengan gelang karet (Rubber band ligation)


Biasanya teknik ini dilakukan untuk hemoroid yang besar atau yang mengalami prolaps.
Dengan bantuan anuskop, mukosa diatas hemoroid yang menonjol dijepit dan ditarik atau
dihisap kedalam tabung ligator khusus. Efek dari teknik ini adalah nekrosis iskemia,
ulserasi, dan scarring yang akan menghasilkan fiksasi jaringan ikat ke dinding rektum.
Komplikasi nya dapat terjadi perdarahan setelah 7-10 hari dan nyeri.

 Hemoroidektomi
Teknik dipakai untuk hemoroid derajat III atau IV dengan keluhan menahun, juga untuk
penderita denga perdarahan berulang dan anemia yang tidak sembuh dengan terapi lain
yang lebih sederhana. Prinsipnya adalah eksisi hanya dilakukan pada jaringan yang
benar-benar berlebihan, dan pada anoderm serta kulit yang normal dengan tidak
mengganggu sfingter anus. Selama pembedahan sfingter anus biasanya dilatasi dan
hemoroid diangkat dengan klem atau diligasi dan kemudian dieksisi.

E. DIVERTIKULOSIS
Divertikulosis merupakan suatu keadaan pada kolon yang dicirikan dengan
adanya hernasi mukosa melalui muskularis yang membentuk kantong seperti botol. Bila
satu kantong atau lebih mengalami peradangan, keadaan ini disebut sebagai divertikulitis.
Kolon sigmoid adalah tempat yang paling sering terjadinya divertikulosis
Divertiklosis kolon merupakan penyebab yang umum dari perdarahan saluran cerna
bagian bawah, berperan hingga 40% sampai 55% dari semua kasus perdarahan.
Divertikula kolon merupakan lesi yang diperoleh secara umum dari usus besar pada
perut.

Gambar 3. Diverticulosis pada Kolon

Etiologi dan Patogenesis


Menurut Painter dan Burkitt pada tahun 1960, penyebab terjadinya penyakit divertikel
adalah kurangnya serat dan rendahnya residu dalam makanan yang dikonsumsi sehingga
menyebabkan perubahan milieu interior dalam kolon, pendapat tersebut diperkuat oleh
penelitian-penelitian selanjutnya dimana terbukti bahwa kurangnya serat dalam makanan
merupakan faktor utama terjadinya penyakit divertikel sehingga disebut juga penyakit
defisiensi serat.
Pada mereka yang mengkonsumsi kurang serat akan menyebabkan penurunan massa
feses menjadi kecil-kecil dan keras, waktu transit kolon yang lebih lambat sehingga
menyebabkan absorpsi air lebih banyak dan output menurun menyebabkan tekanan dalam
kolon meningkat untuk mendorong massa feses mengakibatkan segmentasi kolon yang
berlebihan. Pada segmentasi yang meningkat akan terjadi oklusi pada kedua ujung segmen
sehingga tekanan intraluminal meningkat secara berlebihan dan menyebabkan terjadi
herniasi mukosa/submukosa dan terbentuk divertikel.
Divertikel saluran cerna paling sering ditemukan dikolon, khususnya disigmoid.
Divertikel kolon adalah divertikel palsu karena terdiri atas mukosa yang menonjol melalui
lapisan otot seperti hernia kecil. Divertikel ini disebut divertikel pulsi (pukulan) karena
disebabkan oleh tekanan tinggi di usus bagian distal ini. Besarnya berkisar antara beberapa
milimeter sampai dua sentimeter, leher atau pintu dari divertikel biasanya sempit, tetapi
mungkin lebar dan kadang terbentuk fekolit didalamnya. Tekanan intralumen bergantung
pada kepadatan feses yang meningkat bila kekurangan serat.
Divertikula sebenarnya adalah hernisi mukosa usus dari defek kecil dilapisan dinding
usus yang merupakan tempat keluarnya arteri ke appendiks epiplopika, tempat tersebut
terdapat antara taenia mesenterika dan antimesenterika.

Gejala Klinis
Penyakit divertikular atau duvertikulosis, pada umumnya tidak memberikan gejala
klinik pada 70-75% pasien, divertikulosis umumnya ditandai dengan gejala nyeri perut yang
tidak spesifik tanpa adanya bukti proses inflamasi. Gejala Divertikulosis sering dipicu saat
makan, seperti rasa kram atau nyeri pada perut bawah, kembung dan konstipasi yang lebih
sering terjadi dibandingkan diare, nyeri palpasi kuadran kiri bawah disekitar kolon sigmoid.
Gejala-gejala tersebut nonspesifik tersebut tumpang tindih dengan gejala inflamatory bowel
syndrome yang baru dapat ditegakkan sebagai suatu divertikulosis setelah melakukan
pemeriksaan tambahan
Saat ini, tidak ada klasifikasi yang disepakati secara universal mengenai penyakit
divertikular, pasien dengan divertikulosis ditemukan kadang tidak bergejala, gejala yang
berulang dan dapat disertai komplikasi.

Tabel 2. Klasifikasi Divertikulosis

Klasifikasi Deskripsi
Divertikulosis asimptomatic Pasien dengan divertikula dan tidak adanya tanda
atau gejala peradangan
Divertikulosis symptomatic Pasien dengan gejala divertikula tetapi tanpa
uncomplicated gejala peradangan
Divertikulosis symptomatic Pasein dengan gejala divertikula yang berulang
recurrent (lebih dari 1 serangan pertahun) tanpa gejala
peradangan
Divertikulosis complicated Pasien dengan gejala divertikula yang
menunjukkan tanda peradangan disertai
komplikasi (perdarahan, abses, plegmon,
perforasi, purulen, dan peritonisis fecal, striktur,
fistula)

Diagnosis
Untuk mendiagnosis divertikulosis, dilakukan anamnesis yang cermat mengenai
keluhan utama, menanyakan riwayat perubahan pola defekasi, frekuensi dan konsistensi
feses. Gejala dan tanda yang sering ditemukan pada kelainan kolon adalah dispesia,
hematokezia, anemia, benjolan dan obstruksi karena radang dan keganasan.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan nyeri tekan lokal ringan dan sigmioid sering dapat
diraba sebagai struktur padat. Tidak ada demam maupun leukositosis bila tidak ada
radang. Bisa teraba tegang pada kuadran kiri bawah, dapat teraba massa seperti sosis
yang tegang pada sigmoid yang terkena. Pada pemeriksaan fisis dilakukan rectal toucher
untuk mengetahui adanya nyeri tekan, penyumbatan maupun darah.
Pada penyakit divertikel yang asimptomatik, diagnosis biasa ditemukan secara
kebetulan pada pemeriksaan barium enema, endoskopi atau pada pemeriksaan CT Scan
untuk tujuan lain. Pada pemeriksaan x-ray abdomen, pasien divertikulitis akut 30-50%
dapat ditemukan kelainan berupa dilatasi usus kecil/usus besar yang merupakan tanda
ileus, tanda-tanda obstruksi, densitas jaringan lemak mengindikasikan adanya
plegmon/abses.

Gambar 3. Diverticulosis Kolon Sigmoid pada Pemeriksaan Barium Enema

Selama bertahun-tahun pemeriksaan barium enema menjadi pemeriksaan standar


pada pasien dengan gejala penyakit kolon. Pemeriksaan dengan barium dapat
memberikan informasi tentang jumlah dan lokasi dari divertikula kolon, tapi dapat
membedakan gejala klinis yang ada.
Pemeriksaan dengan CT Scan dapat memberikan gambaran yang lebih defenitif
dengan evaluasi keadaan usus dan mesenterium yang lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan USG abdomen, dengan sensitivitas 69-89% dan spesifitas 75-100%. Hasil
pemeriksaan CT dapat ditemukan penebalan dinding kolon, streaky mesenteric fat dan
tanda abses/plegmon.
Pemeriksaan endoskopi (flexibel sigmoidoscope) merupakan pemeriksaan dengan
kontraindikasi relatif berhubung pada pemompaan udara ke dalam kolon akan
meningkatkan tekanan sehingga dapat terjadi perforasi. Pendapat ahli merekomendasikan
semua pasien dengan gejala penyakit divertikular dilakukan pemeriksaan kolonoskopi
kecuali pada pasien neoplastik.

Gambar 4. Diverticulosis Kolon pada Kolonoskopi

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan konservatif penyakit divertikular dilakukan dengan konsumsi makanan
tinggi serat dan sehat, asupan cairan yang baik. Pemberiaan makanan berserat sebagai
suplemen dalam makanan pada pengobatan asimptomatik dan simptomatik penyakit
divertikular, tidak hanya dapat mencegah terjadinya divertikel namun sekaligus dapat
mengurangi dan memperbaiki gejala-gejala serta mencegah timbulnya komplikasi.
 Cereal bran paling bermanfaat dalam menurunkan waktu transit di sepanjang saluran
cerna.
 Mengurangi makanan daging dan lemak
 Memperbanyak makan sayuran dan buah-buahan
 Tambahan serat 30-40 gram/hari atau pemberian laktulosa yang dapat meningkatkan
berat feses (sebagai osmotik laksatif pada simptomatik divertikulosis) 2x15 ml/hari.
 Pemberian antibiotik rifaximin yang kurang diabsorbsi ditambah suplemen serat, dapat
mengurangi gejala divertikulosis yang tidak berkomplikasi.
Kasus ringan tanpa tanda perforasi diobati dengan diet cair atau pemberian cairan
intravena (IV), pelunak feses, tirah baring dan antibiotik spektrum luas. Antibiotik yang
bermanfaat melawan bakteri gram negatif anaerob dapat diberikan pada penderita yang
diduga mengalami perforasi atau abses. Insisi dan drainase abses mungkin diperlukan
setelah fase akut diindikasikan pemberian diet residu tinggi.

Tindakan operasi pada divertikulosis dilakukan baik operasi elektif maupun operasi
darurat berdasarkan keadaan sebagai berikut: a).Perforasi bebas dengan peritonitis
generalisata, b).Obstruksi, c).Abses yang tidak dapat diresolusi melalui piranti perkutan,
d).Fistula, e).Pengobatan konservatif tidak berhasil dan keadaan pasien yang makin
memburuk.
Pembedahan hanya diperlukan pada penyakit yang berat, luas atau pada komplikasi.
Pembedahan yang diperlukan adalah reseksi kolon yang sakit disertai anastomosis untuk
memulihkan kontuinitas.
Pasien yang memerlukan operasi segera adalah yang menunjukkan tanda-tanda
peritonitis atau obstruksi total, dilakukan dengan cara reseksi segmen usus yang sakit,
biasanya kolon sigmoid, dan pengangkatan kolon (kolostomi) tepat disebelah proksimal
titik reseksi. Rektum biasanya ditutup dengan stapler.
Pembedahan elektif kolon sebelah kiri tanpa peritonitis: reseksi segmen yang terlibat
dan sambungkan ujung-ujungnya (anastomosis primer), pembedahan darurat kolon sebelah
kiri dengan peritonitis difus: reseksi segmen yang terlibat, tutup usus distal (yaitu: rektum
bagian atas) dan keluarkan usus proksimal sebagai ujung kolostomi (prosedur hartmann).
Pada pembedahan darurat pada kasus divertikulosis dengan komplikasi seperti abses yag
luas, peritonitis, obstruksi total dan perdarahan hebat. Pada kasus ini dilakukan pembedahan
2 kali dimana pada operasi pertama dilakukan pembersihan cavum peritonium, reseksi
segmen kolon yang terkena, dan dilakukan kolostomi temporer kemudan beberapa bulan
dilakukan operasi kedua dan pada operasi ini dilakukan penyambungan kembali kolon (re-
anastomosis).
Pembedahan darurat kolon sebelah kiri dengan peritonitis minimal atau tapa peritontis,
reseksi segmen yang terlibat dan sambungkan ujung-ujungnya (anastomosis primer).
Pada kasus divertikulosis raksasa, dilakukan reseksi divertikula yang dilanjutkan dnegan
reseksi segmen kolon yang terlibat. Pada beberapa kasus dapat dilakukan reseksi divertikula
atau diverticulectomy. Namun tindakan ini tidak dianjurkan karena jika terdapat suatu
massa pada kolon, akan memicu suatu reaksi inflamasi dan pengangkatan seluruhnya dari
sumber inflamasi yang akan menyebabkan komplikasi adalah hal yang terpenting.

Gambar 8. Prosedur operasi 2 tahap dengan Hartmann Prosedur, Reseksi usus dan colostomy dan
reanastomosis

Gambar 9. Prosedur operasi 3 tahap pada divertikulitis


Prognosis
Penyakit divertikular merupakan keadan yang jinak, tetapi memiliki mortalitas dan
morbiditas yang signifikan apabila terjadi komplikasi. Sebagai dokter, komplikasi awal
berupa divertikulitis dapat dideteksi lebih dini dan dapat dilakukan pencegahan dan
pengobatan untuk mencegah komplikasi yang lebih berat. Perforasi dan peritonitis dapat
menyebabkan angka kematian meningkat dan memerlukan tindakan bedah segera.

Anda mungkin juga menyukai

  • Efusi Pleura Referat
    Efusi Pleura Referat
    Dokumen25 halaman
    Efusi Pleura Referat
    Wendy Ardiansyah
    100% (10)
  • Efusi Pleura Referat
    Efusi Pleura Referat
    Dokumen25 halaman
    Efusi Pleura Referat
    Wendy Ardiansyah
    100% (10)
  • Case Digestive
    Case Digestive
    Dokumen67 halaman
    Case Digestive
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Itha Holl
    Itha Holl
    Dokumen36 halaman
    Itha Holl
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Cae IPD 'Grave Disease'
    Cae IPD 'Grave Disease'
    Dokumen40 halaman
    Cae IPD 'Grave Disease'
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Katarak Sekunder Fix
    Katarak Sekunder Fix
    Dokumen36 halaman
    Katarak Sekunder Fix
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Glaukoma Absolute
    Glaukoma Absolute
    Dokumen19 halaman
    Glaukoma Absolute
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan Katarak PKM Camplong
    Penyuluhan Katarak PKM Camplong
    Dokumen2 halaman
    Penyuluhan Katarak PKM Camplong
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Katarak Sekunder (PCO) FIX
    Katarak Sekunder (PCO) FIX
    Dokumen25 halaman
    Katarak Sekunder (PCO) FIX
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Leaflet Osteoporosis
    Leaflet Osteoporosis
    Dokumen2 halaman
    Leaflet Osteoporosis
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Glaukoma Absolute
    Glaukoma Absolute
    Dokumen11 halaman
    Glaukoma Absolute
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Case Paru TB Paru Baru
    Case Paru TB Paru Baru
    Dokumen39 halaman
    Case Paru TB Paru Baru
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Glaukoma Absolute
    Glaukoma Absolute
    Dokumen8 halaman
    Glaukoma Absolute
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Osteoporosis
    Osteoporosis
    Dokumen10 halaman
    Osteoporosis
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Glaukoma Sudut Tertutup
    Glaukoma Sudut Tertutup
    Dokumen15 halaman
    Glaukoma Sudut Tertutup
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Osteoporosis
    Osteoporosis
    Dokumen10 halaman
    Osteoporosis
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Mata DR Vanesa
    Mata DR Vanesa
    Dokumen12 halaman
    Mata DR Vanesa
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Case Keratitis Mata
    Case Keratitis Mata
    Dokumen7 halaman
    Case Keratitis Mata
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Glaukoma Absolute
    Glaukoma Absolute
    Dokumen11 halaman
    Glaukoma Absolute
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Katarak
    Katarak
    Dokumen25 halaman
    Katarak
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Leaflet Osteoporosis
    Leaflet Osteoporosis
    Dokumen2 halaman
    Leaflet Osteoporosis
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Glaukoma Absolute
    Glaukoma Absolute
    Dokumen11 halaman
    Glaukoma Absolute
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Otot Mata
    Otot Mata
    Dokumen1 halaman
    Otot Mata
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Katarak Sekunder Fix
    Katarak Sekunder Fix
    Dokumen36 halaman
    Katarak Sekunder Fix
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Vaksinasi Hepatitis B
    Vaksinasi Hepatitis B
    Dokumen2 halaman
    Vaksinasi Hepatitis B
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Pnemonia Komuniti Pdpi
    Pnemonia Komuniti Pdpi
    Dokumen25 halaman
    Pnemonia Komuniti Pdpi
    Ratna Pusvita Effendy's
    100% (1)
  • Katarak
    Katarak
    Dokumen25 halaman
    Katarak
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Katarak
    Katarak
    Dokumen25 halaman
    Katarak
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat
  • Klinefelter 02
    Klinefelter 02
    Dokumen12 halaman
    Klinefelter 02
    ItHa Sagiitariius BLue Loverz
    Belum ada peringkat