Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ginjal adalah sepasang organ pada setiap sisi dari tulang belakang (spine) didalam
perut bagian bawah. Setiap ginjal adalah kira-kira seukuran kepalan tangan. Melekat pada
puncak dari setiap ginjal adalah suatu kelenjar adrenal. Suatu massa dari jaringan yang
berlemak dan suatu lapisan luar dari jaringan yang berserat (Gerota's fascia)
menyelubungi ginjal-ginjal dan kelenjar-kelenjar adrenal.
Trauma kandung kemih merupakan penyebab terbanyak pada kecelakaan lalu lintas
atau kecelakaan kerja yang menyebabakan fragmen patah tulang pelvis mencederai buli-
buli. Ruptur kandung kemih dapat bersifat intraperitoneal atau ekstraperitoneal. Ruptur
kandung kemih ekstraperitoneal biasanya akibat tertusuk fragmen fraktur tulang pelvis
pada dinding depan kandung kemih yang penuh (Smeltzer & Bare, 2001).
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan trauma pada ginjal ?
2. Apa saja manifestasi klinis pada trauma ginjal dan kandung kemih ?
3. Bagaimana asuhan keperawatan pada trauma ginjal dan kandung kemih?
C. Tujuan
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah KMB 2
2. Untuk mengetahui tentang askep pada trauma ginjal
3. Untuk mengetahui tentang Askep pada trauma kandung kemih
D. Manfaat
1. Bagi pembaca untuk menambah wawasan tentang askep trauma ginjal dan trauma
kandung kemih
2. Bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan memenuhi salah satu tugas yang
diberikan oleh dosen.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Trauma Ginjal
1. Pengertian
1
Trauma ginjal adalah terjadinya cedera pada panggul, punggung, dan abdomen
atas yang dapat menyebabkan memar, laserasi, atau ruptur aktual pada ginjal. (Brunerr &
Suddarth.2002).
2. Etiologi
Ada 3 penyebab utama dari trauma ginjal , yaitu :
a. Trauma tajam
b. Trauma iatrogenic
c. Trauma tumpul
Trauma tajam seperti tembakan dan tikaman pada abdomen bagian atas atau
pinggang merupakan 10 – 20 % penyebab trauma pada ginjal di Indonesia.
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau
radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography,
percutaneous nephrostomy, dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin
meningkatnya popularitas dari teknik teknik di atas, insidens trauma iatrogenik
semakin meningkat , tetapi kemudian menurun setelah diperkenalkan ESWL.
Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal .
Trauma tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung.
Trauma langsung biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga,
kerja atau perkelahian. Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga
mengenai organ organ lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian
yang menyebabkan pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga
peritoneum. Kejadian ini dapat menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan
tunika intima arteri renalis yang menimbulkan trombosis.

3. Klasifikasi
American Association for Surgery of Trauma membagi trauma ginjal atas 5 gradasi :
a. Grade 1 :
- Kontusio renis
- Terdapat perdarahan di ginjal tanpa kerusakan jaringan, kematian jaringan maupun
kerusakan kaliks
- Hematuria dapat mikroskopik/ makroskopik
- Pemeriksaan CT-scan normal
b. Grade 2
Hematom subkapsular atau perirenal yang tidak meluas, tanpa adanya kelainan
parenkim.
c. Grade 3
2
- Laserasi ginjal tidak melebihi 1 cm
- Tidak mengenai pelviokaliks
- Tidak terjadi ekstravasasi.
d. Grade 4 :
- Laserasi lebih dari 1 cm dan tidak mengenai pelviokaliks atau ekstravasasi urin
- Laserasi yang mengenai korteks, medulla, dan pelviokaliks.
e. Grade 5 :
- Cedera pembuluh darah utama
- Avulsi pembuluh darah, gangguan perdarahan ginjal
- Laserasi luas pada beberapa tempat

f. Mekanisme dan keparahan cedera. Trauma renal digolongkan berdasarkan


mekanisme cedera (tumpul versus penetrasi), lokasi anatomis, atau keparahan cedera.
- Trauma renal minor, mencakup kontusi, hematom, dan beberapa laserasi di
korteks ginjal
- Cedera renal Mayor mencakup laserasi mayor disertai ruftur kapsul ginjal
- Trauma renal Kritikal, meliputi laserasi multipel yang parah pada ginjal disertai
cedera pada suplai vaskuler
4. Patofisiologi
Secara anatomis ginjal dilindungi oleh susunan tulang iga, otot punggung
posterior, lapisan dinding abdomen, serta visera anterior. Oleh Karena itu, cidera
ginjal tidak jarang diikuti oleh cidera organ – organ yang mengitarinya.
Adanya cidera traumatic, menyebabkan ginjal dapat tertusuk oleh iga paling
bawah shingga terjadi kontusi dan ruptur. Fraktur iga atau fraktur prosesus
transverses lumbar vertebra atas dapat dihubungkan dengan kontusi renal atau
laserasi. Cidera dapat tumpul (kecelakaan lalu lintas, jatuh, cidera atletik, akibat
pukulan) atau penetrasi (luka tembak, luka tikam)
Ketidakdisiplinan dalam menggunakan sabuk pengaman akan memberikan
reaksi goncangan ginjal didalam rongga retroperitoneum dan menyebabkan
regangan pedikel ginjal sehingga menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis.
Robekan ini akan memeacu terbentuknya bekuan-bekuan darah yang selanjutnya
dapat menimbulkan thrombosis arteri renalis beserta cabang – cabangnya. Kondisi
adanya penyakit pada ginjal seperti hidronefrosis, kista ginjal, atau tumor ginjal akan
memperberat suatu trauma pada kerusakan struktur ginjal.
3
Cidera ginjal akan menyebabkan menifestasi kontusi, laserasi, rupture dan
cidera pedikel renal, atau laserasi internal kecil pada ginjal. Secara fisiologis, ginjal
menerima setengah dari aliran darah aorta abdominal, oleh karena itu meskipun
hanya terdapat laserasi renal yang kecil, namun hal ini dapat menyebabkan
perdarahan yang banyak. Cidera ginjal akan memberikan berbagai manifestasi
masalah keperawatan.

5. Manifestasi Klinik
a. Nyeri
b. Hematuria
c. Mual dan muntah
d. Distensi abdomen
e. Syok hipovolemik
f. Nyeri pada bagian punggung
g. Hematoma di daerah pinggang yang semakin hari semakin besar
h. Massa di rongga panggul
i. Ekimosis
j. Laserasi atau luka pada abdomen lateral dan rongga panggul

6. Komplikasi
Komplikasi dini terjadi dalam bulan pertama setelah injuri, dan dapat terjadi
perdarahan, infeksi, perinefrik abses, sepsis, fistula urinaria, hipertensi, extravasi
urinaria, dan urinoma. Adapun komplikasi yang tertunda, yaitu perdarahan,
hidronefrosis, pembentukan calculi, pyelonefritis kronik, hipertensi, arterivenous
fistula, pseudoaneurisma.
Perdarahan retroperitoneal yang tertunda, biasanya terjadi pada beberapa
minggu dari terjadinya injuri dan dapat mengancam jiwa. Embolisasi angiografik
yang selektif adalah pengobatan pilihan.
Pembentukan abses Perinephric biasanya dapat diatasi dengan drainase
perkutan. Manajemen perkutan memberikan risiko yang minimal pada
kerusakan ginjal dibandingkan re-operasi, yang dapat menyebabkan nephrectomy
ketika jaringan yang terinfeksi sulit untuk beregenerasi.
4
Hipertensi dapat terjadi secara akut sebagai akibat dari kompresi eksternal,
karena hematoma perirenal dan membuat jaringan ginjal iskemik.

7. Penatalaksanaan
a. Hematuria merupakan manifestasi yang paling umum, hematuria mungkin
tidak muncul atau terdeteksi hanya melalui pemeriksaan mikroskopik.
Sehingga urin yang dikumpulkan dan dikirimkan ke laboratorium untuk
dianalisis guna mendeteksi adanya sel darah merah dan untuk mengikuti
perjalan pendarahan. Kadar hematokrit dan hemoglobin dipantau dengan ketat
untuk melihat adanya hemoragi.
b. Pantau adanya oliguria dan tanda syok hemoragik, karena cedera pedikel atau
ginjal yang hancur dapat menyebabkan eksanguinasi (kehilangan banyak darah
yang mematikan).
c. Hematoma yang yang meluas dapat menyebabkan ruptur kapsul ginjal. Untuk
mendeteksi adanya hematoma, area disekitar iga paling bawah, lumbar vertebra
atas dan panggul, dan abdomen dipalpasi terasa nyeri tekan.
d. Terabanya massa disertai nyeri tekan,bengkak dan ekimosis pada panggul atau
abdominal menunjukkan adanya hemoragi renal.
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Intravenous Urography (IVU)
Pada trauma ginjal, semua trauma tembus atau trauma tumpul dengan
hemodinamik tidak stabil yang membutuhkan eksplorasi segera harus
dilakukan single shot high dose intravenous urography (IVU) sebelum
eksplorasi ginjal. Single shot IVU ini bersisi 2 ml/kgBB kontras standar 60%
ionic atau non ionic yang disuntikkan intra vena, diikuti satu pengambilan
gambar abdomen 10 menit kemudian. Untuk hasil yang baik sistol
dipertahankan diatas 90 mmHg. Untuk menghemat waktu kontras dapat
disuntikkan pada saat resusitasi awal. Keterbatasan pemeriksaan IVU adalah
tak bisa mengetahui luasnya trauma. Dengan IVU bisa dilihat fungsi kedua
ginjal, serta luasnya ekstravasasi urin dan pada trauma tembus bisa mengetahui
arah perjalanan peluru pada ginjal. IVU sangat akurat dalam mengetahui ada
tidaknya trauma ginjal. Namun untuk staging trauma parenkim, IVU tidak
spesifik dan tidak sensitive. Pada pasien dengan hemodinamik stabil, apabila

5
gambaran IVU abnormal dibutuhkan pemeriksaa lanjutan dengan Computed
Tomography (CT) scan. Bagi pasien hemodinamik tak stabil, dengan adanya
IVU abnormal memerlukan tindakan eksplorasi.
b. CT Scan
Staging trauma ginjal paling akurat dilakukan dengan sarana CT scan.
Teknik noninvasiv ini secara jelas memperlihatkan laserasi parenkim dan
ekstravasasi urin, mengetahui infark parenkim segmental, mengetahui ukuran
dan lokasi hematom retroperitoneal, identifikasi jaringan nonviable serta
cedera terhadap organ sekitar seperti lien, hepar, pankreas dan kolon (Geehan ,
2003). CT scan telah menggantikan pemakaian IVU dan arteriogram.Pada
kondisi akut, IVU menggantikan arteriografi karena secara akurat dapat
memperlihatkan cedera arteri baik arteri utama atau segmental. Saat ini telah
diperkenalkan suatu helical CT scanner yang mampu melakukan imaging
dalam waktu 10 menit pada trauma abdomen (Brandes , 2003).
c. Arteriografi
Bila pada pemeriksaan sebelumnya tidak semuanya dikerjakan, maka
arteriografi bisa memperlihatkan cedera parenkim dan arteri utama. Trombosis
arteri dan avulsi pedikel ginjal terbaik didiagnosis dengan arteriografi terutama
pada ginjal yang nonvisualized dengan IVU. Penyebab utama ginjal
nonvisualized pada IVU adalah avulsi total pedikel, trombosis arteri, kontusio
parenkim berat yang menyebabkan spasme vaskuler. Penyebab lain adalah
memang tidak adanya ginjal baik karena kongenital atau operasi sebelumnya.
(Mc Aninch , 2000)
d. Ultra Sonography (USG)
Pemeriksa yang terlatih dan berpengalaman dapat mengidentifikasi adanya
laserasi ginjal maupun hematom. Keterbatasan USG adalah ketidakmampuan
untuk membedakan darah segar dengan ekstravasasi urin, serta
ketidakmampuan mengidentifikasi cedera pedikel dan infark segmental. Hanya
dengan Doppler berwarna maka cedera vaskuler dapat didiagnosis. Adanya
fraktur iga , balutan, ileus intestinal, luka terbuka serta obesitas membatasi
visualisasi ginjal.(Brandes, 2003).

B. Trauma Kandung Kemih


1. Pengertian
6
Trauma kandung kemih adalah cidera yang terjadi pada kandung kemih yang
diakibatkan oleh kecelakaan atau trauma iatrogenik (Salam, 2013).
Trauma kandung kemih adalah trauma yang terjadi pada kandung kemih (vesica
urinaria) yang diakibatkan patahnya tulang panggul dan beberapa hantaman keras ke
arah abdomen bagian bawah ketika kandung kemih terisi penuh (Smeltzer & Bare,
2001).

2. Etiologi

Penyebab utama cedera kandung kemih adalah trauma penetrasi (tajam) dan
trauma tumpul. Penyebab iatrogenik termasuk pasca intervensi bedah dari
ginekologi, urologi, dan operasi ortopedi didekat kandung kemih. Penyebab lain
melibatkan trauma obstetri pada saat melahirkan (Mutaqqin & Sari, 2011).

Trauma kandung kemih terutama terjadi akibat trauma tumpul pada panggul,
tetapi bisa juga karena trauma tembus seperti luka tembak dan luka tusuk oleh
senjata tajam. Pecahan – pecahan tulang yang berasal dari fraktura dapat menusuk
kandung kemi. Tetapi ruptura kandung kemih yang khas ialah akibat trauma tumpul
panggul atas kandung kemih yang terisi penuh. Tenaga mendadak atas masa urin
yang terbendung di dalam kandung kemih menyebabkan rupture. Perforasi iatrogen
pada kanndung kemih tterdapat pada reseksitransurtral, sistoskopi atau karena
manipulasi dengan peralatan pada kandung kemih ( Scholtmeijer & Schroder, 1996 ).
3. Klasifikasi
Menurut Purnomo, 2007 Secara klinis cedera buli-buli dibedakan menjadi kontusio
buli-buli, cedera buli-buli ekstra peritoneal, dan cedera intra peritoneal. Pada
kontusio buli-buli hanya terdapat memar pada dindingnya, mungkin didapatkan
hematoma perivesikal, tetapi tidak didapatkan ekstravasasi urine ke luar buli-buli.
a. Ruptur intraperitoneal
Peritoneum pariental, simfisis, promantorium, cedera dinding perut yang
mengakibatkan rupture intraperitoneal kandung kemih yang penuh, tidak terdapat
perdarahan retroperitoneal kandung kemih yang penuh, tidak terdapat perdarahan
retroperitoneal kecuali bila disebabkan patah tulang pinggul.
b. Ruptur retroperitoneal

7
Peritoneum parietal, simfisis, promantorium, cedera panggul yang menyebabkan
patah tulang sehingga terjadi rupture buli-buli retro atau intraperitoneal. Darah
dan urin dijaringan lunak diluar rongga perut, perut terbebas darah dan urin
(Sjamsuhidayat, 1998).

4. Manifestasi klinis

Gejala rupturakan kandung kemih terutama berupa hematuria makroskopik, dan


nyeri selanjutnya ditambah gejala dan tanda trauma tulan panggul. Pada pemeriksaan
fisik terdapat hematom subkutis, kadang – kadang luka goresan. Perkusi sering
menunjukkan nada redup yang luas pada badan bagian bawah sebagai akibat
hematoma atau adanya ekstavasasi urina.biasanya bagian kandung kemih yang robek
terletak eksperitoneal.

Kadang –kadang kandung kemih robek kearah peritoneum. Akibatnya dapat


terjadi rangsangan peritoneum, serta ditemukan darah dan urin intraperitoneal.
Pemeriksaan per rektal biasanya tidak menunjukkan kelaina ( Scholtmeijer &
Schroder, 1996 ).

Trauma kandung kemih terjadi dari fraktur pelvis dan trauma multipel ataupun
dari dorongan abdomen bawah ketika kandung kemih penuh. Gejala dari trauma
kandung kemih adalah kontusio (memar berwarna pucat yang besar atau ekimosis
akibat masuknya darah ke jaringan), ruptur kandung kemih secara ekstraperitoneal,
intraperitoneal, atau kombinasi keduanya. Pasien dengan ruptur kandung kemih
mungkin akan mengalami perdarahan hebat untuk beberapa hari setelah perbaikan
(Suharyanto, 2009).

8
5. Patofisiologi

Cedera kandung kemih tidak lengkap atau sebagian akan menyebabkan robekan
mukosa kandung kemih. Segmen dari dinding kandung kemih jernih mengalami
memar, mengakibatkan cedera lokal dan hematoma. Memas atau kontusio
memberikan manifestasi klinik hematuria setelah trauma tumpul atau setelah
melakukan aktivitas fisik yang ekstrem contohnya lari jarak jauh).

Ruptur ekstraperitoneal kandung kemih. Tuptue ekstraperitonel biasanya


berhubungan dengan faktor panggul (89%-100%). Sebelumnya, mekanisme cedera
diyakini dari perforasi langsung oleh fragmen tulang panggul. Tingkat cedera
kandung kemih secara langsung berkaitan dengan tingkat keparahan fraktur.

Beberapa kasus mungkin dengan mekanisme yang mirip dengan pecahnya


kandung kemih intraperitoneal, yang merupakan kombinasi dari trauma dan
overdistention kandung kemih. Temuan cystographic klasik adalah ekstravasasi
kontrol sekitar kandung kemih.dengan cedera yang lebih kompleks, bahan kontras
melaluas ke paha, penis, perineum, atau kedalam dinding anterior abdomen.
Ekstravasasi akan mencapai skrotum ketika fasia superior diagfragma urogenital
sendiri menjadi terganggu.

Kombinasi ruptur intraperitoneal dan ekstraperitoneal. Mekanisme cedera


penerasi memungkinkan cedera menembus kandung kemih seperti peluru kecepatan
tinggi melintasi kandung kemih atau luka tusuk abdominal bawah. Hal tersebut akan
menyebabkan intraperitoneal, ekstraperitoneal, cedera, atau gabungan kandung
kemih (Muttaqin & Sari, 2011).

9
6. Komplikasi

a. Syok

Terjadi karena penurunan tekanan darah dan terjadinya perdarahan. Pada


penderita syok sepsis 40-60% terdapat bakteremia. Hubungan antara bakteremia dan
sepsis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain imunitas dan kondisi penyakit.
Secara umum bakteri aerobik gram negatif sering dihubungkan dengan keadaan
sepsis. Akhir-akhir ini bakteri gram positif juga banyak ditemukan sebagai pemicu
sepsis. Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai
dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi SIRS (Systemic Inflamatory
Respon Syndrome) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir MODS.
Syok terjadi pada 40% pasien sepsis ( Prayogo, 2011)

b. Sepsis

Komplikasi pada luka traumatik biasanya disebabkan oleh oranisme aerob


endogen, terutama P. Aeruginosa, S. Aureus, E.coli, Proteus spp, acino bacter dan
lain – lain (Putranto, 2014). Ketika luka akibat trrauma tidak dirawat dengan baik
maka bakteri masuk kedalam saluran kemih maka terjadilah infeksi saluran kemih.

Respon imunologi pada trauma berat dimulai saat awal kejadian dengan dimulai
aktifitas monosit. Aktifitas ini menyebabkan peningkatan sintesa dan pelepasan
mediatormediator inflamasi baik itu yang bersifat pro inflamasi maupun anti
inflamasi. Kelebihan respon pada trauma menginduksi SIRS dan MOF yang terjadi
30% pada semua trauma berat (Suharyanto, 2009).

7. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang berguna untuk konfirmasi diagnosis dan menyingkirkan


diagnosis banding. Berikut adalah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
pada trauma kandung kemih :

a. Uroflowmetri
10
Uroflowmetri adalah alat untuk mengetahui pancaran urin secara obyektif.
Derasnya pancaran diukur dengan membagi volume urin saat berkemih, dibagi
dengan lama proses berkemih. Kecepatan pancaran normal adalah 20 ml/detik. Jika
kecepatan pancaran <10 ml/detik menandakan adanya obstruksi.
b. Uretrigram Retrograde
Dilakukan uretrigram retrograde untuk mengevaluasi cedera uretral. Klien
dilakukan kateterisasi setelah uretrogram untuk meminimalkan risiko gangguan
uretral dan komplikasi jangka panjang yang luas, seperti striktur, inkontinensia (tidak
dapat menahan berkemih) dan impoten.
c. USG (Ultrasonografi)
USG cukup berguna dalam mengevaluasi striktur pada pars bulbosa. Dengan alat
ini kita juga bisa mengevaluasi panjang striktur dan derajat luas jaringan parut,
contohnya spongiofibrosis. Ini membantu kita memilih jenis tindakan operasi yang
akan dilakukan kepada pasien. Kita dapat mengetahui jumlah residual urin dan
panjang striktur secara nyata, sehingga meningkatkan keakuratan saat operasi
d. MRI (Magneting Resonance Imaging)
MRI sebaiknya dilakukan sebelum operasi karena dapat mengukur secara pasti
panjang striktur, derajat fibrosis, dan pembesaran prostat. Namun, alat ini belum
tersedia secara luas dan biayanya sangat mahal sehingga jarang digunakan
(Suharyanto, 2009).

11
8. Penatalaksanaan

Sistografi yaitu dengan memasukkan kontras ke dalam buli-buli sebanyak 300-


400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram. Kemudian
dibuat beberapa foto, yaitu (1) foto pada saat buli-buli terisi kontras dalam posisi
anterior-posterior (AP), (2) pada posisi oblik, dan (3) wash out film yaitu foto setelah
kontras dikeluarkan dari buli-buli.

Jika didapatkan robekan pada buli-buli, terlihat ekstravasasi kontras di dalam


rongga perivesikal yang merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika
terdapat kontras yang berada di sela-sela usus berarti ada robekan buli-buli
intraperitoneal. Pada perforasi yang kecil seringkali tidak tampak adanya
ekstravasasi (negatif palsu) terutama jika kontras yang dimasukkan kurang dari 250
ml (Purnomo, 2007).

12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Askep trauma pada ginjal


1. Anamnesis
- Kaji mekanisme cedera yang mengenai ginjal
- Kaji keluhan nyeri secara PQRST
- Kaji ada riwayat penyakit ginjal pada masa sebelumnya yang dapat
memperburuk reaksi cedera.
- Kaji apakah ada riwayat penyakit lain seperti DM dan hipertensi
- Kaji pemakaian obat-obatan sebelumnya dan sesudah kemana saja klien
meminta pertolongan untuk mengatasi masalahnya
- Kaji pengaruh cedera terhadap respons psikologis klien
2. pengkajian
a. Pengkajian primer
1) Airway
- Kaji penyebab terjadinya obstruksi atau gangguan jalan nafas seperti tersedak
adanya benda asing
- Non obstruksi, kaji penyebab adanya trauma medula spinalis
2) Breathing
- Kaji penyebab adanya penurunan kesadaran
- Kaji penyebab adanya fraktur iga
- Kaji penyebab adanya cyanosis sentral sekitar mulut

3) Circulation
- Kaji penyebab adanya gangguan berhubungan dengan darah dan pembuluh darah
- Kaji penyebab adanya perdarahan
- Kaji penyebab nadi tidak teratur
- Kaji penyebab CRT lebih dari 2 detik
- Kaji penyebab cyanosis perifer
- Kaji penyebab pucat
4) Neurologi
- Nilai GCS (E : M: V: )
13
- Kesadaran kuantitatif
5) Diasability
- Pupil isokor , anisokor
- Refleks cahaya
- Besar pupil
6) Folley catheter
- Pemasangan kateter
- Urine yang dikeluarkan
- Warna urine
3. Pemeriksaan fisik khusus
a. Inspeksi :
Pemeriksaan secara umum,klien terlihat sangat kesakitan oleh adanya nyeri.pada
status lokasi biasanya didapatkan adanya jejas pada pnggang atau punggung
bawah,terlihat tanda ekimosis dan laserasi atau luka di abdomen lateral dan rongga
panggul.pemeriksaan urine output didapatkan adanya hematuria.pada trauma rupture
perikel,klien sering kali dating dalam keadaan syok berat dan terdapat hematoma di
daerah pinggang yang makin lama makin besar
b. Palpasi :
Didapatkan adanya massa pada rongga panggul,nyeri tekan pada region
kostovertebra.

Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
Trauma tajam Nyeri akut

Kerusakan jaringan kulit

Merangsang free nerve ending

Nyeri akut
Laju filtral glomerulus Gangguan eliminasi
urine
Produksi urine

Gangguan eliminasi urine


Trauma tajam Resiko infeksi

14
Kerusakan jaringn kulit

Luka terbuka

Resiko invasi bakteri patogen

Resiko infeksi

4. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b/d trauma
b. Gangguan eliminasi urine b/d produksi urine menurun
c. Resiko tinggi infeksi b/d adanya luka terbuka

5. Intervensi Keperawatan
a. nyeri b/d trauma
Tujuan : Nyeri dapat terkontrol
Intervensi :
1) Kaji intensitas nyeri, perhatikan lokasi dan karakteristik
Rasional : hasil pengkajian membantu evaluasi derajat ketidak nyamanan
dan ketidak efektifan analgesik atau menyatakan adanya komplikasi.
2) Bedrest dan atur posisi yang nyaman bagi pasien
Rasional : posisi yang nyaman dapat membantu meminimalkan nyeri.
3) Anjurkan pasien untuk menghindari posisi yang menekan lumbal, daerah
trauma.
Rasional : nyeri akut tercetus panda area ginjal oleh penekanan.
4) Lakukan kompres dingin area ekimosis bila tanpa kontra indikasi
Rasional : kompres dingin mengkontriksi vaskuler.
5) Berikan analgesik sesuai dengan resep
Rasional : analgesic dapat menghilangnkan nyeri dan ketidaknyamanan.

b. Gangguan eliminasi urine b/d produksi urine menurun


Tujuan : Eliminasi urine cukup atau kembali normal
Intervensi :
1) Monitor asupan dan keluaran urine
Rasional : hasil monitoring memberikan informasi tentang fungsi ginjal
dan adanya komplikasi. Contohnya infeksi dan perdarahan.
Monitor paralisis ileus (bising usus)
Rasional : Gangguan dalam kembalinya bising usus dapat
mengindikasikan adanya komplikasi, contoh peritonitis, obstruksi mekanik.
15
2) Amankan inspeksi, dan bandingkan setiap specimen urine.
Rasional : berguna untuk mengetahui aliran urine dan hematuria.
3) Lakukan kateterisasi bila diindikasikan.
Rasional : kateterisasi meminimalkan kegiatan berkemih pasien yang
kesulitan berkemih manual.

c. Resiko tinggi infeksi b/d adanya luka terbuka


Tujuan : dalam 12x24 jam tidak terjadi infeksi,terjadi perbaikan pada integritas
jaringan lunak
Intervensi :
1) Kaji jenis pembedahan ,hari pembedahan dan apakah adanya order khusus dari
tim dokter bedh dalam melakukan perawatan luka
Rasional : mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari tujuan yang
diharapkan.
2) Lakukan mobilisasi miring kiri-kanan tiap 2 jam
Rasional : mencegah penekanan setempat yang berlanjut pada nekrosis
jaringan lunak.
3) Bersihkan luka denga cairan antiseptic sejenis iodine providum dengan cara
swabbing dari arah dalam ke luar.
Rasional : pembersihan debris dan kuman sekitar luka dengan
mengoptimalkan kelebihan dari iodine providum sebagai antiseptic dan
dengan arah dari dalam keluar dapat mencegah kotaminasi kuman ke jaringan
luka.
4) Bersihkan bekas sisa iodine providum dengan alcohol 70% atau normal salin
dengan cara swabbing dari arah dalam ke luar.
Rasional : antiseptic iodine providum mempunyai kelemahan dalam
menurunkan proses epitelisasi jaringan sehingga memperlambat pertumbuhan
luka,maka harus dibersihkan dengan alcohol atau normal saline.

5) Tutuplah luka dengan kasa steril dan tutup dengan plester adhesive yang
menyeluruh menutupi kasa.
Rasional : penutupan secara menyembuh dapat menghindari kontaminasi dari
benda atau udara yang bersentuhan dengan luka bedah.

B. Askep Trauma Pada Kandung Kemih


1. Pengkajian
a. Data demografi
Dapat meliputi nama, umur, agama, jenis kelamin, status pekerjaan, status
perkawinan, pendidikan.
16
b. Keluhan Utama
Sering didapatkan adanya tanda dan gejala sepsis peritonitis akibat massuknya
urine kedalam peritoneum.
Tanda-tanda klinis cedera kendung kemih relatife spesifik, trias gejala (gross
hematuria, nyeri suprapubik, kesulitan atau ketidak mampuan untuk miksi).
c. Riwayat Kesehatan keluarga
d. Riwayat kesehatan sekarang
1) Hematuria,perubahan warna atau volume urine.
2) Adanya rasa nyeri: lokasi, kateter, durasi, dan faktor yang memicu.
3) Syok hipovolemik
e. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum (GCS)
Ciri tubuh : Kulit, rambut, postur tubuh.
Tanda vital : Nadi, suhu tubuh, tekanan darah dan pernafasan.
2) Head to toe
a) Kepala
Inspeksi : kesimetrisan kepala, trauma kepala.
Palpasi : Nyeri tekan di kepala.
b) Wajah
Inspeksi : Kesimetrisan bentuk wajah, edema, ketegangan, ketegangan.
Palpasi : Nyeri tekan di wajah.
c) Mata
Inspeksi : kelopak mata edema, konjungtiva, sklera.
Palpasi : Nyeri tekan pada bola mata Hidung
d) Telinga
Inspeksi : Bentuk telinga, serumen pada telinga, sekret.
Palpasi : Nyeri tekan pada telinga.
e) Mulut
Inspeksi : sianosis.
f) Leher
Inspeksi : Bentuk leher, kesimetrisan, pembesaran kelenjar tiroid
Palpasi : Nyeri tekan pada leher.
g) Dada
Inspeksi : Bentuk dada, pengembangan dada, frekuensi pernafasan.
Palpasi : Pengembangan paru pada inspirasi dan ekspirasi.
Perkusi : Ada/tidak penumpukan sekret, batas jantung dan paru.
Auskultasi : Bunyi paru tambahan.
h) Adomen
Inspeksi : Distensi, iritasi peritoneal, warna kulit abdomen, penonjolan kandung
kemih pada supra pubik,
Auskultasi : Penurunan bising usus.
Palpasi : nyeri supra simfisis, nyeri supra simfisis.
Perkusi : Ada/tidak ada distensi kandung kemih dan saluran cerna.
i) Genitalia

17
Inspeksi : hematoma perivesik, pembengakan, gross hematuria, anuria, sepsis
peritonitis.
Palpasi : posisi prostat yang melayang atau tidak, adanya ruptur pada uretra,
nyeri suprapubik, kandung kemih terasa penuh
j) Ekstremitas
 Atas :
Inspeksi : Warna kulit, pembengkakan,
Palpasi : Nyeri tekan, kekuatan otot, capilary refil.
 Bawah :
Inspeksi : Warna kulit, bentuk kaki, pembengkakan
Palpasi : Nyeri tekan, kekuatan otot.
f. Pemeriksaan Neurologis
Status mental dan emosi : Kesadaran, perilaku, mood, ekspresi wajah, bahasa, daya
ingat jangka panjang, daya ingat jangka pendek, persepsi, orientasi terhadap orang,
tempat, waktu, emosi (Muttaqin & Sari, 2011).

g. Analisa Data
Data Pendukung Etiologi Masalah

DO : klien terlihat lemas dan


Trauma kandung kemih
terdapat pendarahan
Robekan dinding

DS : klien mengatakan di terasa kandung kemih Resiko syok


Perdarahan
kesakitan di bagian abdomen Anemi
Resiko syok

DO : klien terlihat merengek dan


menangis kesakitan di bagian trauma kandung kemih
jejas
abdomen tekanan kandung kemih Nyeri
D DS : Klien mengatakan Nyeri di nyeri tekan supra pubik
bagian abdomen Nyeri

DO :Klien terlihat lemas dan tidak


Laju filtrasi menurun
mengeluarkan urine.
DS : Klien mengatakan sulit untuk Produksi urine menurun Gangguan eliminasi urine
buang air kecil.
Gangguan eliminasi urine

18
2. Diagnosa keperawatan
a. Resiko syok berhubungan dengan anemi
b. Nyeri berhubungan dengan nyeri tekan supra pubik
c. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan produksi urine menurun
3. Intervensi
No Diagnosa NOC NIC

1. Resiko syok Tujuan Syok prevention


berhubungan
Syok prevention Monitor status BP, warna kulit, suhu
dengan anemi Syok management
kulit, denyut jantung, HR dan
Kriteria Hasil ritme, nadi perifer, dan kapiler
refil .
 Nadi dalam batas yang
 Monitor tanda inadekuat
diharapkan. oksigenasi jaringan.
 Irama jantung dalam batas
 Monitor suhu dan pernafasan.
 Monitor input dan output.
yang diharapkan.
 Pantau nilai labor :Hb, Ht, AGD,
 Frekuensi nafas dalam batas
dan Elektrolit
yang diharapkan.
 Monitor tanda dan gejala asites
 Irama pernafasan dalam
 Monitor tanda awal syok
batas yang diharapkan.  Lihat dan pelihara kepatenan
 Mata cekung tidak
jalan nafas
ditemukan.  Berikan cairan iv dan atau oral
yang tepat.
 Berikan vasodilator yang tepat.
 Ajarkan keluarga dan pasien
tentang tanda dan gejala
datangnya syok.
 Ajarkkan keluarga dan pasien
tentang langkah untuk megatasi
gejala syok.

2. Nyeri Tujuan: Pain Management


berhubungan
 Pain level  Lakukan pengkajian nyeri secara
dengan nyeri  Pain control
konferhensif termaksud lokasi,
tekan supra pubik
19
 Comfort level karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan factor presipitasi.
Kriteria Hasil:  Observasi reaksi noverbal dari
ketidaknyamanan.
 Mampu mengontrol nyeri
 Gunakan teknik komunikasi
(tahu penyebab nyeri, mampu
terapeutik untuk mengetahui
menggunakan teknik
pengalaman nyeri pasien.
nonfarmokologi untuk Bantu pasien dan keluarga untuk
megurangi nyeri, mencari mencari dan menemuukan
bantuan. dukungan.
 Melaporkan bahwa nyeri Control lingkungan yang dapat
berkurang dengan mempengaruhi nyeri seperti suhu
menggunakan manajemen ruangan, kepencahayaan dan
nyeri. kebisingan.
 Mampu mengenali nyeri Kurangi faktor presipitasi
(skala, intesitas, frekuensi dan nyeri.
 Pilih dan lakukan penanganan
tanda nyeri).
 Menyatakan rasa nyaman nyeri (farmakologi, non
setelah nyeri berkurang. farmakologi dan interpersonal).
 Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan intervensi.
 Ajarkan tentang teknik non
farmakologi.
 Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
 Evaluasi keefektifan control
nyeri.
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil.

3. Gangguan Tujuan: Urinary Retention Care


eliminasi urine
 Urinary elimination  Lakukan penilaian kemih yang
berhubungan  Urinary Contiunence
komprehensif berfokus pada
dengan produksi
20
urine menurun Kriteria Hasil: inkontensia (misalnya, output
urin, pola berkemih, fungsi
 Kandung kemih kosong
kognitif, dan masalah kencing
secara penuh.
 Tidak ada residu urine >100- praeksisten).
 Memantau penggunaan obat
200 cc.
 Intake cairan dalam rentang dengan sifat antikolinergik atau
normal. properti alpha agonis.
 Bebas dari ISK.  Memonitor efek dari obat-
 Tidak ada spasme bladder obatan yang diresepkan, seperti
 Balance cairan seimbang.
kalsium chanel blockers dan
antikolinergik.
 Merangsang reflex kandung
kemih dengan menerapkan dingin
untuk perut, membelai tinggi
batin, atau air.
 Sediakan waktu yang cukuup
untuk pengosongan kandung
kemih (10 menit)
 Memantau asupan dan
haluaran.
 Gunakan double – void teknik.
 Masukkan kateter kemih,
sesuai.
 Anjurkan pasien atau keluarga
untuk merekam outpun urine,
sesuai.
 Memantau tingkat distensi
kandung kemih dengan palpasi
dan perkusi.
 Membantu dengan toilet secara
berkala, sesuai.
 Menerapkan kateterisasi
intermiten, sesuai.

21
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Ginjal adalah sepasang organ pada setiap sisi dari tulang belakang (spine) didalam
perut bagian bawah. Setiap ginjal adalah kira-kira seukuran kepalan tangan. Melekat pada
puncak dari setiap ginjal adalah suatu kelenjar adrenal.
Trauma kandung kemih merupakan penyebab terbanyak pada kecelakaan lalu lintas
atau kecelakaan kerja yang menyebabakan fragmen patah tulang pelvis mencederai buli-
buli. Ruptur kandung kemih dapat bersifat intraperitoneal atau ekstraperitoneal

B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini bisa menambah wawasan bagi pembaca dan sarannya
semoga lebih baik lagi untuk kedepannya.

22
Daftar Pustaka

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah ed.8;vol 2. Jakarta : EGC

Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,, vol. 2. Jakarta : EGC.

http://www.scribd.com/doc/87445526/Laporan-Pendahuluan-New

http://www.scribd.com/doc/14391169/KONSEP-NYERI

http://bedah-mataram.org/index.php?option=com_content&view=article&id=108:trauma-ginjal-
ur&catid=43:regfrat-urologi&Itemid=81

23
24

Anda mungkin juga menyukai