Disusun Oleh:
Kelompok 5
Agus Deni Susanto
Rt. Zulfa N. A
Rianti Kesumawati
Tia Hafsari
Siti Halinda
Siti Sumiati
Yuyun Melinda
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Klien dapat berespon terhadap stimulasi sensori yang diberikan
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Klien mampu mengenal musik yang didengar
2. Klien mampu menyampaikan pendapatnya tentang isi dari lagu
3. Klien mempu mengungkapkan perasaannya setelah mendengarkan musik
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengertian
Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik baik kepada diri sendiri dan orang lain (Yosep,
2009:146)
Perilaku kekerasan merupakan suau bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Budi Ana Keliat, 2005).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai
atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah
laku tersebut (Purba dkk, 2008).
2.2 Penyebab
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan
menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural yang dijelaskan
oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) adalah:
a. Teori Biologik. Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang
berpengaruh terhadap perilaku:
1) Neurobiologik . Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap
proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan
hypothalamus. Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam
memfasilitasi atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik
merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori.
Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau
menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada
lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan,
kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif.
Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik
terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak
atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
2) Biokimia. Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine,
dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat
konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam
teorinya tentang respons terhadap stress.
3) Genetik. Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
4) Gangguan Otak. Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor
predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak,
khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal;
trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit
seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik. Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya
kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat
mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri
rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan
prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti
dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
2) Teori Pembelajaran. Anak belajar melalui perilaku meniru dari
contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh
peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau
berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang
positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka
selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan
yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman,
dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak
atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan
hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah
dewasa.
3) Teori Sosiokultural. Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh
faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada
kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan
sebagai cara untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga
berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu
menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat
terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan
lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan.
Adanya keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam
hidup individu.
2. Faktor Presipitasi
Faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan
dengan (Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap
2.3 Rentang Respon
Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif – mal adaptif.
Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut (Keliat, 1997):
1. Fisik
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot/ pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Postur tubuh kaku
2. Verbal
a. Bicara kasar
b. Suara tinggi, membentak atau berteriak
c. Mengancam secara verbal atau fisik
d. Mengumpat dengan kata-kata kotor
e. Suara keras
3. Perilaku
a. Melempar atau memukul benda/orang lain
b. Menyerang orang lain
c. Melukai diri sendiri/orang lain
d. Merusak lingkungan
e. Amuk/agresif
4. Emosi
a. Tidak adekuat
b. Tidak aman dan nyaman
c. Rasa terganggu, dendam dan jengkel
d. Tidak berdaya
e. Bermusuhan
5. Intelektual : Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6. Spiritual: Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang
lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
7. Sosial : Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8. Perhatian: Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.
2.5 Akibat
Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu
tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan
lingkungan.
2.6 Penatalaksanaan
1. Farmakologi
a. Obat anti psikosis : Phenotizin
b. Obat anti depresi : Amitriptyline
c. Obat anti ansietas : Diazepam, Bromozepam, Clobozam
d. Obat anti insomnia : Phenobarbital
2. Terapi modalitas
a. Terapi keluarga. Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu
mengatasi masalah klien dengan memberikan perhatian :
1) BHSP
2) Jangan memancing emosi klien
3) Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan keluarga
4) Beri kesempatan pasien mengemukakan pendapat
5) Dengarkan, bantu, dan anjurkan pasien untuk mengemukakan masalah
yang dialami
b. Terapi kelompok. Berfokus pada dukungan dan perkembangan,
keterampilan social atau aktivitas lain dengan berdiskusi dan bermain
untuk mengembalikan kesadaran klien karena masalah sebagian orang
merupakan perasaan dan tingkah laku pada orang lain.
c. Terapi musik. Dengan music klien terhibur, rileks dan bermain untuk
mengembalikan kesadaran klien.
BAB III
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK
STIMULASI SENSORI; MENDENGARKAN MUSIK
I. Topik
Terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori : mendengarkan musik.
II. Metode
Sharing stimulasi : Mendengarkan musik
Diskusi
III. Media
a. Handphone
b. Speaker/tape radio
c. Lagu “Insha Alloh, Semangat Baru”
d. Buku catatan
e. Pulpen
IV. Keanggotaan
Seleksi pasien dilakukan satu hari sebelum dilaksanakannya terapi aktivitas
kelompok dengan kriteria :
1. Klien dengan gangguan yang sama (homogen) pasien dengan resiko
perilaku kekerasan
2. Klien yang tenang dan mampu mengontrol sikap
3. Klien mampu berkomunikasi verbal dengan baik dengan orang lain
4. Klien kooperatif
5. Klien dengan keadaan tidak gelisah
6. Klien dengan kondisi fisik dalam keadaan baik
7. Klien bersedia mengikuti kegiatan terapi aktivitas kelompok
V. Nama-nama Klien
1. Klien 1
2. Klien 2
3. Klien 3
4. Klien 4
5. Klien 5
2. Fase kerja
a. Menjelaskan langkah-langkah kegiatan yang akan dikerjakan
b. Menyampaikan jenis musik dan jumlah lagu yang telah dipilih atau
disukai oleh klien
c. Menyampaikan jenis lagu pembukaan, lagu yang akan didiskusikan, dan
lagu penutup.
d. Meminta klien mendengarkan, menyanyikan lagu, berjoget sesuai irama
musik dan mendiskusikan tentang musik yang akan digunakan
e. Menyalakan lagu pembukaan yang dipilih
f. Meminta klien untuk berdiri santai mendengarkan, menyanyikan lagu,
berjoget sesuai dengan irama musik
g. Fasilitator memotivasi klien untuk berpartisipasi dalam kegiatan
h. Memberi kesempatan kepada klien yang ingin menyanyikan lagu diiringi
nyanyian dan gerakan joget dari anggota kelompok lainnya
i. Memberikan pujian kepada klien yang berpartisipasi dengan aktif
j. Memberikan lirik lagu dan menyalakan lagu yang akan didiskusikan
k. Meminta klien untuk mendengarkan, menyanyikan lagu, berjoget sesuai
dengan irama musik
l. Meminta kelompok untuk duduk istirahat
m. Hidupkan lagu pada laptop dan minta anggota untuk mengedarkan
boneka tersebut, Pada saat lagu dihentikan, anggota kelompok yang
memegang boneka mendapat giliran untuk menyatakan tema lagu,
makna dari isi lagu, perasaan klien terhadap makna lagu, pengalaman
yang sama dirasakan oleh klien pada lagu tersebut pengalamannya
dalam mengatasi kehidupannya
n. Menyalakan lagu penutup
o. Meminta klien untuk berdiri santai mendengarkan, menyanyikan lagu,
berjoget sesuai dengan irama musik
p. Meminta kelompok untuk duduk istirahat
3. Fase terminasi
a. Evaluasi respon subjektif klien dengan menanyakan perasaan klien
setelah melakukan TAK
b. Evaluasi respon objektif klien dengan cara memberikan pujian atas
keberhasilan tiap anggota kelompok
c. Rencana tindak lanjut
Menganjurkan tiap anggota untuk mendengarkan musik yang
disukainya
Memasukkan jadwal mendengarkan musik ke dalam jadwal
keseharian
d. Kontrak yang akan datang
Menyepakati kegiatan selanjutnya, yaitu TAK dengan kegiatan
yang berbeda, misal menggambar
Menyampaikan kontrak waktu dan tempat
X. Program Antisipasi
1. Usahakan dalam keadaan terapeutik.
2. Anjurkan kepada terapis agar dapat menjaga perasaan anggota kelompok,
menahan diri untuk tertawa atau sikap yang menyinggung.
3. Bila ada peserta yang tidak menaati tata tertib, diperingatkan dan jika tidak
bisa diperingatkan, dikeluarkan dari kegiatan setelah dilakukan penawaran.
4. Bila ada anggota yang ingin keluar, dibicarakan dan diminta persetujuan dari
peserta TAK yang lain.
5. Bila ada peserta TAK yang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan tujuan,
leader memperingatkan dan mengarahkan kembali bila tidak bisa,
dikeluarkan dari kelompok.
6. Bila peserta pasif, leader memotivasi dibantu oleh fasilitator
XI. Setting
Adapun setting tempat yang akan digunakan untuk pertemuan TAK adalah
sebagai berikut
1. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran selama proses
perkenalan dan pengarahan
2. Ruangan nyaman dan tenang.
XII. KRITERIA EVALUASI
A. Evaluasi Input
1. Tim berjumlah 8 orang yang terdiri atas 1 leader, 1 co-leader, 5 fasilitator,
1 observer.
2. Lingkungan memiliki syarat luas dan sirkulasi baik.
3. Peralatan mp3 sound system berfungsi dengan baik.
4. Tidak ada kesulitan memilih klien yang sesuai dengan kriteria dan
karakteristik klien untuk melakukan terapi aktivitas kelompok.
B. Evaluasi Proses.
1. Leader menjelaskan aturan main dengan jelas.
2. Fasilitator menempatkan diri di belakang klien
3. Observer menempatkan diri di tempat yang memungkinkan untuk dapat
mengawasi jalannya permainan.
C. Evaluasi Output
Setelah mengadakan terapi aktivitas kelompok dengan 5 klien yang diamati,
hasil yang diharapkan adalah sebagai berikut;
1. Klien dapat mengikuti kegiatan dengan aktif dari awal sampai selesai.
2. Klien mampu memberi respon
3. Klien mampu menyampaikan isi, pendapat dan perasaan klien mengenai
musik yang didengarkan.
Dokumentasi
Dokumentasikan kegiatan yang dilakukan
Klien
No Aspek yang Dinilai
1 2 3 4 5
1 Mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
2 Memberi respons
(ikut
bernyanyi/menari/joget/menggerakkan
tangan-kaki-dagu sesuai irama)
3 Memberi pendapat tentang musik yang
didengar
4 Menjelaskan makna dari lagu yang
didengar
5 Mengemukakan perasaan setelah
mendengar lagu
Skor
Jurnal 1
Tindakan: Terapi Musik
Judul Effect of the Group Music Therapy on Brain Wave, Behavior, and
Cognitive Function among Patients with Chronic Schizophrenia
Tahun 2013
Penulis Myoungjin Kwon, Moonhee Gang, Kyongok Oh
Penerbit Asian Nursing Research
Tujuan penelitian Menguji efek terapi musik kelompok pada gelombang otak,
perilaku, dan fungsi kognitif diantarapasien dengan skizofrenia
kronis
Jenis penelitian, Jenis penelitian: desain pretest-posttest quasi-eksperimental
Populasi, sampel dan Populasi : responden diambil dari pasien rawatinap di fasilitas
teknik pengambilan pelayanan psikiatrik di kota metropolitan
sampel
Sampel : kelompok eksperimen 28 orang dan kelompok kontrol
27 orang
Alat ukur: menggunakan gelombang otak
electroencephalography perilaku menggunakan Nurses
Observation Scale for Inpatient Evaluation, dan cognitive
menggunakan Mini Mental State Examination
Intervensi Group eksperimen berpartisipasi dalam musik group terapi
selama 13 sesi selama 7 minggu sambil melanjutkan pengobatan
standar mereka. Isi terapi usik kelompok diintegrasikan
menggunakan tiga elemen musik yaitu bernyanyi, bermain, dan
mendengarkan. Setiap sesidimulai dengan pemanasan (10
menit), dilanjutkan dengan aktivitas utama (30 menit), dan
penutup (10 menit). Pemanasan terdiri dari menyanyikan lagu
pembuka menggunakan nama setiap pasien dan aktivitas
kelompok. Kemudian mendengarkan musik sambil bermain
permainan tradisional, dan mengakhiri kegiatan dengan
komunikasi dan mengekspresikan dari musik yang didengarkan.
Group kontrol hanya menerima perawatan standar yang
disediakan di rumah sakit
Hasil Setelah berpartisipasi dalam 13 sesi terapi musik kelompok,
gelombang alpha diukur dari delapan regio yang berbeda secara
konsisten hadir untuk kelompok eksperimen (p ¼ .006e.045)
daripada kelompok kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa
peserta dalam terapi musik mungkin mengalami emosi yang lebih
menyenangkan sepanjang sesi. Kelompok eksperimen juga
menunjukkan peningkatan fungsi kognitif (F = 13,46,p 001 .001)
dan perilaku positif (kompetensi sosial, minat sosial & kerapian
pribadi) sementara mereka perilaku negatif secara signifikan lebih
kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol (F = 24,04, p <0,001).
Pembahasan Musik yang didengarkan dapat meningkatkan gelombang alpha
yang memberi efek menenangkan pada pasien skizofrenia. Dengan
adanya saling interaksi antar pasien lewat dapat meningkatkan
interaksi sosial klien skizofrenia.
Kesimpulan Terapi musik kelompok yang digunakan dalam penelitian ini adalah
intervensi yang efektif untuk meningkatkan relaksasi emosional,
kemampuan pemrosesan kognitif bersama dengan perubahan
perilaku positif pada pasien dengan skizofrenia kronis. Hal ini dapat
bermanfaat untuk menetapkan strategi intervensi rehabilitasi
kejiwaan bagi mereka yang menderita penyakit mental kronis.
DAFTAR PUSTAKA
Candra, I.W., Ekawati, I.G.A., Gama, I.K. (2013). Terapi Musik Klasik terhadap
Perubahan Gejala Perilaku Agresif Pasien Skizofrenia.
Fadli SM. Pengetahuan dan ekspresi emosi keluarga serta frekuensi kekambuhan
penderita skizofrenia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2013;
7(10):466-70.
Ho, R. T. H., Chan, C. K. P., Lo, P. H. Y., Wong, P. H., Chan, C. L. W., Leung, P. P.
Y., & Chen, E. Y. H. (2016). Understandings of spirituality and its role in
illness recovery in persons with schizophrenia and mental-health
professionals: a qualitative study. BMC psychiatry, 16(1), 86.
Mihariyani, L. (2018). Pengaruh Terapi Musik Klasik Mozart Instrumental Terhadap
Penurunan Gejala Perilaku Kekerasan Di Ruang Rawat Inap Dewasa
Perempuan Rsj Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Skripsi Keperawatan.
Kamardi, J. D. M., Satiadarma, M. P., & Suryadi, D. (2017). Penerapan Terapi Musik
untuk Menurunkan Gejala Negatif pada Penderita Schizophrenia di Panti
Sosial X. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, 1(1).
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., 2005, Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat (terjemahan), Widya
Medika, Jakarta
Keliat Budi Anna, dkk, 1997, Pusat Keperawatan Kesehatan Jiwa, penerbit buku
kedokteran EGC : Jakarta
Keliat, B.A., 2005, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi 2, EGC, Jakarta.
Kwon, Myoungjin. Gang, Moonhee. Oh, Kyongok. 2013. Effect of the Group Music
Therapy on Brain Wave, Behavior, and Cognitive Function among Patients
with Chronic Schizophrenia. Korea. Asian Nursing Research.
Townsend C. Mary, 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC : Jakarta
Yosep, I., 2009, Keperawatan Jiwa, Bandung ; PT. Refika Aditama.
Yusuf, A., Fitrasari, R., Nihayati, H.E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.