Anda di halaman 1dari 24

PRESENTASI KASUS

F20.3 SKIZOFRENIA TAK TERINCI

Pembimbing

dr. Tri Rini Budi Setyaningsih., Sp.KJ

Oleh :

Adam Abdul Malik Sujoko G4A017005

Intan Candra Khoirina G4A017009

SMF ILMU KESEHATAN JIWA


RSUD PROF DR. MARGONO SOEKARJO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANYUMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi Kasus

“F20.3 Skizofrenia Tak Terinci”

Disusun untuk memenuhi syarat ujian Kepaniteraan Klinik

di Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa di RSUD Margono Soekarjo

Oleh :

Adam Abdul Malik Sujoko G4A017005

Intan Candra Khoirina G4A017009

Disetujui,

Pada tanggal Februari 2019

Pembimbing,

dr. Tri Rini Budi Setyaningsih., Sp.KJ


LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S

Tanggal lahir : 30 Juli 1950


Umur : 68 tahun
Jenis kelamin : Permpuan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Sinduraja RT 04 RW 02 Kaligondang
Pekerjaan : Tidak bekerja
Pendidikan : SD
Status perkawinan : Sudah menikah (cerai mati)
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesa dan autoanamnesa di bangsal

Bima RSUD Banyumas pada hari Rabu, 23 Januari 2019.

A. Alloanamnesis

1. Identitas Narasumber

Nama:Tn. B

Alamat: Purbalingga

Usia: 48 th

Jenis Kelamain: Laki laki

Pendidikan: SD

Pekerjaan: Cleaning service di Kemenag

Hubungan dengan Pasien: Anak kandung

B. Keluhan Utama :

Marah-marah tanpa sebab yang jelas

C. Keluhan Tambahan :

Berbicara ngelantur, berbicara sendiri, sering telanjang sambil menari

di depan umum, sulit tidur.

D. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUD Banyumas pada tanggal 20 Januari 2019

dengan keluhan marah tanpa sebab yang jelas. Keluhan ini timbul sejak

sekitar 3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien suka marah marah

sendiri hingga membanting piring. Pasien juga sering membuang makanan,

karena pasien merasa mendengar bisikan bahwa makanan yang diberikan

kepadanya diracun. Pasien sering berbicara sendiri dan terkadang senyum

senyum sendiri. Selain itu, pasien juga suka telanjang sambil menari-nari

dan merasa banyak ditonton orang. Pasein sering melamun, tatapan mata

kosong dan apabila diajak mengobrol jawaban pasien sering ngelantur.

Menurut keluarga, pasien juga jarang tidur, tidur malam hari bangun dini

hari. Pasein tidak mau mandi apabila tidak disuruh mandi.

Pasien pernah mengalami gangguan jiwa, dirawat di RSJ Magelang

pada tahun 2014. Saat itu keluhan yang dialami pasien yaitu pasien suka lari

lari di jalan, merasa ada orang yang ingin membunuhnya. Menurut

pengakuan keluarga, sekitar tahun 2005 pasien sudah menunjukkan tanda

tanda adanya perubahan perilaku seperti suka bangun tengah malam karena

pasien merasa ada yang bertamu. Saat keluhan tersebut muncul keluarga

tidak segera membawa pasien ke psikiater, pada tahun 2014 baru dibawa ke

psikiater di RSJ Magelang, kemudian dirawat selama 20 hari. Setelah itu

pasien kontrol rutin di RSUD Banyumas hingga pertengahan tahun 2018.

Saat itu keluahan dirasa membaik, namun karena ada kebijakan BPJS pasien

dikembalikan ke RSUD Goeteng Purbalingga, sejaak saat itu pasien kontrol

di RSUD Goeteng hingga sebelum dirawat di RSUD Banyumas. Ketika


masa kontrol di Purbalingga pasien mulai tidak mau minum obat, merasa

obat yang diberikan diracun.

Menurut pengakuan narasumeber (anak), anak kedua pasien

meninggal ketika usia pasien sekitar 25 tahun karena kejang demam.

Selanjutnya ditinggal oleh suaminya ketika berusia sekitar 30 tahun,

awalnya pasien merupakan Ibu Rumah Tangga saat itu pasien harus bekerja

keras demi menghidupi kedua anaknya. Akhirnya pasien bekerja sebagai

ART dan kerja serabutan lainnya hingga sang anak bisa menghidupi

kebutuhan sendiri. Pada sekitar tahun 2000 an sampai tahun 2005 pasien

memutuskan untuk ke Jakarta, disana pasien bekerja sbagai ART. Menurut

pengakuan anak, sang ibu pernah bercerita bahwa ibunya pernah ditaksir

orang lain dan merasa seperti di dukunkan oleh pria tersebut.

E. Riwayat Penyakit Dahulu :

Pada Tahun 2014, pasein dirawat di RSJ Magelang selama 20 hari.

Ketika itu pasien sering lari larian hingga ke pasar, merasa dirinya akan

dibunuh. Keluhan tersebut sejak akhir tahun 2005 ketika pasien pulang

merantau dari Jakarta. Namun, saat itu pasien hanya berobat ke orang pintar,

sekitar tahun 2014 pasien baru dibawa ke RSJ Magelang. Menurut keluarga

pasien pasien tidak memiliki penyakit organik sebelumnya.

F. Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak diakui adanya keluarga yang memiliki penyakit jiwa maupun

penyakit organik lainnya seperti hipertensi, diabetes, gangguan ginjal,

gangguan jantung ataupun gangguan paru paru.

G. Silsilah Keluarga:
30 th

Keterangan:

H. Riwayat Pribadi:

1. Riwayat Prenatal dan Perinatal

Tidak diketahui secara pasti

2. Masa Kanak-Kanak

Tidak diketahui secara pasti

3. Masa Remaja

Pasien putus sekolah di usia sekitar 12 tahun. Ayah meninggal

ketika usia pasien remaja.

4. Riwayat Perkembangan Seksual


Pasien tidak mengalami gangguan dalam perkembangan

seksualnya. Pasien ditinggalkan oleh suami ketika berusia sekitar 30

tahun. Tidak diketahui hubungan seksual terakhir kapan dilakukan

semenjak ditinggal meninggal oleh suami.

5. Riwayat Pendidikan

Pendidikan terakhir pasien adalah SD.

6. Riwayat Perkembangan Jiwa

Menurut anak pasien, pasien merupakan ibu yang bertanggung

jawab atas anak anaknya ketika suami sudah meninggal. Pasien jarang

menceritakan masalahnya kepada anak anaknya.

7. Kegiatan moral spiritual

Pasien beragama Islam. Pasien rajin sholat dan mengaji

8. Aktivitas sosial

a. Dalam keluarga

Hubungan pasien dengan anak anaknya baik. Sebelum sakit

pasien terkadang bercerita tentang masalah yang dialami kepada anak.

b. Dengan tetangga

Pasien merupkaan seorang yang ramah, mudah bersosialisasi

sebelum keluhan muncul. Setelah keluhan muncul, tetangga terkesan

takut kepada pasien.

9. Sikap keluarga terhadap penderita

Keluarga sangat menyangi dan mendukung pasien

I. Hal-hal yang mendahului penyakit


1. Faktor Predisposisi

a. Jenis Kelamin perempuan


b. Ayah pasien meninggal saat pasien remaja
c. Ditinggal anak (meninggal)
d. Ditinggal suami (meninggal)
e. Menjadi tulang punggung keluarga setelah ditinggal suami
f. Adanya tekanan dalam perekonomian
g. Riwayat gangguan jiwa sebelumnya
h. Tidak mau meminum obat sejak 2 bulan
2. Faktor Pencetus
a. Tidak meminum obat

III. KESIMPULAN ANAMNESIS

Pasien seorang perempuan 68 tahun dengan keluhan sering marah

marah tanpa sebab yang jelas, berbicara sendiri, berkelakuan aneh (telanjang

sambil menari). Keluhan muncul sejak 3 minggu sebelum masuk rumah sakit.

Sebelumnya pasien pernah dirawat di RSJ Magelang pada tahun 2014 dengan

keluhan pasien sering lari lari karena merasa ingin dibunuh. Pasien masih

kontrol ke poli jiwa hingga keluhan terakhir muncul. Riwayat kelahiran dan

masa anak anak tidak diketahui secara pasti.

IV. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Perempuan sesuai usia, tampak sakit jiwa


Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36.5 derajat Celcius
Antropometri
Berat badan : 40 kg
Tinggi badan : 150 cm
Status generalis
Kepala : Mesocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Pupil bulat

isokor, 3mm/3mm, Reflek pupil +/+


Hidung : Tidak ada discharge, Tidak ada deviasi
Mulut : Tidak ada sianosis, tidak ada discharge
Telinga : Tidak ada kelainan bentuk dan ukuran, serumen (-/-)
Leher : Tidak ada deviasi trakea, tidak teraba pembesaran

kelenjar getah bening


Jantung
Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V LMCS
Perkusi : Batas kiri atas SIC II LPSS, batas kiri bawah SIC V

LMCS, batas kanan atas SIC II LPSD, batas kanan bawah

SIC IV LPSD
Auskultasi : S1>S2 Reguler, murmur (–) gallop (–)
Pulmo
Inspeksi : Jejas (-) Simetris kanan-kiri
Palpasi : Vocal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru,
Auskultasi : SD vesikuler (+/+), tidak ada suara tambahan
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising Usus Normal
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Palplasi : Tidak ada nyeri tekan, Tidak ada defans muscular, Tidak

teraba masa, Hepar dan Lien tidak teraba


Ekstremitas : Akral hangat (+/+/+/+), Edema (-/-/-/-)

V. PEMERIKSAAN PSIKIATRI
Kesan umum : Seorang perempuan, sesuai usia, tampak sakit

jiwa, perawatan diri buruk


Kesadaran : Compos mentis
Orientasi O/W/T/S : Baik/sdn/baik/sdn
Sikap : Non Kooperatif
Tingkah laku : Hipoaktif
Proses pikir
Bentuk pikir : Autisme
Isi pikir : Sulit dinilai
Progesi pikir : Irelevan, Blocking
Persepsi : Halusinasi auditori (+), Halusinasi visual (-)
Roman muka : Hipomimik
Mood : Irritable
Afek : Inapropriate
Perhatian : susah ditarik dan dicantum
Hubungan jiwa : Buruk
Insight : Derajat 1
VI. SINDROM
1. Sindrom Skizofrenia:
Halusinasi auditori menetap
Kehilangan minat
Autisme
VII. DIAGNOSIS BANDING
F20.3 Skizofrenia Tak Terinci
F20.5 Skizofrenia Residual
VIII. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
Axis I : F20.0 Skizofrenia Tak Terinci
Axis II : Tidak terdapat gangguan kepribadian
Axis III : Tidak ada
Axis IV : Hubungan keluarga dan lingkungan sosial
Axis V : GAF 30-21 Disabilitas dalam komunikasi dan daya nilai,

tidak mampu berfungsi hampir semua bidang.


IX. PENATALAKSANAAN
A. Fase Akut
1. Farmakoterapi
Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai

dirinya atau orang lain, mengendalikan perilaku yang merusak,

mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejala terkait lainnya

misalnya agitasi, agresi dan gaduh gelisah (Amir, 2010).


a. Langkah Pertama: Berbicara kepada pasien dan memberinya

ketenangan.
b. Langkah Kedua: Keputusan untuk memulai pemberian obat.

Pengikatan atau isolasi hanya dilakukan bila pasien

berbahaya terhadap dirinya sendiri dan orang lain serta usaha

restriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan dilakukan hanya

boleh untuk sementara yaitu sekitar 2-4 jam dan digunakan

untuk memulai pengobatan. Meskipun terapi oral lebih baik,

pilihan obat injeksi untuk mendapatkan awitan kerja yang


lebih cepat serta hilangnya gejala dengan segera perlu

dipertimbangkan (Amir, 2016).


1) Obat injeksi dapat berupa :
a) Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus,

dapat diulang setiap 2 jam, dosis maksimum

30mg/hari.
b) Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal

29,25mg/hari), intramuskulus.
c) Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat

diulang setiap setengah jam, dosis maksimum

20mg/hari.
d) Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus,

dosis maksimum 30mg/hari.


2) Obat oral
Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh

pengalaman pasien sebelumnya dengan antipsikotika

misalnya, respons gejala terhadap antipsikotika, profil

efek samping, kenyamanan terhadap obat tertentu terkait

cara pemberiannya. Pada fase akut, obat segera diberikan

segera setelah diagnosis ditegakkan dan dosis dimulai

dari dosis anjuran dinaikkan perlahan-lahan secara

bertahap dalam waktu 1 – 3 minggu, sampai dosis

optimal yang dapat mengendalikan gejala (Hawari,

2016).
2. Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang

berlebihan, stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa

kehidupan.Memberikan ketenangan kepada pasien atau

mengurangi keterjagaan melalui komunikasi yang baik,


memberikan dukungan atau harapan, menyediakan lingkungan

yang nyaman, toleran perlu dilakukan (Hawari, 2016).


B. Fase Stabilisasi
1. Farmakoterapi
Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala

atau untuk mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi

kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan

(recovery). Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut

dipertahankanselama lebih kurang 8 – 10 minggu sebelum masuk

ke tahap rumatan.Pada fase ini dapat juga diberikan obat

antipsikotika jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-

4minggu (Amir, 2010).


2. Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang

dengan skizofrenia dan keluarga dalam mengelola gejala.

Mengajak pasien untuk mengenali gejala-gejala, melatih cara

mengelola gejala, merawat diri, mengembangkan kepatuhan

menjalani pengobatan. Teknik intervensi perilaku bermanfaat

untuk diterapkan pada fase ini (Meltzer dan Fatemi, 2015).


C. Fase Rumatan
1. Farmakoterapi
Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh

dosis minimal yang masih mampu mencegah kekambuhan. Bila

kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila

sudah berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan, terapi

diberikan sampai lima tahun bahkan seumur hidup (Meltzer dan

Fatemi, 2015).
2. Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali

pada kehidupan masyarakat.Modalitas rehabilitasi spesifik,

misalnya remediasi kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan

terapi vokasional, cocok diterapkan pada fase ini.Pada fase ini

pasien dan keluarga juga diajarkan mengenali dan mengelola

gejala prodromal, sehingga mereka mampu mencegah

kekambuhan berikutnya (Meltzer dan Fatemi, 2015).


D. Obat antipsikotik
Secara umum antipsikotik sebaiknya dimulai pada dosis

rendah.Dosis tersebut dipertahankan selama 4 - 6 minggu, kecuali

terdapat gejala psikotik atau agresif atau sulit tidur yang parah.

Peningkatan dosis yang terlalu cepat akan meningkatkan risiko

terjadinya gejala ekstrapiramidal dan gejala negative sekunder tanpa

adanya kegunaan dari antipsikotik itu sendiri. Penggunaan obat

parenteral short-acting untuk pasien baru sebaiknya dihindari. Namun

terapi dengan obat long-acting tidak boleh diberikan kecuali pada

pasien dengan riwayat tidak responsive dengan bentuk pengobatan

lain. Penggunaan dosis tinggi untuk pengobatan skizofren akut tidak

memberikan hasil yang lebih baik dibanding dengan penggunaan dosis

rata-rata. Beberapa studi mengatakan bahwa penundaan pemberian

antipsikotik akan memberikan outcome yang lebih buruk, diperkirakan

karena beberapa aspek pada psikosis secara biologis toksik terhadap

struktur otak (Kaplan dan Saddock, 2010).


Beberapa pasien memberikan respon terhadap antipsikotik dalam

minggu pertama pengobatan atau bahkan pada hari pertama.

Kebanyakan akan tidak memberikan respon dalam 2 – 6 minggu.


Namun tidak disarankan untuk memutuskan obat dan mengganti

dengan jenis yang lain sebelum pengobatan mencapai 4 – 6 minggu,

kecuali terdapat efek samping atau gejala ekstrapiramidal yang tidak

sesuai dengan pengobatan (Hawari, 2015). Penggunaan beberapa

antipsikotik pada waktu bersamaan harus dihindari, khususnya

penggunaan antipsikotik tipikal yang diberikan secara oral dan

parenteral, kecuali pengobatannya memang sedang dialihkan dari

intramuscular menjadi oral terapi.Pada beberapa kasus bila

antipsikotik tidak dapat mengontrol rasa cemas dan agitasi yang

berlebihan, penggunaan benzodiazepine dapat diberikan (Sinaga,

2010).
1. Antipsikotik tipikal
Obat antipsikotik tipikal disebut juga antipsikotik

konvensional atau antipsikotik generasi 1 (APG-1) (Kazadi et al.,

2011).Obat antipsikotik tipikal ini memiliki mekanisme kerja

sebagai dopamin reseptor antagonis (DRA).Sejak ditemukannya

klorpromazine (CPZ) pada tahun 1950, pengobatan skizofren

mengalami kemajuan.CPZ dan antipsikotik lainnya yang mirip

mengurangi gejala positif dari skizofren sampai 70 %, Namun

untuk gejala negatifnya, antipsikotik tipikal memiliki efek yang

kurang, begitu juga efek terhadap gangguan mood dan gangguan

kognisinya (Hawari, 2015).


APG-1 memiliki cara kerja mengurangi aktifitas

dopaminergik dengan cara memblok reseptor D2. dengan

pemanjangan inaktifasi mesolimbik dan dopamine mesokortikal

dan dopamine pada badan nigra pada otak, akan memberikan efek
antipsikotik dan ekstrapiramidal. Pada penggunaan benzamide

(sebagai contoh sulpiride dan amisulpride) sebagai terapi

substitusi, dimana benzamide merupakan antagonis D2 yang kuat

dan juga selektif, obat ini juga memiliki kemampuan untuk

mengikat reseptor neurotransmitter lainnya. Dengan kesamaan

cara kerja ini, obat tersebut menunjukan sedikit perbedaan

kemanjuran pada pengobatan (Kaplan dan Saddock,

2010).Pemilihan obat antipsikotik tipikal didasarkan oleh banyak

pertimbangan, termasuk adanya preparat obat long-acting. Obat

potensi ringan (dosis maksimal 300 mg/ hari seperti CPZ,

thioridazine, mesoridazine) lebih memiliki efek sedative dan

hipotensi dibanding dengan obat dengan potensi tinggi seperti

haloperidol dan fluphenazine.Obat potensi tinggi dapat

mengakibatkan gejala ekstrapiramidal lebih sering disbanding

dengan potensi rendah. Namun kedua obat ini memberikan efek

yang sama dalam mengurangi agitasi (Sinaga, 2010).


Jika pasien memiliki riwayat pengobatan dan tidak terdapat

gejala ekstrapiramidal, obat potensi tinggi seperti haloperidol dan

fluphenazine menjadi pilihan utama (Kaplan dan Saddock,

2010).Jika terdapat gejala ekstrapiramidal, obat antikolinergik

seperti benztropine, biperiden atau trihexyphenidyl dapat

digunakan atau dapat diganti obat menjadi obat potensi sedang

(seperti trifluoperazine) atau potensi ringan.Antipsikotik atipikal

juga menjadi pilihan jika terdapat gejala ekstrapiramidal.Gejala


ekstrapiramidal yang tidak teratasi dapat menyebabkan gejala

negative dan kurangnya kepatuhan minum obat (Hawari, 2015).


Kemampuan terhadap reseptor D2, 5-HT dan muskarinik

merupakan kunci dari sebuah obat antipsikotik menyebabkan

gejala ekstrapiramidal.Efek samping lainnya adalah ginekomastia,

impotensi dan amenorea merupakan sebab dari blockade reseptor

DA.Peningkatan berat badan adalah karena blockade reseptor 5-

HT dan H1 (Sinaga, 2010). Penelitian mengatakan bahwa dosis

rendah antipsikotik tipikal (haloperidol dan risperidone) lebih

efisien karena dapat memberi perbaikan secara cepat dan tanpa

efek samping yang berarti. Sebagai contoh, dosis haloperidol 5 –

10 mg/hari sudah cukup untuk kebanyakan pasien dengan psikosis

akut. Meningkatkan dosis tidak boleh dilakukan sebelum 4

minggu terapi. Untuk risperidone 1 – 4 mg/hari sudah cukup

untuk menghindari efek samping ekstrapiramidal (Amir, 2010).

Untuk pasien kronik yang tidak patuh untuk terapi oral, setiap 2

minggu atau setiap bulan dapat diberikan injeksi fluphenazine

decanoate 12.5 – 50 mg atau haloperidol decanoate 25 – 100 mg.

Hal tersebut akan mengurangi gejala kambuh secara signifikan

(Meltzer dan Fatemi, 2015).


a. Antipsikotik atipikal
1) Clozapine
Clozapine merupakan satu-satunya antipsikotik

yang memperlihatkan efek yang dapat mengurangi gejala

positif dan negatif pada pasien yang gagal dengan terapi

antipsikotik tipikal. Obat ini juga hampir tidak


memberikan efek ekstrapiramidal, termasuk akathisia.

Hal ini mungkin disebabkan oleh karena clozapine

memiliki daya ikat yang kuat terhadap reseptor serotonin

(5-HT), adrenergik (α1,2), muskarinik, dan histaminergik

(Meltzer dan Fatemi, 2015).


Clozapine telah digunakan pada ratusan pasien di

negara barat selama kurang lebih 20 tahun dan tidak ada

kasus tardive diskinesia yang dilaporkan. Respon

terhadap penggunaan clozapine bisa mencapai 6 bulan.

Sindrom negatif cenderung membaik paling lama.

Respon terhadap clozapine biasanya hanya sebagian,

namun untuk pasien-pasien parah yang tidak

memberikan respon terhadap terapi lain, perubahan

dengan obat ini bisa terlihat drastis. Keuntungan terbesar

dari clozapine adalah rendahnya kemungkinan untuk

menyebabkan granulositopeni dan agranulositosis

(sekitar 1%)(Kaplan dan Saddock, 2010). Sehingga di

Amerika Serikat, clozapine digunakan hanya untuk

pasien-pasien skizofren yang telah gagal dengan terapi

antipsikotik tipikal atau dengan antipsikotik tipikal

memberikan gejala ekstrapiramidal atau tardive

diskinesia. Meskipun jarang terdapat efek

agranulositosis, sel darah putih pasien harus dimonitor

setiap 2 minggu. Bila sel darah putih turun di bawah

3000 /mm3, pemakaian harus dihentikan. Clozapine juga


dapat menyebabkan leukositosis dan eosinofilia pada

tahap-tahap awal (Hawari, 2015). Perkembangan dari

gangguan tersebeut tidak dapat dijadikan patokan

sebagai terjadinya agranulositosis. Efek samping lainnya

dari clozapine adalah sedasi, peningkatan berat badan,

kejang, gejala obsesif kompulsif, hipersalivasi, takikardi,

hipotensi, hipertensi, gagap, inkontinensia urin,

konstipasi, dan hiperglikemi. Efek samping tersebut

biasanya dapat diatasi dengan penurunan dosis. Untuk

kejang harus ditangani dengan anti konvulsan seperti

asam valproat (Amir, 2010).


Dosis clozapine untuk kebanyakan pasien antara 100

– 900 mg/hari. Peningkatan dosis harus dilakukan

perlahan-lahan mengingat adanya efek samping takikardi

dan hipotensi. Dosis biasanya dimulai pada 25 mg/hari,

kemudian sampai pada dosis 500 mg/hari dan biasanya

diberikan sehari 2x (Hawari, 2015). Clozapine terbukti

dapat mengurangi depresi dan gejala ingin bunuh diri.

Clozapine juga dilaporkan dapat meningkatkan beberapa

aspek kognitif terutama kemampuan bicara, pemusatan

pikiran, dan memory recall. Clozapine juga menunjukan

dapat meningkatkan fungsi bekerja dan kualitas

kehidupan pasien. Tidak ada data yang menunjukan

bahwa clozapine efektif terhadap kasus skizotipal atau

gangguan personalitas skizoid (Sinaga, 2010).


2) Risperidon
Risperidon merupakan golongan benzisoxazole.

Risperidon memiliki efek mengurangi gejala positif dan

negatif yang lebih baik daripada haloperidol. Namun

tidak terdapat bukti yang menunjukan bahwa risperidon

efektif terhadap pasien yang gagal terapi dengan

antipsikotik tipikal. Risperidon juga dapat meningkatkan

fungsi kognitif (Hawari, 2016). Risperidon mempunyai

kecenderungan untuk dapat menyebabkan tardive

diskinesia, sehingga pemakaian risperidon biasanya

dalam dosis rendah (4 – 8 mg/hari) namun lebih efektif

dibanding dengan obat antipsikotik tipikal dengan dosis

yang sama. Beberapa pasien memberi efek pada dosis 2

mg/hari, namun ada juga yang memberi respon pada 10

– 16 mg/hari. Pada dosis 2 -4 mg/hari, gejala

ekstrapiramidal biasanya ringan. Risperidon memiliki

ikatan pada reseptor D2 yang lebih kuat daripada

clozapine (Meltzer dan Fatemi, 2015).


Risperidon merupakan pilihan untuk pasien yang

memberi respon baik terhadap antipsikotik tipikal yang

ditandai dengan penurunan gejala positif, namun

memiliki efek samping gejala ekstrapiramidal dan gejala

negatif sekunder (Sinaga, 2010). Risperidon juga efektif

untuk menekan tardive diskinesia. Efek samping

risperidon selain gejala ekstrapiramidal adalah akathisia,


peningkatan berat badan, disfungsi seksual, penurunan

libido, dan galaktorea. Tidak seperti clozapine,

risperidon meningkatkan serum prolaktin. Tidak ada

laporan bahwa risperidon dapat menyebabkan

agranulositosis (Hawari, 2016).


3) Olanzapine
Merupakan salah satu obat antipsikotik tipikal yang

terbaru. Olanzapine memiliki struktur yang mirip dengan

clozapin, dan memiliki risiko yang rendah untuk

terjadinya gejala ekstrapiramidal, efektif terutama dalam

mengatasi gejala negatif, dan memiliki efek minimal

terhadap prolaktin (Kaplan dan Saddock, 2010).

Olanzapine terbukti lebih efektif daripada haloperidol

dalam mengatasi gejala positif. Dosis anjuran olanzapin

dimulai pada 10 mg/hari, sehari sekali. Kebanyakan

pasien memerlukan 10 – 25 mg/hari, namun dosis

sebaiknya dinaikan secara perlahan. Sama seperti

clozapine, respon perngobatan dapat baru terlihat setelah

beberapa bulan. Olanzapine memberi efek samping

gangguan ekstrapiramidal dan tardive diskinesia yang

lebih ringan dibanding haloperidol. Efek samping

terbesar dari olanzapin adalah peningkatan berat badan

dan sedasi. Efek samping lainnya adalah mengantuk dan

peningkatan kadar transaminase hepar (Sinaga, 2010).


4) Quetiapine, Sertindole dan Ziprasidone
Ketiga obat tersebut merupakan obat antipsikotik

terbaru yang dapat memberikan efek samping gejala

ekstrapiramidal lebih sedikit. Seperti clozapine,

risperidon dan olanzapin, ketiga obat ini lebih poten

terhadap reseptor 5HT antagonis dibanding dengan D2

antagonis (Hawari, 2016). Quentiapine merupakan

dibenzothiazepine dengan potensi yang kuat tehadap

reseptor 5-HT2, α1, dan H1. Quentiapine juga memiliki

kemampuan memblok yang sedang terhadap reseptor D2

dan kemampuan yang kecil pada reseptor M. Dengan

dosis 150 – 180 mg/hari dalam 2 – 3 sehari, quetiapine

memberi hasil dalam mengatasi gejala positif dan

negatif. Efek samping utama dari obat ini adalah rasa

mengantuk, mulut kering, peningkatan berat badan,

agitasi, konstipasi, dan hipotensi ortostatik (Amir, 2010).


Sertindole merupakan golongan imidazolidonone

yang memiliki potensi kuat terhadap reseptor 5-HT2, D2,

dan α1. untuk mengurangi gejala positif, digunakan dosis

12 – 24 mg/hari, setara dengan haloperidol dengan dosis

4 – 16 mg/hari. Sertindole pada dosis 20 – 24 mg/hari

memiliki efek lebih besar pada gejala negatif dibanding

dengan haloperidol. Efek samping dari obat ini adalah

sakit kepala, takikardi, pemanjangan interval Q-T,

penurunan pompa jantung, peningkatan berat badan,

kongesti nasal, mual, dan insomnia. Sertindole memiliki


masa kerja yang panjang, yaitu 1 – 4 hari, sehingga dapat

diberikan sehari 1x (Kaplan dan Saddock, 2010).

Ziprasidone memiliki potensi 10x lebih kuat terhadap

reseptor 5-HT2 dibanding dengan reseptor D2.

Ziprasidone hampir tidak memberikan gejala

ekstrapiramidal namun sama efektifnya dengan

penggunaan haloperidol. Ziprasidone efektif untuk

menangani gejala positif dan negatif pada pasien dengan

gejala skizofren akut. Efek samping ziprasidone adalah

terutama sedasi (Amir, 2010).

E. Terapi Psikososial
Meskipun obat antipsikotik merupakan pilihan utama dari

pengobatan skizofrenia, terapi nonfarmakologis juga mempunyai

peran yang penting bagi kesembuhan pasien. Terapi ini bertujuan

untuk meningkatkan kepatuhan minum obat, mendukung pasien,

melatih pasien untuk mandiri, meningkatkan fungsi sosial dan fungsi

bekerja serta mengurangi beban orang yang menanggungnya.

Memberi pelatihan dan dukungan kepada anggota keluarga

merupaqkan hal yang penting terhadap keseluruhan proses pengobatan

(Hawari, 2016).
Pada kebanyakan system kesehatan, program manajemen

pengobatan telah dikembangkan menjadi model program yang tidak

mahal, dibandingakan dengan pasien yang dirawat di rumah sakit.

Terdapat seorang pengelola yang akan membantu pasien mencari

tempat tinggal, mengatur keuangan, memperoleh akses ke klinik

psikiatri maupun tempat rehabilitasi, dan akan menjelaskan tentang

kegunaan obat-obat yang dipakai. Dengan demikian, hal tersebut akan

memunkinkan pasien untuk hidup seminimal mungkin, atau bahkan

tidak sama sekali, dalam pengawasan tenaga medis, khususnya tenaga

medis bagian kejiwaan (Sinaga, 2010).

X. PROGNOSIS

A. Premorbid
Faktor yang mempengaruhi Prognosis
Riwayat penyakit keluarga Tidak ada Baik
Stressor psikososial Ada Buruk
Sosial ekonomi Ada Buruk
Riwayat penyakit yang sama Ada Buruk

B. Morbid
Faktor yang mempengaruhi Prognosis

Onset usia 68 Baik


Jenis penyakit Psikotik Buruk
Perjalanan penyakit Akut Baik
Kelainan organik Tidak ada Baik
Respon terapi Belum -

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad malam

Quo ad sanationam : dubia ad malam

XI. KESIMPULAN
Pasien Ny. S datang dengan keluhan sering marah tanpa sbebab,sering

berbicara sendiri, sering telanjang dan menari nari sendiri. Pasien pernah

dirawat di RSJ Magelang pada tahun 2014 dan rutin kontrol ke poli jiwa

RSUD Banyumas sampai pertengahan tahun 2018. Kemudian pindah ke

goeteng sampai keluhan terakhir muncul. Saat ini pasien mendapatkan obat

Resperidon, alprazolam dan THP.

Anda mungkin juga menyukai