Kelainan Refraksi
Kelainan Refraksi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri
atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang
normal, susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian
seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di
daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan
menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan
akomodasi atau istirahat melihat jauh (Ilyas, 2004).
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti pungtum proksimum yang
merupakan titik terdekat dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas. Pungtum
remotum adalah titik terjauh dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas, yang
merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan retina atau foveola bila mata
istirahat. Pada emetropia, pungtum remotum terletak di depan mata (Ilyas, 2004).
Emetropia adalah suatu keadaan dimana sinar yang sejajar atau jauh dibiaskan
atau difokuskan oleh sistem optik mata tepat pada daerah makula lutea tanpa melakukan
akomodasi. Pada mata emetropia, terdapat keseimbangan antara kekuatan pembiasan
sinar dengan panjangnya bola mata. Keseimbangan dalam pembiasan sebagin besar
ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea serta panjangnya bola mata.
Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding media penglihatan mata
lainnya. Lensa memegang peranan terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila
melihat benda yang dekat (Ilyas, 2006).
Panjang bola mata seseorang berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan
sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih
panjang, lebih pendek) bola mata, maka sinar normal tidak dapat terfokus pada makula.
Keadaan ini disebut sebagai ametropia (Ilyas, 2006).
Ametropia adalah suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi dimana mata yang
dalam keadaan tanpa akomodasi atau istirahat memberikan bayangan sinar sejajar pada
fokus yang tidak terletak pada retina. Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk
kelainan seperti miopia (rabun jauh), hipermetropia (rabun dekat), dan astigmatisme
(silinder) (Ilyas, 2006).
Kelainan lain pada pembiasan mata normal adalah gangguan perubahan
kecembungan lensa yang dapat berkurang akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga
terjadi gangguan akomodasi. Gangguan akomodasi dapat terlihat pada usia lanjut
sehingga terlihat keadaan yang disebut presbiopia (Ilyas, 2006).
Astigmatisme Hipermetropia
Gambar 1. Pembiasan cahaya pada mata normal dan mata dengan kelainan refraksi
(Soelendro, E.A., 2009)
A. Miopia
Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan sinar yang
berlebihan sehingga sinar yang datang dibiaskan di depan retina (bintik kuning). Pada
miopia, titik fokus sistem optik media penglihatan terletak di depan makula lutea. Hal ini
disebabkan sistem optik (pembiasan) terlalu kuat, miopia refraktif atau bola mata yang
terlalu panjang, miopia aksial atau sumbu (Ilyas, 2004).
Pasien miopia mempunyai pungtum remotum (titik terjauh yang masih dapat dilihat
dengan jelas) yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi
yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini
menetap, penderita akan terlihat juling ke dalam atau esotropia (Ilyas, 2004).
Ada berbagai klasifikasi untuk miopia, yaitu klasifikasi berdasarkan gambaran klinis,
derajat miopia, dan usia saat terkena miopia (Tabel 1) (American Optometric Association,
2006).
Tabel 1. Classification Systems for Myopia
Pada mata dengan simple myopia, status refraksinya tergantung pada kekuatan
optik dari kornea dan lensa kristalin, dan panjang aksial mata. Pada mata emetropik,
panjang aksial dan kekuatan optik adalah berbanding terbalik. Mata dengan kekuatan
optik yang lebih besar dari rata-rata dapat menjadi emetropik jika panjang aksialnya lebih
pendek dari rata-rata, begitu juga mata dengan kekuatan optik yang lebih rendah jika
panjang aksialnya lebih panjang dari rata- rata (American Optometric Association, 2006).
Mata dengan simple myopia adalah mata normal yang memiliki panjang aksial
yang terlalu panjang untuk kekuatan optiknya, atau kekuatan optiknya terlalu besar untuk
panjang aksialnya. Simple myopia, yang merupakan tipe yang paling sering terjadi
daripada tipe lainnya, biasanya kurang dari 6 dioptri (D). Pada banyak pasien biasanya
kurang dari 4 atau 5 D. Astigmatisme dapat terjadi pada konjungsi dengan simple myopia
(American Optometric Association, 2006).
Nocturnal myopia hanya terjadi pada penerangan yang kurang atau gelap. Hal ini
dikarenakan meningkatnya respon akomodasi sehubungan dengan sedikitnya cahaya
yang ada (American Optometric Association, 2006).
Pseudomyopia merupakan hasil dari peningkatan kekuatan refraksi okular akibat
overstimulasi terhadap mekanisme akomodasi mata atau spasme siliar. Disebut
pseudomyopia karena pasien hanya menderita miopia karena respon akomodasi yang
tidak sesuai (American Optometric Association, 2006).
Miopia yang berat yang berhubungan dengan perubahan degeneratif pada segmen
posterior mata disebut degenerative atau pathological myopia. Perubahan degeneratif
dapat menyebabkan fungsi penglihatan yang abnormal, seperti perubahan lapangan
pandang. Retinal detachment dan glaukoma adalah sekuele yang biasa terjadi (American
Optometric Association, 2006).
Induced myopia adalah akibat terpapar oleh berbagai obat-obatan, kadar gula
darah yang bervariasi, nuklear sklerosis pada lensa kristalin, atau kondisi ganjil lainnya.
Miopia ini seringnya bersifat sementara dan reversibel (American Optometric
Association, 2006).
Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk: (Ilyas, 2004)
Terdapat dua pendapat yang menerangkan faktor resiko terjadinya miopia, yaitu
yang berhubungan dengan faktor herediter atau keturunan dan lingkungan (Ilyas, 2006).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi miopia pada anak yang kedua orang
tuanya menderita miopia adalah sebesar 33-60%. Pada anak yang salah satu orang tuanya
menderita miopia, prevalensinya adalah 23-40%. Kebanyakan penelitian menemukan
bahwa anak yang kedua orang tuanya tidak menderita miopia, hanya 6-15% yang
menderita miopia. Perbedaan prevalensi ini menunjukkan bahwa riwayat orang tua
memang berperan pada kejadian miopia bahkan pada anak pada beberapa tahun pertama
sekolahnya (Saw dkk, 1996).
Pada beberapa studi cross-sectional di Denmark, Israel, Amerika, dan Finlandia
menunjukkan prevalensi miopia yang lebih tinggi pada individu dengan pendidikan yang
lebih tinggi. Penelitian lain menujukkan adanya hubungan antara miopia dengan
inteligensi dan status sosioekonomi (Saw dkk, 1996). Faktor resiko yang lain yang telah
diteliti mungkin berperan pada kejadian miopia dan perkembangannya yaitu prematuritas,
berat badan lahir rendah (BBLR), tinggi badan, kepribadian, dan malnutrisi. Ada bukti
yang kuat tentang hubungan prematuritas dan BBLR dengan miopia, tetapi belum ada
bukti yang meyakinkan tentang hubungan miopia dengan tinggi badan, kepribadian, atau
malnutrisi (Saw dkk, 1996).
Pada mata dengan miopia tinggi akan terdapat kelainan pada fundus okuli seperti
degenerasi makula, degenerasi retina bagian perifer, dengan miopik kresen pada papil
saraf optik (Ilyas,2001).
Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis
negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal (Ilyas,2001). Pasien
dengan miopia akan menyatakan melihat lebih jelas bila dekat bahkan terlalu dekat,
sedangkan melihat jauh kabur (rabun jauh). Seseorang dengan miopia mempunyai
kebiasaan mengerinyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau mendapatkan efek
pinhole (lubang kecil) (Ilyas, 2004). Pasien miopia jarang merasakan sakit kepala.
Kadang-kadang terlihat bakat untuk menjadi juling (Ilyas, 2006). Hal ini dikarenakan
pasien miopia mempunyi pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam atau
keadaan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila
kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau esotropia
(Ilyas, 2004).
Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik kresen, yaitu gambaran bulan sabit
yang terlihat pada polus posterior fundus mata miopia, yang terdapat pada daerah papil
saraf optik akibat tidak tertutupnya sklera oleh koroid. Pada mata dengan miopia tinggi
akan terdapat pula kelainan pada fundus okuli seperti degenerasi makula dan retina
bagian perifer (Ilyas, 2004).
Pengobatan pada miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis negatif
terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal (Ilyas, 2006). Pada miopia
tinggi sebaiknya koreksi dengan sedikit kurang atau under correction. Lensa kontak
dapat dipergunakan pada penderita miopia (Ilyas,2001). Pada saat ini telah terdapat
berbagai cara pembedahan pada miopia seperti keratotomi radial (radial keratotomy -
RK), keratektomi fotorefraktif (Photorefraktive Keratectomy - PRK), danl laservasisted
in situ interlamelar keratomilieusis (Lasik) (Ilyas, 2006).
Penyulit yang timbul pada pasien dengan miopia adalah terjadinya ablasi retina
dan juling. Juling biasanya esotropia atau juling ke dalam akibat mata berkonvergensi
terus-menerus. Bila terdapat juling ke luar, mungkin fungsi salah satu mata telah
berkurang atau terdapat ambliopia (Ilyas,2001).
B. Hipermetropia
a. Hipermetropia sumbu atau aksial, merupakan kelainan refraksi akibat bola mata
pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek.
b. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang sehingga
bayangan difokuskan di belakang retina.
c. Hipermetropia indeks refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada
sistem optik mata.
a. Simple hyperopia, karena variasi normal biologis, bisa disebabkan oleh panjang
sumbu aksial mata ataupun karena refraksi.
b. Pathological hyperopia, disebabkan anatomi mata yang abnormal karena gagal
kembang, penyakit mata, atau karena trauma.
c. Functional hyperopia adalah akibat dari paralisis akomodasi.
Hipermetropia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat kelainan refraksinya,
yaitu: (AOA, 2008)
Gejala yang ditemukan pada hipermetropia yaitu sakit kepala terutama di daerah dahi
atau frontal, silau, dan kadang rasa juling atau lihat ganda (Ilyas, 2006). Pasien dengan
hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh matanya lelah dan sakit karena terus
menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan bayangan yang terletak di
belakang makula agar terletak di daerah makula lutea. Keadaan ini disebut astenopia
akomodatif. Akibat terus-menerus berakomodasi, maka bola mata bersama-sama
melakukan konvergensi dan mata akan sering terlihat mempunyai kedudukan esotropia
atau juling ke dalam (Ilyas, 2006).
Mata dengan hipermetropia sering akan memperlihatkan ambliopia akibat mata tanpa
akomodasi tidak pernah melihat obyek dengan baik dan jelas. Bila terdapat perbedaan
kekuatan hipermetropia antara kedua mata, maka akan terjadi ambliopia pada salah satu
mata. Mata ambliopia sering menggulir ke arah temporal (Ilyas, 2004).
Pasien muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan karena matanya
masih mampu melakukan akomodasi kuat untuk melihat benda dengan jelas. Pada pasien
yang banyak membaca atau mempergunakan matanya, terutama pada usia yang lanjut,
akan memberikan keluhan kelelahan setelah membaca. Keluhan tersebut berupa sakit
kepala, mata terasa pedas dan tertekan (Ilyas, 2006).
Keluhan mata yang harus berakomodasi terus untuk dapat melihat jelas adalah mata
lelah, sakit kepala, dan penglihatan kabur bila melihat dekat (Ilyas, 2006). Pada usia
lanjut, seluruh titik fokus akan berada di belakang retina karena berkurangnya daya
akomodasi mata dan penglihatan akan berkurang (Ilyas, 2006). Pengobatan hipermetropia
adalah diberikan koreksi hipermetropia manifes dimana tanpa siklopegia didapatkan
ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal (6/6) (Ilyas,
2006).Bila terdapat juling ke dalam atau esotropia diberikan kacamata koreksi
hipermetropia total. Bila terdapat tanda atau bakat juling keluar (eksoforia) maka
diberikan kacamata koreksi positif kurang (Ilyas, 2006). Tidak ada pembedahan yang
dapat bertahan untuk mengatasi hipermetropia. RK dan PRK dicoba untuk merubah
permukaan kornea dengan hipermetropia (Ilyas, 2006).
Penyulit yang dapat terjadi pada pasien dengan hipermetropia adalah esotropia dan
glaukoma. Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat pasien selamanya melakukan
akomodasi. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi otot siliar pada badan siliar yang
akan mempersempit sudut bilik mata (Ilyas, 2006).
ASTIGMATISME
Pemeriksaan Astigmatisme
Karena sebagian besar Astigmatisme disebabkan oleh kornea, maka dengan
mempergunakan keratometer, maka derajat Astigmatisme dapat diketahui (Istiantoro S,
Johan AH, 2004).
Keratometer adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur jari-jari
kelengkungan kornea anterior. Perubahan Astigmatisme kornea dapat diketahui dengan
mengukur jari jari kelengkungan kornea anterior, meridian vertical dan horizontal,
sebelum dan sesudah operasi. Evaluasi rutin kurvatura kornea preoperasi dan postoperasi
membantu ahli bedah untuk mengevaluasi pengaruh tehnik incisi dan penjahitan terhadap
Astigmatisme. Dengan mengetahui ini seorang ahli bedah dapat meminimalkan
Astigmatisme yang timbul karena pembedahan. Perlu diketahui juga bahwa Astigmatisme
yang didapat pada hasil keratometer lebih besar daripada koreksi kacamata silinder yang
dibutuhkan (Istiantoro S, Johan AH, 2004).
Cara obyektif semua kelainan refraksi, termasuk Astigmatisme dapat ditentukan
dengan skiaskopi, retinoskopi garis (streak retinoscopy), dan refraktometri (Langston,
Deborah pavan, 1996).
Penatalaksanaan Astigmatisme
Kelainan Astigmatisme dapat dikoreksi dengan lensa silindris, sering kali
dikombinasi dengan lensa sferis. Karena tak mampu beradaptasi terhadap distorsi
penglihatan yang disebabkan oleh kelainan Astigmatisme yang tidak terkoreksi
(American Academy of Opthalmology Section 5, 2009-2010).