TINJAUAN PUSTAKA
EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK
PENDAHULUAN
Obat-obat neuroleptika juga disebut tranquilizer mayor, obat anti psikotik atau obat
anti skizofren, karena terutama digunakan dalam pengobatan skizofrenia tetapi juga
efektif untuk psikotik lain, seperti keadaan manik atau delirium. Obat-obat anti psikotik
ini terbagi atas dua golongan besar, yaitu :
A.
1. Phenothiazine
Rantai aliphatic
: CHLORPROMAZINE
LEVOMEPROMAZINE
Rantai piperazine
: PERPHENAZINE, TRIFLUOPERAZINE,
FLUPHENAZINE
Rantai piperidine
: THIORIDAZINE
2. Butyrophenone
: HALOPERIDOL
3. diphenyl-butyl-piperidine
: PIMOZIDE
B.
1. Benzamide
: SULPIRIDE
2. Dibenzodiazepine
: CLOZAPINE,OLANZAPINE, QUETIAPINE
3. Benzisoxazole
: RISPERIDON
samping yang minimal juga dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood sehingga
mengurangi ketidaknyaman dan ketidakpatuhan pasien akibat pemakaian obat antipsikotik.
Pemakaian Antipsikotik Atipikal (APG II) dapat meningkatkan angka remisi dan
meningkatkan kualitas hidup penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan fungsinya
dalam masyarakat. Kualitas hidup seseorang yang menurun dapat dinilai dari aspek
Occupational dysfunction, social disfunction, instrumental skills deficits, self-care dan
independent living.
I. EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK TIPIKAL
1. SINDROM EKSTRAPIRAMIDAL
A. DEFINISI
Efek samping ekstrapiramidal ( EPS , yaitu , dystonia akut , Parkinsonisme , akathisia ) telah
lama diketahui sebagai efek samping penggunaan antipsikotik , antipsikotik konvensional terutama
potensi tinggi. Sifat menghilangkan dan mengganggu efek samping adalah salah satu yang mendorong
perkembangan antipsikotik atipikal.
Sindrom ekstrapiramidal adalah suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan
jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal karena terjadinya
inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum
yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik
sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan
otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu diluar kendali traktus kortikospinal (piramidal).
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive
dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. Namun ada beberapa sumber menyebutkan bahwa
Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan ekstrapiramidal.
B. EPIDEMIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia, dan sindrom
parkinson umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat antipsikotik. Lebih banyak diakibatkan oleh
antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi. Reaksi distonia akut terjadi pada kirakira 10% pasien, biasanya pada pria muda, terutama yang mendapat pengobatan dengan neuroleptik
haloperidol dan flufenazin. Tardive dyskinesia terjadi pada sekitar 20-30% pasien yang telah
menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6 bulan atau lebih. Tetapi sebagian besar kasus
sangat ringan. Hanya 5% pasien yang memperlihatkan gejala nyata. Akatisia merupakan gejala EPS
yang paling sring terjadi. Kemungkinan besar terjadi pada pasien dengan medikasi neuroleptik.
Umumnya pada pasien muda. Sindrom parkinson lebih sering pada dewasa muda, dengan
perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1. Sindrom Neuroleptic Maligna sangat jarang dijumpai.
C. ETIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik baik dalam jangka waktu
singkat atau lama yang menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan
dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut :
Antipsikosis
Chlorpromazine
Thioridazine
Perphenazine
Trifluoperazine
Fluphenazine
Haloperidol
Pimozide
Clozapine
Zotepine
Sulpride
Risperidon
Quetapine
Olanzapine
Aripiprazole
Dosis (mg/hr)
150-1600
100-900
8-48
5-60
2-100
2-6
25-100
75-100
200-1600
2-9
50-400
10-20
10-20
Gejala Ekstrapiramidal
++
+
+++
+++
+++
++++
++
+
+
+
+
+
+
Ketidakseimbangan degeneratif
Ketidakseimbangan metabolik
Ketidakseimbangan sistem endokrin dan eksokrin
Inflamasi
Racun
Tumor
Anoxia
D. PATOFISIOLOGI
Susunan ekstrapiramidal terdiri atas korpus striatum, globus palidus, inti-inti talamik, nukleus
subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak, serebelum berikut dengan korteks
motorik tambahan, yaitu area 4, area 6 dan area 8. Komponen-komponen tersebut dihubungkan satu
dengan yang lain oleh akson masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang
melingkar yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan penerima tunggal
dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut dinamakan sirkuit striatal yang
terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3 sirkuit striatal penunjang (aksesori).
Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu (a) hubungan segenap neokorteks
dengan korpus striatum serta globus palidus, (b) hubungan korpus striatum/globus palidus dengan
thalamus dan (c) hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6. Data yang tiba diseluruh
3
neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus striatum / globus plaidus / thalamus untuk diproses
dan hasil pengolahan itu merupakan bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik
tambahan.
Oleh karena komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang
pada hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit striatal
asesorik. Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan stratum-globus
palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan yang melingkari globus
palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh
hubungan yang melingkari striatum-subtansia nigra-striatum.
Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi ekstrapiramidal.
Beberapa neuroleptik menginhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Penggunaan beberapa
neuroleptik tersebut menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak
reseptor D1 dan D2 dopamin sehingga menyebabkan depresi fungsi motorik yang bermanifestasi
sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine)
merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten, dan sebagai akibatnya menyebabkan
efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih menonjol.
E. MANIFESTASI KLINIS
Akibat gangguan sistem ekstrapiramidal pada pergerakan dapat dianggap terdiri dari defisit
fungsional primer (gejala negatif) yang ditimbulkan oleh tidak berfungsinya sistem dan efek sekunder
(gejala positif) yang timbul akibat hilangnya pengaruh sistem itu terhadap bagian lain. Pada gangguan
dalam fungsi traktus ekstrapiramidal gejala positif dan negatif itu menimbulkan dua jenis sindrom,
yaitu :
1. Sindrom hiperkinetik hipotonik : asetilkolin , dopamin
Tonus otot menurun
Gerak involunter / ireguler
Pada : chorea, atetosis, distonia, ballismus
2. Sindrom hipokinetik hipertonik : asetilkolin , dopamin
Gejala negatif
Gejala negatif terjadi akibat kekurangn jumlah dopamin karena produksinya yang berkurang.
Gejala ini merupakan gejala utama yang didapatkan pada penyakit parkinson sehingga
menimbulkan berkurangnya ekspresi wajah, berkurangnya kedipan mata dan mengurangi
perubahan postur pada saat duduk.
2. Gangguan postural
didorong.
Gejala Positif
Gejala positif timbul oleh karena terjadi perubahan pelepasan ataupun disinhibisi dari
Tremor
Athetosis
Chorea
Distonia
Hemiballismus
2. Rigiditas
secara pasif. Tahanan ini timbul di sepanjang gerakan pasif tersebut, dan mengenai gerakan
fleksi maupun ekstensi sering disebut sebagai plastic atau lead pipe rigidity. Bila disertai
dengan tremor maka disebut dengan tanda Cogwheel.
Pada penyakit parkinson terdapat gejala positif dan gejala negatif seperti
tremor dan bradikinesia. Sedangkan pada Chorea huntington lebih didominasi oleh gejala
positif, yaitu : Chorea.
Tardiv diskinesia
Akatisia
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul
beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang
abnormal. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, otot rahang (trismus, gaping,
grimacing), leher (torticolis dan retrocolis), lidah (protrusion, memuntir), seluruh otot tubuh
(opistotonus) atau otot ekstraokuler (krisis okulogirik).
Distonia juga dapat terjadi pada glosofaringeal yang menyebabkan disartria, disfagia,
kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Distonia juga dapat terjadi pada otot
diafragmatik yang membantu pernapasan sehingga sulit bernafas hingga sianosis bahkan kematian.
Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat
terjadi kapan saja.
Reaksi distonia akut sering sekali terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan
dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Keadaan ini terjadi pada kira-kira 10% pasien, lebih lazim
pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis tinggi yang berpotensi lebih tinggi, seperti
haloperidol dan flufenazine. Reaksi distonia akut dapat merupakan penyebab utama dari
ketidakpatuhan dengan neuroleptik karena pandangan pasien mengenai medikasi secara permanent
dapat memudar oleh suatu reaksi distonik yang menyusahkan.
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM-IV
Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang
berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik
(atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).
Kriteria A
Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan
medikasi neuroleptik:
1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya tortikolis)
2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia)
4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria,
makroglosia)
5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh.
Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau dengan
cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk
mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik).
Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya gejala
katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh gangguan mental
dapat berupa berikut :
1. Gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola
intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau
pemberian antikolinergik). Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau
kondisi neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis
umum dapat berupa berikut :
2. Gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal
yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.
1.
Dystonia
Manifestasinya sebagai postur tubuh yang abnormal untuk waktu yang lama yang
diakibatkan oleh spasme otot otot besar yang terdapat di badan dan ekstremitas, misalnya : retraksi
pada kepala. Distonia dapat terjadi umum pada dystonia musculorum deformans atau fokal pada
torticolis.
awalnya terjadi deformitas pada kaki berupa fleksi ketika berjalan. Lalu kelainan ini bertambah
menjadi generalisata dengan postur kepala, badan, dan ekstremitas yang abnormal. Diagnosis
ditegakkan jika pada pasien memiliki riwayat perinatal normal dan tidak terdapat bukti laboratorium
adanya penyakit Wilson. Pengobatan penyakit ini dapat dengan levodopa atau karbamazepin. Namun,
pada beberapa pasien tidak memberikan peningkatan yang berarti sehingga dapat diganti dengan
antikolinergik.
2.
yang berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien memperlihatkan
gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat melemahkan sekali, yaitu mempengaruhi
berjalan, berbicara, bernapas, dan makan.
Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan
berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif atau organik juga lebih
berkemungkinan untuk mengalami diskinesia tardive. Diagnosis banding jika dipertimbangkan
diskinesia tardive meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan
diskinesia yang ditimbulkan obat seperti Levodova, stimulant, dan lain-lain.
3.
Akatisia
Manifestasi berupa keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang, gugup
atau suatu keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang tidak bisa tenang, atau rasa gatal
pada otot. Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya
menjadi cemas atau iritabel, agitasi, dan pemacuan yang nyata. Akatisia dapat menyebabkan
eksaserbasi gejala psikotik yang memburuk akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.
Sejauh ini, akatisia merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan terjadi pada
sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik, terutama pada populasi pasien
lebih muda. Terdiri dari perasaan dalam yang gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap
bergerak. Juga telah dilaporkan sebagai rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena
anxietas atau kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang
memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan
tidak nyaman yang ekstrim.
Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain dari akatisisa hanya dapat
ditemukan pada kasus yang berat. Juga, akinesis yang ditemukan pada parkinsonisme yang
ditimbulkan neuroleptik dapat menutupi setiap gejala objektif akatisia. Akatisia sering timbul
segera setelah memulai medikasi neuroleptikdan pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan
perasaan tidak nyaman. Yang dirasakan ini dengan medikasi sehingga menimbulkan masalah
ketidakpatuhan pasien.
4.
Sindrom Parkinson
Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinson adalah peningkatan usia, dosis obat,
riwayat parkinson sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis. Terdiri dari akinesia, tremor, dan
bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan
lengan saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan
pengeluaran air liur.
Pada suatu bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status
perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apatis dan kesukaran untuk memulai
aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia negatif. Tremor dapat
ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah
kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot.
5.
Lain-lain
Berikut merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam
setelah dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah pengobatan
bertahun-tahun. Manifestasinya meliputi berikut :
1. Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan, penurunan
ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah
yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan,
akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan
spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat
dikelirukan dengan gejala negative skizofrenia.
2. Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil. Tremor
dapat mengenai rahang yang kadang-kadang disebut sebagai sindrom kelinci.
Keadaan ini dapat dikelirukan dengan diskenisia tardiv, tapi dapat dibedakan melalui
karakter lebih ritmik, kecerendungan untuk mengenai rahang daripada lidah dan
responya terhadap medikasi antikolinergik.
3. Gaya berjalan membungkuk : menyeret kaki dengan putaran huruf N cetak dan
hilangnya ayunan lengan.
4. Kekuan otot : terutama dari tipe cogwheeling. Gangguan gerakan yang kronis
progresif
yang
ditandai
oleh
adanya
tremor,
bradikinesia,
rigiditas,
dan
ketidakstabilan postural.
5. Chorea Huntington = Chorea Mayor
usia pertengahan dan berjalan progresif hingga menyebabkan kematian dalam waktu
10 12 tahun. Dapat terjadi pada usia muda (tipe juvenile) dimana gejalanya kurang
tampak dan didominasi oleh gejala negatif (rigiditas, demensia, perubahan
kepribadian, gangguan afektif, psikosis, hipotonus, reflex primitif)
F. DIAGNOSIS
Diagnosa awal dilakukan dengan anamnesa pasien. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan fisik pada umumnya yaitu tandatanda vital dan kondisi
fisik seluruhnya. Dapat ditambah pemeriksaan neurologis.
simplek tidak membutuhkan tes. Pemeriksaan kualitatif untuk mendeteksi adanya antipsikotik tidak
tersedia secara luas. Selain itu, kandungan obat dalam serum untuk tranquilizer mayor tidak
berkorelasi dengan baik dengan keparahan klinis dari overdosis dan tidak bermanfaat pada
pengobatan akut.
nitrogen dan urea darah, kreatinin darah, glukosa darah, mioglobin dan bikarbonat bermanfaat dalam
menilai status hidrasi, fungsi ginjal, status asam basa, kerusakan otot dan hipoglikemi sebagai
penyebab kelainan sensorium.
Kontraksi otot yang terus menerus sering menyebabkan perusakan otot yang terlihat
dari peningkatan potassium, asam urat, dan keratin kinase-MM. Perusakan otot juga menghasilkan
myoglobin yang diserap oleh ginjal, sehingga menyebabkan disfungsi tubulus ginjal. Dehidrasi
memperburuk penyerapan ini. Pada myoglobinuria, urin menjadi berwarna cokelat gelap.
G. DIAGNOSIS BANDING
Pada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula didiagnosis banding dengan penyakit
H. PENATALAKSANAAN
Non-farmakologis :
Farmakologis
Pada pasien > 60 tahun diberikan L-dopa. Pemberian L-dopa 3-4x1 hari dengan total
dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 30 menit sebelum makan, contoh madopar,
sinemet.
Pergolide mesylate dimulai dari 0,05 mg 0,05 mg tiap 4-7 hari sampai 2-4 mg / hari
untuk 3x beri
Contoh Non-ergot da
o
Pramipexole, sifrol 1 mg dimulai dari 0,125 mg. Dosis umumnya 3-4,5 mg / hari
Ropinirole, requip 2 mg, dimulai dari 0,25 mg. Dosis umumnya 3-9 mg/ hari
trihexyphenidil (THP), 4-6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis
diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah
pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek samping sindrom
ekstrapiramidal ini.
Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan agresif.
Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini
tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM.
Pedoman umum :
1.
2.
3.
Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk
menarik medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya
gejala.
mg intramuskuler (IM) atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM. Remisi
ADR dramatis terjadi dalam waktu 5 menit.
b. Akatisia
Pengobatan akatisia mungkin sangat sulit dan sering kali memerlukan banyak
eksperimen. Agen yang paling umum dipakai adalah antikolinergik dan amantadin
(Symmetrel); obat ini dapat juga dipakai bersama. Penelitian terakhir bahwa propanolol
(Inderal) sangat efektif dan benzodiazepine, khususnya klonazepam (klonopin) dan lorazepam
(Ativan) mungkin sangat membantu.
c. Sindrom Parkinson
Aliran utama pengobatan sindrom Parkinson terinduksi neuroleptik terdiri atas agen
antikolinergik. Amantadin juga sering digunakan . Levodopa yang dipakai pada pengobatan
penyakit Parkinson idiopatik umumnya tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat.
d. Tardive Diskinesia
Pencegahan melalui pemakaian medikasi neuroleptik yang bijaksana merupakan
pengobatan sindrom ini yang lebih disukai. Ketika ditemukan pergerakan involunter dapat
berkurang dengan peningkatan dosis medikasi antipsikotik tetapi ini hanya mengeksaserbasi
masalah yang mendasarinya. Setelah permulaan memburuk, pergerakan paling involunter
akan menghilang atau sangat berkurang, tetapi keadaan ini memerlukan waktu sampai dua
tahun.
Benzodiazepine dapat mengurangi pergerakan involunter pada banyak pasien,
kemungkinan melalui mekanisme asam gamma-aminobutirat-ergik. Baclofen (lioresal) dan
propanolol dapat juga membantu pada beberapa kasus. Reserpin (serpasil) dapat juga
digambarkan sebagai efektif tetapi depresi dan hipotensi merupakan efek samping yang
umum. Lesitin lemak kaya kolin sangat bermanfaat menurut beberapa peneliti, tetapi
kegunaannya masih diperdebatkan.
Pengurangan dosis umumnya merupakan perjalanan kerja terbaik bagi pasien yang
tampaknya mengalami diskinesia tardive tetapi masih memerlukan pengobatan. Penghentian
pengobatan dapat memacu timbulnya dekompensasi yang berat, sementara pengobatan pada
dosis efektif terendah dapat mempertahankan pasien sementara meminimumkan risiko, tetapi
kita harus pasti terhadap dokumen yang diperlukan untuk penghentian pengobatan.
I.
KOMPLIKASI
o
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga menurunkan
kualitas penderita dalam beraktivitas dan gangguan gerak saat berjalan dapat menyebabkan
penderita terjatuh dan mengalami fraktur.
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi
yang buruk.
Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan,
konstipasi dan retensi urine.
J. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik bila
gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan sindrom
ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, Pasien dengan tardive distonia hingga distonia laring dapat
menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap
pada pasien yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.
disregulasi autonomik yang dapat terjadi sebagai komplikasi serius dari penggunaan obat
antipsikotik. Sindrom ini pertama kali diketahui tahun 1960 setelah observasi pasien yang
diberikan obat antispikotik potensial tinggi.
b. Patofisiologi
sifat antagonisme obat terhadap reseptor D-2 dopamine. Blokade pusat reseptor D-2 pada
hipotalamus, jalur nigrostriatal dan di medula spinalis menyebabkan terjadinya peningkatan
rigiditas otot dan tremor berkaitan dengan jalur ekstrapiramidal. Blokade reseptor D-2 hipotalamus
juga menghasilkan peningkatan titik temperatur dan gangguan mekanisme pengaturan panas
tubuh. Sementara itu efek antipsikotik di perifer tubuh menyebabkan peningkatan pelepasan
kalsium dari retikulum sarkoplasma sehingga terjadi peningkatan kontraktilitas yang juga dapat
berkontribusi dalam terjadinya hipertermia, rigiditas dan penghancuran sel otot.
neuroleptik potensial rendah maupun potensial tinggi. Berdasarkan penelitian SNM lebih sering
ditemukan pada pasien yang mengonsumsi Haloperidol dan chlorpromazin. Antipsikotik atipikal
yang terbaru walaupun tidak diklasifikasikan secara akurat sebagai golongan neuroleptik juga
dapat menyebabakan Sindrom neuroleptik maligna seperti olanzapine, risperidone, zisprasidone
dan quetiapine.
c. Faktor Risiko
Faktor resiko yang berhubungan erat dengan kejadian Sindrom neuroleptik maligna
yakni penggunaan antipsikosis dosis tinggi, waktu yang singkat dalam menaikkan dosis
pengobatan, penggunaan injeksi antipsikotik kerja lama, kondisi pasien yang mengalami dehidrasi,
kelelahan dan agitasi. Selain itu pada pasien yang telah mengalami Sindrom neuroleptik maligna
juga mengalami resiko tinggi untuk terjadi SNM rekurens.
d. Epidemiologi
Secara epidemiologi belum terdapat adanya penelitian mengenai kejadian SNM yang
berhubungan dengan suku. Namun penelitian di Cina menunjukkan terdapat insidens 0,12% dari
pasien yang menggunakan obat neuroleptik sementara di India terdapat 0,14%. SNM dapat terjadi
kapan pun dari waktu dari waktu pengobatan dan risiko kejadian meningkat pada pasien yang
berusia kurang dari 40 tahun. Namun 2/3 kasus terjadi pada minggu pertama setelah pemberian
obat. Angka kematian sekitar 10-20% dan umunya resiko kematian meningkat bila pasien telah
mengalami nekrosisi sel-sel otot yang menyebabkan Rhabdomyolisis.
e. Diagnosis
fluktuatif)
Tekanan darah yang labil/berubah-ubah
Sesak nafas
Agitasi psikomotorik
Takikardia dan hipertermia (demam tinggi)
Rigiditas
i.
peningkatan Kreatinin kinase (CK) akibat penghancuran dan nekrosis sel-sel otot,
peningkatan aminotransferase (aminotransferase aspartat/GOT dan aminotransferase
alanine/GPT)
Rhabdomyelitis
ii.
iv.
Penanganan yang paling utama bila pasien mengalami SNM adalah penghentian terlebih
dahulu konsumsi obat-obatan antipsikotik. Gejala akan berkurang dalam 1-2 minggu. Untuk
mempertahankan fungsi organ-organ vital tubuh dan mencegah dari komplikasi yang lebih buruk
perlu diperhatikan untuk menjaga kestabilan sirkulasi dan ventilasi pasien, temperatur yang
meningkat diatasi dengan pemberian antipiretik dan resusitasi cairan secara agresif dan mengontrol
keseimbangan cairan bila terdapat tanda yang mengarahkan kemungkinan terjadi gagal ginjal. Terapi
farmakologi yang diberikan yakni bromocriptine yang merupakan agonis dan prekursor reseptor
dopamine.
3. ORTHOSTATIC HYPOTENSION
diberikan obat reserpin 2,5 mg/hari. Obat pengganti yang yang paling baik adalah klozapin
50-100 mg/hari.
4.
5. EFEK HORMONAL
Obat psikotik tipikal yang digunakan dalam jangka waktu yang panjang dapat
menyebabkan penigkatan produksi hormon prolaktin terutama pada wanita. Blokade pada
Traktus Tuberoinfundibular yang terproyeksikan ke hipotalamus dan kelenjar hipofisis
mengakibatkan berbagai efek samping neuroendokrin, yakni peningkatan pelepasan hormon
prolaktin.
Efek lain antipsikotik tipikal seperti efek antikolinergik baik sentral maupun perifer melalui
blokade reseptor musikarinik. Gejala pada efek sentral seperti agitasi yang berat, disorientasi
waktu, tempat dan orang, halusinasi, dan dilatasi pupil. Sedangkan efek perifer antikolinergik
berupa mulut dan hidung yang kering umumnya dilaporkan pada pasien dengan pengobatan
antipsikotik tipikal potensi rendah, contohnya chlorpromazine dan mesoridazine. Efek
antikolinergik autonomik lainnya seperti konstipasi.
Fotosensitifitas dapat terjadi pada pasien yang mengonsumsi golongan potensi rendah seperti
chlorpromazine sehingga pasien perlu diinstruksikan untuk berhati-hati ketika terpapar sinar
matahari. Selain itu dermatitis alergi dapat terjadi di awal pengobatan.
Efek sedasi terjadi akibat mekanisme hambatan reseptor histamine H1 yang mungkin akan
berpengaruh dalam pekerjaan bila pasien merupakan orang yang masih aktif bekerja. Akibat
inhibisi psikomotorik menjadikan aktivitas psikomotorik menurun, kewaspadaan berkurang
dan kemampuan kognitif menurun.
Efek autonomik yang muncul seperti hipotensi postural dimediasi oleh blokade adrenergik
umumnya pada pengguna obat tipikal potensial rendah seperti chlorpromazine dan
thioridarize. Sehingga penggunaan obat tipikal potensial rendah intramuskular memerlukan
pemantauan tekanan darah (saat berbaring dan berdiri) untuk mencegah pasien pingsan
ataupun jatuh saat berdiri.
Gangguan irama jantung merupakan efek antipsikotik yang mengganggu kontraktilitas
jantung, menghancurkan enzim kontraktilitas sel-sel miokardium.
Antipsikotik tipikal mampu menurunkan ambang batas seseorang untuk mengalami kejang.
Chlorpromazine dan thioridazine diperkirakan bersifat lebih epileptogenik sehingga resiko
untuk kejang selama masa pengobatan perlu dipertimbangkan dalam gangguan kejang atau
lesi pada otak.
Selain itu efek yang mungkin timbul juga dapat berupa peningkatan berat badan yang
kebanyakan terdapat pada pasien yang mengonsumsi Chlorpromazine dan thioridazine. Paling
sering karena pengobatan antipsikotik atipikal. Nafsu makan yang meningkat erat kaitannya
dengan blokade reseptor alpha1-adrenergik dan Histaminergic.
Efek hematologi dapat terjadi berupa leukopenia dengan sel darah putih 3.500 sel/mm 3
merupakan masalah yang umum. Agranulositosis mengancam kehidupan dapat terjadi 1 :
10.000 pasien yang dirawat dengan antipsikotik tipikal.
f.
DERIVAT FENOTIAZIN
o
Senyawa dimetilaminopropil :
Klorpromazin
Promazin
Triflupromazin
Senyawa Piperidil :
EF
++
++
++
++
++
B. NON-FENOTIAZIN
Klorprotiksen
++
Mepazin
Tioridazin
Senyawa piperazin
Asetofenazine
Karfenazin
Flufenazin
Perfenazin
Proklorperazin
Trifluoperazin
C. BUTYTOPHENONE
Haloperidol
GAM
WA
BARA
KTU
EK
RISI
AN
KLINI
KO
IS
MA
KSI
MA
T
A
Spasm
e otot,
1-5
hari
Bel
N
D
um
ap
lidah,
dik
at
wajah,
eta
di
pungg
hui
be
ung;da
ri
pat
ka
menye
rupai
be
bangki
rb
tan;bu
ag
kan
ai
histeri
pe
n
g
o
ba
ta
n
o
ba
t
an
ti
pa
rk
in
so
n
be
rs
if
at
di
ag
n
os
ti
k
da
n
k
ur
at
Ketida
ktenan
5-60
hari
Bel
if
K
um
ur
gan
dik
an
ti
motori
eta
gi
k,
hui
bukan
os
ansieta
is
s atau
at
agitasi
au
ga
nt
i
o
ba
t;
o
ba
t
an
ti
pa
rk
in
so
n,
be
nz
o
di
az
ep
in
,
at
au
pr
o
pa
n
ol
Bradik
inesia,
5-30
An
ol
O
tag
ba
rigidit
oni
as,
sm
an
maca
ti
m-
den
pa
maca
gan
rk
do
in
termor
pa
so
mi
wajah
topeng
,
sufflin
g gait
hari
Katato
Ber
Ad
nik,
ming
en
stupor,
gu-
ko
ti
dema
ming
ntri
ka
m,teka
gu,
bus
nan
dpat
ne
darah
berta
ant
ur
tidak
han
ago
ol
stabil,
bebe
nis
ep
miogl
rapa
me
ti
li
obine
hari
den
mia,
setel
gan
se
dapat
ah
do
ge
fatal
obat
pa
ra
dihe
mi
ntika
da
nt
ro
le
ne
at
au
br
o
m
o
kr
ip
ti
n
da
pa
t
m
en
ol
o
Pengo
Setel
Bel
g;
P
batan
ah
um
Tremo
berb
dik
ulan-
eta
be
perior
bula
hui
ri
al
an
(mung
atau
kin
berta
ba
sejenis
hun-
parkin
tahu
an
sonis
ti
me
pa
yang
rk
datang
in
terlam
so
bat)
i
n
d
r
o
m
a
k
e
li
n
c
i
)
D
Diskin
Setel
Di
esia
ah
du
ul
wajah;
berb
ga :
it
koreoa
ulan-
kel
di
tetosis
bula
ebi
ce
atau
han
ga
distoni
atau
efe
h,
berta
pe
melua
hun-
do
tahu
pa
mi
(me
ba
mbur
ta
uk
deng
ti
an
da
peng
henti
an)
e
m
ua
sk
an
II.
samping ekstrapiramidal yang minimal. Efek samping ekstrapiramidal yang biasa muncul pada
pengobatan dengan psikofarmaka konvensional antara lain berupa : parkinsonism, akatisia, distonia
akut, dan tardive diskinesia. Antispikotik atipikal yang akan dibahas antara lain : klozapin, risperidon,
olanzapin dan quetiapin.
1. KLOZAPIN
a. Farmakodinamik
Klozapin juga bekerja sebagai antagonis reseptor D2, tetapi memiliki afinitas
yang rendah. Rendahnya afinitas terhadap reseptor D2 berhubungan dengan jarangnya gejala
ekstrapiramidal pada pengobatan dengan menggunakan klozapin. Dibandingkan dengan
antipsikotik atipikal lainnya. Antipsikotik konvensional, klozapin memiliki afinitas yang
rendah terhadap D2.
b. Farmakokinetik
kadar tertinggi di dalam plasma dalam waktu 2 jam. Klozapin memiliki waktu paruh 12 jam.
Pemberian klozapin dengan dosis 2 kali sehari akan menjaga kadar klozapin di dalam darah
dalam waktu kurang dari 1 minggu. Klozapin di metabolisme di hati dan saluran pencernaan.
Kadar klozapin didalam darah bervariasi tergantung dari tingkat absorpsi dan
metabolisme klozapin. Akibatnya, kadar yang bervariasi tersebut akan berpengaruh terhadap
reseptor klinik.
c. Efektivitas
d. Efek samping
1. Agranulositosis
Risiko Agranulositosis akibat pemberian klozapin sebesar 0,73% pada tahun pertama
pengobatan, dan menjadi 0,07% pada tahun ke -2. Risiko ini paling besar pada 3 bulan
pertama pengobatan. Pada pasien dengan agranulositosis karena klozapin, ditemukan
hasil laboratorium berupa jumlah netrofil absolut <500 sel/mm 2 atau leukosit <1000
sel/mm2.
2. Sialorhea
Pasien dengan efek samping sialorhea akan mengalami hipersalivasi pada saat tidur.
Efek samping ini hanya berlangsung pada awal pengobatan
3. Sistem kardiovaskular
Efek samping kardiovaskular pada pemberian klozapin yang paling sering adalah
takikardia, hipotensi postural dan aritmia. Takikardia kemungkinan disebabkan karena
efek vagolitik dari klozapin. Klozapin dapat menyebabkan perubahan pada gambaran
EKG, berupa pemanjangan QT interval yang dapat mengakibatkan aritmia ventrikular.
Postural hipotensi terjadi ketika dosis pemberian klozapin >75 mg/hari.
4. Antikolinergik
Efek samping perifer antikolinergik pada pemberian klozapin berupa: mulut kering,
pandangan kabur, konstipasi dan retensi urin.
5. Gangguan pengaturan temperatur tubuh
Hipertermia terjadi pada awal pengobatan. Namun perlu dievaluasi untuk keberadaan
penyakit penyebab hipertermia lainnya, seperti infeksi, heat stroke, dehidrasi dan lainlain.
6. Peningkatan berat badan
Peningkatan berat badan terjadi sebanyak 4,45 kg dalam 10 minggu. Menurut
penelitan, berat badan pasien akan terus naik dalam jangka waktu 5 tahun.
7. Diabetes mellitus
Peningkatan berat badan memicu terjadinya resistensi insulin. Akibatnya, risiko
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat. Kasus diabetes biasanya muncul setelah 6 bulan
terapi klozapin.
8. Gangguan gastrointestinal
Konstipasi kemungkinan terjadi karena efek antimusikairinik klozapin dan dapat
berujung pada obstruksi saluran cerna.
9. Efek urogenital
Efek samping urogenital akibat pemberian klozapin berupa gangguan berkemih.
10. Efek ekstrapiramidal
Efek samping ekstrapiramidal klozapin merupakan yang paling rendah di antara
antipsikotik lainnya. Akatisia sebanyak 6%, tremor 6%, rigiditas 5%. Tidak ditemukan
adanya distonia akut dan diskinesia tardif.
11. Sindroma neuroleptik maligna
Sindrom ini hanya muncul ketika klozapin dikombinasikan dengan litium. Karena
efek samping klozapin mirip dengan sindrom ini, tenaga medik perlu waspada
munculnya sindrom ini di tengah pengobatan dengan klozapin.
12. Kejang
Klozapin menurunkan ambang batas kejang dan meningkatkan risikonya seiring
dengan menigkatnya dosis.
2. RISPERIDON
8 minggu
mg Klozapin
10 minggu
mg/hari
Indikasi terapi
1. Psikosis akut
Efek samping
3. OLANZAPIN
Olanzapin merupakan obat yang aman dan efektif untuk gejala skizofrenia baik gejala
positif maupun negatif dengan profil efek samping yang aman. Dapat diberikan dalam dosis
tunggal dimulai dari 10 mg. Profil efek samping meliputi peningkatan berat badan, somnolence,
hipotensi ortostatik dan konstipasi. Kemungkinan terjadinya efek samping ekstrapiramidal dan
kejang sangat kecil. Sejauh ini belum ada efek hematologik yang muncul.
Studi preeliminari menunjukkan perbaikan pada kualitas hidup dan mengurangi
tingkat rehospitalisasi. Olanzapin merupakan obat antipsikotik lini pertama, tetapi efikasi terhadap
yang resisten pengobatan belum diketahui.
a. Farmakokinetik
b. Farmakodinamik
Olanzapin juga memblokade reseptor musikarinik, H1, 5HT2c, 5HT3, 5HT6, 1, D1 dan D4.
Blokade reseptor 5HT jauh lebih kuat dibandingkan blokade pada reseptor dopamin. Struktur
biokimia Olanzapin mirip Klozapin, tetapi tidak memiliki efek samping tipikal dimiliki oleh
Klozapin. Blokade reseptor dopamin di area mesolimbik sangat lemah, sehingga efek
ekstrapiramidal hanya terjadi pada individu yang rentan. Efek blokade D2 Olanzapin lebih
tinggi dibanding klozapin, tetapi efek setara dengan Risperidon. Artinya, Olanzapin juga
memiliki efek hiperprolaktinemia dan efek samping ekstrapiramidal yang sama dengan
risperidon. Olanzapin juga memiliki efek agonis 5HT1a. Dengan kata lain, Olanzapin juga
memiliki efek antidepresan dan antiansietas. Olanzapin memblokade fenisikldin yang
menginduksi perbaikan gejala positif dan negatif.
c. Efektifitas
psikopatologi dan gejala posotof psikosis, serta respon gejala negatif psikosis. Efek
ekstrapiramidal akut lebih minimal dibandingkan dengan ekstrapiramidal akut lebih minimal
dibandingkan dengan haloperidol. Olanzapin juga lebih baik untuk mengobati skizofrenia
episode pertama dengan profil risk-benefit yang lebih baik. Pada skizofrenia kronik dan
resisten, 15-25 mg/hari Olanzapin memiliki efek terapeurik yang sama dengan 200 600 mg
klozapin.
d. Indikasi
i. Psikosis akut
ii. Melanjutkan pengobatan
iii. Diskinesia tardif
4. QUETIAPIN
a. Farmakokkinetik
Quetiapin memiliki waktu paruh yang stabil, yaitu sekitar 6,9 jam.
Konsentrasi maksimum dapat dicapai dalam waktu kurang dari 2 jam. Setelah 8 jam
dan 12 jam, kedudukannya pada reseptor tidak berubah walaupun konsentrasi di
dalam darah turun.
b. Farmakodinamik
c. Efektivitas
d. Indikasi
e. Efek samping
somnolence, hipotensi postural dan pusing. Namun, biasanya toleransi timbul secara
cepat terhadap efek samping ini. efek samping serius dari Quetiapin berupa
peningkatan kadar gula darah, koma diabetikum dan ketoasidosis. Sama seperti
olanzapin, di Jepang pada tahun 2002, Quetiapin dikontraindikasikan untuk pasien
diabetes.
adanya efek antikolinergik dari Quetiapin. Prolaktin tidak meningkat setelah dosis
inisial. Ditemukan adanya peningkatan kecil dari frekuensi nadi. Selain itu, efek
hormonal dari Quetiapin adalah penurunan hormon tiroid tanpa disertai dengan
penurunan TSH. Selain itu, terdapat peningkatan sementara aktivitas ALT selama 2
minggu pertama. Berat badan juga meningkat, tetapi tidak berlanjut secara signifikan.
Pada mata, Quetiapin dapat meningkatkan risiko katarak.
BAB III
KESIMPULAN
Antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat reseptor
dopamine tipe 2 (D2). Obat antipsikotik baik tipikal maupun atpikal selain berfungsi untuk mengobati
penyakit khususnya skizofrenia, tentunya juga memiliki efek samping.
DAFTAR PUSTAKA
Jakarta. 2007.