Anda di halaman 1dari 15

KAJIAN PUSTAKA, HIPOTESIS DAN SINTESIS VARIABEL

JUDUL PENELITIAN : ANALISIS PENGARUH POLA ALIRAN UDARA PADA


BANGUNAN RUMAH PANGGUNG MASYARAKAT DI GORONTALO TERHADAP
PENGENDALIAN TEMPERATUR DALAM RUANG
RUMUSAN MASALAH :
 Bagaimana pola aliran udara pada bangunan rumah panggung masyarakat di
Gorontalo?
 Seberapa besar pengaruh pola aliran udara tersebut terhadap pengendalian
temperatur didalam ruang bangunan rumah panggung masyarakat di
Gorontalo?

I. KAJIAN PUSTAKA

A. Perkembangan Bentuk Arsitektur Rumah Panggung Masyarakat


Gorontalo
1. Laihe atau Potiwolunga
Hasil penelitian Tim Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nila-nilai
Budaya Dirjen Kebudayaan DEPDIKBUD dalam Syamsidar (1991)
mengungkapkan bahwa rumah tinggal laihe ini merupakan bangunan
tradisional masyarakat Gorontalo yang nuansa filosofis dan adat istiadat
suku Gorontalo masih sangat kental.
Bentuk denah bujur sangkar (poliyongo wopato). Inti bangunan disebut
pongawaaliyo terdiri dari kamar-kamar tidur (huwali) dan ruang tengah
(duledehu). Sedangkan tambahan bagian depan yang berfungsi sebagai
serambi disebut hantaleya, serambi samping kiri dan kanan disebut palepelo
dan terdapat hulude yang berfungsi sebagai teras belakang sekaligus
jembatan penghubung ke bangunan dapur atau depula. Seluruh kesatuan
bagian-bagian tersebut merupakan tipologi dasar rumah tradisional
Gorontalo yang disebut laihe atau potiwolunga.
Gambar 1. Denah Laihe atau potiwolunga
Sumber: Syamsidar (1991)

Dinding rumah (dingingo) terbuat dari bahan bambu yang di pecah-


pecah disebut tolotahu dan ada juga yang terbuat dari anyaman bambu atau
tehilo. Bahan dinding ini dipasang tegak lurus dan diapit oleh tiang-tiang
kayu yang diantara tiang satu dengan yang lain diberi pengapit. Tiang pada
inti bangunan berjumlah 52 tiang, ditambah tiang pada dinding sayap kanan
dan kiri sebannyak 8 tiang serta tiang-tiang pada hulude dan depula
berjumlah 16 buah tiang.

Gambar 2. Dinding Bagian Badan Laihe atau potiwolunga


Sumber: Syamsidar (1991)
Pada bagian serambi depan atau yang disebut hantaleya, terdapat
sebuah tangga utama dengan material bambu cacah yang kemudian
dianyam, berfungsi sebagai akses menuju atau naik ke rumah, dan
disekeliling hantaleya terdapat pagar pembatas yang terbuat dari bambu.

Gambar 3. Serambi depan rumah (hantaleya)


Sumber: Syamsidar (1991)
Bagian atap bangunan atau disebut juga dalam bahasa Gorontalo
yakni watopo bentuknya merupakan gabungan dari atap pelana dan atap
limas dengan material yang terbuat dari daun rumbia atau daun kelapa.

Gambar 4. Bentuk Atap Bangunan Laihe


Sumber: Syamsidar (1991)
Bangunan laihe ini didirikan diatas tiang-tiang kayu atau disebut wolihi
yang berbentuk bundar dengan ketinggian hingga mencapai 4 meter namun
kemudian berkurang menjadi kurang lebih 1 meter. Jumlah wolihi secara
keseluruhan adalah 76 buah yang terdiri dari 53 buah tiang penyangga
rumah inti serta 24 buah tiang yang merupakan penyangga bagian
hantaleya, palepelo, hulude dan depula.
Bagian lantai bangunan disebut langolo terbuat dari material yang
berasal dari jenis pohon palem (nibung) yang dicacah sepanjang lebar
rumah karena dipasang secara melintang. Material lantai lainnya dalah
papan dan bambu cacah. Namun material nibung merupakan bahan
tradisional yang diwariskan nenek moyang suku Gorontalo. Sedangkan
Material untuk plafond sama dengan material pada lantai.
Laihe dengan bentuk bangunan seperti uraian diatas saat ini bisa
dipastikan sudah tidak dapat dijumpai lagi di Gorontalo akibat dari
pergeseran kebudayaan, perkembangan teknologi serta pengaruh
modernisasi. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Tanudjaja
(1992), bahwa pergeseran kebudayaan pada hakekatnya akan
mempengaruhi kondisi dan dinamika arsitektur.
Di beberapa tempat di Gorontalo, rumah-rumah sederhana masyarakat
berpenghasilan rendah atau miskin yang materialnya mirip dengan material
bangunan dari uraian diatas yakni menggunakan bambu cacah atau
anyaman bambu masih bisa kita jumpai, namun secara tipologi berbeda
dengan laihe.

Gambar 5. Bangunan Laihe Tahun 1924


Sumber: www.tropenmuseum.com
2. Banthayo Poboide
Banthayo poboide merupakan bangunan rumah yang berfungsi
sebagai tempat untuk melakukan rapat, pertemuan-pertemuan atau
pelaksanaan musyawarah untuk membicarakan segala urusan desa
(Syamsidar, 1991).
Tipologi bangunan banthayo poboide berbentuk bujur sangkar atau
empat persegi panjang terdiri dari poladenga yakni serambi depan yang
berfungsi sebagai entrans, duledehu yakni ruang tengah yang difungsikan
untuk tempat bermusyawarah, poliyodu yakni ruang yang berfungsi untuk
tempat bermufakat serta poluwali yakni bangunan bagian belakang yang
diperuntukkan sebagai tempat untuk bersantai.

Gambar 6. Denah Banthayo Poboide


Sumber: Syamsidar (1991)
Bangunan asli banthayo poboide sudah tidak ditemukan lagi, namun
replika dari bangunan ini bisa dijumpai di Gorontalo dengan tipologi yang
sama dengan bangunan aslinya. Menurut Farhah Daulima yang merupakan
ahli sejarah dan kebudayaan di Gorontalo seperti dikutip Heryati (2008),
bentuk tampilan replika banthayo poboide yang ada sekarang mengadopsi
bentuk penampilan rumah golongan bangsawan zaman dulu.
Bangunan replika ini sering difungsikan untuk tempat penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan pertemuan, upacara adat, pertunjukan seni dan budaya
serta menyimpan beberapa koleksi benda-benda bersejarah.
Gambar 7. Replika Bangunan Banthayo Poboide
Sumber: http://disbudparkotagtlo.wordpress.com

Gambar 8. Replika Bangunan Banthayo Poboide


Sumber: http://parbudkominfo.wordpress.com

3. Bele Dupi
Rumah panggung yang masih dapat dijumpai di daerah Gorontalo
adalah jenis rumah panggung atau bele yang secara penampilan fisik telah
mendapat pengaruh kolonial, cina dan arab (Heryati 2008)
Gambar 9. Beberapa Rumah Panggung Masyarakat Gorontalo (bele dupi)
Sumber: Heryati (2008)

Heryati (2008) menjelaskan bagian-bagian rumah panggung ini terdiri


dari tiga bagian yakni:
- Bagian kaki bangunan atau bagian bawah yang disebut tahuwa, berfungsi
sebagai tempat penyimpanan hasil-hasil bumi dan alat-alat pertanian.
- Badan bangunan yang merupakan bagian utama dari rumah panggung
ini. Syamsidar (1991) menyebutkan bagian tengah bangunan rumah
panggung Gorontalo disebut pongaawaliyo.
- Bagian atap (watopo) yang berfungsi sebagai penutup bangunan dan
ruang bagian bawah atap atau loteng (pahu) tersebut difungsikan sebagai
ruang penyimpanan dokumen-dokumen dan berkas.
Dimensi dari ketiga bagian bangunan ini memiliki ukuran-ukuran yang
ditentukan oleh aturan adat istiadat yakni, tinggi badan bangunan dari lantai
ke plafond tidak boleh kurang dari 3 meter dan tidak boleh lebih dari 5 meter.
Tingi dari lantai bangunan sampai ke puncak atap (bubungan) tidak boleh
lebih dari 7 meter.
Jenis tiang yang berfungsi sebagai kaki bangunan dibagi 3 jenis yaitu 2
buah tiang utama (wolihi) yang menerus dari tanah ke atap, 6 buah tiang di
serambi depan dan tiang dasar (potu) bervariasi tergantung kategori rumah,
yakni formasi dan jumlah tiang, 4 x 8 atau 32 tiang untuk golongan
bangsawan atas termasuk raja, 4 x 6, 4 x 7 atau 24 dan 28 tiang untuk
golongan bangsawan menengah atau golongan berada/kaya, 4 x 5 atau 20
tiang untuk rumah rakyat kebanyakan (Heryati, 2008).
Bagian badan bangunan berbentuk persegi panjang dengan
pembagian ruangan bervariasi. Menurut Heryati (2008), secara horisontal
ruang terbagi 3 bagian, yakni: surambe atau teras bagian depan berfungsi
sebagai tempat menerima tamu laki-laki, ruang tengah atau bangunan induk
terdiri dari duledehu/hihibata yakni tempat menerima tamu perempuan,
huwali adalah kamar tidur, dulawonga yakni ruangan pada bagian belakang
dipakai untuk melepaskan lelah.

Gambar 10. Fariasi Bentuk Penataan Ruang Rumah Panggung Bele Dupi
Sumber: Heryati (2008) dan Olahan Penulis

Selanjutnya mengenai bentuk atap Heryati (2008) menjelaskan bahwa


terdapat tiga tipe bentuk atap dari rumah panggung ini yakni:
- Tipe 1, atap yang tidak bersusun, tidak memiliki jendela di bagian depan,
serta tidak dihiasi ornamen pada bagian listplanknya. Bentuk ini masih
seperti bentuk atap dari bangunan laihe.
- Tipe 2, atap yang bersusun dan memiliki satu buah jendela pada bagian
depan dengan ada atau tanpa ornamen pada listplak.
- Tipe 3, atap bersusun dengan tiga buah jendela di bagian depan, dengan
ada atau tanpa ornamen pada bagian listplanknya.
Untuk bentuk atap yang bersusun dan memiliki jendela merupakan pengaruh
dari kolonial Belanda.

Tampak Depan

Tampak Samping
Gambar 11. Bentuk Atap Tipe 1 Bele Dupi
Sumber: Heryati (2008)

Tampak Depan

Tampak Samping
Gambar 12. Bentuk Atap Tipe 2 Bele Dupi (Tanpa Ornamen)
Sumber: Heryati (2008)

Tampak Depan

Tampak Samping
Gambar 13. Bentuk Atap Tipe 2 Bele Dupi (Dengan Ornamen)
Sumber: Heryati (2008)
Tampak Depan

Tampak Samping
Gambar 14. Bentuk Atap Tipe 3 Bele Dupi (Dengan Ornamen)
Sumber: Heryati (2008)
Material bangunan menggunakan bahan kayu yakni papan dan balok.
Untuk bagian dinding dan lantai menggunakan papan sedangkan pada
bagian tiang-tiang penyangga dinding dan kaki bangunan menggunakan
balok kayu. Beberapa bangunan telah menggunakan material batu bata
untuk kaki atau tiang penyangga. Untuk material penutup atap sudah tidak
menggunakan bahan rumbia namun telah menggunakan material seng
gelombang.

B. Faktor-faktor Iklim Lingkungan


1. Radiasi Matahari
Ciri umum iklim semuanya dipengaruhi oleh radiasi matahari dan
berpengaruh juga kepada manusia. Menurut Lippsmeier (1994), pengaruh
radiasi matahari pada suatu tempat ditentukan oleh tiga hal yaitu:
- Durasi radiasi
Lama penyinaran maksimum dapat mencapai 90%. Durasi harian
penyinaran tergantung pada musim, garis lintang geografis pengamatan
dan densiti awan.
- Intensitas Radiasi, bergantung pada energi radiasi absolut, hilangnya
energi pada atmosfir, sudut jatuh pada bidang yang disinari serta
penyebaran radiasi
- Sudut Jatuh, ditentukan oleh posisi relatif matahari dan tempat
pengamatan, sudut lintang geografis tempat pengamatan, musim, lama
penyinaran harian yang ditentukan oleh garis bujur geografis tempat
pengamatan.
Daerah khatulistiwa merupakan daerah yang paling banyak menerima
radiasi matahari. Panas tertinggi dicapai lebih kurang dua jam setelah
tengah hari, pada saat radiasi matahari langsung bergabung dengan udara
yang sudah tinggi. Sebanyak 43% radiasi matahari dipantulkan kembali
keluar atmosfir bumi, sedangkan 57% terserap dan dibagi lagi menjadi 14%
yang diserap atmosfir serta 43% diserap permukaan bumi (Lippsmeier,
1994).

2. Temperatur Udara
Olgyay (1962) menyatakan bahwa fariasi temperatur udara harian
tergantung pada kondisi langit. Temperatur udara pada saat kondisi langit
yang cerah lebih tinggi dibanding ketika kondisi langit berawan hal ini
disebabkan oleh pancaran radiasi sinar matahari.
Kondisi didalam bangunan sangat dipengaruhi oleh kondisi luar atau
iklim setempat, baik menyangkut tingkat intensitas pemanasan radiasi
matahari yang berpengaruh langsung pada temperatur, kelembabab dan
didukung oleh kecepatan aliran udara. Jika kondisi luar sangat menyimpang
dari kondisi di dalam bangunan, maka diperlukan suatu usaha yang lebih
besar dari pada jika penyimpangan kecil, demikian juga jika kondisi dalam
mempunyai batas maksimum dengan rentang yang sempit (Soegijanto,
1998), sementara Olgyay (1662) menjelaskan bahwa para ilmuwan Amerika
melakukan membangun pendekatan fisiologi dengan mengkombinasikan
antara temperatur, kelembaban, dan kecepatan aliran udara untuk
mendapatkan apa yang disebut temperatur efektif.
Berdasarkan hasil penelitian Mom dan Wiesebron dalam Soegijanto
(1998) mengungkapkan bahwa temperatur efektif untuk kondisi nyaman
untuk orang Indonesia adalah “sejuk nyaman” antara 20,5OC – 22,8OC,
“nyaman optimal” antara 22,8OC – 25,8OC, dan kondisi “panas nyaman”
berkisar antara 25,8OC – 27,1OC.

3. Kelembaban Udara dan Curah Hujan


Pada daerah tropis lembab, tingkat kelembaban dangat tinggi
disebabkan oleh tingginya curah hujan. Kadar kelembaban udara dapat
mengalami fluktuasi yang tinggi dan tergantung pada temperatur udara.
Semakin tinggi temperatur akibatnya semakin tinggi pula kemampuan udara
menyerap air.
Kelembaban relatif menunjukkan perbandingan antara tekanan uap air
yang ada terhadap tekanan uap air maksimum yang mungkin dalam kondisi
temperatur udara tertentu dan dinyatakan dalam persen. Udara yang telah
jenuh tidak dapat menyerap lagi karena tekanan uap air maksimum telah
tercapai. Sedangkan kelembaban absolut adalah kadar air dari udara yang
dinyatakan dalam gram per kilogram udara kering denga cara mengukur
tekanan yang ada pada udara dala kilo pascal (Kpa) atau yang disebut juga
tekanan uap air.
Hasil penelitian Mom dan Wiesebron dalam Soegijanto (1998)
mengungkapkan bahwa tingkat kelembaban yang nyaman untuk orang
Indonesia berkisar antara 50% hingga 80%.

4. Aliran Udara
Udara akan mengalir baik karena arus konveksi yang disebabkan oleh
adanya perbedaan suhu atau juga karena adanya perbedaan tekanan
(Lechner, 2001). Perbedaan tekanan ini menurut Olgyay (1962), ketika angin
menerpa bagian darimana arah angin bertiup dari suatu bangunan akan
memadatkan dan menciptakan tekanan positif (+), sedangkan disaat yang
sama udara akan terisap dari sisi yang terhindar dari angin sehingga
menciptakan tekanan negatif (-).

Gerakandan tekanan udara disekitar bangunan


Aliran dan tekanan udara pada potongan bangunan
Gambar 15. Pola Aliran Udara di Luar Bangunan
Sumber: Olgyay (1962)

Temperatur didalam ruang sangat ditentukan oleh gerakan udara,


menurut Lippsmeier (1994) gerakan udara menimbulkan pelepasan panas
dari permukaan kulit oleh penguapan, semakin besar kecepatan udara,
semakin besar pula panas yang hilang, akan tetapi hal ini hanya terjadi
selama temperatur udara lebih rendah dari temperatur kulit.

II. HIPOTESIS

Bertolak dari pemahaman bahwa bangunan tradisional maupun vernakular


masyarakat yang dibangun berdasarkan pendekatan dan metode trial and error
dengan berusaha menyelaraskan alam dengan lingkungan serta melihat bentuk
arsitektur bangunan rumah panggung masyarakat gorontalo dengan bentukan
atap yang memiliki bukaan dibagian depannya, bentuk badan bangunan dengan
material dinding dan lantai terbuat dari papan serta bentuk kaki bangunan yang
menciptakan ruang dibawah lantai dan kemudian mengacu pada teori-teori
tentang iklim diatas, maka dapat disusun hipotesis bahwa pola aliran udara pada
bagian-bagian bangunan rumah panggung masyarakat Gorontalo mampu
mengendalikan temperatur didalam ruang sehingga dapat menciptakan
kenyamanan termal.
III. VARIABEL
Variabel merupakan obyek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian
dari suatu penelitian. Variabel yang akan dipelajari dan data yang digunakan
sebagai tolok ukur dalam penelitian ini meliputi variabel bebas dan variabel
terikat sebagai berikut:
Variabel bebas (variabel pengaruh)

Variabel Value Indikator


Fisik
Meliputi arah utara, selatan,
1 Orientasi bangunan
timur dan barat
Meliputi Bentuk atap
2 Bentuk bangunan bangunan, bentuk layout
ruang, dan kaki bangunan
Meliputi material yang
digunakan pada dinding,
3 Material bangunan
lantai, plafond, penutup atap,
dan kaki bangunan
Meliputi pintu, jendela, dan
4 Bukaan-bukaan pada bangunan bukaan pada atap bangunan
beserta dimensinya.
Non-fisik
Meliputi durasi, intensitas
4 Radiasi matahari
radiasi dan sudut jatuh
Meliputi temperatur di dalam
5 Temperatur
dan diluar bangunan
Meliputi tingkat kelembaban
6 Kelembaban udara relatif dan kelembaban
absolut.
Tekanan angin positif dan
7 Aliran udara
negatif

Variabel terikat (variabel terpengaruh)

Variabel Value Indikator


Meliputi:
- Kondisi sejuk nyaman
1 Temperatur efektif
- Nyaman optimal
- Panas nyaman
Daftar Pustaka

Heryati. 2008. Nilai-nilai Sejarah dan Filosofi pada Arsitektur Rumah Panggung
Masyarakat Gorontalo. http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/JIN/article/view
/749. 27 November 2013 (03:00).

Lechner, Norbert. 2001. Heating, Cooling, Lighting: Design Methods for


Architects. John Wiley & Sons Inc. New York. Terjemahan Siti, Sandriana.
Heating, Cooling, Lighting: Metode Desain untuk Arsitektur. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.

Lippsmeier, Georg. 1994. Tropenbau Building in the Tropics. Edisi Kedua. Verlag
Georg D.W. Callwey. Munchen. Terjemahan Syahmir Nasution. 1994.
Bangunan Tropis. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Olgyay, Victor. 1962. Design With Climate: Bioclimatic Approach to Architectural


Regionalism. New Jersey: Princeton University Press.

Soegijanto. 1998. Bangunan Tropis di Indonesia Dengan Iklim Tropis Lembab


Ditinjau dari Aspek Fisika Bangunan. Jakarta: Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Syamsidar. 1991. Arsitektur Tradisional Sulawesi Utara. Proyek Inventarisasi dan


Pembinaan Nilai-nilai Budaya. Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan.
Bepartemen Pendidkan dan Kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai