Anda di halaman 1dari 9

Nama : Ega Wisnu P

NIM : 23060160001

A. Teori Belajar Behavioristik (Behaviorisme)


1. Pengertian
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya
dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu
dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa
sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
2. Penerapan
Implementasi teori belajar Behavioristik dalam dunia pendidikan ini terlihat dari
beberapa contoh. Misalnya penerapan hukuman membersihkan halaman bagi siswa yang
datang terlambat, terlepas apapun alasan yang mendasarinya. Sekilas, teori ini cukup
menakutkan karena penekanan prinsip pemberian hukuman, akan tetapi teori ini tak
selamanya buruk. Untuk kondisi dan tujuan tertentu, teori ini dianggap merupakan pilihan
metode pembelajaran yang tepat dan dianggap mampu menghasilkan output yang
diharapkan.

B. Teori Belajar Kognitif


1. Pengertian

Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran
ini. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk
memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan
individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap
yaitu : (1) sensory motor; (2) pre operational; (3) concrete operational dan (4) formal
operational. Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu
yaitu asimilasi dan akomodasi.
James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by
which a person takes material into their mind from the environment, which may mean
changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference
made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan
dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi
kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh
interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru
hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi
dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
2. Penerapan

Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :


a. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.
Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi
dengan teman-temanya.

C. Teori Belajar Konstruksivistik


1. Pengertian
Teori belajar konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap
manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan menemukan keinginan
atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain.Sehingga teori ini memberikan
keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan, atau
teknologi dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.

Hasil belajar bergantung pada pengalaman dan perspektif yang dipakai dalam interpretasi
pribadi. Sebaliknya, fungsi pikiran menginterpretasi peristiwa, obyek, perspektif yang dipakai,
sehingga makna hasil belajar bersifat individualistik. Suatu kegagalan dan kesuksesan dilihat
sebagai beda interpretasi yang patut dihargai dan sukses belajar sangat ditentukan oleh kebebasan
siswa melakukan pengaturan dari dalam diri siswa. Tujuan pembelajaran adalah belajar how to
learn. Penyajian isi KBM fakta diinterpretasi untuk mengkonstruksikan pemahaman individu
melalui interaksi sosial.

Untuk mendukung kualitas pembelajaran maka sumber belajar membutuhkan data primer,
bahan manipulatif dengan penekanan pada proses penalaran dalam pengambilan kesimpulan.
Sistematika evaluasi lebih menekankan pada penyusunan makna secara aktif, keterampilan
intergratif dalam masalah nyata, menggali munculnya jawaban divergen dan pemecahan ganda.
Evaluasi dilihat sebagai suatu bagian kegiatan belajar mengajar dengan penugasan untuk
menerapkan pengetahuan dalam konteks nyata sekaligus sebagai evaluasi proses untuk
memecahkan masalah.

2. Penerapan

Selama ini masyarakat kita berada dalam suatu budaya dimana belajar dipandang
sebagai suatu proses mengkonsumsi pengetahuan. Guru bukan sekadar fasilitator,
melainkan sebagai sumber tunggal pengetahuan di depan kelas. Pembelajaran yang sedang
dikampanyekan, disosialisasikan justru berbeda dengan pandangan tersebut. Belajar adalah
suatu proses dimana siswa memproduki pengetahuan. Siswa menyusun pengetahuan,
membangun makna (meaning making), serta mengkonstruksi gagasan. Pada dasarnya teori
kontruktivisme menekankan bahwa belajar adalah meaning making atau membangun
makna, sedang mengajar adalah schaffolding atau memfasilitasi. Oleh karena itu skenario
suatu pembelajaran maupun kegiatan belajar mengajar yang hanya terhenti pada tahapan
dimana siswa mengumpulkan data dan memperoleh informasi dari luar yakni guru,
narasumber, buku, laboratorium dan lingkungan ke dalam ingatan siswa saja, belumlah
cukup, karena siswa masih berada pada tingkatan mengkonsumsi pengetahuan. Karena itu
perlu langkah-langkah yang menunjukkan tindakan siswa mengkonstruksi gagasan untuk
memproduksi pengetahuan.

D. Teori Belajar Humanistik


1. Pengertian
Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic Psychologist”
Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan behavioristik. Menurut
Abraham, yang terpenting dalam melihat manusia adalah potensi yang dimilikinya.
Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada
“ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan
ini melihat kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun
dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang disebut
sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanistik biasanya memfokuskan
penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif ini.

Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang
terdapat dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang
hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, keasadaran,
memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan pengetahuan interpersonal
lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan
sehari-hari.

Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidikan yang


beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak
didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai
pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi.

Melihat hal-hal yang diusahakankan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa
pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Jadi bisa
dikatakan bahwa emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para
pendidik beraliran humanistik. Karena berpikir dan merasakan saling beriringan,
mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikansalah satu potensi terbesar
manusia.

Berbeda dengan behaviorisme yang melihat motivasi manusia sebagai suatu usaha
untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manuisa atau dengan freudian yang melihat motivasi
sebagai berbagai macam kebutuhan seksual, humanistik melihat perilaku manusia sebagai
campuran antara motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini memunculkan salah satu
ciri utama pendekatan humanistik, yaitu bahwa yang dilihat adalah perilaku manusia, bukan
spesies lain. Akan sangat jelas perbedaan antara motivasi manusia dan motivasi yang dimiliki
binatang.
Secara singkatnya, penedekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada
perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan
menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal
ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang
ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat.

2. Penerapan

Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses
pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi,
kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman
belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.

Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan
potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.

Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan pada materi-
materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan
analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa
senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir, perilaku dan
sikap atas kemauan sendiri.

Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat
orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-
hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.

E. Teori Belajar Sibernetik

1. Pengertian

Kata ’cybernetic’ yang selanjutnya kita tulis dengan kata sibernetik berasal dari bahasa
yunani yang berarti pengendali atau pilot. Bidang ini menjadi disiplin ilmu komunikasi yang
berkaitan dengan mengontrol mesin komputer. Istilah ini dipakai pertama kali oleh Louis
Couffignal tahun 1958. Kini istilah sibernetik berkembang menjadi segala sesuatu yang
berhubungan dengan internet, kecerdasan buatan dan jaringan komputer. Istilah ’sibernetik’
pertama kali dipopulerkan oleh Nobert Wiener, seorang ilmuwan dari Massachussets Institut
of Technology (MIT), untuk menggambarkan kecerdasan buatan (artificial intellidence).

Sejalan dengan pengertian tersebut, M.R.Abror mendefinisikan:

”Cybernetik merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempersoalkan prinsip


pengendalian dan komunikasi yang diterapkan dalam fungsi organisme atau mesin yang
majemuk, dalam hal ini sering disinonimkan dengan umpan balik”.

Menurut teori sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Asumsi lain dari teori
sibernetik adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang ideal untuk segala situasi, dan
yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi
(penyampaian materi). Sebuah informasi mungkin akan dipelajari oleh seorang siswa dengan
satu macam proses belajar, dan informasi yang sama mungkin akan dipelajari siswa lain
melalui proses belajar yang berbeda.

Implementasi teori sibernetik dalam kegiatan pembelajaran telah dikembangkan oleh


beberapa tokoh, diantaranya adalah pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada
pemrosesan informasi yang dikembangkan oleh Robert Gagne, Gage dan Berliner, Biehler,
Snowman, Baine, dan Tennyson.

2. Penerapan

Model pembelajaran sibernetik yang sering disinonimkan dengan umpan balik


(feedback) dalam konteks pendidikan umpan balik ini sangat penting artinya bagi
keberhasilan belajar dan pembelajaran. Dengan adanya umpan balik dari siswa, guru akan
mengetahui apakah materi yang disampaikan telah dipahami dan apa kesulitan siswa dalam
memahami, jika ada selanjutnya tindakan remedial apa yang perlu dilakukan. Sebaliknya,
umpan balik dari guru misalnya dalam bentuk nilai atas hasil kerja siswa akan
mengingatkan kepada siswa sampai sejauh mana penguasaannya terhadap materi yang
sedang dipelajari. Berdasarkan umpan balik tersebut siswa dapat memutuskan tindakan apa
yang harus dilakukan untuk meningkatkan hasil belajarnya jika kurang memuaskan.
Funsi guru dalam hal ini adalah: merencanakan, mempersiapkan dan melengkapi
perangsang yang penting untuk masukan simbolik (informasi verbal, kata-kata, angka-
angka dan sebagainya) dan masukan referensial (objek dan peristiwa-peristiwa) yang akan
membawa kepada konsep informasi yang cocok untuk membimbing siswa
memanipulasikan proses konsep dan mempersiapkan umpan balik (feedback) dari sebuah
latihan/pembelajaran.

F. Teori Revolusi-Sosio-Kultural
1. Pengertian

Perkembangan kognitif dalam pandangan Vygotsky diperoleh melalui dua jalur, yaitu
proses dasar secara biologis dan proses psikologi yang bersifat sosiobudaya. Studi Vygotsky fokus
pada hubungan antara manusia dan konteks sosial budaya di mana mereka berperan dan saling
berinteraksi dalam berbagi pengalaman atau pengetahuan. Oleh karena itu, teori Vygotsky yang
dikenal dengan teori perkembangan sosiokultural menekankan pada interaksi sosial dan budaya
dalam kaitannya dengan perkembangan kognitif.
Perkembangan pemikiran anak dipengaruhi oleh interaksi sosial dalam konteks budaya di
mana ia dibesarkan. Menurut Vygotsky (Salkind, 2004: 278), setiap fungsi dalam perkembangan
budaya anak akan muncul dua kali yaitu pada mulanya di tingkat sosial dalam hubungan
antarmanusia atau interpsikologi, kemudian muncul di tingkat personal dalam diri anak atau
intrapsikologi. Hal ini berarti, perlu mengetahui proses sosial dan budaya yang membentuk anak
untuk memahami perkembangan kognitifnya. Kemajuan perkembangan kognitif anak diperoleh
sebagai hasil interaksi sosial dengan orang lain. Orang lain di sini tidak selalu orangtua, melainkan
bisa orang dewasa lain atau bahkan teman sebaya yang lebih memahami tentang sesuatu hal.
2. Penerapan
Dalam penerapannya sebagai contoh dalam bidang Matematika Teori perkembangan
sosiokultural Vygotsky menekankan adanya pengaruh budaya terhadap perkembangan kognitif
anak. Anak akan mengembangkan kemampuan berpikirnya ke tingkat yang lebih tinggi bila ia
menguasai alat dan bahasa. Salah satu alat dan bahasa tersebut adalah matematika. Pengembangan
alat dan bahasa matematika dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya. Hal ini berarti bahwa
perkembangan pemikiran matematika anak juga dipengaruhi oleh interaksi sosial dalam konteks
budaya di mana ia dibesarkan. Implikasi hal ini pada pendidikan adalah upaya untuk mempelajari
matematika dilakukan melalui pembelajaran sosial dengan menggunakan konteks budaya anak. Hal
ini akan memungkinkan terjadinya proses belajar bertahap dan bermakna. Anak belajar secara
bertahap mulai dari materi matematika yang mudah ke yang sulit, mulai dari materi matematika
yang konkrit menuju ke yang abstrak. Anak belajar matematika melalui bimbingan dan bantuan
orang lain yang lebih memahami. Anak belajar matematika sesuai dengan lingkungan budayanya
akan memberikan pemahaman yang bermakna baginya.

G. Teori Kecerdasan Ganda


1. Pengertian
Teori ini dicetuskan oleh Howard Gardner, psikolog dari Harvard. Mula-mula
Gardner menemukan tujuh jenis kecerdasan tetapi kemudian mengembangkannya menjadi
delapan, dan membahas kemungkinan kecerdasan yang ke sembilan.
Kecerdasan menurut Gardner diartikan sebagai suatu kemampuan, dengan proses
kelengkapannya, yang sanggup menangani kandungan masalah yang spesifik di dunia.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa orang yang memiliki jenis kecerdasan tertentu,
kecerdasan musikal misalnya, akan menunjukkan kemampuan tersebut dalam setiap aspek
hidupnya. Dikatakan lebih lanjut bahwa setiap orang memiliki delapan jenis kecerdasan
dalam tingkat yang berbeda-beda. Kedelapan jenis kecerdasan itu memiliki komponen inti
dan ciri-ciri. Kehadiran ciri-ciri pada individu menentukan kadar profil kecerdasannya.
Dalam dunia pendidikan, teori multiple intelligences mulai diterima karena
dianggap lebih melayani semua kecerdasan yang dimiliki anak. Konsep MI menjadikan
pendidik lebih arif melihat perbedaan, dan menjadikan anak merasa lebih diterima dan
dilayani. Konsep ini “menghapus” mitos anak cerdas dan tidak cerdas, karena menurut
konsep ini, semua anak hakikatnya cerdas. Hanya saja konsep cerdas itu perlu diredefinisi
dengan landasan baru.
2. Penerapan
Dengan berkembangnya konsep multiple intelligences dan dengan diterimanya
teori tersebut dalam dunia pendidikan, maka mau tidak mau pendidik perlu membantu
tumbuh kembang anak dalam berbagai rencana, pelaksanaan, dan evaluasi program yang
memberi wadah bagi perkembangan semua jenis kecerdasan mereka. Tugas ini menjadi
sedemikian penting mengingat perkembangan dan perwujudan semua jenis kecerdasan
tersebut esensial bagi anak dalam mengatasi permasalahan-permasalahan dalam
kehidupan, dan memperoleh kehidupan itu sendiri.
Dalam konsep MI, perbedaan individual peserta didik diterima dan dilayani dengan
suatu keyakinan berpijak sebagaimana dinyatakan Howard Gardner bahwa “ kita semua
begitu berbeda karena pada hakikatnya kita memiliki kombinasi inteligensi yang berbeda.
Jika kita sadari hal ini, setidaknya kita lebih berpeluang untuk mampu mengatasi secara
tepat berbagai problem yang kita hadapi dalam hidup di dunia”. Aplikasi MI dalam
pendidikan akan menyebabkan pendidik lebih arif dan mampu menghargai serta
memfasilitasi perkembangan anak.

Anda mungkin juga menyukai