Anda di halaman 1dari 10

Perekonomian Indonesia Menghadapi Tekanan Eksternal dan Internal

faisal basriDecember 22, 2016Ekonomi Internasional, International, Makroekonomi

Post navigation

Previous
Next
Rate This

Dinamika Eksternal

Globalisasi menjadi istilah yang sangat populer pasca Perang Dingin. Arus perdagangan
internasional, pergerakan modal lintas negara, dan migrasi internasional meningkat sangat
pesat sejak keruntuhan Tembok Berlin tahun 1989 hingga awal krisis finansial global tahun
2007.[1]

Kini globalisasi meredup. Justru negara-negara kampiun liberalisasi ekonomi menjadi simbol
deglobalisasi. Integrasi perekonomian global dihadang oleh gejala fragmentasi. Presiden
terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, sesumbar akan membatalkan perjanjian Trans
Pacific Partnership (TPP) pada hari pertama menjabat sebagai presiden. Ia pun akan meninjau
perjanjian North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang beranggotakan tiga negara
(Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko). Bahkan, Donald Trump berencana membangun
tembok pemisah di perbatasan dengan Meksiko.

Rakyat Inggris telah menentukan pilihan lewat Referendum 23 Juni 2016 untuk keluar dari
keanggotaan Uni Eropa. Semakin banyak pula negara Uni Eropa yang menolak gelombang
pengunggsi akibat perang saudara tak berkesudahan di Timur Tengah.

Kemunculan populisme yang meluas di Eropa. Fenomena ini dijumpai mulai Swedia yang
sangat makmur hingga Yunani yang sedang dilanda krisis ekonomi parah. Salah satu
pengertian yang lebih umum tentang populism adalah kecurigaan dan permusuhan terhadap
elit, politik mainstream, dan lembaga-lembaga mapan. Populisme melihat dirinya berbicara
untuk orang “biasa” yang dilupakan atau tersingkirkan dan sering memandang dirinya
sebagai suara patriotisme sejati.[2]

Kajian International Monetary Fund (IMF)[3] menunjukkan pada dasawarsa 1990-an


pertumbuhan 1 persen pertumbuhan global meningkatkan volume perdagangan sebesar 2,5
persen, sedangkan dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan yang sama hanya
meningkatkan perdagangan sebesar 0,7 persen.

https://faisalbasri.com/2016/12/22/perekonomian-indonesia-menghadapi-tekanan-eksternal-
dan-internal/
Kecenderungan deglobalisasi ditunjukkan secara mencolok oleh anjloknya arus modal lintas
negara dari aras tertinggi seperlima produk domestik bruto (PDB) dunia pada 2007 menjadi
hanya 2,6 persen pada tahun 2015.
Dinamika Internal

Indonesia merupakan warga dunia yang mau tak mau terimbas oleh perubahan yang melanda
dunia. Dinamika yang terjadi di berbagai belahan dunia turut memengaruhi perjalanan kita,
baik dalam kehidupan politik, ekonomi maupun sosial.
Perekonomian kita sedang mengalami tekanan cukup berat. Sejak krisis multidimensional
tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah lagi menembus 7 persen. Tingkat
kesejahteraan rata-rata rakyat Indonesia tumbuh melambat sehingga semakin jauh tertingal
dibandingkan negara-negara sekawasan seperti Korea, Malaysia, Thailand, dan China. Kita
kekurangan tenaga dan darah untuk memacu pertumbuhan. Semakin berat tantangan yang
kita hadapi di tengah perekonomian dunia yang sudah cukup lama tumbuh melambat (too
slow for too long).

Akibat pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia yang tertekan, ekspor tidak bisa
diandalkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Demikian pula dengan pengeluaran
pemerintah. Peningkatan belanja pemerintah untuk memacu pembangunan infrastruktur
terkendala oleh pembiaayaan dari pajak sebagaimana tercermin dari tax ratio yang tak
beringsut dari sekitar 12 persen. Program pengampunan pajak merupakan jalan pintas. Agar
penerimaan pajak semakin tinggi, mau tak mau pemerintah harus berusaha keras untuk
mendorong transformasi struktural, menjadikan perekonomian lebih modern, mempercepat
penurunan ketergantungan pada sektor primer, mengurangi secara drastis sektor informal dan
pekerja informal serta memacu industrialisasi.

Konsumsi masyarakat yang menyumbang sekitar 57 persen terhadap perekonomian nasional


sedang mengalami tekanan cukup berat, terutama kelompok pendapatan terbawah. Nilai tukar
petani merosot dalam dua tahun terakhir. Pada kurun waktu yang sama, upah riil buruh tani
terkikis lebih dari 4 persen. Padahal mayoritas penduduk Indonesia masih bertopang pada
sektor pertanian.

Penurunan upah riil dialami pula oleh pekerja di sektor lainnya. Peningkatan upah minimum
setiap tahun tidak membantu karena diiringi oleh penurunan jam kerja di pabrik. Akibatnya,
anggota keluarga yang tadinya tidak bekerja dipaksa masuk ke pasar kerja. Itulah yang
membuat tingkat partisipasi angkatan kerja meningkat cukup tajam. Para pencari kerja
semakin sulit memperoleh pekerjaan. Hal ini terlihat dari waktu untuk memperoleh pekerjaan
yang naik dari rata-rata 6 bulan menjadi satu tahun.

Tekanan pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta praktek kapitalisme kroni
yang semakin marak menyebabkan ketimpangan pendapatan dan kekayaan memburuk. Satu
persen orang terkaya menguasai 50,3 persen kekayaan nasional dan 10 persen terkaya
menguasai 77 persen kekayaan nasional. Kondisi demikian tak boleh dibiarkan karena
menjadi benih-benih subur kemunculan radikalisme yang mengancam harmoni sosial dan
kerawanan politik.

Pembentukan modal tetap bruto atau investasi sebagai penyumbang terbesar kedua terhadap
perekonomian sudah empat tahun tumbuh rendah, tak pernah menembus 7 persen, bahkan
lebih kerap di bawah 5 persen. Itu pun, dalam lima tahun terakhir, sebagian besar ((74 persen)
dalam bentuk bangunan, sedangkan dalam bentuk mesin dan peralatan hanya 11 persen.

Belanja pemerintah yang terlalu agresif seraya penerimaan pajak tak bisa dipaksakan naik
tinggi membuat defisit APBN meningkat hingga mendekati 3 persen PDB, sehingga utang
pemerintah pun mau tak mau menggelembung. Konsekuensi logisnya, dana masyarakat
semakin banyak yang berpindah dari perbankan ke kas pemerintah, yang pada gilirannya
membuat perbankan tidak bisa memacu penyaluran kredit. Akibatnya terjadi crowding out
sehingga menekan pertumbuhan ekonomi.
Mau tidak mau, kalau hendak memaksakan pertumbuhan lebih tinggi, kita harus mengundang
lebih banyak modal asing. Di tengah perekonomian dunia yang serba tidak menentu,
stabilitas makroekonomi menjadi taruhannya, apalagi kebanyakan modal asing yang masuk
adalah portofolio yang gampang masuk tetapi juga gampang keluar.

[1] Sebastian Mallaby, “Globalization Resets: The retrenchment in cross-border capital flows
and trade may be less dire than it seems,”Finance & Development, Vol.53, No.5, December
2016: 6-10.

[2] Fareed Zakaria, “Populism on the March: Why the West Is in Trouble,” Foreign Affairs,
December 2016 issue.

[3] International Monetary Fund, World Economic Outlook, October 2016

Share this:

 Twitter
 Facebook12

Post navigation

Previous Koreksi untuk Presiden


Next Implikasi Transformasi Perekonomian Indonesia yang Terlalu Dini

Published by faisal basri

Faisal Basri is currently senior lecturer at the Faculty of Economics, University of Indonesia
and Chief of Advisory Board of Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA). His area of
expertise and discipline covers Economics, Political Economy, and Economic Development.
His prior engagement includes Economic Adviser to the President of Republic of Indonesia
on economic affairs (2000); Head of the Department of Economics and Development Studies,
Faculty of Economics at the University of Indonesia (1995-98); and Director of Institute for
Economic and Social Research at the Faculty of Economics at the University of Indonesia
(1993-1995), the Commissioner of the Supervisory Commission for Business Competition
(2000-2006); Rector, Perbanas Business School (1999-2003). He was the founder of the
National Mandate Party where he was served in the Party as the first Secretary General and
then the Deputy Chairman responsible for research and development. He quit the Party in
January 2001. He has actively been involved in several NGOs, among others is The
Indonesian Movement. Faisal Basri was educated at the Faculty of Economics of the
University of Indonesia where he received his BA in 1985 and graduated with an MA in
economics from Vanderbilt University, USA, in 1988. View all posts by faisal basri

9 Comments
1. Felix

December 22, 2016 at 9:29 pm

Belum lama ini saya di kelas membahas ekonomi terbuka dan tertutup di
mikroekonomi. Hasilnya, ekonomi terbuka lebih efisien dibanding tertutup.
Alasannya mulai dari adanya keuntungan komparatif hingga fitrahnya, manusia
(negara) tidak bisa hidup sendiri. Tapi entahlah. Jika memang ini berhasil dilakukan
Trump (dan sukses) mungkin akan banyak teori2 ekonomi yg bergeser nantinya.

Jika investasi asing (riil) dan konsumsi masyarakat lesu, pada akhirnya pemerintahlah
yg mengisi gap tersebut. Tapi, yg saya juga khawatirkan adalah jumlah utang dan
defisit keseimbangan primer yg mungkin akan semakin besar. Maju kena, mundur
kena

Reply

2. Wadiyo

December 25, 2016 at 11:18 am

Dengan kondisi seperti itu, bagaimana dengan UKM,


investasi apa yang paling menentukan ya?
thank

Reply

1. faisal basri

December 25, 2016 at 5:52 pm

Tak berani menjawab. Dari satu ke lain jenis usaha agaknya berbeda-beda.

Reply
3. Mas Yunus

December 25, 2016 at 11:37 am

Menghadapi tekanan eksternal dan internal seperti ini, bgm jurus mandiri dalam
ekonomi dikonkretisasi :). Salam.

Reply

1. faisal basri

December 25, 2016 at 5:54 pm

Salah satu faktor untuk bisa mandiri adalah memiliki daya tahan. Nah, daya
tahan itu yg perlu dipupuk.

Reply

4. zulkarnaen

December 27, 2016 at 10:27 pm

di sektor manakah kita bisa memacu perekonomian kita biar kita tidak too slow for
too long

Reply

1. faisal basri
December 27, 2016 at 10:29 pm

Yang paling penting adalah industri manufaktur. Lalu amankan sektor


pertanian. Sektor jasa memiliki kekuatannya sendiri untuk tumbuh.

Reply

5. Imam Bonjol

December 29, 2016 at 8:23 am

Secara hirarki bisnis, saya rasa Indonesia ini lebih mirip propinsi nya negera2 lain.
Kantor pusat perusahaan asing di negara asal dengan segala alasan meng-outsource
pekerjaan “ahli” ke negara mereka sendiri, menyisakan pekerjaan
politis/sales/admin/clerical untuk orang lokal. Kebijakan bebas-visa banyak dipakai
“ahli-ahli” asing untuk wira-wiri kerja di sini, sedangkan belasan tahun lalu pun sudah
ada sarjana lokal yg kerja cuma jadi resepsionis.

Kebijakan pemerintah pastinya dipengaruhi 10% orang terkaya, sedangkan bisnis


orang2 terkaya tsb pastinya tergantung pada produk teknologi yg dikuasai asing.
Ujung2nya kebijakan pemerintah pun jadi pro asing. Adakah harapan bahwa
kebijakan pemerintah akan pernah berpihak pada rakyat biasa yg 90%?

Reply

6. John

January 4, 2017 at 6:54 am

Terima Kasih Pak atas tulisannya, saya selalu menyimak setiap tulisan bapak dengan
seksama dan berusaha memahaminya, adapun latar belakang pendidikan bukan
ekonomi secara langsung, sehingga secara fundamental pengetahuan tentang ekonomi
perlu belajar banyak sekali,
Apakah mungkin Pak kita mencapai kondisi Surplus seperti Jerman dan pertumbuhan
ekonomi terus menerus seperti Australia?lalu mengenai Industri Manufaktur apa
langkah konkret yang bisa dilakukan dalam jangka pendek-menengah?makasih

Anda mungkin juga menyukai