Anda di halaman 1dari 30

Case Report Session

BELL’S PALSY

Oleh:

Alvin Danil Putra

1310311037

Preseptor:

dr. Syarif Indra, Sp.S

dr. Dedi Sutia, Sp.S

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RSUP. DR. M. DJAMIL

PADANG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bell’s Palsy merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan

kelumpuhan idiopatik saraf fasial unilateral yang bersifat akut. Penyakit ini dapat

didiagnosis secara klinis setelah melakukan eksklusi dari penyebab lain kelumpuhan

saraf fasial melalui anamnesis, riwayat penyakit pasien, pemeriksaan fisik, hasil

pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan CT-scan jika memungkinkan. Sangat

penting untuk dipahami bahwa tidak semua paralisis dari nervus fasial adalah Bell’s

Palsy. Bell’s Palsy mempunyai ciri onset yang cepat, unilateral, tipe lower motor

neuron pada defisit nervus fasialis, kelehaman fungsi sistem saraf pusat, dan

otologik.1

Insidensi Bell’s palsy per tahun sebanyak 15-21 kasus/ 100.000 penduduk per

tahunnya. Penyakit ini akan mengenai 1/60 orang pada waktu yang sama dalam hidup

mereka.1 Secara umum penyakit ini diderita oleh dewasa muda, kejadian paling

banyak terjadi banyak pada kelompok umur rentang usia 15 – 40 tahun. 2

Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa

tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya

kasus Bell’s Palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes

Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum penderita Bell’s palsy. Dulu,

masuk angin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela

terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang

mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy.3

Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer

nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu
gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha

menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan.

Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa

gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan

gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).4,5

1.2. Batasan Masalah

Penulisan laporan kasus ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi, faktor

risiko, patofisiologi, gambaran klinik, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan

prognosis dari penyakit bell’s palsy.

1.3. Tujuan Penulisan

Penulisan Case Report Session ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan

dan pemahaman mengenai bell’s palsy.

1.4. Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang

dirujuk dari berbagai literatur.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Bell’s Palsy adalah kelemahan wajah tipe lower motor neuron akibat paralisis

nervus fasialis (n.VII) perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak

diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit

neurologis lainnya.1

2.2 Epidemiologi

Bell’s Palsy merupakan 60-75% dari total penyebab paresis nervus fasialis.

Penyakit ini dapat mengenai semua usia dengan puncak insiden terbanyak berada

pada usia dewasa dan tidak ada perbandingan kejadian yang signifikan antara laki-laki

dengan perempuan. Bell’s Palsy lebih sering terjadi pada ibu hamil, penderita diabetes

mellitus, imunokompromais, serta penderita infeksi pada saluran nafas atas. 4-14%

penderita Bell’s Palsy memiliki keluarga yang pernah mengalami riwayat penyakit

yang sama.2,3

Nervus fasialis kanan dan kiri memiliki peluang yang sama untuk mengalami

paresis, namun kadang paresis saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi

0,3-2%. Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12 % kasus, dengan 36%

pada sisi yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan. 3

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial

akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori Jepang tahun 1986 dan insiden

terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy

setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.
Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes

mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai

laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda

yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok

umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering

terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu

pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita

tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.4

Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data

yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s

palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30

tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan

insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan

adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.4

2.3 Anatomi Nervus Fasialis

Nervus fasial merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan dalam tulang,

sehingga sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak dalam tulang temporal.

Nervus ini mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000 serabut

saraf motorik untuk otot-otot wajah, 3.000 serabut saraf lainnya yang berisikan

serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah, dan serabut parasimpatik untuk

kelenjar parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal.5,6


Gambar 1.1. nervus fasialis

Nervus fasialis terdiri dari tiga komponen yaitu komponen motorik, sensoris

dan parasimpatis. Komponen motorik mensarafi m.stapedius, venter posterior

m.digastriks dan otot wajah, kecuali m.levator palpebra superior. Komponen sensoris

mempersarafi dua pertiga anterior lidah untuk mengecap, melalui n.korda timpani.

Komponen parasimpatis memberikan persarafan pada glandula lakrimalis,

submandibula dan lingualis.6

Nervus fasialis juga dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian intrakranial,

intratemporal dan ekstrakranial: 7

1. Intrakranial: Awalnya serat motorik membelok disekitar nukleus nervus VI dan

kemudian bergabung dengan serat sensorik (nervus Wrisberg). Nervus fasial

bersamaan dengan nervus vestibulokoklearis dan nervus abdusen meninggalkan

batang otak pada pontomedullary junction. Kemudian berjalan melalui

cerebellopontine angle bersama dengan nervus vestibulokoklearis memasuki

kanal auditori internal.7

2. Intratemporal: Bagian dari nervus fasialis mulai dari kanal auditori internal

hingga foramen stilomastoideus, kemudian dibagi menjadi empat segmen:


a. Segmen meatus: terletak di kanal auditori internal. Foramen meatus

merupakan bagian tersempit dari apertura kanalis fasialis. Panjang nervus

fasial dari batang otak ke kanal auditori internal adalah 23-24 mm.7

b. Segmen labirin (3-5 mm): bagian ini memanjang dari kanal auditori internal

(foramen meatus) ke ganglion genikulatum. Kanal falopi pada segmen labirin

merupakan daerah paling sempit dan rentan terhadap kompresi pada Bell’s

Palsy.6,7

c. Segmen timpani (8-11 mm): terletak diantara bagian distal ganglion

genikulatum dan berjalan kearah posterior telinga tengah, kemudian naik

kearah tingkap lonjong (fenestra ovalis) dan stapes, lalu turun dan kemudian

terletak sejajar dengan kanalis semi sirkularis horizontal.6

d. Segmen mastoid atau segmen vertikal (10-14 mm): mulai dari dinding medial

dan superior kavum timpani. Perubahan posisi dan segmen timpani menjadi

segmen mastoid disebut segmen pyramidal atau genu eksterna. Bagian ini

merupakan bagian paling posterior dari nervus fasialis sehingga mudah terkena

trauma pada saat operasiselanjutnya segmen ini berjalan kearah kaudal menuju

foramen stilomastoideus.6,7

3. Ekstrakranial: nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui foramen

stilomastoideus. Disini saraf menyilang prosessus stiloideus dan memasuki

kelenjar parotis dan membagi diri untuk mempersarafi otot-otot wajah. Bagian

ekstrakranial dari foramen stilomastoideus hingga bagian cabang perifernya

terletak di kelenjar parotis.7

Otot-otot wajah tertanam pada facia superfisialis, dan hampir semua berorigo

pada tulang cranium serta berinsersio ke kulit. Lubang-lubang pada wajah yaitu

orbita, cavum nasi, dan cavum oris, dilindungi oleh palpebra, nares, dan labia oris.
Otot wajah berfungsi sebagai sfingter atau dilatator struktur-struktur tersebut. Fungsi

lain otot wajah adalah untuk mengubah ekspresi wajah. Otot wajah berkembang dari

arcus pharyngeus kedua dan disarafi nervus facialis.8

Gambar 1.2. gambaran anterior dan lateral otot wajah superficial5

Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya

mimik dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke sepuluh otot-otot tersebut

secara berurutan dari sisi superior adalah sebagai berikut m. frontalis, m. sourcilier,
m. piramidalis, m. orbikularis okuli, m. zigomatikus, m. relever komunis, m.

businator, m. orbikularis oris, m. triangularis, m. mentalis.6

Otot-otot wajah bagian atas wajah mendapat persarafan dari dua sisi.

Sehingga terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan nervus fasialis jenis sentral

dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan

dari dua sisi tidak lumpuh, yang lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada cabang

saraf yang mengatur pengecapan dan sekresi ludah yang berjalan bersama nervus

facialis.8

Kerusakan sesisi pada upper motor neuron dari nervus facialis (lesi traktus

piramidalis atau korteks motorik) mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot wajah

bagian bawah, sedangkan bagian atasnya tidak. Lesi supranuklir (upper motor neuron)

nervus facialis sering merupakan bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada

stroke. Pada lesi lower motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik yang volunter,

maupun yang involunter lumpuh.8

Gambar 1.3. pasien dengan (a) lesi nervus fasialis (b) lesi supranuklear6
2.4 Etiologi

Bell’s Palsy terjadi karena inflamasi pada nervus fasialis di ganglion

genilatum. Reaksi inflamasi ini menyebabkan terjadinya kompresi dan kemungkinan

bisa menyebabkan iskemik dan demielinisasi. Secara umum, Bell’s Palsy

didefinisikan sebagai idiopatik. Namun terdapat beberapa teori yang dapat

menjelaskan penyebab terjadinya Bell’s Palsy yaitu infeksi virus, iskemik vaskular,

infeksi bakteri, herediter, dan imunologi. 9

a. Infeksi virus

Teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al

mengidentifikasikan genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum

seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s

Palsy. Mukarami et al menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk

mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan

endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 dari 14 kasus yang dilakukan

dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al menginokulasi

HSV dalam teling dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus

tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan

ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes

simpleks atau herpetika dapat diadopsi.Gambaran patologi dan mikroskop

menunjukkan proses demielinisasi, edema, dangangguan vaskular saraf.9

Agen infeksi lainnya yang menjadi penyebab penyakit ini di beberapa kasus

adalah virus Epstein-Barr dan sitomegalovirus (kedua virus ini menyebabkan

infeksi mononucleosis), adenovirus, mumps, dan rubella. 9


b. Iskemik Vaskular

Bell’s palsy dapat disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus

fasialis. Beberapa pendapat mengatakan bahwa terganggunya salah satu dari

pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis menyebabkan iskemik primer.

Nervus fasialis mempunyai sistem pembuluh darah yang adekuat dari arteri

stilomastoid dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi kecuali apabila

disertai dengan penyakit tambahan seperti diabetes mellitus. Iskemik sekunder

merupakan kelanjutan dari iskemik primer. Iskemik sekunder disebabkan karena

dilatasi kapiler dengan peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan terjadinya

transudasi dan akhirnya kompresi. 10

Kompresi dari kapiler dan venula di kanal falopi menyebabkan timbulnya

zona iskemik dan pada keadaan yang berlanjut dapat menimbulkan nekrosis.

Penyebab dari edema di kanal falopi tidak begitu jelas, namun beberapa teori

mengatakan bahwa hal ini dipicu oleh spasme pembuluh arah yang meningkatkan

permeabilitas sehingga terjadi pengeluaran histamin dan menimbulkan reaksi

hipersensitivitas. Begitu pula dengan iskemik tersier merupakan kelanjutan dari

proses iskemik sekunder, terjadi karena penebalan sarung fibrosa yang mengeras

dapat memberikan efek strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan

gejala sisa pada Bell’s palsy.10

c. Herediter

Terdapat 10% pasien yang memiliki riwayat keluarga mengalami Bell’s Palsy.

Predisposisi herediter berupa kanal falopi yang sempit dapat menjadi faktor risiko

saraf rentan terhadap edema ringan.5

d. Autoimunitas
Terdapat perubahan limfosit T pada pasien yang terkena Bell’s Palsy.5

2.5 Patogenesis

Patogenesis pasti dari Bell’s palsy belum jelas. Nervus fasialis yang melewati

tulang temporal merupakan kanalis fasialis. Berdasarkan teori, proses edema dan

iskemi dihasilkan dari kompresi oleh nervus fasialis yang berada di tulang kanalis.

Bagian pertama dari kanalis fasialis, segmen labirin, merupakan bagian yang paling

sempit, foramen meatal hanya berdiameter 0,66 mm. Ini merupakan tempat tersering

dari terjadinya kompresi nervus fasialis pada Bell’s palsy. Mengingat ketatnya batas

kanalis fasialis, sangat logis sekali bahwa inflamasi, demielinisasi, iskemik atau

proses kompresi dapat menghambat konduksi pada nervus fasialis.1

Infeksi virus atau kerusakan pembungkus myelin ke nervus kranialis tujuh

dapat menyebabkan gangguan konduksi. Infeksi virus dapat menyebabkan inflamasi

yang biasanya terjadi di meatus auditori intermus dimana ini akan mengakibatkan

kompresi atau penekanan pada kanal falopi pada segmen labirin yang akan

mengakibatkan terjadinya infark. Kerusakan pada pembungkus myelin dapat

menyebabkan gangguan seperti terhambatnya penghantaran sinyal dari otak ke otot-

otot fasialis.11

Bell’s palsy dapat juga disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus

fasialis. Nervus fasialis mendapat pendarahan dari arteri labirintina (proksimal), arteri

meningeal media (sentral) dan arteri stilomastoid (distal). Beberapa pendapat

mengatakan bahwa terganggunya salah satu dari pembuluh darah yang memperdarahi

nervus fasialis menyebabkan iskemik primer, iskemik yang disebabkan oleh kompresi

nervus fasialis dikarenakan kekakuan kanal falopi menyebabkan iskemik sekunder

sedangkan iskemik yang disebabkan penebalan sarung fibrosa disebut iskemik

tersier.12
Nervus fasialis mempunyai sistem pembuluh darah yang adekuat dari arteri

stilomastoid dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi kecuali apabila

disertai dengan penyakit tambahan seperti diabetes mellitus. Hilger (1949)

mengatakan bahwa iskemik sekunder merupakan kelanjutan dari iskemik primer.

Iskemik sekunder disebabkan karena dilatasi kapiler dengan peningkatan

permeabilitas yang mengakibatkan terjadinya transudasi yang mengakibatkan

terjadinya kompresi. Kompresi dari kapiler dan venula di kanal falopi menyebabkan

timbulnya zona iskemik dan dikeadaan yang berlanjut dapat menimbulkan nekrosis.

Penyebab dari edema di kanal falopi tidak begitu jelas, namun beberapa teori

mengatakan bahwa hal ini dipicu oleh spasme pembuluh arah yang meningkatkan

permeabilitas sehingga terjadi pengeluaran histamin dan menimbulkan reaksi

hipersensitivitas. Begitu pula dengan iskemik tersier merupakan kelanjutan dari

proses iskemik sekunder, dimana penebalan sarung fibrosa yang mengeras dapat

memberikan efek strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan gejala sisa

pada Bell’s palsy.11

Selain itu, variasi anatomik familial kanalis fasialis memiliki kecendrungan

terjadinya kelumpuhan fasialis. Konstriksi dari kanal falopi menyebabkan terjadinya

kelumpuhan fasialis yang rekuren. Hal ini juga menyebabkan terjadinya iskemik dan

infeksi virus. Iskemik primer yang terjadi dapat berlanjut ke iskemik sekunder dan

tersier dan bisa menyebabkan terjadinya Bell’s palsy yang permanen apabila tidak

segera diatasi.11

2. 6 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis Bell’s Palsy bervariasi tergantung pada lokasi lesi dari

perjalanan nervus fasialis menuju otot. Manifestasi yang dapat ditemukan adalah:

a. Paralisis otot wajah unilateral secara tiba-tiba


b. Alis mata menurun

c. Dahi tidak berkerut

d. Tidak mampu menutup mata

e. Lipatan nasolabialis datar

f. Mulut tertarik ke sisi yang sehat

g. Berkurangnya air mata sehingga mata menjadi kering dan perih

h. Berkurangnya sensasi pengecapan di 2/3 depan lidah (lesi proksimal korda

timpani)

i. Hiperakusis yaitu sensitivitas berlebihan terhadap suara (lesi cabang

n.stapedius).6

Onset Bell palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48 jam.

Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan pasien, sering

mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi wajah akan

permanen.9

2. 7 Diagnosis

Anamnesis yang cermat dari onset dan kemajuan kelumpuhan penting untuk

ditanyakan. Onset Bell’s Palsy adalah akut, onset bertahap dengan durasi lebih dari

dua minggu dicurigai disebabkan oleh lesi massa. Anamnesis juga harus mencakup

ruam baru-baru ini, arthralgia, demam, riwayat kelumpuhan saraf perifer, paparan

terhadap vaksin influenza atau obat baru, dan paparan kutu atau daerah endemik

penyakit Lyme.13

Pada pemeriksaan fisik, perlu ditekankan pada pemeriksaan nervus fasialis.

Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan fungsi motorik dan fungsi

pengecapan. Berikut adalah cara melakukan pemeriksaan motorik14:

 Suruh penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi


 Suruh penderita memejamkan mata

 Suruh penderita menyeringai (menunjukkan gigi geligi), mencucurkan bibir,

menggembungkan pipi

Gambar 1.4. Gerakan otot-otot wajah

 Gejala Chvostek. Gejala chvostek dibangkitkan dengan jalan mengetok N.VII. Ketokan

dilakukan di bagian depan telinga. Bila positif, ketokan ini menyebabkan kontraksi otot

yang dipersarafinya. Dasar gejala Chvostek ialah bertambah pekanya N.VII terhadap

rangsangan mekanik. Pada tetani didapatkan gejala Chvostek positif, tetapi positif juga

dapat ditemukan pada orang normal.

Pemeriksaan fisik juga termasuk pemeriksaan saluran telinga, membran timpani,

dan orofaring, serta evaluasi fungsi saraf perifer di kaki dan palpasi kelenjar parotid.

Beberapa hal yang harus ditekankan dalam diagnosis Bell’s Palsy14:

a. Mengkonfirmasi bahwa kelumpuhan disebabkan oleh lesi LMN unilateral


 Pada lesi LMN, otot-otot yang mengendalikan ekspresi wajah, terpengaruh pada salah

satu sisi wajah saja. Hal ini dapat mengakibatkan dari alis dan sudut mulut turun,

kelemahan frontalis (otot dahi), atau ketidakmampuan untuk menutup mata.

 Pada lesi UMN, kerutan alis, penutupan mata, dan gerakan mengedip tidak terganggu.

b. Hilangkan proses patologi yang mendasari

 Tumor parotis: tonsil orofaring asimetris dan ipsilateral

 Kolesteatoma: tuna rungu, discharge, perdarahan, pusing, vertigo, gangguan

keseimbangan, sakit kepala, atau tinnitus

 Otitis externa maligna: poliposis atau granulasi

 Lyme disease: ruam pada tungkai atau batang setelah gigitan kutu

Pemeriksaan penunjang dapat berupa:

 Pada MRI tampak peningkatan intensitas N.VII atau di dekat ganglion genikulatum.

Jika pasien memiliki riwayat trauma, dapat dilakukan CT Scan tulang temporal.

 Uji untuk menilai fungsi saraf wajah: uji kecepatan hantar saraf EMG

 Titer Lyme (IgM dan IgG), gula darah atau hemoglobin A1c (HbA1c), pemeriksaan

titer serum HSV. 15

2. 8 Diagnosis Banding

Beberapa diagnosis banding Bell’s Palsy adalah lesi mendesak ruang yang

memiliki onset dan durasi paralisis wajah yang disertai nyeri menetap seperti Gullain

Barre. Lyme neoroborreliosis dicurigai apabila pasien memiliki riwayat digigit kutu

dan adanya ruam dan tinggal di daerah endemic Lyme. Apabila kelemahan wajah

progresif, maka curigai suatu tumor.12

2. 9 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan Bell’s palsy adalah untuk mempercepat

penyembuhan, mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit,

meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan

kontraktur serta mencegah kelainan pada mata. Pengobatan seharusnya dilakukan

sesegera mungkin untuk mencegah pengaruh psikologi pasien terhadap kelumpuhan

saraf ini.5

Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi

dini dan merujuk ke spesialis saraf apabila terdapat kelainan lain pada pemeriksaan

neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosis banding Bell’s

Palsy. Terapi yang diberikan dokter umum dapat berupa kombinasi non- farmakologis

dan farmakologis seperti yang dijelaskan dibawah ini.9

1. Terapi non farmakologis15

 Pemakaian kacamata dengan lensa berwarna atau kacamata hitam untuk menjaga

mata tetap lembap saat bekerja

 Kompres hangat untuk mengurangi nyeri

2. Terapi farmakologis15

 Prednison

Tabel 1.1 Dosis Prednison


Dosisdewasa 5-60 mg/hari (po)dengan dosis terbagi selama 4 hari diikuti
dengan tappering off dengan total pemakaian 10 hari
Dosis anak 0,05-2 mg/kgBB/hari (po) dengan dosis terbagi selama 4 hari
diikuti dengan tappering off dengan total pemakaian 10 hari
Kontraindikasi Hipersensivitas, diabetes berat yang tidak terkontrol, infeksi
jamur, ulkus peptikum, TBC, osteoporosis

 Antiviral

Tabel 1.1 Dosis Antiviral


Nama obat Asiklovir, obat antiviral yang menghambat kerja HSV-1, HSV-
2, dan VZV
Dosis dewasa 400 mg (po) 5 kali/hari selama 10 hari
Dosis anak <2 tahun: belum dipastikan
>2 tahun: 20 mg/kgBB (po) selama 10 hari
Kontraindikasi Hipersensitif, penderita gagal ginjal

 Vitamin B

 Pemberian air mata buatan, lubrikan, dan pelindung mata

2. 10 Prognosis

Umumnya Bell’s Palsy memiliki prognosis yang baik, 80-90% pasien dengan

Bell’s Palsy sembuh total dalam 6 bulan.11 Namun prognosis Bell’s Palsy juga

dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah usia. Dengan bertambahnya usia,

pemulihan sepenuhnya dari paralisis wajah mulai menurun, pasien dengan usia diatas

60 tahun memiliki peluang 40% untuk sembuh total. Hal ini mungkin disebabkan

sejumlah faktor, termasuk hilangnya serat myelin selama proses penuaan. Selain itu,

derajat paralisis, penurunan sensitivitas pada lidah, berkurangnya produksi saliva, rasa

sakit di daerah auricular posterior, dan penurunan lakrimasi juga dianggap

berpengaruh terhadap prognosis Bell’s Palsy.9

Waktu untuk memulai pengobatan sangat berpengaruh dalam penyembuhan

penyakit. Pasien yang memulai pemulihan di minggu pertama dan kedua meiliki

prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang memulai pemulihan pada

minggu ketiga setelah onset. Jika perbaikan klinis dimulai dalam 1 minggu, terdapat

88% kemungkinan sembuh sempurna. Jika perbaikan klinis dimulai dalam 3 minggu,

terdapat 61% kemungkinan sembuh sempurna.9


Prognosis dapat menjadi buruk bila terdapat rekurensi, riwayat diabetes,

adanya nyeri hebat pada post-aurikular, gangguan pengecapan, reflex stapedius,

wanita hamil, dan bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat).9

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Nn. R

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 15 tahun

Agama : Islam

Status : Belum menikah

Pekerjaan : Pelajar

Suku Bangsa : Minang

Alamat : Padang

Tanggal masuk : 13 November 2017

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama

Wajah tidak simetris


Riwayat Penyakit Sekarang

 Wajah tidak simetris sejak ±2 hari yang lalu. Pasien merasa wajah sebelah kanannya

tampak turun dan terasa lemah dibandingkan bagian kiri. Kelemahan wajah tidak

menganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan ini juga disertai keluhan mata kanan terasa

pedih.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat campak ±2 minggu yang lalu

 Riwayat trauma tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang diketahui menderita penyakit seperti ini

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan

 Pasien adalah seorang murid SMA, anak pertama dari dua bersaudara

2.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum

 KU : tampak sakit ringan

 Kesadaran : CMC

 TD : 110/70 mmHg

 Nadi : 88 kali/menit, teratur, kuat angkat

 Nafas : 20 kali/menit, teratur, torakoabdominal

 Suhu : 37,1º C

Status Internus

 Kulit : turgor kulit baik

 KGB : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher,

aksila, dan inguinal


 Kepala : normocephal

 Rambut : hitam, tidak mudah patah dan dicabut

 Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

pupil bulat, isokor, diameter 3 mm/3 mm

 THT : tidak ada kelainan

 Leher : tidak ada kelainan

 Thoraks : normothoraks

 Paru : Inspeks : simetris kiri dan kanan

Palpasi : fremitus sama kiri dan kanan

Perkusi : sonor

Auskultasi : vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

 Jantung : Inspeksi : iktus tidak terlihat

Palpasi : iktus teraba, tidak kuat angkat,

1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : irama teratur, bunyi jantung I dan II (+),

bising (-)

 Abdomen : Inspeksi : tidak tampak membucit

Auskultasi : bunyi usus (+) normal

Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : timpani

 Punggung : tidak diperiksa

 Alat kelamin : tidak diperiksa

 Anus : tidak diperiksa

 Anggota gerak : tidak ada kelainan


Status Neurologikus

GCS: 15 (E4M6V5)

1. Tanda rangsangan selaput otak

● Kaku kuduk : (-)

● Brudzinsky I : (-)

● Brudzinsky II : (-)

● Tanda Kernig : (-)

2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial

● Pupil isokor, diameter 3mm/3mm , reflek cahaya +/+

● Muntah proyektil tidak ada

3. Pemeriksaan nervus kranialis

N. I (Olfaktorius) = tidak dapat dilakukan

Penciuman Kanan Kiri


Subjektif Normal normal
Objektif (dengan bahan)

N. II (Optikus) = tidak dapat dilakukan

Penglihatan Kanan Kiri


Tajam Normal normal
penglihatan
Lapangan Normal normal
pandang
Melihat warna Normal normal
Funduskopi Tidak dilakukan

N. III (Okulomotorius)

Kanan Kiri
Bola mata Bulat Bulat
Ptosis (-) (-)
Gerakan bulbus bergerak bebas bergerak bebas
kesegala arah kesegala arah

Strabismus (-) (-)


Nistagmus (-) (-)

Ekso/endotalmus (-) (-)

Pupil
● Bentuk Bulat Bulat
● Refleks cahaya (+) (+)
● Refleks akomodasi (+) (+)
● Refleks konvergensi (+) (+)

N. IV (Trochlearis)

Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah normal Normal
Sikap bulbus Ortho Ortho

Diplopia - -

N. VI (Abdusen)

Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral Normal Normal
Sikap bulbus Ortho Ortho

Diplopia - -

N. V (Trigeminus)

Kanan Kiri
Motorik
● Membuka mulut normal normal
● Menggerakkan rahang normal normal
● Menggigit normal normal
● Mengunyah normal normal
Sensorik
● Divisi oftalmika
- Refleks kornea (+) (+)
- Sensibilitas (+) (+)
● Divisi maksila
- Refleks masetter (+) (+)
- Sensibilitas (+) (+)
● Divisi mandibula
- Sensibilitas (+) (+)

N. VII (Fasialis)
Kanan Kiri
Raut wajah Plica nasolabialis kanan lebih datar
Sekresi air mata (-) (+)
Fissura palpebra (-) (+)

Menggerakkan dahi (-) (+)

Menutup mata (-) (+)

Mencibir/ bersiul normal (+)

Memperlihatkan gigi Plika nasolabialis kanan lebih datar

Sensasi lidah 2/3 depan Normal


Hiperakusis Normal Normal

N. VIII (Vestibularis)

Kiri Kanan
Suara berbisik Normal Normal

Detik arloji normal Normal

Rinne tes Tidak dilakukan

Weber tes Tidak dilakukan


Schwabach tes Tidak dilakukan
- Memanjang
- Memendek
Nistagmus (-) (-)
- Pendular
- Vertikal
- Siklikal
Pengaruh posisi kepala (-) (-)

N. IX (Glossopharyngeus)

Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Normal
Refleks muntah (Gag Rx) (+)

N. X (Vagus)

Kanan Kiri
Arkus faring Normal
Uvula Di tengah
Menelan Normal
Suara Normal
Nadi Teratur

N. XI (Asesorius)

Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Normal
Menoleh ke kiri Normal
Mengangkat bahu kanan Normal
Mengangkat bahu kiri Normal

N. XII (Hipoglosus)

Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Tidak ada deviasi
Kedudukan lidah dijulurkan Tidak ada deviasi
Tremor (-)
Fasikulasi (-)
Atropi (-)

4. Pemeriksaan koordinasi dan keseimbangan

Keseimbangan
Romberg test Tidak dilakukan
Romberg test dipertajam Tidak dilakukan
Stepping gait Tidak dilakukan
Tandem gait Tidak dilakukan
Koordinasi
Jari-jari (+)
Hidung-jari (+)
Pronasi-supinasi (+)
Test tumit lutut (+)
Rebound phenomen

5. Pemeriksaan fungsi motorik

a. Badan Respirasi Spontan


Duduk Dapat dilakukan
b. Berdiri dan berjalan Gerakan spontan (-)
Tremor
Atetosis
Mioklonik
Khorea

c. Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Aktif aktif Aktif aktif
Kekuatan 555 555 555 555
Trofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi

Tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus

6. Pemeriksaan sensorik

- Sensibilitas baik

7. Sistem refleks

a. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri


Kornea (+) (+) Biseps ++ ++
Berbangkis Tidak dilakukan Triseps ++ ++
Laring Tidak dilakukan KPR ++ ++
Masetter Tidak dilakukan APR ++ ++
Dinding perut Bulbokavernosus Tidak dilakukan
● Atas Tidak dilakukan Cremaster Tidak dilakukan
● Tengah Tidak dilakukan Sfingter Tidak dilakukan
● Bawah Tidak dilakukan
b.Patologis
Lengan
Hoffmann-Tromner (-) Tungkai (-) (-)
Chaddocks (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)
Babinski (-) (-)

8. Fungsi otonom

- Miksi : uninhibited bladder (-)

- Defekasi : baik
- Sekresi keringat: baik

9. Fungsi luhur

Kesadaran Tanda demensia


- Reaksi bicara Normal - Refleks Glabella Tidak dilakukan
- Fungsi intelek Normal - Refleks Snout Tidak dilakukan
- Reaksi emosi Normal - Refleks mengisap Tidak dilakukan
- Refleks Tidak dilakukan
memegang
- Refleks Tidak dilakukan
palmomental

2.4 Pemeriksaan Laboratorium

Tidak dilakukan

2.5 Diagnosis

Diagnosis klinis : hemiparesis facialis dextra tipe LMN

Diagnosis topik : N.VII perifer

Diagnosis etiologi : infeksi virus

Diagnosis sekunder :-

2.6 Terapi

Prednison 3 x 5 mg (po)

B Complex 1 x 1 tab (po)

2.7 Pemeriksaan Anjuran

 MRI

 EMG
BAB III

DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien perempuan umur 15 tahun dengan diagnosis klinis

hemiparesis facialis dextra tipe LMN, diagnosis topik N.VII perifer, dan diagnosis etiologi

infeksi virus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik di IGD

rumah sakit Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 13 November 2017.

Melalui anamnesis, didapatkan keluhan utama wajah tidak simetris. Wajah tidak

simetris sejak ±2 hari yang lalu. Pasien merasa wajah sebelah kanannya tampak turun dan

terasa lemah dibandingkan bagian kiri. Kelemahan wajah tidak menganggu aktivitas sehari-

hari. Keluhan ini juga disertai keluhan mata kanan terasa pedih. Riwayat campak ±2 minggu

yang lalu.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan status internus dalam batas normal. Pada status

neurologis, didapatkan pada pemeriksaan nervus fasialis: raut wajah asimetris, menggerakkan

dahi: kanan tertinggal, menutup mata: kelopak mata kanan lebih lemah, memperlihatkan gigi:

lebih banyak tampak di kiri.

Pasien diberikan terapi Prednison 3x5 mg/hari per oral dan Vitamin B-Complex

1x1/hari tablet per oral. Prednison diberikan untuk mengurangi peradangan pada N.VII dan

Vitamin B-Complex diberikan untuk membantu proses regenerasi saraf.

Prognosis pasien ini adalah baik. Prognosis baik karena pada pasien tidak ditemukan

faktor risiko yang memperburuk prognosis, yaitu usia lebih dari 60 tahun, paralisis lengkap,

dan penurunan rasa kecap atau air liur mengalir ke sisi yang lumpuh.
DAFTAR PUSTAKA

1. Baugh R, Basura G, Ishi L. Clinical Practice Guidline Summary (Bell’s Palsy). AAO
HNS, 2013.

2. Arifputra A, Fitri OS. Bell’s Palsy. In: Chris T, Frans L, Sonia H, Eka AP (editor)
Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke 4. Jakarta: Media Aescularis; 2014.
3. Seta DD, Patrizia M, Antonio M, Luca P, Elio DS, et al. Bell’s Palsy: Symptoms
Preceding and Accompanying the Facial Paresis. The Scientific World Journal
volume 2014(2014); 2014

4. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor.2001.Buku Saku Neurologi. Ed 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 174

5. Munilson J, Edward Y, Triana W. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bell’s Palsy.


Bagian Telinga dan Tenggorok Bedah Kepala Leher. Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas. 2011: 1-6.

6. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer. In :


Soepardi EA, Iskandar N editors. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. 7th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.

7. Bansal M. Disease of Ear Nose and Throat Head and Neck Surgery. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publisher Ltd. 2013:255-67.

8. Istiqomah DN. Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus bells palsy sinistra. Surakarta:
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2014:1-26.

9. Lowis H, Gahar MN. Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tatalaksana di Pelayanan Primer. J
Indon Med Assoc Volume 62, 2012.

10. Gilden DH. Clinical practice. Bell's palsy. N Engl J Med. 2004;351:1323–31.

11. Grewal DS. Atlas of surgery of the facial nerve. 2nd ed. India: Jaypee; 2012.p.30-45.

12. Monnell K. Bell’s palsy. [online]. 2006. [cited 16 November 2017]. Available from:
URL:www.eMedicine.com

13. Tiemstra JD, Khatkhate N, 2007. Bell's Palsy: Diagnosis and Management. Am Fam
Physician. 2007 Oct 1;76(7):997-1002.
14. National Institute of Neurological Disorders and Stroke US, 2012. Bell’s Palsy Fact
Sheet. Diakses melalui http://www.ninds.nih.gov/disorders/bells/detail_bells.htm pada
tanggal 16 November 2017.
15. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y, 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan
Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai