BELL’S PALSY
Oleh:
1310311037
Preseptor:
PADANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
kelumpuhan idiopatik saraf fasial unilateral yang bersifat akut. Penyakit ini dapat
didiagnosis secara klinis setelah melakukan eksklusi dari penyebab lain kelumpuhan
saraf fasial melalui anamnesis, riwayat penyakit pasien, pemeriksaan fisik, hasil
penting untuk dipahami bahwa tidak semua paralisis dari nervus fasial adalah Bell’s
Palsy. Bell’s Palsy mempunyai ciri onset yang cepat, unilateral, tipe lower motor
neuron pada defisit nervus fasialis, kelehaman fungsi sistem saraf pusat, dan
otologik.1
Insidensi Bell’s palsy per tahun sebanyak 15-21 kasus/ 100.000 penduduk per
tahunnya. Penyakit ini akan mengenai 1/60 orang pada waktu yang sama dalam hidup
mereka.1 Secara umum penyakit ini diderita oleh dewasa muda, kejadian paling
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa
tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya
kasus Bell’s Palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes
Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum penderita Bell’s palsy. Dulu,
masuk angin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela
terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang
Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer
nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu
gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha
menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan.
Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa
gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Bell’s Palsy adalah kelemahan wajah tipe lower motor neuron akibat paralisis
nervus fasialis (n.VII) perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit
neurologis lainnya.1
2.2 Epidemiologi
Bell’s Palsy merupakan 60-75% dari total penyebab paresis nervus fasialis.
Penyakit ini dapat mengenai semua usia dengan puncak insiden terbanyak berada
pada usia dewasa dan tidak ada perbandingan kejadian yang signifikan antara laki-laki
dengan perempuan. Bell’s Palsy lebih sering terjadi pada ibu hamil, penderita diabetes
mellitus, imunokompromais, serta penderita infeksi pada saluran nafas atas. 4-14%
penderita Bell’s Palsy memiliki keluarga yang pernah mengalami riwayat penyakit
yang sama.2,3
Nervus fasialis kanan dan kiri memiliki peluang yang sama untuk mengalami
paresis, namun kadang paresis saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi
0,3-2%. Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12 % kasus, dengan 36%
pada sisi yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan. 3
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial
akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori Jepang tahun 1986 dan insiden
terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy
setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.
Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes
mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai
laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda
yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok
umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering
terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu
pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data
yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s
palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30
tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan
insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan
Nervus fasial merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan dalam tulang,
sehingga sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak dalam tulang temporal.
Nervus ini mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000 serabut
saraf motorik untuk otot-otot wajah, 3.000 serabut saraf lainnya yang berisikan
serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah, dan serabut parasimpatik untuk
Nervus fasialis terdiri dari tiga komponen yaitu komponen motorik, sensoris
m.digastriks dan otot wajah, kecuali m.levator palpebra superior. Komponen sensoris
mempersarafi dua pertiga anterior lidah untuk mengecap, melalui n.korda timpani.
Nervus fasialis juga dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian intrakranial,
2. Intratemporal: Bagian dari nervus fasialis mulai dari kanal auditori internal
fasial dari batang otak ke kanal auditori internal adalah 23-24 mm.7
b. Segmen labirin (3-5 mm): bagian ini memanjang dari kanal auditori internal
merupakan daerah paling sempit dan rentan terhadap kompresi pada Bell’s
Palsy.6,7
kearah tingkap lonjong (fenestra ovalis) dan stapes, lalu turun dan kemudian
d. Segmen mastoid atau segmen vertikal (10-14 mm): mulai dari dinding medial
dan superior kavum timpani. Perubahan posisi dan segmen timpani menjadi
segmen mastoid disebut segmen pyramidal atau genu eksterna. Bagian ini
merupakan bagian paling posterior dari nervus fasialis sehingga mudah terkena
trauma pada saat operasiselanjutnya segmen ini berjalan kearah kaudal menuju
foramen stilomastoideus.6,7
kelenjar parotis dan membagi diri untuk mempersarafi otot-otot wajah. Bagian
Otot-otot wajah tertanam pada facia superfisialis, dan hampir semua berorigo
pada tulang cranium serta berinsersio ke kulit. Lubang-lubang pada wajah yaitu
orbita, cavum nasi, dan cavum oris, dilindungi oleh palpebra, nares, dan labia oris.
Otot wajah berfungsi sebagai sfingter atau dilatator struktur-struktur tersebut. Fungsi
lain otot wajah adalah untuk mengubah ekspresi wajah. Otot wajah berkembang dari
mimik dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke sepuluh otot-otot tersebut
secara berurutan dari sisi superior adalah sebagai berikut m. frontalis, m. sourcilier,
m. piramidalis, m. orbikularis okuli, m. zigomatikus, m. relever komunis, m.
Otot-otot wajah bagian atas wajah mendapat persarafan dari dua sisi.
Sehingga terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan nervus fasialis jenis sentral
dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan
dari dua sisi tidak lumpuh, yang lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada cabang
saraf yang mengatur pengecapan dan sekresi ludah yang berjalan bersama nervus
facialis.8
Kerusakan sesisi pada upper motor neuron dari nervus facialis (lesi traktus
bagian bawah, sedangkan bagian atasnya tidak. Lesi supranuklir (upper motor neuron)
nervus facialis sering merupakan bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada
stroke. Pada lesi lower motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik yang volunter,
Gambar 1.3. pasien dengan (a) lesi nervus fasialis (b) lesi supranuklear6
2.4 Etiologi
menjelaskan penyebab terjadinya Bell’s Palsy yaitu infeksi virus, iskemik vaskular,
a. Infeksi virus
Teori virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al
seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s
mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan
HSV dalam teling dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus
tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan
ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes
Agen infeksi lainnya yang menjadi penyebab penyakit ini di beberapa kasus
Nervus fasialis mempunyai sistem pembuluh darah yang adekuat dari arteri
stilomastoid dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi kecuali apabila
zona iskemik dan pada keadaan yang berlanjut dapat menimbulkan nekrosis.
Penyebab dari edema di kanal falopi tidak begitu jelas, namun beberapa teori
mengatakan bahwa hal ini dipicu oleh spasme pembuluh arah yang meningkatkan
proses iskemik sekunder, terjadi karena penebalan sarung fibrosa yang mengeras
dapat memberikan efek strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan
c. Herediter
Terdapat 10% pasien yang memiliki riwayat keluarga mengalami Bell’s Palsy.
Predisposisi herediter berupa kanal falopi yang sempit dapat menjadi faktor risiko
d. Autoimunitas
Terdapat perubahan limfosit T pada pasien yang terkena Bell’s Palsy.5
2.5 Patogenesis
Patogenesis pasti dari Bell’s palsy belum jelas. Nervus fasialis yang melewati
tulang temporal merupakan kanalis fasialis. Berdasarkan teori, proses edema dan
iskemi dihasilkan dari kompresi oleh nervus fasialis yang berada di tulang kanalis.
Bagian pertama dari kanalis fasialis, segmen labirin, merupakan bagian yang paling
sempit, foramen meatal hanya berdiameter 0,66 mm. Ini merupakan tempat tersering
dari terjadinya kompresi nervus fasialis pada Bell’s palsy. Mengingat ketatnya batas
kanalis fasialis, sangat logis sekali bahwa inflamasi, demielinisasi, iskemik atau
yang biasanya terjadi di meatus auditori intermus dimana ini akan mengakibatkan
kompresi atau penekanan pada kanal falopi pada segmen labirin yang akan
otot fasialis.11
Bell’s palsy dapat juga disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus
fasialis. Nervus fasialis mendapat pendarahan dari arteri labirintina (proksimal), arteri
mengatakan bahwa terganggunya salah satu dari pembuluh darah yang memperdarahi
nervus fasialis menyebabkan iskemik primer, iskemik yang disebabkan oleh kompresi
tersier.12
Nervus fasialis mempunyai sistem pembuluh darah yang adekuat dari arteri
stilomastoid dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi kecuali apabila
terjadinya kompresi. Kompresi dari kapiler dan venula di kanal falopi menyebabkan
timbulnya zona iskemik dan dikeadaan yang berlanjut dapat menimbulkan nekrosis.
Penyebab dari edema di kanal falopi tidak begitu jelas, namun beberapa teori
mengatakan bahwa hal ini dipicu oleh spasme pembuluh arah yang meningkatkan
proses iskemik sekunder, dimana penebalan sarung fibrosa yang mengeras dapat
memberikan efek strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan gejala sisa
kelumpuhan fasialis yang rekuren. Hal ini juga menyebabkan terjadinya iskemik dan
infeksi virus. Iskemik primer yang terjadi dapat berlanjut ke iskemik sekunder dan
tersier dan bisa menyebabkan terjadinya Bell’s palsy yang permanen apabila tidak
segera diatasi.11
2. 6 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis Bell’s Palsy bervariasi tergantung pada lokasi lesi dari
perjalanan nervus fasialis menuju otot. Manifestasi yang dapat ditemukan adalah:
timpani)
n.stapedius).6
Onset Bell palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48 jam.
Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan pasien, sering
mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi wajah akan
permanen.9
2. 7 Diagnosis
Anamnesis yang cermat dari onset dan kemajuan kelumpuhan penting untuk
ditanyakan. Onset Bell’s Palsy adalah akut, onset bertahap dengan durasi lebih dari
dua minggu dicurigai disebabkan oleh lesi massa. Anamnesis juga harus mencakup
ruam baru-baru ini, arthralgia, demam, riwayat kelumpuhan saraf perifer, paparan
terhadap vaksin influenza atau obat baru, dan paparan kutu atau daerah endemik
penyakit Lyme.13
menggembungkan pipi
Gejala Chvostek. Gejala chvostek dibangkitkan dengan jalan mengetok N.VII. Ketokan
dilakukan di bagian depan telinga. Bila positif, ketokan ini menyebabkan kontraksi otot
yang dipersarafinya. Dasar gejala Chvostek ialah bertambah pekanya N.VII terhadap
rangsangan mekanik. Pada tetani didapatkan gejala Chvostek positif, tetapi positif juga
dan orofaring, serta evaluasi fungsi saraf perifer di kaki dan palpasi kelenjar parotid.
satu sisi wajah saja. Hal ini dapat mengakibatkan dari alis dan sudut mulut turun,
Pada lesi UMN, kerutan alis, penutupan mata, dan gerakan mengedip tidak terganggu.
Lyme disease: ruam pada tungkai atau batang setelah gigitan kutu
Pada MRI tampak peningkatan intensitas N.VII atau di dekat ganglion genikulatum.
Jika pasien memiliki riwayat trauma, dapat dilakukan CT Scan tulang temporal.
Uji untuk menilai fungsi saraf wajah: uji kecepatan hantar saraf EMG
Titer Lyme (IgM dan IgG), gula darah atau hemoglobin A1c (HbA1c), pemeriksaan
2. 8 Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding Bell’s Palsy adalah lesi mendesak ruang yang
memiliki onset dan durasi paralisis wajah yang disertai nyeri menetap seperti Gullain
Barre. Lyme neoroborreliosis dicurigai apabila pasien memiliki riwayat digigit kutu
dan adanya ruam dan tinggal di daerah endemic Lyme. Apabila kelemahan wajah
2. 9 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan Bell’s palsy adalah untuk mempercepat
saraf ini.5
Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi
dini dan merujuk ke spesialis saraf apabila terdapat kelainan lain pada pemeriksaan
neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosis banding Bell’s
Palsy. Terapi yang diberikan dokter umum dapat berupa kombinasi non- farmakologis
Pemakaian kacamata dengan lensa berwarna atau kacamata hitam untuk menjaga
2. Terapi farmakologis15
Prednison
Antiviral
Vitamin B
2. 10 Prognosis
Umumnya Bell’s Palsy memiliki prognosis yang baik, 80-90% pasien dengan
Bell’s Palsy sembuh total dalam 6 bulan.11 Namun prognosis Bell’s Palsy juga
dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah usia. Dengan bertambahnya usia,
pemulihan sepenuhnya dari paralisis wajah mulai menurun, pasien dengan usia diatas
60 tahun memiliki peluang 40% untuk sembuh total. Hal ini mungkin disebabkan
sejumlah faktor, termasuk hilangnya serat myelin selama proses penuaan. Selain itu,
derajat paralisis, penurunan sensitivitas pada lidah, berkurangnya produksi saliva, rasa
penyakit. Pasien yang memulai pemulihan di minggu pertama dan kedua meiliki
prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan pasien yang memulai pemulihan pada
minggu ketiga setelah onset. Jika perbaikan klinis dimulai dalam 1 minggu, terdapat
88% kemungkinan sembuh sempurna. Jika perbaikan klinis dimulai dalam 3 minggu,
wanita hamil, dan bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat).9
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : Nn. R
Usia : 15 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Padang
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Wajah tidak simetris sejak ±2 hari yang lalu. Pasien merasa wajah sebelah kanannya
tampak turun dan terasa lemah dibandingkan bagian kiri. Kelemahan wajah tidak
menganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan ini juga disertai keluhan mata kanan terasa
pedih.
Pasien adalah seorang murid SMA, anak pertama dari dua bersaudara
Pemeriksaan Umum
Kesadaran : CMC
TD : 110/70 mmHg
Suhu : 37,1º C
Status Internus
Thoraks : normothoraks
Perkusi : sonor
bising (-)
Perkusi : timpani
GCS: 15 (E4M6V5)
● Brudzinsky I : (-)
● Brudzinsky II : (-)
N. III (Okulomotorius)
Kanan Kiri
Bola mata Bulat Bulat
Ptosis (-) (-)
Gerakan bulbus bergerak bebas bergerak bebas
kesegala arah kesegala arah
Pupil
● Bentuk Bulat Bulat
● Refleks cahaya (+) (+)
● Refleks akomodasi (+) (+)
● Refleks konvergensi (+) (+)
N. IV (Trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah normal Normal
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia - -
N. VI (Abdusen)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral Normal Normal
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia - -
N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik
● Membuka mulut normal normal
● Menggerakkan rahang normal normal
● Menggigit normal normal
● Mengunyah normal normal
Sensorik
● Divisi oftalmika
- Refleks kornea (+) (+)
- Sensibilitas (+) (+)
● Divisi maksila
- Refleks masetter (+) (+)
- Sensibilitas (+) (+)
● Divisi mandibula
- Sensibilitas (+) (+)
N. VII (Fasialis)
Kanan Kiri
Raut wajah Plica nasolabialis kanan lebih datar
Sekresi air mata (-) (+)
Fissura palpebra (-) (+)
N. VIII (Vestibularis)
Kiri Kanan
Suara berbisik Normal Normal
N. IX (Glossopharyngeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Normal
Refleks muntah (Gag Rx) (+)
N. X (Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Normal
Uvula Di tengah
Menelan Normal
Suara Normal
Nadi Teratur
N. XI (Asesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Normal
Menoleh ke kiri Normal
Mengangkat bahu kanan Normal
Mengangkat bahu kiri Normal
N. XII (Hipoglosus)
Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Tidak ada deviasi
Kedudukan lidah dijulurkan Tidak ada deviasi
Tremor (-)
Fasikulasi (-)
Atropi (-)
Keseimbangan
Romberg test Tidak dilakukan
Romberg test dipertajam Tidak dilakukan
Stepping gait Tidak dilakukan
Tandem gait Tidak dilakukan
Koordinasi
Jari-jari (+)
Hidung-jari (+)
Pronasi-supinasi (+)
Test tumit lutut (+)
Rebound phenomen
6. Pemeriksaan sensorik
- Sensibilitas baik
7. Sistem refleks
8. Fungsi otonom
- Defekasi : baik
- Sekresi keringat: baik
9. Fungsi luhur
Tidak dilakukan
2.5 Diagnosis
Diagnosis sekunder :-
2.6 Terapi
Prednison 3 x 5 mg (po)
MRI
EMG
BAB III
DISKUSI
Telah dilaporkan seorang pasien perempuan umur 15 tahun dengan diagnosis klinis
hemiparesis facialis dextra tipe LMN, diagnosis topik N.VII perifer, dan diagnosis etiologi
infeksi virus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik di IGD
Melalui anamnesis, didapatkan keluhan utama wajah tidak simetris. Wajah tidak
simetris sejak ±2 hari yang lalu. Pasien merasa wajah sebelah kanannya tampak turun dan
terasa lemah dibandingkan bagian kiri. Kelemahan wajah tidak menganggu aktivitas sehari-
hari. Keluhan ini juga disertai keluhan mata kanan terasa pedih. Riwayat campak ±2 minggu
yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan status internus dalam batas normal. Pada status
neurologis, didapatkan pada pemeriksaan nervus fasialis: raut wajah asimetris, menggerakkan
dahi: kanan tertinggal, menutup mata: kelopak mata kanan lebih lemah, memperlihatkan gigi:
Pasien diberikan terapi Prednison 3x5 mg/hari per oral dan Vitamin B-Complex
1x1/hari tablet per oral. Prednison diberikan untuk mengurangi peradangan pada N.VII dan
Prognosis pasien ini adalah baik. Prognosis baik karena pada pasien tidak ditemukan
faktor risiko yang memperburuk prognosis, yaitu usia lebih dari 60 tahun, paralisis lengkap,
dan penurunan rasa kecap atau air liur mengalir ke sisi yang lumpuh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baugh R, Basura G, Ishi L. Clinical Practice Guidline Summary (Bell’s Palsy). AAO
HNS, 2013.
2. Arifputra A, Fitri OS. Bell’s Palsy. In: Chris T, Frans L, Sonia H, Eka AP (editor)
Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke 4. Jakarta: Media Aescularis; 2014.
3. Seta DD, Patrizia M, Antonio M, Luca P, Elio DS, et al. Bell’s Palsy: Symptoms
Preceding and Accompanying the Facial Paresis. The Scientific World Journal
volume 2014(2014); 2014
4. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor.2001.Buku Saku Neurologi. Ed 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 174
7. Bansal M. Disease of Ear Nose and Throat Head and Neck Surgery. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publisher Ltd. 2013:255-67.
8. Istiqomah DN. Penatalaksanaan fisioterapi pada kasus bells palsy sinistra. Surakarta:
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2014:1-26.
9. Lowis H, Gahar MN. Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tatalaksana di Pelayanan Primer. J
Indon Med Assoc Volume 62, 2012.
10. Gilden DH. Clinical practice. Bell's palsy. N Engl J Med. 2004;351:1323–31.
11. Grewal DS. Atlas of surgery of the facial nerve. 2nd ed. India: Jaypee; 2012.p.30-45.
12. Monnell K. Bell’s palsy. [online]. 2006. [cited 16 November 2017]. Available from:
URL:www.eMedicine.com
13. Tiemstra JD, Khatkhate N, 2007. Bell's Palsy: Diagnosis and Management. Am Fam
Physician. 2007 Oct 1;76(7):997-1002.
14. National Institute of Neurological Disorders and Stroke US, 2012. Bell’s Palsy Fact
Sheet. Diakses melalui http://www.ninds.nih.gov/disorders/bells/detail_bells.htm pada
tanggal 16 November 2017.
15. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y, 2009. Panduan Praktis Diagnosis dan
Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.