Anda di halaman 1dari 15

Komplikasi

Komplikasi luka bakar dapat berasal dari luka itu sendiri atau dari ketidakmampuan tubuh
saat proses penyembuhan luka (Burninjury, 2013).
1. Infeksi luka bakar
Infeksi pada luka bakar merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Sistem
integumen memiliki peranan sebagai pelindung utama dalam melawan infeksi. Kulit
yang rusak atau nekrosis menyebabkan tubuh lebih rentan terhadap patogen di udara
seperti bakteri dan jamur. Infeksi juga dapat terjadi akibat penggunaan tabung atau
kateter. Kateter urin dapat menyebabkan infeksi traktus urinarius, sedangkan tabung
pernapasan dapat memicu infeksi traktus respirasi seperti pneumonia (Burninjury, 2013).
2. Terganggunya suplai darah atau sirkulasi
Penderita dengan kerusakan pembuluh darah yang berat dapat menyebabkan kondisi
hipovolemik atau rendahnya volume darah. Selain itu, trauma luka bakar berat lebih
rentan mengalami sumbatan darah (blood clot) pada ekstremitas. Hal ini terjadi akibat
lamanya waktu tirah baring pada pasien luka bakar. Tirah baring mampu menganggu
sirkulasi darah normal, sehingga mengakibatkan akumulasi darah di vena yang kemudian
akan membentuk sumbatan darah (Burninjury, 2013).
3. Komplikasi jangka panjang
Komplikasi jangka panjang terdiri dari komplikasi fisik dan psikologis. Pada luka bakar
derajat III, pembentukan jaringan sikatriks terjadi secara berat dan menetap seumur
hidup. Pada kasus dimana luka bakar terjadi di area sendi, pasien mungkin akan
mengalami gangguan pergerakan sendi. Hal ini terjadi ketika kulit yang mengalami
penyembuhan berkontraksi atau tertarik bersama. Akibatnya, pasien memiliki gerak
terbatas pada area luka. Selain itu, pasien dengan trauma luka bakar berat dapat
mengalami tekanan stress pasca trauma atau post traumatic stress disorder (PTSD).
Depresi dan ansietas merupakan gejala yang sering ditemukan pada penderita
(Burninjury, 2013).

Sumber :
Burninjury. 2013. Burn complications. Diakses tanggal 20 Februari 2019, pukul 10.11 WIB.
Tersedia dari :http://burninjuryguide.com/burn-recovery/burn-complications/
Penatalaksanaan
1. Pertolongan pertama saat kejadian menurut sjamsuhidayat (2010)
1.1 Luka bakar suhu atau thermal
Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api pada tubuh, misalnya
dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar dengan kain basah. Atau
korban dengan cepat menjatuhkan diri dan berguling-guling agar bagian pakaian
yang terbakar tidak meluas. Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat
diakhiri, misalnya dengan mencelupkan bagian yang terbakar atau menyelupkan diri
ke air dingin atau melepas baju yang tersiram air panas.
Pertolongan pertama setelah sumber panas dihilangkan adalah merendam daerah
luka bakar dalam air mengalir selama sekurang-kurangnya lima belas menit. Upaya
pendinginan ini, dan upaya mempertahankan suhu dingin pada jam pertama akan
menghentikan proses koagulasi protein sel dijaringan yang terpajan suhu tinggi yang
akan terlangsung walaupun api telah dipadamkan, sehingga destruksi tetap meluas
1.2 Luka bakar kimia
Baju yang terkena zat kimia harus segera dilepas. Sikap yang sering
mengakibatkan keadaan lebih buruk adalah menganggap ringan luka karena dari luar
tampak sebagai kerusakan kulit yang hanya kecoklatan, padahal daya rusak masih
terus menembus kulit, kadang sampai 72 jam.
Pada umumnya penanganan dilakukan dengan mengencerkan zat kimia secara
masif yaitu dengan mengguyur penderita dengan air mengalir dan kalau perlu
diusahakan membersihkan pelan-pelan secara mekanis. Netralisasi dengan zat kimia
lain merugikan karena membuang waktu untuk mencarinya, dan panas yang timbul
dari reaksi kimianya dapat menambah kerusakan jaringan. Sebagai tindak lanjut,
kalau perlu dilakukan resusitasi, perbaikan keadaan umum, serta pemberian cairan
dan elektrolit.
Pada kecelakaan akibat asam fluorida, pemberian calsium glukonat 10%
dibawah jaringan yang terkena, bermanfaat mencegah ion fluor menembus jaringan
dan menyebabkan dekalsifikasi tulang. Ion fluor akan terikat menjadi kalsium
fluorida yang tidak larut. Jika ada luka dalam, mungkin diperlukan debridemen
yang disusul skin grafting dan rekonstruksi.
Pajanan zat kimia pada mata memerlukan tindakan darurat segera berupa irigasi
dengan air atau sebaiknya larutan garam 0,9% secara terus menerus sampai
penderita ditangani di rumah sakit.
1.3 Luka bakar arus listrik
Hal yang harus dilakukan yaitu pemutusan arus listrik karena pasien
mengandung muatan listrik selama masih terhubung dengan sumber arus. Kemudian
dapat dilakukan resusitasi jantung paru. Apabila kerusakannya luas, dapat diberikan
cairan parenteral. Kadang luka bakar di kulit luar tampak ringan, tetapi kerusakan
jaringan ternyata lebih dalam. Kalau banyak terjadi kerusakan otot, urin akan
berwarna gelap karena mengandung banyak mioglobin dan resusitasi pasien ini
mengharuskan pengeluaran urin 75-100ml per jam. Selain itu, urin harus dirubah
menjadi basa dengan natrium bikarbonat intravena, yang menghalangi pengendapan
mioglobulin. Bila urin tidak segera bening atau pengeluaran urin tetap rendah,
walaupun sudah diberikan sejumlah besar cairan, maka harus diberikan diuretik
yang kuat bersama manitol. Pada penderita cedera otot yang masif, dosis manitol
(12,5 gram per dosis) mungkin diperlukan selama 12-24 jam. Pasien yang gagal
berespon terhadap dosis diatas mungkin membutuhkan amputasi anggota gerak
gawat darurat atau pembersihan jaringan nonviabel. Otot jantung, juga rentan trauma
arus listrik. Elektrokardiogram (EKG) harus dilakukan untuk mengetahui adanya
kerusakan jantung dan pemantauan jantung yang terus menerus dilakukan untuk
mendiagnosis dan merawat aritmia. Kerusakan neurologi juga sering terjadi,
terutama pada medulla spinalis, tetapi sulit dilihat, kecuali bila dilakukan tes
elektrofisiologi. Pengamatan cermat atas abdomen perlu dilakukan pada tahap segera
setelah cedera karena arus yang melewati kavitas peritonealis dapat menyebabkan
kerusakan saluran pencernaan.
1.4 Luka bakar radiasi
Pada kontaminasi lingkungan, penolong dapat terkena radiasi dari kontaminan
sehingga harus menggunakan pelindung. Prinsip penolong penderita atau korban
radiasi adalah memakai sarung tangan, masker, baju pelindung, dan detektor sinar
ionisasi. Sumber kontaminasi harus dicari dan dihentikan, dan benda yang
terkontaminasi dibersihkan dengan air sabun, deterjen atau secara mekanis disimpan
dan dibuang di tempat aman.
Keseimbangan cairan dan elektrolit penderita perlu dipertahankan. Selain itu,
perlu dipikirkan kemungkinan adanya anemia, leukopenia, trombositopenia, dan
kerentanan terhadap infeksi. Sedapat mungkin tidak digunakan obat-obatan yang
menekan fungsi sumsum tulang.
2. Penatalaksanaan ABC (Airway, breathing, circulation)
2.1 Airway
Menurut Moenadjat (2009), Membebaskan jalan nafas dari sumbatan yang terbentuk
akibat edema mukosa jalan nafas ditambah sekret yang diproduksi berlebihan
(hiperekskresi) dan mengalami pengentalan. Pada luka bakar kritis disertai trauma
inhalasi, intubasi (pemasangan pipa endotrakeal) dan atau krikotiroidektomi
emergensi dikerjakan pada kesempatan pertama sebelum dijumpai obstruksi jalan
nafas yang dapat menyebabkan distres pernafasan. Pada luka bakar akut dengan
kecurigaan trauma inhalasi. Pemasangan pipa nasofaringeal, endotrakeal merupakan
prioritas pertama pada resusitasi, tanpa menunggu adanya distres nafas. Baik
pemasangan nasofaringeal, intubasi dan atau krikotiroidektomi merupakan sarana
pembebasan jalan nafas dari sekret yang diproduksi, memfasilitasi terapi inhalasi
yang efektif dan memungkinkan lavase bronkial dikerjakan. Namun pada kondisi
sudah dijumpai obstruksi, krikotiroidektomi merupakan indikasi dan pilihan.
Pemasangan pipa nasofaringeal dimasukkan melalui satau atau kedua nares sehingga
ujungnya mencapai tepat diatas epiglotis. Pipa nasal dapat dipasang pada pasien yang
memiliki reflek muntah tanpa menyebabkan muntah.
2.2 Breathing
Pastikan pernafasan adekuat dengan :
a. Pemberian oksigen
Oksigen diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret banyak, dapat
ditambah menjadi 4-6 L/menit. Dosis ini sudah mencukupi, penderita trauma
inhalasi mengalami gangguan aliran masuk (input) oksigen karena patologi jalan
nafas; bukan karena kekurangan oksigen. Hindari pemberian oksigen tinggi (>10
L/mnt) atau dengan tekanan karena akan menyebabkan hiperoksia (dan
barotrauma) yang diikuti terjadinya stres oksidatif.
b. Humidifikasi
Oksigen diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap air adalah untuk
mengencerkan sekret kental (agar mudah dikeluarkan) dan meredam proses
inflamasi mukosa.
c. Terapi inhalasi
Terapi inhalasi menggunakan nebulizer efektif bila dihembuskan melalui pipa
endotrakea atau krikotiroidektomi. Prosedur ini dikerjakan pada kasus trauma
inhalasi akibat uap gas atau sisa pembakaran bahan kimia yang bersifat toksik
terhadap mukosa. Dasarnya adalah untuk mengatasi bronko konstriksi yang
potensial terjadi akibat zat kimia. Gejala hipersekresi diatasi dengan pemberian
atropin sulfas dan mengatasi proses infalamasi akut menggunakan steroid.
d. Levase bronkoalveolar
Prosedur lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan untuk mengatasi
permasalahan yang timbul pada mukosa jalan nafas dibandingkan tindakan
humidifier atau nebulizer. Sumbatan oleh sekret yang melekat erat (mucusplug)
dapat dilepas dan dikeluarkan. Prosedur ini dikerjakan menggunakan metode
endoskopik (bronkoskopik) dan merupakan gold standart. Selain bertujuan
terapeutik, tindakan ini merupakan prosedur diagnostik untuk melakukan evaluasi
jalan nafas.
e. Rehabilitasi pernafasan
Proses ini dimulai seawal mungkin. Beberapa prosedur yang dapat dilaukan sejak
fase akut yaitu pengaturan posisi, melatih reflek batuk, dan melatih otot-otot
pernapasan. Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian dilakukan
secara aktif saat hemodinamik stabil dan pasien sudah lebih kooperatif.
f. Ventilator
Penggunaan ventilator diperlukan pada kasus-kasus dengan distres pernapasan
secara bermakna memperbaiki fungsi sistem pernapsan dengan positive end
expiratory pressure (PEEP) dan volume kontrol. (Moenadjat, 2009)
2.3 Circulation
Menurut Djumhana (2011), penanganan sirkulasi dilakukan dengan pemasangan IV
line dengan kateter yang cukup besar, dianjurkan untuk pemasangan CVP dan
mempertahankan volume sirkulasi. Pemasangan infus intravena atau IV line dengan 2
jalur menggunakan jarum atau kateter yang besar minimal no 18, hal ini bertujuan
untuk resusitasi dan tranfusi.
3. Melepaskan penghalang
Tujuan untuk melepaskan penghalang adalah melakukan penilaian serta mencegah
terjadinya konstriksi sekunder akibat edema.
4. Resusitasi cairan
Resusitasi cairan merupakan tatalaksana utama pada saat fase awal penanganan luka
bakar terutama pada 24 jam pertama. Pemberian cairan yang adekuat akan mencegah syok
yang disebabkan karena kehilangan cairan berlebihan pada luka bakar. Penyebab
kematian pada fase akut (48 jam pertama) ialah syok luka bakar dan inhalation injury.
Syok luka bakar dapat terjadi karena kebutuhan cairan yang tidak terpenuhi. Terapi
cairan yang tidak memadai dapat menyebabkan perubahan fisiologi pasien luka bakar
diantaranya perfusi pada ginjal dan mesenteric vascular beds yang berkurang, kerusakan
ginjal akut, iskemik, kolaps kardiovaskular dan kematian. Pemberian cairan yang
berlebihan dapat menimbulkan fluid creep, sindrom kompartemen ekstermitas,
meningkatkan tekanan intraokular, sindrom kompartemen okular, edema paru dan otak,
acute respiratory distress syndrome, serta gangguan berbagai organ.
Tatalaksana resusitasi cairan dan pertimbangan terjadinya edema perlu diperhatikan
selama 24-48 jam pertama setelah timbul luka bakar. Sebanyak 13% dari korban
kecelakaan meninggal selama 48 jam pertama karena kegagalan resusitasi. Abdominal
Compartment Syndrome merupakan akibat dari kelebihan cairan yang telah
teridentifikasi sebagai komplikasi utama dari upaya resusitasi. Perhatian terhadap titrasi
dari resusitasi cairan setiap jam dibutuhkan untuk menghindari dampak tersebut dan
“resuscitation morbidities” (Cancio, 2014). Hal yang perlu dianalisis dalam kasus ini
adalah pemberian cairan yang melebihi rumus yang diperkirakan (Luo et al.,2015). Oleh
karena itu, perlu dilakukan monitoring terhadap terapi cairan dengan cara melihat jumlah
urin yang diproduksi, pengukuran hemodinamik, pengukuran tegangan gas jaringan
subkutan dan penentuan saturasi oksigen jaringan menggunakan near-infrared
spectroscopy (NIRS) (Tricklebank, 2008). Salah satu monitoring terapi cairan adalah
produksi urin. Perfusi organ yang memadai ditunjukkan oleh produksi urin lebih dari 30
ml/jam (0,5ml/kgBB/jam) untuk dewasa dan 1 ml/kgBB/jam untuk anak-anak. (Mlcak et
al.,2012). Diuretik kuat seperti furosemid biasanya diberikan saat terjadi akumulasi
cairan untuk mencapai keseimbangan cairan negatif dan memperbaiki hasil terapi setelah
dilakukan pengaturan keseimbangan cairan (Rewa & Bagshaw, 2015)
Terapi cairan yang diberikan pada pasien luka bakar adalah cairan kristaloid dan
koloid. Cairan kristaloid mengandung elektrolit yang terdistribusi 20% di intravaskular
dan 80% di ekstravaskular. Sesuai dengan hal ini, efisiensi cairan untuk mengembang di
volume plasma hanya 20% (Nuevo et al., 2013). Sedangkan koloid berisi elektrolit dan
makromolekul organik yang memiliki kemampuan terbatas dalam melintasi membran
endotelial (Lira dan Pinsky, 2014). Salah satu contoh koloid adalah albumin yang
memiliki kemampuan mengembangkan volume sampai 5 kali volume asal dalam waktu
30 menit, kecuali bila dijumpai kebocoran kapiler (Moenadjat, 2009).
Prinsip resusitasi cairan luka bakar mengacu pada :
a. Rumus parkland
4 cc/kg/luas permukaan tubuh + cairan rumatan
Cairan rumatan dapat digunakan dekstrosa 5% dalam ringer laktat yang jumlahnya
disesuaikan dengan berat badan:
≤10 Kg: 100 mL/kg
11-20 Kg: 1000 mL + (Berat badan – 10 Kg) x 50 mL
>20 Kg: 1500 mL + (Berat badan – 20 Kg) x 20 mL
Pemberian cairan ini diberikan 24 jam pertama, 50% diberikan 8 jam pertama dan
50% diberikan 16 jam berikutnya. Formula ini telah digunakan secara luas sejak 40
tahun yang lalu untuk terapi cairan pada luka bakar selama 24 jam pertama setelah
trauma, namun penelitian terbaru mengatakan bahwa formula Parkland tidak dapat
memprediksi kehilangan cairan secara akurat khususnya pada pasien dengan luka
bakar luas, akibatnya pasien seringkali mendapatkan jumlah cairan lebih sedikit
dibandingkan seharusnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Cancio dkk yang
melaporkan bahwa penggunaan formula Parkland menyebabkan penurunan
kebutuhan cairan pada 84% pasien. Penelitian ini juga menyebutkan jumlah cairan
yang diberikan pada pasien luka bakar tidak hanya memperhatikan luas serta
kedalaman luka, namun harus diperhatikan apakah pasien ini membutuhkan bantuan
ventilasi mekanik atau tidak karena diperkirakan hal ini dapat meningkatkan
kebutuhan cairan.
b. Rumus Baxter
Pada tahun 1979, ia memberikan teknik resusitasi cairan pada 954 pasien luka bakar
dengan menggunakan formulasi cairan :
3,7– 4,3 mL/Kg/total luas permukaan tubuh (TLPT)
dan didapatkan hasil sekitar 70% yaitu 438 dewasa dan 516 anak-anak mengalami
keluaran yang baik.
c. Rumus Gavelstron
(5000 mL x LPT yang mengalami luka bakar) + (2000 mL x TLPT)
Protokol saat ini melanjutkan pemberian resusitasi cairan dengan menggunakan
formulasi 2– 4 mL/kg/% LPT selama 24 jam pertama. Setelah pemberian terapi cairan,
dilakukan pemantauan tanda kelebihan cairan yaitu terdapatnya gangguan
hemodinamik pasien seperti sesak napas, hepatomegali atau terdapatnya ronkhi
basah halus pada basal paru. Pemantauan ini kerap kali harus dilakukan karena
pemberian cairan berlebihan akan menyebabkan terjadinya edema yang merupakan
komplikasi akibat pemberian cairan resusitasi dan berpotensi menimbulkan
kompikasi misalnya abdominal compartement syndrome dan edema paru.
d. Rumus Evans
 Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumlah NaCl/24 jam.
 Luas luka bakar dalam % x berat badan dalam kg = jumlah plasma/24 jam
(no 1 dan 2 pengganti cairan yang hilang akibat oedem. Plasma untuk
mengganti plasma yang keluar dari pembuluh dan meninggikan tekanan osmosis
hingga mengurangi perembesan keluar dan menarik kembali cairan yang telah
keluar)
 2000 cc dextrose 5%/24jam (untuk mengganti cairan yang hilang akibat
penguapan)
Separuh dari jumlah cairan 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah
cairan pada hari pertama. Dan hari ketiga diberikan setengah jumlah cairan hari
kedua.
e. Rumus Curreri
Rumus ini digunakan untuk pemenuhan kebutuhan kalori pada pasien luka bakar. 25
kcal/kgBB/hari ditambah dengan 40 kcal%luka bakar/hari. Petunjuk perubahan
penggunaan cairan bisa diketahui dengan :
 Pemantauan urin output tiap jam
 Tanda-tanda vital, tekanan vena sentral
 Kecukupan sirkulasi perifer
 Tidak adanya asidosis laktat, hipotermi
 Hematokrit, kadar elektrolt serum, pH dan kadar glukosa
5. Penatalaksanaan Luka Bakar Mayor Minor
Setelah keadaan umum membaik dan telah dilakukan resusitasi cairan dilakukan
perawatan luka. Perawatan tergantung pada karakteristik dan ukuran dari luka. Tujuan
dari semua perawatan luka bakar agar luka segera sembuh rasa sakit yang
minimal.Setelah luka dibersihkan dan di debridement, luka ditutup. Penutupan luka ini
memiliki beberapa fungsi: pertama dengan penutupan luka akan melindungi luka dari
kerusakan epitel dan meminimalkan timbulnya koloni bakteri atau jamur. Kedua, luka
harus benar-benar tertutup untuk mencegah evaporasi pasien tidak hipotermi. Ketiga,
penutupan luka diusahakan semaksimal mungkin agar pasien merasa nyaman dan
meminimalkan timbulnya rasa sakit.
Pilihan penutupan luka sesuai dengan derajat luka bakar.
 Luka bakar derajat I, merupakan luka ringan dengan sedikit hilangnya barier
pertahanan kulit. Luka seperti ini tidak perlu di balut, cukup dengan pemberian salep
antibiotik untuk mengurangi rasa sakit dan melembabkan kulit. Bila perlu dapat
diberi NSAID (Ibuprofen, Acetaminophen) untuk mengatasi rasa sakit dan
pembengkakan
 Luka bakar derajat II (superfisial), perlu perawatan luka setiap harinya, pertamatama
luka diolesi dengan salep antibiotik, kemudian dibalut dengan perban katun dan
dibalut lagi dengan perban elastik. Pilihan lain luka dapat ditutup dengan penutup
luka sementara yang terbuat dari bahan alami (Xenograft (pig skin) atau Allograft
(homograft, cadaver skin) ) atau bahan sintetis (opsite, biobrane, transcyte, integra)
 Luka derajat II (dalam) dan luka derajat III, perlu dilakukan eksisi awal dan cangkok
kulit (early exicision and grafting).

6. Perawatan Kritis Pada Luka Bakar


Penatalaksanaan Nutrisi pada Pasien Luka BakarTerapi nutrisi merupakan bagian
dari tatalaksana pasien luka bakar mulai dari fase akut hingga fase rehabilitasi. Tujuan
tatalaksana nutrisi pada pasien luka bakar ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi,
mempertahankan status gizi, mengatasi hiperkatabolik dan kehilangan nitrogen,
mencegah muscle wasting, mempercepat penyembuhan luka, meningkatkan fungsi imun,
dan menurunkan resiko overfeeding. Penatalaksanaan untuk mencegah resiko
overfeeding yaitu diberikan sebesar 20-25 kkal/kg/hari pada fase akut dan fase awal
kritis, sedangkan pada fase anabolitik (flow) atau penyembuhan dapat diberikan 25-30
kkal/kg/hari.
Pemberian nutrisi pada pasien luka bakar perlu mempertimbangkan fase ebb maupun
fase flow sesuai dengan respons metabolisme yang dialami pasien. Fase ebb ditandai
dengan kondisi hipometabolisme, berlangsung dalam beberapa menit sampai dengan 48-
72 jam pasca trauma, namun lama berlangsungnya fase ini tidak dapat diketahui secara
pasti. Karakteristik fase ini antara lain hipovolemia, gangguan perfusi, penurunan
utilisasi oksigen, curah jantung, suhu tubuh, tekanan darah. Sedangkan pada fase flow
terjadi hipermetabolisme dan hperkatabolisme sebelum terjadi anabolisme, pada luka
bakar fase hiperkatabolisme terjadi lebih lama.
ESPEN 2013 merekomendasikan terapi nutrisi diberikan dalam 12 jam pasca luka
bakar dan sebaiknya melalui jalur enteral. Pemberian nutrisi enteral dapat dimulai pada
keadaan hemodinamik tidak stabil, weaning vasopresor, abdomen supel atau tidak
distensi, dan berkurangnya gastric output. Pasien dengan residu lambung rendah (<200
ml) dan abdomen supel dapat mulai diberikan nutrisi enteral dengan kecepatan 0,5-1
ml/kg/BB/jam.
Penelitian menunjukkan pemberian nutrisi enteral dini dapat menurunkan insidensi
stress ulcer, mempertahankan integritas mukosa usus, meningkatkan perfusi usus,
meminimalkan pelepasan mediator inflamasi di usus, menurunkan resiko translokasi
bakteri di usus sehingga menurunkan resiko infeksi dan sepsis. Selain itu, nutrisi enteral
memiliki resiko komplikasi yang lebih rendah, lebih fisiologis, dan cukup dapat
ditoleransi pada sebagian besar pasien luka bakar.
Metode yang digunakan untuk menentukan kebutuhan energi pada luka bakar adalah
menggunakan kalorimetri indirek, namun pada kondisi tidak tersedianya alat tersebut,
dapat digunakan beberapa rumus seperti Harris Benedict, Toronto, Curreri, dan Xie.
ESPEN merekomendasikan perhitungan kebutuhan kalori pada pasien dewasa
menggunakan Toronto, dan Schoffield untuk pasien anak.
Untuk pemberian protein sebesar 23-25% dari energi total dengan perbandingan
kalori non protein dan nitrogen sebesar 80 banding 1 atau sampai dengan 2,5-4gr
protein/kg/hari dalam bentuk protein dengan nilai biologis tinggi berguna untuk
meningkatkan sintesis protein endogen, mempertahankan balans nitrogen dan
meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh pada luka bakar berat.
Kebutuhan Kalori
Besarnya peningkatan kecepatan metabolisme karena luka bakar berbanding lurus
dengan luas luka bakar permukaan tubuh. Kebutuhan energy total (total energy
expenditure) dapat meningkat 15 – 100 % diatas kebutuhan normal. Formula secara
matematika dipakai untuk menghitung kebutuhan kalori harian pada pasien – pasien luka
bakar. Formula yang paling banyak dipakai hampir diseluruh dunia adalah rumus Harris-
Benedict.
Penentuan berkala dari kebutuhan energi istitrahat melalui kalorimetri lebih akurat
untuk menilai kalori yang tersimpan.Ekskresi nitrogen urin total (TUN/ total urine
nitrogen) mudah untuk diukur dan secara akurat mencerminkan besarnya katabolisme
yang terjadi. Nitogen urin total harus dimonitor secara regular, dengan tujuan untuk
menjaga keseimbangan nitrogen agar tetap positif. Formula yang dipakai secara luas
adalah rumus Harris-Benedict, yang memperkirakan kebutuhan energi basal (BEE)
sesuai dengan jenis kelamin, umur, tinggi badan, dan berat badan. Keterbatasan rumus
Haris-Benedict adalah perkiraan kebutuhan yang berlebihan pada pasien dengan luka
bakar dibawah 40% TBSA. Formula yang lebih spesifik untuk pasien dengan luka bakar
adalah formula Curreri, yang berdasarkan berat badan dan luas luka bakar. Formula ini
mungkin akan berlebihan perhitungan kebutuhan kalorinya pada pasien dengan luka
bakar luas dan oleh karena itu rumus ini palig baik untuk pasien dengan luas luka bakar
kurang dari 40 % TBSA.9,11,13 Evaluasi status metabolik yang berlanjut sangat
diperlukan untuk melihat perubahan ukuran luka dan kondisi klinis. Kebutuhan
metabolik menurun dengan penyembuhan luka bakar atau grafting, sementara disisi lain,
daerah donor menciptakan suatu luka baru, yang dapat meningkatkan katabolisme.
Perkembangan infeksi atau ARDS sangat meningkatkan katabolisme dan dapat merubah
kebutuhan kalori. Pengukuran sederhana dari kebutuhan nitrogen dapat di nilai dengan
total nitrogen urea 24 jam dari urin. Akan tetapi hal tersebut tidak dapat mengukur
kehilangan nitrogen pada luka bakar itu sendiri.. Transthyretin (prealbumin)
berhubungan erat dengan status katabolik dan dapat dipakai menghitung kebutuhan
kalori. C-reaktive protein dapat dipakai sebagai indikator status inflamasi, bila meningkat
merupakan tanda peningkatan katabolisme. Pada pasien terintubasi, kalorimetri indirek
dapat bermanfaat dalam mengukur kebutuhan kalori namun tidak seakurat formula
Curreri. Nutrisi utama yang perlu diperhatikan adalah karbohidrat, protein, lemak dan tak
kalah pentingnya juga adalah vitamin dan mineral
Karbohidrat
Karbohidrat dalam bentuk glukosa merupakan sumber kalori terbaik dari golongan
non-ptotein pada pasien dengan luka bakar. Cadangan glukosa yang tersimpan dalam
jaringan otot (otot skeletal) biasanya harus dikorbankan bila kebutuhan nutrisi tidak
adekeuat. Luka yang terjadi memakai jalur glikolisis anaerob, menyebabkan produksi
laktat dalam jumlah besar. Di dalam hepar laktat diekstraksi dan dipakai untuk
gluconeogenesis melalui siklus Cori. Alanin dan asam-asam amino lainnya dapat
menyebabkan meningktanya gluconeogenesis. Meningkatnya ureogenesis, dengan urea
yeng berasal dari pemecahan protein cadangan tubuh, bersamaan menyebabkan
terjadinya peningkatan produksi glukosa hepar. Karena pemakaian glukosa melalui jalur
gluconeogenesis yang menggunakan cadangan protein, maka akan terjadi deplesi protein
sehingga terjadi malfungsi dari glucose dependent energetic processes, dan terjadi
skeletal muscle wasting. Kontrol hiperglikemia yang agresif merupakan aspek yang
penting dalam perawatan pasien yang optimal. Bahkan pasien-pasien dengan toleransi
yang relatif normal membutuhkan kalori yang lebih terhadap kemampuan tubuh untuk
asimilasi glukosa dimana kira-kira kebutuhan kalorinya 7 gr/kgBB perhari (2240 kcal
untuk laki-laki dengan BB 80 kg). Oksidasi glukosa yang optimal selama terjadi
hipermetabolisme pada pasien luka bakar terjadi pada intake kira-kira 5mg/kgBB per
menit. Insulin dapat diberikan untuk mengontrol hiperglikemia dan sekarang dianjurkan
pada pasien-pasien dengan luka bakar.
Protein
Kebutuhan protein 1,5 - 2 gr/kgBB per hari dengan fungsi ginjal yang normal pada
orang dewasa sedangkan pad anak – anak kebutuhan protein 3 gr/kgBB perhari.
Kombinasi pemberian glukosa dengan protein akan memberikan hasil yang lebih baik
untuk memenuhi keseimbangan nitrogen daripada dengan pemberian makanan yang
terpisah. Pemberian protein akan memacu sintesis protein visceral dan otot, tanpa
mempengaruhi kecepatan katabolisme. Glukosa eksogen akan memperlambat
katabolisme, namun akan sedikit mempengaruhi sintesis protein. Kedua mekanisme
tersebut akan memperbaiki keseimbangan nitrogen, dan pemberian glukosa yang cukup (
7gr/kgBB perhari) dan protein (2 gr/kgBB per hari) harus diberikan pada pasien dengan
luka bakar berat. Pada anak – anak pemberian protein (23 % dari total kalori) dapat
memperbaiki system imunitas, menurunkan bacteremia, dan meningkatkan harapan
hidup
Lemak
Peranan lemak sebagai sumber energi non-protein tergantung dari luasnya luka
bakar dan besarnya hipermetabolisme. Pemberian makanan rendah lemak dapat
menurunkan komplikasi infeksi, memperbaiki penyembuhan luka, memperpendek rawat
inap dan bahkan menurunkan mortalitas dibandingkan dengan pasien kontrol dengan diet
standar demikian juga dengan diet tinggi lemak.Para ahli menyarankan pemberian lemak
tidak lebih dari 30% dari kebutuhan kalori non-protein atau sekitar 1gr/kgBB perhari
melalui lemak intravena dalam TPN. Komposisi merupakan hal yang utama
dibandingkan kuantitas lemak. Lemak seperti minyak ikan sangat baik dimetabolisme
tanpa harus melibatkan
Glutamine
Beberapa asam amino berperan penting dalam pelepasan energy karena trauma.
Alanin dan glutamin (GLU) adalah asam amino transport yang penting, dibuat dalam
jumlah besar dari otot skelet untuk menyuplai energi ke hepar dan untuk penyembuhan
luka. GLU juga berperan sebagai bahan bakar utama pada enterocyte dan limfosit dan
juga berperan dalam menjaga integritas usus halus, menjaga fungsi imun saluran cerna,
dan menurunkan permeabilitas intestinal karena cedera akut. Glutamin juga dapat
mencegah translokasi endotoksin dan perluasan mediator inflamasi. Bahkan sebagai
prekursor dari glutation, glutamin berperan sebagai antioksidan dan juga memperbaiki
perluasan heat shock protein yang dapat melindungi sel dari stress dan trauma. Selama
cedera berlangsung, GLU dengan cepat dipakai dari serum dan otot, sehingga akan
membatasi sintesis protein visceral, oleh karena itu GLU merupakan “asam amino
esensial” pada luka bakar. Dosis pemberian GLU yang dianjurkan pada pasien luka
bakar adalah 0,25 – 0,5 gr/kgBB perhari baik secara parenteral maupun enteral.
Arginin
Arginin juga berperan penting pada metabolism post luka bakar. Arginin dapat
menstimulasi T-lymphocyte, meningkatkan fungsi natural killer, dan menstimulasi
sintesis nitrit oksida yang berperan penting dalam resistensi infeksi. Namun ada beberapa
penelitian yang menyatakan bahwa pemberian ARG dengan control tidak memberikan
hasil yang bermakna sehingga ARG sekarang tidak direkomendasikan.
Asam Amino Rantai Cabang
Asam amino rantai cabang seperti leusin, isoleusin, dan valin diketahui sebagai
katabolisme otot endogen melalui stmulasi sintesis protein dan sebagai substrat energi.
Dalam penelitian klinis pada pasien trauma maupun pasien di ICU nutrisi yang diperkaya
dengan asam amino rantai cabang dapat meningkatkan balans nitrogen namun tidak
mempengaruhi angka harapan hidup. Sedangkan penelitian pada hewan dan uji klinis
pada pasien dengan luka bakar nutrisi yang diperkaya dengan asam amino rantai cabang
tidak memperbaiki outcome pasien, sintesis protein, maupun fungsi imun, jadi tidak
direkomendasikan.
Vitamin dan Mineral Tambahan
Vitamin dan mineral seperti vitamin A, C, D, zinc, selenium, dan Fe juga dapat
membantu penyembuhan luka. Vitamin A berperan dalam penyembuhan luka dan
pertumbuhan epitel. Vitamin A juga berfungsi sebagai antioksidan dan mencegah
kerusakan akibat radikal bebaas. Vitamin C berperan sangat penting dalam penyembuhan
luka dan dianjurkan pemberian 1000 mg per hari. Pasien dengan luka bakar ditandai
dengan adanya hipoalbuminemia, rata – rata nilanya 1,7 gr/dl dan tidak pernah lebih dari
2,5 gr/dl pada luka bakar yang luas. Fe penting sebagai protein pembawa oksigen dan
juga sebagai kofaktor pada berbagai enzim. Zinc dibutuhkan oleh banyak
metalloenzyme. Dosis zinc yang dianjurkan 220 mg/hari. Selenium berperan penting
dalam fungsi limfosit dan bahkan meningkatkan imunitas sel.
7. Penatalaksanaan pencegahan infeksi
Menurut hudack & Gallo (2000), ketika kestabilan hemodinamik dan pulmonal telah
tercapai, perhatian diujukan pada perawatan awal luka bakar.
Menurut Moenadjat (2009), Infeksi luka yang berkembang menjadi sepsis menjadi topik
yang banyak dibahas dan merupakan penyebab kematian pada luka bakar.
Konsekuensinya penggunaan antibiotika dalam penatalaksanaan luka bakar menjadi
sesuatu kebutuhan yang mutlak. Tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan
mengatasi infeksi terdiri dari beberapa rangkaian, yaitu:
1) Tindakan aseptik
Tindakan aseptik merupakan serangkaian perlakuan yang diterapkan dan
mencerminkan upaya mencegah infeksi, dengan cara :
 Mengupayakan ruang perawatan dalam kondisi aseptik. Hal ini diupayakan
melalui beberapa cara termasuk desain ruangan yang memungkinkan ventilasi
laminar berlangsung layaknya sebuh ruang operasi, penerapan sistem positive
air preasure air filter, termasuk perawatan yang bertalian dengan proses
desinfeksi ruangan dan masih banyak lagi.
 Linen dan bahan lain yang steril
 Penggunaan perangkat khusus seperti baju (piyana), skort, topi, masker, alas
kaki, pencucian tangan, penggunaan sarung tanganm dan lain-lain. Hal ini
mencerminkan perilaku petugas kesehatan dalam general precaution upaya
pencegahan infeksi.
2) Pencucian luka
3) Eskarotomi
4) Pemberian antibiotik

Sumber :
MoenadjatY.2009.Lukabakarmasalahdantatalaksana.Jakarta:BalaiPenerbitFKUI.Hlm90-110
Sjamsuhidajat & de jong.2010.Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta:EGC
Zhang G.M,Zhu Y, L. Luo et al., (2015) Preoperative lymphocyte-monocyte and platelet-
lymphocyte ratios as predictors of overall survival in patients with bladder cancer
undergoing radical cystectomy. Tumour Biol., 20.
Tricklebank, S. 2008. Modern Trends in Fluid Therapy for Burns. Elsevier Ltd. burns 35
(2009) 757 – 767
Mlcak, R.P., Buffalo, M.C. and Jimenez, C.J. (2012). Pre-hospital management,
transportation and emergency care. Elsevier Ltd, Inc, BV p.96
Cancio, L.C. 2014. Initial Assessment and Fluid Resuscitation of Burn Patients. Elsevier Inc
p.743-748.
Rewa, O. and Bagshaw, S.M. 2015. Principles of Fluid Management. Elsevier Inc. p.3-6
Nuevo, F.R., Vennari, M. and Agrò, F. E. 2013. Body Fluid Management. How to Maintain
and Restore Fluid Balance: Crystalloids. Verlag Italia: Springer. p.39-43
Lira, A. dan Pinsky, M.R. 2014. Choices In Fluid Type and Volume during Resuscitation:
Impact on Patient Outcomes. Springer. Annals of Intensive Care 2014, 4:38. p.6-7.

Anda mungkin juga menyukai