Referat II
Hampir 86% dari pasien bedah mengalami nyeri pasca operasi sedang hingga
berat. Pemberian analgesik standar yang aman dan efektif, tetap menjadi
pendekatan utama dalam manajemen nyeri pasca operasi. Nyeri pasca operasi
memiliki etiologi yang multimodal sehingga juga diperlukan terapi multimodal.
Sehingga untuk mencapai pengurangan nyeri pasca operasi yang lebih baik dan
untuk mengurangi kebutuhan obat analgesik, berbagai pendekatan non
farmakologis, termasuk intervensi edukasi, relaksasi, dan akupunktur, telah
digunakan. Berbagai ulasan sistematis dan penelitian menunjukkan efek
akupunktur dalam mengurangi derajat, frekuensi dan dampak nyeri pasca operasi
pada aktivitas sehari-hari. Sehingga pemberian terapi konvensional dan terapi
akupunktur akan memberikan manajemen nyeri yang adekuat pada keadaan nyeri
pasca operasi.
ABSTRACT
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah suatu
pengalaman sensoris subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau yang
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan tersebut. Shweder and Sullivan
mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman persepsi kompleks yang dapat
dipengaruhi oleh faktor situasi, dan oleh proses fisiologis termasuk emosi,
kognitif dan motivasi, dimana semua hal tersebut bergantung kepada pengaruh
budaya, etnis dan bahasa.3
Nyeri akut dapat dianggap sebagai suatu rantai biokimia dan perilaku yang
dimulai dari cedera jaringan. Respon nyeri berperan sebagai alarm dan umumnya
akan mereda, tetapi jika respon nyeri tidak cukup ditekan, nyeri dapat berkembang
menjadi nyeri kronis. Nyeri akut merupakan respon normal terhadap cedera
jaringan atau penyakit dan memiliki fungsi biologis yang penting. Hal ini bersifat
adaptif dan mendorong penyembuhan dengan membatasi perilaku yang
menyebabkan trauma jaringan lebih lanjut.4
PREVALENSI
Meskipun nyeri telah mendapat penanganan sesuai protokol, nyeri akut, nyeri
sedang sampai berat masih dialami oleh 41% pasien pada hari ke-0, 30% pada
hari ke-1, dan 19%, 16% dan 14% pada hari ke-2, 3 dan 4. Juga, prevalensi tinggi
pada nyeri sedang hingga berat pada pasien operasi abdomen (30-55%) pada hari
ke-0 sampai ke-1, dan pada pasien operasi belakang/tulang belakang (30-64%)
pada hari ke-1 sampai ke-4.4
Lebih dari 80% pasien yang menjalani prosedur bedah mengalami nyeri
pasca operasi akut dan sekitar 75% dari pasien dengan nyeri pasca operasi
melaporkan derajat keparahan sedang atau berat. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
kurang dari setengah pasien yang menjalani operasi melaporkan pengurangan
nyeri pasca operasi yang memadai. Pengontrolan nyeri yang tidak memadai secara
negatif mempengaruhi kualitas hidup, fungsi tubuh, fungsi pemulihan dan risiko
komplikasi pasca pembedahan serta risiko nyeri pasca operasi yang persisten.5
FISIOLOGI NYERI
Reseptor nyeri (nosisepsi reseptor) adalah organ tubuh yang berfungsi untuk
menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri
adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus
kuat yang secara potensial merusak. Bila terdapat stimulus akibat adanya
kerusakan jaringan, mekanisme tersebut akan melewati 4 tahapan yaitu:6
1. TRANSDUKSI
Kerusakan jaringan karena trauma atau pembedahan menyebabkan
dikeluarkannya berbagai senyawa biokimia antara lain ion H+, K2+ dan
prostaglandin dari sel yang rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel
mast, serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Senyawa
biokimia ini berfungsi sebagai mediator yang menyebabkan perubahan
potensial nosiseptor sehingga terjadi arus elektrobiokimiawi sepanjang
akson. Perubahan menjadi arus elektrobiokimia atau impuls merupakan
proses transduksi. Kemudian terjadi perubahan patofisiologi karena
mediator-mediator ini mempengaruhi nosiseptor di luar daerah trauma
sehingga lingkaran nyeri meluas. Selanjutnya terjadi proses sensitisasi
perifer yaitu menurunnya nilai ambang rangsang nosiseptor karena
pengaruh mediator-mediator tersebut diatas dan penurunan pH jaringan.
Akibatnya nyeri dapat timbul karena rangsangan yang sebelumnya tidak
menimbulkan nyeri misalnya perabaan. Sensitisasi perifer ini
mengakibatkan pula terjadinya sensitisasi sentral yaitu hipereksitabilitas
neuron pada medulla spinalis.
2. TRANSMISI
Transmisi adalah proses penerusan impuls nyeri dari nosiseptor saraf
perifer melewati kornu dorsalis medulla spinalis menuju korteks serebri.
Transmisi sepanjang akson berlangsung karena proses polarisasi-
depolarisasi, sedangkan dari neuron pre sinaps ke pasca sinaps melewati
neurotransmitter.
3. MODULASI
Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dapat
meningkatkan atau mengurangi penerusan impuls nyeri. Hambatan terjadi
melalui sistem analgesia endogen yang melibatkan berbagai macam
neurotransmitter antara lain golongan endorfin yang dikeluarkan oleh sel
otak dan neuron di medula spinalis. Impuls ini bermula dari area
periaquaductalgray (PAG) dan menghambat transmisi impuls pre maupun
pasca sinaps di tingkat spinal.
4. PERSEPSI
Persepsi adalah hasil rekontruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri
yang diterima. Rekontruksi merupakan hasil sistem saraf sensorik,
informasi kognitif (korteks serebri) dan pengalaman emosional
(hipokampus dan amigdala). Persepsi menentukan berat ringannya nyeri
yang dirasakan. Sebagai contoh, terdapat penderita yang tenang
menghadapi pembedahan karena menerima pembedahan sebagai upaya
penyembuhan. Motivasi positif ini memicu pelepasan endorfin dan
rangkaian reaksi yang mengaktifkan sistem analgesia endogen, yang hasil
akhirnya adalah rangsang nyeri berkurang.
KLASIFIKASI NYERI
A. Menurut onset dan penyebabnya, nyeri terbagi menjadi:3
1. Nyeri akut
Disebabkan oleh kerusakan jaringan dan menghilang seiring dengan
penyembuhan jaringan. Nyeri akut hilang setelah beberapa jam hingga
beberapa hari.
2. Nyeri kronik
Bila nyeri menetap selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun,
walaupun kerusakan jaringan telah sembuh.
B. Menurut mekanisme terjadinya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi
nosiseptif dan nyeri non-nosiseptif.6
1. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang ditimbulkan oleh rangsangan yang
disebabkan kerusakan jaringan dan reaksi inflamasi. Tergantung
lokasinya, nyeri digolongkan nyeri somatik dan nyeri visera.
2. Nyeri non-nosiseptif (nyeri neuropatik) yaitu nyeri yang disebabkan
kerusakan jaringan saraf sentral maupun perifer. Kerusakan saraf
dapat disebabkan oleh infeksi/inflamasi, proses metabolik (diabetes
mellitus), trauma pembedahan maupun infiltrasi atau tekanan tumor.
Nyeri pada kerusakan saraf sentral yaitu kerusakan pada tingkat
medulla spinalis atau talamus.
Nyeri pada kerusakan saraf perifer / regional
C. Menurut berat ringannya, nyeri dikategorikan sebagai nyeri ringan,
sedang, atau berat. Tingkatan ini ditetapkan berdasarkan beberapa
parameter yang dijelaskan pada penilaian skala nyeri.6
DIAGNOSIS
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan nyeri pasca operasi tidak diperlukan.
Kecuali jika dicurigai ada penyebab nyeri yang lain. Dapat diperiksa hitung darah
lengkap atau punksi lumbal. Radiologi jika dicurigai ada tumor atau
ketidaknormalan struktur tubuh serta tes elektrodiagnostik untuk mendeteksi
miopati, neuropati atau multiple sclerosis.9
MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI
A. Manajemen Farmakologis
World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk
meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula
ini dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi
yang logis untuk mengatasi nyeri. Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri
akut, yang pertama kali diberikan adalah Obat Anti-Inflamasi non steroid,
Aspirin atau Paracetamol yang merupakan obat-obatan yang bekerja di
perifer. Apabila dengan obat-obatan ini nyeri tidak dapat teratasi, maka
diberikan obat-obatan golongan opioid lemah seperti kodein dan
dextropropoxyphene. Apabila regimen ini tidak juga dapat mencapai kontrol
nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan opioid kuat,
misalnya morfin.10
World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA)
Analgesic Ladder telah mengembangkan panduan untuk mengobati nyeri
akut. Pada awalnya, nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang berat
sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri
pascaoperasi akan berkurang seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan
obat yang diberikan melalui suntikan dapat dihentikan. Anak tangga kedua
adalah pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid
kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh
dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja di perifer dan
opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit tidak dapat dikontrol
hanya dengan menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.10
1) Analgesik Non-Opioid
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh
dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan
utama untuk nyeri ringan sampai sedang.10
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di
seluruh dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera
dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan anti-
inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh
hingga 4 jam. Ekskresinya tergantung dosis, sehingga dosis tinggi akan
mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat
berkurang apabila diberika bersama-sama dengan antasida. Dosis berkisar
dari minimal 500 mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4 g, per oral
per hari. Aspirin memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran
pencernaan, menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal
akibat efek antiplateletnya yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan
aspirin untuk mengurangi nyeri pascaoperasi harus dihindari apabila masih
tersedia obat-obatan alternatif lainnya.10
Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan
lamanya tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama
jangka waktu yang panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang
panjang dan efek klinis yang lama. Namun, obat-obatan kelompok ini
memiliki insiden tinggi untuk efek samping penggunaan jangka panjang dan
harus digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS mempunyai aktivitas
antiplatelet sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu perdarahan. Obat-
obatan ini juga menghambat sintesis prostaglandin dalam mukosa lambung
dan dengan demikian menghasilkan pendarahan lambung sebagai efek
samping.10
Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah:
setiap riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang
berhubungan dengan kehilangan darah yang banyak, asma, gangguan ginjal
sedang hingga berat, dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif untuk OAINS
atau aspirin. Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini
secara klinis efektif, murah dan memiliki profil efek samping yang lebih
rendah dibandingkan dengan OAINS dan asam mefenamat. Apabila rute oral
tidak tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain seperti supositoria, injeksi
atau topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia sebagai supositoria
dan diserap dengan baik.10
2) Opioid Lemah
a. Kodein
Merupakan opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid (seperti morfin).
Kodein kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang dapat diprediksi
bila diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga
sedang. Kodein dapat dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus
berhati-hati untuk tidak melampaui maksimum dosis yang dianjurkan bila
menggunakan kombinasi dengan parasetamol tablet. Dosis berkisar antara 15
mg - 60 mg setiap 4 jam dengan dosis maksimum 300 mg setiap hari. Efek
samping kodein berupa mual, muntah, sedasi dan apneu.
Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon tetapi
memiliki sifat analgesik yang relatif rendah. Obat ini sering dipasarkan dalam
kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaannya sama seperti Kodein.
Dosis berkisar dari 32.5 mg (dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai
60 mg setiap 4 jam dengan maksimum 300 mg setiap hari. Kombinasi opioid
lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat berguna dalam prosedur
pembedahan kecil di mana rasa sakit yang berlebihan tidak diantisipasi
sebelumnya atau digunakan untuk rawat jalan:
Parasetamol tablet 500 mg / kodein 8 mg, diberikan 2 tablet setiap 4 jam
sampai maksimum 8 tablet perhari. Apabila analgesia tidak mencukupi -
Parasetamol 1g secara oral dengan Kodein 30-60 mg setiap 4 hingga 6
tablet per jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan11
Tramadol
Tramadol adalah analgesik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor µ
dan kelemahan analgesiknya 10-20 % dari morfin. Tramadol dapat
diberikan secara oral dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis
maksimal 400 mg per hari.11
3) Opioid Kuat
Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan
opioid kuat sebagai analgesinya. Rute oral mungkin tersedia pada pasien
yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti
morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per oral. Bila pasien
tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara pemberian lain harus
dilakukan.10
Morfin
Morfin paling larut dalam air dibandingkan golongan opioid lainnya dan
kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Morfin memiliki dua sifat
yang mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) yaitu depresi (analgesi,
sedasi, perubahan emosi dan hipoventilasi alveolar) dan stimulasi
(stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif refleks spinal,
konvulsi dan sekresi hormon anti diuretik/ADH). Morfin juga
menyebabkan hipotensi ortostatik. Kontra indikasi pemakaian morfin
pada kasus asma dan bronkitis kronis karena efek bronkokontriksinya.
Efek sampingnya juga menyebabkan pruritus, konstipasi dan retensio
urin. Morfin dapat diberikan secara subkutan, intramuskular, intravena,
epidural dan intratekal. Dosis anjuran untuk mengurangi nyeri sedang
adalah 0,1-0,2 mg/kgBB secara subkutan, intramuskular dan dapat
diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dewasa dapat diberikan 1-2 mg
intravena dan diulang sesuai kebutuhan. Untuk megurangi nyeri dewasa
pasca bedah dan nyeri persalinan digunakan dosis 2-4 mg epidural atau
0,05-0,2 mg intratekal, dan dapat diulang antara 6-12 jam.11
Petidin
Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin. Perbedaan dengan morfin adalah sebagai
berikut:11
Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang
lebih larut dalam air.
Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan
normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat.
Petidin bersifat seperti atropin yang menyebabkan kekeringan
mulut, kekaburan pandangan, dan takikardi.
Seperti morfin, dapat menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap
sfingter Oddi lebih ringan.
Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetar pasca bedah
yang tidak ada hubungan dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg
iv pada dewasa. Sedangkan morfin tidak.
Lama kerja petidin lebih pendek daripada morfin.
Fentanil
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 kali
morfin, lebih larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan
mudah. Efek depresi nafas lebih lama dibandingkan dengan efek
analgesiknya. Dosis 1-3 µg/kgBB analgesiknya berlangsung kira-kira 30
menit, karena itu hanya digunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak
untuk pasca bedah.11
2. Anestesi Lokal
Respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya
perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik. Ada beberapa teknik
anestesi lokal sederhana yang dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi
untuk memberikan pain relief yang efektif.10
Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti
Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.
Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan
menggunakan infus. Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan
analgesia selektif di bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf
tersebut.7
Gambar 1: WHO Analgesic ladder (www.paineurope.com/tools/who-analgesic-ladder)
AKUPUNKTUR
TINJAUAN KLASIK
Tiga jenis reseptor opioid juga telah diidentifikasi, yaitu reseptor µ, δ dan
k. Reseptor ini tidak sama persis pada peptida yang berbeda, dan beberapa peptida
merangsang lebih dari satu reseptor. Beta-endorphin memainkan peran penting
dalam akupunktur analgesia. Dalam sebuah penelitian penting, akupunktur
meningkatkan konsentrasi beta-endorphin di CSF pada pasien dengan nyeri,
sedangkan pasien kontrol yang tidak mendapat akupunktur tidak menunjukkan
perubahan kadar beta-endorphin.15
PENELITIAN AKUPUNKTUR
Gilbertson et al, tahun 2003, membuat suatu penelitian untuk melihat efek
akupunktur terhadap operasi muskuloskeletal. Sebanyak 40 pasien dengan dengan
artroskopi akromioplasti diacak ke dalam kelompok akupunktur dan kelompok
sham. Dilakukan penilaian pada UCLA shoulder scale, intensitas nyeri,
penggunaan analgesik, range of motion, dan kualitas hidup pasien yang dimonitor
selama 4 bulan. Kelompok akupunktur dimulai pada hari ke-3 hingga ke-8 pasca
operasi, tiga kali per minggu selama satu bulan (total = 12 kali). Hasilnya, 35
pasien menyelesaikan studi dengan kelompok akupunktur lebih baik secara
signifikan pada UCLA shoulder scale (p < 0.000); intensitas nyeri (p < 0.022);
laporan penggunaan analgesik (p < 0.008); angles of abduction (p < 0.046); dan 6
dari 8 komponen kuisioner status kesehatan. Kesimpulannya, pada pasien
artroskopi akromioplasti, akupunktur memberikan perbaikan yang lebih besar
dibandingkan kelompok sham melalui penilaian tingkat nyeri yang lebih rendah,
penggunaan analgesik yang lebih sedikit dan kepuasan pasien yang lebih baik.16
Yeh et al, tahun 2011, Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek
Acupoint Electrical Stimulation (AES) untuk mengurangi nyeri pasca operasi pada
pasien dengan operasi tulang belakang yang mendapat patient-controlled
analgesia (PCA). Peserta penelitian dibagi secara acak ke dalam kelompok
intervensi dengan AES pada titik akupunktur (kelompok AES, n = 30), AES di
titik akupunktur sham (kelompok sham, n = 30), atau tanpa intervensi AES
(kelompok kontrol, n = 30). Kelompok AES mendapat penusukan di titik
Weizhong (BL40), Yanglingquan (GB34), Shenmen (HT7), dan Neiguan (P6)
dengan EA DD frekuensi 2 Hz/100 Hz dan intensitas 4–7mA selama 20 menit.
AES pertama pada 3 jam setelah pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan AES
kedua pada jam ke-4. Kelompok kontrol mendapat perlakuan yang sama pada
kelompok AES namun pada titik 2 cm dari titik akupunktur. Keluarannya dinilai
sesuai dengan jumlah nyeri yang dialami dan analgesik digunakan. Hasilnya,
terdapat perbedaan signifikan di antara tiga kelompok dalam pengurangan nyeri di
seluruh waktu dan frekuensi penekanan tombol PCA dan jumlah analgesik yang
digunakan. efek menguntungkan tampak pada kelompok AES jika dibandingkan
dengan kelompok sham dan kontrol. Kesimpulannya, AES di titik akupunktur
efektif mengurangi nyeri pasca operasi dan penggunaan analgesik.20
MODALITAS AKUPUNKTUR
Acupuncture points stimulation atau APS merupakan metode yang banyak dipakai
yang menggunakan pendekatan titik-titik akupunktur tubuh dan telinga. Selain
menggunakan metode akupunktur manual dan akupresur, APS juga menggunakan
modalitas seperti elektroakupunktur atau stimulasi laser. Lima jenis APS yang
sering digunakan adalah: elektroakupunktur dengan intensitas rendah dan atau
tinggi, akupunktur manual, seed embedding, akupresur dan plastertherapy.2
PEMILIHAN TITIK
Titik akupunktur yang sering digunakan adalah LI4, SP6, ST36, dan PC6;
sedangkan untuk akupunktur telinga digunakan Shen Men (TF4), Lambung (CO4)
dan Paru (CO14).2
1. LI4
a. Lokasi : pada dorsum manus, sisi radial petengahan tulang
metakarpal kedua
b. Vaskularisasi : arteri dan vena metacarpal dorsal digiti 2
c. Inervasi : dorsal nervus digiti 2
d. Alasan : penusukan di titik akupunktur akan mengaktifkan
hipotalamus dan hipofisis untuk mensekresi opioid endogen (beta-
endorfin, enkefalin dan dinorfin) dan terbukti dapat menghambat nyeri
serta meningkatkan ambang rangsang nyeri.24
2. SP6
a. Lokasi : pada bagian tibia dari tungkai, posterior dari medial tibia,
3 B-cun superior dari prominensia malleolus medialis
b. Vaskularisasi : vena saphenous, arteri dan vena tibialis posterior
c. Inervasi : nervus kutaneus kruris medialis di superfisial dan nervus
tibialis posterior profunda
d. Alasan : penusukan pada titik ini menginduksi pelepasan beta-
endorfin di hipotalamus pituitari.
3. ST36
a. Lokasi : pada anterior tungkai bawah, garis yang menghubungkan
titik ST35 dengan ST41, 3 B-cun inferior ST35, pada titik tibialis anterior
b. Vaskularisasi : cabang lateral vena saphena magna, vena dan arteri tibialis
anterior
c. Inervasi : nervus kutaneus sural lateral, nervus peroneal profunda,
cabang infrapatella dari nevus saphenous dan cabang lateral nervus
cutaneous
d. Alasan : Akupunktur juga mengaktivasi mekanisme anti-nosisepsi
melalui aksi monoamine (seperti serotonin and norepinefrin) di sistem
saraf pusat.25
4. PC6
a. Lokasi : pada aspek anterior lengan bawah, di antara tendon
palmaris longus dan flexor carpi radialis, 2 B-cun proksimal garis
pergelangan tangan
b. Vaskularisasi : vena antebrachial medianus, vena medianus, arteri
medianus, vena dan arteri interosseus anterior
c. Inervasi : cabang nervus antebrachial cutaneous medial, cabang
nervus antebrachial cutaneous lateral, cabang cutaneous palmaris dari
nervus medianus, nervus interosseus anterior
d. Alasan : penusukan di titik ini akan mengaktivasi regio
sensorimotor dan proses kognitif dan deaktivasi regio default-mode
network (DMN) yang meningkatkan modulasi aferen nosisepsi dan
jaringan nyeri pusat.26
5. Titik telinga
1) TF4
a. Lokasi : lateral angulus area fossa triangularis, lateral dan superior
titik hepatitis
2) CO4
a. Lokasi : lateral angulus area fossa triangularis, lateral dan superior
titik hepatitis
3) CO14
a. Lokasi : di bagian atas cavum concha , tepat dibawah di mana crus
helix menghilang
DISKUSI
Prevalensi menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 80% pasien yang menjalani
prosedur bedah akan mengalami nyeri pasca operasi akut dan sekitar 75% dari
pasien dengan nyeri pasca operasi melaporkan tingkat keparahan yang sedang,
berat, atau ekstrim. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa kurang dari setengah
pasien yang menjalani pembedahan melaporkan pengurangan nyeri pasca operasi
yang memadai. Walaupun telah terdapat panduan berbasis bukti, namun nyeri
pasca operasi diketahui masih ditangani kurang adekuat.
Terapi yang adekuat untuk nyeri pasca operasi masih merupakan suatu
tantangan. Dimana nyeri pasca operasi memiliki etiologi yang multimodal
sehingga diperlukan juga terapi yang multimodal. NSAID dan Opioid masih
menjadi pilihan terapi utama untuk nyeri moderat hingga berat, namun efek
samping opioid membuat penggunaannya terbatas. Akupunktur merupakan
modalitas terapi yang efektif, aman dan nyaman untuk mengontrol nyeri pasca
operasi. Kombinasi terapi konvensional dan akupunktur akan memberikan
pengontrolan nyeri pasca operasi yang lebih baik dengan efek samping obat yang
lebih sedikit.
DAFTAR PUSTAKA