Anda di halaman 1dari 29

Kepada Yth:

Referat II

EFEK AKUPUNKTUR PADA NYERI PASCA OPERASI

Presentan : Dr. Aswadi Ibrahim


Pembimbing : Dr. Christina Simadibrata, M.Kes, Sp.Ak (K)
Oponen : Dr. Airin Kristiani
Hari/Tanggal : Senin/27 Februari

Departemen Medik Akupunktur


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta
2017
ABSTRAK

Hampir 86% dari pasien bedah mengalami nyeri pasca operasi sedang hingga
berat. Pemberian analgesik standar yang aman dan efektif, tetap menjadi
pendekatan utama dalam manajemen nyeri pasca operasi. Nyeri pasca operasi
memiliki etiologi yang multimodal sehingga juga diperlukan terapi multimodal.
Sehingga untuk mencapai pengurangan nyeri pasca operasi yang lebih baik dan
untuk mengurangi kebutuhan obat analgesik, berbagai pendekatan non
farmakologis, termasuk intervensi edukasi, relaksasi, dan akupunktur, telah
digunakan. Berbagai ulasan sistematis dan penelitian menunjukkan efek
akupunktur dalam mengurangi derajat, frekuensi dan dampak nyeri pasca operasi
pada aktivitas sehari-hari. Sehingga pemberian terapi konvensional dan terapi
akupunktur akan memberikan manajemen nyeri yang adekuat pada keadaan nyeri
pasca operasi.

Kata Kunci: Akupunktur, Nyeri Pasca Operasi

ABSTRACT

Nearly 86% of surgical patients experienced postoperative pain that is moderate


to severe pain. The use of standard analgesics that safe and effective remains the
main approach in the management of postoperative pain. The aetiology of
postoperative pain is multimodal so do required multimodal therapy. To achieve
better postoperative pain management and to reduce the need for analgesics,
various non-pharmacological approaches, including educational interventions,
relaxation, and Acupuncture Point Stimulation (APS), has been used. Many
systematical reviews and trials studies have shown the beneficial effects of
acupuncture in reducing the severity, frequency and impact of postoperative pain
on daily activities. Combination of the conventional therapy and acupuncture
therapy will provide adequate pain management of post-operative pain.

Keywords: Acupuncture, Postoperative Pain


PENDAHULUAN

Meskipun mekanisme nyeri semakin dipahami dengan baik, dengan analgesik


yang lebih aman dan juga telah diperkenalkan teknik-teknik anestesi, derajat nyeri
pasca operasi di negara-negara berkembang masih belum memuaskan. Kontrol
nyeri pasca operasi yang tidak adekuat menyebabkan konsekuensi yang
merugikan bagi pasien. Berbagai komplikasi ini akan mengarah pada penurunan
kepuasan pasien, reputasi rumah sakit yang kurang baik, lama rawat inap yang
berkepanjangan, insiden rawat kembali yang lebih tinggi, dan biaya perawatan
dan pengobatan yang lebih tinggi, serta angka klaim dan kompensasi yang lebih
tinggi.1

Pemberian analgesik standar yang aman dan efektif, tetap menjadi


pendekatan utama untuk manajemen nyeri pasca operasi. Namun, pemberian
analgesik sistemik dapat menyebabkan beberapa efek samping, seperti mual,
muntah, gejala depresi, pruritus, retensi urin, gangguan pergerakan
gastrointestinal dan ileus. Efek samping ini dapat mengganggu kesehatan fisik dan
psikologis pasien. Untuk mencapai pengurangan nyeri pasca operasi yang lebih
baik dan mengurangi kebutuhan obat analgesik, berbagai pendekatan non
farmakologis, termasuk intervensi edukasi, relaksasi, dan Acupuncture Point
Stimulation (APS), telah digunakan. APS merupakan metode alternatif yang
menjanjikan untuk mengurangi nyeri pasca operasi. NSAID dan Opioid masih
menjadi pilihan terapi utama untuk nyeri moderat hingga berat, namun efek
samping opioid membuat penggunaannya terbatas. Akupunktur merupakan
modalitas terapi yang efektif, aman dan nyaman untuk mengontrol nyeri pasca
operasi.2
DEFINISI

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah suatu
pengalaman sensoris subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau yang
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan tersebut. Shweder and Sullivan
mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman persepsi kompleks yang dapat
dipengaruhi oleh faktor situasi, dan oleh proses fisiologis termasuk emosi,
kognitif dan motivasi, dimana semua hal tersebut bergantung kepada pengaruh
budaya, etnis dan bahasa.3

Nyeri akut dapat dianggap sebagai suatu rantai biokimia dan perilaku yang
dimulai dari cedera jaringan. Respon nyeri berperan sebagai alarm dan umumnya
akan mereda, tetapi jika respon nyeri tidak cukup ditekan, nyeri dapat berkembang
menjadi nyeri kronis. Nyeri akut merupakan respon normal terhadap cedera
jaringan atau penyakit dan memiliki fungsi biologis yang penting. Hal ini bersifat
adaptif dan mendorong penyembuhan dengan membatasi perilaku yang
menyebabkan trauma jaringan lebih lanjut.4

PREVALENSI

Meskipun nyeri telah mendapat penanganan sesuai protokol, nyeri akut, nyeri
sedang sampai berat masih dialami oleh 41% pasien pada hari ke-0, 30% pada
hari ke-1, dan 19%, 16% dan 14% pada hari ke-2, 3 dan 4. Juga, prevalensi tinggi
pada nyeri sedang hingga berat pada pasien operasi abdomen (30-55%) pada hari
ke-0 sampai ke-1, dan pada pasien operasi belakang/tulang belakang (30-64%)
pada hari ke-1 sampai ke-4.4

Lebih dari 80% pasien yang menjalani prosedur bedah mengalami nyeri
pasca operasi akut dan sekitar 75% dari pasien dengan nyeri pasca operasi
melaporkan derajat keparahan sedang atau berat. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
kurang dari setengah pasien yang menjalani operasi melaporkan pengurangan
nyeri pasca operasi yang memadai. Pengontrolan nyeri yang tidak memadai secara
negatif mempengaruhi kualitas hidup, fungsi tubuh, fungsi pemulihan dan risiko
komplikasi pasca pembedahan serta risiko nyeri pasca operasi yang persisten.5

FISIOLOGI NYERI
Reseptor nyeri (nosisepsi reseptor) adalah organ tubuh yang berfungsi untuk
menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri
adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus
kuat yang secara potensial merusak. Bila terdapat stimulus akibat adanya
kerusakan jaringan, mekanisme tersebut akan melewati 4 tahapan yaitu:6

1. TRANSDUKSI
Kerusakan jaringan karena trauma atau pembedahan menyebabkan
dikeluarkannya berbagai senyawa biokimia antara lain ion H+, K2+ dan
prostaglandin dari sel yang rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel
mast, serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Senyawa
biokimia ini berfungsi sebagai mediator yang menyebabkan perubahan
potensial nosiseptor sehingga terjadi arus elektrobiokimiawi sepanjang
akson. Perubahan menjadi arus elektrobiokimia atau impuls merupakan
proses transduksi. Kemudian terjadi perubahan patofisiologi karena
mediator-mediator ini mempengaruhi nosiseptor di luar daerah trauma
sehingga lingkaran nyeri meluas. Selanjutnya terjadi proses sensitisasi
perifer yaitu menurunnya nilai ambang rangsang nosiseptor karena
pengaruh mediator-mediator tersebut diatas dan penurunan pH jaringan.
Akibatnya nyeri dapat timbul karena rangsangan yang sebelumnya tidak
menimbulkan nyeri misalnya perabaan. Sensitisasi perifer ini
mengakibatkan pula terjadinya sensitisasi sentral yaitu hipereksitabilitas
neuron pada medulla spinalis.
2. TRANSMISI
Transmisi adalah proses penerusan impuls nyeri dari nosiseptor saraf
perifer melewati kornu dorsalis medulla spinalis menuju korteks serebri.
Transmisi sepanjang akson berlangsung karena proses polarisasi-
depolarisasi, sedangkan dari neuron pre sinaps ke pasca sinaps melewati
neurotransmitter.
3. MODULASI
Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dapat
meningkatkan atau mengurangi penerusan impuls nyeri. Hambatan terjadi
melalui sistem analgesia endogen yang melibatkan berbagai macam
neurotransmitter antara lain golongan endorfin yang dikeluarkan oleh sel
otak dan neuron di medula spinalis. Impuls ini bermula dari area
periaquaductalgray (PAG) dan menghambat transmisi impuls pre maupun
pasca sinaps di tingkat spinal.
4. PERSEPSI
Persepsi adalah hasil rekontruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri
yang diterima. Rekontruksi merupakan hasil sistem saraf sensorik,
informasi kognitif (korteks serebri) dan pengalaman emosional
(hipokampus dan amigdala). Persepsi menentukan berat ringannya nyeri
yang dirasakan. Sebagai contoh, terdapat penderita yang tenang
menghadapi pembedahan karena menerima pembedahan sebagai upaya
penyembuhan. Motivasi positif ini memicu pelepasan endorfin dan
rangkaian reaksi yang mengaktifkan sistem analgesia endogen, yang hasil
akhirnya adalah rangsang nyeri berkurang.

Patofisiologi nyeri pasca operasi bersifat multifaktorial dan didominasi oleh


inflamasi dari insisi kulit dan kerusakan jaringan. Sitokin inflamasi, interleukin
dan prostaglandin yang dihasilkan dari jalur asam arakidonat menginduksi neuro-
inflamasi, yang mensensitisasi jaringan saraf Aδ dan C perifer. Iskemia dari
retraksi jaringan, serta terganggunya persediaan darah, memberikan kontribusi
untuk nyeri secara signifikan dan ditandai dengan pH jaringan yang rendah dan
tingkat laktat yang tinggi di tempat insisi.7

KLASIFIKASI NYERI
A. Menurut onset dan penyebabnya, nyeri terbagi menjadi:3
1. Nyeri akut
Disebabkan oleh kerusakan jaringan dan menghilang seiring dengan
penyembuhan jaringan. Nyeri akut hilang setelah beberapa jam hingga
beberapa hari.
2. Nyeri kronik
Bila nyeri menetap selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun,
walaupun kerusakan jaringan telah sembuh.
B. Menurut mekanisme terjadinya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi
nosiseptif dan nyeri non-nosiseptif.6
1. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang ditimbulkan oleh rangsangan yang
disebabkan kerusakan jaringan dan reaksi inflamasi. Tergantung
lokasinya, nyeri digolongkan nyeri somatik dan nyeri visera.
2. Nyeri non-nosiseptif (nyeri neuropatik) yaitu nyeri yang disebabkan
kerusakan jaringan saraf sentral maupun perifer. Kerusakan saraf
dapat disebabkan oleh infeksi/inflamasi, proses metabolik (diabetes
mellitus), trauma pembedahan maupun infiltrasi atau tekanan tumor.
 Nyeri pada kerusakan saraf sentral yaitu kerusakan pada tingkat
medulla spinalis atau talamus.
 Nyeri pada kerusakan saraf perifer / regional
C. Menurut berat ringannya, nyeri dikategorikan sebagai nyeri ringan,
sedang, atau berat. Tingkatan ini ditetapkan berdasarkan beberapa
parameter yang dijelaskan pada penilaian skala nyeri.6
DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada


anamnesis ditemukan adanya riwayat operasi dan karakteristik nyeri yang diderita
pasien. Pada pemeriksaan fisik, dicari penyebab nyeri dan dalam hal ini ditinjau
penyembuhan luka bekas operasi dan lokasinya. Derajat nyeri dinilai
menggunakan skala nyeri.

PENILAIAN SKALA NYERI


Ada empat skala yang digunakan untuk menentukan derajat intesitas nyeri.8
1. Ekspresi wajah. Skala ini digunakan untuk pasien yang mengalami
masalah komunikasi. Misalnya anak-anak, orang tua, pasien jiwa, pasien
gangguan mental atau pasien yeng tidak dapat berbicara dengan bahasa
setempat.
2. Verbal Rating Scale (VRS). Dimana pasien ditanya tentang derajat nyeri.
Yaitu nyeri ringan, sedang, hebat dan sangat hebat.
3. Numerical Rating Scale (NRS) terdiri daripada angka 0-5 atau 0-10
dimana pasien ditanya tentang intensitas nyerinya dalam bentuk angka.
4. Visual Analog Scale (VAS). Terdiri dari pada garis lurus sepanjang 100 ml
meter dimana pasien membuat tanda silang pada garis yang
mengambarkan intensitas nyerinya.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan nyeri pasca operasi tidak diperlukan.
Kecuali jika dicurigai ada penyebab nyeri yang lain. Dapat diperiksa hitung darah
lengkap atau punksi lumbal. Radiologi jika dicurigai ada tumor atau
ketidaknormalan struktur tubuh serta tes elektrodiagnostik untuk mendeteksi
miopati, neuropati atau multiple sclerosis.9
MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI
A. Manajemen Farmakologis
World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk
meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula
ini dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi
yang logis untuk mengatasi nyeri. Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri
akut, yang pertama kali diberikan adalah Obat Anti-Inflamasi non steroid,
Aspirin atau Paracetamol yang merupakan obat-obatan yang bekerja di
perifer. Apabila dengan obat-obatan ini nyeri tidak dapat teratasi, maka
diberikan obat-obatan golongan opioid lemah seperti kodein dan
dextropropoxyphene. Apabila regimen ini tidak juga dapat mencapai kontrol
nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan opioid kuat,
misalnya morfin.10
World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA)
Analgesic Ladder telah mengembangkan panduan untuk mengobati nyeri
akut. Pada awalnya, nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang berat
sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri
pascaoperasi akan berkurang seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan
obat yang diberikan melalui suntikan dapat dihentikan. Anak tangga kedua
adalah pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid
kuat tidak lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh
dengan menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja di perifer dan
opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit tidak dapat dikontrol
hanya dengan menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.10

1) Analgesik Non-Opioid
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh
dunia adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan
utama untuk nyeri ringan sampai sedang.10
Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di
seluruh dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera
dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki sifat analgesik dan anti-
inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh
hingga 4 jam. Ekskresinya tergantung dosis, sehingga dosis tinggi akan
mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin dapat
berkurang apabila diberika bersama-sama dengan antasida. Dosis berkisar
dari minimal 500 mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4 g, per oral
per hari. Aspirin memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran
pencernaan, menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal
akibat efek antiplateletnya yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan
aspirin untuk mengurangi nyeri pascaoperasi harus dihindari apabila masih
tersedia obat-obatan alternatif lainnya.10
Pilihan OAINS harus dibuat berdasarkan ketersediaan, biaya dan
lamanya tindakan. Jika rasa sakit tampaknya akan terus-menerus selama
jangka waktu yang panjang maka dipilih obat dengan waktu paruh yang
panjang dan efek klinis yang lama. Namun, obat-obatan kelompok ini
memiliki insiden tinggi untuk efek samping penggunaan jangka panjang dan
harus digunakan dengan hati-hati. Semua OAINS mempunyai aktivitas
antiplatelet sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu perdarahan. Obat-
obatan ini juga menghambat sintesis prostaglandin dalam mukosa lambung
dan dengan demikian menghasilkan pendarahan lambung sebagai efek
samping.10
Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah:
setiap riwayat ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang
berhubungan dengan kehilangan darah yang banyak, asma, gangguan ginjal
sedang hingga berat, dehidrasi dan setiap riwayat hipersensitif untuk OAINS
atau aspirin. Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini
secara klinis efektif, murah dan memiliki profil efek samping yang lebih
rendah dibandingkan dengan OAINS dan asam mefenamat. Apabila rute oral
tidak tersedia obat dapat diberikan dengan rute lain seperti supositoria, injeksi
atau topikal. Aspirin dan sebagian besar OAINS tersedia sebagai supositoria
dan diserap dengan baik.10
2) Opioid Lemah
a. Kodein
Merupakan opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid (seperti morfin).
Kodein kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang dapat diprediksi
bila diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga
sedang. Kodein dapat dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus
berhati-hati untuk tidak melampaui maksimum dosis yang dianjurkan bila
menggunakan kombinasi dengan parasetamol tablet. Dosis berkisar antara 15
mg - 60 mg setiap 4 jam dengan dosis maksimum 300 mg setiap hari. Efek
samping kodein berupa mual, muntah, sedasi dan apneu.
Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon tetapi
memiliki sifat analgesik yang relatif rendah. Obat ini sering dipasarkan dalam
kombinasi dengan parasetamol dan kewaspadaannya sama seperti Kodein.
Dosis berkisar dari 32.5 mg (dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai
60 mg setiap 4 jam dengan maksimum 300 mg setiap hari. Kombinasi opioid
lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat berguna dalam prosedur
pembedahan kecil di mana rasa sakit yang berlebihan tidak diantisipasi
sebelumnya atau digunakan untuk rawat jalan:
 Parasetamol tablet 500 mg / kodein 8 mg, diberikan 2 tablet setiap 4 jam
sampai maksimum 8 tablet perhari. Apabila analgesia tidak mencukupi -
Parasetamol 1g secara oral dengan Kodein 30-60 mg setiap 4 hingga 6
tablet per jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan11
 Tramadol
Tramadol adalah analgesik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor µ
dan kelemahan analgesiknya 10-20 % dari morfin. Tramadol dapat
diberikan secara oral dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis
maksimal 400 mg per hari.11

3) Opioid Kuat
Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan
opioid kuat sebagai analgesinya. Rute oral mungkin tersedia pada pasien
yang telah sembuh dari pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti
morfin dapat digunakan karena morfin sangat efektif per oral. Bila pasien
tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara pemberian lain harus
dilakukan.10

 Morfin
Morfin paling larut dalam air dibandingkan golongan opioid lainnya dan
kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Morfin memiliki dua sifat
yang mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) yaitu depresi (analgesi,
sedasi, perubahan emosi dan hipoventilasi alveolar) dan stimulasi
(stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif refleks spinal,
konvulsi dan sekresi hormon anti diuretik/ADH). Morfin juga
menyebabkan hipotensi ortostatik. Kontra indikasi pemakaian morfin
pada kasus asma dan bronkitis kronis karena efek bronkokontriksinya.
Efek sampingnya juga menyebabkan pruritus, konstipasi dan retensio
urin. Morfin dapat diberikan secara subkutan, intramuskular, intravena,
epidural dan intratekal. Dosis anjuran untuk mengurangi nyeri sedang
adalah 0,1-0,2 mg/kgBB secara subkutan, intramuskular dan dapat
diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dewasa dapat diberikan 1-2 mg
intravena dan diulang sesuai kebutuhan. Untuk megurangi nyeri dewasa
pasca bedah dan nyeri persalinan digunakan dosis 2-4 mg epidural atau
0,05-0,2 mg intratekal, dan dapat diulang antara 6-12 jam.11
 Petidin
Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin. Perbedaan dengan morfin adalah sebagai
berikut:11
 Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang
lebih larut dalam air.
 Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan
normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat.
 Petidin bersifat seperti atropin yang menyebabkan kekeringan
mulut, kekaburan pandangan, dan takikardi.
 Seperti morfin, dapat menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap
sfingter Oddi lebih ringan.
 Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetar pasca bedah
yang tidak ada hubungan dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg
iv pada dewasa. Sedangkan morfin tidak.
 Lama kerja petidin lebih pendek daripada morfin.
 Fentanil
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 kali
morfin, lebih larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan
mudah. Efek depresi nafas lebih lama dibandingkan dengan efek
analgesiknya. Dosis 1-3 µg/kgBB analgesiknya berlangsung kira-kira 30
menit, karena itu hanya digunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak
untuk pasca bedah.11

2. Anestesi Lokal
Respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya
perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik. Ada beberapa teknik
anestesi lokal sederhana yang dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi
untuk memberikan pain relief yang efektif.10
Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti
Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.
Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan
menggunakan infus. Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan
analgesia selektif di bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf
tersebut.7
Gambar 1: WHO Analgesic ladder (www.paineurope.com/tools/who-analgesic-ladder)

B. Manajemen Non Farmakologis


Tindakan non-farmakologis mencakup intervensi perilaku-kognitif dan
penggunaan atau stimulasi fisik. Tujuan intervensi perilaku-kognitif adalah
mengubah persepsi klien tentang nyeri, mengubah perilaku nyeri, dan
memberikan klien rasa pengendalian nyeri yang lebih besar, sedangkan agen-agen
fisik bertujuan untuk memberi rasa nyaman, memperbaiki disfungsi fisik,
mengubah respon fisiologis, dan mengurangi rasa takut yang terkait dengan
imobilisasi.12 Penggunaan akupunktur manual dan elektroakupunktur merupakan
modalitas non-farmakologis untuk terapi nyeri pasca operasi.13

AKUPUNKTUR

TINJAUAN KLASIK

Berbagai faktor dapat menyebabkan terjadinya nyeri, namun penyebab utamanya


yaitu penyumbatan atau obstruksi atau bahkan defisiensi dan pada beberapa kasus
merupakan gabungan penyumbatan dengan defisiensi. Penyumbatan atau
obstruksi merupakan penyebab utama pada nyeri pasca operasi, misalnya ketika
terdapat nyeri yang mendahului operasi akibat stagnasi Qi dan Darah.14
Operasi pada organ atau jaringan dapat merusak organ internal zang-fu
yang sangat mempengaruhi sirkulasi qi dan darah yang mengarah pada stagnasi qi
dan darah yang berakibat pada nyeri pasca operasi. Jika terdapat aliran yang
lancar, tidak akan ada nyeri; jika tidak ada aliran yang lancar, maka akan timbul
nyeri. Aliran lancar yang dimaksud di sini adalah aliran dari qi dan darah pada
organ zang-fu, jaringan dan meridian. Selama operasi, jaringan yang normal juga
ikut terluka yang menyebabkan kerusakan pada sirkulasi normal qi dan darah dan
terjadilah nyeri pasca operasi. Juga kehilangan darah, residu darah dan bekuan
darah selama operasi dapat menyebabkan stagnasi darah yang menyebabkan
penghambatan di organ, jaringan dan meridian yang memperparah stagnasi qi dan
darah sehingga memperparah nyeri pasca operasi.14

MEKANISME KERJA AKUPUNKTUR

Akupunktur Analgesia berarti pengurangan nyeri menggunakan terapi


akupunktur. Jarum akupunktur yang ditusukkan ke kulit dan otot akan
mengaktifkan serabut saraf C tidak bermielin dan serabut saraf A-delta di perifer
yang diteruskan ke sel-sel intermediet kecil di traktus anterolateral di kornu
dorsalis medulla spinal. Sel-sel intermediet melepaskan neuromodulator
enkephalin, yang menghambat transmisi nyeri di sel-sel substansia gelatinosa,
bagian dari jalur nosiseptif (dari serabut serat C tidak bermielin). Aksi potensial
dari penusukan jarum juga ditransmisikan melalui saraf langsung ke segmen
tertentu di sumsum tulang belakang di mana cenderung untuk menekan aktivitas
kornu dorsalis yang mengurangi respon terhadap rangsangan nyeri. Aksi potensial
yang dihasilkan oleh jarum akupunktur kemudian diteruskan dari kornu dorsalis
hingga batang otak.15

Stimulasi akupunktur akan diteruskan ke bagian rostral di midbrain,


pituitari dan hipotalamus. Secara sentral, akupunktur mempengaruhi sistem limbik
yang bertanggung jawab untuk komponen afektif nyeri. Stimulasi akupunktur
diteruskan ke interneuron penghambat di medulla spinal dimana dinorfin dan dan
enkefalin dilepaskan di pre sinaps untuk memblokir neurotransmisi asenden sinyal
nyeri di sepanjang traktus spinotalamikus. Sementara itu, proyeksi ke sel-sel
rostral dari traktus anterolateral akan merangsang sel-sel di periaqueductal gray
yang menyebabkan pelepasan enkefalin, yang akan menghambat inhibisi sel
raphe nucleus. Raphe nucleus merupakan bagian dari jalur desenden analgesik
endogen. Disinhibisi dari sel-sel ini mengaktifkan jalur analgesik desenden, yang
menyebabkan pelepasan monoamin seperti serotonin ke sel-sel traktus
spinotalamikus di sumsum tulang belakang yang membawa rangsangan nyeri ke
otak. Selain itu juga menstimulasi pituitari untuk melepaskan ACTH dan beta
endorfin ke dalam darah. Stimulasi akupunktur mengaktifkan berbagai jalur di
otak dan medula spinal dan mengurangi transmisi rangsang nyeri dari perifer ke
otak.

Otak dapat menghambat rasa sakit melalui jalur ke bawah (descendence


pathway) dengan melepaskan beberapa neurotransmiter di setiap segmen dari
sumsum tulang belakang. Hal ini dikenal sebagai efek analgesik ekstrasegmental
karena tidak terbatas pada segmen tunggal. Akupunktur dapat mengaktifkan efek
ekstrasegmental, dan memiliki efek yang luas ke seluruh tubuh, hingga di luar
segmen di mana akupunktur diterapkan. Akupunktur melepaskan peptida opioid
alami. Empat peptida opioid telah diidentifikasi, namun peran mereka yang dalam
persepsi nyeri masih belum sepenuhnya dipahami. Setiap peptida dominan di
daerah yang berbeda di SSP: beta-endorphin ditemukan di otak dan enkephalin di
sumsum tulang belakang dan akupunktur menyebabkan pelepasan keduanya.
Dynorphin di sumsum tulang belakang dan batang otak, memiliki beberapa efek
tergantung keadaan. Orphanin (juga dikenal sebagai endomorphin atau
nociceptin) secara luas didistribusikan ke seluruh otak depan, otak tengah dan
sumsum tulang belakang dan memiliki banyak fungsi di nosisepsi, fungsi sensorik
lainnya dan kontrol otonom.15

Tiga jenis reseptor opioid juga telah diidentifikasi, yaitu reseptor µ, δ dan
k. Reseptor ini tidak sama persis pada peptida yang berbeda, dan beberapa peptida
merangsang lebih dari satu reseptor. Beta-endorphin memainkan peran penting
dalam akupunktur analgesia. Dalam sebuah penelitian penting, akupunktur
meningkatkan konsentrasi beta-endorphin di CSF pada pasien dengan nyeri,
sedangkan pasien kontrol yang tidak mendapat akupunktur tidak menunjukkan
perubahan kadar beta-endorphin.15

Elektroakupunktur mempercepat ekspresi genetik dari c-fos pada neuron


serotonergik di nucleus raphe dorsalis, nucleus raphe centralis dan superior dan
rostral ventromedial medulla. Akupunktur dapat menginduksi efek analgesia
dengan cara mengurangi ekspresi c-fos. C-fos merupakan salah satu gen yang
berperan pada nyeri dimana respon nyeri dapat mempengaruhi genom seluler
yang menyebabkan perubahan penting pada transkripsi gen dan sintesis protein.
Pada sistem saraf, setelah stimulasi nyeri, akan berhubungan dengan aktivasi dari
gen-gen termasuk c-fos.13

Akupunktur juga melibatkan neurotransmitter lain selain opioid. Serotonin


adalah salah satu neurotransmitter yang penting dalam matriks kontrol nyeri.
Serotonin terlibat di batang otak dalam mengaktivasi sistem penghambatan nyeri
ke bawah (descending pain inhibition) dan merangsang pelepasan serotonin yang
lebih banyak (juga pelepasan noradrenalin) di kornu dorsalis medulla spinal.
Oksitosin memiliki peran penting dalam banyak efek akupunktur, termasuk efek
analgesik, anxiolytic dan sedatif. Stimulasi akupunktur juga mempengaruhi
kelenjar hipofisis anterior melalui hipotalamus.15

PENELITIAN AKUPUNKTUR

Gilbertson et al, tahun 2003, membuat suatu penelitian untuk melihat efek
akupunktur terhadap operasi muskuloskeletal. Sebanyak 40 pasien dengan dengan
artroskopi akromioplasti diacak ke dalam kelompok akupunktur dan kelompok
sham. Dilakukan penilaian pada UCLA shoulder scale, intensitas nyeri,
penggunaan analgesik, range of motion, dan kualitas hidup pasien yang dimonitor
selama 4 bulan. Kelompok akupunktur dimulai pada hari ke-3 hingga ke-8 pasca
operasi, tiga kali per minggu selama satu bulan (total = 12 kali). Hasilnya, 35
pasien menyelesaikan studi dengan kelompok akupunktur lebih baik secara
signifikan pada UCLA shoulder scale (p < 0.000); intensitas nyeri (p < 0.022);
laporan penggunaan analgesik (p < 0.008); angles of abduction (p < 0.046); dan 6
dari 8 komponen kuisioner status kesehatan. Kesimpulannya, pada pasien
artroskopi akromioplasti, akupunktur memberikan perbaikan yang lebih besar
dibandingkan kelompok sham melalui penilaian tingkat nyeri yang lebih rendah,
penggunaan analgesik yang lebih sedikit dan kepuasan pasien yang lebih baik.16

Wu et al, tahun 2015, membuat ulasan sistematis dan meta-analisis tentang


efektivitas akupunktur pada manajemen nyeri pasien pasca operasi. Studi ini
mengevaluasi efektivitas akupunktur dan teknik terkait dalam menangani nyeri
pasca operasi. Pasien yang diobati dengan akupunktur atau teknik terkait memiliki
nyeri yang lebih sedikit dan analgesik opioid digunakan juga lebih sedikit pada
hari ke-1 setelah operasi dibandingkan dengan pasien kontrol (P < 0,001). Tidak
terdeteksi adanya bias publikasi. Analisis subkelompok menunjukkan bahwa
akupunktur konvensional dan stimulasi akupunktur listrik transkutan (TEAS)
dikaitkan dengan nyeri pasca operasi yang lebih sedikit satu hari setelah operasi
dibandingkan dari pasien dengan perlakuan kontrol, sedangkan elektroakupunktur
mirip dengan pasien kontrol (P = 0.116). TEAS dikaitkan dengan penurunan
signifikan yang lebih besar pada penggunaan analgesik opioid pada hari ke-1
pasca operasi dibanding kontrol (P < 0.001); namun akupunktur konvensional dan
elektroakupunktur tidak efektif dalam mengurangi penggunaan analgesik opioid
dibandingkan dengan kontrol (P = 0.142). Mode tertentu akupunktur memperbaiki
nyeri pasca operasi pada hari pertama pasca operasi dan mengurangi penggunaan
opioid. Temuan kami mendukung penggunaan akupunktur sebagai terapi
tambahan dalam mengobati nyeri pasca operasi.17

Chang et al, Tahun 2012, membuat sebuah penelitian acak terkontrol


untuk menguji efek akupresur telinga untuk menghilangkan nyeri pasca operasi
dan meningkatkan jangkauan gerak pasif pada pasien dengan operasi total knee
replacement (TKR). Enam puluh dua pasien yang telah menjalani operasi TKR
secara acak dibagi ke dalam kelompok akupresur dan kelompok kontrol sham.
Intervensi diberikan berupa pemasangan magnetic beads yang ditekan tiga kali
sehari selama 3 menit per titik di titik TF4 dan AT4 dan ditinggal selama 3 hari.
Skala analog visual (VAS) dan Kuesioner Nyeri Short-Form McGill digunakan
untuk menilai intensitas nyeri. Konsumsi obat nyeri dicatat dan gerakan lutut
diukur dengan menggunakan goniometer. Pasien mengalami derajat nyeri cukup
berat pasca operasi (VAS 58.66 ± 20.35) sementara pada pasein menggunakan
PCA. Tidak ada perbedaan-perbedaan ditemukan pada skor nyeri antar kelompok
di semua titik. Namun, penggunaan obat analgesik pada pasien kelompok
akupresur secara signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol sham (P
< 0.05), mengontrol BMI, usia, dan skor nyeri. Pada hari ke-3 setelah operasi,
gerakan lutut pasif pada pasien kelompok akupresur secara signifikan lebih baik
daripada kelompok pasien kontrol sham (P < 0.05), mengontrol BMI.
Kesimpulannya adalah penerapan akupresur telinga di titik spesifik secara
signifikan mengurangi kebutuhan analgesi opioid dan meningkatkan gerakan lutut
pada pasien dengan TKR.18

Cho et al, Tahun 2014, tinjauan sistematis ini bertujuan mengevaluasi


efektivitas pengobatan akupunktur untuk nyeri akut pasca operasi (≤1 minggu)
setelah operasi belakang. Kami mencari 15 database elektronik tanpa pembatasan
bahasa. Dua pengulas independen menilai Studi kelayakan dan data yang diambil,
hasil, dan risiko bias. efek acak meta-analisis dan dilakukan analisis subkelompok.
Hasilnya, lima percobaan, termasuk 3 percobaan berkualitas tinggi, masuk ke
dalam kriteria inklusi kami. Meta-analisis menunjukkan hasil positif untuk
pengobatan akupunktur pada nyeri pasca operasi dengan melihat skala analog
visual (VAS) untuk intensitas nyeri selama 24 jam setelah operasi, jika
dibandingkan dengan sham akupunktur (standard mean difference 0.67 (1.04-
0.31), P = 0.0003), sedangkan meta-analisis lainnya tidak menunjukkan efek
positif akupunktur pada kebutuhan opioid 24-jam ketika dibandingkan dengan
akupunktur sham (standard mean difference 0.23 (0.58-0.13), P = 0.21).
Kesimpulannya, ulasan sistematis kami mendukung tetapi dengan bukti yang
terbatas pada efektivitas akupunktur untuk nyeri pasca operasi akut setelah operasi
belakang.19

Yeh et al, tahun 2011, Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek
Acupoint Electrical Stimulation (AES) untuk mengurangi nyeri pasca operasi pada
pasien dengan operasi tulang belakang yang mendapat patient-controlled
analgesia (PCA). Peserta penelitian dibagi secara acak ke dalam kelompok
intervensi dengan AES pada titik akupunktur (kelompok AES, n = 30), AES di
titik akupunktur sham (kelompok sham, n = 30), atau tanpa intervensi AES
(kelompok kontrol, n = 30). Kelompok AES mendapat penusukan di titik
Weizhong (BL40), Yanglingquan (GB34), Shenmen (HT7), dan Neiguan (P6)
dengan EA DD frekuensi 2 Hz/100 Hz dan intensitas 4–7mA selama 20 menit.
AES pertama pada 3 jam setelah pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan AES
kedua pada jam ke-4. Kelompok kontrol mendapat perlakuan yang sama pada
kelompok AES namun pada titik 2 cm dari titik akupunktur. Keluarannya dinilai
sesuai dengan jumlah nyeri yang dialami dan analgesik digunakan. Hasilnya,
terdapat perbedaan signifikan di antara tiga kelompok dalam pengurangan nyeri di
seluruh waktu dan frekuensi penekanan tombol PCA dan jumlah analgesik yang
digunakan. efek menguntungkan tampak pada kelompok AES jika dibandingkan
dengan kelompok sham dan kontrol. Kesimpulannya, AES di titik akupunktur
efektif mengurangi nyeri pasca operasi dan penggunaan analgesik.20

Usichenko, tahun 2007, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah


akupunktur telinga lebih baik dari jarum invasif untuk analgesia pelengkap setelah
operasi lutut rawat jalan. Sebanyak seratus dua puluh pasien yang menjalani
operasi artroskopi lutut dalam pengaruh anestesi umum secara acak dibagi untuk
mendapat akupunktur telinga atau prosedur kontrol. Jarum akupunktur ditusukkan
sebelum operasi dan ditinggal hingga keesokan harinya. Jarum akupunktur telinga
ukuran (0.22x1.5 mm) dipasang selama 24 jam di titik lutut, shenmen dan paru,
ipsilateral bagian yang dioperasi. Kelompok kontrol mendapat jarum telinga di
tiga titik bagian heliks telinga ipsilateral bagian yang dioperasi. Obat analgesi
diarahkan untuk mencapai intensitas nyeri yang kurang dari 40 mm pada skala
analog visual 100 mm. Keluaran ukuran primer adalah kebutuhan pasca operasi
terhadap ibuprofen antara operasi dan pemeriksaan berikutnya pagi. Hasilnya,
intention to treat analysis menunjukkan bahwa pasien dari kelompok kontrol (n =
59) membutuhkan ibuprofen yang lebih banyak dibandingkan pasien dari
kelompok akupunktur telinga (n = 61): median (kisaran interkuartil) 600 (200-
800) v. 200 (0-600) mg (p = 0,012). Intensitas nyeri pada skala analog visual
serupa pada kedua kelompok pada semua titik waktu. kebanyakan pasien pada
kedua kelompok percaya bahwa mereka mendapat akupunktur dan ingin.
Kesimpulannya, akupunktur telinga mengurangi kebutuhan ibuprofen setelah
operasi lutut rawat jalan dibandingkan prosedur kontrol jarum invasif.21

MODALITAS AKUPUNKTUR

Acupuncture points stimulation atau APS merupakan metode yang banyak dipakai
yang menggunakan pendekatan titik-titik akupunktur tubuh dan telinga. Selain
menggunakan metode akupunktur manual dan akupresur, APS juga menggunakan
modalitas seperti elektroakupunktur atau stimulasi laser. Lima jenis APS yang
sering digunakan adalah: elektroakupunktur dengan intensitas rendah dan atau
tinggi, akupunktur manual, seed embedding, akupresur dan plastertherapy.2

Elektroakupunktur (EA) melibatkan alat menjalankan arus listrik kecil


melalui jarum dengan intensitas yang cukup (setidaknya, dalam percobaan
laboratorium) untuk membuat otot berkedut. Frekuensi EA yang berbeda akan
melepaskan peptida opioid yang berbeda. Han memilih frekuensi 2 Hz dan 100 Hz
untuk mewakili frekuensi yang sangat tinggi dan rendah. Han menunjukkan
bahwa stimulasi frekuensi 2 Hz menginduksi analgesia melalui pelepasan beta-
endorphin, enkephalin dan orphanin dan efeknya pada reseptor m; dan frekuensi
tinggi (biasanya 80-100 Hz) menstimulasi pelepasan dynorphin, yang merangsang
reseptor k. EA dari 15 Hz menginduksi pelepasan terbatas dari encephalin dan
beta-endorphin. Dalam ulasan komprehensif dari penelitian laboratorium ini, Han
menyarankan bahwa efek analgesik jangka pendek terbesar dicapai dengan
menggabungkan frekuensi 2Hz dan 100Hz (Han 2004). Penelitian klinis pada
pasien dengan nyeri menyarankan bahwa efek frekuensi 2 Hz efeknya bertahan
lebih lama dibandingkan dengan frekuensi 100 Hz.15

Gambar 2: Perbandingan opioid dan frekuensi EA yang relevan (An Introduction


of Western Medical Acupuncture. Elsevier; 2008)

Akupunktur telinga juga sering digunakan pada penanganan nyeri pasca


operasi karena dihubungkan dengan efek analgesik dan sedasi. Pada beberapa
penelitian, alat stimulasi telinga yang digunakan adalah seeds vaccaria segetalis
yang dipasang selama 48 jam pasca operasi, jarum telinga ukuran 0.22x1.5 mm
yang dipasang selama 24 jam pasca operasi, pemasangan magnetic beads yang
ditekan tiga kali sehari selama 3 menit per titik di titik yang ditinggal selama 3
hari atau akupresur dengan ujung jari di titik telinga selama 3 menit per titik 4 kali
per hari.18, 22, 23

PEMILIHAN TITIK

Titik akupunktur yang sering digunakan adalah LI4, SP6, ST36, dan PC6;
sedangkan untuk akupunktur telinga digunakan Shen Men (TF4), Lambung (CO4)
dan Paru (CO14).2
1. LI4
a. Lokasi : pada dorsum manus, sisi radial petengahan tulang
metakarpal kedua
b. Vaskularisasi : arteri dan vena metacarpal dorsal digiti 2
c. Inervasi : dorsal nervus digiti 2
d. Alasan : penusukan di titik akupunktur akan mengaktifkan
hipotalamus dan hipofisis untuk mensekresi opioid endogen (beta-
endorfin, enkefalin dan dinorfin) dan terbukti dapat menghambat nyeri
serta meningkatkan ambang rangsang nyeri.24
2. SP6
a. Lokasi : pada bagian tibia dari tungkai, posterior dari medial tibia,
3 B-cun superior dari prominensia malleolus medialis
b. Vaskularisasi : vena saphenous, arteri dan vena tibialis posterior
c. Inervasi : nervus kutaneus kruris medialis di superfisial dan nervus
tibialis posterior profunda
d. Alasan : penusukan pada titik ini menginduksi pelepasan beta-
endorfin di hipotalamus pituitari.
3. ST36
a. Lokasi : pada anterior tungkai bawah, garis yang menghubungkan
titik ST35 dengan ST41, 3 B-cun inferior ST35, pada titik tibialis anterior
b. Vaskularisasi : cabang lateral vena saphena magna, vena dan arteri tibialis
anterior
c. Inervasi : nervus kutaneus sural lateral, nervus peroneal profunda,
cabang infrapatella dari nevus saphenous dan cabang lateral nervus
cutaneous
d. Alasan : Akupunktur juga mengaktivasi mekanisme anti-nosisepsi
melalui aksi monoamine (seperti serotonin and norepinefrin) di sistem
saraf pusat.25
4. PC6
a. Lokasi : pada aspek anterior lengan bawah, di antara tendon
palmaris longus dan flexor carpi radialis, 2 B-cun proksimal garis
pergelangan tangan
b. Vaskularisasi : vena antebrachial medianus, vena medianus, arteri
medianus, vena dan arteri interosseus anterior
c. Inervasi : cabang nervus antebrachial cutaneous medial, cabang
nervus antebrachial cutaneous lateral, cabang cutaneous palmaris dari
nervus medianus, nervus interosseus anterior
d. Alasan : penusukan di titik ini akan mengaktivasi regio
sensorimotor dan proses kognitif dan deaktivasi regio default-mode
network (DMN) yang meningkatkan modulasi aferen nosisepsi dan
jaringan nyeri pusat.26
5. Titik telinga
1) TF4
a. Lokasi : lateral angulus area fossa triangularis, lateral dan superior
titik hepatitis
2) CO4
a. Lokasi : lateral angulus area fossa triangularis, lateral dan superior
titik hepatitis
3) CO14
a. Lokasi : di bagian atas cavum concha , tepat dibawah di mana crus
helix menghilang

Persarafan titik telinga meliputi:

- Saraf di triangular fossa berasal dari nervus auriculotemporal, nervus


auricular mayor dan nervus oksipital minor
- Persarafan di cymba dan cavum concha berasal dari cabang nervus fasialis
(VII), nervus vagus (X) dan nervus trigeminus (V) dan beberapa cabang
dari nervus auricular major.
Vaskularisasi berasal dari arteri superfisial temporal dari arteri karotis eksterna
dan arteri auricular posterior. Vena-vena di anterior telinga jumlahnya sedikit dan
kebanyakan terhubung langsung dengan vena superfisialis temporal.27 Efek
akupunktur telinga berupa efek sedasi dan efek analgesik yang dicapai melalui
perangsangan di pusat kortikal otak manusia yang terdiri dari sistem limbik,
hipotalamus dan batang otak.28

DISKUSI

Prevalensi menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 80% pasien yang menjalani
prosedur bedah akan mengalami nyeri pasca operasi akut dan sekitar 75% dari
pasien dengan nyeri pasca operasi melaporkan tingkat keparahan yang sedang,
berat, atau ekstrim. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa kurang dari setengah
pasien yang menjalani pembedahan melaporkan pengurangan nyeri pasca operasi
yang memadai. Walaupun telah terdapat panduan berbasis bukti, namun nyeri
pasca operasi diketahui masih ditangani kurang adekuat.

Akupunktur telah digunakan di Cina sebagai terapi nyeri sejak ribuan


tahun dan telah terdokumentasi dengan baik dalam literatur Cina Kuno. Dalam
beberapa dekade, Cina telah melaporkan keberhasilan penggunaan akupunktur
untuk anestesia selama pembedahan. Tahun 1971, seorang jurnalis New York
Times yang bekerja di Cina melaporkan pengalamannya mengenai terapi
akupunktur pada nyeri pasca operasi abdomen. Sejak saat itu, banyak studi yang
dilakukan untuk mengetahui efektivitas akupunktur pada nyeri pasca operasi.
Hingga National Institute of Health (NIH) pada sebuah konsensus tahun 1997
menyatakan akupunktur efektif dalam menangani nyeri pasca operasi.29

NIH juga menyatakan akupunktur dapat digunakan sebagai terapi


alternatif ketika terapi konvensional tidak efektif atau sebagai terapi tambahan
pada pasien yang menderita akibat efek samping obat. Mekanisme kerja
akupunktur telah ditelaah sejak tahun 1970. Penelitian awal menunjukkan bahwa
opioid endogen memainkan peran bagaimana akupunktur memberikan
keuntungan akibat efek antagonis terhadap nalokson pada elektroakupuntur
analgesia (EAA). Opioid endogen juga telah diukur dalam plasma dan cairan
serebrospinal pasien yang mendapat EAA. Akupunktur memiliki onset yang cepat
dalam menghilangkan nyeri yang mungkin dijelaskan oleh diffuse noxious
inhibitory controls yang dapat mengurangi nyeri melalui stimulasi akupunktur.30

Respon nyeri dapat mempengaruhi genom seluler yang menyebabkan


perubahan penting pada transkripsi gen dan sintesis protein. Pada sistem saraf,
setelah stimulasi nyeri, akan berhubungan dengan aktivasi dari gen-gen termasuk
c-fos. Identifikasi ekspresi c-fos di medulla spinal dan otak penting untuk menilai
keefektifan terapi analgesik. Pengulangan rangsangan dapat menurunkan ekspresi
c-fos. Pemetaan area otak berhubungan dengan efek analgesik akupunktur melalui
ekspresi c-fos membantu dalam menjelaskan mekanisme kerja akupunktur.
Perubahan ekspresi c-fos pada otak menunjukkan analgesia preemptive baik
dengan akupunktur manual atau elektroakupunktur mengurangi stress. Hewan
coba menunjukkan pengurangan signifikan ekspresi c-fos. Perbandingan antara
hewan kontrol dan kelompok terapi lain menunjukkan perbedaan yang sangat
signifikan pada ekspresi c-fos untuk tiap kelompok yang menunjukkan kelompok
terapi lebih efektif dibanding kelompok kontrol.13

Penggunaan akupunktur dapat berperan sebagai modalitas alternatif dan


komplementer ketika terapi konservatif hanya memberikan sedikit efek terapi
pada nyeri atau efek samping yang sangat banyak ketika menangani kondisi nyeri
akut setelah operasi. Akupunktur merupakan modalitas terapi yang mudah
didapatkan, nyaman dan ekonomis untuk mengontrol nyeri pasca operasi. Juga,
akupunktur merupakan terapi yang relatif aman dengan efek samping yang jarang
jika dilakukan oleh seorang professional di bidang akupunktur.

Dari berbagai ulasan sistematis dan penelitian, pasien dengan stimulasi


listrik di titik akupunktur merasakan pengalaman dengan pengurangan keparahan
nyeri, frekuensi nyeri dan dampak nyeri pada aktivitas sehari-hari dan tidur pada
24 jam pertama pasca operasi dibandingkan pasien pada kelompok lain. Hasil dari
studi ini membuktikan efek stimulasi listrik yang disertai PCA (patient controlled
analgesia) mengurangi nyeri pasca operasi pada pasien yang menjalani operasi
penggantian lutut total.

Nyeri pasca operasi yang sangat berat dapat membuat ketidakstabilan


detak jantung dan tekanan darah, menekan pernapasan dan menghambat aktivitas
pasien. Nyeri dapat dihilangkan menggunakan opioid, namun opioid memiliki
efek langsung ke pusat pernapasan di pontin dan batang otak. Penelitian
menunjukkan bahwa stimulasi elektroakupunktur mengurangi kebutuhan total
opioid yang digunakan pada 24 jam pertama pasca operasi.

Terapi yang adekuat untuk nyeri pasca operasi masih merupakan suatu
tantangan. Dimana nyeri pasca operasi memiliki etiologi yang multimodal
sehingga diperlukan juga terapi yang multimodal. NSAID dan Opioid masih
menjadi pilihan terapi utama untuk nyeri moderat hingga berat, namun efek
samping opioid membuat penggunaannya terbatas. Akupunktur merupakan
modalitas terapi yang efektif, aman dan nyaman untuk mengontrol nyeri pasca
operasi. Kombinasi terapi konvensional dan akupunktur akan memberikan
pengontrolan nyeri pasca operasi yang lebih baik dengan efek samping obat yang
lebih sedikit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Misiołek H, Cettler M, Woro J, Wordliczek J. The 2014 Guidelines for Post-


Operative Pain Management. Anaesthesiology Intensive Therapy. 2014;2014,
vol. 46, no 4, 221–244.
2. Liu XL, Tan JY, Molassiotis A, Suen L, Shi Y. Acupuncture-Point Stimulation
for Postoperative Pain Control: A Systematic Review and Meta-Analysis of
Randomized Controlled Trials. Evidence-Based Complementary and Alternative
Medicine. 2015;Volume 2015.
3. Zusa DE. Pain Experiences and Pain Management of Postoperative Patients.
Majalah Kedokteran Nusantara. 2007.
4. Meissner W, Coluzzi F, Fletcher D, Huygen F, Morlion B, Neugebauer E.
Improving the Management of Post-Operative Acute Pain: Priorities for Change.
Current Medical Research and Opinion. 2015.
5. Chou R, Gordon DB, Leon-Casasola O, Rosenberg JM, Bickler S. Management
of Postoperative Pain: A Clinical Practice Guideline. The Journal of Pain, Vol 17,
No 2 (February), 2016: pp 131-157. 2016.
6. Wirjoatmodjo, Karjadi. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk
Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional; 2000.
7. Wels D. Management of Postoperative Pain. Anaesthesia Supplement. 2012.
8. Andrés JD, Fischer HBJ, Ivani G, Mogensen M. Postoperative Pain Management
- Good Clinical Practice. European Society of Regional Anaesthesia and Pain
Therapy; 2005.
9. Berry PH, Chapman CR, Covington EC, Dahl JL. Pain: Current Understanding of
Assessment, Management, and Treatments: National Pharmaceutical Council
(NPC); 2001.
10. Charlton ED. Postoperative Pain Management. World Federation of Societies of
Anaesthesiologist. 1997.
11. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001.
12. Brunner, Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: ECG; 2002.
13. Gonçalves de Freitas André T. A., Lemonica Lino, De Faveri Julio, Pereira
Sergio, Bedoya Henao Maria D. Preemptive Analgesia with Acupuncture
Monitored by c-Fos Expression in Rats. Journal of Acupuncture and Meridian
Studies. 2016;9(1):16-21.
14. Peilin S. The Management of Post-operative Pain with Acupuncture. China:
Elsevier; 2007.
15. White A, Cummings M, Filshie J. An Introduction of Western Medical
Acupuncture. Cina: Elsevier Limited; 2008.
16. Gilbertson B, Wenner K, Russell LC. Acupuncture and Arthroscopic
Acromioplasty. Journal of Orthopaedic Research 21 (2003) 752-758. 2003.
17. Wu MS, Chen KH, Chen IF, Huang SK. The Efficacy of Acupuncture in Post-
Operative Pain Management: A Systematic Review and Meta-Analysis. PLOS
ONE. 2016.
18. Chang L, Hsu CH, Jong GP, Ho S, Tsay S. Auricular Acupressure forManaging
Postoperative Pain and KneeMotion in Patients with Total Knee Replacement: A
Randomized ShamControl Study. Evidence-Based Complementary and
Alternative Medicine. 2012;Volume 2012.
19. Cho YH, Kim CK, Heo KH, Lee MS. Acupuncture for Acute Postoperative Pain
after Back Surgery: A Systematic Review and Meta-analysis of Randomized
Controlled Trials. Pain Practice, Volume 15, Issue 3, 2015 279–291. 2014.
20. Yeh Mei-Ling, Chung Yu-Chu, Chen Kang-Min, Chen Hsing-Hsia. Pain
reduction of acupoint electrical stimulation for patients with spinal surgery: A
placebo-controlled study. International Journal of Nursing Studies.
2011;48(6):703-9.
21. Usichenko T. I., Kuchling S., Witstruck T., Pavlovic D., Zach M., Hofer A., et al.
Auricular acupuncture for pain relief after ambulatory knee surgery: a
randomized trial. Canadian Medical Association Journal. 2007;176(2):179-83.
22. Usichenko TI, Hermsen M, Witstruck T, Hofer A. Auricular Acupuncture for
Pain Relief after Ambulatory Knee Arthroscopy—A Pilot Study. eCAM
2005;2(2)185–189. 2005.
23. Usichenko TI, Kuchling S, Witstruck T, Pavlovic D. Auricular Acupuncture for
Pain Relief After Ambulatory Knee Surgery: A Randomized Trial. Canadian
Medical Association Journal. 2007.
24. Wu S, Shibutami K. Effect of Acupuncture on Perception Threshold: A
Randomized Controlled Trial. Acupuncture Med 2012. 2012;2012;30:32-6.
25. Chang Fang-Chia, Tsai Huei-Yann, Yu Ming-Chien, Yi Pei-Lu, Lin Jaung-Geng.
The Central Serotonergic System Mediates the Analgesic Effect of
Electroacupuncture on <i>Zusanli</i> (ST36) Acupoints. Journal of Biomedical
Science. 2004;11(2):179-85.
26. Napadow Vitaly, Dhond Rupali P., Kim Jieun, LaCount Lauren, Vangel Mark,
Harris Richard E., et al. Brain encoding of acupuncture sensation — Coupling
on-line rating with fMRI. NeuroImage. 2009;47(3):1055-65.
27. Suh SC. Acupuncture Anatomy: Regional Micro-Anatomy and Systemic
Acupuncture Networks. New York: CRC; 2016.
28. Terry O. Auriculotherapy Manual Chinese and Western System of Ear
Acupuncture. 4th ed: Churchill Livingstone Elsevier; 2014.
29. NIH. NIH Consensus Development Conference on Acupuncture. Maryland:
National Institutes of Health; 1997.
30. Patil Shilpadevi, Sen Sudipta, Bral Matthew, Reddy Shanthi, Bradley Kevin K.,
Cornett Elyse M., et al. The Role of Acupuncture in Pain Management. Current
Pain and Headache Reports. 2016;20(4).

Anda mungkin juga menyukai