Anda di halaman 1dari 13

Kajian Jurnal

Keakuratan Diagnostik Radiografi Dada untuk


Diagnosis Tuberkulosis (TB) dan Perannya dalam
Deteksi Infeksi Laten TB : Sebuah Tinjauan Sistematik

Disusun Oleh:
Robyana Oktavia
1102013258

Pembimbing:
dr. Atiek W, Sp.Rad

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Radiologi


Rumah Sakit TK II Moh. Ridwan Meuraksa
Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
2019
Keakuratan Diagnostik Radiografi Dada untuk Diagnosis Tuberkulosis (TB) dan
Perannya dalam Deteksi Infeksi Laten TB : Sebuah Tinjauan Sistematik

Abstrak : Pada tinjauan sistematik peneliti mengevaluasi peran dari radiografi dada
pada alur diagnosis untuk TB, fokus pada infeksi laten TB (LTBI) pada
pasien yang membutuhkan pengobatan medis dengan obat biologis. Pada
penemuan terbaru, pasien yang dijadwalkan untuk terapi imunomodulator
dengan obat biologis, merupakan kelompok reaktivasi TB dan deteksi pada
pasien LTBI sangat penting dilakukan. Radiografi dada untuk diagnosis TB
paru memiliki sensitivitas baik, namun dengan spesifitas buruk. Diagnosis
radiografi penyakit aktif hanya dapat dipercaya sebagai dasar sementara
evolusi lesi pulmonal. Tes tuberculin in vivo dan pemeriksaan interferon-γ
ex vivo didesain untuk mengidentifikasi perkembangan respon imun
adaptif, namun tidakperlu pada LTBI. Computed Tomography (CT)
diperlukan untuk membedakan penyakit aktif dari inaktif. CT
dipertimbangkan sebagai modalitas pencitraan pendukung radiografi dada
pada prosedur penyaringan untuk mendeteksi infeksi lalu dan LTBI pada
kelompok pasien spesifik yang memiliki peningkatan risiko untuk
reaktivasi TB, termasuk pada pasien yang akan menerima pengobatan
dengan agen biologis.
Kata Kunci : Radiografi dada, Infeksi Tuberkulosis Laten, Tuberkulosis, Biologi
Pendahuluan
Tuberkulosis paru (TB) menjadi infeksi umum di seluruh dunia yang memiliki
angkat mortalitas dan morbiditas tinggi, khususnya pada negara berkembang. Infeksi TB
laten (LTBI) didefinisikan sebagai infeksi persisten statis, dengan tidak adanya gejala klinis
dari penyakit aktif. Ketika manifestasi klinis ditemukan, istilah TB, tanpa kualifikasi
selanjutnya, digunakan. Berdasarkan definisi ini, LTBI dan TB dipertimbangkan sebagai
momen yang berbeda dari proses patologis yang berjalan, dan kedua kondisi biasanya
dibedakan dari adanya (TB) atau tidak adanya (LTBI) penemuan pada hasil laboratorium,
dan radiografi dada.
Kontrol infeksi TB bergantung pada identifikasi dan pencegahan individu yang
laten terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis (Mtb). Tes diagnostik dengan uji kulit
(TST) dan pemeriksaan pelepasan interferon-γ (IGRA), didesain untuk mengidentifikasi
respons imun adaptif yang melawan Mtb (namun tidak perlu pada infeksi laten). Masalah
penyaringan LTBI menjadi lebih relevan pada beberapa tahun terakhir karena pengenalan
pengobatan imunomodulator biologis pada praktek klinis, khususnya pada penyakit
reumatik. Pada kenyataannya, antagonis faktor nekrotik tumor-α (TNF-α) dapat
menyebabkan infeksi TB de novo atau reaktivasi LTBI. Namun, perbedaan pengawasan
dalam kontrol penyakit dan pencegahan telah mengeluarkan rekomendasi untuk
memastikan deteksi dan pengobatan LTBI sebelum pengobatan antagonis TNF-α.
Tinjauan sistematik ini berfokus pada peran dan nilai dari radiografi dada dalam
diagnosis TB dan deteksi penyaringan LTBI pada pasien yang menggunakan pengobatan
biologi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memberikan jawaban berdasar bukti
pada masalah klinis yang relevan berdasarkan pencitraan diagnostik pada penyaringan
untuk LTBI.

Metode
Tinjauan sistematik dari literatur medis dilakukan dengan mencari via Pubmed dari
Januari 2013, dengan tidak ada pembatasan waktu, menggunakan istilah MeSH sebagai
kata kunci pada variabel yang berhubungan : “dada” atau “thorax” + “radiografi” atau
“radiograf” atau “x-ray”+ “tuberkulosis postprimer” atau “tuberkulosis post-primer” atau
“tuberkulosis laten” atau “reaktivasi tuberkulosis”. “Dada” atay “thorax” + “radiografi”
atau “x-ray” + “faktor nekrosis tumor-alfa” atau “antagonis faktor nekrosis tumor-alfa” atau
“biologi” digunakan sebagai kata kunci tambahan. Pencarian manual referensi dilakukan.
Artikel yang menggunakan bahasa selain Bahasa Inggris atau Italia dieksklusi. Peneliti
memasukkan hanya artikel asli yang berkaitan dengan laten dan pencitraan TB post primer
dan diagnosis, dengan perhatian khusus pada yang berkaitan dengan reaktivasi TB pada
pasien yang menggunakan obat-obatan biologi.

Hasil
Total dari 1111 artikel diambil. Sebagian besar artikel (936) artikel dieksklusi diawal
karena judul atau abstrak, karena dianggap tidak relevan. Artikel yang tersisa kemudian
dianalisis berdasarkan relevansi judul atau abstrak. Metode ini memimpin peneliti untuk
membaca 157 artikel, dan pada proses tinjauan akhir, 67 artikel dipilih. Artikel yang dipilih
seluruhnya berbahasa Inggris. Artikel sisa, sebanyak 90 dieksklusi karea tidak relevan atau
tidak fokus pada topik terkait.
Gambar 1. Alur Pemilihan Artikel
Apakah Peranan Radiografi Dada pada Penyaringan LTBI Saat Ini?
The World Health Organization (WHO) memperkirakan satu pertiga populasi dunia
telah terinfeksi oleh Mtb, dengan 8,7 juta kasus baru pada 2011. Sebuah evaluasi diagnosis
komplit untuk infeksi TB perlu memasukkan riwayat medis, pemeriksaan fisik, radiografi
dada, TST, tes serologi (IGRA), pemeriksaan mikrobiologi, dan kultur. Gold standard
diagnosis TB didapatkan dari kultur Mtb dari specimen yang diambil dari pasien, namun
karena pertumbuhan yang lambat dari basil aerobik, non-motil, dan tidak membentuk spora,
diagnosis biasanya membutuhkan waktu yang lama. Uji klinis di seluruh dunia dan data
pengawasan telah menunjukkan peningkatan insiden infeksi TB berhubungan dengan agen
anti-TNF-α. Mayoritas kasus diasumsikan sebagai hasil dari reaktivasi LTBI, sedangkan
angka kejadian infeksi baru tidak diketahui. Beberapa studi telah menyarankan penyaringan
pasien untuk deteksi LTBI sebelum terapi anti-TNF-α, namun saat ini tidak mungkin
mengidentifikasi basil hidup pada subjek yang diperkirakan LTBI. Perbedaan program
penyaringan untuk deteksi LTBI pada pasien yang akan mendapatkan pengobatan dengan
biologi, termasuk langkah awal termasuk riwayat kasus, penilaian faktor risiko TB, dan
pemeriksaan fisik. Radiografi dada digunakan sebagai tambahan dengan TST atau IGRA,
namun posisi prosedur penyaringan dapat bervariasi dalam guideline dan rekomendasi. The
American College of Rheumatology panel and the National Psoriasis Foundation
merekomendasikan penyaringan deteksi LTBI pada pasien dengan artritis rheumatoid (RA)
dan psoriasis yang akan mendapatkan pengobatan biologi, mengindikasikan TST dan IGRA
sebagai tes penyaring pertama. Radiografi dada dipertimbangkan pada kasus TST/IGRA
yang postif. Lembaga ilmiah lain merekomedasikan radiografi dada perlu digunakan
sebagai langkah awal dari proses penyaringan. Radiografi tersebut berguna ketika hasil
TST tidak dapat dipercaya, pembacaan kulit tidak dapat dilakukan, atau tingginya risiko
transmisi pada kasus yang tidak terdiagnosis, seperti yang terjadi pada keadaan institusional
(penjara, rumah sakit, fasilitas perawatan jangka panjang). Perlu diingat bahwa pasien
dengan RA memiliki respons yang lemah terhadap TST. Sebagai tambahan, diagnosis TB
sukar dipahami, dan simptomatik, kultur positif TB pulmonal dengan radiografi dada
normal jarang ditemukan.

Bagaimana Kinerja Diagnostik Radiografi Dada dalam Deteksi Infeksi TB?


Penyaringan radiografi dada untuk TB/LTBI pada populas risiko tinggi dapat
menunjukkan penemuan konsisten dengan infeksi sebelumnya dan atau infeksi aktif. Selain
jaringan parut fibrosa parenkim paru, terdapat pila radiografi dada spesifik yang
mengindikasikan adanya infeksi TB sebelumnya dan atau saat ini. Lesi Ghon adalah
kalsifikasi granuloma kaseosa yang menunjukkan lanjutan dari infeksi TB primer.
Kompleks Ranke adalah kombinasi fokus Ghon dengan pembesaran atau kalsifikasi
kelenjar getah bening hilus atau mediastinum. Fokus Simon merupakan nodul-nodul apikal,
sering kalsifikasi, sebagai hasil dari penyebaran hematogen pada saat infeksi awal. Ketika
menilai radiografi dada, sangat penting mengidentifikasi penemuan sugestif infeksi TB
aktif, dan menganalisis diagnosis banding dengan kondisi lain seperti : area konsolidasi
parenkim perlu dibedakan dari tumor dan infeksi lain (contoh : mycetoma), pembesaran
kelenjar getah bening mediastinum berhubungan dengan perubahan parenkimal atau sesuai
konteksnya dengan penyakit sistemik seperti infeksi, kelainan hematopoietic, limfoma,
sarcoidosis; kavitasi perlu dibedakan dari tumor, abses, dan infeksi parasit. TB terkadang
dapat muncul dengan konsolidasi di lapang paru bagian bawah, dan jika dibandingkan
dengan kasus yang melibatkan lobus atas, terbentuknya kavitasi dan perubahan fibrotik
residual lebih sedikit ditemukan, namun lebih terjadi ateletaksis parenkimal.
Sesuai dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh the American Thoracic Society
and the US Centers for Disease Control and Prevention, subjek yang terinfeksi Mtb,
dengan bukti TST positif, perlu diklasifikasikan awal dari klinis, radiografi, dan penemuan
bakteriologis kedalam salah satu dari kategori
a. Infeksi TB, tidak ada penyakit
b. Infeksi TB, klinis aktif
c. Infeksi TB, klinis inaktif
Radiografi dada memiliki nilai prediksi tinggi pada TB aktif. Populasi dewasa
imunokompeten, frekuensi pemeriksaan ngeatif palsu sekitar 1%, meningkat menjadi 7%-
15% pada individu dengan HIV seropositif. Deteksi dari abnormalitas (parenkimal, kelenjar
getah bening, atau pleural), dengan atau tanpa kalsifikasi yang berhubungan, tidak dapat
memberikan informasi akurat dari aktivitas penyakit pada penyaringan tunggal radiografi
dada. Evolusi sementara hanya variabel yang memberikan perbedaan radiografi antara
penyakit aktif dan inaktif. Kurangnya perubahan radiografi dari 4-6 bulan, umumnya
mengindikasikan penyakit inaktif. Namun, stabilitas jangka panjang penemuan radiografi
dapat berhubungan dengan penyakit kultur-positif, Miller dan MacGregor menggaris
bawahi bahwa penemuan tersebut perlu dideskripsikan sebagai “stabil secara radiografi”
dibanding “inaktif”.
Radiografi dada telah digunakan selama lebih dari satu abad untuk mendiagnosis
TB pulmonal, namun terbatas pada spesifitas dengan tingginya variabilitas pengamat pada
laporan radiologi. Perbedaan studi bertujuan untuk menilai sensitifitas dan spesifisitas
penemuan radiografi dada untuk diagnosis TB. Cohen et al, menemukan sensitivitas 73-
79% dan spesifisitas 60-63% pada populasi risiko tinggi. Hasil serupa ditemukan oleh den
Boon et al, yang membandingkang nilai diagnosis dari gejala tipikal TB (batuk, produksi
sputum, demam, penurunan berat badan, keringat malam hari, hemoptysis, anoreksia, dan
dispeneu) dibanding dengan radiografi dada pada survei prevalensi TB. Adanya
abnormalitas pada radiografi dada memiliki sensitivitas yang paling tinggi dalam
mendeteksi subjek dengan bakteriologi positif TB (0.97, 95% CI 0,90–1,00), sedangkan
spesifisitas untuk abnormalitas yang terdeteksi sebesar 0,67 (95% CI 0,64–0,70). Penemuan
yang aneh, seperti TB milier, kemungkinan dapat mencapai nilai sensitivitas dari 59 to
69%, dan spesifisitas dari 97 to 100%. Deteksi pembesaran kelenjar getah bening pada anak
memiliki sensitivitas 67% dan spesifisitas 59%. Melakukan tambahan pemeriksaan aspek
lateral dada, sesitivitas meningkat sebesar 1,8%, dan spesifisitas 2,5%. Diagnosis tepat dari
TB pulmonal pada radiografi dada berhubungan dengan keahlian pembaca, karena teknik
intrepretasi radiografi dada saat ini tidak terstandarisasi dengan baik. Beberapa penulis
telah mencoba memperkenalkan skor terstandarisasi yang dapat meningkatkan sensitifitas
dan spesifisitas radiografi dada.

Tabel 1. Penemuan Tuberkulosis yang Paling Sering pada Radiografi Dada

Hasil dari metaanalisis terbaru mengindikasikan bahwa tidak ada sistem skoring
yang diajukan dari 1989 sampai 2012 berdasarkan hanya eksklusif dari penemuan
pencitraan. Pada kenyataannya, hanya integrasi multimodal dari klinis, laboratorium, dan
data pencitraan yang memperbolehkan peningkatan kinjerja diagnostik radiografi dada,
mencapai sensitivitas dan spesifisitas 96% dan 46%. Sistem skoring sederhana yang
diajukan baru-baru ini memasukkan 4 ciri yang mudah dikenali pada radiografi dada :
opasifitas lobus atas, kavitas, efusi pleura unilateral, dan limfadenopati mediastinal atau
hilar. Peneliti menemukan nilai prediksi negatif yang tinggi (91.5%, 95% CI 8,1–94,7),
tetapi nilai prediksi positif yang rendah (49,4%, 95%CI 42,9–55,9). Elsenberg dan Pollock
telah menilai frekuensi dan spectrum abnormalitas dari penyaringan rutin radiografi dada
pada pemeriksaan sebelum bekerja pada pekerja pelayanan kesehatan yang memiliki hasil
TST positif, menemukan bahwa radiografi dada memiliki hasil yang rendah dalam
mendeteksi TB aktif atau risiko reaktivasi LTBI yang meningkat, dan tidak mendukung
untuk memutuskan apakah individu perlu diprioritaskan untuk pengobatan LTBI. CT
merupakan modalitas pencitraan yang tepat untuk mempelajari TB. CT membantu
mebedakan antara penyakit aktif dan inaktif, serta lebih sensitive dibanding radiografi dada
dalam deteksi penyakit local dan diseminata, serta limfadenopati mediastinal. Woodring et
al, mengatakan bahwa radiografi dada pertama dalam diagnosis TB memberikan hasil yang
benar hanya pada 49% kasus (contohnya 34% kasus TB primer dan 59% reaktivasi TB).
CT dada dapat mendeteksi dengan efektif 80% pasien dengan TB aktif dan 89% kasus TB
inaktif. CT sangat berguna ketika terjadi ketidak seusaian antara klinis dan penemuan
radiologis, dana tau ketika pencitraan samar atau tidak dapat disimpulkan. Subjek dengan
radiografi dada normal atau samar dapat dicurigai TB aktif pada CT dada. Lew et al
menunjukkan tidak ada tes diagnostik dengan sensitivitas 100% untuk diagnosis TB,
menyarankan kombinasi pendekatan diagnosis dengan TST, radiografi dada, IGRA, dan
CT.
Penemuan sugestif dari TB aktif dideteksi oleh CT dalam 17 (32,7%) dari 52 subjek
dengan probabilitas tinggi infeksi (30 subjek memiliki IGRA positif dan 22 subjek
memiliki indurasi TST ≥20 mm). Dari 21 (1,1%) pasien dengan TB, seluruhnya TST-
positif, 12 (57,1%) IGRA-positif, dan TB aktif didiagnosis dengan CT, tidak dengan
radiografi dada pada 11 subjek.
Ketika dibandingkan pendekatan konvensional dengan TST dan radiografi dada,
kombinasi penggunaan IGRA dan CT dada dalam TST-positif lebih efektif dalam
membedakan antara TB aktif, LTBI, dan subjek yang tidak terinfeksi dalam investigasi
kontak. Selain itu, sesuai dengan Marais et al, penggunaan CT dada untuk penyaringan
kontak asimptomatik tidak aman karena dapat menimbulkan diagnosis berlebih dari “TB
aktif”, mengekspos pasien pada dosis radiasi tinggi dan merusak kepercayaan pada alat
penyaring yang telah ada. Pengenalan CT dipertimbangkan hanya pada kelompok tertentu
individu dengan risiko tinggi reaktivasi TB, seperti pasien imunokompromais. Deteksi yang
lebih efektif dari TB aktif dapat mencegah dari pengobatan LTBI yang tidak sesuai dan
perkembangan selanjutnya dari resistensi obat. Lee et al, mengevaluasi keuntungan CT
dada pada investigasi kasus luar biasa TB dalam militer Korea Selatan. Lesi indikatif dari
TB aktif dideteksi dari 18 partisipan (21%), termasuk 9 yang tidak memiliki lesi pada
radiografi dada dan hasil positif pada TST atau IGRA. Peneliti menyimpulkan bahwa CT
dapat membantu untuk membedakan TB aktif dari LTBI. Namun, alat diagnostik perlu
dipertimbangkan secara hati-hati, mengingat efek samping dan biaya. Peneliti lain
mengomentari artikel Lee et al, bahwa CT dada memberikan dosis radiasi lebih tinggi
dibanding radiografi dada, dan biaya yang lebih tinggi. Peneliti menggaris bawahi
penggunaan CT sebagai tes penyaringan dalam investigasi kasus luar biasa TB tidak
dibenarkan, namun hanya dapat digunakan pada pasien dengan gejala, dan pada kelompok
risiko tinggi. Kepentingan dalam mengidentifikasi LTBI menjadi lebih besar ketika
antagonis TNF-α diperkenalkan pada praktik klinis harian untuk pengobatan RA dan
kelainan inflamasi reumatologi lainnya. Tannus Silva et al, mengevaluasi keuntungan CT
sebagai alat penyaringan deteksi LTBI pada pasien dengan RA. CT menunjukkan
perubahan yang cocok dengan LTBI pada 52,9% pasien termasuk 8 dari 11 pasien dengan
TST dan IGRA negatif. Hasil ini menggaris bawahi pentingnya penggunaan kombinasi dari
modalitas diagnostik yang berbeda untuk deteksi efektif dari LTBI.

Gambar 2. Kavitas Tuberkulosis


(A) Radiografi posteroanterior (B) Gambar CT reformat pada potongan koronal.
Menunjukkan opasitas bulat ireguler pada apex paru kanan (panah). Panel B
menunjukkan bahwa lesi pada parenkim apical paru merupakan kavitas tuberkular
(panah). Fokus yang lebih kecil dari konsolidasi parenkimal, yang tidak terdeteksi pada
radiografi dada dapat dilihat pada panel B, berhubungan dengan porsi paravertebral
dari lapangan paru tengah (kepala anak panah)

Gambar 3. Tuberkulosis Milier Akibat Penyebaran Hematogen


Panel A menunjukkan penebalan peribronkovaskuler interstitial dengan mikronoduler.
Gambaran CT pada bidang aksial (C) menunjukkan mikronodul multipel diseminata di
kedua paru, dan rekonstruksi gambaran CT dengan teknik proyeksi intensitas maksimal
menunjukkan dengan jelas lokasi sentrilobuler (D).

Bagaimana dengan Pola Atipikal dan Kondisi Khusus?


Sejak 1950, insiden infeksi TB pada negara industri telah berkurang. Namun, pada
tahun terakhir, hal ini kemudian berbalik akibat perubahan karakteristik populasi, seperti
arus imigran dari area dengan insiden tinggi dan difusi luas dari HIV. Sebagai
perbandingan dari masa lalu, saat ini TB umumnya menginfeksi dewasa muda dalam
kelompok tertentu seperti imunokompromais. Pasien dapat menunjukkan pola “atipikal”
atau “tidak biasa” pada radiografi dada (contohnya efusi pleural soliter, pola milier, lesi
pada dasar paru, limfadenopati soliter mediastinal atau hilar). TB pulmo yang berhubungan
dengan HIV memiliki pola radiografi tergantung pada tingkat imunosupresi.
Menghubungkan antara radiografi dada dan nilai CD4 T limfosit, prevalensi lebih
tinggi dari adanya limfadenopati mediastinal atau hilar dan rendahnya prevalensi kavitasi
yang diidentifikasi pada pasien dengan CD4 T limfosit kurang dari 200/mm 3. Dengan
perburukan imunosupresi, peningkatan insiden pola milier telah dilaporkan, penyakit
ekstrapulmonal, dan presentasi dari atipikal. Evaluasi CT dari TB pulmo pada pasien
dengan HIV seropositive dengan radiografi normal biasanya menunjukkan abnormalitas
halus dan beberapa peneliti telah mengidentifikasi beberapa pola CT spesifik seperti nodul
parenkim multiple, tuberkuloma, dan limfadenopati. Limfadenopati dapat terlihat pada
pencitraan CT yaitu area dengan sentral yang lemah dan penyengatan perifer, sebagai
contoh pada pasien dengan imunokompeten. Pasien dengan HIV sero-positif memiliki
prevalensi lebih rendah dalam mengalami penyakit parenkimal dan peningkatan prevalensi
penyakit diseminata pada CT.
Ketika anak memiliki hasil TST positif, radiografi dada normal, dan tidak ada
gejala, anak dipertimbangkan memiliki LTBI. Ketika terdapat TST positif, radiografi
patologis, dan gejala, anak dipertimbangkan mengalami TB. Pada anak yang memiliki
riwayat kontak dengan TB sebelumnya, adanya hasil TST positif dan radiografi dada
patologis dengan atau tanpa gejala menunjukkan diagnosis TB. Berdasarkan tanda tidak
langsung dari spesifisitas rendah, gejala, radiografi dada, dan TST, diagnosis TB primer
sulit untuk didapatkan. Pada konteks ini, intrepretasi yang benar dari radiografi dada
merupakan syarat yang krusial dan CT dada direkomendasikan ketika hasil radiografi dada
samar. Abnormal CT thorax terjadi pada 92,8% dari anak dengan TST positif dan
radiografi dada negatif. Garrido et al mengatakan bahwa anak berusia kurang dari 4 tahun
dengan TST positif dan radiografi dada normal, mengatakan bahwa anak berusia kurang
dari 4 tahun dengan TST positif dan radiografi dada normal, perlu disarankan untuk
melakukan CT. Studi terbaru pada pasien post transplantasi hepar menunjukkan bahwa CT
dada sebelum transplantasi lebih berguna untuk menunjukkan LTBI dibanding radiografi
dada pada negara endemis TB. Peningkatan risiko TB pulmonal berhubungan dengan
penemuan seperti gambaran“tree-in-bud” (mengindikasikan adanya penyebaran
endobronkial), konsolidasi lobuler, dan nodul luas pada CT.
Pada kelompok individu dengan probabilitas tinggi infeksi, kombinasi TST, IGRA,
radiogradi dada, dan CT efektif membedakan antara TB, LTBI, dan subjek yang tidak
terinfeksi. Kegunaan dari CT dada pada pasien imunokompromais perlu diinvestigasi lebih
lanjut.
Pernyataan
Radiografi dada perlu dilakukan setelah TST/IGRA positif. Sebab pasien yang
melakukan pengobatan dengan biologis berada pada kelompok dengan risiko tinggi
reaktivasi TB, CT dapat diindikasikan ketika terdapat TST/IGRA positif dan penemuan
samar pada radiografi dada.
Peran radiografi dada pada deteksi LTBI dapat dirangkum sebagai berikut
a. Radiografi dada untuk diagnosis TB pulmonal memiliki sensitivitas baik namun
spesifisitas yang buruk
b. Diagnosis radiografi dari penyakit aktif hanya dapat dipercaya dibuat berdasarkan
evolusi sementara dari lesi pulmonal
c. Diagnosis radiografi TB dapat sulit dipahami, dan simptomatik, kultur positif TB
pulmonal dengan radiografi dada normal tidak jarang terjadi
d. Pada kelompok pasien tertentu, termasuk kandidat untuk pengobatan anti-TNF-α,
kombinasi berdasarkan tes imunologis, radiografi dada, dan CT sangat membantu
dalam mendeteksi LTBI.

Anda mungkin juga menyukai