Disusun Oleh:
Robyana Oktavia
1102013258
Pembimbing:
dr. Atiek W, Sp.Rad
Abstrak : Pada tinjauan sistematik peneliti mengevaluasi peran dari radiografi dada
pada alur diagnosis untuk TB, fokus pada infeksi laten TB (LTBI) pada
pasien yang membutuhkan pengobatan medis dengan obat biologis. Pada
penemuan terbaru, pasien yang dijadwalkan untuk terapi imunomodulator
dengan obat biologis, merupakan kelompok reaktivasi TB dan deteksi pada
pasien LTBI sangat penting dilakukan. Radiografi dada untuk diagnosis TB
paru memiliki sensitivitas baik, namun dengan spesifitas buruk. Diagnosis
radiografi penyakit aktif hanya dapat dipercaya sebagai dasar sementara
evolusi lesi pulmonal. Tes tuberculin in vivo dan pemeriksaan interferon-γ
ex vivo didesain untuk mengidentifikasi perkembangan respon imun
adaptif, namun tidakperlu pada LTBI. Computed Tomography (CT)
diperlukan untuk membedakan penyakit aktif dari inaktif. CT
dipertimbangkan sebagai modalitas pencitraan pendukung radiografi dada
pada prosedur penyaringan untuk mendeteksi infeksi lalu dan LTBI pada
kelompok pasien spesifik yang memiliki peningkatan risiko untuk
reaktivasi TB, termasuk pada pasien yang akan menerima pengobatan
dengan agen biologis.
Kata Kunci : Radiografi dada, Infeksi Tuberkulosis Laten, Tuberkulosis, Biologi
Pendahuluan
Tuberkulosis paru (TB) menjadi infeksi umum di seluruh dunia yang memiliki
angkat mortalitas dan morbiditas tinggi, khususnya pada negara berkembang. Infeksi TB
laten (LTBI) didefinisikan sebagai infeksi persisten statis, dengan tidak adanya gejala klinis
dari penyakit aktif. Ketika manifestasi klinis ditemukan, istilah TB, tanpa kualifikasi
selanjutnya, digunakan. Berdasarkan definisi ini, LTBI dan TB dipertimbangkan sebagai
momen yang berbeda dari proses patologis yang berjalan, dan kedua kondisi biasanya
dibedakan dari adanya (TB) atau tidak adanya (LTBI) penemuan pada hasil laboratorium,
dan radiografi dada.
Kontrol infeksi TB bergantung pada identifikasi dan pencegahan individu yang
laten terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis (Mtb). Tes diagnostik dengan uji kulit
(TST) dan pemeriksaan pelepasan interferon-γ (IGRA), didesain untuk mengidentifikasi
respons imun adaptif yang melawan Mtb (namun tidak perlu pada infeksi laten). Masalah
penyaringan LTBI menjadi lebih relevan pada beberapa tahun terakhir karena pengenalan
pengobatan imunomodulator biologis pada praktek klinis, khususnya pada penyakit
reumatik. Pada kenyataannya, antagonis faktor nekrotik tumor-α (TNF-α) dapat
menyebabkan infeksi TB de novo atau reaktivasi LTBI. Namun, perbedaan pengawasan
dalam kontrol penyakit dan pencegahan telah mengeluarkan rekomendasi untuk
memastikan deteksi dan pengobatan LTBI sebelum pengobatan antagonis TNF-α.
Tinjauan sistematik ini berfokus pada peran dan nilai dari radiografi dada dalam
diagnosis TB dan deteksi penyaringan LTBI pada pasien yang menggunakan pengobatan
biologi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk memberikan jawaban berdasar bukti
pada masalah klinis yang relevan berdasarkan pencitraan diagnostik pada penyaringan
untuk LTBI.
Metode
Tinjauan sistematik dari literatur medis dilakukan dengan mencari via Pubmed dari
Januari 2013, dengan tidak ada pembatasan waktu, menggunakan istilah MeSH sebagai
kata kunci pada variabel yang berhubungan : “dada” atau “thorax” + “radiografi” atau
“radiograf” atau “x-ray”+ “tuberkulosis postprimer” atau “tuberkulosis post-primer” atau
“tuberkulosis laten” atau “reaktivasi tuberkulosis”. “Dada” atay “thorax” + “radiografi”
atau “x-ray” + “faktor nekrosis tumor-alfa” atau “antagonis faktor nekrosis tumor-alfa” atau
“biologi” digunakan sebagai kata kunci tambahan. Pencarian manual referensi dilakukan.
Artikel yang menggunakan bahasa selain Bahasa Inggris atau Italia dieksklusi. Peneliti
memasukkan hanya artikel asli yang berkaitan dengan laten dan pencitraan TB post primer
dan diagnosis, dengan perhatian khusus pada yang berkaitan dengan reaktivasi TB pada
pasien yang menggunakan obat-obatan biologi.
Hasil
Total dari 1111 artikel diambil. Sebagian besar artikel (936) artikel dieksklusi diawal
karena judul atau abstrak, karena dianggap tidak relevan. Artikel yang tersisa kemudian
dianalisis berdasarkan relevansi judul atau abstrak. Metode ini memimpin peneliti untuk
membaca 157 artikel, dan pada proses tinjauan akhir, 67 artikel dipilih. Artikel yang dipilih
seluruhnya berbahasa Inggris. Artikel sisa, sebanyak 90 dieksklusi karea tidak relevan atau
tidak fokus pada topik terkait.
Gambar 1. Alur Pemilihan Artikel
Apakah Peranan Radiografi Dada pada Penyaringan LTBI Saat Ini?
The World Health Organization (WHO) memperkirakan satu pertiga populasi dunia
telah terinfeksi oleh Mtb, dengan 8,7 juta kasus baru pada 2011. Sebuah evaluasi diagnosis
komplit untuk infeksi TB perlu memasukkan riwayat medis, pemeriksaan fisik, radiografi
dada, TST, tes serologi (IGRA), pemeriksaan mikrobiologi, dan kultur. Gold standard
diagnosis TB didapatkan dari kultur Mtb dari specimen yang diambil dari pasien, namun
karena pertumbuhan yang lambat dari basil aerobik, non-motil, dan tidak membentuk spora,
diagnosis biasanya membutuhkan waktu yang lama. Uji klinis di seluruh dunia dan data
pengawasan telah menunjukkan peningkatan insiden infeksi TB berhubungan dengan agen
anti-TNF-α. Mayoritas kasus diasumsikan sebagai hasil dari reaktivasi LTBI, sedangkan
angka kejadian infeksi baru tidak diketahui. Beberapa studi telah menyarankan penyaringan
pasien untuk deteksi LTBI sebelum terapi anti-TNF-α, namun saat ini tidak mungkin
mengidentifikasi basil hidup pada subjek yang diperkirakan LTBI. Perbedaan program
penyaringan untuk deteksi LTBI pada pasien yang akan mendapatkan pengobatan dengan
biologi, termasuk langkah awal termasuk riwayat kasus, penilaian faktor risiko TB, dan
pemeriksaan fisik. Radiografi dada digunakan sebagai tambahan dengan TST atau IGRA,
namun posisi prosedur penyaringan dapat bervariasi dalam guideline dan rekomendasi. The
American College of Rheumatology panel and the National Psoriasis Foundation
merekomendasikan penyaringan deteksi LTBI pada pasien dengan artritis rheumatoid (RA)
dan psoriasis yang akan mendapatkan pengobatan biologi, mengindikasikan TST dan IGRA
sebagai tes penyaring pertama. Radiografi dada dipertimbangkan pada kasus TST/IGRA
yang postif. Lembaga ilmiah lain merekomedasikan radiografi dada perlu digunakan
sebagai langkah awal dari proses penyaringan. Radiografi tersebut berguna ketika hasil
TST tidak dapat dipercaya, pembacaan kulit tidak dapat dilakukan, atau tingginya risiko
transmisi pada kasus yang tidak terdiagnosis, seperti yang terjadi pada keadaan institusional
(penjara, rumah sakit, fasilitas perawatan jangka panjang). Perlu diingat bahwa pasien
dengan RA memiliki respons yang lemah terhadap TST. Sebagai tambahan, diagnosis TB
sukar dipahami, dan simptomatik, kultur positif TB pulmonal dengan radiografi dada
normal jarang ditemukan.
Hasil dari metaanalisis terbaru mengindikasikan bahwa tidak ada sistem skoring
yang diajukan dari 1989 sampai 2012 berdasarkan hanya eksklusif dari penemuan
pencitraan. Pada kenyataannya, hanya integrasi multimodal dari klinis, laboratorium, dan
data pencitraan yang memperbolehkan peningkatan kinjerja diagnostik radiografi dada,
mencapai sensitivitas dan spesifisitas 96% dan 46%. Sistem skoring sederhana yang
diajukan baru-baru ini memasukkan 4 ciri yang mudah dikenali pada radiografi dada :
opasifitas lobus atas, kavitas, efusi pleura unilateral, dan limfadenopati mediastinal atau
hilar. Peneliti menemukan nilai prediksi negatif yang tinggi (91.5%, 95% CI 8,1–94,7),
tetapi nilai prediksi positif yang rendah (49,4%, 95%CI 42,9–55,9). Elsenberg dan Pollock
telah menilai frekuensi dan spectrum abnormalitas dari penyaringan rutin radiografi dada
pada pemeriksaan sebelum bekerja pada pekerja pelayanan kesehatan yang memiliki hasil
TST positif, menemukan bahwa radiografi dada memiliki hasil yang rendah dalam
mendeteksi TB aktif atau risiko reaktivasi LTBI yang meningkat, dan tidak mendukung
untuk memutuskan apakah individu perlu diprioritaskan untuk pengobatan LTBI. CT
merupakan modalitas pencitraan yang tepat untuk mempelajari TB. CT membantu
mebedakan antara penyakit aktif dan inaktif, serta lebih sensitive dibanding radiografi dada
dalam deteksi penyakit local dan diseminata, serta limfadenopati mediastinal. Woodring et
al, mengatakan bahwa radiografi dada pertama dalam diagnosis TB memberikan hasil yang
benar hanya pada 49% kasus (contohnya 34% kasus TB primer dan 59% reaktivasi TB).
CT dada dapat mendeteksi dengan efektif 80% pasien dengan TB aktif dan 89% kasus TB
inaktif. CT sangat berguna ketika terjadi ketidak seusaian antara klinis dan penemuan
radiologis, dana tau ketika pencitraan samar atau tidak dapat disimpulkan. Subjek dengan
radiografi dada normal atau samar dapat dicurigai TB aktif pada CT dada. Lew et al
menunjukkan tidak ada tes diagnostik dengan sensitivitas 100% untuk diagnosis TB,
menyarankan kombinasi pendekatan diagnosis dengan TST, radiografi dada, IGRA, dan
CT.
Penemuan sugestif dari TB aktif dideteksi oleh CT dalam 17 (32,7%) dari 52 subjek
dengan probabilitas tinggi infeksi (30 subjek memiliki IGRA positif dan 22 subjek
memiliki indurasi TST ≥20 mm). Dari 21 (1,1%) pasien dengan TB, seluruhnya TST-
positif, 12 (57,1%) IGRA-positif, dan TB aktif didiagnosis dengan CT, tidak dengan
radiografi dada pada 11 subjek.
Ketika dibandingkan pendekatan konvensional dengan TST dan radiografi dada,
kombinasi penggunaan IGRA dan CT dada dalam TST-positif lebih efektif dalam
membedakan antara TB aktif, LTBI, dan subjek yang tidak terinfeksi dalam investigasi
kontak. Selain itu, sesuai dengan Marais et al, penggunaan CT dada untuk penyaringan
kontak asimptomatik tidak aman karena dapat menimbulkan diagnosis berlebih dari “TB
aktif”, mengekspos pasien pada dosis radiasi tinggi dan merusak kepercayaan pada alat
penyaring yang telah ada. Pengenalan CT dipertimbangkan hanya pada kelompok tertentu
individu dengan risiko tinggi reaktivasi TB, seperti pasien imunokompromais. Deteksi yang
lebih efektif dari TB aktif dapat mencegah dari pengobatan LTBI yang tidak sesuai dan
perkembangan selanjutnya dari resistensi obat. Lee et al, mengevaluasi keuntungan CT
dada pada investigasi kasus luar biasa TB dalam militer Korea Selatan. Lesi indikatif dari
TB aktif dideteksi dari 18 partisipan (21%), termasuk 9 yang tidak memiliki lesi pada
radiografi dada dan hasil positif pada TST atau IGRA. Peneliti menyimpulkan bahwa CT
dapat membantu untuk membedakan TB aktif dari LTBI. Namun, alat diagnostik perlu
dipertimbangkan secara hati-hati, mengingat efek samping dan biaya. Peneliti lain
mengomentari artikel Lee et al, bahwa CT dada memberikan dosis radiasi lebih tinggi
dibanding radiografi dada, dan biaya yang lebih tinggi. Peneliti menggaris bawahi
penggunaan CT sebagai tes penyaringan dalam investigasi kasus luar biasa TB tidak
dibenarkan, namun hanya dapat digunakan pada pasien dengan gejala, dan pada kelompok
risiko tinggi. Kepentingan dalam mengidentifikasi LTBI menjadi lebih besar ketika
antagonis TNF-α diperkenalkan pada praktik klinis harian untuk pengobatan RA dan
kelainan inflamasi reumatologi lainnya. Tannus Silva et al, mengevaluasi keuntungan CT
sebagai alat penyaringan deteksi LTBI pada pasien dengan RA. CT menunjukkan
perubahan yang cocok dengan LTBI pada 52,9% pasien termasuk 8 dari 11 pasien dengan
TST dan IGRA negatif. Hasil ini menggaris bawahi pentingnya penggunaan kombinasi dari
modalitas diagnostik yang berbeda untuk deteksi efektif dari LTBI.