Anda di halaman 1dari 28

JOURNAL READING

Hiperbilirubinemia pada Neonatus: Jenis, Penyebab,


Pemeriksaan Klinis, Tindakan Pencegahan dan Perawatan:
Sebuah artikel uji literature

Pembimbing :
Dr. Raden Setiyadi, Sp.A

Disusun oleh :
Abi Muji Prawidiyanti
030.13.001

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH
PERIODE 01 DESEMBER 2018 – 16 FEBRUARI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Journal reading dengan judul


“Hiperbilirubinemia pada Neonatus: Jenis, Penyebab, Pemeriksaan Klinis,
Tindakan Pencegahan dan Perawatan: Sebuah artikel uji literatur”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, dr. Raden Setiyadi, Sp.A
sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu KesehatanAnak
di RSUD Kardinah periode 01 Desember 2018 – 16 Februari 2019

Tegal, Januari 2019

(dr. Raden Setiyadi, Sp.A)

2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala
nikmat sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas journal reading yang berjudul
“Hiperbilirubinemia pada Neonatus: Jenis, Penyebab, Pemeriksaan Klinis,
Tindakan Pencegahan dan Perawatan: Sebuah artikel uji literatur”. Adapun
penulisan jurnal ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas
kepaniteraan Ilmu Penyakit Kesehatan anak di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Raden
Setiyadi, Sp.A, selaku pembimbing yang telah membantu dan memberikan
bimbingan dalam penyusunan journal reading ini. Ucapan terima kasih juga penulis
ucapkan kepada semua pihak yang turut serta membantu penyusunan journal reading
ini yang tidak mungkin diselesaikan tepat waktu jika tidak mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak.
Demikian kata pengantar ini penulis buat. Untuk segala kekurangan dalam
penulisan ini, penulis memohon maaf dan juga mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat konstruktif bagi perbaikan penulisan ini.

Tegal, Januari 2019

Penulis

3
Hiperbilirubinemia pada Neonatus: Jenis, Penyebab, Pemeriksaan Klinis,
Tindakan Pencegahan dan Perawatan: Sebuah artikel uji literature

Sana ULLAH1, Khaista RAHMAN2, Mehdi HEDAYATI3


1. Dept. of Animal Sciences, Quaid-i-Azam University, Islamabad, Pakistan
2. Dept. of Biotechnology, Quaid-i-Azam University, Islamabad, Pakistan
3. Cellular and Molecular Research Center, Research Institute for Endocrine
Sciences, Shahid Beheshti University of Medical Sciences, Iran

Abstrak
Latar Belakang : Hiperbilurubinemia, atau jaundice, adalah penyakit yang
mengancam jiwa pada bayi baru lahir. Hal ini merupakan gangguan multifaktorial
dengan banyak gejala. Secara Umum, jaundice fisiologis adalah tipe yang paling
umum namun di beberapa daerah jaundice patologis juga sering dijumpai. Artikel uji
literatur ini berfokus pada pendahuluan singkat untuk jaundice, jenis dan
penyebabnya, pengukuran kadar bilirubin, pendekatan klinis terhadap
hiperbilirubinemia, tindakan pencegahan yang berbeda untuk orang tua dari bayi yang
mengalami kondisi hiperbilirubinemia dan berbagai tindakan terapi penyembuhan
untuk pengobatannya.

Metode: Sumber data utama termasuk Scopus, Pubmed, MEDLINE, Google scholar,
dan Science Direct dicari untuk mendapatkan makalah asli terkait dengan
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Istilah utama yang digunakan untuk
pencarian literatur adalah “bayi baru lahir ’'hiperbilirubinemia”, “bayi baru lahir
'jaundice”, “Jaundice Fisiologis”, dan “Jaundice Patologis”. Batas waktu artikel yang
diterbitkan adalah dari tahun 1952 hingga 2015.

4
Hasil: Jaundice neonatal akibat pemberian ASI juga terkadang diamati. Jaundice
hemolitik terjadi karena ketidakcocokan kelompok darah dengan faktor ABO dan Rh,
ketika kelompok darah janin dan ibu tidak kompatibel dan darah janin melewati
sawar tali pusat sebelum lahir menyebabkan hemolisis darah janin karena respons
imun yang berat.

Kesimpulan: Jaundice mudah didiagnosis namun membutuhkan perawatan yang


cepat dan tepat. Jika tidak ditangani dengan benar, maka jaundice ini akan
menyebabkan banyak komplikasi. Saat ini pilihan pengobatan untuk jaundice melipui
fotoerapi, kemoterapi, dan vaksinasi.

Kata kunci: Hiperbilirubinemia, Immunoglobulin, Bilirubinometer, Pertukaran


transfuse

5
PENDAHULUAN
(1)
Salah satu kondisi klinis yang paling umum adalah hiperbilirubinemia .
Hiperbilirubinemia neonatal adalah masalah klinis yang umum terjadi selama periode
neonatal, terutama pada minggu pertama kehidupan (2, 3). Hampir 8% hingga 11% dari
neonatus mengalami hiperbilirubinemia. Ketika total serum bilirubin (TSB) naik di
atas persentil ke-95 untuk usia (zona berisiko tinggi) selama minggu pertama
kehidupan, hal ini akan dianggap sebagai hiperbilirubinemia (4, 5).
Sekitar 60% - 80% bayi yang sehat diperkirakan mengalami jaundice neonatal
idiopatik(6). Neonatal jaundice adalah perubahan warna kulit dan warna sklera
menjadi kekuningan pada bayi baru lahir disebabkan oleh bilirubin(7). Oleh karena itu,
dapat menimbulkan kekhawatiran pada dokter dan kecemasan pada orang tua.
Berdasarkan National Neonatal-Perinatal Database (NNPD), insiden
hiperbilirubinemia neonatal pada in-house live-birth adalah 3,3%, sedangkan angka
admisi rumah sakit oleh karena morbiditas akibat hiperbilirubinemia adalah 22,1% (8).
Pada neonatus, ikterus dermal pertama kali terlihat di wajah dan ketika kadar
bilirubin meningkat, ikerus berlanjut ke tubuh dan kemudian ke ekstremitas. Kondisi
ini umum terjadi pada 50% -60% bayi baru lahir pada minggu pertama kehidupan (8).
Bilirubin bukan hanya molekul mengganggu yang memiliki konsekuensi fatal,
tetapi bilirubin seperti asam urat merupakan antioksidan penting yang beredar dalam
(9-11)
sistem biologis neonatus . Namun, kadar bilirubin yang tinggi dapat menjadi
toksik bagi perkembangan sistem saraf pusat dan dapat menyebabkan gangguan
perilaku dan neurologis (Neurotoksisitas atau Kernikterus) bahkan pada bayi aterm
(12-14)
yang baru lahir . Lima hingga sepuluh persen bayi baru lahir yang mengalami
jaundice memerlukan penatalaksanaan yang berkaitan dengan keadaan
(15)
hiperbilirubinemia . Neonatal jaundice mungkin dapat terjadi karena beberapa hal
seperti berat badan lahir, usia kehamilan, ketuban pecah dini, penyakit infeksi
maternal atau penyakit lain selama kehamilan, memiliki asal sumber yang berbeda,
sehingga memiliki jenis yang berbeda (16).
Penyebab utama peningkatan bilirubin sebagian besar adalah: ras, polimorfisme
genetik; cacat bawaan dan didapat, misalnya spherocytosis, sindrom Gilbert,

6
Penelitian genetic molekular Najjar 1 dan 2 telah menunjukkan korelasi antara
hiperbilirubinemia neonatus dan variasi genetik berbeda yang dapat berubah dalam
aktivitas enzim. Misalnya variasi dalam gen uridin 5′-difosfat glucuronosyltransferase
1A1 (UGT1A1) dapat menyebabkan penurunan aktivitas enzim pada neonatus dan
dewasa yang mengarah pada akumulasi bilirubin yang tidak terkonjugasi. Selain itu,
variasi dalam gen transporter 2 anion organik (OATP2) dapat menyebabkan
(17, 18)
hiperbilirubinemia berat pada neonatus . Variasi dari 388 G> A (Asp130Asn,
rs2306283), 521 T> C (Val174Ala, rs4149056), 463 C> A (Pro155Thr, rs11045819),
yang merupakan gen Solute Carrier Organic Anion Transpoter, anggota famili 1B1
(SLCO1B1), gen ini berfungsi untuk mengkonversi Solute Carrier Organic Anion
Transpoter 1B1, sebuah transporter bilirubin yang diduga, dapat membuang zat ke
bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia dengan cara pembatasan pengambilan
(19-21)
bilirubin hepatik . Selanjutnya, dalam penelitian asosiasi genome luas, dua
polimorfisme dari gen SLCO1B3 (rs17680137 C>G dan rs2117032 C>T) diobservasi
memiliki asosiasi yang kuat dengan kadar bilirubin serum dan berkontribusi terhadap
hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi ringan idiopatik pada orang dewasa yang sehat
(22, 23)
.

Metode Pencarian
Database yang digunakan pada penelitian ini adalah: Scopus, Pubmed,
MEDLINE, Google scholar dan Science Direct. Istilah utama yang digunakan untuk
pencarian literatur adalah "newborns" hyperbilirubinemia”, "newborns’ jaundice”,
"Physiological Jaundice" dan "Patholigical Jaundice". Kerangka waktu termasuk
artikel yang dari tahun 1952 hingga 2015.

Jenis-jenis Hiperbilirubinemia
Beberapa jenis Bilirubinemia telah dilaporkan pada neonatus termasuk jaundice
fisiologis, dan jaundice patologis, jaundice oleh karena menyusui atau ASI dan
jaundice hemolitik termasuk tiga subtipe karena inkompabilitas faktor Rh,

7
inkompabilitas kelompok darah ABO dan Jaundice yang berhubungan dengan
defisiensi Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD)(24).

Jaundice fisiologis
Jaundice fisiologis merupakan jenis hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir yang
paling dominan, namun tidak memiliki konsekuensi serius(25). Kelainan
perkembangan saraf termasuk athetosis, kehilangan pendengaran, dan dalam kasus
yang jarang defisit kecerdasan, mungkin berhubungan dengan kadar toksik bilirubin
(26)
yang tinggi . Jaundice yang disebabkan oleh imaturitas fisiologis biasanya muncul
antara 24-72 jam usia kehidupan dan antara hari ke-4 dan hari ke-5 dapat dianggap
sebagai puncak pada neonatus aterm dan pada prematur di hari ke-7, Jaundice
fisiologis menghilang pada 10-14 hari kehidupan(27). Bilirubin tak terkonjugasi adalah
bentuk paling dominan dan biasanya kadar bilirubin serum kurang dari 15 mg /dl (28).
Berdasarkan rekomendasi terbaru dari AAP, kadar bilirubin hingga 17-18 mg / dl
dapat dianggap sebagai normal pada hal bayi baru lahir term yang sehat (15).

Jaundice patologis
Kadar bilirubin dengan deviasi dari kisaran normal dan membutuhkan intervensi
(25)
akan digambarkan sebagai jaundice patologis . Gambaran klinis jaundice dalam
waktu 24 jam karena peningkatan serum bilirubin melebihi 5 mg / dl / hari, kadar
puncak lebih tinggi dari rentang nilai normal yang diharapkan, terdapatnya jaundice
klinis lebih dari 2 minggu dan bilirubin terkonjugasi (urin gelap yang mewarnai
pakaian) akan dikategorikan ke jenis jaundice ini.

Breast Feeding dan Breast Milk Jaundice


Bayi dengan ASI eksklusif memiliki pola fisiologis yang berbeda untuk jaundice
dibandingkan dengan bayi yang diberi makanan pendamping selain ASI (artificially
(24)
feed) . Jaundice pada bayi menyusui biasanya muncul antara usia 24-72 jam
kehidupan, memuncak pada 5-15 hari kehidupan dan menghilang pada minggu ketiga
(29)
kehidupan. Kadar bilirubin yang lebih tinggi telah dilaporkan pada bayi ini . Pada

8
kasus bayi baru lahir yang menyusui, jaundice ringan dapat timbul 10-14 hari setelah
(30)
kelahiran atau dapat terjadi kembali selama periode menyusui . Jumlah bilirubin
yang sangat besar jarang terakumulasi dalam darah dan menyebabkan lesi otak, suatu
(31)
situasi yang dikenal sebagai nuclear jaundice . Kondisi ini dapat diikuti oleh
gangguan pendengaran, retardasi mental, dan gangguan perilaku. Jaundice klinis
ringan telah diamati pada sepertiga dari semua bayi yang menyusui pada minggu
ketiga kehidupan, yang dapat bertahan selama 2 hingga 3 bulan setelah lahir pada
(32)
beberapa bayi . Berkurangnya frekuensi menyusui dikaitkan dengan memberatnya
kondisi jaundice fisiologis. Salah satu prosedur signifikan untuk mengelola jaundice
pada bayi term yang sehat adalah dorongan ibu untuk menyusui bayinya setidaknya
10-12 kali per hari (33).
(34)
Hiperbilirubinemia juga berhubungan dengan ASI ibu pada neonatus . Sekitar
2% -4% bayi yang menyusui secara eksklusif memiliki jaundice lebih dari 10 mg /
deal pada minggu ketiga kehidupan. Bayi-bayi ini pada minggu ketiga kehidupan
dengan kadar serum bilirubin yang lebih tinggi dari 10mg / dl harus dipertimbangkan
(35)
sebagai prolonged jaundice . Diagnosis breast milk jaundice harus diinvestigasi
jika serum bilirubin sebagian besar terdiri dari bilirubin tidak terkonjugasi, penyebab
lain dari prolonged jaundice telah dieliminasi dan bayi dalam kondisi sehat, kuat dan
(36)
menyusui dengan baik dan berat badan bertambah secara adekuat . Ibu harus
disarankan untuk terus menyusui pada interval yang lebih sering dan kadar bilirubin
biasanya menurun secara bertahap. Diskontinuitas menyusui tidak dianjurkan kecuali
kadarnya melebihi 20 mg / dl (37).

Jaundice Hemolitik
Penyebab paling umum dari jaundice hemolitik termasuk (a) penyakit hemolitik
Rh, (b) Inkompabilitas ABO dan (c) Defisiensi Glucose-6-phosphate dehydrogenase
(G-6-PD) dan inkompatibilitas kelompok darah minor.

(A) Penyakit Hemoltik Faktor Rh

9
Penyakit hemolitik Rhesus pada bayi baru lahir/Rhesus Hemolytic Disease of the
Newborns (RHDN) merupakan hasil dari alloimmunisasi sel darah merah maternal
(38)
. Antibodi maternal diproduksi terhadap sel-sel darah merah janin, sehingga sel-sel
darah merah janin positif untuk antigen tertentu, biasanya terjadi ketika janin yang
(21)
memiliki Rh-positif lahir dari ibu dengan Rh-negatif (dan ayah Rh-positif),
kemudian antibodi imunoglobulin maternal (IgG) dapat melintasi plasenta ke dalam
sirkulasi janin dan menyebabkan berbagai gejala pada janin, mulai dari anemia
hemolitik ringan hingga berat dan fetal hydrops (39, 40). Untuk memfasilitasi perawatan
dini pada neonatus yang diduga memiliki faktor Rh, golongan darah dan Rh typing,
DCT, PCV (Packed Cell Volume) dan pengukuran serum bilirubin pada darah tali
pusat harus dilakukan. Hitung retikulosit harus dikirim sebelum pertukaran transfusi
pertama/Exchange Tramsfusion (ET). Fototerapi yang aktif diperlukan segera setelah
kelahiran dan harus dilanjutkan sampai kadar bilirubin 5 mg / dl dibawah kadar yang
diperkirakan untuk exchange blood transfusion (41).
Pada bayi preterm, nilai intervensi yang lebih rendah untuk penatalaksanaan
penyakit hemolitik Rh telah didemonstrasikan. Fototerapi dan exchange blood
transfusion direkomendasikan ketika kadarnya lebih besar dari 0,5% dan 1% berat
(29)
lahir (kg) secara berturut-turut . Delapan imunoglobulin intravena/Intravenous
Immunoglobulin (IVIG) dapat digunakan dalam dosis 500 mg / kg setiap 12 jam x 2
dosis setelah ET pertama. Setelah ET pertama, Phenobarbitone 5 mg / kg / hari x 5
dapat direkomendasikan (24).

(B) Inkompabilias ABO


Insiden inkompabilitas golongan darah ABO dari ibu dan janin, adalah ketika ibu
memiliki golongan darah O dan bayi memiliki golongan darah A atau B, terjadi pada
15-20% dari semua kehamilan (42). Bayi dengan ibu golongan darah-O harus
diperiksa dengan seksama dan kehamilan harus diterminasi setelah 72 jam. Skrining
darah tali pusat rutin tidak dianjurkan untuk bayi baru lahir dengan ibu golongan
darah O (43). Jaundice karena inkompatibilitas ABO biasanya muncul 24 jam setelah
kelahiran. Terdapatnya jaundice bermakna atau klinis jaundice dalam 24 jam,

10
(44)
pemeriksaan untuk jaundice patologis harus dilakukan . Fototerapi intensif
disarankan pada Serum Bilirubin (SB) 12-17 mg / dl tergantung pada usia postnatal
bayi. Exchange blood tranfusion diindikasikan di TSB. Berat saat lahir sebagai
kriteria untuk fototerapi dan ET dapat digunakan untuk bayi baru lahir prematur (45).

11
(c) Jaundice yang terkait dengan Defisiensi G6PD
Defisiensi, spherocytosis herediter, dan inkompatibilitas golongan minor harus
ditatalaksana serupa dengan inkompatibilitas ABO. G6PD, enzimopati yang paling
(46)
umum, merupakan defisiensi enzim pada sel darah merah . Hal ini merupakan
(47)
penyakit paling vital dari jalur heksosa monofosfat . Pemeriksaan untuk defisiensi
G6PD harus dipertimbangkan pada bayi dengan jaundice berat pada keluarga dengan
riwayat penyakit jaundice yang bermakna atau dalam asal geografis yang terkait
(48,49)
dengan defisiensi G-6-PD . Berkurangnya konjugasi bilirubin dihasilkan dari
variasi gen UGT1A1 dan OATP2 yang memainkan peran penting dalam
perkembangan hiperbilirubinemia pada neonatus dengan defisiensi G6PD (17).

Pemeriksaan Klinis Jaundice


(33)
Awalnya dijelaskan oleh Kramer , pewarnaan bilirubin pada kulit dapat
digunakan sebagai panduan klinis untuk menentukan derajat keparahan jaundice.
(50)
Pewarnaan dermal pada neonatus berkembang sesuai arah cephalo-caudal .
Neonatus harus diperiksa dibawah pencahayaan yang baik. Dokter harus memucatkan
kulit neonatus dengan tekanan digital dan warna dasar kulit dan jaringan subkutan
harus diperhatikan. Neonatus yang terdeteksi dengan kulit kuning di atas paha harus
melakukan konfirmasi laboratorium darurat untuk kadar bilirubin. Penilaian klinis
tidak reliabel jika neonatus telah menerima fototerapi dan memiliki kulit gelap (51).

Pengukuran Kadar Bilirubin


Kadar bilirubin dapat diperiksa melalui metode biokimia, Bilimeter atau
bilirubinometer transkutan (52-56).

Biokimia
Metode baku emas untuk estimasi bilirubin adalah penilaian bilirubin total dan
terkonjugasi berdasarkan reaksi van den Bergh (57, 58).

12
Bilimeter
Spektrofotometri adalah basis dari Bilimeter dan spektrofotometri menilai total
bilirubin dalam serum. Karena bilirubin yang tidak terkonjugasi merupakan birubin
yang dominan, metode ini merupakan metode yang berguna untuk neonatus.

Bilirubinometer transkutan
Metode ini noninvasif dan didasarkan pada prinsip dari multi wavelength spectral
(59)
reflectance pada pewarnaan bilirubin di kulit . Akurasi instrumen dapat
dipengaruhi oleh variasi pigmentasi kulit dan ketebalannya (60).

Pendekatan Klinis terhadap Jaundice


Langkah awal dalam evaluasi neonatus untuk jaundice adalah membedakan antara
ikterus fisiologis dan patologis. Algoritma yang dapat digunakan seperti diadaptasi
oleh AAP (2004b) (61) adalah sebagai berikut.

Ketergantungan pada Periode Neonatus atau Preterm


Nilai intervensi preterm berbeda dan tergantung pada tingkat prematuritas dan berat
lahir (62-64).

Bukti Hemolisis
Onset jaundice dalam 24 jam, terdapatnya kulit pucat dan hidrops, terdapatnya
hepatosplenomegali, terdapatnya hemolisis pada apusan darah tepi, peningkatan
jumlah retikulosit (>8%), peningkatan cepat bilirubin (>5 mg/dl dalam 24 jam) atau
>0,5 mg/dl/jam) atau riwayat jaundice pada keluarga yang bermakna harus membuat
kecurigaan jaundice hemolitik (65).

Instruksi dan Tindakan Pencegahan untuk Orang Tua selama Jaundice Fisiologis
Perjalanan ilmiah jaundice harus dijelaskan dan ditunjukkan kepada orang tua. Ibu
harus disarankan untuk menyusui bayinya sesering mungkin dan secara eksklusif,
setidaknya delapan hingga dua belas kali per hari selama beberapa hari awal, tanpa

13
(66-68)
makanan berat atau air glukosa apapun . Ibu harus diberitahu untuk membawa
bayi ke rumah sakit jika warna pada kaki terlihat kuning seperti wajah.
Setiap neonatus yang keluar rumah sakit sebelum 48 jam kehidupan harus dievaluasi
lagi dalam 48 jam berikutnya untuk kecukupan menyusui dan perkembangan jaundice
(3)
.

Manajemen Ikterus patologis


Penilaian kadar serum bilirubin terkonfirmasi dianjurkan untuk bayi ketika bayi
tercatat memiliki warna kulit kuning di bawah paha. American Academy of Pediatrics
(AAP) telah menetapkan kriteria penatalaksanaan bayi yang memiliki kadar bilirubin
dalam kisaran patologis. Jaundice yang muncul dalam 24 jam harus dikelola sebagai
jaundice hemolitik. Investigasi lanjutan untuk semua bayi dengan kadar bilirubin
dalam kisaran fototerapi termasuk: golongan darah bayi, Rh typing dan DCT (jika
faktor Rh tidak ada pada ibu atau ibu memiliki golongan darah O); Packed Cell
Volume (PCV); apusan darah tepi/Peripheral Blood Smear (PBS) untuk pemeriksaan
hemolisis dan morfologi sel darah merah; hitung retikulosit dan estimasi G6PD (jika
(61)
diindikasikan) . Setiap penyebab hemolitik penyakit jaundice dilakukan oleh
penilaian ini. Ketidakberhasilan penurunan kadar bilirubin menjadi 1-2 mg/dL setelah
4-6 jam dan/atau untuk menjaga bilirubin di bawah kadar exchange transfusion telah
didefinisikan sebagai kegagalan fototerapi. Namun, terlepas dari kadar bilirubin,
Exchange Transfusion (ET) dapat dilakukan pada kondisi terdapanya kecurigaan
tentang ensefalopati bilirubin (69).

Pilihan Penatalaksanaan untuk Jaundice


Pilihan pengobatan untuk jaundice termasuk fototerapi yang lebih lanjut dibagi
menjadi konvensional, intensif dan exchange transfusion, dan pengobatan
farmakologi dibagi menjadi fenobarbitone, Intravenous Immunoglobulin (IVIG), me-
talloporphyrins dan follow up remedies (70).

14
Fototerapi
Hiperbilirubinemia dapat diobati dengan mudah tanpa atau dengan efek samping
(71, 72)
minimal dengan fototerapi . Efikasi fototerapi tergantung pada area permukaan
yang terpapar fototerapi: Fototerapi permukaan ganda mungkin lebih efektif
(73)
dibandingkan fototerapi permukaan tunggal . Spektrum sumber cahaya: Tabung
biru khusus dengan tanda F20T12/BB harus digunakan daripada cahaya F20T12/B
dan irradiansi atau energi output dapat ditingkatkan dalam unit fototerapi dengan
(74,75)
memendekkan jarak neonatus antara 15-20 cm . Fototerapi berkelanjutan lebih
baik dibandingkan fototerapi intermiten. Fototerapi tidak boleh diinterupsi kecuali
selama menyusui atau mengganti popok (40, 76-80).

(a) Fototerapi Konvensional


Fototerapi konvensional atau unit fototerapi fiber-optik digunakan apabila jaundice
bukan merupakan jenis non-hemolitik atau progresinya lambat.

(b) Fototerapi Intensif


Dalam keadaan termasuk jaundice hemolitik, peningkatan bilirubin yang cepat, atau
tidak efektifnya unit konvensional, maka diperlukan fototerapi intensif.
Menempatkan bayi pada bili-blanket dan menggunakan tambahan unit fototerapi
overhead yang mengandung cahaya biru dan kemudian memendekkan unit fototerapi
sepanjang 15-20 cm adalah dua solusi yang bermakna (81)

(c) Exchange Transfusion


Melalui exchange transfusion bilirubin dan antibodi hemolitik dihilangkan (82).
(a) RH Isoimmunization: Darah yang digunakan untuk exchange transfusion harus
merupakan Negative Rh Isoimmunization, negatif untuk faktor Rh. O (Rh) negative
packed cells tersuspensi dalam plasma AB akan menjadi pilihan terbaik. O (Rh)
negative whole blood atau golongan darah bayi yang cross-matched (Rh negative)
juga dapat digunakan dalam keadaan darurat (83, 84).

15
(b) ABO Inkompatibilitas: Hanya golongan darah-O yang harus digunakan untuk
exchange transfusion pada neonatus dengan inkompatibilitas ABO. Pilihan terbaik
adalah golongan O (kompatibel Rh) yang tersuspensi dalam golongan darah O/AB
plasma whole blood (Rh kompatibel dengan bayi).
(c) Situasi lain: Pada kasus Cross-matched dengan golongan darah bayi, volume
darah yang digunakan atau pertukaran volume ganda harus diingat.
(i) Volume Darah yang Digunakan: Partial exchange dilakukan saat lahir pada
penyakit Rh hemolytic: 50-ml/kg packed cells.
(ii) Double Volume Exchange: 2 x (80-100 ml/kg) x berat lahir (kg)

Penatalaksanaan Farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis dari neonatal jaundice selanjutnya dapat dikategorikan
ke dalam subbab yang berbeda seperti fenobarbiton, intravenous immunoglobulin dan
Metalloporphyrins dll. (35, 85-87).

(a) Phenobarbitone
Pemrosesan bilirubin termasuk pengambilan hati, konjugasi dan ekskresinya
diperbaiki oleh agen ini sehingga membantu dalam menurunkan tingkat bilirubin.
Namun efek phenobarbitone tidak cepat dan membutuhkan waktu untuk
menunjukkan. Ketika digunakan selama 3-5 hari dalam dosis 5 mg / kg setelah
profilaksis lahir, telah terbukti efektif pada bayi dengan penyakit hemolitik, darah
ekstravasasi dan pra-aterm tanpa efek samping yang signifikan. Ada literatur besar
yang mendokumentasikan kemanjuran dan mekanisme aksi dan komplikasi
perawatan untuk Phenobarbital (88-94).

(b) Imunoglobulin Intravena (IVIG)


Dosis tinggi IVIG (0,5-1 gr/kg) telah terbukti efektif dalam mengurangi kebutuhan
pertukaran transfusi dan fototerapi pada bayi dengan penyakit Rh hemolitik (95-102).

(c) Metalloporphyrins

16
Senyawa ini masih bersifat percobaan tetapi menunjukkan hasil yang menjanjikan
dalam berbagai pengaturan hemolitik dan non-hemolitik tanpa efek samping yang
signifikan (88, 103-107).
(d) Follow-up
Bayi yang memiliki kira-kira 20 mg / dl serum bilirubin dan yang membutuhkan
exchange transfusion harus di follow-up di klinik risiko tinggi untuk luara
(61, 108)
nneurodevelopmental . Penilaian pendengaran (Brainstem Evoked Response
Audiometry (BAER)) harus dilakukan pada usia 3 bulan yang dikoreksi (109).

Kemajuan terbaru
Nomogram bilirubin spesifik-jam telah dibangun berdasarkan penilaian bilirubin rutin
(81,110,111)
pra-discharge . Grafik ini berguna dalam memprediksi hiperbilirubinemia
berdasarkan kadar bilirubin yang dilakukan setelah usia 24 jam. Namun grafik yang
disebutkan disusun berdasarkan bayi yang lahir di negara Barat dan kemungkinan
perlu dinilai dan divalidasi pada bayi Asia atau berdasarkan daerah regional sebelum
dapat digunakan untuk perawatan rutin bayi baru lahir.

Kesimpulan
Hiperbilirubinemia lebih berat pada bayi baru lahir. Oleh karena itu tindakan
pencegahan harus diadopsi oleh kedua orang tua, dan dokter untuk mendiagnosis dan
mengobati penyakit dengan tepat. Pemerintah dan organisasi kesehatan masyarakat
harus mengatur seminar, lokakarya, dan pelatihan untuk para ibu tentang jaundice
neonatal. Ilmuwan medis harus mencari perawatan baru dan tindakan pencegahan
yang tidak memiliki efek samping dan mampu memulihkan bayi lebih cepat.
Pasangan harus memeriksa golongan darah ABO mereka dan juga faktor Rh sebelum
menikah. Perkawinan yang consanguineous harus dihindari.

17
REFERENSI
1. Olusanya BO, Osibanjo FB, Slusher TM (2015). Risk factors for severe neonatal
hyperbiliru-binemia in low and middle-income countries: a systematic review and
meta-analysis. PLoS One, 10(2): e0117229.
2. Bhutani VK, Zipursky A, Blencowe H, Khanna R, Sgro M, Ebbesen F (2013).
Neonatal hyperbilirubinemia and Rhesus disease of the newborn: incidence and
impairment estimates for 2010 at regional and global levels. Pediatr Res, 1:86-100.
3. American Academy of Pediatrics Practice Param-eter (1994). Management of
hyperbiliru-binemia in the healthy term newborn. Pedia-trics, 94: 558-65.
4. Burke BL, Robbins JM, Bird TM, Hobbs CA, Nesmith C, Tilford JM (2009).
Trends in hos-pitalizations for neonatal jaundice and kernic-terus in the United
States, 1988–2005. Pediat-rics, 123: 524–32.
5. Young Infants Clinical Signs Study Group (2008). Clinical signs that predict
severe illness in children under age 2 months: a multicentre study. Lancet,
371(9607): 135-42.
6. Chou RH, Palmer RH, Ezhuthachan S, et al. (2003). Management of
hyperbilirubinemia in newborns: measuring performance by using a benchmarking
model. Pediatrics, 112:1264–73.
7. Ogunfowora OB, Daniel OJ (2006). Neonatal jaundice and its management:
Knowledge, at-titude and practice of community health workers in Nigeria. BMC
Public Health, 6:19.
8. Schneider AP (1986). Breast milk jaundice in the newborn: A real entity. JAMA,
255(23): 3270- 74.
9. Nag N, Halder S, Chaudhuri R, Adhikary S, Ma-zumder S (2009). Role of bilirubin
as antioxi-
dant in neonatal jaundice and effect of etha-nolic extract of sweet lime peel on
experimen-tally induced jaundice in rat. Indian J Biochem Biophys, 46:73–78.

18
10. Yousefi M, Rahimi H, Barikbin B, Toossi P, Lot-fi S, Hedayati M, et al (2011).
Uric acid: a new antioxidant in patients with pemphigus vul-garis. IJD, 56(3):
278–281.
11. Barikbin B, Yousefi M, Rahimi H, Hedayati M, Razavi SM, Lotfi S (2011).
Antioxidant status in patients with lichen planus. Clin Exp Der-matol, 36(8): 851–
54.
12. Paludetto R, Mansi G, Raimondi F, Romano A, Crivaro V, Bussi M, D’Ambrosio
G (2002). Moderate hyperbilirubinemia induces a transi-ent alteration of neonatal
behavior. Pediatrics, 110: e50.
13. Boo NY, Ishak S (2007). Prediction of severe hy-perbilirubinaemia using the
Bilicheck transcu-taneous bilirubinometer. J Paediatr Child Health, 43: 297-302.
14. Nass RD, Frank Y (2010). Cognitive and Behavioral Abnormalities of Pediatric
Diseases. 1st ed. Oxford University Press.
15. Gartner LM, Lee KS (1999). Jaundice in the breast-fed infant. Clin Perinatol,
26:431-45.
16. Mesic I, Milas V, Medimurec M, Rimar Z (2014). Unconjugated pathological
jaundice in new-borns. Coll Antropol, 38(1): 173-8.
17. D'Silva S, Colah RB, Ghosh K, Mukherjee MB (2014). Combined effects of the
UGT1A1 and OATP2 gene polymorphisms as major risk factor for unconjugated
hyperbilirubine-mia in Indian neonates. Gene, 547(1):18-22.
18. Huang MJ, Kua KE, Teng HC, Tang KS, Weng HW, Huang CS (2004). Risk
factors for se-vere hyperbilirubinemia in neonates. Pediatr Res, 56(5):682-9.
19. Watchko JF, Lin Z (2010). Exploring the genetic architecture of neonatal
hyperbilirubinemia. Semin Fetal Neonatal Med, 15:169–175.
20. Xu LY, He YJ, Zhang W, Deng S, Li Q, Zhang WX, et al. (2007). Organic anion
transporting polypeptide-1B1 haplotypes in Chinese pa-tients. Acta Pharmacol
Sin, 28:1693–97.
21. Tirona RG, Leake BF, Merino G, and Kim RB (2001). Polymorphisms in OATP-
C: identifi-cation of multiple allelic variants associated with altered transport

19
activity among Euro-pean- and African-Americans. J Biol Chem, 276:35669–
35675.
22. Sanna S, Busonero F, Maschio A, McArdle PF, Usala G, Dei M, et al (2009).
Common variants in the SLCO1B3 locus are associated with bilirubin levels and
unconjugated hyper-bilirubinemia. Hum Mol Genet, 18:2711–8.
23. Alencastro de Azevedo L, Reverbel da Silveira T, Carvalho CG, Martins de
Castro S, Giugliani R, Matte U (2012). UGT1A1, SLCO1B1, and SLCO1B3
polymorphisms vs. neonatal hyperbilirubinemia: is there an association? Pediatr
Res, 72(2):169-73.
24. Mishra S, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK (2008). Jaundice in the newborns.
Indian J Pe-diatr, 75(2): 157-163.
25. Boyd S (2004). Treatment of physiological and pathological neonatal jaundice.
Nurs Times, 100(13): 40-43.
26. Clarkson JE, Cowan JO, Herbison GP (1984). Jaundice in full term healthy
neonates: A pop-ulation study. Aust Paediatr J, 20:303-8.
27. Dennery PA, Seidman DS, Stevenson DK (2001). Neonatal hyperbilirubinemia.
NEJM, 344(8): 581-290.
28. Maisels MJ, Gifford K (1983). Neonatal jaundice in full-term infants. Role of
breastfeeding and other causes. AJDC, 137:561–2.
29. Alcock GS, Liley H (2002). Immunoglobulin in-fusion for isoimmune haemolytic
jaundice in neonates. CDSR, 3: CD003313.
30. Atkinson LR, Escobar GJ, Takyama, JI, New-man TB (2003). Phototherapy use
in jaun-diced newborns in a large managed care or-ganization: do clinicians
adhere to the guide-line? Pediatrics, 111: e555-61.
31. Hansen TW (2003). Recent advances in the pharmacotherapy for
hyperbilirubinemia in the neonate. Expert Opin Pharmacother, 4(11): 1939-
1948.
32. Winfield CR, MacFaul R (1978). Clinical study of prolonged jaundice in breast
and bottle fed babies. Arch Dis Child, 53: 506-7.

20
33. Kramer LI (1969). Advancement of dermal ic-terus in jaundiced newborn. AJDC,
118: 454- 8.
34. Shapiro-Mendoza C (2006). Risk factors for neo-natal morbidity and mortality
among ―healthy‖ late preterm newborns. Semin Perina-tol, 30: 54-60.
35. Dennery PA (2002). Pharamacological interven-tions for the treatment of
neonatal jaundice. Semin Neonatol, 7: 111-119.
36. Maruo Y, Nishizawa K, Sato H, Sawa H, Shima-da M (2000). Prolonged
unconjugated hyper-bilirubinemia associated with breast milk and mutations of
the bilirubin uridine diphos-phate- glucuronosyltransferase gene. Pediatrics,
106(5): E59.
37. Maisels MJ (1998). Jaundice. In: Taeugah, H.W., Ballard, R.A. and Avery, M.E.
(eds). Schaffers and Avery’s Diseases of Newborn (7th ed.). Philadelphia: WB
Saunders Company. pp. 603-708.
38. Al-Swaf FB, Jumaa RS, Saeed IS (2009). Hemo-lytic disease of newborn due to
ABO incom-patibility. Tikrit Medical Journal, 15(2): 70-78.
39. Stockman, JA (2001). Overview of the state of the art of Rh disease: history,
current clinical management, and recent progress. J Pediatr Hematol Oncol,
23(8):554-62.
40. Bowman J (2003). Thirty-five years of Rh proph-ylaxis. Transfusion, 43:1661-6.
41. Van Kamp IL, Klumper FJ, Oepkes D, Meer-man RH, Scherjon SA,
Vandenbussche FP, et al (2005). Complications of intrauterine intra-vascular
transfusion for fetal anemia due to maternal red-cell alloimmunization. Am J Ob-
stet Gynecol, 192(1): 171-7.
42. Murray NA, Roberts IA (2007). Haemolytic dis-ease of the newborn. ADC Fetal
Neonatal Ed, 92: 83-8.
43. Yigit S, Gursoy T, Kanra T, et al (2005). Whole blood versus red cells and
plasma for ex-change transfusion in ABO haemolytic dis-ease. Transfus Med, 15:
313-8.

21
44. Yaseen H, Khalaf M, Rashid N, Darwich M (2005). Does prophylactic
phototherapy pre-vent hyperbilirubinemia in neonates with ABO incompatibility
and positive Coombs' test? J Perinatol, 25: 590-4.
45. Kaplan M, Na'amad M, Kenan A, Rudensky B, Hammerman C, Vreman HJ,
Wong RJ, Ste-venson DK (2009). Failure to predict hemoly-sis and
hyperbilirubinemia by IgG subclass in blood group A or B infants born to group
O mothers. Pediatrics, 123(1): e132-7.
46. Moiz B, Nasir A, Khan SA, Kherani SA, Qadir M (2012). Neonatal
hyperbilirubinemia in in-fants with G6PD c.563C > T variant. BMC Pediatrics,
12: 126-133.
47. Marzban A, Mosavinasab N (2008). Correlation between hemolysis and jaundice
in Glucose 6-Phosphate Dehydrogenase deficient neonates. Acta Medica
Iranica, 47(5): 379-83.
48. Kaplan M, Hammerman C (1998). Severe neo-natal hyperbilirubinemia. A
potential compli-cation of glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. Clin
Perinatol, 25(3): 575-90.
49. Bhutani VK, Johnson L, Sivieri ME (1999). Pre-dictive ability of a predischarge
hour-specific serum bilirubin for subsequent significant hy-perbilirubinemia in
healthy term and near-term newborns. Pediatrics, 103(1): 6-16.
50. Cashore WJ (2000). Bilirubin and jaundice in the micropremie. Clin Perinatol,
27: 171-9.
51. Johnson L, Bhutani VK (1998). Guidelines for management of the jaundiced term
and near term infant. Clin Perinatol, 25: 555-574.
52. Watson D, Rogers JA (1961). A study of six rep-resentative methods of plasma
bilirubin analy-sis. J Clin Pathol, 14: 271-8.
53. Yamanouchi I, Yamauchi Y, Igarashi I (1980). Transcutaneous bilirubinometry:
preliminary studies of noninvasive transcutaneous biliru-bin meter in the
Okayama National Hospital. Pediatrics, 65:195–202.
54. Maisels MJ, Ostrea EM, Touch S, Clune SE, Ce-peda E, Kring E, et al (2004).
Evaluation of a new transcutaneous bilirubinometer. Pediatrics, 113: 1628–35.

22
55. Gohmann K, Roser M, Rolinski B, Kadow I, Muller C, Goerlach-Graw A, et al
(2006). Bili-rubin measurement for neonates: Compari-son of 9 frequently used
methods. Pediatrics, 117(4):1174-83.
56. Puppalwar PV, Goswami K, Dhok A (2012). Re-view on ―Evolution of Methods
of Bilirubin Estimation‖. IOSR-JDMS, 1(3): 17-18.
57. Royal Prince Alfred Hospital (2003). Haemolytic jaundice, Rhesus
isoimmunization. RPA Newborn care guidelines: Royal Prince Alfred Hospital,
Sydney Australia.
58. Bosschaart N, Kok JH, Newsum AM, Ouwenee DM, Mentink R, van Leeuwen
TG, et al (2012). Limitations and opportunities of tran-scutaneous bilirubin
measurement. Pediatrics, 129: 689-97.
59. Krishnasamy M, Bakri DR (2009). Non-invasive, hand held transcutaneous
bilirubinometer. Medical Development Division, Ministry of Health, Malaysia.
60. Robertson A, Kazmierczak S, Vos P (2002). Im-proved transcutaneous
bilirubinometry: com- parison of SpectRx Bilicheck and Minolta jaundice meter
JM-102 for estimating total se-rum in a normal newborn population. J Perina-
tolo, 22(1):12–14.
61. American Academy of Pediatrics (2004b). Clini-cal Practice Guideline:
Subcommittee on Hyperbilirubinemia, Management of Hyper-bilirubinemia in
the newborn infant 35 or more week of gestation. Pediatrics, 114(1): 297- 316.
62. Watchko JF, Maisels MJ (2003). Jaundice in low birth weight infants:
pathobiology and out-come. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed, 88: F455-8.
63. Okwundu CI, Okoromah CAH, Shah PS (2012). Prophylactic phototherapy for
preventing jaundice in preterm or low birth weight in-fants. Cochrane Database
Syst Rev, 2012(1): CD007966.
64. Maisels MJ, Watchko JF, Bhutani VK, Stevenson DK (2012). An approach to the
management of hyperbilirubinemia in the preterm infant less than 35 week of
gestation. J Perinatol, 32: 660-4.
65. Frank JE (2005). Diagnosis and management of G6PD deficiency. Am Fam
Physician, 72(7): 1277-1282.

23
66. Engle WD, Jackson GL, Sendelbach D, Man-ning D, Frawley W (2002).
Assessment of a transcutaneous device in the evaluation of ne-onatal
hyperbilirubinemia in a primarily His-panic population. Pediatrics, 110: 61–67.
67. Schumacher R (2002). Transcutaneous bilirubin-ometry and diagnostic tests:
―the right job for the tool.‖ Pediatrics, 110: 407–408.
68. Ip S, Glicken S, Kulig J, Obrien R, Sege R, Lau J (2003). Management of
Neonatal Hyperbiliru-binemia. Rockville, MD: US Department of Health and
Human Services, Agency for Healthcare Research and Quality. AHRQ
Publication 03-E011.
69. Kappas A, Drummond GS, Munson DP, Mar-shall JR (2001). Sn-mesoporphyrin
interdic-tion of severe hyperbilirubinemia in Jehovah’s Witness newborns as an
alternative to ex-change transfusion. Pediatrics, 108: 1374–7.
70. Ennever JF (1990). Blue light, green light, white light, more light: treatment of
neonatal jaun-dice. Clin Perinatol, 17:467–81.
71. Cremer RJ, Perryman RW, Richards DH (1958). Influence of light on the
hyperbilirubinaemia of infants. Lancet, 1:1094-7.
72. Brown AK, Kim MH, Wu PY, Bryla DA (1985). Efficacy of phototherapy in
prevention and management of neonatal hyperbilirubinemia. Pediatrics, 75: 393–
400
73. Vecchi C, Donzelli GP, Migliorini MG, Sbrana G (1983). Green light in
phototherapy. Pediatr Res, 17:461-3.
74. Tan KL (1989). Efficacy of fluorescent daylight, blue, and green lamps in the
management of nonhemolytic hyperbilirubinemia. J Pediatr, 114:132-7.
75. Tan KL (1991). Phototherapy for neonatal jaun-dice. Clin Perinatol, 18: 423-39.
76. Amato M, Howald H, von Muralt G (1985). In-terruption of breast-feeding versus
photother-apy as treatment of hyperbilirubinemia in full-term infants. Helvetica
Paediatrica Acta, 40:127– 31.
77. Caldera R, Maynier M, Sender A, Brossard Y, Tortrat D, Galiay JC, Badoual J
(1993). The effect of human albumin in association with intensive phototherapy
in the manage-ment of neonatal jaundice. Arch Fr Pediatr, 50: 399-402.

24
78. Maisels MJ (2001). Phototherapy—traditional and nontraditional. J Perinatol,
21(suppl 1): S93–7.
79. Seidman DS, Moise J, Ergaz Z, Laor A, Vreman HJ, Stevenson DK, Gale R
(2000). A new blue light-emitting phototherapy device: A prospective
randomized controlled study. J Pediatr, 136(6): 771-4.
80. Harris M, Bernbaum J, Polin J, Zimmerman R, Polin RA (2001). Developmental
follow-up of breastfed term and near-term infants with marked
hyperbilirubinemia. Pediatrics, 107: 1075–1080.
81. American Academy of Pediatrics (2004a). Sub-committee on Hyperbilirubinemia.
Manage-ment of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more week of
gestation. Pediatrics, 114 (3): 297–316.
82. Royal Prince Alfred Hospital (2006). Transcute-neous bilirubinometers. RPA
Newbon care guidelines, Royal Prince Alfred Hospital, Syd-ney Australia.
83. Hsia DYY, Allen FH, Gelliss SS, Drummond LK (1952). Erythroblastosis fetalis,
VIII: stu-
dies of serum bilirubin in relation to kernicte-rus. N Engl J Med, 247:668-71.
84. Mollison PL, Cutbush M (1954). Haemolytic disease of the newborn. In: Gairdner
D, ed. Recent Ad-vances in Pediatrics. New York, NY: P Bla-kiston & Son, pp:
110.
85. Gabilan JC (1998). Pharmacologic treatment of neonatal jaundice. A new
approach. Archives de Pediatrie, 5(11): 1274-8.
86. Cuperus FJ, Hafkamp AM, Hulzebos CV, Ver-kade HJ (2009). Pharmacological
therapies for unconjugated hyperbilirubinemia. Curr Pharm Des, 15(25): 2927-
38.
87. Kaseem LM, Abdelrahim MEA, Naguib HF (2013). Investigating the Efficacy
and Safety of Silymarin in Management of Hyperbiliru-binemia in Neonatal
Jaundice. Med Sci, 2(2): 575-590.
88. Valaes T, Petmezaki S, Henschke C, Drummond GS, Kappas A (1994). Control
of jaundice in preterm newborns by an inhibitor of bilirubin production: studies
with tin-mesoporphyrin. Pediatrics, 93(1): 1–11.

25
89. Marie S, Cresteil T (1989). Phenobarbital-induci-ble gene expression in
developing rat liver: re-lationship to hepatocyte function. Biochimica et
Biophysica Acta, 1009(3): 221–8.
90. Shankaran S, Papile LA, Wright LL, Ehrenkranz RA, Mele L, Lemons JA, et al
(1997). The ef-fect of antenatal phenobarbital therapy on ne-onatal intracranial
hemorrhage in preterm in-fants. N Engl J Med, 337(7): 466–471.
91. Shankaran S, Woldt E, Nelson J, Bedard M, De-laney-Black V (1996). Antenatal
phenobarbital therapy and neonatal outcome. II: Neuro-developmental outcome
at 36 months. Pediat-rics, 97(5): 649–52.
92. Hansen TW, Tommarello S (1998). Effect of phenobarbital on bilirubin
metabolism in rat brain. Biol Neonate, 73(2): 106–11.
93. Crowther CA, Henderson-Smart DJ (2001). Phe-nobarbital prior to preterm birth
for prevent-ing neonatal periventricular haemorrhage. Cochrane Database Syst
Rev, 2001 ;(2):CD000164.
94. Whitelaw A (2001). Postnatal phenobarbitone for the prevention of
intraventricular he-morrhage in preterm infants. Cochrane Database Syst Rev,
2001 ;(1):CD001691.
95. Sato K, Hara T, Kondo T, Iwao H, Honda S, Ueda K (1991). High-dose
intravenous gam maglobulin therapy for neonatal immune hae-molytic jaundice
due to blood group incom-patibility. Acta Paediatr Scand, 80: 163–6.
96. Rubo J, Albrecht K, Lasch P, Laufkotter E, Leiti-tis J, Marsan D, et al (1992).
High-dose intra-venous immune globulin therapy for hyperbi-lirubinemia caused
by Rh hemolytic disease. J Pediatr, 121: 93–7.
97. Ergaz Z, Arad I (1993). Intravenous immuno-globulin therapy in neonatal
immune hemo-lytic jaundice. J Perinat Med, 21(3): 183-7.
98. Hammerman C, Kaplan M, Vreman HJ, Steven-son DK (1996). Intravenous
immune globu-lin in neonatal ABO isoimmunization: factors associated with
clinical efficacy. Biol Neonate, 70: 69–74.

26
99. Alpay F, Sarici SU, Okutan V, Erdem G, Ozcan O, Gokc¸ay E (1999). High-dose
intravenous immunoglobin therapy in neonatal immune haemolytic jaundice.
Acta Paediatrica, 88: 216– 219.
100. Girish G, Chawla D, Agarwal R, Paul VK, Deo-rari AK (2008). Efficacy of two
dose regimes of intravenous immunoglobulin in Rh hemo-lytic disease of
newborn – a randomized con-trolled trial. Indian Pediatrics, 45: 653-9.
101. Smits-Wintjens VE, Walther FJ, Rath ME, Lin-denburg IT, te Pas AB, Kramer
CM, Oepkes D, Brand A, Lopriore E (2011). Intravenous immunoglobulin in
neonates with rhesus he-molytic disease: a randomized controlled trial.
Pediatrics, 127: 680–6.
102. Cortey A, Elzaabi M, Waegemans T, Roch B, Aujard Y (2014). Efficacy and
safety of intra-venous immunoglobulins in the management of neonatal
hyperbilirubinemia due to ABO incompatibility: a meta-analysis. Archives de Pe-
diatrie, 21(9): 976-83.
103. Qato MK, Maines MD (1985). Prevention of ne-onatal hyperbilirubinaemia in
non-human pri-mates by Znprotoporphyrin. Biochem J, 226(1): 51–7.
104. Vreman HJ, Ekstrand BC, Stevenson DK (1993). Selection of metalloporphyrin
heme oxygenase inhibitors based on potency and photoreactivity. Pediatr Res,
33(2): 195–200.
105. Kappas A, Drummond GS, Henschke C, Valaes T (1995). Direct comparison of
Sn-mesopor-phyrin, an inhibitor of bilirubin production, and phototherapy in
controlling hyperbiliru-binemia in term and near-term newborns. Pe-diatrics,
95(4): 468–74.
106. Valaes T, Drummond GS, Kappas A (1998). Control of hyperbilirubinemia in
glucose-6- phosphate dehydrogenasedeficient newborns using an inhibitor of
bilirubin production, Sn-mesoporphyrin. Pediatrics, 101(5): E1.
107. Martinez JC, Garcia HO, Otheguy LE, Drum-mond GS, Kappas A (1999).
Control of se-vere hyperbilirubinemia in fullterm newborns with the inhibitor of
bilirubin production Sn-mesoporphyrin. Pediatrics, 103(1): 1–5.

27
108. Facchini FP, Mezzacappa MA, Rosa IRM, Filho FM, Netto AA, Marba STM
(2007). Follow-up of neonatal jaundice in term and late pre-mature newborns. J
Pediatr (Rio J), 83(4): 313- 8.
109. Sharma P, Chhangani NP, Meena KR, Jora R, Sharma N, Gupta BD (2006).
Brainstem Evoked Response Audiometry (BAER) in Neonates with
Hyperbilirubinemia. Indian J Pediatr, 73 (5): 413-6.
110. Bhutani VK (2012). Jaundice Due to Glucose-6- Phosphate Dehydrogenase
Deficiency. Neo Rev, 13(3): e166-79.
111. Kuboi T, Kusaka T, Kawada K, Koyano K, Na-kamura S, Okubo K, et al
(2013). Hour-spe-cific nomogram for transcutaneous bilirubin in Japanese
neonates. Pediatr Int, 55: 608-11.

28

Anda mungkin juga menyukai