Anda di halaman 1dari 45

Muscle Relaxant

(Pelumpuh Otot)
Pembimbing :
Dr. Dedi Atilla, Sp. An, KIC

Penyusun :
Abi Muji Prawidiyanti 030.13.001
Diana Yusfiandriani (030.13.054)
Pendahuluan
Pendahuluan

Muscle Relaxant →
obat merelaksasi otot

Muscle Relaxant
menjadi 2 golongan
Pendahuluan

Tipe-tipe Muscle Relaxant:


• Blokade neuromuscular junction
• Spasmolitik

Pengetahuan mengenai
farmakologi, kegunaan klinis, Cara kerja yang berbeda, efek
samping yang berbeda, serta
dan efek samping perlu kegunaan klinis yang berbeda
diketahui
Tinjauan Pustaka
Fisigologi pergerakan Otot
Mekanisme
• Aksi potensial berjalan
hingga akhir saraf
• Pada bagian presinaps 
aksi potensial akan membuka
voltage-gated Calcium
Channel
• Influks Ion Kalsium 
Asetilkolin dilepaskan 
berikatan dengan reseptor
nikotinik di motor endplate
• Terjadi depolarisasi otot 
kontraksi otot
Fisiologi Pergerakan Otot
Siklus Cross-
Bridge
Cross Bridge
• Depolarisasi otot  depolarisasi tubulus
T  membuka kanal kalsium (reseptor
ryanodin)
• Ca dari SR  intraselular  kadar Ca
intraselular meningkat
• Ca berikatan dengan Troponin C  Siklus
Cross Bridge dimulai  Kontraksi Otot
terjadi
• Relaksasi Otot terjadi bila Ca kembali
diakumulasi ke SR melalui SR Ca2+ ATPase
Muscle Relaxant

Merupakan

• Obat yang mampu merelaksasi otot rangka (skelet)

Dibagi menjadi

• Neuromuscular junction-blocking drugs


• Agen Nondepolarisasi
• Agen Depolarisasi
• Spasmolitik
Neuromuscular Junction-Blocking Drugs

Memiliki struktur yang mirip


Hasil Akhir: Paralisis Otot
dengan asetilkolin  mampu
Skelet
berikatan dg reseptor nikotinik

Dibagi Menjadi 2
• Agen Nondepolarisasi
• Agen Depolarisasi
Agen Nondepolarisasi

Karakteristik

• Mekanisme yang secara kompetitif


bersaing dg asetilkolin untuk berikatan
dg reseptor nikotinik
• Bila berikatan dg reseptor nikotinik
depolarisasi otot dicegah
• Diadministrasikan secara parenteral
• Onset secara umum 1-5 menit
• Durasi aksi berkisar 20-90 menit
• Metabolisme: kebanyakan di hepar dan
sebagian dieksresikan dalam bentuk
tidak berubah di urin
Reseptor Asetilkolin
Mekanisme Kerja Agen
Nondepolarisasi
Agen Nondepolarisasi
Durasi Aksi

Durasi Aksi Pendek


• Mivacurium

Durasi Aksi Sedang (Intermediate)


• Cisatracurium
• Vecuronium
• Rocuronium
• Atracurium

Durasi Aksi Panjang


• Tubocurarine
• Pancuronium
• Metocurine
Agen Nondepolarisasi
Mivacurium

Penjelasan

• Durasi aksi cepat (10-20 menit)


• Dibandingkan suksinilkolin (memiliki onset lebih
lambat)
• Dihidrolisis oleh kolinesterase plasma
• Bila diberikan pada dosis tinggi  efek pelepasan
histamin sedang
Agen Nondepolarisasi
Cisatracurium

Penjelasan

• Durasi aksi sedang


• Stereoisomer dari atracurium
• Efek pelepasan histamin < atracurium
• Pembentukan produk degradasi laudanosine yg lebih
sedikit
• Pada setting klinis sudah menggantikan atracurium dalam
praktik klinik
Agen Nondepolarisasi
Vecuronium dan Rocuronium

Penjelasan

• Derivat steroid
• Efek blokade ganglion dan
pelepasan histamin minimal
• Veucornium dan rocuronium
dimetabolisme secara utama
di hepar dan memiliki durasi
aksi sedang (20-40 menit)
• Sediaan dan dosis • Sediaan dan dosis
vecuronium: rocuronium:
• Tersedia dalam vial • Tersedia sebagai
berisi 10 mg larutan 25 mg/2,5
• Dosis IV awal mL
biasanya 0,08-0,1 • Dosis IV awal
mg/kg biasanya 0,45-0,6
• Bila perlu ditambah mg/kg
dengan 0,01-0,015
mg/kg
Agen Nondepolarisasi
Atracurium

Penjelasan

• Memiliki durasi aksi sedang


• Memicu pelepasan histamin minimal
• Dimetabolisme: hidrolisis nonenzimatik
• Produk degradasi atracurium:
laudanosine
• Penumpukan laudanosine 
menyebabkan kejang
• Durasi aksi dapat berkurang apabila
terjadi hiperventilasi yg dipicu alkalosis
• Sediaan dan dosis:
• Tersedia sebagai larutan 10 mg/mL
• Dosis awal IV 0,4-0,5 mg/kg
• Dosis pemeliharaan seperlima dosis
awal
Agen Nondepolarisasi
Tubocurarine
Penjelasan

• Prototip neuromuscular junction-


blocking drugs golongan
nondepolarisasi
• Tidak digunakan secara klinis
• Efek:
• Menghambat depolarisasi otot skelet
• Blokade ganglion
• Pelepasan histamin 
mempengaruhi hemodinamik
(menyebabkan hipotensi dan
bronkokonstriksi)
• Sediaan dan dosis:
• d-Tubokurarin klorida tersedia sebagai larutan yang
mengandung 3 mg/mL sebagai agen injeksi IV
• Untuk anastesia bedah ringan
-> dosis tunggal 6-9 mg IV pada orang dewasa
• ½ dosis ini dapat diberikan lagi setelah 3-5 menit
Agen Nondepolarisasi
Metocurine

Penjelasan

• Derivat Tubocurarine
• Efek yang sama dengan tubucurarine
• Efek pelepasan histamin yang lebih rendah  hipotensi dan
bronkokonstriksi yang lebih ringan
• Metocurine memiliki durasi aksi yang panjang
• Sediaan : larutan 2 mg/mL
• Preparat ini 2 kali lebih kuat daripada d-tubokurarin
• Dosis yang diberikan cukup setengah dosis
Agen Nondepolarisasi
Pancuronium
Penjelasan

• Derivat steroid
• Durasi aksi panjang (120-180 menit)
• Oleh karena durasi aksinya yang sangat
panjang, secara klinis pancuronium jarang
digunakan
• Dosis:
• tersedia sebagai larutan 1-2 mg/mL
• dosis IV awal biasanya 0,04-0,10 mg/kg
Kegunaan Terapetik Agen Nondepolarisasi

Fungsi Memicu paralisis otot


• Anestesi umum • Diawali otot berkontraksi cepat (otot
• Pasien yang perlu diterapi ventilasi mekanik ekstrinsik mata)  otot kontraksi lambat
• Mengontrol kontraksi otot pada terapi (ekstremitas dan wajah) otot intercosta,
elektrokonvulsif dan diafragma

Relaksasi otot
• Urutan berkebalikan
Agen Reversal Agen Nondepolarisasi

Asetilkolinesterase
inhibitor Menghambat degradasi
• Neostigmine
asetilkolin

Asetilkolin dapat segera


menggantikan agen nondepolarisasi
dan berikatan dengan reseptor
nikotinik  kontraksi otot terjadi
Efek Samping dan Kontraindikasi

Pelepasan histamin
• Oleh tubocurarine, atacurium, mivacurium, metocurine, dan pancuronium
• Menurunkan tekanan darah dan meningkatkan denyut jantung
• Juga diperkuat efek blokade ganglion
• Efek vagolitik

Kontraindikasi
• Riwayat asma
• Reaksi anafilaktik
Interaksi Obat

Efek agen • Digunakan agen inhalasi isoflurane


nondepolarisasi
• Menggunakan antibiotika aminoglikosida
akan meningkat
• Mampu menghambat pelepasan asetilkolin
bila
Agen Depolarisasi

Yang penting secara


klinis  Suksinilkolin

Suksinilkolin memiliki
struktur yg mirip
dengan asetilkolin
Suksinilkolin
Mekanisme Aksi

Suksinilkolin Blokade Fase I


• Disebut sebagai depolarisasi
• Merupakan agonis reseptor nikotinik
• Suksinilcolin menempel pada reseptor
• Setelah injeksi intravena  terjadi
nikotinik  ACH tidak memicu kontraksi
kontraksi otot awal (fasikulasi) pada otot
30-60 detik
• Terkadang hal ini tidak tampak karena Blokade Fase II
adanya anestesi umum
• Suksinilkolin dimetabolisme lebih • Disebut sebagai fase desensitisasi
lambat daripada asetilkolin  • Karena suksinilkolin masih tetap
menempel lebih lama pada reseptor menempel, otot akan mengalami
nikotinik repolarisasi namun asetilkolin tidak dapat
memicu depolarisasi
Sediaan dan dosis suksinilkolin klorida

• Bubuk steril 0,5-1,0 gram


• Larutan IV ->20, 50, atau 100 mg/mL
• Prosedur bedah singkat orang dewasa -> dosis IV 0,6 mg/kg
• Dosis optimal: 0,3-1,1 mg/kg
• Prosedur lebih lama->infus dengan dosis 0,5-5,0 mg atau lebih/menit
• Derajat relaksasi otot dapat diatur dengan kecepatan infus
Farmakologi Agen Depolarisasi

Onset Kerja Cepat (5-10


Durasi Aksi cepat
menit)

Penggunaan obat penghambat


Dimetabolisme oleh
asetilkolinesterase dan
kolinesterase pada plasma dan
penyakit liver  memperlama
hepar
durasi aksi asetilkolin
Penggunaan Klinis

Obat tambahan anestesia umum


• Memperoleh kondisi relaksasi dengan kadar rendah pada
anestesi umum
• Digunakan untuk menghasilkan paralisis yang bersifat
sebentar dan singkat untuk prosedur bedah yang singkat

Efek paralisis transien


• Digunakan untuk memfasilitasi intubasi
Efek Samping
Nyeri Otot Paskaoperasi Paralisis berkelanjutan
• bisa apneu 1-4 jam
• Terutama pada dosis tinggi • Terjadi pada 1:10.000 pasien
• Terutama pada pasien dengan kadar kolinesterase plasma yang
secaara genetik
Hiperkalemia
Braddikardia
• Tampak jelas pada pasien luka bakar, trauma
• Efek stimulasi reseptor muskarinik
otot, transeskesi medula spinalis • Dicegah dengan penggunaan atropin

Hipertemia Maligna Peningaktan TIO


• Peningkatan kontraksi muskulus intraokular
• Jarang terjadi, tapi akan terjad apabila • Kontraindikasi: trauma penetrasi mata
diberikan bersamaan dengan halotan Peningkatan Tekanan Intragaster
• Tanda : takikardi, spasme berlebihan, hipertemi
• Akibat faskulasi otot abdomen
• Penanganan  dantrolene
• Menyebabkan aspirasi
Agen Spasmolitik

Berkaitan dengan
• Penurunan kontrol supraspinal
Menurunkan tonus otot • Hipereksitabilitas α-motorneuron dan
γ-motorneuron pada korda spinali

Contoh Obat:
• Dantrolene, baclofene, tizandine,
benzodiazepine, dan toksin botulinum
Agen Spasmolitik
Dantrolene
Penjelasan

• Beraksi langsung pada otot untuk


mengurangi kontraksi otot
• Digunakan untuk menangani
hipertermia maligna
• Obat ini menghambat pelepasan
kalsium dari retikulum sarkoplasmikum
• Efeknya berlangsung 1 minggu
• Efek utama: kelemahan otot dan sedasi
• Penggunaan jangka panjang:
hepatotoksisitas (perlu pemantauan
fungsi hepar)
• Kapsul 25, 50, dan 100 mg • Setiap dosis harus
• Bubuk steril 20 mg -> dipertahankan selama 4-7
hari untuk melihat respons
dilarutkan menjadi 70 mL
larutan IV yang mengandung • Dosis maksimum: 100 mg
0,32 mg dantrolene/mL 4 kali sehari atau 3 mg/kg
• Dosis awal dewasa : 25 mg 1- 4 kali sehari).
2 kali sehari
• Dosis dapat ditingkatkan
menjadi 25 mg 3-4 kali
sehari, kemudian 50-100 mg
4 kali sehari
Agen Spasmolitik
Baclofen
Penjelasan

• Analog GABA
• Agonis reseptor GABAB
• Hiperpolarisasi neuron dan
mengambat pelepasan
neurotransmiter pada celah sinaptik
korda spinalis
• Efek samping:
• Peningkatan frekuensi kejang pada
pasiend dg predisposisi epilepsi
dan drowsiness
Dosis rendah -> secara Dosis dewasa: 3 kali
bertahap sehari 5 mg

Tiga hari pertama


ditingkatkan bila perlu 5
Dosis maksimum: 100
mg/kali dengan interval
mg/hari
3 hari sampai efek terapi
tercapai

Obat harus dihentikan Dosis anak: 1-1,5 mg/kg


secara bertahap agar per hari, mulai dengan 5
tidak terjadi eksaserbasi mg/hari
Agen Spasmolitik
Benzodiazepin
Penjelasan

• Beraksi pada korda spinalis dan


sistem saraf pusat
• Memfasilitasi aktivasi GABA
• Penurunan Tonus Otot
• Efek samping utama: sedasi
• Dosis diazepam : 4 mg/hari
• Dosis maksimum: 60 mg/hari
• Benzodiazepin lain yang sering
digunakan: Midazolam
Agen Spasmolitik
Toksin Botulinum

Penjelasan

• Menghambat pelepasan asetilkolin dari


akhiran serabut saraf
• Otot tidak dapat mengalami depolarisasi
• Secara klinis digunakan untuk
• Mengatasi spasme otot
• Kelainan spastik (cerebral palsy,
blefaroplasme, strabismus terkait distonia)
• Dosis Toksin botulinum A : bubuk steril 100
unit/vial
• Toksin botulinum B : larutan 5000 unit/mL
Kesimpulan
Kesimpulan
Muscle relaxant
• Obat yang merelaksasi otot

2 golongan besar
• Blokade neuromuskular
• Agen depolarisasi
• Agen nondepolarisasi
• Spasmolitik

Agen depolarisasi
• Rocuronium, pancuronium, vecuronium, atracurium, mivacurium

Agen spasmolitik
• Dantrolene, baclofene, toksin botulinu,, diazepam
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
1. Oda Y. Rocuronium bromide: clinical application of single-dose pharmacokinetic models to continuous infusion. Journal of Anesthesia.
2017;32(1):1-2.
2. Katzung B. Basic and Clinical Pharmacology. 12th ed. McGraw-Hill; 2012.
3. Tortora G, Derrickson B. Principles of anatomy & physiology. 13th ed. New Jersey: Wiley; 2012.
4. Guyton A, Hall J. Textbook of medical physiology. 11th ed. India: Elsevier Saunders; 2007.
5. Costanzo L. Board review series. 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins; 2011.
6. Rosenfeld G, Loose D. Pharmacology. 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2014.
7. Lüllmann H. Color atlas of pharmacology. 3rd ed. Stuttgart: Thieme; 2005.
8. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology. New York: McGraw-Hill Companies,Inc; 2006. p. 179-204.
9. Gunawan SG, Nafrialdi RS. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesi; 2011.
10. Stoelting RK, Hiller SC. Handbook of pharmacology and physiology in anesthetic practice. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2006. p.140-154.
11. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Pelumpuh otot. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta; Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Ed II. 2007;3:66-70
12. Rachmat L, Sunatrio S. Obat Pelumpuh otot. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2004;15:81-6
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai