Anda di halaman 1dari 32

A.

Defenisi
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai pada
anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu tubuh (suhu rektal diatas 38°C)
yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran
pernapasan bagian atas disusul infeksi saluran pencernaan. Insiden terjadinya kejang demam
terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Kejang demam lebih sering
didapatkan pada laki-laki dari pada perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita
didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat dibandingkan laki-laki (Judha & Rahil, 2011).
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 38°C). Kondisi yang menyebabkan kejang demam antara lain : infeksi yang
mengenai jaringan ekstrakranial seperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis (Riyadi, Sujono &
Sukarmin, 2009).
Pada saat mengalami kejang, anak akan terlihat aneh untuk beberapa saat, kemudian kaku,
dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk beberapa waktu, nafas akan terganggu, dan
kulit akan tampak lebih gelap dari biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal kembali.
Serangan kejang pada penderita kejang demam dapat terjadi satu, dua, tiga kali atau lebih selama
satu episode demam. Jadi, satu episode kejang demam dapat terdiri dari satu, dua, tiga atau lebih
serangan kejang.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kejang demam adalah bangkitan
kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh yang sering dijumpai pada anak usia di
bawah umur 5 tahun.

B. Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Terdapat perbedaan kecil dalam penggolongan
tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang
berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya (Lumbantobing, 2004).

1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang demam sederhana
antara lain :
a. Berlangsung singkat (< 15 menit)
b. Menunjukkan tanda-tanda kejang tonik dan atau klonik.
c. Kejang hanya terjadi sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang demam kompleks
antara lain :
a. Berlangsung lama (> 15 menit).
b. Menunjukkan tanda-tanda kejang fokal yaitu kejang yang hanya melibatkan salah satu
bagian tubuh.
c. Kejang berulang/multipel atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
d. Kejang tonik yaitu serangan berupa kejang/kaku seluruh tubuh. Kejang klonik yaitu
gerakan menyentak tiba-tiba pada sebagian anggota tubuh.

C. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian besar anak dipicu
oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu tubuh. Biasanya suhu demam
diatas 38,8oC dan terjadi disaat suhu tubuh naik dan bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan
suhu tubuh (Dona Wong L, 2008).
Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu badan yang tinggi
dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan syaraf pusat misalnya tonsilitis, ostitis
media akut, bronkitis(Judha & Rahil, 2011).Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam
antara lain infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial sperti tonsilitis, otitis media akut,
bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam pada anak. Demam sering
disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut, otitis media
akut, gastroenteritis, bronkitis, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Setiap anak memiliki ambang
kejang yang berbeda. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang paling tinggi. Pada anak dengan
ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu 38°C bahkan kurang,
sedangkan padaanak dengan ambang kejang tinggi, serangan kejang baru terjadi pada suhu 40°C
bahkan lebih.
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain adalah demam,
demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari mikroorganisme, respon alergik atau
keadaan imun yang abnormal akibat infeksi, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
(Dewanto et al, 2009).
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009)
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 18 bulan
3. Temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin sering berulang
4. Lamanya demam.
5. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (IDAI, 2009)
6. Adanya gangguan perkembangan neurologis
7. kejang demam kompleks
8. riwayat epilepsi dalam keluarga
9. lamanya demam

D. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi di pecah menjadi CO 2 dan
air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan
luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh
ion K+ dan sangat sulit dilalui oleh ion Na+ dan elektrolit lainya kecuali ion Cl-. Akibatnya
konsentrasi ion kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedang di luar
sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan
di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari
neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran di perlukan energi dan bantuan enzim
NA-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan konsentrasi ion di
ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi, atau
aliran listrik dari sekitarnya. Perubahanpatofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10 sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi
otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya
15%.Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat
terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun
ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam
yang berlangsung lama biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi
untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hiposemia, hiperkapnia, asidosis laktat
disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi, artenal disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktivitas otot dan
mengakibatkan metabolisme otak meningkat (Judha & Rahil, 2011).
Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis media akut,
bronkitis penyebab terbanyak adalah bakteri yang bersifat toksik. Toksik yang dihasilkan oleh
mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh melalui hematogen maupun limfogen.
Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan menaikkan
pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda tubuhmengalami bahaya secara sistemik. Naiknya
pengaturan suhu di hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain
seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot.
Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit jaringan tubuh yang lain akan disertai pengeluaran
mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin. Pengeluaran mediator kimia ini dapat
merangsang peningkatan potensial aksi pada neuron . Peningkatan potensial inilah yang
merangsang perpindahan ion natrium, ion kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel.
Peristiwa inilah yang diduga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat sehingga
timbul kejang.
Serangan cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan kesadaran, otot
ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma sehingga anak beresiko terhadap
injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh penutupan lidah dan spasma bronkus (Price, 2005).

E. Tanda Dan Gejala


Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), manifestasi klinik yang muncul pada
penderita kejang demam :
1. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38°C.
2. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik. Beberapa detik
setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun tetapi beberapa saat kemudian
anak akan tersadar kembali tanpa ada kelainan persarafan.
3. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan, cahaya (penurunan
kesadaran)
Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone juga dapat kita
jadikan pedoman untuk menetukan manifestasi klinik kejang demam. Ada 7 kriteria antara lain:
1. Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
2. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang saja).
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada kelainan.
6. Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu atau lebih setelah suhu
normal tidak dijumpai kelainan
7. Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat
dengan sifat kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau kinetik. Umumnya
kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun sejenak tapi
setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf.(Judha & Rahil,
2011)

F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaannya meliputi:
1. Darah
a. Glukosa darah:hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N<200mq/dl)
b. BUN:peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro
toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit:Kalium, natrium.Ketidakseimbngan elektrolit merupakan predisposisi
kejang
d. Kalium (N 3,80-5,00 meq/dl)
e. Natrium (N 135-144 meq/dl)
2. Cairan cerebo spinal:mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi,pendarahan
penyebab kejang
3. X Ray:untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
4. Tansiluminasi: suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbaik (di bawah 2
tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala
5. EEG: teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui fokus aktivitas kejang,hasil biasanya normal.
6. CT Scan: untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma,cerebral
oedema,trauma,abses,tumor dengan atau tanpa kontras.

G. Penatalaksanaan Medis
1. Pengobatan Saat Terjadi Kejang Demam
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri setenang mungkin
dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping, bukan
terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
b. Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok, karena justru
benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
c. Jangan memegangi anak untuk melawan kejang
d. Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan penanganan khusus.
e. Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke fasilitas
kesehatan terdekat.
f. Setelah kejang berakhir, anak perlu dibawa menemui dokter untuk meneliti sumber
demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-muntah yang berat, atau anak terus
tampak lemas.
Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), menyatakan bahwapenatalaksanaan yang
dilakukan saat pasien dirumah sakit antara lain:
a. Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara perlahan
dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang dari 10 kg dosisnya 0,5-0,75
mg/kg BB, diatas 20 kg 0,5 mg/kg BB. Dosis rata-rata yang diberikan adalah 0,3 mg/kg
BB/ kali pemberian dengan maksimal dosis pemberian 5 mg (per IV ) 10 mg ( Per
rektal) pada anak kurang dari 5 tahun dan maksimal 5-10 mg (Per IV) 10-15 mg ( per
rektal) pada anak yang berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50
mg persuntikan. Setelah pemberian pertama diberikan masih timbul kejang 15 menit
kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara intravena dengan dosis yang sama.
Apabila masih kejang maka ditunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi
diazepam ketiga dengan dosis yang sama secara intramuskuler.
b. Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi miring, pakaian
dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik dapat dilakukan intubasi
endotrakeal atau trakeostomi.
c. Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
d. Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan memudahkan dalam
pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena pemantauan intake dan
output cairan selama 24 jamperlu dilakukan, karena pada penderita yang beresiko
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat
penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan peningkatan intraklanial
juga pemberian cairan yang mengandung natrium perlu dihindari.
e. Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan metode konduksi yaitu
perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu tubuh) ke benda yang mempunyai derajat
yang lebih rendah (kain kompres). Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas
yang banyak seperti kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area pembuluh
darah yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat dikombinasikan dengan pemberian
antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/kg BB/hari (terbagi dalam 3 kali pemberian).
f. Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan obat-obatan
untuk mengurang edema otak seperti dektametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai
keadaan membaik.Posisi kepala hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh
yang lain dengan craa menaikan tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang kebih
15° (posisi tubuh pada garis lurus)
g. Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca pemberian
diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan dosis awal 30 mg pada
neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-1tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas
dengan tehnik pemberian intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan fenobarbital
dengan dosis pertama 8-10 mg/kg BB /hari (terbagi dalam 2 kali pemberian) hari
berikutnya 4-5 mg/kg BB/hari yang terbagi dalam 2 kali pemberian.
h. Pengobatan penyebab.
Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang adalah kenaikan suhu tubuh akibat
infeksi seperti di telinga, saluran pernapasan, tonsil maka pemeriksaan seperti angka
leukosit, foto rongent, pemeriksaan penunjang lain untuk mengetahui jenis
mikroorganisme yang menjadi penyebab infeksi sangat perlu dilakukan. Pemeriksaan
ini bertujuan untuk memilih jenis antibiotik yang cocok diberikan pada pasien anak
dengan kejang demam.

2. Setelah Kejang Demam Berhenti


Bila kejang berhenti dan tidak berlanjut, pengobatan cukup dilanjutkan dengan pengobatan
intermitten yang diberikan pada anak demam untuk mencegah terjadinya kejang demam. Obat
yang diberikan berupa :
a. Antipiretik
Paracetamol atau asetaminofen 10-15 mg/kgBB diberikan 4 kali atau tiap 6 jam.
Berikan dosis rendah dan pertimbangkan efek samping berupa hiperhidrosis. Ibuprofen
10 mg/kgBB diberikan 3 kali (8 jam).
b. Antikonvulsan
Berikan diazepam oral dosis 0,3-0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada saat demam untuk
menurunkan resiko berulangnya kejang atau diazepam rectal dosis 0,5 mg/kgBB
sebanyak 3 kali per hari.

3. Pencegahan Kejang Demam


a. Pencegahan Primordial
Pencegahan Primordial yaitu upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi
terhadap kasus kejang demam pada seorang anak dimana belum tampak adanya faktor
yang menjadi risiko kejang demam. Upaya primordial dapat berupa:
1) Penyuluhan kepada ibu yang memiliki bayi atau anak tentang upaya untuk
meningkatkan status gizi anak, dengan cara memenuhi kebutuhan nutrisinya. Jika
status gizi anak baik maka akan meningkatkan daya tahan tubuhnya sehingga dapat
terhindar dari berbagai penyakit infeksi yang memicu terjadinya demam.
2) Menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan. Jika lingkungan bersih dan sehat akan
sulit bagi agent penyakit untuk berkembang biak sehingga anak dapat terhindar dari
berbagai penyakit infeksi.
b. Pencegahan Primer
Pencegahan Primer yaitu upaya awal pencegahan sebelum seseorang anak
mengalami kejang demam. Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok yang mempunyai
faktor risiko. Dengan adanya pencegahan ini diharapkan keluarga/orang terdekat dengan
anak dapat mencegah terjadinya serangan kejang demam.
Upaya pencegahan ini dilakukan ketika anak mengalami demam. Demam merupakan
faktor pencetus terjadinya kejang demam. Jika anak mengalami demam segera kompres
anak dengan air hangat dan berikan antipiretik untuk menurunkan demamnya meskipun
tidak ditemukan bukti bahwa pemberian antipiretik dapat mengurangi risiko terjadinya
kejang demam.
c. Pencegahan Sekunder
Yaitu upaya pencegahan yang dilakukan ketika anak sudah mengalami kejang
demam. Adapun tata laksana dalam penanganan kejang demam pada anak meliputi:
1) Pengobatan Fase Akut
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan
nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah
aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung
terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur,
bila perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus
diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian
antipiretik. Pemberantasan kejang dilakukan dengan cara memberikan obat antikejang
kepada penderita. Obat yang diberikan adalah diazepam. Dapat diberikan melalui
intravena maupun rektal.
2) Mencari dan mengobati penyebab
Pada anak, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan akut, otitis
media, bronkitis, infeksi saluran kemih, dan lain-lain. Untuk mengobati penyakit infeksi
tersebut diberikan antibiotik yang adekuat. Kejang dengan suhubadan yang tinggi juga
dapat terjadi karena faktor lain, seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu
pemeriksaan cairan serebrospinal (lumbal pungsi) diindikasikan pada anak penderita
kejang demam berusia kurang dari 2 tahun. Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan
atas indikasi untuk mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah
dan elektrolit. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak
yang mempunyai risiko untuk mengalami epilepsi.
3) Pengobatan profilaksis terhadap kejang demam berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan karena menakutkan keluarga
dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Terdapat
2 cara profilaksis, yaitu:
a) Profilaksis intermitten pada waktu demam
Pengobatan profilaksis intermittent dengan antikonvulsan segera diberikan
pada saat penderita demam (suhu rektal lebih dari 38ºC). Pilihan obat harus dapat
cepat masuk dan bekerja ke otak. Obat yang dapat diberikan berupa diazepam,
klonazepam atau kloralhidrat supositoria.
b) Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus adalah:
(1)Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan atau gangguan
perkembangan neurologis.
(2)Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik pada orang tua
atau saudara kandung.
(3)Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis
sementara atau menetap. Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari
12 bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah
kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah
berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah timbulnya
epilepsi di kemudian hari. Obat yang dapat diberikan berupa fenobarbital dan
asam valproat.
d. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah terjadinya kecacatan,
kematian, serta usaha rehabilitasi. Penderita kejang demam mempunyai risiko untuk
mengalami kematian meskipun kemungkinannya sangat kecil. Selain itu, jika penderita
kejang demam kompleks tidak segera mendapat penanganan yang tepat dan cepat akan
berakibat pada kerusakan sel saraf (neuron). Oleh karena itu, anak yang menderita kejang
demam perlu mendapat penanganan yang adekuat dari petugas kesehatan guna mencegah
timbulnya kecacatan bahkan kematian.

H. Komplikasi
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak antara lain:
1. Kejang Demam Berulang.
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu episode
demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko berulangnya kejang demam yaitu :
a. Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama
b. Riwayat kejang demam dalam keluarga
c. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam
d. Riwayat demam yang sering
e. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
2. Kerusakan Neuron Otak.
Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot yang akhirnya
menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat karena metabolisme anaerobik,
hipotensi arterial, denyut jantung yang tak teratur, serta suhu tubuh yang makin meningkat
sejalan dengan meningkatnya aktivitas otot sehingga meningkatkan metabolisme otak. Proses
di atas merupakan faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsung
kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan
hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan neuron otak.
3. Retardasi Mental, terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat.
4. Epilepsi, terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat
serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor risiko yang menyebabkan kejang
demam menjadi epilepsi dikemudian hari, yaitu :
a. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
b. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.
c. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
1. Hemiparesis, yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan, tungkai serta wajah pada
salah satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama (kejang
demam kompleks). Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid, setelah 2 minggu timbul spasitas.
II. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Survey Primer
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen
segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari
Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang
mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
a. Airway maintenance dengan cervical spine protection
b. Breathing dan oxygenation
c. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
d. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
e. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap
langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika
langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat
melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran
tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai
pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary
survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk
perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian
intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment,
intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza., &
Pletz, 2009)
a. A : Airway ( jalan nafas ) karena pada kasus kejang demam Inpuls-inpuls radang
dihantarkan ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh Hipotalamus
menginterpretasikan impuls menjadi demam Demam yang terlalu tinggi merangsang
kerja syaraf jaringan otak secara berlebihan , sehingga jaringan otak tidak dapat lagi
mengkoordinasi persyarafan-persyarafan pada anggota gerak tubuh. wajah yang
membiru, lengan dan kakinya tesentak-sentak tak terkendali selama beberapa waktu.
Gejala ini hanya berlangsung beberapa detik, tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat
membahayakan keselamatan anak balita. Akibat langsung yang timbul apabila terjadi
kejang demam adalah gerakan mulut dan lidah tidak terkontrol. Lidah dapat seketika
tergigit, dan atau berbalik arah lalu menyumbat saluran pernapasan.
Diagnosa:
- Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd spasme jalan nafas
- Risiko aspirasi bd penurunan reflek menelan
Tindakan yang dilakukan :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
Evaluasi :
- Inefektifan jalan nafas tidak terjadi
- Jalan nafas bersih dari sumbatan
- RR dalam batas normal
- Suara nafas vesikuler

b. B : Breathing (pola nafas) karena pada kejang yang berlangsung lama misalnya lebih
15 menit biasanya disertai apnea, Na meningkat, kebutuhan O2 dan energi meningkat
untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya
asidosis.
Diagnosa:
- Gangguan pertukaran gas
- Gangguan ventilasi spontan
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan kejang,
ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua
dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih
kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler,
diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan
fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
- Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
Evaluasi :
- RR dalam batas normal
- Tidak terjadi asfiksia
- Tidak terjadi hipoxia
c. C : Circulation karena gangguan peredaran darah mengakibatkan hipoksia sehingga
meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mngakibatkan
kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian
hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang
berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.
Tindakan yang dilakukan :
- Mengatasi kejang secepat mungkin
- Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam keadaan kejang,
ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat kejang diulangi suntikan kedua
dengan dosis yang sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih
kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler,
diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan
fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
- Semua pakaian ketat dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
- Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin kebutuhan oksigen
- Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen
Evaluasi :
- Tidak terjadi gangguan peredaran darah
- Tidak terjadi hipoxia
- Tidak terjadi kejang
- RR dalam batas normal
d. Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau karakteristik dari
epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung, dan tidak teringat kejadian saat
kejang
- Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
e. Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah ada cedera
tambahan akibat kejang, dan periksa suhu tubuh pasien untuk mengetahui suhu tubuh
yangmana kejang mungkin disebabkan atau didahului oleh terjadinya demam.
Diagnosa:
- Risiko ketidakefektifan termoregulasi
Tindakan:
- Temukan adanya tanda-tanda kemungkinan terjadinya fraktur akibat kejang yang
dialami
- Berikan suhu ruangan yang sesuai untuk pasien dengan gangguan termoregulasi.

2. Survey sekunder
a. Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat, tanggal
masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama:
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit:
Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-spiritual. Kapan klien mulai
serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan, ada faktor presipitasi seperti suhu tinggi,
kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah pernah menderita sakit berat yang disertai
hilangnya kesadaran, kejang, cedera otak operasi otak. Apakah klien terbiasa menggunakan
obat-obat penenang atau obat terlarang, atau mengkonsumsi alcohol. Klien mengalami
gangguan interaksi dengan orang lain / keluarga karena malu ,merasa rendah diri, ketidak
berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu waspada/berhati-hati dalam hubungan
dengan orang lain.
1) Riwayat kesehatan
2) Riwayat keluarga dengan kejang
3) Riwayat kejang demam
4) Tumor intrakranial
5) Trauma kepala terbuka, stroke
d. Riwayat kejang :
1) Bagaimana frekuensi kejang.
2) Gambaran kejang seperti apa
3) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
4) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
5) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
6) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
e. Pemeriksaan fisik
1) Kepala dan leher : Sakit kepala, leher terasa kaku
2) Thoraks : Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu napas
3) Ekstermitas : Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas,
perubahan tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot
4) Eliminasi : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada post iktal
terjadi inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
5) Sistem pencernaan : Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan
dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak.
Selain pengkajian tersebut, focus pengkajian pada sekondari survey adalah sebagai
berikut.
Menurut Doenges (1993 : 259) dasar data pengkajian pasien adalah:
1) Aktifitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri sendiri / orang
terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot
2) Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis
Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan pernafasan.
3) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine / fekal ).
4) Makanan dan cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang berhubungan dengan
aktifitas kejang.
5) Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan, pusing. Riwayat
trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.
6) Nyeri / kenyaman
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi / gelisah.
7) Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun / cepat,
peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal : apnea.

B. Diagnosa
1. Risiko aspirasi
2. Ketidakefektifan termoregulasi
3. Risiko Ketidakefektifan perfusi jaringan otak
4. Gangguan ventilasi spontan
5. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
C. Intervensi
DIAGNOSA NOC NIC
Risiko Aspirasi NOC Label : NIC Label
Definisi: risiko, masuknya Aspiration Control Aspiration precaution
sekresi gastrointestinal, □ klien dapat bernafas dengan □ monitor tingkat
sekresi orofaring,
kotoran/debu atau mudah kesadaran, reflek batuk
cairan kedalam saluran □ frekuensi nafas normal dan kemampuan
trakeobronkial □ jalan nafas paten
Faktor risiko: □ tidak ada suara nafas menelan
□ penurunan motilitas □ lakukan suction jika
abnormal
gastrointestinal diperlukan
□ pengosongan lambung □ monitor status oksigen,

yang lambat pelihara kepatenan jalan


□ penurunan tingkat nafas
kesadaran
□rahang kaku
Ketidakefektifan NOC Label : NIC Label :
Termoregulasi 1. Thermoregulatio 1. Temperature
n Regulation
Definisi: fluktuasi suhu di
antara hipotermia dan
(outcome keseluruhan) □ Pasang alat monitor
hipertermia □ Tidak merasa merinding
suhu inti secara kontinu,
saat dingin
Batasan karakteristik: sesuai kebutuhan
□ Tidak berkeringat saat
□ Dasar kuku sianotik □ Monitor suhu paling
□ Fluktuasi suhu tubuh di panas
tidak setiap 2 jam,
□ Tidak menggigil saat
atas dan di bawah sesuai kebutuhan
dingin
kisaran normal □ Monitor dan laporkan
□ Mampu melaporkan
□ Hipertensi
tanda dan gejala
□ Kejang kenyamanan suhu
□ Kulit dingin □ Tidak terjadi peningkatan hipotermia dan
□ Kulit hangat
suhu kulit hipertermia
□ Kulit kemerahan
□ Ptidak terjadi penurunan □ Monitor suhu dan warna
□ Menggigil ringan
□ Pengisian ulang kapiler suhu kulit kulit
yang lambat □ Tidak terdapat tanda-tanda □ Monitor tekanan darah,
□ Peningkatan frekuensi nadi dan respirasi,
hipertermia
pernapasan □ Tidak terdapat tanda-tanda sesuai kebutuhan.
□ Peningkatan suhu tubuh □ Tingkatkan intake
di atas kisaran normal hipotermia cairan dan nutrisi
□ Penurunan suhu tubuh □ Tidak terdapat sakit kepala adekuat.
di bawah kisaran □ Tidak terdapat sakit otot □ Berikan medikasi yang
□ Tidak terdapat sifat lekas
normal tepat untuk mencegah
□ Piloereksi marah
□ Pucat sedang □ Tidak mengantuk atau mengontrol
□ Takikardia □ Tidak menimbulkan menggigil.
□ Diskusikan pentingnya
perubahan warna kulit
□ Tidak terdapat otot termoregulasi dan
berkedut kemungkinan efek
□ Tidak timbul dehidrasi negatif dari demam

2. Vital Signs yang berlebihan, sesuai


□ Suhu tubuh dalam rentang: kebutuhan.
36 C-37,5 C
□ Irama jantung sinus ritem 2. Vital Signs
□ Denyut nadi 60-100x/menit Monitoring
□ Frekuensi pernapasan 15- □ Monitor tekanan darah,
20x/menit nadi, suhu, dan status
□ Irama pernapasan teratur
□ Tekanan darah sistolik 100- pernapasan yang tepat
□ Monitor suara paru-paru
120 mmHg □ Monitor Oksimetri nadi
□ Tekanan darah diastolic 60- □ Monitor akan adanya
90 mmHg kuku clubbing
□ Tekanan nadi kuat □ Monitor warna
kulit,suhu, dan
3. Risk Control:
kelembaban
Hyperthermia □ Identifikasi
□ Mampu mencari informasi
kemungkinan penyebab
terkait hipertermia
□ Mampu mengidentifikasi perubahan tanda-tanda

factor risiko hipertermia vital


□ Mampu mengenali faktor □ Monitor sianosis sentral

risiko individu terkait dan perifer

hipertermia
3. Hyperthermia
□ Mampu mengenali kondisi
Treatment
tubuh yang dapat □ Pastikan kepatenan jalan
mempercepat produksi nafas
panas □ Berikan oksigen sesuai
□ Mampu memonitor kebutuhan
lingkungan terkait factor □ Hentikan aktifitas fisik
□ Longgarkan atau
yang meningkatkan suhu
lepaskan pakaian pasien
tubuh
□ Berikan cairan IV,
□ Mampu mengetahui
gunakan cairan yang
hubungan usia dengan suhu
sudah didinginkan
tubuh
□ Mampu memodifikasi sesuai kebutuhan
□ Lakukan pemeriksaan
lingkungan sekitar untuk
laboratorium, serum
mengontrol suhu tubuh
□ Mampu memonitor elektrolit, urinalisis,
perubahan status tubuh enzim jantung, enzim
□ Mampu memodifikasi hati dan hitung darah
intake cairan sesuai lengkap, monitor
kebutuhan hasilnya
□ Mampu memodifikasi □ Monitor hipoglikemi
aktivitas fisik untuk □ Monitor urine output
□ Monitor hasil EKG
mengontrol suhu tubuh
□ Monitor AGD
□ Mampu memakai pakaian
□ Instruksikan pasien
yang sesuai untuk
mengenai tanda dan
melindungi kulit
gejala awal dari kondisi
□ Mampu mempertahankan
sakit yang berhubungan
keutuhan kulit
□ Mampu berpartisipasi dengan panas dan kapan
dalam menskrining mencari bantuan
masalah kesehatan yang petugas kesehatan
meningkatkan risiko 4. Environmenta
□ Mampu melakukan
l Management
tindakan mandiri untuk □ Singkirkan benda-benda
mengontrol suhu tubuh yang berbahaya dari
□ Mampu mengenali obat-
obatan yang berefek pada pasien
suhu tubuh □ Sediakan tempat tidur
□ Mampu mencegah aktivitas dan lingkungan yang
berlebih untuk mengurangi bersih dan nyaman
risiko □ Sesuaikan suhu
□ Mampu mencegah lingkungan dengan
konsumsi alkohol kebutuhan pasien, jika
suhu tubuh berubah
4. Comfort Status:
□ Hindari dari paparan
Environment
dan aliran udara yang
□ Peralatan yang dibutuhkan
tidak perlu terlalu panas
berada dalam jangkauan
□ Lingkungan yang kondusif dan terlalu dingin
□ Edukasi pasien dan
untuk tidur
□ Adanya kepuasan dengan pengunjung mengenai
lingkungan fisik perubahan/tindakan
□ Terciptanya ketertiban pencegahan,sehingga
lingkungan mereka tidak akan
□ Terjaganya kebersihan
sengaja mengganggu
lingkungan
lingkungan yang
□ Tidak ada yang berserakan
direncanakan
di lantai
□ Perangkat keselamatan
digunakan dengan tepat
□ Pencahayaan ruangan
cukup
□ Privasi terjaga
□ Ketersediaan ruang untuk
pengunjung
□ Tempat tidur yang nyaman
□ Dapat melakukan kontrol
terhadap suara ribut

Risiko Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan Cerebral perfusion


Perfusi Jaringan Otak keperawatan selama ...x... promotion
Faktor Risiko: jam tidak terjadi □ Konsultasi dengan
□ Agens farmaseutikal peningkatan tekanan intra
□ Aterosklerosis aortic kranial dengan kriteria dokter untuk
□ Baru terjadi infark hasil :
menentukan parameter
NOC :
miokardium
Tissue Perfusion: Cerebral hemodinamik, dan
□ Diseksi arteri
□ Tekanan darah (sistolik dan
□ Embolisme mempertahankan
□ Endocarditis infektif diastolik) dalam batas
hemodinamik dalam
□ Fibrilasi atrium
normal
□ Hiperkoleterolimia rentang yg diharapkan
□ MAP dalam batas normal
□ Hipertensi
□ Sakit kepala □ Monitor MAP
□ Kardiomiopati dilatasi
□ Katup prostetik berkurang/hilang □ Berikan agents yang
□ Tidak gelisah
mekanis memperbesar volume
□ Tidak mengalami muntah
□ Koagulasi intravascular
□ Tidak mengalami intravaskuler misalnya
diseminata
penurunan kesadaran (koloid, produk darah,
□ Koagulapati (mis.
atau kristaloid)
Anemia sel sabit)
□ Masa prothrombin □ Konsultasi dengan
abnormal dokter untuk
□ Masa trombaplastin
mengoptimalkan posisi
parsial abnormal
kepala (15-30 derajat)
□ Miksoma atrium
□ Neoplasma otak dan monitor respon
□ Penyalahgunaan zat
pasien terhadap
□ Segmen ventrikel kiri
pengaturan posisi kepala
akinetic
□ Sindrom sick sinus □ Berikan calcium
□ Stenosis carotid
channel blocker,
□ Stenosis mitral
□ Terapi trombolitik vasopressin, anti nyeri,
□ Tumor otak (mis.
anti coagulant, anti
Gangguan
platelet, anti trombolitik
serebrovaskular,
□ Monitor nilai PaCO2,
penyakit neurologis,
SaO2 dan Hb dan
trauma, tumor)
cardiac out put untuk
menentukan status
pengiriman oksigen ke
jaringan
Gangguan ventilasi spontan Setelah dilakukan tindakan Bantuan Ventilasi
Batasan Karakteristik : keperawatan ..x.. jam □ Pertahankan kepatenan
□ Dispnea diharapkan mampu jalan nafas
mempertahankan □ Posisikan pasien untuk
□ Gelisah
pernafasan yang adekuat
mengurangi dispnea
□ Ketakutan dengan kriteria :
□ Posisikan untuk
NOC :
□ Peningkatan frekuensi
Respiratory status : Ventilation memfasilitasi
jantung □ Respirasi dalam batas
pencocokan
□ Peningkatan laju normal (dewasa: 16-
ventilasi/perfusi (good
metabolisme 20x/menit)
lung down) dengan
□ Irama pernafasan teratur
□ Peningkatan PCO2
□ Kedalaman pernafasan tepat
□ Peningkatan □ Monitor efek-efek
normal
penggunaan otot □ Suara perkusi dada normal perubahan posisi pada
aksesorius (sonor) oksigenasi : ABG,
□ Tidak ada retraksi otot dada
□ Penurunan kerja sama SaO2, tidak akhir CO2,
□ Suara nafas vesikuler
□ Penurunan PO2 □ Tidak terdapat orthopnea QSP/QT, Tingkat A-
□ Taktil fremitus normal
□ Penurunan SaO2 aDO2
antara dada kiri dan dada □ Anjurkan pernafasan
Faktor yang berhubungan :
□ Gangguan metabolisme kanan lambat yang dalam,
□ Keletihan otot □ Tidak ada dispnea
berbalik dan batuk
□ Ekspansi dada simetris
pernafasan □ Auskultasi suara nafas,
□ Tidak terdapat akumulasi
catat area-area
sputum
□ Tidak terdapat penggunaan penurunan atau tidak
otot bantu napas adanya venrilasi dan
Respon Ventilasi Mekanik : suara tambahan
Dewasa □ Mulai dan pertahankan
□ Respirasi dalam batas
oksigen tambahan
normal (dewasa: 16- □ Kelola pemberian obat
20x/menit) nyeri yang tepat untuk
□ Irama pernafasan teratur
mencegah hipoventilasi
□ Kedalaman pernafasan
□ Monitor pernafasan dan
normal
status oksigenasi
□ PaO2 dalam batas normal
□ Beri obat (misalnya
(80 mmHg-100 mmHg)
bronkodilator dan
□ PaCO2 dalam batas normal
inhaler) yang
(35 mmHg- 45 mmHg)
□ SaO2 dalam bats normal meningkatkan patensi
(95%-100%) jalan nafas dan
□ Tidak kesulitan bernafas
pertukaran gas
menggunakan ventilator □ Ajarkan teknik
□ Pasien tenang
pernafasan dengan
mengerucutkan bibir
dengan tepat
Manajemen Jalan Nafas
□ Buka jalan nafas
menggunakan teknik
chin lift atau jaw thrust
□ Posisikan pasien untuk
memaksimalkan
ventilasi
□ Identifikasi kebutuhan
aktual/potensial pasien
untuk memasukkan alat
membuka jalan nafas
□ Lakukan fisioterapi
dada
□ Buang sekret dengan
memotivasi pasien
untuk melakukan batuk
atau menyedot lendir
□ Anjurkan pasien untuk
batuk efektif
□ Auskultasi suara nafas,
catat area yang
ventilasinya menurun
atau tidak ada dan
adanya suara tambahan
□ Kelola pemberian
bronkodilator
□ Kelola pemberian
nebulizer
□ Posisikan untuk
meringankan sesak
nafas
□ Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi
Manajemen Ventilasi
Mekanik : Non Invasif
□ Monitor kondisi yang
memerlukan dukungan
ventilasi noninvasive
□ Monitor kontraindikasi
dukungan ventilasi non-
invasive
□ Informasikan kepada
klien dan keluarga
mengenai rasionalisasi
dan, sensasi yang
diharapkan sehubungan
dengan penggunaan
ventilasi non-invasive
□ Tempatkan klien pada
posisi semi fowler
□ Observasi klien secara
berkelanjutan pada jam
pertama penggunaan
ventilator untuk
mengkaji toleransi klien
□ Pastikan alarm
ventilator dalam
keadaan hidup
□ Monitor penurunan
volume ekspirasi dan
peningkatan tekanan
inspirasi
□ Monitor aktivitas-
aktivitas yang dapat
meningkatkan konsumsi
oksigen yang bisa
merubah pengaturan
ventilator dan
menyebabkan desaturasi
oksigen
□ Monitor gejala-gejala
yang menunjukkan
peningkatan pernafasan
(misalnya, peningkatan
denyut nadi dan
pernafasan, peningkatan
tekanan darah,
diaphoresis, perubahan
status mental)
□ Monitor efektifitas
ventilasi mekanik
terhadap status
fisiologis dan psikologis
klien
□ Inisiasi teknik relaksasi
yang sesuai
□ Berikan perawatan
untuk mengurangi
distress klien (misalnya,
memberikan posisi,
merawat efek samping
seperti rhinitis,
kerongkongan kering
atau berikan sedative
atau anastesi; periksa
peralatan secara berkala,
bersihkan dan ganti
peralatan non-invasive
□ Kosongkan air yang
sudah keruh dari tabung
air
□ Pastikan pergantian
sirkuit ventilator setiap
24 jam
□ Monitor kerusakan
mukosa ke mulut, nasal,
trakea, atau jaringan
laring
□ Monitor sekresi paru-
paru terkait dengan
jumlah, warna dan
konsistensi, serta
dokumentasikan semua
hasil temuan
□ Lakukan fisioterapi
dada yang sesuai
□ Tingkatkan pengkajian
rutin untuk kriteria
penyapihan (misalnya,
perbaikan kondisi
sebelum ventilasi,
kemampuan untuk
mempertahankan
pernafasan yang
adekuat)
□ Berikan perawatan
mulut secara rutin
dengan kapas yang
lunak dan basah,
antiseptic dan
melakukan suksion
secara perlahan
□ Dokumentasikan semua
respon klien terhadap
ventilator dan
perubahan ventilator
(misalnya, observasi
pergerakan
dada/auskultasi,
perubahan x-ray,
perubahan ABGs)
□ Pastikan peralatan
kegawatdaruratan
berada disisi tempat
tidur sepanjang waktu
(misalnya, manual
resusitasi yang
tersambung ke oksigen,
masker, peralatn
suksion) termasuk
persiapan untuk
kehilangan daya
mati/mati listrik
Ketidakefektifan bersihan Setelah dilakukan tindakan Airway Management
jalan nafas keperawatan ..x.. jam □ Buka jalan nafas
Batasan Karakteristik : diharapkan mampu
menggunakan head tilt
□ Batuk yang tidak efektif mempertahankan
kebersihan jalan nafas chin lift atau jaw thrust
□ Dispnea
dengan kriteria :
bila perlu
□ Gelisah NOC :
□ Posisikan pasien untuk
□ Kesulitan verbalisasi Respiratory status : Airway memaksimalkan
Patency
□ Mata terbuka lebar ventilasi
□ Respirasi dalam batas
□ Identifikasi pasien
□ Ortopnea
normal
perlunya pemasangan
□ Penurunan bunyi nafas □ Irama pernafasan teratur
□ Kedalaman pernafasan alat jalan nafas buatan
□ Perubahan frekuensi
normal (NPA, OPA, ETT,
nafas
□ Tidak ada akumulasi
Ventilator)
□ Perubahan pola nafas
sputum □ Lakukan fisioterpi dada
□ Sianosis □ Batuk berkurang/hilang
jika perlu
□ Sputum dalam jumlah □ Bersihkan secret dengan
yang berlebihan suction bila diperlukan
□ Auskultasi suara nafas,
□ Suara nafas tambahan
catat adanya suara
□ Tidak ada batuk
tambahan
Faktor yang
berhubungan : □ Kolaborasi pemberian
Lingkungan :
oksigen
□ Perokok
□ Perokok pasif □ Kolaborasi pemberian
□ Terpajan asap
obat bronkodilator
Obstruksi jalan nafas :
□ Monitor RR dan status
□ Adanya jalan nafas
oksigenasi (frekuensi,
buatan
□ Benda asing dalam irama, kedalaman dan
jalan nafas usaha dalam bernapas)
□ Eksudat dalam alveoli □ Anjurkan pasien untuk
□ Hiperplasia pada
batuk efektif
dinding bronkus □ Berikan nebulizer jika
□ Mukus berlebih
diperlukan
□ Penyakit paru obstruksi
Asthma Management
kronis □ Tentukan batas dasar
□ Sekresi yang tertahan
respirasi sebagai
□ Spasme jalan nafas
pembanding
Fisiologis :
□ Bandingkan status
□ Asma
□ Disfungsi sebelum dan selama
neuromuskular dirawat di rumah sakit
□ Infeksi
untuk mengetahui
□ Jalan nafas alergik
perubahan status
pernapasan
□ Monitor tanda dan
gejala asma
□ Monitor frekuensi,
irama, kedalaman dan
usaha dalam bernapas

DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Media Aesculapius: Jakarta.
Doenges, Marillyn E, dkk. 2000. Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan.
EGC: Jakarta.
IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis.Hal: 253. Jakarta: IDAI.
Judha M & Rahil H.N. 2011. Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan. Yogyakarta:
Gosyen Publishing.
Krisanty P, dkk. 2008.Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Trans Info Media:Jakarta.
Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2. Jakarta : EGC.
Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1, Yogyakarta : Graha
Ilmu

Infeksi bakteri, Rangsangan mekanik dan


virus, dan biokimia. Gangguan
parasit keseimbangan cairan
Reaksi inflamasi
dan elektrolit
Proses demam
Perubahan konsentrasi ion di
Kelainan neurologis
ruang ekstra seluler
perinatal/prenatal

Ketidakseimbangan Perubahan difusi Na+ dan K+


potensial membran
ATP ASE Perubahan beda potensial
Pelepasan muatan listrik membrane sel neuron
semakin meluas
keseluruh sel maupun
membrane sel
sekitarnya dengan
bantuan
neurotransmitter

Pathway Kejang Demam


Kurang dari 15 menit (KDS) Lebih dari 15 menit (KDK)

Kesadaran Kontraksi otot meningkat Perubahan suplai darah ke


menurun otak

Metabolisme meningkat Resiko kerusakan sel neuron


Reflek menelan
otak
menurun
Resiko ketidakefektifan
perfusi jaringan otak
Resiko aspirasi
Suhu tubuh makin meningkat

Termolegulasi
Gangguan Ventilasi
Gangguan sarafSpontan
Kejang otonom
Tidak efektif
LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN
KEJANG DEMAM PADA ANAK
OLEH:
NI PUTU DIAN APRILIA
NIM. P07120215002
D-IV KEPERAWATAN/4A
SEMESTER VII

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHAAN DENPASAR
TAHUN AJARAN 2018/2019

Anda mungkin juga menyukai