Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PARAMYXOVIRIDAE

1.1 NEWCASTLE DISEASE

Epizotiologi

Newcastle Disease (ND) dilaporkan pertama kali di Jawa oleh Kraneveld pada

tahun 1926. Doyle pada tahun 1927 berhasil mengisolasi virusnya pada suatu wabah yang

terjadi di Newcastle Upon Tyne Inggris. ND merupakan penyakit endemik hampir

diseluruh dunia kecuali di Benua antartika.

Wabah ND umumnya terjadi pada saat peralihan musim yaitu pada musim panas

ke musim penghujan atau sebaliknya. Perubahan musim yang tajam sering terjadi di

negara subtropis

Pada tahun 1973-1979 LPPH Bogor mengamati kejadian ND di Indonesia, dimana

pada bulan Mei-Juni yaitu pada pertengahan musim kering tercatat paling rendah (10,6 %)

kemudian naik sampai 24,2 % pada bulan November-Desember atau permulaan musim

hujan.

Kejadian ND yang dilaporkan kebanyakan disebabkan oleh virus ND tipe

velogenik, namun beberapa peternakan ayam di Australia di infeksi oleh virus ND tipe

lentogenik. Kematian akibat virus ND tipe velogenik atau tipe Asia paling tinggi,

sedangkan akibat velogenik tipe Amerika kematiannya 60-80% dan akibat serangan tipe

mesogenik sekitar 10% .

Newcastle Disease menyerang unggas semua umur baik yang dipelihara maupun

yang hidup secara liar termasuk berbagai jenis burung. ND juga menyerang manusia

1
ditandai dengan konjungtivitas yang berlangsung satu hari dan limfadenitas tetapi segera

terjadi penyembuhan.

Penularan ND dapat terjadi dari satu hewan ke hewan lain melalui kontak dengan

hewan yang sakit dan bangkai penderita. Penularan dari satu tempat ketempat lain dapat

terjadi melalui pengangkutan, pekerja kandang, debu, angin, serangga dan makanan yang

tercemar.

Di Indonesia peranan ayam buras masih menonjol dalam penyebaran ND. Hal ini

disebabkan karena sistem pemeliharaan yang kurang intensif, sehingga sulit untuk di

kontrol.

Etilogi

Newcastle Disease disebabkan oleh paramyxovirus. Virus ini termasuk familia

myxovirus dan satu genus dengan virus sendai, parainfluensa-1, 2 dan 3 serta mumps.

Pada dekade terakhir ini telah berhasil diungkapakn 9 serotipe paramyxovirus dan virus

ND termasuk paramyxovirus-1 (PMV-1).

Bentuk virus bervariasi dari bulat dan oval dengan diameter 70-80 nm (nanometer)

sampai bentuk filamen dengan panjang 124-200nm. Sedangkan partikel virus yang

lengkap (virion) berukuran 120 sampai 300 nm, tetapi lazimnya berukuran 180 nm.

Virus ND tersusun atas asam inti ribo beruntai tunggal (ss-RNA) dengan struktur

helikal. Disebelah luar dari asam inti terdapat lapisan yang disebut capsid. Kedua struktur

ini disebut nucleocapsid dan dibungkus oleh amplop. Amplop tersusun atas lipid, protein

dan karbohidrat. Membran proteinnya terdiri dari glikoprotein dan matriks protein yang

berhubungan dengan aktivitas hemaglutinin dan neuraminidase yang terletak pada satu

2
peplomer. Glikoprotein memiliki ujung glikosilat hidrofilik pada lapisan lemak. Lapisan

lemak dapat dirusak oleh pelarut lemak sehingga dapat mengganggu virion.

Sifat Fisiko-Kimiawi Virus ND

Resistensi virus ND terhadap agen kimia dan fisik ditentukan oleh perubahan yang

terjadi atas kemampuan virus mengaglutinasi eritrosit, menginfeksi sel hospes dan

menginduksi respon immunogenik. Kemampuan tersebut terbatas karena dapat

dipengaruhi bahkan dirusak oleh berbagai tingkat perlakuan fisik maupun kimia, seperti

pengaruh panas, sinar ultraviolet,sinar-X, proses oksidasi, perubahan PH dan senyawa-

senyawa kimia lainnya.

Virus ND secara cepat diinaktifkan oleh formalin, alkohol, pelarut lemak dan lysol.

Virus juga menjadi inaktif oleh potassium permanganat, kresol, lisol, asam karbol, ether,

metil dan etil alkohol, Natrium Hidroksida. Pengaruh inaktivasi zat-zat kimia bergantung

pada zat yang terlarut dalam medium. Jumlah protein dalam medium akan dapat

mengurangi efek dari zat-zat kimia, sehingga dapat menghambat inaktivasi virus ND.

Virus ND sangat peka terhadap panas. Virus segera rusak bila dipanaskan pada

suhu 1000C selama 1 menit dan inaktif pada suhu 560C. galur virus ND velogenik, pada

suhu 560C stabil selama 30-120 menit sedangkan galur lentogenik dapat bervariasi dari 0-

120 menit. Pada suhu 600C hemaglutinin stabil selama 5-30 menit, suhu 200C stabil

selama beberapa minggu dan pada suhu 4-80C galur virus termostabilitasnya telah

diketahui seperti galur B1, La Sota dan F adalah 5 menit, sedangkan V4 selama 2 jam.

3
Sifat Biologis Virus ND

Virus ND memiliki beberapa sifat biologis yang dapat dibedakan dengan virus lain

baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Virus ND berdasarkan virulensinya dapat

diklasifikasikan kedalam 3 tipe yaitu tipe velogenik, mesogenink, dan lentogenik.

Virulensi virus tersebut dapat debedakan berdasarkan :

1. Mean death Time (MDT)

Mean Death Time dinyatakan dalam jam yaitu rata-rata waktu yang diperlukan

oleh virus pada satu dosis letal minimum untuk dapat membunuh embrio ayam umur 9

sampai 11 hari. MDT untuk virus ND dan galur V 4 membutuhkan waktu yang tidak

terhingga atau jarang sekali, bahkan sama sekali tidak terjadi kematian pada embrio ayam,

sedangkan untuk virus ND galur F, B1, La Sota dan Komarov berturut-turut adalah 119

jam, 117 jam, 103 jam dan 69 jam.

2. Intracerebral Pathogenecity Index (ICPI)

Intracerebral Pathogenecity Index adalah waktu yang diperlukan untuk membunuh

atau menunjukkan gejala penyakit pada anak-anak ayam umur sehari setelah dilakukan

inokulasi virus melalui intracerebral. Hasilnya dinyatakan dengan sistem skor dengan

harga nilai maksimal adalah 3 yang berarti mortalitas sebesar 100% dalam waktu 1 hari

dan nilai minimum 0 yang berarti tidak tampak gejala klinis setelah 8 hari. ICPI untuk

virus ND tipe velogenik, mesogenik dan lentogenik adalah 2, 0-3,0;0,4-1,9 dan 0,0-0,4.

ICPI untuk virus ND galur V4, F,B1, La Sota (lentogenik) dan komarov (mesogenik)

berturut-turut adalah 0,16; 0,25; 0,40; 0,15 dan 1,14.

4
3. Intravenous Pathogenecity Index

Intravenous Pathogenecity Index dapat ditentukan seperti halnya pada ICVI, akan

tetapi digunakan anak ayam umur 6 minggu. IVPI untuk virus ND tipe velogenik,

mesogenik dan lentogenik berturut-turut adalah 0,5-2,8; 0,0-0,5 dan 0,0.

Virus ND mempunyai kemampuan hemaglutinasi yang menyebakan terjadinya

adsorpsi antara hemaglutinin dan reseptor yang terdapat pada permukaan eritrosit.

Aktivitas hemaglutinin dapat dideteksi dengan uji hemaglutinasi.

Pada proses hemaglutinasi pertama akan terjadi penempelan virus pada subsatnsi

reseptor eritrosit, kemudian diikuti perusakan substansi reseptor tersebut oleh enzim

neuraminidase, peristiwa ini disebut dengan elusi. Kecepatan elusi antara galur virus

sangat bervariasi. Galur B1dan F mempunyai tingkat elusi cepat yaitu 2 jam dan 20 jam,

sedangkan untuk galur virus V4 dan La Sota mempunyai tingkat elusi lambat, yaitu 120

jam.

Eritrosit hewan yang dapat diaglutinasi oleh virus ND adalah: sel darah merah

kambing, kerbau, kelinci, marmut, mencit, ayam, angsa, entok, itik, kalkun, merpati,

kakatua dan manusai golongan darah O. Namun saat ini sel darah merah ayam digunakan

sebagai standar uji aglutinasi.

Gejala Klinis ND

Gejala klinis yang dapat diamati, penderita umumnya menunjukkan depresi,

anorexia, tagih minum, ngorok, leleran hidung dari serus sampai purulen, gejala syaraf

ditandai dengan kelemahan anggota gerak, tortikolis, tremor, opistotonus dan melanjut

terjadi kelumpuhan. Ayam mengalami diare putih kehijauan dan dehidrasi. Dalam keadaan

ini biasanya segera terjadi kematian.

5
Masa inkubasi penyakit pada kasus alami bervariasi dari 12-15 hari atau dapat

berlangsung lebih lama bergantung dari galur virus, kepekaan unggas, status kekebalan

dan cara penularan.

Berdasarkan gejala klinis dikenal 4 bentuk penyakit yaitu :

1. Bentuk Doyle

Bentuk penyakit ini bersifat akut dan mematikan ayam semua umur dengan tingkat

kematian mencapai 100%. Bentuk penyakit ini disebabkan oleh virus ND

velogenik atau disebut juga tipe Asia dan lebih dikenal dengan virus ND tipe

viscerotgropis velogenik (VVND). Secara klinis penderita memperlihatkan sesak

napas (dypsnoe), kebengkakan disekitar mata, leher, muka atau kepala, serta diare

putih kehijauan dan kadang-kadang terjadi dehidrasi. Suhu tubuh biasanya tinggi

pada awal infeksi dan turun menjelang kematian. Selain itu dapat pula diamati

gejala syaraf seperti tremor, tortikolis, opistotonus sampai paralisa anggota gerak.

2. Bentuk Beach

Bentuk penyakit ini disebabkan oleh virus ND neurotropik-velogenik. Dilaporkan

oleh Beach tahun 1994. penyakit bersifat akut dan sering mengakibatkan kematian

pada ayam semua umur. Bentuk penyakit ini ditandai dengan gejala sesak napas,

batuk-batuk, mengap-mengap, anorexia dan diikuti penurunan produksi telur

bahkan berhenti sama sekali. Gejala syaraf terlihat setelah 1-2 hari atau lebih,

ayam yang sakit sempoyongan, gemetar, kejang-kejang, tortikolis dan akhirnya

lumpuh.

6
3. Bentuk Beaudett

Bentuk penyakit ini disebabkan oleh virus ND tipe mesogenik. Dilaporkan oleh

Beaudett tahun 1946. penyakit ditandai dengan gangguan pernapasan dan kadang-

kadang infeksi syaraf. Penyakit ini mengakibatkan kematian pada ayam umur

muda dan jarang pada umur yang lebih tua.

4. Bentuk Hitchner

Bentuk penyakit ini disebabkan oleh virus ND tipe lentogenik. Dilaporkan oleh

Hitchner tahun 1948 dan 1950. penyakit ditandai dengan infeksi ringan atau

infeksi saluran pernafasan yang sub klinis.

Diagnosa ND

Newcastle Disease didiagnosa berdasarkan atas epizootologi, gejala klinins,

patologis, virologis serta pengukuhan diagnosa melalui pemeriksaan laboratorium dangan

pemeriksaan serologis yaitu isolasi dan identifikasi.

Kejadian ND pada umumnya bersifat endemik dengan gejala klinis dan perubahan

patologis sangat bervariasi. Kehebatan penyakit bergantung dari galur virus, jenis dan

umur hospes, adanya infeksi sekunder dan faktor lingkungan.

Nilai diagnosa secara serologis sangat bergantung dari pada status vaksinasi atau

infeksi alam. Adanya antibodi dalam serum atau tanpa diikuti gejala klinis merupakan

indikasi adanya infeksi ND. Secara umum uji serologis yang lazim digunakan untuk

deteksi ND dan sebagai indikator derajat kekebalan kelompok ayam dalam suatu

peternakan adalah uji hambatan hemaglutinasi (HI) secara beta prosedur yaitu prosedur

virus konstan dengan berbagai konsentrasi serum.

7
Peranan uji HI sebagai salah satu uji serologis cukup penting, karena cukup

sederhana, murah dan efiksien. Hasil uji ini mempunyai korelasi positip dengan hasil uji

tantangan mempergunakan virus ND yang ganas.

Dalam uji HI antibodi menghambat proses hemaglutinasi dengan cara menyelimuti

virus. Telah diketahui pula bahwa immunoglobulin (Ig) yang memegang peran utama

dalam uji HI untuk parfamyxovirus adalah Ig G sedangkan Ig M disini tidaklah penting.

Pada uji HI titer HI didapatkan dari antibodi yang mengikat secara langsung

hemaglutinin virus. Pada uji HI secara efektif yang berpengaruh adalah fragmen antibodi

univalen, sehingga diperlukan sejumlah antibodi per virion, untkdapat menyelimuti

selujruh virion yang berperan dalam adsorpsi.

Init pengujian ini terletak pada kemampuan antibodi setelah diencerkan untuk

menghalangi penggumpalan sel-sel darah merah dengan antigen. Bila terdapat antibodi

yang cukup maka akan menetralkan antigen sehingga terjadi sedikit atau sama sekali tidak

terjadi penggumpalan pada setiap lubang.

Titer HI dinyatakan sebagai kebalikan pengenceran serum tertinggi yang dapat

menghambat hemaglutinasi 100%. Pada pengenceran serum kelipatan dua titer HI pada

umumnya dinyatakan sebagai logaritma berbaris dua dan pada uji HI yang diulang

beberapa kali untuk mendapatkan suatu nilai yang lebih mendekati ketepatan, digunakan

rata-rata titer geometrik atau Geometgric Mean Titer (GMT) yaitu rata-rata logaritma

beberapa ulangan yang ada.

8
Sistem Kekebalan Pada Ayam

Pada unggas antibodi merupakan benteng pertahanan terhadap penyakit. Antibodi

terbentuk dari rantai ikatan zat yang menyerupai protein disebut immunoglobulin (Ig).

Immunoglobulin yang penting sebagai benteng pertahanan dibedakan menjadi 3

jenis yaitu :

1. Ig M, merupakan antibodi dengan ukuran terbesar. Ig M dengan mudah dapat berikatan

dengan berbagai bibit penyakit.

2. Ig G, yaitu suatu molekul kecil yang ditemukan dalam aliran darah. Ig G kurang efisien

dibanding Ig M karena hanya sedikit bagian dari permukaannya yang mampu

menangkap virus, namun antibodi ini dapat bertahan dalam waktu yang lebih lama dari

Ig M.

3. Ig A, berukuran sedang diantara ukuran Ig G dan Ig M. Ig A aktif baik dalam sirkulasi

darah maupun dalam sekresi cairan tubuh, namun Ig A ini sulit ditunjukkan dengan uji

laboratorium seperti halnya Ig M dan Ig G. Untuk menunjukkan seekor ayam memiliki

Ig A dapat dilakukan dengan uji tanding.

Sistem kekebalan pada ayam dibagi dalam dua bagian yaitu T limfosit yang

dihasilkan oleh thymus berperan dalam kekebalan celluler (Cell Mediated Immunity) dan

B limfosit yang dihasilkan oleh bursa yang berperan dalam penghasil sel dari pembentuk

antibodi sel plasma. Sistem kekebalan ini sedikit berbeda dengan sistem kekebalan pada

hewan mamalia. Perbedaan tersebut terletak pada kelengkapan alat tubuhnya yang

berperan di dalam mekanisme immunologik yaitu, pada unggas mempunyai bursa

fabricius tetapi tidak mempunyai lymphnode. Sebagai penggantinya adalah kelompok

limfosit yang terdapat pada bursa fabricius.

9
Respon kekebalan sebenarnya tidak hanya berarti pembentukan antibodi yang

bersikulasi didalam darah, namun antibodi yang terbentuk itu ditemukan juga didalam

cairan-cairan sekresi tubuh seperti cairan lendir mulut dan saluran pernapasan serta reaksi

sel terhadap suatu penyakit yang umumnya dikenal dengan kekebalan jaringan. Kekebalan

ini memang tidak dapat diukur dengan uji darah. Antibodi yang ditemukan di dalam

sekresi tubuh adalah bagian cairan pelindung tubuh yang sangat penting terhadap

penyakit. Zat ini disebut antibodi lokal atau kekebalan lokal).

Dalam banyak kasus antibodi lokal merupakan garis pertahanan tubuh yang utama

terhadap serangan bakteri atau virus patogen dengan menghentikan infeksi dalam lapisan

sel saluran pernapasan dan saluran pencernaan. Respon immunologik terjadi bila tubuh

mendapat tantangan antigen. Reaksi yang terjadi dapat bersifat humoral atau celluler.

Kekebalan ini dapat diperoleh dari vaksinasi dimana derajatnya begantung dari tipe virus

yang menginfeksinya, macam vaksin, aplikasi vaksinasi serta kekebalan pre vaksinasi.

Kekebalan juga dimiliki oleh anak ayam yang baru menetas yang didapatkan dari

induknya, disebut kekebalan bawaan (maternal antibodi) yang bersifat siap pakai.

Kekebalan ini bersifat sementara, yaitu kira-kira sampai berumur 4-6 minggu. Kekebalan

bawaan dapat pula diperoleh dari induk yang sudah sembuh dari serangan virus ND.

Kekebalan ini dapat menghalangi terbentuknya kekebalan aktif.

Tindakan Pencegahan dan Pengendalian ND

Sampai sekarang ND belum ada obatnya. Bermacam-macam antibiotik termasuk

yang berspektrum luas tidak efektif terhadap virus ND. Penggunaan antiserum kurang

praktis dan harganya relatif sangat mahal. Maka tindakan yang paling baik adalah

pencegahan ayam dari serangan ND. Penularan ND dapat dicegah dengan menjaga

10
sanitasi dan menjadikan ayam kebal terhadap ND. Pada ayam yang kebal jika terjadi

infeksi virus virulen, maka ayam tersebut tidak akan sakit dan virus tidak akan

diekskresikan keluar tubuh, karena secara tuntas telah dinetralisir dalam tubuh.

Antibodi dapat terjadi secara aktif ataupun pasif. Antibodi pasif terjadi karena

pemindahan serum dari ayam yang kebal kepada ayam yang lain atau dapat pula terjadi

karena pemindahan dari induk pada waktu pembentukan kuning telur, yang disebut

dengan antibodi maternal. Antibodi aktif terjadi karena vaksinasi atau infeksi alam yang

subklinis. Antibodi aktif dapat mencapai titer yang tinggi dan bertahan lebih lama.

Tindakan yang paling baik dan lazim digunakan untuk mencegah ayam dari

serangan ND adalah kombinasi antara kesehatan sistem pengelolaan dan vaksinasi yang

teratur.

Pencegahan ayam dari serangan ND dengan cara vaksinasi dapat dilakukan dengan

menggunakan vaksin aktif maupun kombinasi vaksin aktif dan inaktif, sehingga diperoleh

kekebalan yang cukup untuk menahan serangan ND. Vaksin adalah sediaan yang

mengandung antigen baik merupakan kuman mati ataupun hidup yang dilumpuhkan

virulensinya tanpa merusak potensi antigennya dengan maksud untuk menimbulkan

kekebalan aktif yang khas terhadap kuman atau toxinnya.

Ada dua jenis vaksin yang dikenal yaitu vaksin vaksin aktif dan vaksin inaktif.

Vaksin aktif yaitu vaksin yang mengandung virus hidup atau virus yang telah dilemahkan.

Vaksin inaktif yaitu vaksin yang virusnya telah dimatikan. Jenis vaksin aktif yang dipakai

adalah dari galur mesogenik (Kumarov,Roakin dan Muktiswar), lentogenik (B 1, F, La Sota

dan V4), sedangkan virus galur velogenik (virus lapangan) dipakai sebagai virus tantangan.

Bila ada antigen masuk ke dalam tubuh, maka dapat menimbulkan dua jenis reaksi

immunologik, yaitu berupa : sintesis dan pelepasan antibodi bebas ke dalam darah dan

11
cairan tubuh lainnya (antibodi humoral) dan permukaan limfosit yang peka dengan

molekul-molekul yang menyerupai antibodi pada permukaannya.

Mekanisme reaksi tersebut dapat dijelaskan bahwa apabila ada antigen yang masuk

ke dalam tubuh, maka antigen tersebut akan ditangkap oleh sel-sel makrofag ini akan

memberi isyarat pada sel-sel limfosit –B yang dihasilkan oleh bursa fabricius yang

selanjutnya berubah menjadi sel blast kemudian menjadi sel blast kecil yang akan berubah

menjadi plasma blast yang akan memproduksi antibodi. Selain merangsang sel limfosit-B,

sel-sel makrofag juga memberi isyarat pada sel limfosit-T yang dihasilkan timus, limfosit-

T ini tidak mengeluarkan antibodi seperti halnya limfosit-B, akan tetapi limfosit-T ini

membantu agar rangsangan antigenik limfosit-B lebih efektif. Limfosit-T yang dirangsang

oleh makrofag tadi akan berubah menjadi sel blast lalu menjadi sel blast kecil yang

menghasilkan sel ingatan, juga mengeluarkan zat-zat limfokinin yang bertugas

mengaktifasi makrofag untuk dapat menghancurkan antigen, serta membentuk limfosit

yang berperan dalam penolakan jaringan.

Titer antibodi akibat vaksinasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : respon

ayam, mutu vaksin, cara vaksinasi, lingkungan dan tatalaksana pemeliharaan. Untuk ND

kekebalan (titer antibodi ) terendah yang harus dimiliki ayam adalah delapan, agar ayam-

ayam tersebut tahan terhadap penularan ND. Gangguan organ pembentuk antibodi, seperti

penyakit yang menyerang bursa fabricius, jenis ayam dan lingkungan terlalu panas atau

terlalu dingin mengakibatkan kegagalan vaksinasi.

Pengaruh Hormon Kelamin terhadap Titer Antibodi

12
testis dan ovarium selain berfungsi menghasilkan spermatozoa atau ovum juga

membentuk hormon-hormon steroid yang mengatur sifat kelamin sekunder, siklus

reproduksi dan pertumbuhan serta perkembangan organ-organ reproduksi. Hormon

kelamin jantan utama adalah testosteron, disintesis oleh sel-sel interstisial testes.

Testosteron disamping berfungsi meningkatkan pertumbuhan dan fungsi epididimis,

ductus deferens, prostat, vesicule seminalis dan penis juga berfungsi dalam memperlancar

sintesis mitokondria, organ-organ viscerfal, otot dan tulang rangka.

Peningkatan pertumbuhan organ visceral seperti organ immunologik akan

mengakibatkan peningkatan sintesis antibodi. Peningkatan pertumbuhan tulang akan

meningkatkan sel-sel asal sumsum tulang termasuk sintesis sel-sel limfosit. Sel-sel

limfosit sangat penting untuk respon primer terhadap antigen. Limfosit dapat menjadi sel-

sel pembentuk antibodi (sel-sel plasma). Limfosit juga membawa ingatan (memory cell)

terhadap kontak pertama dengan antigen.

Peningkatan sintesis protein disamping berfungsi untuk pertumbuhan tulang,

daging, menggantikan jaringan yang rusak, untuk hidup pokok dan berproduksi juga

berfungsi sebagai penyusun dasar antibodi. Sehingga peningkatan sintesis protein akan

meningkatkan sintesis antibodi.

Hormon betina utama adalah estrogen, disintesis oleh sel-sel folikel graff yang

sedang berkembang. Estrogen menimbulkan estrus dan serangkaian perubahan pada

sistem reproduksi yang berhubungan dengan ovulasi dan mempertahankan sifat-sifat

kelamin sekunder betina. Estrogen bekerja sebagai antagonis terhadap testosteron.

Vaksinasi ND Melalui Pakan

13
Vaksinasi ND melalui pakan merupakan suatu terobosan bioteknologi untuk

menanggulangi ND terutama pada ayam buras. Sehingga diharapkan masalah ND dapat

diatasi dan sekaligus dapat meningkatkan pendapatan peternak dan sumber protein

hewaninya.

Vaksinasi ND melalui pakan memerlukan beberapa syarat seperti : 1 ) potensi

vaksin harus prima dan tidak berubah bila dicampur pakan ; 2) tahan terhadap keadaan

lingkungan pedesaan; 3) tahan disimpan tanpa memerlukan alat pembantu konvensional

seperti lemari es atau termos es; 4) mudah dicampur dengan pakan ayam dan 5 ) murah

serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Balai penelitian Veteriner (BALITVET) Bogor tahun 1987 meneliti vaksin ND

diberi kode (PR) V4. hasil penelitian tentang virus ND V 4 menunjukkan bahwa virus ini

tahan terhadap suhu kamar (280C) lebih dari satu bulan tanpa mengalami penurunan

potensi. Penelitian lebih lanjut dengan suhu 370C dan 560C, virus masih tahan selama 28

jam dan 8 jam.

Vaksin V4 yang diberikan melalui pakan dapat merangsang unggas terbukti dengan

adanya titer antibodi HI, ekskresi virus seminggu pasca vaksinasi dan tahan terhadap virus

tantangan yang ganas.

Vaksin V4 mampu melekat erat pada dinding tembolok 50 jam pasca vaksinasi dan

virus dapat mencapai rectum dari tembolok dalam waktu 3,5 jam. Virus banyak ditemukan

pada tembolok, proventiculus, ventriculus dan sedikit pada usus halus karena pengaruh

enzim-enzim pencernaan. Lebih jauh dikatakan bahwa virus dalam saluran pencernaan

merangsang sekresi Ig A untuk menimbulkan stimulasi primer. Ig A aktif baik dalam

sirkulasi darah maupun dalam sekresi cairan tubuh. Pesan dari sel-sel T atau jaringan

limfatik tepi dan pusat untuk menghasilkan antibodi.

14
Dilaboratorium telah dicoba memakai gabah, beras dan dedak sebagai pencampur

vaksin V4. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ayam pasca vaksinasi yang mati

setelah ditantang dengan virus ND ganas berturut-turut 10%, 50% dan 80%. Dengan

demikian pemakaian gabah adalah yang terbaik, sedangkan dedak kurang baik. Karena

dedak biasanya tidak habis dimakan ayam, sedangkan gabah mempunyai daya serap yang

lebih besar dibandingkan dengan beras, sehingga jumlh vaksin yang menempel pada

gabah lebih banyak dibandingkan pada beras karena itu proteksi ayam terhadap ND

melalui vaksin yang dicampur dengan gabah lebih baik dibandingkan vaksin dicampur

beras. Hasil uji coba dilapangan menggunakan 3000 ekor ayam buras menunjukkan titer

antibodi HI yang baik dan proteksi ayam mencapai 60-70% tehadap virus tantangan yang

ganas.

1.2 DISTEMPER ANJING

Epizootiologi

Penyakit distemper terdapat diseluruh dunia, dan menyerang semua jenis anjing

dari segal umur, tetapi anjing muda yang berumur 3-6 bulan lebih peka terserang penyakit

ini dan sebagian besar mati karena penyakit ini. Anjing yang sudah terinfeksi akan

menyebarkan virus melalui cairan dan kotoran tubuh, terutama melalui saluran pernafasan,

karena virus ini dapat menyebar melalui udara.

Etiologi

15
Distemper atau canin distemper merupakan suatu penyakit viral yang sangat

menular dan bersifat multi sistemik pada anjing. Distemper disebabkan oleh virus

beramplop dengan RNA rantai tunggal dari genus Morbillivirus yang merupakan famili

Paramyxcoviridae. Sealin menyerang anjing virus ini juga dapat menyerang anggota

familia Canidae lainnya seperti serigala, singa dan rubah.

Patogenesis

Virus distemper menyebar secara aerogen, virus akan menyerang organ limfatik,

dalam waktu 2-3 hari jaringan limfatik akan terinfeksi. Selanjutnya, hari ke 6 virus akan

memasuki darah dan akan menyebar ke paru-paru, usus, urgenital, hati serta system saraf.

Gejala-gejala akan mulai muncul pada anjing yang tidak mempunyai antibody untuk

melawan virus distemper.

Gejala Klinis

Masa inkubasi distemper 6-8 hari, dengan gejala yang kurang begitu jelas, dan

baru terlihat jelas setelah 2-3 minggu. Kenaikan suhu tubuh terjadi pada 1-3 diikuti

penurunan selama beberapa hari, dan kemudian naik lagi selama 1 minggu atau lebih. Saat

awal kejadian segera diikuti dengan lekopenia dan limfopenia. Selanjutnya terjadi

netrofilia yang berlangsung beberapa minggu. depresi sel-sel kelenjar di saluran

pernafasan menyebabkan pneumoni sehingga memicu timbulnya batuk. Gangguan

respirasi diikuti dengan pengeluaran leleran dari hidung yang bersifat mukopurelen dan

leleran air mata yang lama kelamaan bersifat mukopurulen . anjing juga akan terlihat lesu,

depresi dan nafsu makan akan menurun bahkan mungkin juga disertai diare dengan tinja

yang berbau busuk. telapak kaki menjadi keras karena kurangnya cairan. gejala saraf

16
berupa tick atau chorea, kejang klonik teratur dari sekelompok kaki, muka, dada, atau

bagian tubuh lainnya. Gejala saraf berlangsung beberapa minggu atau bulan. Penderitaan

tidak mampu mengontrol mikturisi. Pada stadium terminal, terlihat adanya kejang atau

tanpa kejang dengan bola mata mengalami nystagmus.

Pada kasus distemper, infeksi sekunder hampir tidak bisa dihindari, mulai dari

infeksi kuman, mikoplasma maupun protozoa. Pemberian antibiotika spectrum luas

diperlukan untuk mengobati infeksi sekunder. pencegahan terhadap penyakit distemper

dilakukan dengan vaksinasi monovalen maupunpolivalen, gabungan dengan imonogen

agen lain, misalnya parvovirus, adenovirus, dan lain-lain. Vaksinasi sebaiknya dilakukan

pada anjing yang berumur 6-12 minggu.

BAB II

17
ORTHOMYXOVIRIDAE

PENYAKIT AVIAN INFLUENZA

Avian influenza (AI) yang saat ini populer disebut influenza unggas atau penyakit

flu burung, adalah penyakit infeksius pada unggas yang disebabkan oleh virus influenza

tipe A dari familia Orthomyxoviridae. Virus avian influenza dapat menimbulkan sindrom

penyakit pernafasan pada unggas, mulai ringan (low pathogenic) sampai dengan yang

bersifat fatal (highly pathogenic). Ciri dari AI ganas ini adalah unggas yang terserang tiba-

tiba sakit dan tiba-tiba mati dengan tingkat morbiditas dan mortalitas 90-100 %..

ETIOLOGI

Penyakit avian influenza disebabkan oleh virus influenza tipe A dari familia

Orthomyxoviridae. Orthomyxoviridae, berasal dari kata yunani yaitu orthos berarti benar-

benar atau sangat dan myxa berarti lendir. Orthomyxoviridae mempunyai tiga genus (klas)

yaitu influenza A, B dan C berdasarkan perbedaan antigenik nukleoprotein (NP) dan

Matriks (M1).

MORFOLOGI

Virion Virus AI (VAI) berbentuk bulat dan pleomorfik, tetapi bisa juga bebentuk

filamen. Setiap virion berdiameter 80-120 nm, tetapi yang berbentuk filamen dapat

mempunyai panjang 400 – 800nm. Permukaan VAI dilapisi oleh dua lapisan lipid dengan

tonjolan tonjolan glikoprotein yang panjangnya 10 – 14 nm dengan diameter 4 – 6 nm.

Penonjolan tersebut adalah H dan N sedangkan Nukleokapsidnya berbentuk heliks.

18
Genom virus influenza adalah RNA serat tunggal (single Stranded / ss) polaritas negatif

dalam 8 segmen terpisah

PROTEIN VIRUS

VAI mempunyai sembilan protein yang merupakan bagian dari virus. Protein-

protein itu adalah H, N, NP, M1, M2, PB1, PB2, PA dan NS2 serta mempunyai satu

protein non-struktural (NS1) yang terdapat pada sitoplasma sel induk semang. Dua

protein yang penting dalam proses infeksi sel dan menentukan subtipe serta dapat

menginduksi kekebalan protektif terhadap VAI adalah protein H dan N.

Protein H merupakan glikoprotein yang berperan dalam penempelan virus pada

reseptor siagloglikosakarida. Selain itu, protein H juga berfungsi dalam fusi amplop

dengan membran sel dan menstimulir antibodi untuk netralisasi virus.

Protein N juga merupakan glikoprotein yang berfungsi sebagai enzim penghancur reseptor

sel yang menyebabkan pelepasan virus. Protein ini juga berfungsi menstimulasi antibodi

untuk netralisasi virus yang membatasi penyebaran virus.

Nukleoprotein (NP) merupakan struktur protein utama berkaitan dengan segmen

virus RNA. Fungsi utamanya sebagai transport RNA ke inti dan sebagai target antigen

untuk sel limfosit T sitotoksik Protein PBI, PB2, dan PA adalah enzin RNA polimerase

dan vital dalam sintesis dan replikasi RNA. Protein Non-Stuktural 1 (NS-1) juga penting

yang berfungsi menghambat mekanisme kerja interferon

Matriks 1 (M1) adalah protein struktur non-glikosilasi yang berada di sebelah

dalam amplop virus, berfungsi sebagai protein yang paling banyak berperan dalam

replikasi virus. Sedangkan Matriks 2 (M2) sebagai membran glikoprotein yang berfungsi

dalam meyalurkan ion.

19
SIFAT FISIKO-KIMIA

Virus avian influenza sensitif terhadap sinar ultra violet, desinfektan dan antiseptik.

Virus ini dapat diinaktivasi dengan pemanasan 560C selama 30 menit (Fenner dkk., 1993),

pemanasan 550C selama 1 jam atau 600C selama 10menit. Detergen seperti sodium

desoksikolat dan sodium dodesilsilfat dapat juga digunakan untuk inaktifasi virus

mengingat amplopnya yangtersusun atas lemak. Selain detergen dan pemanasan, inaktifasi

dapat juga dilakukan dengan memanfaatkan bahan kimia seperti formaldehida, beta

propilakton, binari etilenimin, fenol, ion amonium, sodium hipoklorat, asam encer dan

hidroksilamin.

Meskipun termasuk virus yang mudah rusak pada lingkungan luar, VAI tetap

infeksius pada maternal organik. Misalnya dalam debu kering, virus ini dapat bertahan

selama 14 hari, kotoran (manure) cair selama 105 hari, pada musim dingin dan dalam

feses selama 30 – 35 hari pada suhu 4oC, serta 7 hari pada suhu 20oC.

SIFAT ANTIGENIK VAI

Hanyutan Antigenik/Antigenik Drift

Genom virus influenza adalah RNA serat tunggal (single stranded/ss) polaritas

negatif dalam 8 segmen terpisah. Srtuktur antigen virus influenza dapat berubah

akibat dari sifat mutasi, rekombinasi (hanyutan antigenik), serta reassortment

(lompatan antigenik).

Hanyutan antigenik dapat terjadi karena mutasi rekombinasi. Mutasi terjadi

sebagai akibat dari kesalahan pemasangan asam basa pada RNA saat replikasi.

Disamping itu enzim RNA-polimerase VAI tidak mempunyai kemampuan

20
memperbaiki kesalahan (proof-reading) sehingga dapat menyebabkan terjadinya

mutasi. Rekombinasi dapat terjadi bila RNA virus influenza terpotong dan disisipi

potongan RNA asing yang berasal dari sel. Meskipun peristiwa ini relatif jarang

dilaporkan pada VAI akan tetapi kecendrungannya meningkat akhir-ahir ini.

Lompatan Atigenik/Antigenic shift

Lompatan antigenik berasal dari penyusunan ulang genetik antara segmen gen

dari dua virus influenza yang menginfeksi sel yang sama. Penyusunan ulang genetik

mengakibatkan pertukaran segmen gen virus dari kedua virus asal. Lompatan

antigenik terjadi karena transmisi langsung virus non-manusia ke manusia atau

reassortment genetik dari dua virus influenza yang berbeda setelah menginfeksi satu

sel yang sama. Kombinasi mutasi, reassortment, dan rekombinasi genetik tersebut

mendasari pemunculan atau pemunculan kembali virus influenza. Kombinasi itu

memungkinkan perubahan sifat-sitaf virus serta adaptasi untuk menembus barier

species.

EPIDEMIOLOGI VAI

Reservoir VAI

Burung air liar khususnya ordo Anseriformes dan Chadriiformes berperan

sebagai reservoar asimptomatis untuk VAI, termasuk itik baik yang dipelihara

(piaraan) maupun itik liar. Semua subtipe (16 H dan 9 N) terdapat pada populasi

burung air, terutama itik, burung camar dan burung panatai lainnya. Pada burung-

burung tersebut, replikasi virus terjadi pada saluran pencernaan, sehingga virus

21
dengan titer tinggi dapat ditemukan dalam feces. Dengan demikian, transmisi fekal-

oral menjadi mekanisme utama penyebaran virus diantaranya unggas air.

Burung-burung liar seperti yang diungkapkan di atas dapat berperan dalam

Penyebaran VAI, termasuk burung yang berimigrasi antara belahan bumi utara dan

selatan. Kajian terhadap semua segmen gen virus influenza asal burung atau unggas

menunjukkan bahwa semua VAI mempunyai dua garis keturunan terpisah, yaitu garis

Eurasian dan Amerika

Penyebaran VAI dari hewan peka

Itik dan angsa liar dianggap tidak peka terhadap penyakit ini, tetapi itik

merupakan sumber virus influenza yang penting bersama unggas air liar. Virus

diekskresikan bersama sekreta saluran pernafasan dan konjungtiva, dan dalam tinja.

Penularannya memerlukan persentuhan yang sangat erat antar unggas, dan

penularannya lewat udara tidak begitu penting. Sejalan dengan pernyataan itu, juga

menyatakan bahwa spesimen yang diambil lebih dari 45 meter searah angin dari

tempat infeksi tidak mengandung virus.

Itik mengekskresikan VAI dalam jumlah besar bersama tinja. Di dalam feses

tersebut, VAI yang sudah diekskresikan dapat bertahan lama. VAI dapat disebarkan

secara mekanis oleh sepatu, pakaian pekerja dan peralatan kerja lainnya yang

tercemar feces dan muntahan yang mengandung virus. Beberapa penelitian lainnya

menyebutkan burung liar juga dianggap sebagai salah satu sumber penyebar VAI

yang mengeksresikan virus melalaui feces.

Secara horisontal penyebaran VAI sering terjadi, namun secara vertikal jarang

terjadi. Dilaporkan VAI pada induk ayam dideteksi terdapat virus pada permukaan

22
kulit telur yang terkontaminasi dari feces. Studi laboratorium di Penyslvania virus

HPAI-H5N2 kebanyakan telur dierami pada hari ke 3 dan 4 pasca inokulasi

mengandung virus bersifat letal bagi embrio.

Transmisi antar hewan

Virus influenza memperlihatkan berbagai derajat adaptasi masing-masing

species induk semang dengan sering dan mudahnya transmisi antar spesies. Namun

transmisi antar spesies dapat terjadi terutama antara spesies induk semang yang

berhubungan dekat dengan taksonomi famili yang sama seperti ayam, kalkun dan

puyuh dari ordo Galliformes, famili Phasinidae. Transmisi antar species dapat terjadi

sampai pada ordo yang berbeda dalam klas yang sama seperti itik (Anseriformes)

kepada kalkun (Ordo : Galliformes), tetapi hal ini jarang terjadi dari pada yang terjadi

pada induk semang dari keluarga terdekat.

Namun beberapa penelitian lain menyatakan penularan VAI subtipe H5N1

bisa terjadi antar species dan tidak perlu melalui kerabat taksonomi terdekat. Bahkan,

virus HPAI-H5N1 dan H9N2 yang fatal pada unggas dan manusia tidak memerlukan

adaptasi pada mamalia. Studi laboratorium yang dilakukan oleh Shinya dkk., yang

telah mengisolasi VAI manusia ternyata juga fatal pada ayam dan itik. Sejalan

dengan pernyataan di atas, Matrosovick berhasil membuktikan virus influenza pada

unggas dapat dibiakkan baik dalam epitel pernafasan manusia maupun dalam unggas.

Hal ini membuktikan bahwa untuk dapat menginfeksi manusia, VAI tidak perlu

beradaptasi pada babi/mamalia terlebih dahulu.

Peran hewan dalam penyebaran VAI

23
Berbagai jenis hewan baik unggas maupun hewan lainnya dapat berperan

dalam penyebaran VAI. Itik secara jelas dianggap reservoir VAI, sebagai tempat

adaptasi dan evolusi virus sehingga dapat bereplikasi ifisien pada manusia, bahkan

VAI H5N1 dapat mengalami evolusi yang cepat serta memungkinkan

mengekskresikan virus dalam jangka waktu yang lama.

Babi dalam penyebaran VAI berperan sebagai wahana pencampur (mixing

vessel) dan adaptasi virus influenza unggas dengan virus mamalia atau manusia

sehingga dapat memicu timbulnya pandemi. Penularan virus influenza dari babi ke

manusia sudah banyak dilaporkan. Kepadatan poplasi babi bersama-sama unggas dan

manusia merupakan faktor penting untuk munculnya virus pandemik.

Angsa juga dapat berperan sebagai pembawa VAI yang mengalami

reassortment dengan virus burung yang lain atau virus mamalia. Angsa telah

diketahui sebagai reservoir dan donor HA virus HPAI H5N1. VAI juga dengan mudah

dapat diisolasi dari kotoran angsa. Tingkat keberhasilan isolasi bahkan sampai 15 %,

sementara pada semua jenis burung yang lain kurang dari 2 %.

Burung puyuh dapat berperan sebagai wahana pencampur dapat mengambil

alih atau mendukung peran babi. Kejadian reassortment pada burung puyuh bahkan

dapat berlangsung secara berseri. Untuk kejadian ini, pasar burung atau hewan hidup

menyediakan lingkungan yang sesuai untuk fenomena reassortment pada burung

puyuh.

Peran lingkungan dan manajemen peternakan dalam penyebaran VAI

24
Faktor predisposisi sangat berpengaruh dalam penyebaran VAI dari hewan

peka. Ketersediaan induk semang, campuran antar spesies peka, perbedaan umur dan

kerapatan ternak yang dipelihara dalam suatu tempat yang sama akan meningkatkan

laku penyebaran serta VAI akan bersikap lestari di tempat tersebut. Kondisi seperti

diulas di atas, diperburuk dengan banyak juga peternak yang masih menggunakan

sistem tumpang sari, pengembalaan yang bebas serta mengabaikan penerapan sistem

biosecurity.

Tempat karantina hewan juga diindikasikan sebagai salah satu pintu

masuknya VAI. Pada tempat tersebut dimungkinkan bertemunya berbagai jemis

hewan-hewan, baik yang sehat maupun sebagai pembawa VAI. Sehingga pada tempat

tersebut, dicurigai terjadinya kontak antar hewan sehat dan hewan pembawa VAI

yang mengakibatkan tertularnya VAI.

GEJALA KLINIS DAN PATOLOGIS

Patogenesis

Perjalanan dimulai dari proses inhalasi dan menelan virion LPAI atau HPAI

infeksius. Karena enzim tripsin-like di dalam sel epitel pernafasan dan intestinal

mengeluarkan hemaglutinin permukaan, siklus replikasi bersifat multipel

berlangsung di dalam saluran pernafasan dan/atau pencernaan dengan melepaskan

virion infeksius. Pada unggas, rongga hidung berperan sebagai tempat pertama kali

dalam replikasi virus. Kemudian dengan virus HPAI, virion menyerang submukosa

dan memasuki kapiler. Virion kemudian melekat pada silia sel epitel hidung, trakea,

bronkus, atau dapat dimasukan secara langsung ke dalam alveoli. Sehingga dalam

waktu dua jam antigen virus dapat ditemukan dalam sel tersebut. Waktu yang

25
dibutuhkan dalam penyebaran keseluruh saluran pernafasan dibutuhkan waktu 1-3

hari.

VAI bereplikasi di dalam sel endotelium dan menyebar melalui sistem

vaskuler atau limfatik untuk menginfeksi dan bereplikasi di dalam berbagai tipe sel

pada organ visceral, otak dan kulit. Masa inkubasi VAI berlangsung beberapa jam

samapi 3 hari, tergantung dari dosis virus, rute kontak dan species unggas yang

terserang. Virus dapat berubah menjadi sistemik sebelum bereplikasi secara meluas di

dalam sel endotelial vaskuler.

Patogenitas

Berdasarkan pola mortalitas, gejala klinis dan lesi yang ditimbulkan di

lapangan, VAI digolongkan menjadi empat kelompok klinis yaitu sangat virulen

(Highly Pathogenic Avian Influenza/HPAI), virulen, sedang, virulen ringan. Dan

subtipe H5 atau H7 dengan tingkat morbiditas dan mortalitas mendekati 100 %.

Patogenitas dan kepekaan hewan terhadap infeksi VAI bervariasi pada

berbagai jenis hewan. Misalnya pada babi dan kuda, patogenitas yang ditimbulkan

mirip dengan pada manusia. Sedangkan patogenitas pada itik lebih ringan dari pada

kalkun.

Gejala klinis infeksi VAI

26
Gejala klinis infeksi VAI sangat bervariasi dan tergantung pada banyak faktor

seperti strain virus, spesies induk semang, umur, jenis kelamin, infeksi sekunder,

kekebalan dapatan (vaksinasi) dan faktor lingkungan. Gejala klinis yang ditimbulkan

VAI pada ayam secara umum dapat mengakibatkan depresi serta penurunan

aktifitas hewan, penurunan produksi telur bahkan penghentian total dalam produksi

telur bahkan penghentian total dalam produksi telur selama enam hari.

Pembengkakan dibagian kepala, muka leher atas dan kaki adalah umum

sebagai akibat oedema subkutaneus dan mungkin disertai perdarahan petechie

dan ecchymosis. VAI secara klinis juga dapat mengakibatkan foki nekrotik,

hemoragi dan cyanosis pada kulit, jengger dan pial.

Infeksi VAI pada itik nampaknya tidak menimbulkan gejala klinis, namun

kerusakan dapat terjadi pada saluran pernafasan, menyerang otak dengan menunjukan

gejala syaraf, bahkan memperlihatkan titer yang tinggi serta jarang memproduksi

serum antibodi. Perkins melaporkan bahwa itik dan babi terbukti lebih tahan terhadap

infeksi VAI daripada angsa. Laudert menyebutkan bahwa gejala yang ditimbulkan

akibat infeksi VAI pada itik lebih ringan dari pada kalkun.

Gambaran patologis akibat infeksi VAI

VAI menimbulkan pengaruh patologis pada sel unggas melalui dua

mekanisme yakni nekrosis dan apoptosis. Nekrosis dapat terjadi pada banyak tipe

sel termasuk sel tubulus, epitelium acinar pankreas, myosit jantung, sel kortiko

adrenal dan sel paru-paru pada ayam. Sedangkan apoptosis nampak nyata pada

neuron, epitel saluran pencernaan dan sel alveolar paru-paru mencit yang diinfeksi

VAI.

27
Lesio pada organ visceral bervariasi tergantung strain virus, tetapi paling

sering terlihat adalah perdarahan pada permukaan serosa atau mukosa dan foki

nekrosis didalam parenkim organ visceral. Perubahan yang menonjol adalah

perdarahan epikardium, otot pectoral dan mukosa proventrikulus dan

ventrikulus. Nekrosis dan hemoragi terjadi pada kelenjar peyer’s usus halus umum

terjadi sebagaimana dilaporkan pada wabah plaque awal tahun 1900-an. Morbiditas

dan mortalitas mencapai 100 %.

Pada burung unta, virus HPAI menimbulkan oedema pada kepala dan leher,

enteritis hemoragika yang parah, pembesaran dan pengerasan pankreas. Air sacculitis

ringan hingga parah, pembesaran dan pengerasan pankreas. Air sacculitis ringan

hingga parah, pembesaran ginjal dan limfa (renomegali dan splenomegali). Secara

mikroskopis nampak nekrosis koagulatif pada limfa, ginjal dan hati. Nekrosis

fibrinosa umum terjadi pada arterioles otak dan limfa. Pankreas mengalami nekrosis

sel acinar dengan peradangan sel mononuclear dan fibrosis. Malacia fokal dan

nerophagia terjadi di dalam otak, dan lesio nekrotik dan hemoragi terjadi di dalam

usus.

DIAGNOSIS VIRUS AVIAN INFLUENZA

VAI dapat diagnosa berdasarkan gambaran epidemiologi, gejala klinis, dan

gambaran patologi. Namun diagnosis klinis biasanya sulit ditegakkan, mengingat

keragaman gejala klinis dan kemiripannya dengan penyakit unggas lain terutama

New Castle Diseases (ND). Diagnosis klinis merupakan tehnik pendugaan/bersifat

sementara sampai dilaukannya diagnosa definitif di laboratorium.

28
Diagnosa definitif dapat dilakukan secara in vitro dilaboratorium dengan beberapa

tehnik standar yang direkomendasikan Oleh WHO salah satumya melalaui isolasi

pada telur ayam berembrio umur 9-11 hari, identifikasi aktifitas HA dan serologis

dengan uji HI dan ELISA, atau deteksi genom virus dengan Reverse Transcriptase

yang dilanjutkan dengan Polymerase Chain-Reaction (RT-PCR).

DIAGNOSA DIFERENSIAL

VAI baik secara klinis maupun patologis dapat dikelirukan dengan beberapa

penyakit unggas lainnya terutama dilihat dari tingkat keganasan dan lesi yang

ditimbulkan. Oleh sebab itu, pengetahuan seorang paramedis veteriner harus

mempunyai wawasan luas mengenai berbagai penyakit yang mempunyai kemiripan

dengan infeksi VAI antara lain penyakit ND ganas (volgenic ND), kolera ayam

(fowl kolera), penyakit radang tenggorokan pada ayam (infectious

laryngeotracheitis) dan infectious bronchitis pada ayam. Agar dapat menentukan

diagnosa definitif, maka harus dilakukan isolasi dan identifikasi agen-agen

penyebabnya di laboratorium.

SURVAILLANS

Peneguhan diagnosa definitif dalam menentukan penyebab suatu penyakit

membutuhkan wawasan yang luas. Dalam peneguhan diagnosa definitif, ada

beberapa aspek yang perlu diperhatikan, antara lain epidemiologi kasus, gejala klinis

dan patologis, serta konfirmasi laboratorium. Suatu daerah yang sudah terinfeksi VAI,

semestinya segera melakukan beberapa tindakan termasuk eradikasi dan vaksinasi.

29
Selain itu, survaillans juga dianjurkan oleh WHO untuk dilaksanakan pada daerah

yang terancam maupun wabah VAI. Hal ini dimaksudkan sebagai sistem

PENCEGAHAN DAN PENANGANAN WABAH VAI

Peningkatan kesadaran masyarakat dan peternak (public awareness)

Kecepatan informasi dan transparansi dari instansi terkait mengenai wabah

infeksi VAI kepada masyarakat secara luas perlu segera dilaksanakan. Agar

masyarakat memahami secara utuh bagaimana cara menyikapi wabah tersebut. Hal

ini dimaksudkan agar masyarakat dapat berperan aktif dalam mengurangi resiko

penyebaran VAI. Serta dapat menghindari kepanikan masyarakat akibat

pengetahuan yang minim mengenai penyakit ini. Diharapkan dengan pengetahuan

yang cukup, para peternak dapat merubah pola hidup atau systim beternak yang

dapat memicu VAI lestari ditempat tersebut. Pola dan manajemen peternakan yang

dianjurkan misalnya harus hanya memelihara satu spesies unggas tertentu saja

dalam satu siklus produksi/masa ternak, kemudian menjalani sistem produksi all

in-all out (keluar-masuknya hewan dilakukan bersama dan seumur) atau

menambah unggas baru hanya setelah pengujian dan karantina hewan serta

penerapan biosekuriti dengan ketat.

Karantina

Lalulintas ternak antar pulau sudah saatnya untuk diperhatikan secara serius

melalaui balai karantina. Diharapkan agar jangan sampai hewan yang memang

membawa VAI dapat masuk ke daerah bebas. Kemudian pencucian kulit telur dengan

desinfeksi perlu juga dilakukan untuk mencegah penyebaran VAI pada saat dibawa

30
kedaerah/pulau lain. Hal tersebut berkaitan dengan kemungknan terkontaminasinya

kerabang telur oleh feses yang mengandung VAI.

Biosekuriti dan desinfeksi kandang

Pencegahan VAI dapat dilakukan dengan sistem biosekuriti ketat. Beberapa

prinsip biosekuriti antara lain manajemen “all in – all out”, pencucian dan desinfeksi

alat, pembatasan keluar masuk manusia, penyediaan pakaian pekerja, kandang yang

yang memadai, peniadaan kontak dengan burung dan unggas liar, serta pemberlakuan

protokol ketat saat repopulasi. Pengendalian tersebut diharapkan dapat memotong

siklus VAI, sehingga tidak berdampak secara luas.

Stamping Out yang selektif

Pemusnahan unggas yang tertular secara serempak dan yang kontak dengan

unggas dalam radius tertentu (stamping out) merupakan strategi yang paling efektif

disamping penerapan vaksinasi. Strategi ini meliputi penentuan zona karantina,

pembatasan lalu lintas unggas dan produk-produk serta manusia, repopulasi peternak

setelah tindakan pembersihan dan daerah yang bersangkutan memang bebas VAI

HPAI.

Namun stamping out secara total nampaknya masih sulit diterapkan di

Indonesia. Hal tersebut berdasarkan pada kemampuan pemerintah dalam pemberian

kompensasi dan kesadaran masyarakat yang relatif minim akan bahaya VAI. Langkah

lain yang dapat dipakai adalah menekan penyebaran sekunder, kuncinya adalah

berpola hygienis, meliputi pembersihan dan pencucihamaan dan selang waktu dari

pemotongan sampai pemeliharaan kembali.

31
Vaksin dapat digunakan sebagai salah satu pencegahan penyebaran VAI. Vaksin

yang banyak beredar dipasaran dan sering digunakan biasanya inaktif. Vaksin VAI

HPAI yang banyak tersedia adalah vaksin inaktif dalam adjuvant minyak yang

mempunyai kandungan virus yang homolog dan heterolog. Vaksin homolog

mengandung virus dengan sub type yang sama dengan yang sedang mengancam.

Sedangkan vaksin heterolog membawa virus yang mempunyai molekul HA yang

sama dengan penyebab wabah tetapi mempunyai NA yang berbeda, misalnya vaksin

H5N2 untuk wabah yang disebabkan oleh H5N1.

BAB III
RABDOVIRIDAE

32
RABIES

Rabies merupakan penyakit zoonosis tertua didunia dan sampai sekarang belum

dapat diatasi secara tuntas. Menurut WHO lebih dari 3 juta orang di dunia beresiko tertular

rabies. Penyakit ini diperkirakan membunuh sekitar 50.000–60.000 manusia di sekitar 85

negara yang masih endemik rabies. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas

penyakit rabies di Dunia, tetapi sampai sekarang penyakit ini belum dapat diberantas

secara tuntas. Upaya pemberantasan penyakit ini masih terus dilakukan seperti dengan

vaksinasi, pengendalian populasi hewan penular rabies, dan tindakan lainnya. Namun,

pada kenyataannya rabies masih tetap ada dan bahkan di beberapa Negara berkembang,

penyebarannya cenderung makin meluas.

Di Indonesia penyakit rabies telah ditemukan sejak jaman pemerintahan kolonial

Belanda dan sampai sekarang belum juga dapat diatasi secara tuntas. Saat ini, rabies

masih bersifat endemik di beberapa daerah seperti di Flores Nusa Tenggara Timur,

Sulawesi, Kalimantan, Sumatera Barat dan Bali. Munculnya kasus rabies pada manusia

dan hewan di Bali pada Nopember 2008 membuktikan bahwa penyebaran rabies

cenderung meluas dan masih sulit diatasi di Indonesia. Keberadaan penyakit rabies selain

meresahkan juga akan berdampak negatif terhadap citra Bali yang sejak dulu dikenal

sebagai daerah bebas rabies. Di daerah lain yang tertular rabies, tindakan vaksinasi telah

dilakukan secara teratur, tetapi tampaknya belum dapat mengatasi kasus rabies secara

tuntas.

Penyakit rabies disebabkan oleh lyssavirus dari familia Rhabdoviridae dan

menyerang hewan berdarah panas. Virus ini berbentuk peluru dan mempunyai genom

RNA berserat tunggal. Di Indonesia, penyakit ini ditularkan melalui gigitan hewan tertular

seperti anjing, kucing, dan kera. Namun, anjing merupakan hewan penular rabies yang

33
paling penting karena lebih dari 90% kasus rabies pada manusia di Indonesia ditularkan

melalui gigitan anjing. Keberadaan anjing liar yang tidak ada pemiliknya merupakan

masalah besar dalam upaya pelacakan dan pemberantasan penyakit rabies di Indonesia.

Epidemiologi Rabies

Rabies merupakan penyakit hewan yang dapat menyerang manusia dan sering

bersifat mematikan, bila penanganan tidak dilakukan secara cepat dan memadai. Rabies

umumnya ditularkan melalui gigitan hewan yang terinfeksi virus rabies. Namun, anjing

merupakan hewan penular rabies yang utama di banyak negara termasuk Indonesia. Virus

dengan konsentrasi yang tinggi umunya ditemukan dalam saliva hewan yang terinfeksi.

Virus rabies umumnya tidak dapat melewati kulit yang utuh tetapi dapat menginfeksi

tubuh melalui luka atau mukosa. Di tempat gigitan virus biasanya bereplikasi, kemudian

menginfeksi ujung saraf tepi. Penularan juga dapat terjadi melalui transplantasi organ.

Melalui axon saraf tepi, virus rabies kemudian menuju otak dan akhirnya memperbayak

diri dalam jumlah yang besar di dalam otak. Virus kemudian dikeluarkan melalui saliva,

sehingga hewan yang terinfeksi sangat berpotensi untuk menularkan virus rabies melalui

gigitan.

Pola Penyebaran

Penularan rabies di lapangan (rural rabies) berawal dari suatu kondisi anjing yang

tidak dipelihara dengan baik atau anjing liar yang merupakan ciri khas yang ada di

pedesaan yang berkembang sangat fluktuasi dan sulit dikendalikan. Suatu kondisi yang

sangat kondusif untuk menjadikan suatu daerah dapat bertahan menjadi daerah endemis.

34
Secara alami dan yang sering terjadi pola penyebaran rabies dapat dilihat pada figur di

bawah ini.

Anjing liar Anjing peliharaan Anjing peliharaan Manusia


yang menjadi liar

Pada umumnya manusia merupakan : ”Dead End” atau terminal akhir dari korban

gigitan, karena sampai saat ini belum ada kasus manusia menggigit anjing. Anjing liar,

anjing peliharaan yang menjadi liar maupun anjing peliharaan setiap saat dapat menggigit

manusia dan antar anjing dapat saling menggigit satu sama lainnya. Kalau salah satu

diantara anjing yang menggigit tersebut positif rabies, maka akan terjadi penularan rabies.

Gejala Kelinis Pada Hewan


Pada hewan piara seperti anjing, masa inkubasi biasanya berlangsung selama

beberapa hari sampai beberapa bulan. Gejala klinis dikelompokkan menjadi tiga fase

yaitu: fase prodromal, fase eksitasi dan fase paralisa. Fase prodromal diawali dengan

berkurangnya napsu makan, perubahan temperamen suhu tubuh meningkat, dan air liur

keluar berlebihan. Fase eksitasi merupakan fase yang paling ditakuti, karena pada fase

inilah hewan cendrung menggigit apa saja yang ada disekitarnya termasuk pemilik anjing

itu sendiri. Fase paralisa ditandai dengan paralisa (kelumpuhan) lidah dan rahang bawah,

hipersalipasi dan lidah menjulur keluar. Biasanya 3-7 hari pasca paralisa anjing akan mati.

Hewan liar kelelawar, monyet, srigala dan foxes diduga sebagai hewan penular

rabies yang penting di Amerika dan Eropa. Namun, patogenesis rabies pada hewan liar

35
tersebut belum diketahui secara pasti tetapi gejala klinis yang tampak umumnya mirip

dengan rabies pada hewan piara.

Gejala Kelinis Pada Manusia

Pada manusia penyakit rabies biasanya bersifat “furius” atau “dumb”. Rabies

furius biasanya ditandai dengan marah dan gejala ensefalitis, sedangkan rabies dumb

biasanya ditandai dengan paralisis. Pada stadium lanjut, gejala yang tampak biasanya

berupa : air liur dan air mata keluar secara berlebihan, peka terhadap suara yang keras,

takut dengan angin (aerophobia) dan takut dengan air (hydrophobia), mudah marah,

kebingungan dan gejala disfungsi autonom serta koma. Sebelum koma, orang yang

terserang rabies biasanya menunjukkaa tanda-tanda paralisis dan sangat lemah. Setelah itu

pasien menderita koma dan kematian bisanya terjadi 6 jam setelah gejala koma.

Diagnosis

Uji cepat rabies biasanya dilakukan dengan membuat sediaan ulas otak dari hewan

tersangka di atas gelas obyek dan pewarnaan seller untuk menemukan negri bodies. Untuk

melacak antigen virus rabies dalam jaringan terinfeksi dapat dilakukan uji imunoflouresen

(FAT) pada sediaan sentuh otak hewan yang tersangka rabies. Uji ini merupakan uji klasik

yang telah dipakai sejak lama. Selain itu untuk lebih memastikan diagnosis, dapat

dilakukan isolasi virus, baik menggunakan kultur sel neuroblas maupun menggunakan

mencit baru lahir. Sementara itu, uji berbasis genetik molekuler seperti PCR dan uji

genetik lainnya tidak dianjurkan.

Pengendalian dan Pemberantasan

36
Kebijakan pemberantasan rabies dilaksanakan dengan alasan utama untuk

perlindungan kehidupan manusia dan mencegah penyebaran ke hewan lokal dan satwa

liar. Hal ini dapat dicapai dengan penggabungan strategi :

 Karantina dan pengawasan lalu lintas terhadap hewan penular rabies

 Vaksinasi anjing, kucing dan kera didaerah tertular

 Rawat anjing dan kucing dengan baik dan jangan diliarkan

 Pemusnahan hewan tertular dan hewan yang kontak dengannya

 Penelusuran dan surveilans untuk menentukan sumber penularan

 Kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness)

Tindakan terhadap Hewan yang Menggigit Orang


Hewan Tindakan
Hewan yang divaksin
- Menggigit/memcakar ● Isolasi dan lakukan observasi 14 hari
● Jika dalam masa observasi anjing/kucing tetap
hidup dibebaskan tetapi jika anjing tersebut tidak
berpemilik maka dilakukan eliminasi
(pemusnahan
● Jika dalam masa observasi anjing mati, otak
anjing harus dikirim ke laboratorium untuk
peneguhan diagnosa rabies
- Hewan yang kontak dengan ● Isolasi dan lakukan observasi selama 14 hari
hewan tertular rabies
● Jika dalam masa observasi anjing/kucing tetap
hidup dibebaskan, tetapi jika anjing/kucing
tersebut tidak berpemilik maka dilakukan
eliminasi
● Jika dalam masa observasi anjing mati, otak
anjing harus dikirim ke laboratorium untuk
peneguhan diagnosa rabies
Hewan yang tidak divaksin

-Menggigit/mencakar ● Isolasi dan lakukan observasi selama 14 hari


berpemilik
● Jika dalam masa observasi anjing/kucing tetap
hidup dibebaskan, tetapi jika anjing/kucing
tersebut tidak berpemilik maka dilakukan

37
eliminasi (pemusnahan)
● Jika dalam masa observasi anjing mati, otak
anjing harus dikirim ke laboratorium untuk
peneguhan diagnosa rabies
- Tidak berpemilik ● Anjing dibunuh dan spesimen otak dikirim ke
laboratorium

Perlakuan Terhadap Korban Gigitan (pada Manusia)

Setiap penderita gigitan oleh anjing atau hewan pembawa rabies (HPR), harus

mendapat pengobatan pendahuluan sampai ada kepastian apakah HPR yang menggigitnya

positif atau negatif rabies. Apabila HPR yang menggigitnya dipastikan negatif rabies

(tetap hidup selama masa observasi) maka pengobatan dihentikan. Akan tetapi apabila

HPR yang menggigitnya positif rabies maka pengobatan dilanjutkan sampai tuntas.

Tindakan awal yang perlu dilakukan pada orang tergigit anjing adalah :

- Cuci luka dengan deterjen dan air mengalir selama 15 menit

- Oleskan obat luka seperti yodium atau obat luka yang lain pada luka gigitan

- Segera datang kepuskesmas atau rumah sakit terdekat

BAB IV

PARVOVIRIDAE

38
PENYAKIT PARVOVIRUS ANJING

Epidemiologi

ketika penyakit parvovirus anjing untuk pertama kali dikenal pada tahun 1978,

populasi anjing diseluruh dunia sepenuhnya rentan. penyakit neonatal umum kemudian

jarang ditemukan, tetapi miokarditis dan pamleukopania/enteritis umum terjadi, seperti

hipoplasia serebelum pada kucing yang disebabkan oleh parvovirus kuncing, miokarditis

kini jarang terjadi, karena antibodi induk yang diperoleh secara pasif biasanya melindungi

anak anjing dibawah periode 2 minggu dan 8 minggu yang tampaknya merupakan batas

umur untuk perkembangn dari masing-masing penyakit nonmetal umum dan miokarditis.

Penyakit parvovirus anjing yang timbul terutama sebagai panleukopenia/enteritis, kini

merupakan penyakit mendunia yang endemik pada anjing.

Etiologi

Penyakit infeksi parvovirus yang sering disebut sebagai penyakit mutah berak pada

anjing, yang penyebabnya berbeda dari muntaber pada manusia, baru dikenal pada 1978.

Penyakit dengan cepat menyebar dan dilaporkan dari berbagai negara. Penyakit ini dapat

berlangsung akut bahkan sering sekali per akut. Penyakit ini disebabkan oleh Parvovirus

(CPV) tipe 1 dan 2. Keduanya memiliki marfologi sama, yaitu merupakan non-enveloped

single starned RNA virus, dan berukuran 18-22nm. Virus CPV-1 bersifat non patogenik

(relatif) dan sering kali diisolasi pada penyakit radang saluran pencernaan, radang paru-

paru, dan miokarditis pada anak anjing sangat muda. Virus CPV-2 merupakan penyebab

muntaber yang terdapat disebagian besar negara.

39
Masa inkubasi penyakit 5-12 hari. Semua bangsa anjing peka terhadap CPV.

Bangsa anjing Doberman Pincher, Rottweiler, Pit Bull, Labrador, Retriever tercatat lebih

banyak (peka) daripada bangsa anjing lainnya. Anjing pada semua umur peka terhadap

virus ini. Gambaran sakit yang paling parah, terutama miokarditis, paling sering terlihat

pada anjing usia sangat muda.

Gejala klinis
Gambaran klinis sangat berfariasi dan antara lain dipengaruhi oleh umur dan

kondisi anjing, keadaan dari luar dan ada tidaknya infeksi sekunder. Disangka bahwa

infeksi bersifat subklinis sering terjadi karena banyak hewan dewasa mempunyai antibodi

terhadap CPV tanpa pernah sakit atau vaksinasi. Gejala-gejala klinis pertama ialah

biasanya muntah-muntah yang sesudah sehari diikuti oleh diare yang bersifat hemoragis.

Biasanya anjing sakit parah. Anjing muda secara cepat kehilangan cairan (dehidrasi) dan

mati secara tiba-tiba. Selama 4-5 hari pertama ditemukan lekopenia dengan suhu badan

sedikit tinggi

Pada anjing muda (sampai umur kira-kira 7 bulan) infeksi CPV dapat

mengakibatkan miokarditis. Juga tanpa gejala-gejala gastro-enteritis anjing baru lahir

dapat secara akut kekurangan nafas dan muntah-muntah. Anak anjing itu sakit parah dan

dapat mati tiba-tiba. Bila anjing muda itu sembuh maka miokarditis dapat mengakibatkan

kelainan-kelainan jantung.

Patogenesis

40
Kebanyakan penularan terjadi karena ingesti tinja atau pertikel-partikelnya yang

mengandung virus. Penularan secara kontak dan inhalasi juga mungkin sepanjang material

yang diserap atau terendah memasuki saluran pencernaan. Virus yang menginvasi segera

menghancurkan sel epitel selaput lendir maupun sum-sum tulang yang sedang membelah.

Sel-sel yang terdapat dipangkali vuili inrtestinal, atau kripe, paling banyak menderita,

menyebabkan vili-vili usus mengalami kematian dan tercabik dari usus. Karena villi usus

mengandung pembuluh darah terjadilah pendarahan hebat.

Proses pencernaan makanan terhenti sama sekali karena peradangan berdarah yang

berlangsung cepat. kehilangan cairan darah mengakibatkan dehidrasi dan anemia. kejadian

paling berat dialami oleh anak anjing yang tidak memiliki antibodi maternal atau belum

pernah divaksin, pada umur 2 minggu sampai dengan3 bulan. Anjing tua, kecuali pada

penyakit yang berlangsung perakut, biasanya kurang begitu menderirta dan banyak yang

diselamatkan. kerusakan sumsum tulang mengakibatkan proses pembentukan sel darah

dan sel pembentuk kekebalan (limfosit) tidak terbentuk. Penderita tidak mampu

mempertahankan kekebalan yang dimiliki karena kerusakan jaringan tersebut. Dalam

pemeriksaan darah jumlah netrofil juga sangat merosot, hingga penderita jadi peka

terhadap kuman penyebab infeksi sekunder. Penularan secara in-utero juga dapat terjadi,

hingga anak yang dilahirkan pada umur kurag dari 8 minggu sudah menderita miokarditis.

Diagnosis

Prosedur paling sederhana dari diagnosis laboraturium untuk infeksi parvovirus

anjing adalah hemagluntinasi dari sel darah merah babi atau kera rheus (ph 6,5C) melalui

ekstak tinja, yang secara dititrasi secara pararel bersama-sama dengan serum anjing yang

normal dan kebal. terok tinja dari anjing yang menderita enteritis akut dapat mengandung

41
sampai 20.000 uniy HA dari virus per milimeter, yang setara dengan sekitar 10 pangkat

sembilan virion per gram tinja. Prosedur mikroskop elektron, isolasi virus dan ELISA

dapat juga digunakan untuk pemeriksaan laboraturium dan diagnosa klinis.

Pengendalian

Masalah pengendalian utama terdapat pada pembibitan yang besar dan penuh

sesak, karena higiene sulit diterapkan dan dipertahankan. Infeksi subklinis biasa terjadi,

khususnya pada anak anjing yang dipelihara dengan baik dan menyendiri, yang

mnunjukan betapa pentingnya higiene dan kesehatan badan secara umum dalam

membatasi timbulya penyakit klinis. Sementara vaksinasi dengan virus hidup yang

teratenuasi atau vaksin tidak aktif adalah efektif, masalah utamanya adalah menentukan

jadwal vaksinasi yang efektif karena beragamnya tingkat pengalihan antibodi induk

kepada anak anjing.

DAFTAR PUSTAKA

42
Allan, W.H., J.E. Lancaster and B. Toth. 1978. New Caste Disease Vaccines. Their
Production and Use. FAO.
Anonim, Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia untuk Penyakit Rabies, Departemen
Pertanian, Direktorat Kesehatan Hewan. Jakarta.
Bean, W.J., V.S. Hinshaw, and R.G. Webster. 1981. Genetic characterization of an
influenza virus from seals. In D. H. L. Bishop and R.W. Compans (ed), The
replication of negatitive-strand viruses. Elsevier/North-Holland, New York.
Bosch, F, X., W. Garten, H. D. Klenk, and R. Rott. 1981. Proteolytic cleavage of influenza
virus hemaglutinin : primary structure of influenza virus hemagglutin: primary
structure of the connecting peptide between HA1 and HA2 determines proteolytic
cleavability and pathogenicity of avian influenza virus.
Baloul L, Lafon M. 2003. Apoptosis and rabies virus neuroinvasion. Biochem 85: 777-
788.
Bradame H., Tordo N. 2001. Host switching in Lyssavirus history from the chiroptera to
the carnivora orders. J. Virol. 75: 8096-8104.
Fenner FJ, Gibbs EPJ, Murphy FA, Root R, Studdert MJ and White DO, (1993).
Veterinary Virology. Academic Press. California.
Suarez, D. L., Spackman, E., and Senne, D. A. (2003). Update on Molecular
Epidemiology of H1, H5 and H7 Influenza Virus Infections in Poultry in North
America. Avian Dis.
Susetya H, Sugiyama M, Inagaki A, Ito N, Mudiarto, MinamotoN. 2008. Molecular
epidemiology of rabies in Indonesia. Virus Research 135:144-149
World Health Organization (WHO). 2002. Current WHO GUIDE for rabies pre and post-
exposure treatment in humans. WHO Department of Communicable Surveillance
and Response.
Word Organization for Animal Health. (2002). Highly Pathogenic Avian Influenza. In
Manual of Standards Diagnostic test and Vaccines. 2000. Affice International des
Epizootics. Paris.
World Health Organization (WHO), 2004 Expert Consultation on Rabies. 1. Report.
Geneva: WHO Tech. Rep. Series, 9.

43

Anda mungkin juga menyukai