Flu Burung Dan Cara Mengatasinya
Flu Burung Dan Cara Mengatasinya
Avian influenza (AI) yang saat ini populer disebut influenza unggas atau
penyakit flu burung, adalah penyakit infeksius pada unggas yang disebabkan oleh virus
menimbulkan sindrom penyakit pernafasan pada unggas, mulai ringan (low pathogenic)
sampai dengan yang bersifat fatal (highly pathogenic). Ciri dari AI ganas ini adalah
unggas yang terserang tiba-tiba sakit dan tiba-tiba mati dengan tingkat morbiditas dan
1. ETIOLOGI
Penyakit avian influenza disebabkan oleh virus influenza tipe A dari familia
benar-benar atau sangat dan myxa berarti lendir. Orthomyxoviridae mempunyai tiga
2. MORFOLOGI
Virion Virus AI (VAI) berbentuk bulat dan pleomorfik, tetapi bisa juga bebentuk
filamen. Setiap virion berdiameter 80-120 nm, tetapi yang berbentuk filamen dapat
mempunyai panjang 400 – 800nm. Permukaan VAI dilapisi oleh dua lapisan lipid
heliks. Genom virus influenza adalah RNA serat tunggal (single Stranded / ss) polaritas
negatif dalam 8 segmen terpisah (Beard, 1980; Russel dan Edington, 1985; Mc Geoch
dkk., 1976).
3. PROTEIN VIRUS
VAI mempunyai sembilan protein yang merupakan bagian dari virus. Protein-
protein itu adalah H, N, NP, M1, M2, PB1, PB2, PA dan NS2 serta mempunyai satu
protein non-struktural (NS1) yang terdapat pada sitoplasma sel induk semang. Dua
protein yang penting dalam proses infeksi sel dan menentukan subtipe serta dapat
menginduksi kekebalan protektif terhadap VAI adalah protein H dan N (Harimoto dan
reseptor siagloglikosakarida. Selain itu, protein H juga berfungsi dalam fusi amplop
reseptor sel yang menyebabkan pelepasan virus. Protein ini juga berfungsi menstimulasi
antibodi untuk netralisasi virus yang membatasi penyebaran virus (Swayne dan
Halvorson, 2003).
virus RNA. Fungsi utamanya sebagai transport RNA ke inti dan sebagai target antigen
untuk sel limfosit T sitotoksik (scheepers danbecht, 1995). Protein PBI, PB2, dan PA
adalah enzin RNA polimerase dan vital dalam sintesis dan replikasi RNA. Protein Non-
2
Matriks 1 (M1) adalah protein struktur non-glikosilasi yang berada di sebelah
dalam amplop virus, berfungsi sebagai protein yang paling banyak berperan dalam
Virus avian influenza sensitif terhadap sinar ultra violet, desinfektan dan
antiseptik. Virus ini dapat diinaktivasi dengan pemanasan 560C selama 30 menit (Fenner
dkk., 1993), pemanasan 550C selama 1 jam atau 600C selama 10menit (Buxton dan
Fraser, 1977). Detergen seperti sodium desoksikolat dan sodium dodesilsilfat dapat juga
digunakan untuk inaktifasi virus mengingat amplopnya yangtersusun atas lemak. Selain
detergen dan pemanasan, inaktifasi dapat juga dilakukan dengan memanfaatkan bahan
kimia seperti formaldehida, beta propilakton, binari etilenimin, fenol, ion amonium,
sodium hipoklorat, asam encer dan hidroksilamin (Swayne dan Halvorson, 2003).
Meskipun termasuk virus yang mudah rusak pada lingkungan luar, VAI tetap
infeksius pada maternal organik. Misalnya dalam debu kering, virus ini dapat
bertahan selama 14 hari ( Buxton dan Fraser, 1977), kotoran (manure) cair selama 105
hari, pada musim dingin dan dalam feses selama 30 – 35 hari pada suhu 4oC, serta 7
3
4.2.1. Hanyutan Antigenik/Antigenik Drift
polaritas negatif dalam 8 segmen terpisah (McGeoch, dkk., 1976). Srtuktur antigen
virus influenza dapat berubah akibat dari sifat mutasi, rekombinasi (hanyutan
sebagai akibat dari kesalahan pemasangan asam basa pada RNA saat replikasi.
mutasi (Webster dan Hulse-Post, 2004). Rekombinasi dapat terjadi bila RNA virus
influenza terpotong dan disisipi potongan RNA asing yang berasal dari sel.
Meskipun peristiwa ini relatif jarang dilaporkan pada VAI (Webster dan Hulse,
2004) akan tetapi kecendrungannya meningkat akhir-ahir ini ( Suarez dkk., 2004).
Lompatan antigenik berasal dari penyusunan ulang genetik antara segmen gen
dari dua virus influenza yang menginfeksi sel yang sama. Penyusunan ulang
genetik mengakibatkan pertukaran segmen gen virus dari kedua virus asal.
manusia atau reassortment genetik dari dua virus influenza yang berbeda setelah
menginfeksi satu sel yang sama (Desselberger dkk., 1978). Kombinasi mutasi,
4
sifat-sitaf virus serta adaptasi untuk menembus barier species (Mahardika dkk.,
2005).
termasuk itik baik yang dipelihara (piaraan) maupun itik liar (Sturm-Ramirez dkk.,
2004; Porterfield, 1989). Semua subtipe (16 H dan 9 N) terdapat pada populasi
burung air, terutama itik, burung camar dan burung panatai lainnya (Fouchier dkk.,
2005; Webster dkk., 1992). Pada burung-burung tersebut, replikasi virus terjadi
pada saluran pencernaan, sehingga virus dengan titer tinggi dapat ditemukan dalam
Penyebaran VAI, termasuk burung yang berimigrasi antara belahan bumi utara dan
selatan. Kajian terhadap semua segmen gen virus influenza asal burung atau
unggas menunjukkan bahwa semua VAI mempunyai dua garis keturunan terpisah,
5
4.3.2. Penyebaran VAI dari hewan peka
Itik dan angsa liar dianggap tidak peka terhadap penyakit ini, tetapi itik
merupakan sumber virus influenza yang penting bersama unggas air liar. Virus
tinja. Penularannya memerlukan persentuhan yang sangat erat antar unggas, dan
penularannya lewat udara tidak begitu penting (Fenner dkk., 1993). Sejalan dengan
pernyataan itu, Swayne dan Halvorson, (2003) juga menyatakan bahwa spesimen
yang diambil lebih dari 45 meter searah angin dari tempat infeksi tidak
mengandung virus.
Itik mengekskresikan VAI dalam jumlah besar bersama tinja (Kida dkk.,
1980). Di dalam feses tersebut, VAI yang sudah diekskresikan dapat bertahan lama.
VAI dapat disebarkan secara mekanis oleh sepatu, pakaian pekerja dan peralatan
kerja lainnya yang tercemar feces dan muntahan yang mengandung virus.
Beberapa penelitian lainnya menyebutkan burung liar juga dianggap sebagai salah
jarang terjadi. Dilaporkan VAI pada induk ayam dideteksi terdapat virus pada
pasca inokulasi mengandung virus bersifat letal bagi embrio (Swayne dan
Halvorson, 2003).
6
4.3.3. Transmisi antar hewan
species induk semang dengan sering dan mudahnya transmisi antar spesies. Namun
transmisi antar spesies dapat terjadi terutama antara spesies induk semang yang
berhubungan dekat dengan taksonomi famili yang sama seperti ayam, kalkun dan
puyuh dari ordo Galliformes, famili Phasinidae. Transmisi antar species dapat
terjadi sampai pada ordo yang berbeda dalam klas yang sama seperti itik
(Anseriformes) kepada kalkun (Ordo : Galliformes), tetapi hal ini jarang terjadi
dari pada yang terjadi pada induk semang dari keluarga terdekat (Swayne dan
Halvorson, 2003).
bisa terjadi antar species dan tidak perlu melalui kerabat taksonomi terdekat.
Bahkan, virus HPAI-H5N1 dan H9N2 yang fatal pada unggas dan manusia tidak
memerlukan adaptasi pada mamalia (Ungehusak dkk., 2005; Hien dkk., 2004;
Tumpey dkk., 2002). Studi laboratorium yang dilakukan oleh Shinya dkk., (2004)
yang telah mengisolasi VAI manusia ternyata juga fatal pada ayam dan itik.
influenza pada unggas dapat dibiakkan baik dalam epitel pernafasan manusia
maupun dalam unggas. Hal ini membuktikan bahwa untuk dapat menginfeksi
7
4.3.4. Peran hewan dalam penyebaran VAI
Berbagai jenis hewan baik unggas maupun hewan lainnya dapat berperan
dalam penyebaran VAI. Itik secara jelas dianggap reservoir VAI (Strum-Ramirez
dkk., 2004; Swayne dan Halvorson, 2003; Porterfield 1989), sebagai tempat
adaptasi dan evolusi virus sehingga dapat bereplikasi ifisien pada manusia, bahkan
mengekskresikan virus dalam jangka waktu yang lama (Hulse-Post dkk., 2004).
vessel) dan adaptasi virus influenza unggas dengan virus mamalia atau manusia
sehingga dapat memicu timbulnya pandemi. Penularan virus influenza dari babi ke
poplasi babi bersama-sama unggas dan manusia merupakan faktor penting untuk
reassortment dengan virus burung yang lain atau virus mamalia. Angsa telah
diketahui sebagai reservoir dan donor HA virus HPAI H5N1 (Chen dkk., 2004;
Guan dkk., 2002). VAI juga dengan mudah dapat diisolasi dari kotoran angsa.
2003) dapat mengambil alih atau mendukung peran babi. Kejadian reassortment
pada burung puyuh bahkan dapat berlangsung secara berseri. Untuk kejadian ini,
pasar burung atau hewan hidup menyediakan lingkungan yang sesuai untuk
8
4.3.5. Peran lingkungan dan manajemen peternakan dalam penyebaran VAI
peka. Ketersediaan induk semang, campuran antar spesies peka, perbedaan umur
dan kerapatan ternak yang dipelihara dalam suatu tempat yang sama akan
meningkatkan laku penyebaran serta VAI akan bersikap lestari di tempat tersebut
(Swayne dan Halvorson, 2003). Kondisi seperti diulas di atas, diperburuk dengan
hewan-hewan, baik yang sehat maupun sebagai pembawa VAI. Sehingga pada
tempat tersebut, dicurigai terjadinya kontak antar hewan sehat dan hewan
2003).
4.4.1. Patogenesis
Perjalanan dimulai dari proses inhalasi dan menelan virion LPAI atau HPAI
infeksius. Karena enzim tripsin-like di dalam sel epitel pernafasan dan intestinal
virion infeksius. Pada unggas, rongga hidung berperan sebagai tempat pertama kali
dalam replikasi virus. Kemudian dengan virus HPAI, virion menyerang submukosa
dan memasuki kapiler. Virion kemudian melekat pada silia sel epitel hidung,
9
trakea, bronkus, atau dapat dimasukan secara langsung ke dalam alveoli. Sehingga
dalam waktu dua jam antigen virus dapat ditemukan dalam sel tersebut. Waktu
vaskuler atau limfatik untuk menginfeksi dan bereplikasi di dalam berbagai tipe sel
pada organ visceral, otak dan kulit. Masa inkubasi VAI berlangsung beberapa jam
samapi 3 hari, tergantung dari dosis virus, rute kontak dan species unggas yang
terserang. Virus dapat berubah menjadi sistemik sebelum bereplikasi secara meluas
4.4.2. Patogenitas
lapangan, VAI digolongkan menjadi empat kelompok klinis yaitu sangat virulen
subtipe H5 atau H7 (Fenner dkk., 1993) dengan tingkat morbiditas dan mortalitas
berbagai jenis hewan. Misalnya pada babi dan kuda, patogenitas yang ditimbulkan
mirip dengan pada manusia (Swayne dan Halvorson, 2003). Sedangkan patogenitas
pada itik lebih ringan dari pada kalkun (Laudert dkk., 1993)
10
4.4.3. Gejala klinis infeksi VAI
Gejala klinis infeksi VAI sangat bervariasi dan tergantung pada banyak
faktor seperti strain virus, spesies induk semang, umur, jenis kelamin, infeksi
Halvorson, 2003). Gejala klinis yang ditimbulkan VAI pada ayam secara umum
telur bahkan penghentian total dalam produksi telur bahkan penghentian total
dalam produksi telur selama enam hari. Pembengkakan dibagian kepala, muka
leher atas dan kaki adalah umum sebagai akibat oedema subkutaneus dan mungkin
disertai perdarahan petechie dan ecchymosis. VAI secara klinis juga dapat
mengakibatkan foki nekrotik, hemoragi dan cyanosis pada kulit, jengger dan pial.
namun kerusakan dapat terjadi pada saluran pernafasan (Cooley dkk., 1989),
memperlihatkan titer yang tinggi serta jarang memproduksi serum antibodi (Kida
dkk., 1980). Perkins dkk., (2002) melaporkan bahwa itik dan babi terbukti lebih
tahan terhadap infeksi VAI daripada angsa. Laudert dkk., (1993) menyebutkan
bahwa gejala yang ditimbulkan akibat infeksi VAI pada itik lebih ringan dari pada
kalkun.
mekanisme yakni nekrosis dan apoptosis. Nekrosis dapat terjadi pada banyak tipe
sel termasuk sel tubulus, epitelium acinar pankreas, myosit jantung, sel kortiko
11
adrenal dan sel paru-paru pada ayam. Sedangkan apoptosis nampak nyata pada
neuron, epitel saluran pencernaan dan sel alveolar paru-paru mencit yang diinfeksi
Lesio pada organ visceral bervariasi tergantung strain virus, tetapi paling
sering terlihat adalah perdarahan pada permukaan serosa atau mukosa dan foki
Nekrosis dan hemoragi terjadi pada kelenjar peyer’s usus halus umum terjadi
sebagaimana dilaporkan pada wabah plaque awal tahun 1900-an. Morbiditas dan
Pada burung unta, virus HPAI menimbulkan oedema pada kepala dan leher,
sacculitis ringan hingga parah, pembesaran dan pengerasan pankreas. Air sacculitis
ringan hingga parah, pembesaran ginjal dan limfa (renomegali dan splenomegali).
Secara mikroskopis nampak nekrosis koagulatif pada limfa, ginjal dan hati.
Nekrosis fibrinosa umum terjadi pada arterioles otak dan limfa. Pankreas
mengalami nekrosis sel acinar dengan peradangan sel mononuclear dan fibrosis.
Malacia fokal dan nerophagia terjadi di dalam otak, dan lesio nekrotik dan
12
4.5. DIAGNOSIS VIRUS AVIAN INFLUENZA
gambaran epidemiologi, gejala klinis, dan gambaran patologi. Namun diagnosis klinis
biasanya sulit ditegakkan, mengingat keragaman gejala klinis dan kemiripannya dengan
penyakit unggas lain terutama New Castle Diseases (ND). Diagnosis klinis merupakan
laboratorium.
beberapa tehnik standar yang direkomendasikan Oleh WHO (2002) salah satumya
melalaui isolasi pada telur ayam berembrio umur 9-11 hari, identifikasi aktifitas HA dan
serologis dengan uji HI dan ELISA, atau deteksi genom virus dengan Reverse
VAI baik secara klinis maupun patologis dapat dikelirukan dengan beberapa
penyakit unggas lainnya terutama dilihat dari tingkat keganasan dan lesi yang
dengan infeksi VAI antara lain penyakit ND ganas (volgenic ND), kolera ayam (fowl
infectious bronchitis pada ayam (Fenner dkk., 1993). Agar dapat menentukan diagnosa
laboratorium.
13
4.7. SURVAILLANS
membutuhkan wawasan yang luas. Dalam peneguhan diagnosa definitif, ada beberapa
aspek yang perlu diperhatikan, antara lain epidemiologi kasus, gejala klinis dan
patologis, serta konfirmasi laboratorium. Suatu daerah yang sudah terinfeksi VAI,
Selain itu, survaillans juga dianjurkan oleh WHO (2002) untuk dilaksanakan
padadaerah yang terancam maupun wabah VAI. Hal ini dimaksudkan sebagai sistem
infeksi VAI kepada masyarakat secara luas perlu segera dilaksanakan. Agar masyarakat
memahami secara utuh bagaimana cara menyikapi wabah tersebut. Hal ini dimaksudkan
agar masyarakat dapat berperan aktif dalam mengurangi resiko penyebaran VAI. Serta
penyakit ini. Diharapkan dengan pengetahuan yang cukup, para peternak dapat merubah
pola hidup atau systim beternak yang dapat memicu VAI lestari ditempat tersebut. Pola
dan manajemen peternakan yang dianjurkan misalnya harus hanya memelihara satu
spesies unggas tertentu saja dalam satu siklus produksi/masa ternak, kemudian
menjalani sistem produksi all in-all out (keluar-masuknya hewan dilakukan bersama dan
seumur) atau menambah unggas baru hanya setelah pengujian dan karantina hewan
14
4.8.2. Karantina
Lalulintas ternak antar pulau sudah saatnya untuk diperhatikan secara serius
melalaui balai karantina (Mahardika dkk., 2005). Diharapkan agar jangan sampai hewan
yang memang membawa VAI dapat masuk ke daerah bebas. Kemudian pencucian kulit
telur dengan desinfeksi perlu juga dilakukan untuk mencegah penyebaran VAI pada saat
prinsip biosekuriti antara lain manajemen “all in – all out”, pencucian dan desinfeksi
alat, pembatasan keluar masuk manusia, penyediaan pakaian pekerja, kandang yang
yang memadai, peniadaan kontak dengan burung dan unggas liar, serta pemberlakuan
diharapkan dapat memotong siklus VAI, sehingga tidak berdampak secara luas.
Pemusnahan unggas yang tertular secara serempak dan yang kontak dengan
unggas dalam radius tertentu (stamping out) merupakan strategi yang paling efektif
pembatasan lalu lintas unggas dan produk-produk serta manusia, repopulasi peternak
setelah tindakan pembersihan dan daerah yang bersangkutan memang bebas VAI HPAI
15
Namun stamping out secara total nampaknya masih sulit diterapkan di
kompensasi dan kesadaran masyarakat yang relatif minim akan bahaya VAI. Langkah
lain yang dapat dipakai adalah menekan penyebaran sekunder, kuncinya adalah berpola
hygienis, meliputi pembersihan dan pencucihamaan dan selang waktu dari pemotongan
4.8.5. Vaksinasi
Vaksin dapat digunakan sebagai salah satu pencegahan penyebaran VAI. Vaksin
yang banyak beredar dipasaran dan sering digunakan biasanya inaktif (Fenner dkk.,
1993). Vaksin VAI HPAI yang banyak tersedia adalah vaksin inaktif dalam adjuvant
minyak yang mempunyai kandungan virus yang homolog dan heterolog. Vaksin
homolog mengandung virus dengan sub type yang sama dengan yang sedang
HA yang sama dengan penyebab wabah tetapi mempunyai NA yang berbeda, misalnya
vaksin H5N2 untuk wabah yang disebabkan oleh H5N1 (Mahardika., 2005).
penyakit yang lebih luas. Tindakan pemusnahan diharapkan sesuai dengan prosedur
harus juga diikuti dengan disposal ayam mati, telur, litter, kotoran unggas, karkas segar
dan beku, peralatan dan bangunan yang tidak permanen harus dibakar dan dikubur
16
dengan ditaburi bubuk kapur. Lubang tempat penguburan / pembakaran harus berlokasi
di dalam areal peternakan tertular dan berjarak minimal 20 meter dari kandang tertular
4.8.7 Pengendalian lalu lintas unggas, produk unggas, dan limbah peternakan
unggas.
Pengendalian lalu lintas dilakukan secara ketat terhadap setiap pemasukan dan
pengeluaran unggas hidup, produk unggas serta limbah peternakan dari peternakan
tertular di bawah pengawasan Dinas Peternakan setempat. Kiriman unggas yang dipesan
dari luar daerah tempat pemesanan perlu dipantau dan diperiksa, hal ini dilakukan untuk
Daging, telur, dan karkas unggas perlu juga diawasi untuk mencegah penyebaran
virus yang masih aktif dan menempel pada produk tersebut. Karena jika produk
yang penting bagi dunia kesehatan hewan dan manusia, karena kegiatan ini bertujuan
terancam maupun bebas penyakit. Cara pengambilan sampel berupa darah, usapan
kloaka atau feses dan apabila ada hewan yang mati dapat dibawa ke laboratorium untuk
diuji. Pengambilan sampel bertujuan untuk mengetahui jenis virus yang menyerang,
17
4.8.9 Pengisian kandang kembali (Restocking)
prosedur. Pengisian kembali unggas ke dalam kandang dapat dilakukan dalam rentang
waktu 30 hari untuk peternakan integrasi besar dan komersial sedangkan 45 hari untuk
peternakan ayam kampung dan itik. Hal ini dilakukan karena kebanyakan virus tidak
dapat bertahan hidup setelah 21 hari diudara bila mereka tidak melakukan kontak
dengan hewan.
Jika kasus AI yang timbul di daerah bebas/terancam dan telah didiagnosa secara
tindakan stamping-out mesti dilakukan pada seluruh unggas sakit maupun sehat pada
peternakan tertular. Pada unggas yang berada pada radius 1 km dari peternakan yang
vaksinasi. Namun strategi ini masih sulit diterapkan di Indonesia karena kemampuan
pemerintah dalam memberikan kompensasi atas ternak yang dimusnahkan dan masih
kurangnya kesadaran masyarakat yang relatif minim akan bahaya VAI. Langkah lain
yang dapat dipakai untuk menekan penyebaran sekunder, kuncinya adalah berpola
higienis; meliputi pembersihan dan penyucihamaan dan selang waktu dari pemotongan
18
4.8.11 Peningkatan kesadaran masyarakat
setempat. Informasi tentang AI juga dapat dilakukan melalui siaran radio dan televisi,
darahnya untuk diperiksa apakah serumnya mengandung antibodi terhadap VAI atau
tidak. Jika hewan sentinel terpapar virus tapi ayam lainnya tidak ada yang mati, berarti
19
DAFTAR PUSTAKA
Alexander D.J. (1996). Highly Pathogenic Avian Influenza. Manual of Standards for
Diagnostic Test and Vaccine. OIE. 155-160
Chen H, G., Deng, Z.Li., G Tian., Y. Li, P. Jiao, L. Zhang, Z. Liu., R.G. Webster, and K.
Yu. (2004). The Evaluation of H5NI Influenza Viruses in Ducks in Southern
China. PNAS. July 13, 2004, vol. 101(28): 10452-10457.
Doan C. Nguyen, Timothy M., Uyeki Samadhan Jadhao, Taronna Maines. (2005).
Isolation and Characterization of Avian Influenza Viruses Including Highly
Pathogenic H5N1 From Poultry in Live Bird market in Hanoy Vietnam in 2001.
Journal of Virology. 79 ; 4201-4212.
Fanner, F.J., Gibbs E.P.J., Murphy F.A., Rott R., Studert M.J., White D.O. (1993).
Virologi Veteriner. Edisi Kedua. Penerjemah D.K. Harya Putra. IKIP Semarang
Press. Semarang.
Hulse-Post, D.J., K.M. Sturm-Ramirez., J.Humberd., P.Seiler., E.A. Govorkova.,
S.Krauss., C. Scholtissek., P. Puthavathana., Buranathai, T.D. Nguyen., H. T.
Long., T.S.P. Naipospos., H. Chen., T. M. Ellis., Y. Guan., J.S.M. Peiris, and R.G.
Webster. (2005). Role of Domestic Duck in the Propagation and Biological
Evolution of HighlyPathogenic H5N1 Influenza Viruses in Asi, PNAS. July 26,
2005, Vol. 102(30)”: 10682-10687.
Li, K.S., K.M. Xu, J.S.M. Peiris, L.L.M. poon. (2004). Characterization of H9 Subtype
Influenza Viruses from The Duck in Southen Cina. J. Virol. 2003 June; 77 (12):
6988-6994.
Sturm-Ramirez, K.M., Ellis, T., Bousfield, B., Bisset, L., Dryting, K., Rehg, J.E., poon,
Y., Guan, Y., Peiris, M., M., Webster, R.G. (2004). Reemerging H5N1 Influenza
Viruses in Hongkong in 2002 Are Highly Pathogenic to Ducks Journal of
Virology. 78:4892-4901.
Tian G, Zhang S, Li Y, Bu Z, Liu P, Zhou J, Li C, Shi J, Yu K K, Chen H (2005).
Protective Effecacy in Chikens, Geese and Ducks of An H5N1- Inactivated
Vaccine Develoved by Reverse Genetic. www.pubmed.gov.
Tumpey, T.M., Suarez., D.L., perkins, L.E., Senne, D.A., Lee, Y.J., Mo, I. Swayne,
D.E., (2003). Evolution of a High-Pathogenicity H5N1 Avian Influenza A Virus
Isolated From Duck Meat. Avian Disease. Vol 47 (3 suppl): 951-955.
Webster, R.G, W.J. Bean, O.T. Gorman, T.M. Chambers, and Y. Kawaoka. (1992).
Evolution and Ecology of Influenza A Viruses. Departement of Virology and
Molecular Biology, St. Jude Children’s Research Hospital, Memphis, Tennessee
38101.
WHO. (2002). WHO Global Indonesia Programme. www.who.int
WHO. (2005). Geografical Spread of H5N1 Avian Influenza in Bird – Update 28
Situation Assessment and Implication for Human Health 18 Agustus 2005.
www.who.int.
20
21