Anda di halaman 1dari 21

PENYAKIT AVIAN INFLUENZA

Avian influenza (AI) yang saat ini populer disebut influenza unggas atau

penyakit flu burung, adalah penyakit infeksius pada unggas yang disebabkan oleh virus

influenza tipe A dari familia Orthomyxoviridae. Virus avian influenza dapat

menimbulkan sindrom penyakit pernafasan pada unggas, mulai ringan (low pathogenic)

sampai dengan yang bersifat fatal (highly pathogenic). Ciri dari AI ganas ini adalah

unggas yang terserang tiba-tiba sakit dan tiba-tiba mati dengan tingkat morbiditas dan

mortalitas 90-100 % (Swayne dan Halvorson, 2003).

1. ETIOLOGI

Penyakit avian influenza disebabkan oleh virus influenza tipe A dari familia

Orthomyxoviridae. Orthomyxoviridae, berasal dari kata yunani yaitu orthos berarti

benar-benar atau sangat dan myxa berarti lendir. Orthomyxoviridae mempunyai tiga

genus (klas) yaitu influenza A, B dan C berdasarkan perbedaan antigenik nukleoprotein

(NP) dan Matriks (M1).

2. MORFOLOGI

Virion Virus AI (VAI) berbentuk bulat dan pleomorfik, tetapi bisa juga bebentuk

filamen. Setiap virion berdiameter 80-120 nm, tetapi yang berbentuk filamen dapat

mempunyai panjang 400 – 800nm. Permukaan VAI dilapisi oleh dua lapisan lipid

dengan tonjolan tonjolan glikoprotein yang panjangnya 10 – 14 nm dengan diameter 4 –

6 nm. Penonjolan tersebut adalah H dan N sedangkan Nukleokapsidnya berbentuk

heliks. Genom virus influenza adalah RNA serat tunggal (single Stranded / ss) polaritas
negatif dalam 8 segmen terpisah (Beard, 1980; Russel dan Edington, 1985; Mc Geoch

dkk., 1976).

3. PROTEIN VIRUS

VAI mempunyai sembilan protein yang merupakan bagian dari virus. Protein-

protein itu adalah H, N, NP, M1, M2, PB1, PB2, PA dan NS2 serta mempunyai satu

protein non-struktural (NS1) yang terdapat pada sitoplasma sel induk semang. Dua

protein yang penting dalam proses infeksi sel dan menentukan subtipe serta dapat

menginduksi kekebalan protektif terhadap VAI adalah protein H dan N (Harimoto dan

Kawaoka, 2001; Swayne dan Halvorson, 2003).

Protein H merupakan glikoprotein yang berperan dalam penempelan virus pada

reseptor siagloglikosakarida. Selain itu, protein H juga berfungsi dalam fusi amplop

dengan membran sel dan menstimulir antibodi untuk netralisasi virus.

Protein N juga merupakan glikoprotein yang berfungsi sebagai enzim penghancur

reseptor sel yang menyebabkan pelepasan virus. Protein ini juga berfungsi menstimulasi

antibodi untuk netralisasi virus yang membatasi penyebaran virus (Swayne dan

Halvorson, 2003).

Nukleoprotein (NP) merupakan struktur protein utama berkaitan dengan segmen

virus RNA. Fungsi utamanya sebagai transport RNA ke inti dan sebagai target antigen

untuk sel limfosit T sitotoksik (scheepers danbecht, 1995). Protein PBI, PB2, dan PA

adalah enzin RNA polimerase dan vital dalam sintesis dan replikasi RNA. Protein Non-

Stuktural 1 (NS-1) juga penting yang berfungsi menghambat mekanisme kerja

interferon (Guan dkk., 2004; Swayne dan Halvorson, 2003).

2
Matriks 1 (M1) adalah protein struktur non-glikosilasi yang berada di sebelah

dalam amplop virus, berfungsi sebagai protein yang paling banyak berperan dalam

replikasi virus. Sedangkan Matriks 2 (M2) sebagai membran glikoprotein yang

berfungsi dalam meyalurkan ion (Swayne dan Halvorson, 2003).

4. SIFAT –SIFAT VAI

4.1. SIFAT FISIKO-KIMIA

Virus avian influenza sensitif terhadap sinar ultra violet, desinfektan dan

antiseptik. Virus ini dapat diinaktivasi dengan pemanasan 560C selama 30 menit (Fenner

dkk., 1993), pemanasan 550C selama 1 jam atau 600C selama 10menit (Buxton dan

Fraser, 1977). Detergen seperti sodium desoksikolat dan sodium dodesilsilfat dapat juga

digunakan untuk inaktifasi virus mengingat amplopnya yangtersusun atas lemak. Selain

detergen dan pemanasan, inaktifasi dapat juga dilakukan dengan memanfaatkan bahan

kimia seperti formaldehida, beta propilakton, binari etilenimin, fenol, ion amonium,

sodium hipoklorat, asam encer dan hidroksilamin (Swayne dan Halvorson, 2003).

Meskipun termasuk virus yang mudah rusak pada lingkungan luar, VAI tetap

infeksius pada maternal organik. Misalnya dalam debu kering, virus ini dapat

bertahan selama 14 hari ( Buxton dan Fraser, 1977), kotoran (manure) cair selama 105

hari, pada musim dingin dan dalam feses selama 30 – 35 hari pada suhu 4oC, serta 7

hari pada suhu 20oC (Swayne dan Halvorson, 2003).

4.2. SIFAT ANTIGENIK VAI

3
4.2.1. Hanyutan Antigenik/Antigenik Drift

Genom virus influenza adalah RNA serat tunggal (single stranded/ss)

polaritas negatif dalam 8 segmen terpisah (McGeoch, dkk., 1976). Srtuktur antigen

virus influenza dapat berubah akibat dari sifat mutasi, rekombinasi (hanyutan

antigenik), serta reassortment (lompatan antigenik) (Fenner, 1993).

Hanyutan antigenik dapat terjadi karena mutasi rekombinasi. Mutasi terjadi

sebagai akibat dari kesalahan pemasangan asam basa pada RNA saat replikasi.

Disamping itu enzim RNA-polimerase VAI tidak mempunyai kemampuan

memperbaiki kesalahan (proof-reading) sehingga dapat menyebabkan terjadinya

mutasi (Webster dan Hulse-Post, 2004). Rekombinasi dapat terjadi bila RNA virus

influenza terpotong dan disisipi potongan RNA asing yang berasal dari sel.

Meskipun peristiwa ini relatif jarang dilaporkan pada VAI (Webster dan Hulse,

2004) akan tetapi kecendrungannya meningkat akhir-ahir ini ( Suarez dkk., 2004).

4.2.2. Lompatan Atigenik/Antigenic shift

Lompatan antigenik berasal dari penyusunan ulang genetik antara segmen gen

dari dua virus influenza yang menginfeksi sel yang sama. Penyusunan ulang

genetik mengakibatkan pertukaran segmen gen virus dari kedua virus asal.

Lompatan antigenik terjadi karena transmisi langsung virus non-manusia ke

manusia atau reassortment genetik dari dua virus influenza yang berbeda setelah

menginfeksi satu sel yang sama (Desselberger dkk., 1978). Kombinasi mutasi,

reassortment, dan rekombinasi genetik tersebut mendasari pemunculan atau

pemunculan kembali virus influenza. Kombinasi itu memungkinkan perubahan

4
sifat-sitaf virus serta adaptasi untuk menembus barier species (Mahardika dkk.,

2005).

4.3. EPIDEMIOLOGI VAI

4.3.1. Reservoir VAI

Burung air liar khususnya ordo Anseriformes dan Chadriiformes berperan

sebagai reservoar asimptomatis untuk VAI (Swayne dan Halvorson., 2003),

termasuk itik baik yang dipelihara (piaraan) maupun itik liar (Sturm-Ramirez dkk.,

2004; Porterfield, 1989). Semua subtipe (16 H dan 9 N) terdapat pada populasi

burung air, terutama itik, burung camar dan burung panatai lainnya (Fouchier dkk.,

2005; Webster dkk., 1992). Pada burung-burung tersebut, replikasi virus terjadi

pada saluran pencernaan, sehingga virus dengan titer tinggi dapat ditemukan dalam

feces. Dengan demikian, transmisi fekal-oral menjadi mekanisme utama

penyebaran virus diantaranya unggas air.

Burung-burung liar seperti yang diungkapkan di atas dapat berperan dalam

Penyebaran VAI, termasuk burung yang berimigrasi antara belahan bumi utara dan

selatan. Kajian terhadap semua segmen gen virus influenza asal burung atau

unggas menunjukkan bahwa semua VAI mempunyai dua garis keturunan terpisah,

yaitu garis Eurasian dan Amerika (Webster dkk., 1992).\

5
4.3.2. Penyebaran VAI dari hewan peka

Itik dan angsa liar dianggap tidak peka terhadap penyakit ini, tetapi itik

merupakan sumber virus influenza yang penting bersama unggas air liar. Virus

diekskresikan bersama sekreta saluran pernafasan dan konjungtiva, dan dalam

tinja. Penularannya memerlukan persentuhan yang sangat erat antar unggas, dan

penularannya lewat udara tidak begitu penting (Fenner dkk., 1993). Sejalan dengan

pernyataan itu, Swayne dan Halvorson, (2003) juga menyatakan bahwa spesimen

yang diambil lebih dari 45 meter searah angin dari tempat infeksi tidak

mengandung virus.

Itik mengekskresikan VAI dalam jumlah besar bersama tinja (Kida dkk.,

1980). Di dalam feses tersebut, VAI yang sudah diekskresikan dapat bertahan lama.

VAI dapat disebarkan secara mekanis oleh sepatu, pakaian pekerja dan peralatan

kerja lainnya yang tercemar feces dan muntahan yang mengandung virus.

Beberapa penelitian lainnya menyebutkan burung liar juga dianggap sebagai salah

satu sumber penyebar VAI yang mengeksresikan virus melalaui feces.

Secara horisontal penyebaran VAI sering terjadi, namun secara vertikal

jarang terjadi. Dilaporkan VAI pada induk ayam dideteksi terdapat virus pada

permukaan kulit telur yang terkontaminasi dari feces. Studi laboratorium di

Penyslvania virus HPAI-H5N2 kebanyakan telur dierami pada hari ke 3 dan 4

pasca inokulasi mengandung virus bersifat letal bagi embrio (Swayne dan

Halvorson, 2003).

6
4.3.3. Transmisi antar hewan

Virus influenza memperlihatkan berbagai derajat adaptasi masing-masing

species induk semang dengan sering dan mudahnya transmisi antar spesies. Namun

transmisi antar spesies dapat terjadi terutama antara spesies induk semang yang

berhubungan dekat dengan taksonomi famili yang sama seperti ayam, kalkun dan

puyuh dari ordo Galliformes, famili Phasinidae. Transmisi antar species dapat

terjadi sampai pada ordo yang berbeda dalam klas yang sama seperti itik

(Anseriformes) kepada kalkun (Ordo : Galliformes), tetapi hal ini jarang terjadi

dari pada yang terjadi pada induk semang dari keluarga terdekat (Swayne dan

Halvorson, 2003).

Namun beberapa penelitian lain menyatakan penularan VAI subtipe H5N1

bisa terjadi antar species dan tidak perlu melalui kerabat taksonomi terdekat.

Bahkan, virus HPAI-H5N1 dan H9N2 yang fatal pada unggas dan manusia tidak

memerlukan adaptasi pada mamalia (Ungehusak dkk., 2005; Hien dkk., 2004;

Tumpey dkk., 2002). Studi laboratorium yang dilakukan oleh Shinya dkk., (2004)

yang telah mengisolasi VAI manusia ternyata juga fatal pada ayam dan itik.

Sejalan dengan pernyataan di atas, Matrosovick (2005) berhasil membuktikan virus

influenza pada unggas dapat dibiakkan baik dalam epitel pernafasan manusia

maupun dalam unggas. Hal ini membuktikan bahwa untuk dapat menginfeksi

manusia, VAI tidak perlu beradaptasi pada babi/mamalia terlebih dahulu.

7
4.3.4. Peran hewan dalam penyebaran VAI

Berbagai jenis hewan baik unggas maupun hewan lainnya dapat berperan

dalam penyebaran VAI. Itik secara jelas dianggap reservoir VAI (Strum-Ramirez

dkk., 2004; Swayne dan Halvorson, 2003; Porterfield 1989), sebagai tempat

adaptasi dan evolusi virus sehingga dapat bereplikasi ifisien pada manusia, bahkan

VAI H5N1 dapat mengalami evolusi yang cepat serta memungkinkan

mengekskresikan virus dalam jangka waktu yang lama (Hulse-Post dkk., 2004).

Babi dalam penyebaran VAI berperan sebagai wahana pencampur (mixing

vessel) dan adaptasi virus influenza unggas dengan virus mamalia atau manusia

sehingga dapat memicu timbulnya pandemi. Penularan virus influenza dari babi ke

manusia sudah banyak dilaporkan (Stephenson dan Zambon, 2002). Kepadatan

poplasi babi bersama-sama unggas dan manusia merupakan faktor penting untuk

munculnya virus pandemik (Webster dan Hulse-Post, 2004).

Angsa juga dapat berperan sebagai pembawa VAI yang mengalami

reassortment dengan virus burung yang lain atau virus mamalia. Angsa telah

diketahui sebagai reservoir dan donor HA virus HPAI H5N1 (Chen dkk., 2004;

Guan dkk., 2002). VAI juga dengan mudah dapat diisolasi dari kotoran angsa.

Tingkat keberhasilan isolasi bahkan sampai 15 %, sementara pada semua jenis

burung yang lain kurang dari 2 % (Alexander, 2000).

Burung puyuh dapat berperan sebagai wahana pencampur (Perez dkk.,

2003) dapat mengambil alih atau mendukung peran babi. Kejadian reassortment

pada burung puyuh bahkan dapat berlangsung secara berseri. Untuk kejadian ini,

pasar burung atau hewan hidup menyediakan lingkungan yang sesuai untuk

fenomena reassortment pada burung puyuh.

8
4.3.5. Peran lingkungan dan manajemen peternakan dalam penyebaran VAI

Faktor predisposisi sangat berpengaruh dalam penyebaran VAI dari hewan

peka. Ketersediaan induk semang, campuran antar spesies peka, perbedaan umur

dan kerapatan ternak yang dipelihara dalam suatu tempat yang sama akan

meningkatkan laku penyebaran serta VAI akan bersikap lestari di tempat tersebut

(Swayne dan Halvorson, 2003). Kondisi seperti diulas di atas, diperburuk dengan

banyak juga peternak yang masih menggunakan sistem tumpang sari,

pengembalaan yang bebas serta mengabaikan penerapan sistem biosecurity.

Tempat karantina hewan juga diindikasikan sebagai salah satu pintu

masuknya VAI. Pada tempat tersebut dimungkinkan bertemunya berbagai jemis

hewan-hewan, baik yang sehat maupun sebagai pembawa VAI. Sehingga pada

tempat tersebut, dicurigai terjadinya kontak antar hewan sehat dan hewan

pembawa VAI yang mengakibatkan tertularnya VAI (Swayne dan Halvorson,

2003).

4.4. GEJALA KLINIS DAN PATOLOGIS

4.4.1. Patogenesis

Perjalanan dimulai dari proses inhalasi dan menelan virion LPAI atau HPAI

infeksius. Karena enzim tripsin-like di dalam sel epitel pernafasan dan intestinal

mengeluarkan hemaglutinin permukaan, siklus replikasi bersifat multipel

berlangsung di dalam saluran pernafasan dan/atau pencernaan dengan melepaskan

virion infeksius. Pada unggas, rongga hidung berperan sebagai tempat pertama kali

dalam replikasi virus. Kemudian dengan virus HPAI, virion menyerang submukosa

dan memasuki kapiler. Virion kemudian melekat pada silia sel epitel hidung,

9
trakea, bronkus, atau dapat dimasukan secara langsung ke dalam alveoli. Sehingga

dalam waktu dua jam antigen virus dapat ditemukan dalam sel tersebut. Waktu

yang dibutuhkan dalam penyebaran keseluruh saluran pernafasan dibutuhkan

waktu 1-3 hari (Swayne dan Halvorson, 2003).

VAI bereplikasi di dalam sel endotelium dan menyebar melalui sistem

vaskuler atau limfatik untuk menginfeksi dan bereplikasi di dalam berbagai tipe sel

pada organ visceral, otak dan kulit. Masa inkubasi VAI berlangsung beberapa jam

samapi 3 hari, tergantung dari dosis virus, rute kontak dan species unggas yang

terserang. Virus dapat berubah menjadi sistemik sebelum bereplikasi secara meluas

di dalam sel endotelial vaskuler (Swayne dan Halvorson, 2003).

4.4.2. Patogenitas

Berdasarkan pola mortalitas, gejala klinis dan lesi yang ditimbulkan di

lapangan, VAI digolongkan menjadi empat kelompok klinis yaitu sangat virulen

(Highly Pathogenic Avian Influenza/HPAI), virulen, sedang, virulen ringan. Dan

subtipe H5 atau H7 (Fenner dkk., 1993) dengan tingkat morbiditas dan mortalitas

mendekati 100 % (Swayne dan Halvorson, 2003).

Patogenitas dan kepekaan hewan terhadap infeksi VAI bervariasi pada

berbagai jenis hewan. Misalnya pada babi dan kuda, patogenitas yang ditimbulkan

mirip dengan pada manusia (Swayne dan Halvorson, 2003). Sedangkan patogenitas

pada itik lebih ringan dari pada kalkun (Laudert dkk., 1993)

10
4.4.3. Gejala klinis infeksi VAI

Gejala klinis infeksi VAI sangat bervariasi dan tergantung pada banyak

faktor seperti strain virus, spesies induk semang, umur, jenis kelamin, infeksi

sekunder, kekebalan dapatan (vaksinasi) dan faktor lingkungan (Swayne dan

Halvorson, 2003). Gejala klinis yang ditimbulkan VAI pada ayam secara umum

dapat mengakibatkan depresi serta penurunan aktifitas hewan, penurunan produksi

telur bahkan penghentian total dalam produksi telur bahkan penghentian total

dalam produksi telur selama enam hari. Pembengkakan dibagian kepala, muka

leher atas dan kaki adalah umum sebagai akibat oedema subkutaneus dan mungkin

disertai perdarahan petechie dan ecchymosis. VAI secara klinis juga dapat

mengakibatkan foki nekrotik, hemoragi dan cyanosis pada kulit, jengger dan pial.

Infeksi VAI pada itik nampaknya tidak menimbulkan gejala klinis,

namun kerusakan dapat terjadi pada saluran pernafasan (Cooley dkk., 1989),

menyerang otak dengan menunjukan gejala syaraf (Krishida, 2005), bahkan

memperlihatkan titer yang tinggi serta jarang memproduksi serum antibodi (Kida

dkk., 1980). Perkins dkk., (2002) melaporkan bahwa itik dan babi terbukti lebih

tahan terhadap infeksi VAI daripada angsa. Laudert dkk., (1993) menyebutkan

bahwa gejala yang ditimbulkan akibat infeksi VAI pada itik lebih ringan dari pada

kalkun.

4.4.4. Gambaran patologis akibat infeksi VAI

VAI menimbulkan pengaruh patologis pada sel unggas melalui dua

mekanisme yakni nekrosis dan apoptosis. Nekrosis dapat terjadi pada banyak tipe

sel termasuk sel tubulus, epitelium acinar pankreas, myosit jantung, sel kortiko

11
adrenal dan sel paru-paru pada ayam. Sedangkan apoptosis nampak nyata pada

neuron, epitel saluran pencernaan dan sel alveolar paru-paru mencit yang diinfeksi

VAI (Swayne dan Halvorson, 2003).

Lesio pada organ visceral bervariasi tergantung strain virus, tetapi paling

sering terlihat adalah perdarahan pada permukaan serosa atau mukosa dan foki

nekrosis didalam parenkim organ visceral. Perubahan yang menonjol adalah

perdarahan epikardium, otot pectoral dan mukosa proventrikulus dan ventrikulus.

Nekrosis dan hemoragi terjadi pada kelenjar peyer’s usus halus umum terjadi

sebagaimana dilaporkan pada wabah plaque awal tahun 1900-an. Morbiditas dan

mortalitas mencapai 100 % (Swayne dan Halvorson, 2003).

Pada burung unta, virus HPAI menimbulkan oedema pada kepala dan leher,

enteritis hemoragika yang parah, pembesaran dan pengerasan pankreas. Air

sacculitis ringan hingga parah, pembesaran dan pengerasan pankreas. Air sacculitis

ringan hingga parah, pembesaran ginjal dan limfa (renomegali dan splenomegali).

Secara mikroskopis nampak nekrosis koagulatif pada limfa, ginjal dan hati.

Nekrosis fibrinosa umum terjadi pada arterioles otak dan limfa. Pankreas

mengalami nekrosis sel acinar dengan peradangan sel mononuclear dan fibrosis.

Malacia fokal dan nerophagia terjadi di dalam otak, dan lesio nekrotik dan

hemoragi terjadi di dalam usus.

12
4.5. DIAGNOSIS VIRUS AVIAN INFLUENZA

Swayne dan Halvorson (2003) menyatakan VAI dapat diagnosa berdasarkan

gambaran epidemiologi, gejala klinis, dan gambaran patologi. Namun diagnosis klinis

biasanya sulit ditegakkan, mengingat keragaman gejala klinis dan kemiripannya dengan

penyakit unggas lain terutama New Castle Diseases (ND). Diagnosis klinis merupakan

tehnik pendugaan/bersifat sementara sampai dilaukannya diagnosa definitif di

laboratorium.

Diagnosa definitif dapat dilakukan secara in vitro dilaboratorium dengan

beberapa tehnik standar yang direkomendasikan Oleh WHO (2002) salah satumya

melalaui isolasi pada telur ayam berembrio umur 9-11 hari, identifikasi aktifitas HA dan

serologis dengan uji HI dan ELISA, atau deteksi genom virus dengan Reverse

Transcriptase yang dilanjutkan dengan Polymerase Chain-Reaction (RT-PCR).

4.6. DIAGNOSA DIFERENSIAL

VAI baik secara klinis maupun patologis dapat dikelirukan dengan beberapa

penyakit unggas lainnya terutama dilihat dari tingkat keganasan dan lesi yang

ditimbulkan. Oleh sebab itu, pengetahuan seorang paramedis veteriner harus

mempunyai wawasan luas mengenai berbagai penyakit yang mempunyai kemiripan

dengan infeksi VAI antara lain penyakit ND ganas (volgenic ND), kolera ayam (fowl

kolera), penyakit radang tenggorokan pada ayam (infectious laryngeotracheitis) dan

infectious bronchitis pada ayam (Fenner dkk., 1993). Agar dapat menentukan diagnosa

definitif, maka harus dilakukan isolasi dan identifikasi agen-agen penyebabnya di

laboratorium.

13
4.7. SURVAILLANS

Peneguhan diagnosa definitif dalam menentukan penyebab suatu penyakit

membutuhkan wawasan yang luas. Dalam peneguhan diagnosa definitif, ada beberapa

aspek yang perlu diperhatikan, antara lain epidemiologi kasus, gejala klinis dan

patologis, serta konfirmasi laboratorium. Suatu daerah yang sudah terinfeksi VAI,

semestinya segera melakukan beberapa tindakan termasuk eradikasi dan vaksinasi.

Selain itu, survaillans juga dianjurkan oleh WHO (2002) untuk dilaksanakan

padadaerah yang terancam maupun wabah VAI. Hal ini dimaksudkan sebagai sistem

4.8. PENCEGAHAN DAN PENANGANAN WABAH VAI

4.8.1. Peningkatan kesadaran masyarakat dan peternak (public awareness)

Kecepatan informasi dan transparansi dari instansi terkait mengenai wabah

infeksi VAI kepada masyarakat secara luas perlu segera dilaksanakan. Agar masyarakat

memahami secara utuh bagaimana cara menyikapi wabah tersebut. Hal ini dimaksudkan

agar masyarakat dapat berperan aktif dalam mengurangi resiko penyebaran VAI. Serta

dapat menghindari kepanikan masyarakat akibat pengetahuan yang minim mengenai

penyakit ini. Diharapkan dengan pengetahuan yang cukup, para peternak dapat merubah

pola hidup atau systim beternak yang dapat memicu VAI lestari ditempat tersebut. Pola

dan manajemen peternakan yang dianjurkan misalnya harus hanya memelihara satu

spesies unggas tertentu saja dalam satu siklus produksi/masa ternak, kemudian

menjalani sistem produksi all in-all out (keluar-masuknya hewan dilakukan bersama dan

seumur) atau menambah unggas baru hanya setelah pengujian dan karantina hewan

serta penerapan biosekuriti dengan ketat (Swayne dan Halvorson, 2003).

14
4.8.2. Karantina

Lalulintas ternak antar pulau sudah saatnya untuk diperhatikan secara serius

melalaui balai karantina (Mahardika dkk., 2005). Diharapkan agar jangan sampai hewan

yang memang membawa VAI dapat masuk ke daerah bebas. Kemudian pencucian kulit

telur dengan desinfeksi perlu juga dilakukan untuk mencegah penyebaran VAI pada saat

dibawa kedaerah/pulau lain. Hal tersebut berkaitan dengan kemungknan

terkontaminasinya kerabang telur oleh feses yang mengandung VAI.

4.8.3. Biosekuriti dan desinfeksi kandang

Pencegahan VAI dapat dilakukan dengan sistem biosekuriti ketat. Beberapa

prinsip biosekuriti antara lain manajemen “all in – all out”, pencucian dan desinfeksi

alat, pembatasan keluar masuk manusia, penyediaan pakaian pekerja, kandang yang

yang memadai, peniadaan kontak dengan burung dan unggas liar, serta pemberlakuan

protokol ketat saat repopulasi (Mahardika dkk., 2005). Pengendalian tersebut

diharapkan dapat memotong siklus VAI, sehingga tidak berdampak secara luas.

4.8.4. Stamping Out yang selektif

Pemusnahan unggas yang tertular secara serempak dan yang kontak dengan

unggas dalam radius tertentu (stamping out) merupakan strategi yang paling efektif

disamping penerapan vaksinasi. Strategi ini meliputi penentuan zona karantina,

pembatasan lalu lintas unggas dan produk-produk serta manusia, repopulasi peternak

setelah tindakan pembersihan dan daerah yang bersangkutan memang bebas VAI HPAI

(Swayne dan Halvorson, 2003).

15
Namun stamping out secara total nampaknya masih sulit diterapkan di

Indonesia. Hal tersebut berdasarkan pada kemampuan pemerintah dalam pemberian

kompensasi dan kesadaran masyarakat yang relatif minim akan bahaya VAI. Langkah

lain yang dapat dipakai adalah menekan penyebaran sekunder, kuncinya adalah berpola

hygienis, meliputi pembersihan dan pencucihamaan dan selang waktu dari pemotongan

sampai pemeliharaan kembali (Swayne dan Halvorson, 2003).

4.8.5. Vaksinasi

Vaksin dapat digunakan sebagai salah satu pencegahan penyebaran VAI. Vaksin

yang banyak beredar dipasaran dan sering digunakan biasanya inaktif (Fenner dkk.,

1993). Vaksin VAI HPAI yang banyak tersedia adalah vaksin inaktif dalam adjuvant

minyak yang mempunyai kandungan virus yang homolog dan heterolog. Vaksin

homolog mengandung virus dengan sub type yang sama dengan yang sedang

mengancam. Sedangkan vaksin heterolog membawa virus yang mempunyai molekul

HA yang sama dengan penyebab wabah tetapi mempunyai NA yang berbeda, misalnya

vaksin H5N2 untuk wabah yang disebabkan oleh H5N1 (Mahardika., 2005).

4.8.6 Pemusnahan terbatas (Depopulasi)

Depopulasi merupakan tindakan pemusnahaan unggas secara selektif di

peternakan yang tertular VAI. Pemusnahan dilakukan untuk mencegah penyebaran

penyakit yang lebih luas. Tindakan pemusnahan diharapkan sesuai dengan prosedur

pemotongan unggas dan tetap mengindahkan etika kesejahteraan hewan. Depopulasi

harus juga diikuti dengan disposal ayam mati, telur, litter, kotoran unggas, karkas segar

dan beku, peralatan dan bangunan yang tidak permanen harus dibakar dan dikubur

16
dengan ditaburi bubuk kapur. Lubang tempat penguburan / pembakaran harus berlokasi

di dalam areal peternakan tertular dan berjarak minimal 20 meter dari kandang tertular

dengan kedalaman 1,5 meter (Deptan, 2005).

4.8.7 Pengendalian lalu lintas unggas, produk unggas, dan limbah peternakan

unggas.

Pengendalian lalu lintas dilakukan secara ketat terhadap setiap pemasukan dan

pengeluaran unggas hidup, produk unggas serta limbah peternakan dari peternakan

tertular di bawah pengawasan Dinas Peternakan setempat. Kiriman unggas yang dipesan

dari luar daerah tempat pemesanan perlu dipantau dan diperiksa, hal ini dilakukan untuk

mencegah adanya penyebaran virus dari luar daerah.

Daging, telur, dan karkas unggas perlu juga diawasi untuk mencegah penyebaran

virus yang masih aktif dan menempel pada produk tersebut. Karena jika produk

mengandung virus yang masih aktif dikhawatirkan akan berpindah ke manusia.

4.8.8 Surveilans dan penelusuran

Surveilans terhadap infeksi VAI pada hewan akan menyumbangkan informasi

yang penting bagi dunia kesehatan hewan dan manusia, karena kegiatan ini bertujuan

untuk mengetahui epidemiologi penyakit. Surveilans perlu dilakukan di daerah tertular,

terancam maupun bebas penyakit. Cara pengambilan sampel berupa darah, usapan

kloaka atau feses dan apabila ada hewan yang mati dapat dibawa ke laboratorium untuk

diuji. Pengambilan sampel bertujuan untuk mengetahui jenis virus yang menyerang,

perubahan antigenik virus, memantau keberhasilan vaksinasi dan pemetaan/zonasi

penyakit untik kepentingan pembebasan suatu wilayah (WHO, 2002).

17
4.8.9 Pengisian kandang kembali (Restocking)

Pengisian kandang kembali dilakukan apabila dapat dijamin bahwa prosedur

dekontaminasi, desinfeksi dan disposal sudah dilakukan sebelumnya sesuai dengan

prosedur. Pengisian kembali unggas ke dalam kandang dapat dilakukan dalam rentang

waktu 30 hari untuk peternakan integrasi besar dan komersial sedangkan 45 hari untuk

peternakan ayam kampung dan itik. Hal ini dilakukan karena kebanyakan virus tidak

dapat bertahan hidup setelah 21 hari diudara bila mereka tidak melakukan kontak

dengan hewan.

4.8.10 Pemusnahan total (Stamping-out)

Jika kasus AI yang timbul di daerah bebas/terancam dan telah didiagnosa secara

klinis, patologi anatomi, epidemiologi serta dikonfirmasikan secara laboratoris, maka

tindakan stamping-out mesti dilakukan pada seluruh unggas sakit maupun sehat pada

peternakan tertular. Pada unggas yang berada pada radius 1 km dari peternakan yang

tertular tindakan ini juga perlu dilakukan (Mahardika dkk., 2005).

Stamping-out merupakan strategi yang paling efektif disamping penerapan

vaksinasi. Namun strategi ini masih sulit diterapkan di Indonesia karena kemampuan

pemerintah dalam memberikan kompensasi atas ternak yang dimusnahkan dan masih

kurangnya kesadaran masyarakat yang relatif minim akan bahaya VAI. Langkah lain

yang dapat dipakai untuk menekan penyebaran sekunder, kuncinya adalah berpola

higienis; meliputi pembersihan dan penyucihamaan dan selang waktu dari pemotongan

sampai pemeliharaan kembali (Swayne dan Halvorson, 2003).

18
4.8.11 Peningkatan kesadaran masyarakat

Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang Avian Influenza dapat

dilakukan melalui penyuluhan-penyuluhan oleh Dinas Peternakan atau Dinas Kesehatan

setempat. Informasi tentang AI juga dapat dilakukan melalui siaran radio dan televisi,

koran, majalah, poster-poster bahkan bisa juga melalui internet. Keberhasilan

berkomunikasi dapat dicapai apabila penyampaian informasi kepada masyarakat waktu

dan situasinya tepat.

4.8.12 Monitoring dan evaluasi (Public Awarenes)

. Monitoring penyakit AI perlu dilakukan terus menerus dan dievaluasi untuk

memonitor penyebaran penyakit dan menilai efektifitas vaksinasi. Monitoring dilakukan

dengan menempatkan hewan sentinel di dalam kandang dan mengambil sampel

darahnya untuk diperiksa apakah serumnya mengandung antibodi terhadap VAI atau

tidak. Jika hewan sentinel terpapar virus tapi ayam lainnya tidak ada yang mati, berarti

program vaksinasi berhasil.

19
DAFTAR PUSTAKA

Alexander D.J. (1996). Highly Pathogenic Avian Influenza. Manual of Standards for
Diagnostic Test and Vaccine. OIE. 155-160
Chen H, G., Deng, Z.Li., G Tian., Y. Li, P. Jiao, L. Zhang, Z. Liu., R.G. Webster, and K.
Yu. (2004). The Evaluation of H5NI Influenza Viruses in Ducks in Southern
China. PNAS. July 13, 2004, vol. 101(28): 10452-10457.
Doan C. Nguyen, Timothy M., Uyeki Samadhan Jadhao, Taronna Maines. (2005).
Isolation and Characterization of Avian Influenza Viruses Including Highly
Pathogenic H5N1 From Poultry in Live Bird market in Hanoy Vietnam in 2001.
Journal of Virology. 79 ; 4201-4212.
Fanner, F.J., Gibbs E.P.J., Murphy F.A., Rott R., Studert M.J., White D.O. (1993).
Virologi Veteriner. Edisi Kedua. Penerjemah D.K. Harya Putra. IKIP Semarang
Press. Semarang.
Hulse-Post, D.J., K.M. Sturm-Ramirez., J.Humberd., P.Seiler., E.A. Govorkova.,
S.Krauss., C. Scholtissek., P. Puthavathana., Buranathai, T.D. Nguyen., H. T.
Long., T.S.P. Naipospos., H. Chen., T. M. Ellis., Y. Guan., J.S.M. Peiris, and R.G.
Webster. (2005). Role of Domestic Duck in the Propagation and Biological
Evolution of HighlyPathogenic H5N1 Influenza Viruses in Asi, PNAS. July 26,
2005, Vol. 102(30)”: 10682-10687.
Li, K.S., K.M. Xu, J.S.M. Peiris, L.L.M. poon. (2004). Characterization of H9 Subtype
Influenza Viruses from The Duck in Southen Cina. J. Virol. 2003 June; 77 (12):
6988-6994.
Sturm-Ramirez, K.M., Ellis, T., Bousfield, B., Bisset, L., Dryting, K., Rehg, J.E., poon,
Y., Guan, Y., Peiris, M., M., Webster, R.G. (2004). Reemerging H5N1 Influenza
Viruses in Hongkong in 2002 Are Highly Pathogenic to Ducks Journal of
Virology. 78:4892-4901.
Tian G, Zhang S, Li Y, Bu Z, Liu P, Zhou J, Li C, Shi J, Yu K K, Chen H (2005).
Protective Effecacy in Chikens, Geese and Ducks of An H5N1- Inactivated
Vaccine Develoved by Reverse Genetic. www.pubmed.gov.
Tumpey, T.M., Suarez., D.L., perkins, L.E., Senne, D.A., Lee, Y.J., Mo, I. Swayne,
D.E., (2003). Evolution of a High-Pathogenicity H5N1 Avian Influenza A Virus
Isolated From Duck Meat. Avian Disease. Vol 47 (3 suppl): 951-955.
Webster, R.G, W.J. Bean, O.T. Gorman, T.M. Chambers, and Y. Kawaoka. (1992).
Evolution and Ecology of Influenza A Viruses. Departement of Virology and
Molecular Biology, St. Jude Children’s Research Hospital, Memphis, Tennessee
38101.
WHO. (2002). WHO Global Indonesia Programme. www.who.int
WHO. (2005). Geografical Spread of H5N1 Avian Influenza in Bird – Update 28
Situation Assessment and Implication for Human Health 18 Agustus 2005.
www.who.int.

20
21

Anda mungkin juga menyukai