INDUSTRI 4.0
Asal : Bandung
PENDAHULUAN
Istilah "Industri 4.0" berasal pada tahun 2011 di Hanover Fair di Jerman sebagai
strategi untuk mengurangi meningkatnya persaingan dari luar negeri dan untuk
membedakan industri Jerman dan Uni Eropa dari pasar internasional lainnya.
Pemerintah Jerman berusaha menggunakan pemantauan cerdas dalam proses
produksi untuk membantu pengambilan keputusan dan pemeliharaan mesin untuk
mengurangi biaya dan meningkatkan daya saing industri Jerman. Istilah-istilah
seperti Internet of Things, Big Data, smart factory, adalah beberapa hal yang
diproyeksi muncul dominasi di era Industri 4.0.
Setiap terjadi revolusi di bidang industri akan selalu membawa keuntungan dan
tantangan bagi kondisi sosial ekonomi suatu negara. Sebagai contoh, Britania Raya
sebagai pembuka arus revolusi industri dengan penemuan mesin uap yang
merevolusi dunia komunikasi dan transportasi. Revolusi industri ke-dua diinisiasi
oleh Amerika Serikat dengan penemuan teknologi komunikasi berupa penemuan
telegraf, telepon, dan radio. Di revolusi industri ke-tiga, internet adalah sebuah
faktor kunci berkembangnya masyarakat karena internet hadir tidak lagi sebagai
sarana yang dimiliki secara ekslusif tetapi sudah menjadi infrastruktur teknologi
publik.
Saat ini keberadaan internet mengubah gambaran ekonomi dunia dan terus menerus
berlanjut hingga menghasilkan visi yang biasa disebut Internet of Things (IoT). Inti
dari adanya IoT adalah memutus beberapa rantai yang memakan banyak biaya
sehingga terjadi penghematan. Hal ini didukung oleh Rifkin (2014) bahwa tren ini
mampu menghasilkan hampir tanpa biaya marjin dengan cara membuat sebuah
kolaborasi ekonomi yang saling terhubung dan menggantikan sistem modal saat ini,
tentunya dengan IoT sebagai pendorong utamanya.
1
Perdebatan tentang Industri 4.0 yang dampaknya bisa dirasakan secara global
adalah berkaitan digitalisasi, otomatisasi, IoT, serta smart factory. Debat tentang
hal ini muncul karena ketidaktahuan cara yang terbaik dalam memaksimalkan
cepatnya perkembangan inovasi dari teknologi untuk menunjang aspek kehidupan
manusia. Peran manusia yang berkurang bisa dilihat dari sisi positif dan negatif.
Realita lain yang diterima dari Industri 4.0 adalah dampaknya bagi negara
berkembang. Negara berkembang tentu menyerap lebih banyak tenaga kerja di
sektor-sektor padat karya dengan biaya upah yang lebih murah dibanding negara
maju. Memasuki industri 4.0, mereka dihadapkan untuk menggunakan tenaga
manusia atau menggunakan sistem otomatisasi mesin. Pemerataan kesejahteraan
juga menjadi salah satu masalah bagi negara berkembang terutama bagi negara
kepulauan seperti Indonesia. Morrar, Arman, dan Mousa (2017) menjelaskan
bahwa di negara maju saja -yang telah memimpin revolusi industri- terjadi ketidak
merataan itu, di mana kualitas telah menjadi salah satu tantangan utama seiring
dengan perubahan iklim dan masalah keberlanjutan lainnya. Maka konsep-konsep
yang menitikberatkan tentang inovasi sosial telah muncul dan dengan cepat
menarik perhatian global sebagai solusi yang potensial. Lalu bagaimana dengan
Indonesia? Apakah Indonesia memiliki rencana dalam menghadapi Industri 4.0?
2
sebuah analogi “maju kena mundur kena”. Mengacu pada hal tersebut maka
pertanyaannya adalah; apa urgensinya Indonesia menjadi negara yang mengadopsi
konsep Industri 4.0? Atau memakai analogi yang teman-teman panitia buat yaitu
“mampu bersaing di kancah dunia dalam memeriahkan revolusi industri 4.0”?
Mari sejenak kita melihat negara Jepang yang secara data demografi, jumlah
penduduk yang berusia tua justru dominan dibanding yang masih berpotensi untuk
produktif, atau yang biasa disebut data “piramida terbalik”. Kondisi demografi
tersebut membuat Jepang telah menargetkan untuk menciptakan kondisi sosial yang
relevan dengan Industri 4.0. Pemerintah Jepang membuat konsep ini dengan nama
“Society 5.0”, dimana semua kegiatan masyarakat terhubung dengan empat
instrumen penghubung; IoT, Big Data, AI (artificial intelligence/kecerdasan
buatan), dan robot. Menuju ke tahap ini dibutuhkan infrastruktur yang terintegrasi
dan Jepang mampu melakukan hal tersebut dengan baik. Kuncinya adalah dua hal,
infrastruktur dan terintegrasi. Menurut penulis, dua hal ini menjadi tugas berat yang
Indonesia miliki sekarang, namun bukan berarti menutup pintu bagi perubahan
yang lebih baik. Ada beberapa rencana pemerintah yang kiranya mampu
dimaksimalkan, salah satunya adalah Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).
Gerakan ini dicanangkan pada tahun 2014 dengan maksud untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat terhadap penggunaan instrumen non tunai, sehingga
berangsur-angsur terbentuk suatu komunitas atau masyarakat yang lebih
menggunakan instrumen non tunai (cashless society). Selain jauh lebih efisien,
transaksinya pun lebih aman dan terdata. Sejauh ini tanpa kita sadari, Indonesia
sudah mulai menerapkan gerakan tersebut meski belum masif. Sebagai contoh
adalah perusahaan penyedia jasa komunikasi Telkomsel dengan layanan T-
Cashnya. Menurut laporan tahunan Telkomsel tahun 2017, jumlah pengguna T-
Cash di tahun 2017 adalah 10 juta pelanggan dengan 30% pengguna aktif dan
perkiraan transaksi mencapai Rp 450 miliar setiap bulannya. Contoh lain adalah
produk non tunai Go-Pay milik Go-Jek yang selalu memberikan potongan atau yang
di dalam konteks pemasaran disebut promosi berformat “bakar uang”. Bagi yang
awam tentu akan mempertanyakan dari mana Go-Jek akan mendapat untung jika
terus membakar uang. Namun yang Go-Jek lakukan adalah menciptakan ekosistem
non tunai sehingga nanti di masa depan, Go-Pay berada di top of mind masyarakat
3
dan semua yang kita transaksikan bisa lewat satu aplikasi saja. Satu hal lagi yang
membuat non tunai menjadi sedikit cara bagi kita memeriahkan Industri 4.0 adalah
IoT dan Big Data.
Lalu bagaimana pemerintah memaksimalkan gerakan ini lebih baik lagi? Instrumen
non tunai sebenarnya sudah banyak diproduksi oleh perbankan namun kembali lagi,
motif persaingan antar bank menjadi kendala penerapan di lapangan. Hal ini seakan
dilepas oleh pemerintah kepada sektor perbankan sehingga pada pengaplikasiannya
menjadi tidak praktis dan keluar dari konsep cashless yang sebenarnya sederhana.
Sebagai contoh kecil, seringkali kita menjumpai kondisi dimana parkir di suatu
tempat dan hanya e-money dari bank tertentu yang bisa diterima. Kasus seperti ini
sedikit banyak menghambat perkembangan GNNT. Penulis memiliki gambaran
agar instrumen keuangan harus dikeluarkan oleh pemerintah sendiri atau setidaknya
tidak dimonopoli perbankan. Persoalan mengisi saldonya baru perbankan bisa
ambil peran. Apa kelebihannya instrumen dikeluarkan oleh pemerintah sendiri?
Kembali lagi, Big Data. Sebenarnya persoalan Big Data, terutama yang berkaitan
dengan demografi penduduk, sudah dipegang tugasnya oleh Kemendagri melalui e-
KTP. Namun kita tahu bersama bahwa e-KTP adalah sebuah produk gagal dengan
kasus yang tidak tuntas-tuntas. Padahal jika proyek e-KTP berada di jalur yang
benar sejak awal, GNNT adalah salah satu yang bisa lancar di sosialisasikan,
setidaknya secara infrastruktur sudah ada dan memadai.
Dari mana kita mulai mencoba untuk menerapkan GNNT secara terpusat dan
masif? Kita bisa coba aplikasikan di sektor yang melibatkan banyak orang seperti
transportasi. Kereta api dan angkutan kota bisa dijadikan proyek untuk
membiasakan masyarakat dengan non tunai. Kembali lagi penulis mencoba
mengacu ke negara Jepang. Salah satu kartu yang umum digunakan disana bernama
“Suica” atau singkatan dari Super Urban Intelligent Card. Ini adalah "kartu pintar"
prabayar yang memungkinkan pengguna untuk "mengisi" kartu mereka (dengan
mentransfer uang ke dalamnya) di muka dan kemudian membeli barang dan jasa
tanpa uang tunai. Sebelum ada Suica, penumpang harus membeli tiket kereta api
atau tiket komuter yang kemudian dimasukkan ke dalam slot di mesin penghalang
mekanis untuk mengakses layanan kereta api. Namun, metode ini menyebabkan
waktu tunggu yang lama untuk membeli tiket dan melewati gerbang tiket terutama
4
masalah selama jam sibuk di daerah padat penduduk Jepang. Setelah ada Suica,
secara drastis mengurangi waktu tunggu, karena para penggunanya hanya perlu
menyerahkan kartu tersebut ke pembaca elektronik. Fungsi lain dari kartu Suica
adalah kenyamanan membeli barang bebas tunai.
Indonesia bisa mencontoh konsep Suica milik Jepang. Semua transaksi bisa
dilakukan cukup menggunakan satu kartu pintar. Mungkin akan memakan banyak
biaya terutama pengadaan alat serta infrastruktur lain yang berkaitan dengan Big
Data dan lainnya. Tetapi kembali lagi Indonesia harus mengejar ketertinggalan dari
negara lain untuk menjadi lebih baik dan dalam konteks ini, bersaing di era Industri
4.0. Kuncinya adalah infrastruktur dan terintegrasi. GNNT adalah satu dari banyak
cara memasuki Industri 4.0 diluar sektor manufaktur.
Penutup
Industri 4.0 adalah era dimana banyak muncul disruption atau gangguan positif
berupa inovasi yang pada intinya memotong biaya operasional. Indonesia sebisa
mungkin harus memanfaatkan hal tersebut. Gerakan Nasional Non Tunai adalah
cara sederhana membiasakan masyarakat untuk hidup jauh lebih efisien. Gerakan
ini juga membantu salah satu dari sepuluh inisiatif pemerintah yang tertuang di
dalam Making Indonesia 4.0 yaitu “membangun infrastruktur digital nasional”.
5
DAFTAR PUSTAKA
Buhr, D. 2015. Social Innovation Policy for Industry 4.0. Tübingen, Germany:
Eberhard Karls University of Tübingen. Bisa diakses di.
https://library.fes.de/pdf-files/wiso/11479.pdf
Chéron, Emmanuel. Non-Traveling Buying Behavior of SUICA card Users and Non-Users
in Tokyo: Preliminary Survey and Observation Study. Bisa diakses di
https://www.researchgate.net/publication/282885672_Non-
Traveling_Buying_Behavior_of_SUICA_card_Users_and_Non-
Users_in_Tokyo_Preliminary_Survey_and_Observation_Study
Rabeh Morrar, Husam Arman, dan Saeed Mousa. 2017. The Fourth Industrial
Revolution (Industry 4.0): A Social Innovation Perspective. Technology
Innovation Management Review: November 2017 (Volume 7, Issue 11). Bisa
diakses di
https://timreview.ca/sites/default/files/article_PDF/Morrar_et_al_TIMRevie
w_November2017.pdf
Rifkin, J. 2014. The Zero Marginal Cost Society: The Internet of Things, the
Collaborative Commons, and the Eclipse of Capitalism. New York: St.
Martin'sPress.Bisa diakses di
https://www.researchgate.net/publication/287967463_The_Zero_Marginal_
Cost_Society_The_Internet_of_Things_the_Collaborative_Commons_and_t
he_Eclipse_of_Capitalism
https://www.japan.go.jp/abenomics/_userdata/abenomics/pdf/society_5.0.pdf