Anda di halaman 1dari 75

PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN

AQIDAH ISLAMIYAH

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)

Oleh
Frengki Swito
NIM: 107011000943

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN
AQIDAH ISLAMIYAH

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)

Oleh
Frengki Swito
NIM: 107011000943

Pembimbing,

Dr. Khalimi, M. Ag
NIP: 196505151994031006

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Frengki Swito


NIM : 107011000943
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Alamat : Jl. Pelataran Air Ketekok Atas No. B29 RT 05/02 Tanjung
Pandan Belitung Prov: Bangka Belitung Kode Pos 33414
Judul Skripsi :“Peran Ibnu Taimiyah Dalam Pemurnian Aqidah Islamiyah”

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi ini merupakan karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, maka
saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 08 Desember 2011

Frengki Swito
ABSTRAK

Studi ini merupakan kajian sejarah, dengan tujuan untuk


mendeskripsikan secara analisis berbagai pandangan dan kiprah Ibu Taimiyah
dalam pemurnian “ajaran Islam”. Ibnu Taimiyah dilahirkan sekitar abad ke 13
M., dimana dunia Islam mengalami “kemunduran”. Prilaku dan kehidupan
masyarakat Islam sangat menyimpang dari ajaran Islam (al-Qur’an dan
sunnah rasul), aliran dan sekte-sekte yang mengatasnamakan Islam bertambah
subur, taklid buta, fanatisme mazhab, khurafat an bid’ah mengeruhkan
cakrawala pemikiran umat Islam, ditambah dengan berkembangnya pengaruh
logika dan filsafat Yunani yang posisinya nyaris “menggusur” al-Qur’an dan
as-Sunnah.
Kondisi tersebut semakin memburuk manakala dunia Isalam
mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi moral
yang diakibatkan oleh berbagai intervensi bangsa jajahan, bangsa tartar dan
kaum salib, disamping gejolak intern yang terjadi dalam pemerintahan Islam.
Melihat kondisi seperti ini Ibnu Taimiyah tampil dengan ide “pemurnian”
terhadap seluruh tradisi pemikiran Islam. Ia dikenal sebagai tokoh salaf yang
pertama kali mengulirkan gagasan pemurnian terhadap “ajaran Islam” yang
mengajak umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam “orisinil” yaitu al-
Qur’an dan as-Sunnah serta paradigma pemikiran salaf. Aktifitas Ibnu
Taimiyah dalam melancarkan misinya masih bersifat teoritis dan akademis.
Hal ini disebabkan oleh kondisi yang kurang mendukung.
Meskipun demikian, khazanah pemikiran intelektula yang digagas
Ibnu Taimiyah tetap menggelinding dan mengelaborasi dalam sejarah
pemikiran dalam Islam. Pemikiran Ibnu Taimiyah kendatipun cukup tertunda,
ternyata mempengaruhi gerakan pemurnian di Indonesia yang dikenal dengan
gerakan tiga serangaki yaitu; Muhammadiyah, al-Irsyad dan Persis yang
muncul pada abad ke 20 M. Keterpengaruhan gerakan ini terhadap wancan
pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali
kepada ajaran Islam murni yaitu al-Qur’an dan sunnah rasul plus paradigma
pemikiran kaum salaf dan sikap anti terhadap segala bentuk kesyirikan,
khurafat dan bid’ah.
Penulisan skripsi dengan judul Peran Ibnu Taimiyah Dalam Pemurnian
Aqidah Islamiyah ini diharapkan dapat menambah wawasan kita mengenai
aqidah islam yang benar yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-sunnah serta
dapat mengambil manfaat dari sosok pigur pribadi multidimensi sperti beliau
yaitu; berwawasan luas, visioner, dan tak kenal menyerah.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT penulis sampaikan, shalawat dan salam
penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarganya dan para
sahabatnya yang telah membawa umatnya dari alam kegelapan menuju alam
terang benerang.

Alhamdulillah, berkat Rahmat Allah SWT penulis akhirnya dapat


menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana
pendidikan pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Jakarta.

Berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu, perkenankanlah penulis menghanturkan terima kasih
kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu baik dari segi spiritual
maupun material terhadap penyelesaian skripsi ini, yaitu antara lain:

1. Dra. Nurlena Rifai, MA., Ph.D Pgs. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan.

2. Bahrissalim, M.Ag Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI)/Peningkatan


Tenaga Teknis dan Masyarakat (PTTM) yang telah memberikan pengarahan,
bimbingan dan pengetahuannya sebagai masukan yang sangat berharga.

3. Dr. Khalimi, M.Ag, pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang ditengah-
tengah kesibukannya beliau menyediakan waktu untuk memberikan motivasi,
pengarahan, bimbingan dan petunjuk dengan kesabaran dan keikhlasan.

4. Bapak Ibu Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan yang telah
banyak memberikan masukan dan bimbingan serta arahan.

5. Pimpinan dan staf Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu memberikan fasilitasnya.

I
6. Ayahanda Sahori dan Ibunda Darmia selaku orang tua penulis yang telah
memberikan doa restu, dorongan dan bantuan baik moril maupun materil
spiritual kepada penulis dengan penuh kesabaran dan hrapan sehingga penulis
dapt menyelesaikan skripsi ini.

7. Kakanda Ashadi dan Ratna Juwita serta adik penulis yang bernama Ivan Syah,
yang selalu memberikan dorongan kesemangatan sehingga skripsi ini bisa
terselesaikan.

8. Tema penulis terutama seluru anggota kelas VIII B 2007 Pendidikan Agama
Islam yang telah memberikan dorongan dan masukan kepada saya sehingga
saya bisa menyelesaikan skripsi ini.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak
mungkin penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis hanya dapat memohon doa kepada Allah SWT semoga
keikhlasan semua pihak dalam membantu kelancaran penulisan skripsi ini
mendapatkan balasan dari-Nya. Jazaakumullahu khairan katsiran.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak


kekurangan, untuk itu penulis membuka diri untuk menerima segala masukan
demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada u dan bagi pembaca
pada umumnya.

Jakarta, 12 Desember 2011


Penulis

Frengki Swito

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... I

DAFTAR ISI ....................................................................................... III

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1


B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 6
C. Pembatasan Masalah ...................................................................... 6
D. Perumusan Masalah ...................................................................... 6
E. Tujuan dan Kegunaan Hasil Penelitian ........................................... 6
F. Metodelogi Penelitian
1. Jenis Penelitian ........................................................................... 7
2. Metode Penulisan........................................................................ 7
3. Fokus Penelitian ......................................................................... 7
4. Sumber Penelitian ....................................................................... 8
5. Prosuder Penelitian ..................................................................... 8
6. Teknik Penelitian ........................................................................ 8

BAB II KONSEP KEMURNIAN AQIDAH ISLAM


A. Pengertian Kemurnian........................................... ………………..9
B. Ciri-Ciri Aqidah Islam yang Murni
1. Aqidah Islam Sebagai Aqidah Tauhid ....................................... 11
2. Kejelasan Ruang Lingkup Aqidah Islam ................................... 14
3. Kejelasan Sumber Aqidah Islam ............................................... 15
4. Aqidah Sebagai hal Pokok Dalam Islam ................................... 17
C. Upaya-Upaya Pemurnian Aqidah Islam ........................................ 18
BAB III GERAKAN PEMURNIAN IBNU TAIMIYAH
A. Biografi Ibnu Taimiyah
1. Riwayat Hidup Ibnu Taimiyah .................................................. 21
2. Perkembangan Spiritual dan Intelektual Ibnu Taimiayah .......... 30

III
3. Karya-karya Ibnu Taimiyah ...................................................... 35
B. Karakteristik Pemurnian Ibnu Taimiyah ....................................... 37
C. Jihad yang Benar Dalam Membela dan Mempersatukan
Aqida dalam Pandangan Ibnu Taimiyah........................................ 44
BAB IV PENGARUH PEMURNIAN IBNU TAIMIYAH DI
INDONESIA
A. Gerakan Muhammadiyah ............................................................. 52
B. Gerakan al-Irsyad ......................................................................... 55
C. Gerakan Persatuan Islam (PERSIS) .............................................. 57
BAB V KESIMPULAN
A. Penutup........................................................................................ 61
B. Saran............................................................................................ 63

IV
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Pembaharuan(Pemurnian) merupakan terjemahan bahasa Barat
“modernisasi,” atau dalam bahasa Arab al-tajdid, mempunyai pengertian “pikiran,
gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan
perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern.” Dengan jalan itu pemimpin-pemimpin Islam modern
mengharap akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran kepada
kemajuan. 1
Tajdid (pembaharuan) dalam istilah islam berarti menghidupkan kembali
rambu-rambu Islam dan menegakkan kembali pilar-pilar Islamiyah agama ini
dengan menjaga nash-nash yang shahih secara bersih, dan membersihkan agama
ini dari bid‟ah dan penyimpangan yang mengotorinya, baik dalam bidang
Nazhariyah (pemikiran), Amaliyah (ibadah) maupun bidang Sulukiyah (perilaku
akhlak).2
Ada sejumlah ayat yang dapat dikemukakan yang sering menjadi dasar
bagi kaum muslim dalam mencari kemurnian Islam yaitu ayat al-Quran yang
paling sering dikutip adalah :

     

1
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang,1982)hal. 1
2
Agus Hasan Bashari, LC. Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi al-Qur‟an, (Surabaya:
Pustaka as-Sunnah 2003)hal.35

1
2

Artinya : “Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah ialah Islam”


(QS. Ali Imran: 19); dan dalam surat al-Maaidah ayat 3 Allah berfirman :

           

Artinya: “Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kamu sekalian agamamu,
dan Aku sempurkan nikmat-Ku bagimu, Aku ridhai Islam sebagai agamamu” (QS.
5: 3). Juga sebuah hadits yang sering dikemukakan adalah yang artinya: “Aku
tinggalkan untukmu dua perkara yang tidak akan sesat bila kamu sekalian
memegangi keduanya (yakni) Al-Quran dan Sunnah Rasulullah”.
Gerakan kemurnian (pembaharuan) dilakukan karena terjadinya krisis
akidah, kemerosotan moral, kelemahan politik dan ekonomi, serta jumud dalam
pemikiran. Dapat diartikan juga bahwa kondisi tersebut terjadi karena adanya
sikap yang melampaui batas dalam urusan agama yang tidak sesuai dengan
syari‟at Islam.
Sesunguhnya sikap melampaui batas itu tidak hanya terdiri dari satu
macam, melainkan terdiri dari beberapa macam tergantung dengan jenis perbuatan
yang dilakukan para hambah. Akan tetapi secara umum terbagi menjadi dua
macam, yaitu: i‟tiqadi atau yang berhubungan dengan akidah dan amali atau yang
berhubungan dengan muamalah.
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan seseorang atau kelompok
melenceng dari jalan yang lurus dan jauh dari manhaj yang benar yang telah
dibawa Rasulallah SAW dan manhaj para sahabat dan tabi‟in setelah mereka. Di
antara faktor-faktor itu terdapat faktor-faktor yang bersifat eksternal dan internal.
Salah satu contoh faktor eksternal adalah masuknya para misionaris dari umat
Yahudi, Majusi dan dari penganut agama-agama sesat lainnya ke dalam agama
islam dengan tujuan untuk melakukan tipu daya, serta ambisi mereka untuk
menghancurkan islam lalu menggantikan agama islam dengan kesesatan. Mereka
melakukan itu dengan cara menjauhkan kaum muslimin dari agama mereka yang
benar dengan menimbulkan keraguan di hati mereka terhadap agama mereka,
serta dengan membuat hal-hal baru di dalam agama yang bertentangan dengan apa
yang telah dijalani oleh golongan Salafus-Shalih dari umat ini.
3

Sedangkan faktor internal terbagi menjadi dua bagian, yaitu faktor-faktor


yang bersifat umum dan faktor-faktor yang bersifat khusus. Yang terpenting di
antara faktor-faktor umum adalah: berbuat bid‟ah, kebodohan, mengikuti hawa
nafsu, mengutamakan akal dari pada nash, fanatik (mengikuti dengan membabi
buta mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang telah ada) dan melemparkan tuduhan
buruk kepada orang-orang dari golongan Ahli Sunnah wal Jama‟ah. Faktor khusus
ringkasnya adalah menentang atau bertetangan dengan manhaj Ahla Sunnah wal
Jamaa‟ah dalam pandangan dan dalam pembuktian.3
Akibat faktor-faktor tersebut salah satunya adalah kolonialisme Barat
(Yahudi, Majusi, dan lain-lain) terhadap dunia Islam yang berkepanjangan
menyebabkan kehidupan kaum Muslim di permukaan bumi tercabik-cabik.
Kehidupan mereka terhiasi formalisme keberagamaan, kehidupan mistik yang
tidak sehat, tahayul menggantikan sikap orisinal Islam yang kreatif, lenyapnya
daya kritis dan keimanan terdesak menjadi ortodoksi yang sempit.
Situasi demikian meniscayakan umat Islam untuk mencari “sesuatu” sebagai
tempat menggantungkan harapan untuk mendapatkan rasa aman. Sebagian
besar umat memilih untuk mengingat kembali masa lalu Islam yang gemilang.
Masa kesempuranaan Islam yang telah menyejarah, yakni pada masa
Rasulullah dan para sahabat, zaman di mana Islam masih berada dalam wilayah
yang masih terbatas. Islam dalam ruang dan waktu demikian didefinisikan
sebagai ideal, murni atau autentik. Islam autentik (al-ashalah) telah lama
hilang dari masyarakat muslim, baik disebabkan kelalaian maupun oleh karena
“sengaja dicuri” orang lain. 4 Oleh karena itu, umat Islam memandang perlu
mencari autentisitas Islam supaya umat Islam mendapatkan kembali
keemasannya. Salah satu toko pembaharu pada abat ke-14 adalah Taqiyuddin
Abul Abbas Ahmad ibnu Abd al-Halim ibnu Taimiyah, atau yang lebih dikenal
dengan syikh al-Islam Ibnu Taimiyah dari kalangan masyarakat hanbali.

3
Rusli, Rizal. Berlebih-lebihan dalam agama, (jakarta: Pustaka Azzam 2002)hl 86-89
4
Imam Khoiri. Dekontruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam. (Yogyakarta:
LkiS.2000)hl. 19-20
4

Dalam tulisannya (Ibnu Taimiyah) yang berjudul "Muhammadiyah dan


Matarantai Pembaruan Islam", Haedar Nashir memaparkan bahwa jatuhnya
Kota Baghdad ke tangan pasukan Mongol pada 1258 telah menimbulkan dua
kecenderungan. Pertama, masuknya praktik-praktik kehidupan dan keagamaan
yang bersifat mistis dan kemudian mencemari akidah dan moral umat kala itu,
yang banyak penyimpangan dari kemurnian Islam. Kedua, kejatuhan politik
Islam, sehingga umat Islam menjadi lemah. Akibat dari dua hal tersebut
kemudian umat Islam menjadi krisis secara akidah, merosot secara moral,
lemah secara politik, dan jumud secara pemikiran dan kondisi kehidupan.
Dalam kondisi yang demikian itulah, muncul gerakan untuk memurnikan
kembali Islam dan melakukan pembaruan dalam kehidupan sebagaimana
dipelopori oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) untuk
memperbarui cara berpikir dan cara hidup umat Islam.

Tema utama pemikiran Ibnu Taimiyah ialah gerakan al-ruju ila al-Quran
wa As-Sunnah (kembali pada sumber ajaran Islam, yakni Alquran dan sunah).
Dengan tekanan pada pemurnian akidah, gerakan ini sering disebut dengan muhyi
atsar al-salaf (menghidupkan kembali ajaran ulama salaf yang saleh), yakni
praktik ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW dan tiga
generasi sesudahnya, yakni generasi para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.
Gerakan pemurnian yang diusung Ibnu Taimiyah saat itu sejalan dengan
pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal, yang menghidupkan ajaran salafiyah, tetapi
sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran akidah, tetapi terbuka pada
ijtihad. Karenanya, dalam perkembangan berikutnya, gerakan pemurnian tersebut
menjadi bersenyawa dengan spirit ijtihad dan berorientasi pada bagaimana
membangkitkan kembali kemajuan umat Islam dari kemunduran dan kejumudan.
Ibnu Taymiyyah memandang bahwa Islam telah dikotori oleh tasawuf dan tarekat
yang sama sekali tidak berorientasi kepada Sunnah Nabi. Tarekat yang dimaksud
mengetengahkan konsep-konsep wali, wasilah, dan karamah yang mengandung
unsur khurafat dan syirik seperti kelompok sufi al-Ahmadiyah pasa masa Ibnu
5

Taimiyah. 5 Ibnu Taimiyyah berusaha menghilangkan itu semua dengan


menyerukan “kembali kepada tauhid”. 6
Dari permasalahan ini, dan atas dasar pentingnya mengetahui bagaimana
Islam yang sebenarnya dengan berlandaskan pada al-Qur‟an dan as-Sunnah, maka
penulis mengangkat sebuah judul: “Peran Ibnu Taimiyah Dalam Pemurnian
Aqidah Islam”. Dengan harapan dapat mengigatkan dan menumbuhkan rasa
kesadaran seluruh umat Islam terhadap pentingnya kemurnian akidah (keyakinan)
sebagai modal dasar yang paling utama.
Adapun alasan memilih judul tersebut, yakni:
1. Ibnu Taimiyah adalah sosok monumental sepanjang sejarah yang telah
dilahirkan oleh sejarah. Umat ini sangat membutuhkan pribadi multi
dimensi seperti beliau; berwawasan luas, visioner, dan tak kenal
menyerah. Beliau adalah prototipe ulama pembaharu yang memiliki
pemahaman Islam yang orisinil dan mendalam. Ilmu dan amalnya
senantiasa membawa manfaat dan kemaslahatan bagi umat.
2. Memberi pemahaman yang jelas tentang kemurnian ajaran Islam. Salah
satu indikasinya adalah penerapan akidah yang benar tersebut dalam
kehidup umat islam. Supaya sesuai dengan hakikat ajaran islam yang
sebenarnya yaitu kembali kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah.
3. Kewajiban penulis sebagai mahasiswa jurusan pendidikan agama Islam
untuk membina dan menumbuh kembangkan nilai-nilai keagamaan,
dengan titik penekanannya pada akidah tauhid sehingga memperoleh
keutamaan dalam taqarub (ibadah) kepada Allah, dan bukan untuk mencari
kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan duniawi.
4. Sebelumnya sudah ada mahasiswa program pascasarjana Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang dalam sebuah Tesisnya yang
membahas tentang pemurnian ajaran agama Islam dalam pandangan Ibnu

5
Ibnu, Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu
Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan
Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal.23-
24
6
Nurcholish, Madjid. Kaki Langit Peradaban Islam. (Jakarta: Paramadina, 1997)hal.157
6

Taimiyah. Akan tetapi ia lebih cenderung membahas masalah


keterkaitannya atau pengaruhnya terhadapa gerakan Wahabi tanpa
menjelaskan dampak kemurnian Ibnu Taimiyah di Indonesia. Maka disini
penulis merasa perlu untuk membahas dampak kemurniannya juga di
Indonesia.
Demikian lebih dan kurang beberapa alasan penulis dalam memilih judul
di atas.
B. Identifikasi Masalah
Sehubungan dengan latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang
dapat diidentifikasi, yaitu sebagai berikut:
1. Masyarakat pada masa Ibnu Taimiyah sangat fanatisme mazhab, taqlik
buta dan berlebih-lebihan dalam agama sehingga timbul sikap melampaui
batas yang menyalahi akidah islam yang sebenarnya.
2. Kurangnya kesadaran masyarakat Islam pada masa Ibnu Taimiyah bahwa
penganut agama sesat baik itu Yahudi, Majusi, dan penganut agama sesat
lainnya yang senantiasa masuk ke dalam agama islam dengan tujuan untuk
melakukan tipu daya, menimbulkan keraguan, membuat hal-hal baru
dalam agama dan mengantikan agama islam dengan kesesatan.
3. Tentang tarekat yang mengetengahkan konsep-konsep wali, wasilah,
keramat yang mengandung unsur khurafat dan syirik seperti kelompok sufi
al-Ahmadiyah pada masa Ibnu Taimiyah.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti memberikan batasan-
batasan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pandangan Ibnu Taimiyah tentang pemurnian ajaran
agama islam?
2. Bagaimanakah pandangan Ibnu Taimiyah tentang akidah yang benar
yang sesuai dengan syari‟at islam yaitu akidah tauhid?
D. Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah
Bagaimanakah Peran Ibnu Taimiyah Dalam Pemurnian Aqidah Islamiyah Atau
7

dengan kalimat yang lebih rinci: Bagaimanakah akidah islam yang benar dalam
pandangan Ibnu Taimiyah, yaitu aqidah para salafus shalah(ahlu sunnah wal
jamaah)?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui konsep kemurnian
ajaran agama islam dalam pandangan Ibnu Taimiyah. Salah satu indikasinya
adalah penerapan akidah yang benar tersebut dalam kehidup umat islam. Maka
kemurnian ajaran/ akidah yang benar harus diterapkan sebagaimana pandangan
pemikiran Ibnu Taimiyah yaitu gerakan al-ruju ila al-Quran wa As-Sunnah
(kembali pada sumber ajaran Islam, yakni Alquran dan sunah), dengan tekanan
dalam pemurnian akidah.
Hasil yang diperoleh dari skripsi ini diharapkan memberi manfaat praktis
yang dapat menumbuh kembangkan akidah yang benar yang sesuai dengan
syari‟at islam baik itu dalam hubungannya dengan Allah atau dengan sesama
manusia itu sendiri. Serta menuntun umat islam sehingga terhindar dari kesesatan
dan bangkitan dari keterpurukan.
F. Metodelogi Penelitian
1. Jenis Penelitain
Penelitian yang sedang dilakukan ini, jika dilihat dari bahan-bahan atau
obyek yang akan diteliti, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian
kepustakaan (library research) karena penelitian ini menggunakan buku-buku dan
majalah-majalah. Jika penelitian ini dilihat dari segi cara analisisnya, maka
peneltian ini bersifat kualitatif.
Cara penyajiannya bersifat deskriptif analitik. Penyajian deskriptif adalah
menjelaskan tentang pengertian, maksud dan tujuan dari kemurnian ajaran agama
islam serta pengaruhnya dalam masyarakat. Analisisnya adalah menganalisa
pemikiran Ibnu Taimiyah dengan berbagai dalil-dalil yang memiliki keterkaitan,
baik dari al-Qur‟an, Hadits, dan beberapa disiplin ilmu pengetahuan.
2. Metode Penulisan
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan. Untuk mendapatkan data-data penelitian, penulis mengupulkan
8

bahan kepustakaan, terutama yang berkaitan dengan konsep kemurnian


(pembaharuan) ajaran agama islam kembali kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah dari
berbagai sumber.
3. Fokus Penelitian
Subyek penelitian ini adalah pandangan Ibnu Taimiyah terhadap
kemurnian ajaran agama Islam kembali kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah dalam
implementasinya di dalam masyarakat terutama masyarakat pada zamanya dan
khususnya di Indonesia. Sedangkan obyek penelitiannya adalah peningkatan
kualitas keimanan (aqidah islam) dari kemurnian (pembaharuan) ajaran agama
islam dalam pandangan Ibnu Taimiyah.
4. Sumber Penelitian
Dalam pengumpulan data, penulisan sepenuhnya menggunakan metode
penelitian kepustakaan. Untuk mendapatkan data-data penelitian, penulis
mengumpulkan bahan kepustakaan, terutama yang berkaitan dengan kemurnian
(pembahruan) ajaran agama islam dari beberapa sumber: Dalil-dalil nash (al-
Qur‟an dan as-Sunnah), Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiya, Qa‟idah Jalilah fi at-
Tawassul wa al-Wasilah, tajdidu salafi wa dakwah al-ishlahiyah sebagai sumber
primer, beberapa pemikiran tentang kemurnian islam, pemikiran Para Tokoh
Kemurnian (pembaharuan) Islam, dan lain-lain, sebagai sumber sekunder.
1. Prosuder Penelitian
a. Tahap Persiapan
Pada tahapan ini, penulis mengadakan kunjungan perpustakaan dalam
rangka pengumpulan data.
b. Tahap Pelaksanaan
Tahap ini penulis mengumpulkan data dari buku-buku sumber yang
diperoleh dari perpustakaan untuk penelitiaan.
c. Tahap Penyelesaian
Dalam tahap ini, peneliti menyimpulkan hasil observasi dan kemudian
menafsirkan serta menyusun data dalam bentuk hasil penelitian.
9

2. Teknik Penulisan
Teknik penulisan Skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
BAB II
KONSEP KEMURNIAN AQIDAH ISLAM
A. Pengertian Kemurnian (Tajdid)
Secara bahasa, kata tajdid berarti ia merupakan proses menjadikan sesuatu
yang terlihat usang untuk dijadikan baru kembali. Dalam hal ini tajdid-
aktivitas koreksi ulang atau konseptualisasi ulang pada hakikatnya selalu
berorientasi pada pemurnian yang sifatnya kembali pada ajaran asal dan bukan
adopsi pemikiran asing dalam pelaksanaannya diperlukan pemahaman yang
dalam akan paradigma dan pandangan hidup islam yang bersumber dari al-
Qur‟an dan as-Sunnah, serta pendapat para ulama yang terdahulu yang secara
ijma‟ dianggap shahih. Selain itu diperlukan juga pemahaman terhadap
kebudayaan asing dan pemikiran yang menjadi asasnya, namun pemahaman
yang dimaksud bukanlah mengambil konsep asing tersebut.7
Pemurnian dalam istilah islam berarti menghidupkan kembali rambu-
rambu Islam dan menegakkan kembali pilar-pilar Islamiyah agama ini dengan
menjaga nash-nash yang shahih secara bersih, dan membersihkan agama ini
dari bid‟ah dan penyimpangan yang mengotorinya, baik dalam bidang
Nazhariyah (pemikiran), Amaliyah (ibadah) maupun bidang Sulukiyah
(perilaku akhlak).8
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembaharuan islam
bukanlah sesuatu yang evolusioner melainkan lebih cenderung devolusioner,

7
http://www.scribd.com/doc/15189839/Konsep-Pembaruan-Dalam-Islam
8
Agus Hasan Bashari, LC. Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi al-Qur‟an, (Surabaya:
Pustaka as-Sunnah 2003)hal.35

10
11

dengan arti bahwa pembaharuan bukan merupakan proses perkembangan


bertahap dimana yang datang kemudian lebih baik dari sebelumnya.
Seputar tajdid ini Rasulullah SAW sendiri telah menegaskan dalam
hadistnya tetang kemungkinan itu, beliau bersabda:” sesungguhnya Allah akan
mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang
akan melakukan tajdid terhadap agamanya”.(HR. Abu Daud. No 3740).9
Sumber Islam al-Qur‟an dan Hadist tidak dapat diperbaharui. Namun, al-
Qur‟an dan Hadist telah diijtihadkan oleh para ulama menjadi kitab-kitab
tahuid, tafsir, fiqih, falsafah Islam, dan lain-lain dan ini juga menjadi pedoman
bagi umat Islam. Kalau al-Qur‟an dan Hadist tidak boleh diubah atau
diperbaharui, tetapi ijtihad ulama tentang al-Qur‟an dan Hadist yang kemudian
menjadi pedoman-pedoaman bidang tahuid, fiqih, dan lain-lain, itu pada masa
ulama-ulama yang berijtihad mungkin masih sesuai dengan kebutuhan umat,
tapi pada masa selanjutnya mungkin perlu diperbaiki. Dalam bidang inilah
pembaharuan islam berkecimpung.10 Akan tetapi pada dasarnya pembaharuan
islam adalah proses pemurnian dimana konsep pertama atau konsep asalnya
dipahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada
masanya dan lebih penting lagi penjelasan itu tidak bertentangan dengan
aslinya. Disini bukan perubahan yang terjadi, tetapi peragaman makna dan
penafsiran. Disamping itu, tajdid ini bisa memperbaharui ingatan orang yang
telah melupakan ajaran agama islam yang benar, dengan memberi penjelasan
dan argumentasi-argumentasi baru sehingga meyakinkan orang yang tadinya
ragu, dan meluruskan kekeliruan atau kesalah pahaman mereka yang keliru
dan salah paham.
Sebenarnya prose ini telah diramalkan sendiri oleh Nabi SAW dalam
hadistnya seperti yang telah disebutkan diatas. Hal ini mengandung peringatan
bagu kaum Muslimin untuk selalu bersikap optimis dalam menghadapi hidup,
karena Allah tidak akan membiarkan kerusakan terjadi pada hambah-hambah-

9
DSyamsudin Arif. Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Depok: Gema Insani 2008)hal.
167
10
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005) hal. 302
12

Nya dari kesesatan dan kebingungan dengan mengirimkan seseorang mujadid


yang akan menghidupkan kembali ajaran-ajaran-Nya. Proses tajdid ini juga
diperlukan karena pemahaman umat islam terhadap ajaran islam telah
semangkin jauh dari bentuk aslinya. Namun sang mujadid akan tetap
berpegang teguh pada kebenaran mutlak yang terdapat dalam al-Qur‟an. Pada
pengertian ini, pembaharuan islam berbeda dengan pembaharuan yang terjadi
di dunia lain yang bersifat reformasi dan revolusi. Dimana yang datang
kemudian akan menjadi evaluasi dan menghapuskan pendapat yang lama.
Begitu juga pembaharuan islam mempunyai rujukan yang jelas, yaitu al-
Qur‟an. Sementara pembaharuan lain akan terus berproses mencari dan tidak
memiliki rujukan yang mutlak dan pasti.
B. Ciri-Ciri Aqidah Islam yang Murni
1. Aqidah Islam Sebagai Aqidah Tauhid
Konsep fundamental dalam Islam adalah Tauhid yakni mengakui keesaan
Tuhan dan menolak segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya. Konsep ini
dituangkan dengan jelas dan sederhana pada surat Al-Ikhlas (surat ke 112)
yang terjemahannya antara lain :
a. Katakanlah “Allah (Tuhan) itu satu”.
b. “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu”.
c. “Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan”.
d. “dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.
Tauhid merupakan bentuk masdhar (gerund) dari “Wahhada
Yuwahhidu Tauhiidan” yang artinya “mengesakan” atau “menunggalkan”,
dan secara lengkap bermakna mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya,
dan meyakini bahwa Dia sendiri lah yang menciptakan, mengatur serta
menguasai alam semesta dan seisinya (Rubbubiyah-Nya), Ikhlas beribadah
kepada-Nya (Uluhiyah-Nya) serta menetapkan baginya nama-nama dan sifat-
sifat-Nya. Dengan demikian, tauhid ada tiga macam pembagiannya; tauhid
rubbubiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma‟ wa sifat.11 Dan seperti yang

11
Darwis Abu Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar 2008)hal. 48-53
13

sudah masyur diketahui bahwa pembagian ini sudah disepakati oleh jumhur
ulama dengan dalil-dalil yang shahih dan qoth‟i.
Dalam bahasa Arab, Tuhan disebut sebagai Allah. Kata ini secara
etimologis terhubung dengan ilah “ketuhanan“, Allah adalah juga kata yang
digunakan oleh orang Kristen (Nasrani) dan Yahudi Arab sebagai terjemahan
dari ho theos dari Perjanjian Baru dan Septuaginta.
Nama “Allah” tidak memiliki bentuk jamak dan tidak diasosiasikan
dengan jenis kelamin tertentu. Dalam Islam sebagaimana disampaikan dalam
Al Qur‟an dikatakan:
“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-
pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu.
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
Mendengar dan Melihat”. (QS 42-11)
Allah adalah Nama Tuhan (ilah) dan satu-satunya Tuhan sebagaimana
perkenalan-Nya kepada manusia melalui Al Quran :
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS.
20 : 14)
Pemakaian kata Allah secara linguistik mengindikasikan kesatuan. Umat
Islam percaya bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah sama dengan Tuhan
umat Yahudi dan Nasrani, dalam hal ini adalah Tuhan Ibrahim. Namun, Islam
menolak ajaran Kristen menyangkut paham Trinitas dimana hal ini dianggap
Politheisme.
Mengutip Qur‟an, surat An-Nisa(4) :171:
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agama dan
janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.
Sesungguhnya Al-Masih, Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang
diciptakan dengan kalimat-Nya) yang disampaikannya kepada Maryam dan
(dengan tiupan ) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya. Dan janganlah kamu mengatakan :”Tuhan itu tiga”,
berhentilah dari ucapan itu. Itu lebih baik bagi kamu. Sesungguhnya Allah
Tuhan yang Maha Esa. Maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di
14

langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai


Pemelihara”.
Dalam Islam visualisasi atau penggambaran Tuhan tidak dijumpai, hal ini
dilarang karena dapat berujung pada pemberhalaan dan justru penghinaan,
karena Tuhan tidak serupa dengan apapun (Asy-Syuraa QS. 42 : 11). Sebagai
gantinya, Islam menggambarkan Tuhan dalam 99 nama/ gelar/ julukan Tuhan
(asma‟ul husna) yang menggambarkan sifat ketuhanan-Nya sebagaimana
terdapat pada Al Qur‟an.
Ajaran Islam dituliskan di dalam Alquran dan hadis. Seseorang yang ingin
mempelajari agama Islam mutlak harus menguasai bahasanya, bisa
mempelajari sendiri atau mengikuti apa-apa saja yang dikatakan oleh para
buya, ustaz, kyai dan guru mereka. Tidak semua umat Islam membaca
langsung dan mampu memahami isi Alquran dan hadis.
Sebagian besar orang Islam menempuh cara yang kedua yaitu mengikuti
apa-apa yang diucapkan para ulama. Hal ini seringkali menghasilkan
penghayatan Islam yang hanya sepotong-sepotong. Padahal Islam merupakan
dien, ajaran lengkap yang memberikan dasar acuan hidup manusia untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ada empat jenis penghayatan Islam
secara sepotong-sepotong oleh penganutnya yaitu :
1. Dogmatis.
Ajaran dari ulama diterima bulat-bulat dan ditelan mentah-mentah tanpa
sikap kritis, sehingga memunculkan sikap fanatisme yang membuta. Sikap
fanatisme ini dapat dijadikan hiburan bagi si miskin dan perisai bagi si kaya.
2. Rasionalistik.
Menerima ajaran Islam sebatas jangkauan pikirannya saja; yang
dilaksanakan hanyalah syariat agama yang menurutnya berguna bagi dirinya.
3. Formalistik.
Melaksanakan ajaran Islam sebagai formalitas belaka, misalnya karena
keturunan orang Islam. Agama sering difungsikan sebagai perisai, alat politik
dalam pergaulan.
15

4. Hakikat.
Inti ajaran diserap/diterima tetapi syariatnya tidak dilaksanakan.
Contohnya, karena inti ajaran sholat adalah berdoa dan ingat kepada Allah,
maka mereka meninggalkan sholat. Yang mereka lakukan hanya doa dan
ingat. Melakukan puasa cukup hanya tidak memakan makanan tertentu saja
atau puasa khusus lainnya tanpa tuntunan syariat.
Untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, Islam harus
dihayati dan diamalkan secara kaffah (utuh), tidak sepotong-potong atau
sebagian. Penghayatan Islam secara kaffah dilakukan dengan cara
menggabungkan penghayatan yang sepotong-potong, sehingga menghasilkan
penghayatan yang utuh.
2. Kejelasan Ruang Lingkup Aqidah Islam
Meminjam sistematika Hasan al-Banna maka ruang lingkup pembahasab
aqidah adalah:
a. Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang behubungan
dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-
sifat Allah, af‟al Allah dan lain-lain.
b. Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang kita-kitab
Allah, mu‟jizat, keramat dan lain sebagainya.
c. Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis
Syaitan, Roh dan lain sebagainya.
d. Sam‟iyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bias
diketahui lewat sam‟I (dail naqli berupa al-Qur‟an dan Sunnah) seperti
alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surge neraka
dan lain-lain sebagainya.12
Disamping sistematika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti
sistematika arkanul iman yaitu: “ Iman kepada Allah, iman kepada Malaikat
(termasuk pembahasan tentang makhluk rohani lainnya seperti Jin, Iblis dan

12
Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., MA. Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI 2000) hal. 6
16

Syaitan), iman kepada kita-kita Allah, iman kepada Nabi dan Rasul, iman
kepada Hari Akhir, dan iman kepada Taqdir Allah.
3. Kejelasan Sumber Aqidah Islam
Para ulama, semoga Allah merahmati mereka semua, telah sepakat aqidah
islam yang suci mulia ini bersumber kepada:
1. Al-Qur‟an
Secara bahasa al-Qur‟an berasal dari kata qur‟aana yang artinya bacaan
atau yang dibaca, yang asal katanya adalah qara. Inilah pendapat yang terkuat
menurut Dr. Shubhi Ash-Shalih yang dikutip pula oleh Depag RI. Sedangkan
istilah syara‟, al-Qur‟an adalah kalam (firman) Allah SWT yang merupakan
mu‟jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW dan
yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya
adalah ibadah. 13
Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy, mengatakan al-Qur‟an itu wahyu illahi
yang diturunkan kepada Muhammad SAW, yang telah diturunkan kepada kita
umatnya dengan jalan mutawatir, yang dihukum kafir orang yang
mengingkarinya.14
Setelah ditampilkan berbagai definisi, dapat dikatakan bahwa al-Qur‟an
adalah firman Allah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui
Malaikat Jibril secara mutawatir, berbahasa Arab, sebagai mu‟jizat, untuk
menuntun manusia, agar memperoleh kebahagian dunia dan akhirat serta
membacanya mendapat pahala.
Bagi kaum muslimin, al-Qur‟an merupakan sumber utama dalam segala
hal yang meliputi masalah aqidah (keyakinan), syari‟at (hukum), akhlak
(moral), dan masalah-masalah lainnya yang menyangkut tashauwur
(konsepsi). Mereka meyakini bahwa al-Qur‟an kalam Allah yang merupakan

13
Darwis Abu Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar 2008) hal. 10
14
Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an (Jakarta: Bulan
Bintang 1988) hal. 17
17

sebaik-baik perkataan. Mereka menggunakan perkataan yang mulia itu di atas


segala perkataan manusia dari golongan mana pun. 15
2. As-Sunnah
Secara bahasa sunnah berarti, jalan yang ditempuh baik yang terpuji atau
tercela atau tradisi yang dibiasakan, sekalipun tidak baik. Sedangkan menurut
istilah syara‟, sunnah bermakna segala sesuatu yang dinukil (diterima) dari
Rasulullah SAW baik berupa perkataan, perbuatan, sifat kejadian (bentuk),
tingkah-laku, atau perjalanan hidup beliau, baik sebelum diangkat menjadi
rasul maupun sesudahnya.
Dalam keyakinan (aqidah) kaum muslimin, as-Sunnah mendapatkan
tempat yang sangat mulia. Ia berada pada urutan kedua sebagai petunjuk,
pegangan bagi umat manusia setelah kitab suci al-Qur‟an. Ketinggian dan
kemuliannya itu telihat dari berbagai ketetapan hukum dalam ajaran islam,
bahkan as-Sunnah merupakan kunci untuk memahami agama yang mulia ini.
Tidak seorang pun yang diperbolehkan keluar dari kedua ketentuan ini, seperti
berpegang pada al-Qur‟an saja tanpa melihat pada ketetapan Sunnah,
sebagaima yang telah diperlihatkan oleh Inkar Sunnah. Meninggalkan Sunnah
dalam agama Islam, bukan hanya mendurhakai Muhammad sebagai Rasul
Allah, lebih dari itu sesungguhnya manusia yang seperti ini telah mendurhakai
Allah SWT. Karena pada hakikatnya, Allah lah yang memerintahkan untuk
senantiasa mentaati Rasulullah SAW.16 Jadi sumber aqidah Islam adalah al-
Qur‟an dan as-Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam
al-Qur‟an dan Rasulullah dalam Sunnahnya wajib diimani (diyakini dan
diamalkan).
4. Aqidah Sebagai Hal Pokok Dalam Islam
Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi
bangunan yang akan didirikan, harus semakin kokoh fondasi yang dibuat.

15
Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim, Majmu‟ al-Fatawa, (Riyadh:
Darul Buhuts) Jilid 13, hal.157
16
Darwis Abu Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar 2008) hal. 10
18

Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan
tanpa fondasi.
Kalau ajaran Islam kita bagi dalam sistematika Aqidah, Ibadah, Akhlak
dan Mu‟amalat atau Aqidah, Syari‟ah dan Akhlah, atau Iman, Islam dan Ihsan,
maka ketiga aspek atau keempat aspek di atas tidak dapat dipisahkan sama
sekali. Satu sama lain saling terikat.
Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan
ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan bermu‟amalat dengan
baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah SWT kalau tidak
dilandasi dengan aqidah. Seseorang tidaklah dinamai berakhlak mulia bila
tidak memiliki aqidah yang benar. Begitu seterusnya bolak- balik dan
bersilang. 17
Dengan demikian, aqidah Islam adalah aqidah yang dapat menyelamatkan
umat manusia yang penuh dengan segala kekurangan dan kelemahan dari
berbagai penyimpangan dan penyelewengan yang berakibat kepada
kezhaliman. Karenanya, aqidah Islam merupakan aqidah yang bersumber dari
Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur, Yang Maha Tahu dengan segala
persoalan yang dihadapi oleh para hambaNya, berfunsi untuk menuntun agar
manusia tersebut dapat menjalani kehidupannya sebagaimana layaknya
seorang hambah Allah yang sesunggunya.
C. Upaya-Upaya Pemurnian Aqidah Islam
Kemunculan ide pembaruan dilatarbelakangi oleh suatu proses yang
panjang. Sejak awal abad ke-2 H (8M). Islam dalam perkembangan
dakwahnya yang makin meluas mengharuskan Islam berinteraksi dengan
peradaban dan agama lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara
Islam dengan pemikiran asing. Hal ini mendorong para pemikir Islam untuk
membahas aqidah Islam dari berbagai segi. Termasuk mengemukakan
argumentasi untuk mempertahankan aqidah Islam ketika menghadapi aqidah
lain (terutama Nashrani dengan menggunakan cara berfikir filsafat Yunani).
Akhirnya untuk menghadapi orang-orang Nashrani, umat Islam pun

17
Darwis Abu Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah……………..hal. 10
19

mempelajari filsafat untuk membantah tuduhan-tuduhan terhadap aqidah


Islam, yang pada perkembangannya disebut dengan ilmu kalam.
Ilmu kalam ini dikembangkan oleh generasi setelah shahabat (khalaf) yang
berbeda dengan generasi shahabat (salaf). Kalangan khalaf telah membahas
lebih jauh tentang dzat Allah dengan menggunakan metode pembahasan
filosof Yunani. Metode ini menjadikan akal sebagai dasar pemikiran untuk
membahas segala hal tentang iman.
Para pemikir Islam berusaha mempertemukan Islam dengan pemikiran
filsafat ini. Cara berfikir ini memunculkan interpretasi dan penafsiran yang
menjauhkan sebagian arti dan hakekat Islam yang sebenarnya. Hal ini
ditambahkan dengan masuknya orang-orang munafik ke tubuh umat Islam.
Mereka merekayasa pemikiran dan pemahaman yang bukan berasal dari Islam
dan justru menimbulkan saling pertentangan. Terlebih lagi kelalaian kaum
muslimin terhadap penguasaan bahasa Arab dan pengembangan Islam yang
terjadi sejak abad ke-7 H, mengakibatkan Islam semakin mengalami
kemerosotan.
Terkikisnya pemahaman Islam yang hakiki terus berlanjut sampai awal
abad ke-13 H. Saat itu umat Islam mulai mengupayakan pembaruan untuk
memahami syariat Islam yang akan diterapkan dalam masyarakat. Islam
ditafsirkan tidak semata-mata selaras dengan isi kandungan nash-nash.
Disaat kaum muslimin mengalami kemerosotan berfikir, cara pandang
mereka mulai teracuni oleh cara pandang asing. Tsaqofah Islam kian
melemah. Upaya-upaya pembaruan semakin merebak. Para pembaru
memandang perlunya mengatasi masalah dengan melakukan interpretasi
hukum-hukum Islam agar sesuai dengan kondisi yang ada. Mereka
mengeluarkan kaidah-kaidah umum dan hukum-hukum terperinci sesuai
dengan pandangan tersebut. Bahkan mereka membuat kaedah umum yang
tidak berdasarkan perspektif wahyu (Al-Quran dan Hadits).
20

Diantara kaedah dasar yang sering digunakan adalah : „Tidak ditolak


perubahan hukum karena perubahan zaman‟. „Adat istiadat dapat dijadikan
patokan hukum‟. 18
Upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi
nash-nash syar‟i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar‟I dengan
metode yang menyelisihi ijma‟ ulama islam. Adapun secara spesifik fungsi
tajdid diantaranya:
a. Merupakan upaya untuk menghadirkan kembali sesuatu yang
sebelumya telah ada untuk diperbaiki dan disempurnakan.
b. Sebagai upaya pemurnian yang sifatnya kembali ke ajaran asal dan
bukan adopsi pemikiran asing.
c. Upaya yang sama sekali bukan pembenaran kepada segala upaya
mengkoreksi nash-nash syar‟i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks
syar‟i dengan metode yang menyelisihi ulama.
d. Upaya memodernisasikan islam dari ketinggalan (yang bersifat tidak
mutlak yang dapt dirubah-rubah) dengan tidak menghilangkan “cirri
khas” nya (al-Qur‟an dan Hadist).
Singkatnya, bahwa memberi pengertian akan pentingnya upaya pemurnian
Islam dari segala sesuatu yang menyusup masuk ke dalamnya serta pembinaan
umat diatas Islam yang telah dimurnikan tersebut. Dengan kata lain,
pemurnian tauhid dari kesyirikan, pemurnian Sunnah Rasulullah SAW dari
bid‟ah, pemurnian akhlak/moral dari perangai umat-umat yang binasa dan
buruk, dan pemurnian hadist-hadist Nabi SAW yang shahih dari hadist-hadist
yang lemah dan palsu yang telah dibuktikan kebohongannya serta telah
disingkap kepalsuannya…dan seterusnya. 19

18
http://www.angelfire.com/md/alihsas/tinjauan.html
19
„Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani. 6 Pilar Utama Dakwah Salafiyyah. (Jakarta:
Pustaka Imam asy-Syafi‟I 2005)hal. 257
BAB III
GERAKAN PEMURNIAN AQIDAH IBNU TAIMIYAH
A. Biografi Ibnu Taimiyah
1. Riwayat Hidup Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah, nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Taqiyuddin
Ibnu as-Syaikh Syihabuddin Abi al-Mahasin Abdul al-Halim Ibnu as-Syaikh
Majdi ad-Din Abi al-Barakat Abdu as-Salam Ibnu Abi Muhammad Abdillah Abi
al-Qosim al-Khadhri. 20 Ia lahir pada tanggal 10 R. Awal 661 H./ 22 Januari 1263
M. di Harran, daerah Palestina dekat Damaskus, dari keluarga ulama Syiria yang
setia dengan ajaran puritan dan amat terikat dengan mazhab Hambali. 21 Kakeknya
adalah Abdu as-Salam adalah seoarang ulama pemuka agama tersohor di Bagdad.
Tradisi ini turun-temurun sampai Abdul al-Halim ayahnya Ibnu Taimiyah yang
menjabat kepala sekolah terkemuka di Damaskus. 22
Julukan Ibnu Taimiyah adalah Abul Abbas, namanya adalah Ahmad dan
gelarnya adalah Taqiyuddin. Lengkapnya adalah Abul Abbas Ahmad Taqiyuddin.
Sedangkan sebab munculnya laqab “Ibnu Taimiyah” menurut suatu riwayat,
Kakek Syaikhul Islam, Muhammad bin Khadir pergi menunaikan haji dan dia
memiliki seorang istri yang tengah hamil (yang ditinggalkannya) melewati daerah
Taima‟. Disana kakenya melihat seorang anak perempuan masih kecil keluar dari
tempat persembunyiannya (karena sedang bermain). Ketika sang kakek kembali

20
Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam
Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 203
21
Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibnu
Taimiyah, terj. Masroni, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995 ) hal. 20
22
Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:
Pustaka Mantiq, 1995) hal. 47

21
22

ke Harran, dia mendapatkan istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan


(yang kemudian akan menjadi Ibunya Ibnu Taimiyah), maka ketika ia melihatnya
(ia teringat anak perempuan di daerah Taima‟ mengatakan, “Ya Taimiyah, ya
Taimiyah”, sehingga kemudian Syikhul Islam digelari dengan Ibnu
Taimiyah(anak Taimiyah). 23
Menurut pendapat lain, dari Ibnu an-Najjar berkata: “bahwa ibu dari kakek
Ibnu Taimiyah yang bernama Muhammad ini adalah Taimiyah, seorang da‟i
perempuan (seorang pemberi nasihat(ustazah), maka Ibnu Taimiyah dinisbahkan
kepadanya dan kemudian dikenal dengan laqab tersebut.
Ibnu Taimiyah berasal dari Harran. Ibnu Jubair berkata, “cukup bagi
kampung ini sebagai kemuliaan dan kebanggaan, bahwa kampung inilah tempat
bapak kita Nabi Ibrahim Alaihissalam.” Cuaca di Harran sangat berpengaruh pada
sikap Ibnu Taimiyah, yakni menjadikan seorang yang berprilaku bersih, bagus
tingkah laku dan istiqamah, di samping cuaca panasnya mampu mengobarkan
semangat bela agama. 24
Sekitar tahun 667 H./ 1268 M. keluarganya (Ibnu Taimiyah) berimigrasi ke
Damaskus untuk menghindari kekejaman bangsa Mongol atau tentara tartar.
Beliau (Ibnu Taimiyah) datang bersama orang tuanya dan keluarganya ke
Damaskus ketika beliau masih sangat kecil. Mereka eksodus dan melarikan diri
dari kota Harran demi menghindari kezhaliman dan kesewenang-wenangan
bangsa tartar kala itu. Mereka berjalan di malam hari, dengan membawa kitab-
kitab yang mereka angkut dengan gerobak yang ditarik sapi ternak karena tidak
ada hewan tunggangan, sehingga hampir saja mereka berhasil disusul oleh musuh.
Dan karena beratnya muatan gerobak tersebut mogok, maka mereka bermunajat
kepada Allah untuk memohon pertolongan kepada-Nya, hingga mereka pun
terhindar dari musuh dan selamat. Mereka tiba di Damaskus pada pertengahan
tahun 57 H, dan disanalah untuk pertama kalinya Syekhul Islam kecil menghadiri

23
Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu
Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan
Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal. 18
24
Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi,
terj. Faisal Saleh, Lc. M.Si, Khoerul Amru Harahap, Lc, M. Hi. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2005) hal. 17
23

majelis ilmu guru beliau yang pertama, asy-Syekh Zainuddin Ahmad bin ad-
Da‟im al-Maqdisi. 25
Ketika pindah ke Damaskus tersebut, Ibnu Taimiyah baru berusia 6 tahun.
Orang tuanya mempunyai pandangan jauh kedepan dan mengerti pentingnya
pendidikan. Oleh sebab itu ia diasuh dan di didik dengan baik. Dengan pendidikan
yang begitu terarah, sehingga dalam usia yang relatif muda sudah hafal al-Qur‟an.
Di samping potensi kecerdasannya, lingkungan keluarga, ia sangat mencintai ilmu
dan giat mencarinya pada siapa, dimana dan kapan saja. Tiada hari baginya tanpa
membaca, mendengar dan berdiskusi.
Di Damaskus Ibnu Taimiyah berhasil menyelesaikan studinya, di bawa
bimbingan sang ayah. Dirasah dan studi yang ditekuninya didasarkan paradigma
dan kaedah-kaedah mazhab Hambali. Ia jg banyak belajar kepada syekh-syekh
yang lain, oleh sebab itu tidak mengherankan jika kemudian ia sangat menguasai
berbagai disiplin ilmu seperti, alQur‟qn, hadist, tafsir, fiqh, ushul fiqh, bahasa,
berhitung, logika dan filsafat,26 dan juga belajar kaligrafi, ilmu olah raga.
Ilmu tafsir adalah disipil ilmu yang paling disukai oleh Ibnu Taimiyah.
Minatnya terhadap ilmu yang satu ini kelihatannya sangat begitu tinggi, hal ini
dapat dipahami dari pernyataannya bahwa dia telah mempelajari lebih dari seratus
kitab tafsir al-Qur‟an.27 Agaknya minat dan kecerdasannya dalam lapangan ilmu
tafsir inilah; yang membuat ia begitu independen dalam pemahamannya dalam
berbagai persoalan keagamaan, disamping penguasaan ilmu lainnya.
Disebutkan bahwa, pendidikan Ibnu Taimiyah dimulai dengan mengaji
kepada ayah dan pamannya. Ia juga belajar kepada beberapa ulama terkemuka
terutama di Damaskus dan sekitarnya. Jumlah ulama dan guru besar Ibnu

25
Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu
Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan
Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal. 19
26
Persoalan filsafat banyak dibicarakannya,ketika melancarkan kritik terhadap kesesatan
dan kekeliruan dalam alur logika, terutama filsafat Yunani. Masalah tersebut banyak dimuatnya
dalam sebuah kitab; Naqd al-Mantiq, lihat Nurholis Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984) hal. 39-40
27
Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:
Pustaka Mantiq, 1995) hal. 45
24

Taimiyah mencapai lebih dari dua ratus syikh. 28 Di antara sekian banyak guru
yang telah mentransformasi ilmunya dapat disebutkan antara lain:
1. Syam ad-Din Abd Rahman Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad al-Maqdisi
(597-682 H.) adalah seorang ahli hukum Islam (fiqih) dan Hakim Agung
pertama dari kalangan mazhab Hambali di Siria, setelah Sultan Baybars
(1260-1277 M) melakukan pembaharuan di bidang peradilan. 29
2. Al-Munaja‟ Ibnu „Utsman al-Tanukhi (611-695 H.). Ia seorang guru Ibnu
Taimiyah di bindang fiqih, tokoh tersohor bidang fiqih pada zamannya di
Syam (Suriah). Ia juga seorang Mufassir dan ahli nahwu, pemberi fatwa
dan pengarang. Karangannya antara lain; Syarh al-Mughni sebanyak
empat jilid, Tafsir al-Qur‟an, ikhtisar al-Mashul, dan lain sebagainya.
3. Ibnu Abd al-Qawiyy (603-699 H.) adalah seorang ahli hadist, fiqh, nahwu
dan pengarang, karyanya antara lain; Kitab al-Furuq.
4. Ibnu Abd al-Da‟im (557-678 H.) seorang guru Ibnu Taimiyah di bidang
hadist. Di antara ulama yang meriwayatkan hadist darinya adalah al-
Syaikh al-Muhy al-Din al-Nawawi dan Ibnu Daqiq al-„id. Ibnu Taimiyah
belajar dengannya Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Shahih Enam
(Kutub al-Sittah).30
Melihat jumlah dan kualitas guru-guru Ibnu Taimiyah, di samping
keberadaan sosok Ibnu Taimiyah sendiri, maka dapat dimengerti mengapa ia
menjadi seorang yang berilmu luas, kritis dan berpandang orisinil. Dan pada
gilirannya ia mampu melahirkan muri-murid yang memiliki kualitas ilmu
keagamaan yang handal; al-Hafiz Ibnu Qoyyim, 31 al-Hafiz Ibnu Katsir, 32 al-
Hafiz IbnuAbdil Hadi, 33 al-Hafiz Ibnu Rajab34 dan lain-lain.

28
Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,
dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006)
cet I hal. 16
29
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008) hal. 85
30
Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:
Pustaka Mantiq, 1995) hal. 45
31
Ia adalah murid yang paling pintar, yakni seorang yang ahli fiqh mazhab Hambali, ahli
ilmu ushul, hadist, nahwu, sastra dan orator dan karyanya tidak kurang dari 40 jilid (w. 751 H.)
lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah
Reformasi... hal. 18
25

Seorang sejarawan besar, al-Dzahabi pernah memberi komentar tentang Ibnu


Taimiyah; sesungguhnya Ibnu Taimiyah figur pembaca yang berhasil. Ia mahir di
bidang ilmu hadist dan fiqih dalam usia yang relatif muda, selain itu ia juga
menguasai ilmu tafsir, ushul fiqih dan hampir semua ilmu keislaman, baik ushul
maupun furu‟ nya secara global, kecuali ilmu qira‟at.
Apabila menyebut tafsir, maka dialah pembawa panjinya, apabila menghitung
nama-nama fuqaha, maka dialah seorang mujtahid mutlak pada zamannya. Jika
menghadiri majelis huffaz (hafalan), Ibnu Taimiyah berbicara dengan lantang,
semua hadirin diam, ia menghafal tidak seorangpun mampu mengikutinya, bahkan
ketika hafalannya yang lain masih banyak, yang lain sudah kehabisan hafalan.
Ketika menyebut ahli ilmu kalam, dialah orangnya dan kepadanyalah orang-orang
merujuk.35 Demikianlah beberapa komentar tentang ketokohan Ibnu Taimiyah
dalam sejarahnya.
Kehebatan Ibnu Taimiyah, tidak hanya diakui dari kalangan yang
mengaguminya, sebutlah kelompok yang setuju dengan pemikirannya, tetapi lebih
dari itu, ternyata lawan polemiknyapun memberi komentar yang sama. Kamal al-
Din Ibnu al-Zamlakani, seorang penganut mazhab syafi‟i, sengaja menulis
beberapa jilid buku untuk menentang pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah. Dalam
sebuah tulisannya tetap mengakui kehebatan Ibnu Taimiyah, ia berkomentar; jika
dia (Ibnu Taimiyah) berbicara tetang sesuatu ilmu, dia selalu lebih dari pada yang
dibutuhkan, dalam hal tulis-menulis dia begitu indah memilih kata-kata,

32
Ia adalah ahli tafsir, hadist dan fiqh. Ia adalah seorang yang bermazhab Syafi‟i namun
berguru kepada Ibnu Taimiyah dan merasa takjub kepadanya dan karangnya yang paling populer
tafsir al-Qur‟an al-Azhim (tafsir Ibnu Katsir) dan buku yang lain, al-bidayah wa an-Nihayah, lebih
jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi...
hal. 19-20
33
Seorang faqih, mempuni, ahli dalam ilmu tajwid, ahli hadist, hafizh, ahli nahwu, cerdas
dan mempunyai wawasan yang luas, lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah
Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi... hal. 19
34
Seorang imam yang hafiz yang menjadi rujukan bagi faqih, seorang ulama, guru para
ahli hadist serta penasehat kaum muslimin, lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu
Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi... hal. 20
35
Ali Sami‟ al-Nasysyar dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah;
Etika Politik Islam, terj. H. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena (Djawatan Penerangan Agama),
1960) hal. 16
26

paparannya tepat pada sasaran, pandai menyusun kerangka dan kata-kata.36


Agaknya menjadi pertanyaan, apa motiv tokoh ini secara sadar memberi komentar
demikian. Barangkali komentar tersebut, tidak lebih dari kesadaran yang muncul
dari kondisi, dimana seseorang secara jujur mengakui, bahwa setiap manusia
dalam beberapa segi pasti memiliki kelebihan dan dalam segi-segi tertentu mesti
terdapat pula kekurangan-kekurangan. Asumsi ini paling tidak ingin melihat
secara husnu zhon dari sikap tokoh tersebut diatas terhadap Ibnu Taimiyah.
Meskipun demikian, Ibnu Taimiyah tidak selalu mendapat komentar positif.
Banyak juga kalangan yang justru menyudutkannya, ia dituduh sebagai seorang
yang tidak pernah naik haji atau melarang naik haji. 37 Padahal Ibnu Taimiyah
tidak pernah melarang seseorang untuk naik haji dan beliau sendiri ketika pergi ke
Mekkah pada tahun 1292 melakukan ibadah haji.38 Bahkan pada tingakat yang
paling ekstrim, Ibnu Taimiyah dituduh seorang “atheis”.
Ibnu Taimiyah adalah penentang keras terhadap setiap bentuk khurafat dan
bid‟ah atau inovasi terhadap agama. Dengan sikapnya yang demikian itu dia
dimusuhi oleh banyak kelompok Islam, dan kerap kali berlawanan pendapat
dengan kebanyakan ulama ahli hukum. Dia sering pula menentang arus,
karenanya berkali-kali masuk penjarah, bahkan akhirnya meninggal di dalam
penjara.
Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi
politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral. Masyarakat, khususnya
tempat Ibnu Taimiyah lahir, dan umumnya di seluruh wilayah kekuasaan
Mamalik, 39 atau bahkan di banyak kawasan lain, sangat heterogen, baik dalam hal

36
Ahmadie Thaha, Ibnu Taimiyah Hidup dan Pikiran-Pikirannya, (Surabaya: Bina Ilmu,
1982) hal. 20-21
37
Komentar Siradjuddin Abbas, I‟tiqad Ahlussunnah Wal-Jama‟ah, (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1996) hal. 278
38
M. Atiqul Haque, Hundred Muslim Heroes of the World , terj. Ira Puspitorini, 100
Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia (Jogjakarta: Diglossia, 2007) hal. 82
39
Mamalik adalah nama dinasti yang berkuasa di Mesir (1250-1517) setelah Dinasti al-
Ayyubiyah runtuh. Dinasti Mamalik ni dibagi menjadi dua periode. Pertama, periode kekuasaan
Mamluk Bahri, sejak berdirinya (1250 M) sampai berakhirnya pemerintahan Hajji II tahun 1389
M. Kedua periode kekuasaan Mamluk Burji, sejak berkuasanya Burquq untuk kedua kalinya tahun
1389 M sampai kerajaan ini dikalahkan oleh kerajaan Usmani tahun 1517 M.
27

kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Sebagai akibat sering
terjadi perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat tinggi. Dalam satu
wilaya banyak macam bangsa; Arab asal Irak, Arab asal Suriah, Mesir, Turki,
Tartar yang jatuh tertawan dan kemudian menetap, Armenia, dan sebagainya,
sedang mereka semua berbeda satu sama lain dalam adat istiadat, tradisi, prilaku,
dan alam pikiran. Hal itu jelas menimbulkan kerawanan-kerawanan kehidupan
bernegara. Dalam suasana demikian sukar diciptakan stabilitas politik, keserasian
sosial dan pemupukan moral serta akhlak. Yang lebih parah lagi, pada waktu itu
masalahnya tidak hanya banyak agama yang berbeda satu sama lain, tetapi juga
banyak mazhab, termasuk juga mazhab-mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan
Hambali. 40
Disamping kondisi sosial politik yang begitu semerawut, ternyata pada
tataran selanjutnya, bermplikasi pada dinamika perkembangan ilmu pengetahuan,
dimana kondisi keilmuan pada abad ini boleh dikatakan kurang mendapat
perhatian, sehingga tidak diperluas dan diperdalam. Kecendrungan yang ada
hanya mengkopi dan mengambil “begitu saja” pada pemikiran dan pengkajian
dalam disiplin ilmu tertentu. Tiap-tiap penganut mazhab fiqih bersikap kaku, tidak
memiliki kelembutan dan kelonggaran, meskipun ada semboyan; bahwa
kebenaran itu berkisar pada mazhab empat, kenyataannya, para pengikut masing-
masing mazhab telah membatasi kebenaran dalam mazhabnya. Kelapangan
mereka tidak lebih dari mengatakan “ Imam kami melihat kebenaran yang boleh
jadi salah, sedangkan selain kami melihat kesalahan yang boleh jadi benar. 41
Dengan kondisi seperti ini, tidak jarang terjadinya pertentangan-pertentangan
sengit, karena timbulnya sentimen politik dan ambisi perorangan demi
kepentingan mazhab dan kelompok tertentu. Sehingga pada puncaknya mereka
sepakat untuk mengklaim, bahwa pintu ijtihad perlu ditutup.
Kalau Ibnu Taimiyah sering keluar masuk penjara, bukan berarti dia
memusuhi penguasa, namun tidak lebih dari pengaduan atau tuntutan dari

40
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-
Press, 2003) hal. 80-81
41
Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:
Pustaka Mantiq, 1995) hal. 37
28

sekelompok mazhab tertentu, terutama karena ketajaman kritiknya terhadap


kebiasaan memuja para Nabi, para Wali dan panatisme mazhab. 42
Sehingga dalam tataran selanjutnya, muncul pula ahli tarikat yang
membimbing masyarakat, melalui suluk, yang di gariskan ulama tasawwuf yang
terkadang jauh dari nilai-nilai agama. Ahli tarikat menempuh cara pendidikan
individual, melalui proses “baiat” antara syikh dan murid. Para yang ditempuh
penganut tarikat membawa akibat sampingan, yaitu sikap kultus individu dan
pada gilirannya seorang syikh dianggap suci dengan menjadikan ziarah kepadanya
suatu yang wajib, dan jika telah wafat dianggap mempunyai keramat dan lain
sebagainya. 43 Menurut Ibnu Taimiyah, ziarah kubur serta mengkramatkan
kuburan para wali bahkan para nabi merupakan perbuatan ahli bid‟ah dan
perbuatan tersebut tidak diridhai oleh Allah, sesuai dengan firman Allah dalam
surat as-Syura ayat 21: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain
Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah.”
44

Kondisi tersebut semakin memburuk dan bertambah parah dengan munculnya


kelompok-kelompok yang berkolusi dengan musuh-musuh Islam, seperti
Nashairiyah, Kisriwiyah, Syi‟ah (sesat), Yahudi dan Nasrani. Kelompok-
kelompok sporadis ini sengaja melakukan perlawanan berdarah terhadap umat
Islam. Mereka itu pada hakikatnya, sebagaimana digambarkan Ibnu Taimiyah,
adalah fanatisme pemuja filsafat, pengikut Hindu dan Yunani, pewari Majusi,
musyrikin dan penerus kesesatan Yunani, Nasrani dan Syabi‟in (penyembah
batu)45
Kesimpulannya, bahwa kondisi umat Islam pada masa Ibnu Taimiyah, pada
umumnya sudah menyimpang dari ajaran yang murni. Aqidah mereka bercampur

42
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-
Press, 2003) hal. 81
43
Juhaya S. Praja, Epistemologi Hukum Islam, (Jakata: 1988) hal. 36
44
Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,
dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006)
cet I hal. 70
45
Ali Sami‟ al-Nasysyar dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah;
Etika Politik Islam, terj. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena (Djawatan Penerangan Agama), 1960)
hal. 17
29

syirik, ibadah yang dikerjakan dicampur dengan unsur-unsur bid‟ah, semangat


ijtihad sudah menurun, ruh taklid merajalela dan faham tasawwuf beserta tarikat-
tarikat telah berbaur dengan tradisi pemikiran di luar Islam. Begitulah kondisi
keagamaan yang terjadi pada masa Ibnu Taimiyah, yang kemudian mendorongnya
untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan pemurnian ajaran Islam.
Ibnu Taimiyah adalah pedang Allah yang terhunus bagi para ahli filsafat, para
atheis dan para ahli bid‟ah yang berlebih-lebihan. Dan pada akhirnya, pada masa
pemerintahan al-Malik al-Nasir, Ibnu Taimiyah dimasukan penjara, sekali lagi
karena keritikannya yang tajam terhadap kebiasaan ziarah kubur atau makam para
nabi dan para wali. Mula-mula meskipun dalam penjarah Ibnu Taimiyah masih
dapat meneruskan kegiatan ilmiahnya dengan menulis buku atau makalah, tetapi
kemudaian jiwanya sangat terpukul ketika di penjara Damaskus dia tidak diberi
keras dan tinta lagi. Dan tidak tahan menerima penghinaan itu, dan akhirnya tutup
usia pada tahun 728 H atau 1329 M, pada usai lebih kurang 66 tahun. 46
Kepergian Syikhul al-Islam menghadap Allah merupakan peristiwa terbesar
yang menjadikan manusia bersedih dan meneteskan air mata. Mereka berkata,
“Manusia berdesak-desakan untuk melayat jenazahnya, suara tangis mereka
terdengar keras, demikian pula pujian, doa untuknya. Sehingga jenazahnya sampai
ke pemakaman sebelum ashar, sementara mereka telah menunggu sejak pagi,
mereka datang dari penjuru desa, ladang serta sawah-sawah sekitar tempat
tersebut.
Berikut ini ungkapan Ibnu Katsir ketika menceritakan jenazah Syikhul Islam
Ibnu Taimiyah dan meludaknya para pelayat, “Pada saat itu tidak ada seorang pun
yang tidak hadir melayat kecuali yang ada halangan, para wanita yang berjumlah
kira-kira 15.000 orang juga datang melayat, ini belum termasuk suara isakan
tangis dan doa yang terdengar di atas rumah-rumah disepanjang jalan menuju
makam, sementara lelaki yang hadir diperkirakan mencapai 60.000 sampai

46
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-
Press, 2003) hal. 81-82
30

100.000 orang pelayat bahkan lebih. 47 Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat
dan keridhaan-Nya kepadanya, Amin.
2. Perkembangan Spritual dan Intelektual Ibnu Taimiyah
Sejak masih kecil Ibnu Taimiyah sudah mulai menghafal al-Qur‟an, yang ia
lanjutkan dengan menghafal hadist serta riwayatnya, ia juga telah belajar kitab
dari syikh ternama dan dari buku-buku induk dalam hadits seperti Musnad Imam
Ahmad, Shahih al-Bukhari dan Muslim, Jami‟ at-Tirmidzi, Sunnah Abi Dawud
dan an-Nasa‟i, Ibnu Majah serta Darul Quthni.
Para ulama berkata; “Buku pertama yang ia hafal adalah “al-Jam‟u baina as-
Shahihaini” karya Imam al-Humaidi”, mereka juga berkata, “Sesungguhnya ia
telah mendengar hafalan Musnad Imam Ahmad beberapa kali.”
Selain memperdalam ilmu hadits ia juga belajar ilmu lain seperti matematika,
sangat perhatian terhadap ilmu-ilmu bahasa Arab, menghafal beberapa matan
dalam berbagai disiplin ilmu dan sejarah bangsa Arab klasik, ia mempunyai
pandangan dan perhatian khusus terhadap buku Sibawaih sehingga buku ini
didalami dengan sangat teliti. 48
Oleh karena kesungguhan dan kecerdasan otaknya, maka sebelum berusia
genap 20 tahun, ia telah menjadi seorang yang alim yang disegani. Dalam usianya
yang masih sangat muda itu, Ibnu Taimiyah telah menjadi seorang ahli Agama
dan ahli hukum. Bahkan menurut Prof. Gibb, ia berhasil menjadi professor dari
Mazhab Hambali dalam ilmu hukum. 49 Ia memiliki perhatian yang tinggi terhadap
fiqih Hambali, dengan cara mengikuti dan meneliti mazhab ini dari masa ke masa,
namun ia tidak meninggalkan mazhab lain terutama Mazhab Syafi‟i.
Pada usianya yang belum genap 20 tahun itu juga ia harus kehilangan
ayahnya. Dan pada usia 22 tahun kemudian Ibnu Taimiyah menggantikan posisi
ayahnya sebagai guru besar hukum mazhab Hambali serta menggantikannya

47
Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam
Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 225-226
48
Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam
Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 205-206
49
Ali Sami‟ al-Nasysyar dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah;
Etika Politik Islam, terj. H. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena (Djawatan Penerangan Agama),
1960) hal. 9
31

dalam mengajar Hadits; sejajar dengan Ibnu Daqiq a-„Ied dan para ulama besar
lainya yang pada zaman itu sedang naik daun, dan sudah mengajar di berbagai
sekolah dan Masjid Jami‟ di Damaskus. Namun demikian kredebilitas Ibnu
Taimiyah bila tidak bisa dikatakan melebihi, tidak lebih rendah pula.
Ayahnya (Abdul Hamid bin Abdussalam Syihabuddin) merupakan sebaik-
baik pendidik bagi anaknya, karena ia merupakan ulama besar dalam Mazhab
Hambali serta seorang ulama Hadits yang sangat otoritatif (menonjol). Ia melihat
anaknya memiliki kelebihan dibanding teman sebayanya dalam hal kesungguhan
dan perhatian kepada hal-hal yang bermanfaat dalam bidang ilmu dan studi, akal
dan hatinya terbuka terhadap hal-hal disekelilingnya, ia memiliki ingatan yang
cukup tajam, pikiran yang selalu siaga, hafalan yang cukup kuat, pemikiran yang
lurus serta kecerdasan semenjak kanak-kanak.
Ia menggunakan seluruh apa yang dianugerahkan Allah kepadanya di jalan
ilmu pengetahuan untuk mendalami pendapat dan gagasan para Sahabat. Dengan
menggunakan methode induktif ia meneliti dan mempelajari kajian-kajian fiqih
yang telah ditulis oleh ulama-ulama yang sangat otoritatif dalam bidang teori dan
esperimen empiris seperti seperti Umar bin al-Khathab, Ali bin Abi Thalib,
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhum. Ia juga sangat intens mempelajari
fatwa-fatwa Said bin al-Musayyib, Ibrahim Nahk‟i, a-Qasim bin Muhammad dan
ulama-ulama Tabi‟iin yang lain.
Semua ilmu ini ia sinergikan dengan pengetahuan yang berkembang pada
zamannya, sehingga dapat disimpulkan tidak ada satu bidang ilmu pun yang tidak
ia dalami.
Salah seorang ulama zamannya berkata; “Sungguh Allah telah melembutkan
ilmu pengetahuan dihadapan Ibnu Taimiyah sebagaimana Allah Subhanallah wa
Ta‟ala telah melembutkan besi dihadapan Nabi Dawud, apabila ia ditanya tentang
disiplin ilmu tertentu, orang-orang yang saat itu mendengar jawabannya pasti akan
mengira bahwa ia tidak menguasai disiplin ilmu lain selain itu, dan akan
menyimpulkan bahwa tidak ada orang lain yang lebih menguasai darinya.
Adapun kakeknya (Adussalam bin abdullah), seorang faqih dari mazhab
hambali, ia seorang imam, ahli Hadits, juga mufassir yang faqih dan menguasai
32

ilmu-ilmu bahasa, ia dikenal sebagai salah seorang Huffadz yang tersohor


pengarang kita; “Muntaqa al-Akbar”, buku ini telah disyarah oleh Imam Asy-
Syaukani dengan judul, “Nailul Authar Syarh Muntaqa al-Akbar.”50 Dari sini
dapat kita ketahui bahwa baik Ayah maupun kakek Ibnu Taimiyah merupakan
tokoh dan ulama Muslimin yang ternama, keduanya memiliki kontribusi yang
cukup signifikan dalam membentuk kehidupan Imam kita Syekhul Islam Ibnu
Taimiyah.
Sebenarnya sejak ia masih muda telah terkumpul sifa-sifat sebagai seorang
mujtahid. Dan benar, tidak lama kemudian ia telah menjadi seorang imam, yang
diakui oleh ulama-ulama besar yang dikenal ilmu, keutamaan dan keimanannya.
Dan semua itu sebelum beliau mencapai umur tiga puluh tahun. Disamping ia
dikenal sebagai ulama yang hebat, ia juga dikenal sebagai seorang yang banyak
ibadah, banyak berzikir dan banyak membaca al-Qur‟an.
Ia juga seorang yang wara‟ dan zuhud, hampir tak memiliki sesuatupun dari
perbendaharaan dunia, kecuali apa-apa yang merupakan kebutuhan pokoknya. Ini
adalah keadaannya yang dikenal oleh orang-orang yang sezaman dengannya,
bahkan oleh semua manusia secara umum. Bahkan ia juga dikenal sebagai
seorang yang memiliki firasat yang tajam, memiliki doa yang dikabulkan, dan
memiliki banyak karamah yang diakui banyak kalangan.
Dan tentang keberkahan Ibnu Taimiyah, al-Allamah al-Umari menuturkan,
“Abu Hafash Umar bin Ali bin Musa al-Bazzar al-Baghdadi menceritakan, dia
berkata, Aku dituturkan oleh as-Syaikh al-Muqri‟ Taqiyuddin Abdullah bin
Ahmad bin Sa‟id, dia mengatakan, “(suatu kali) aku sakit parah di Damaskus,
maka Syaikhul Islam datang menjengukku, sedang saya didera oleh demam dan
sakit yang berat. Maka Syaikhul Islam datang mendoakanku, lalu berkata
kepadaku, „Bangunlah, keafiatan telah datang‟. Maka ketika ia berdiri dan

50
Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam
Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 205-206
33

meninggalkanku, kesembuhan benar-benar telah datang kepadaku, dan aku


sembuh setelah itu.51
Untuk mengetahui lebih dalam lagi dedikasi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
terhadap usahanya menyebarkan syiar Islam, dapat dilihat dari beberapa
pandangan tokoh-tokoh Islam lainnya. Diantara beberapa pandangn tentang Ibnu
Taimiyah ialah sebgai berikut:
1. Imam al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abdul Hadi
(wafa tahun 744 H.) berkata: “Dia adalah Syaikhl al-Imam ar-Rabbani,
imamnya para imam, mufti (pemberi fatwa) umat, samudra ilmu, penghulu
para penghafal hadits, ahli makna dan lafadz, orang yang tiada duanya
pada masanya, Syaikh al-Islam, tanda zaman dan turjumal al-Qur‟an, ahli
zuhud yang paling alim, ahli ibadah, penghalau para ahli bid‟ah dan salah
seorang mujtahid terakhir, pendatang Damaskus dan pemilik beberapa
karya yang tidak ada padanannya.
2. Imam al-Hafidz, ahli fiqih dan sastra Ibnu Sayyid an-Nas Fathuddin Abu
al-Fath Muhammad al-Ya‟muri al-Mishri al-Syafi‟i, ketika berbicara
tentang al-Mizzy berkata: “Dialah (al-MIzzy) yang menuntunku untuk
melihat Syaikh al-Islam Taqiyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul
Halim bin Abdus Salam bin Taimiyah. Saya melihatnya termasuk orang
yang menddapatkan ilmu, hampir saja ia menguasai seluruh hadits dan
atsar secara hafalan, jika berbicara dalam bidang tafsir, maka ia adalah
pembawa panjinya, jika ia berfatwa dalam fiqih, maka ia mengetahui
ghayah dan tujuannya, jika berbicara dalam hadits, maka ia adalah pemilik
ilmunya dan mempunyai riwayatnya, jika dihadirkan dihadapannya ilmu
perbandingan agama (al-Milal wa an-Nihal) tidak terlihat orang yang lebih
luas wawasanya dalam hal itu darinya. Ia menonjol dalam setia bidang
cabang ilmu atas sesamanya, tidak ada mata yang melihatnya kemudian

51
Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu
Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan
Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal.
19-40
34

melihat yang semisal dengannya dan mata beliau tidak melihat orang yang
semisal dengannya.
3. Imam Abu al-Hajjaj Yusub al-Mizzy (wafat tahun 742 H.) berkata: “ saya
tidak melihat semisalnya dan dia tidak melihat orang semisal dengannya.
Saya tidak melihat orang yang lebih mengetahui tentang Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah dan tidak lebih mengetahui keduanya (a-Qur‟an dan
sunnah) dari padanya.
4. al-Allamah Kamaluddin bin al-Zamlaki berkata: “Jika ditanya salah satu
cabang ilmu, orang yang melihat dan mendengarnya menyangka bahwa
dia tidak mengetahui selain cabang ilmu tersebut dan menghukumi bahwa
tidak ada seorangpun yang mengetahui cabang ilmu tersebut seperti dia.
Para ahli fiqih dari berbagai kelompok jika duduk bersamanya, mereka
mengambil dari padanya faedah dalam mazhab-mazhab mereka yang tidak
mereka ketahui sebelumnya, tidak pernah diketahui bahwa beliau
bermunadzarah (berdebat) dengan seseorang kemudian dia terputus
(kalah), tidak berbicara dalam suatu ilmu baik ilmu syariah maupun ilmu
yang lainnya kecuali ia mengungguli para ahlinya dan para ilmuan yang
menisbahkan dirinya pada ilmu tersebut, ia mempunyai tangan panjang
dalam mengarang dengan bagusnya kata-kata pilihan, urutan, pembagian
dan penjelasan, dan terkumpul pada dirinya syarat-syarat ijtihad.”52
5. Al-Qadhi al-Imam Ibnu Daqiq al-„Id berkata: “Ketika saya bertemu
dengan Ibnu Taimiyah, saya melihat seorang laki-laki yang pada dirinya
terkumpul semua disiplin ilmu di hadapanya. Beliau mengambil apa yang
beliau inginkan dan meninggalkan apa yang beliau inginkan.” (Dinukil
oleh al-Allamah Shiddiq Hasan Khan dalam Abjad al-Ulum).53 Dan masih
banyak lagi pandang tokoh-tokoh Islam lainnya tentang Ibnu Tamiyah.
Namun demikian, Ibnu Taimiyah tidak selalu mendapat komentar positif.
Banyak juga kalangan yang justru menyudutkannya, ia dituduh sebagai seorang

52
Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu
Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan......... hal. 42
53
Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,
dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul.... hal. 13-14
35

yang tidak pernah naik haji atau melarang naik haji. 54 Bahkan pada tingakat yang
paling ekstrim, Ibnu Taimiyah dituduh seorang “atheis”. Akan tetapi merupakan
suatu hal yang alamiah jika kekerasannya terhadap musuh-musuhnya
mendatangkan reaksi yang keras juga. Ada juga yang menuduhnya zindik, seperti
Ibnu Bathuthah, Ibnu Hajar al-Haytami, Taqiyuddin al-Subki, Izzuddin bin
Jama‟ah, Abu Hayyan al-Zhahiri al-Andalusi. Diantara mereka juga ada yang
memintak sultan untuk mengenakan sanksi kepadanya. Usulan itu mendapatkan
sambutan. Beberapa tahun lamanya ia menjalani hidup dalam beberapa penjara di
Mesir dan Damaskus. Sebenarnya lawan-lawannya itu tidak mampu
menandinginya dalam hal pengetahuan, tetapi mereka melebihinya dalam hal
persengkokolan.
Demikianlah sedikit mengenai perkembangan spritual dan intelektual Ibnu
Taimiyah, dan bagaimana sikapnya yang sangat tegas dan bersungguh-sungguh
dalam menegakkan kalimatullah di muka bumi ini. Ia tidak hanya menyerang
dengan pena, tetapi juga dengan sekuat tenaga (dengan pedang), terlebih lagi
dengan musuh-musuh Islam.
3. Karya-karya Ibnu Taimyah
Karya-karya imam ini banyak sekali, yang mana para murid dan pencintanya
tidak mampu untuk menghitungnya, salah satu muridnya Ibnu Qoyim berkata:
“Amma ba‟da, Sesungguhnya sekelompok pencinta sunnah dan ilmu memintak
kepadaku agar aku menyebutkan karya-karya Syikh al-Islam Ibnu Taimiyah,
maka saya katakan kepada mereka bahwa saya tidak mampu untuk menyebutkan
secara pasti jumlahnya karena beberapa hal yang saya sebutkan kepada sebagian
mereka dan akan saya sebutkan insya Allah seperti ini.”
Kemudian beliau berkata:
1. “Di antara yang saya lihat dalam bidang tafsir”, kemudian dia
menyebutkan 92 karya tulis yang berupa risalah maupun kaidah.
2. “Di antara yang dikarang dalam bidang ushul baik ia karang sejak awal
ataupun karena menjawab penanya atau orang yang memberi i‟tiradh

54
Komentar Siradjuddin Abbas, I‟tiqad Ahlussunnah Wal-Jama‟ah, (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1996) hal. 278
36

(bantahan)”, kemudian ia menyebutkan 20 karya tulis baik yang berupa


kitab, risalah maupun kaidah.
3. Dalam bidang qawaid dan fatwa disebutkan 145 karya yang meliputi buku,
risalah dan kaidah.
4. Kitab-kitab fiqih, 55 karya, yang mencakup kitab risalah dan kaidah.
5. Washaya (wasiat), ijazah dan risalah-risalah yang mengandung beberapa
ilmu mencapai 22 karya.55
Az-Zirikli mengutip dari al-Hafizh Ibnu Hajar yang menyebutkan dalam ad-
Durr al-Kaminah, bahwa hasil karya tulis Syikh Islam Ibnu Taimiyah mencapai
lebih dari 4000 buku manuskrip. Dalam Fawat al-Wafayat disebutkan bahwa
karya tulis beliau mencapai 300 jilid. Bahkan al-Fasi mengutip perkataan al-
Hafizh adz-Dzahabi yang menyatakan bahwa jumlah karya tulis Syikhul Islam
mencapai 500 jilid. 56
Di antara sekian banyak buku-buku tersebut, sampai sekarang masih banyak
tersebar. Inilah contoh-contoh di antara karangan monumental Ibnu Taimiyah ;
1. Majmu‟ al-Fatawa (Kumpulan fatwanya tentang aqidah, fiqh, tafsir, hadist,
ushul fiqh dan lain sebagainya), kitab ini dikoleksi oleh Abd al-Rahman
Ibnu Qasim dan dicetak dalam 37 jilid besar.
2. Muwafaqah Shahih al-Manqul li Sharih al-Ma‟qul (Tentang kedudukan
nash al-Qur‟an dan as-Sunah, kaitan dengan akal- logika), terdiri dari 10
jilid.
3. Al-Jawab al-Shahih Lima Baddal Din al-Masih (tentang bantahan terhadap
keyakinan orang Nasrani), sebanyak 4 jilid.
4. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fi al-Raad „ala al-Syi‟ah wa al-Qadariyah
(tentang bantahan terhadap Syi‟ah dan Qodariah) sebanyak 4jilid.
5. Al-Qawa‟id al-Nuraniyyah al-Fiqhiyah (tentang kaidah-kaidah fiqh).
6. Kitab al-Iman (tentang iman dan akidah)

55
Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,
dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006)
cet I hal. 17-18
56
Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu
Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan
Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal. 33
37

7. Kitab Naqd al-Mantiq (tentang gugatan terhadap ilmu logika)


8. Iqtida al-Shirath al-Mustaqim (tentang bid‟ah dan sunnah)
9. Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir (pengantar ilmu tafsir al-Qur‟an)
10. Al-Ubudiyah (tentang konsepsi intgralitas ibadah)
11. Ishlah al-Ra‟i Warra‟iyah (Tatanan Bernegara dan Bermasyarakat dalam
Islam).
12. Raf‟ulmalam „an A „immah al-„a „lam (Hakikat dan Sebab-sebab
Perbedaab Pendapat antara Ulama).
13. Al-Kalimah al-Thaiyyibah (tentang Doa dan Zikir Rasulallah).
14. Hijab al-Ma‟rifah wa Limasuha fi al-Shalah (tentang Kewajiban
Berkerudung dan Busana Wanita Ketika Shalat).
15. Al-Qa‟idah al-Jalilah fi Tawassul wa al-Wasilah (tentang Hukum dan
Kaidah Bertawasul dalam Berdoa).
16. Dan lain-lain. 57
B. Karakteristik Pemurnian Ibnu Taimiyah
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa, Ibnu Taimiyah hidup ditengah-tengah
pergolakan seru yang berkepanjangan, dengan dampak kemerosotan politik dan
agama. Ia menemukan kondisi umat Islam, di mana kesucian dan kemurnian
aqidah Islam telah ternodai oleh percikan-perciakan berbagai amalan bid‟ah dan
khurafat dalam agama. Oleh sebab itu dalam kiprah pemurnian aqidah, Ibnu
Taimiyah menyusun sasaran-sasaran perjuangan yang cukup beragam, dari
perjuangan membalas serangan yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam
dengan kekuatan fisik, 58 sampai perjuangan untuk mengembalikan kaum
muslimin pada aqidah salafiyah, aqidah firqah najiah (golongan selamat), yakni
aqidah tauhid.
Aspek tauhid adalah merupakan perhatian khusus sebagai prioritas utama
dalam sejarah perjuangan Ibnu Taimiyah, di samping aspek-aspek lain. Ia

57
Kitab-kitab tersebut dilacak dan diinventaris penulis dari beberapa buku-buku yang
menjelaskan tentang ketokohan Ibnu Taimiayah.
58
Ali Sami‟ al-Nasysyar dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah;
Etika Politik Islam, terj. H. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena (Djawatan Penerangan Agama),
1960) hal. 17
38

memberantas panji-panji jihad dan ishlah dalam rangka memberantas aktifitas,


pemikiran dan tradisi syirik yang berkembang pesat. Dalam menegakkan panji-
panji tersebut ia tidak memperdulikan reaksi kemarahan dari berbagai kalangan. Ia
membasmi akar-akar aqidah dan berbagai mitos yang menjadi asas dalam segala
aktifitas kesyirikan.
Ibnu Taimiyah menghalangi orang-orang yang berziarah ke kubur,
menentang tradisi mereka dalam berbagai bentuk kesyirikan, di mana kaum
muslimin memohon kepada ahli kubur untuk merealisasikan beberapa tujuan,
pertolongan dan perlidungan. Ia dengan vulgarnya menjelaskan secara kritis
dalam berbagai forum dan tulisan, bahwah memohon kepada selain Allah itu tidak
dibenarkan dalam Islam sebab itu merupakan syirik yang nyata dan merupakan
perbuatan ahli bid‟ah.59
Ibnu Taimiyah banyak mengomentari dalam beberapa kitabnya, tentang
hikmah diharamkannya berdoa kepada selain Allah. Ia mengatakan Nabi
Muhammad telah melarang segala modus tersebut, karena usaha demikian
merupakan kesyirikan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia juga
menerangkan ketidak bolehan permintaan-permintaan kepada nabi-nabi atau
syehk yang telah meninggal, kepada ahli kubur dan lain sebagainya. Siapa-siapa
yang melakukan perbuatan tersebut di atas, berarti orang tersebut telah
menyekutukan Tuhannya (syirik).60
Agaknya, jika dilihat secara makro, sebenarnya tentang ziarah kubur yang
dimaksud Ibnu Taimiyah, jika itu membawa dampak kepada kesyirikan. Dalam
pengertian jika maksud untuk membuat seseorang menjadi sadar atau insyaf,
bahwa suatu saat, semua orang akan merasakan masuk kubur, atau untuk
mendoakan agar ahli kubur mendapat rahmat dan syafaat, tentu tidak menjadi
persoalan, sebab bukan untuk bertawasul, memintak syafaat dan lain-lain
sebagainya. Hal ini barangkali dapat dilihat salah satu pendapatnya yang

59
Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,
dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006)
cet I hal. 70
60
Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:
Pustaka Mantiq, 1995) hal. 178-179
39

mengatakan bahwa; berziarah kubur Nabi, sahabat, atau orang-orang yang


dianggap shaleh, semua itu hanya merupakan hiasan syaithan, lebih-lebih bila
berziarahnya itu sambil memintak-memintak. 61
Itulah bentuk pemikiran dan upaya Ibnu Taimiyah dalam upaya
memurnikan aqidah umat Islam di masanya. Oleh sebab itu dapat dibayangkan
betapa kontroversial dan spektakulernya ide tersebut. Terjadi kontraversi ide
tersebut, sebenarnya muncul karena pemahaman yang berkembang pada saat itu
adalah adanya issu dari kalangan umat Islam, bahwa ziarah kubur (terutama kubur
Nabi) itu sesuatu yang dianggap wajib, sebagai ibadah haji. 62 Oleh sebab itu Ibnu
Taimiyah hanya memperingatkan umat Islam, bahwa ziarah kubur bukan
“penunaian ibadah haji” sesuatu yang wajib, serta tempat meminta-minta
pertolongan dari orang yang telah meninggal. Mengangap ziarah kubur sebagai
salah satu ragam ibadah haji dan tempat memintak, jelas terkutuk dan tidak
dibenarkan dalam Islam. 63 Orang-orang yang anti Ibnu Taimiyah, menganggap
bahwa fatwa Ibnu Taimiyah tersebut dipandang sebagai issu yang menghasut
rakyat. Bahkan ada yang lebih ekstrim yang mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah
melarang untuk melaksanakan ibadah haji dan Ibnu Taimiyah sendiri tidak pernah
naik haji seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
Pada dasarnya, munculnya penyelewengan pemahaman aqidah, yakni
dengan penerapan filsafat Yunani yang menyebabkan munculnya takwil firman
Allah dan penggalian makna lahir kepada makna yang lebih jauh. Dalam masalah-
masalah aqidah, saat itu (masa Ibnu Taimiyah) kaum muslimin terbagi menjali
dua golongan dan mazhab; salaf64 dan khalaf. 65

61
Ibnu Taimiyah, Tawassul wa Wasilah, Terj. Prof. Dr. Ahmad Tafsir (Bandung: PT
Remaja Rosada, 2006) hal. 38-41
62
Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah.... hal 170 disebutkan issu ini
dihembuskan oleh kalangan Syi‟ah.
63 63
Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibnu
Taimiyah, terj. Masroni, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995 ) hal.
64
Salaf adalah metode pemahaman Islam dan pengamalannya dengan kembali kepada
sejarah Salafus-Shalih; Para sahabat, generasi setelah sahabat dan kemudian manusia yang datang
setelah mereka. Jalan mereka adalah yang paling jelas, paling bijak, paling baik dan paling
selamat, lihat Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah
Reformasi, terj. Faisal Saleh.... hal. 34
40

Mentakwilkan al-Qur‟an merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan, dan


perbuatan tersebut condong kepada kesesatan. Larangan tersebut sesuai dengan
firman Allah: “Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur‟an) kepadamu. Di
antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur‟an
dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat
daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya.” (QS.
Ali Imran: 7). Dan dalam hal ini dipertegas lagi oleh Rasul SAW dalam sabdanya
yakni: “Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat
daripadanya, maka mereka itulah yang disebut Allah (dengan sebutan “dalam
hatinya condong kepada kesesatan”), karena itu waspadalah terhadap mereka.”
66
(HR. Bukhari). Dengan penjelasan diatas, jelas sekali bagi kita untuk tidak
mentakwilkan al-Qur‟an demi menjaga kesucian maknanya dan tidak
menyimpang dari makna yang seharusnya.
Salah satu contoh adalah dari kaum Mu‟tazilah yang mentakwilkan makna
istawa „ala al-arsy itu adalah istaula (menguasai) arsy (bukan bersemayam), atau
merajai, dan Allah Azza wa Jalla itu berada di semua tempat. Mereka memang
mengingkari keberadaan Allah di atas arsy. 67 Mereka merukan salah satu kaum
bid‟ah, mereka menafikan ru‟yah (melihat Allah diakhirat kelak) dan menafikan
sifat-sifat Allah. 68
Ibnu Taimiyah menuturkan; setiap orang yang ingin menjadi bagian dari
golongan yang selamat, maka dia harus kembali kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah
dengan pemahaman ulama salaf, dan ketika itu dia berada di jalan Rasulullah
Shallallah „Alaihi wa Sallam juga para sahabat.

65
Khalaf adalah golongan setelah tabi‟ tabiuun yang telah mempelajari filsafat dan logika
Yunani, bahkan telah terpengaruh dengan keduannya, lihat Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu
Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi, terj. Faisal Saleh.... hal. 34
66
Syakhul Muhammad at-Tamimi, Kasyfusy Syubuhaat fit Tauhid, terj. Ainul Haris,
Ahmad Amin Syihab (Jakarta: Yayasan al-Sofwa, 1997) hal. 26-27
67
Ibnu Taimiyah, Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiayh, Jilid 3 terj. Abdurrahim Sufandi, dkk.
Kumpulan fatwa Ibnu Taimiyah; Kitab Aqidah Salaf, Kita Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah SWT
(Jakarta; Pustaka Azzam, 2010) hal 502
68
Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi,
terj. Faisal Saleh.... hal. 156
41

Para sahabat Rasulullah SAW tidak pernah memperdalam maknanya (al-


Qur‟an) atau membahas kandungannya, padahal mereka adalah orang-orang yang
sangat teguh memegang syariat. Andaikan takwil itu diperbolehkan atau bahkan
diwajibkan tentu perhatian mereka dalam masalah ini lebih besar ketimbang
masalah-masalah furu‟ syariat.
Masa para sahabat dan tabi‟in adalah menjauhkan diri dari takwil, maka
itulah kebenaran yang harus diikuti. Merupakan kewajiban seorang yang
beragama untuk mensucikan al-Bari (Allah) dari segala sifat makhluk yang
terbarukan, serta tidak memperdalam diri dengan menakwil ayat dan hadits yang
musykil. Hendaknya menyerahkan kepada Allah semata. 69 Ibnu Taimiyah
menegaskan bahwa Allah mempunyai sifat mendengar, melihat dan lain
sebgainya, akan tetapi ia menolak bahwa Allah dapat disamakan dengan makhluk-
Nya. Prinsip ini menujukkan bahwa Ibnu Taimiyah, hanya menerapkan
metodologinya, yang menerangkan bahwa al-Qur‟an adalah petunjuk yang baik
untuk menjelaskan agama, sedangakan sunnah dan pendapat para kaum salaf
menduduki peringkat kedua.
Selain mu‟tazilah kalangan yang lebih mendahulukan akal dalam urusan
agama dari pada al-Qur‟an dan sunnah, banyak lagi dari kalangan kaum bid‟ah
yang lain yang terlalu mengikuti hawa nafsu mereka dalam urusan agama, terlebih
lagi dalam urusan aqidah. Seperti bid‟ahnya kaum Rafidhah, 70 Khawarij,71
Murjiah72 dan Jahmiyah.73

69
Ibnu Taimiyah, Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiayh, Jilid 3 terj. Abdurrahim Sufandi, dkk.
Kumpulan fatwa Ibnu Taimiyah; Kitab Aqidah Salaf, Kita Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah SWT
(Jakarta; Pustaka Azzam, 2010) hal 508
70
Rafidhah (Syi‟ah) adalah aliran bid‟ah yang muncul pada masa pemerintahan Ali bin
Abi Thalib, yang mendukung pemerintahannya tersebut, lihat Dr. Ahmad ibnu Abdul Aziz al-
Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,… hal. 74
71
Khawarij adalah aliran ahli bid‟ah yang memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib.
Mereka terpecah menjadi beberapa cabang, dan salah satu yang terbesar adalah kaum Azariqah
dan Najdat, lihat Dr. Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,… hal. 74
72
Aliran bid‟ah yang berpendapat bahwa maksiat itu tidak memberikan mudharat bila
disertai dengan iman, sebagaimana ketaatan (ibadah) tidak akan memberikan manfaat bila disertai
dengan kufur. Mereka disebut “Murjuah” karena mereka memberikan “raja” (harapan) untuk
mendapatkan pahala disisi Allah bagi orang mukmin yang berbuat maksiat. Dan mereka
beranggapan bahwa iman kepada Allah hanyalah sekedar mengenal-Nya, mengenal Rasul-Nya dan
mengenal ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Menurut mereka pengakuan dengan lisan,
42

Misalnya dalam hal menjatuhkan vonis kafir terhadap sesama muslim,


mereka menvonisnya bedasarkan hawa nafsu. Padahal penjatuhan vonis kafir
tersebut adalah hak prerogatif Allah Ta‟ala. Dan orang yang suka menjatuhkan
vonis kafir berdasarkan hawa nafsunya adalah para ahli bid‟ah. Seperti kaum
rawafidh (Syi‟ah) yang menjatuhkan vonis kafir terhadap Abu Bakar 74 dan
Umar75 ra. Atau kaum Khawarij Haruriyah yang menjatuhkan vonis kafir kepada
Ali bin Abi Thalib ra dan memerangi manusia atas nama agama sampai mereka
mau meninggalkan apa yang ditetapkan oleh al-Qur‟an, as-Sunnah, dan ijma‟ para
sahabat menuju kepada bid‟ah yang mereka tetapkan dengan penakwilan mereka
yang batil dan pemahaman mereka yang sesat terhadap al-Qur‟an. Meskipun
demikian, Ali bin Abi Thalib menegaskan bahwa mereka adalah orang-orang
beriman, bukan kafir dan bukan munafiq. 76
Ibnu Taimiyah mengingatkan besarnya masalah penjatuhan vonis kafir
atau fasiq secara umum. Beliau menyatakan. “ketahuilah bahwa masalah vonis
kafir atau fasiq adalah bagian dari masalah nama dan status hukum yang berkaitan
dengan janji dan ancaman di Akhirat, dan berhubungan dengan masalah
pertemanan dan permusuhan, pembunuhan dan perlindungan dan sebagainya di
dunia. Karena Allah Ta‟ala mewajibkan Surga bagi orang-orang mukmin dan
mengharamkan Surga bagi orang-orang kafir.”77

ketundukan dengan hati dan beramal dengan anggota badan bukanlah bagian dari iman. (Maqalatul
Islamiyin karya al-Asy‟ari, 1/214 dan al-Milal wa Nihal karya Asy-Syahrastani, 1/139), lihat Dr.
Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah,… hal. 74
73
Aliran bid‟ah yang dinisbahkan kapada Jahm bin Shafwan, orang pertama yang
bependapat bahwa al-Qur‟an adalah makhluk. Aliran ini menafikan sifat-sifat Allah Ta‟ala dan
menafikan kehendak bagi makhluk. Dan mereka berpendapat bahwa iman hanya sekedar
mengenal Allah. (Al-Mihal wan Nihal karya Asy-Syahrastani, 1/86-88), lihat Dr. Ahmad ibnu
Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,… hal.
74
74
Beliau adalah Abdullah bin Ustman al-Qurasyi at-Taimi ash-Shiddiq, Khalifah
Rasyidin pertama. Beliau wafat pada tahun 13 H. (al-Ishabah karya Ibnu Hajar, 6/115).
75
Al-Faruq, Khalifah Rasyidin kedua. Beliau syahid di Madinah pada tahun 23 H. (al-
Ishabah karya Ibnu Hajar, 7/74).
76
Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc; Wafi Marzuki. (Surabaya: CV. Fitrah Mandiri
Sejahtera, 2007) hal 115
77
Dinukil dari Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 12/468 oleh Dr. Ahmad ibnu Abdul
Aziz al-Hulaibi, lihat Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc... hal 114
43

Lantaran demikian besar dan kursialnya kedua masalah ini, maka


penjatuhan vonis kafir atau fasiq kepada seseorang tidak boleh dilakukan keculai
berdasarkan sebab yang qath‟i (pasti). Apalagi vonis kafir, yang setara dengan
pendustaan terhadap apa yang disampaikan oleh Rasulullah, atau penolakan untuk
mengikuti padahal yang bersangkutan mengetahui kejujuran beliau. Seperti
kufurnya Fir‟aun, kaum Yahudi, kaum Nasrani, dan sebagainya. Dan hal itu
berkaitan dengan apa yang menjadi kaitan iman. Kedua hal tersebut sama-sama
berkaitan dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah. Dan kedua hal tersebut saling
berlawanan. Sehingga tidak ada iman besama adanya pendustaan dan permusuhan
terhadap Rasulullah. Dan tidak ada kekufuran bersama adanya kebenaran dan
ketaatan kepada beliau. Penjatuhan vonis itu tidak akan jelas keculai melalui jalan
syara‟. 78 Dengan demikian, jangalah terlau mudah bagi kita untuk menjatuhkan
vonis kafir maupun fasiq kepada sesama muslim, apalagi mengkafirkan seseorang.
Karena hal tersebut merupakan urusan aqidah, kecuali melalui jalan syara‟, seperti
halnya orang tersebut benar-benar telah keluar dari ajaran yang dibawa oleh
Rasulullah (agama Islam). Mereka kaum bid‟ah juga tidak dikatakan kafir, mereka
tetap orang mukmin. Hanya saja kemungkinan mereka salah dalam memberikan
fatwa atau berijtihad.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa betapa besarpun bid‟ah,
ia tetap merupakan perbuatan dosa. Dan setiap perbuatan dosa bisa diampuni oleh
Allah Ta‟aala. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‟aala:

              

       

78
Dinukil dari Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 1/4242-243 oleh Dr. Ahmad ibnu
Abdul Aziz al-Hulaibi, lihat Dr. Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala
Mubtadi‟ati inda Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc... hal 114-115
44

Artinya: “Katakanlah, „Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas


terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS. Az-Zumar: 53).
Jelas sekali bagi kita dengan firman Allah diatas bahwa kalangan ahli
bid‟ah bukanlah orang kafir, hanya saja mereka terlalu melampaui batas dalam
memahami agama dan terlalu jauh dalam mentakwilkan kalam Allah sehinggah
tidak sesuai dengan makna seharusnya. Mereka tetap mendapatkan ampunan dari
Allah apabila mereka benar-benar bertaubat dan kembali kepada jalan yang benar
yang sesuai dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah.
Begitu pentingnya aspek pemurnian dan ketahuidan dalam pandangan Ibnu
Taimiyah, maka dalam banyak tulisannya, hampir separo atau bahkan dua pertiga
dari jumlah karangannya, memfokuskan bahasanya tentang ilmu kalam (tauhid). 79
Informasi ini paling tidak memberi indikasi, bahwa Ibnu Taimiyah dalam usaha
pemurniannya, lebih bersifat akademik dan kurang bersifat praktis.
Itulah sedikit gambaran mengenai karakteristik pemurnian yang diusung
oleh Ibnu Taimiyah yang lebih berorientasi kepada pemurnian aqidah Islam yang
sesuai dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah, atau disebut juga dengan aqidah
salafiyah, aqidah firqah najiah (golongan selamat), yakni aqidah tauhid.
C. Jihad Yang Benar Dalam Membela dan Mempersatukan Aqidah Dalam
Pandangan Ibnu Taimiyah
Imam Ibnu Taimiyah dianggap sebagai mujadid (Pembaharu) agama dan
keimanan di dalam hati manusia dan kehiddupan umat.
Pembaharuan yang beliau lakukan itu dibarengi dengan perjuangan yang
panjang dan kesabaran serta kesungguhan yang dalam. Sehingga, wajar bila dalam
perjuangan tersebut beliau dapatkan berbagai macam rintangan dan siksaan.
Sekalipun demikian beliau tetap teguh pendirian, rela menanggu resiko berat dan
tetap terus menyeru kepada kebenaran dan keyakinan yang beliau ketahuinya. 80

79
Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:
Pustaka Mantiq, 1995) hal. 97
80
Abdullah Ibnu Abdul Muhsin al-Turki, Mujmalu I‟tiqad Aimmah al-Salaf, Terj.
Ghazali Mukri, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1995) hal 68
45

Dalam membela aqidah Islam Ibnu Taimiyah sebenarnya juga terlibat


dalam perjuangan fisik. Pada tahun 699 H, ketika tentara Tartar memasukin
wilayah Damsyik, yang membawa pengaruh yang mengakibatkan kerusakan
masyarakat Islam di sekitarnya, karena mereka menganut paham Masehi, aliran
Bhatiniyah dan aliran Syi‟ah Ismailiyah, disamping sifat sadis mereka dalam
memperlakukan masyarakat muslim. 81 Ibnu Taimiyah ikut terjun dalam
kancahnya, dengan kapasitas sebagai da‟i, yang mencoba meluruskan kekeliruan-
kekeliruan yang terjadi di antara masyarakat.
Sekitar tahun 700-702 H., Ibnu Taimiyah ikut pula dalam rangka
perjuangan mengantisipasi serangan Tartar ke wilayah Syam (Syiria). Dalam
perperangan ini ia menjadi salah seorang diplomator yang berupaya untuk
meredam serangan Tartar, tetapi sayang tentara Tartar tidak memberikan respon
positif terhadap upaya yang dilakukan. Sehingga sampai titik kulminasinya, Ibnu
Taimiyah dengan tegas menyatakan sikap (hampir di berbagai forum) dan
membakar semangat umat Islam untuk berjihat demi memperjuangkan agama
Islam. 82
Pada tahun 704 H., di Quluth, Ibnu Taimiyah sempat menghancurkan
batu-batu dan benda-benda yang dianggap keramat, yang menjadikan masyarakat
muslim menjadi syirik. 83 Agaknya, ini merupakan tindakan yang pertama dan
boleh jadi terakhir dalam aktifitas Ibnu Taimiyah, yang begitu tegas dalam sikap
praktis. Sebab dari beberapa sumber, hampir tidak dan sedikit sekali yang
memberikan informasi tentang respon Ibnu Taimiyah dalam bentuk manuver-
manuver yang brutal.
Dalam penyebaran dan usaha pemurnian Islam (jihad), Ibnu Taimiyah
tidak bersifat agresif, tetapi menerapkan prinsif defensif. Ia mengatakan bahwa
perang baru diizinkan jika kaum yang diajak masuk Islam memerangi mereka
(umat Islam), hal ini berdasarkan firman Allah (Q.S. 11: 190). Ia juga merujuk
pada Hadits Nabi, yang melarang pembunuhan terhadap kaum jompo, anak-anak,

81
Abu Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah....... hal. 62
82
Abu Hasan Ali an-Nadawi, Syekh Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur....... hal. 62-70
83
Abu Hasan Ali an-Nadawi, Syekh Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur....... hal. 62-70
46

wanita dan para pendeta yang memencilkan diri selama perang berlangsung. 84
Prinsip ini membuktukan bahwa perang dalam Islam menurut Ibnu Taimiyah,
hanya dimaksudkan untuk mempertahankan diri.
Islamisasi secara paksa kepada orang lain sangat tidak disukai Ibnu
Taimiyah, ia mengatakan, andai seorang kafir harus dibunuh lantaran tidak
bersedia masuk Islam, maka prilaku tersebut bertentangan dengan al-Qur;an (Q.S.
11: 256) yang menegaskan bahwa “tidak ada paksaan dalam memeluk Islam”. 85
Dengan demikian, orang-orang yang tidak bersenjata yang tidak terlibat dalam
peperangan atau menyerang umat Islam, apapun kepercayaannya, tidak boleh
untuk diserang, karena mereka tidak mempunyai daya untuk mempertahankan
diri. Disini tampak bahwa Ibnu Taimiyah sangat memandang aspek perdamaian
dalam hidup bermasyarakat.
Terlebih lagi dalam menghadapi sesama muslim, Ibnu Taimiyah
menegaskan bahwa pentingnya bekerja dengan syarat-syarat amr ma‟ruf nahi
munkar dalam mempertahankan sunnah dan melarang bid‟ah, serta
memperingatkan agar menjahui niat buruk dan kepentingan bahwa nafsu. Karena,
kedua hal itu bisa menyebabkan batalnya pahala amal dan berkembangnya
perpecahan.
Beliau menyatakan, “Memerintahkan sunnah dan melarang bid‟ah adalah
amr ma‟ruf nahi munkar. Itu merupakan salah satu amal shalih yang paling utama.
Karenanya, ia harus diniatkan untuk mencari ridha Allah dan dilaksanakan sesuai
denagan perintah. Di dalam hadits diterangkan bahwa orang yang melakukan amr
ma‟ruf nahi munkar haruslah mempunyai ilmu tentang apa yang diperintahkan
dan dilarang, bersikap lembut pada apa yang diperintahkan dan dilarang, juga
santun pada apa yang diperintahkan dan santun pada apa yang dilarang. Karena,
harus memiliki ilmu sebelum memerintah, bersikap lembut ketika memerintah,
dan harus bersikap santun ketika memerintah. Jika seseorang tidak memiliki ilmu
maka ia tidak boleh mengikuti sesuatu yang tidak ia kuasai ilmunya. Jika ia

84
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa jilid 28 hal 354-355
85
Lihat Lahmuddin Mardjuni (Sebuah Tesisi tentang Pemurnian dan Pengaruhnya
Terhadap Gerakan Wahabi) dinukil dari Majid Khudduri, The Islamic Law of Nations,
(Baltimore: Jhon Hopkins Press, 1966) hal 59
47

memiliki ilmu tapi tidak bisa bersikap lembut, maka ia seperti dokter yang tidak
bisa bersikap lembut. Ia bersikap kasar terhadap pasien, sehingga si pasien tidak
mau menerima nasihatnya. Atau, seperti pendidik yang bersifat kasar dan yang
tidak bisa diterima oleh si anak. Hal ini sesuai dengan firman Allah yakni ketika
berfirman kepada Musa dan Harun: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia mau menerima
peringatan atau merasa takut.” (QS, Thahah: 44).86 Jadi dalam mengajak
melakukan amr ma‟ruf nahi munkar menurut Ibnu Taimiyah adalah menyeruhkan
yang ma‟ruf dengan cara ma‟ruf pula serta menyeruhkan kepada nahi mungkar
harus dengan cara ma‟ruf pula.
Ibnu Taimiyah juga memiliki sifat tegar serta teguh pendirian dalam
berpendapat (jihad dalam membela aqidah) bila mana pendapatnya itu sesuai
dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah. Ibnu Taimiyah tidak takut dengan ancaman dari
manapun. Beliau tidak takut kepada lembaga, tuan tanah, tidak pula kepada harta,
kedudukan maupun penguasa (raja) sekalipun. Bila mana beliau mati dibunuh
karena membela aqidah yang benar berarti beliau mati syahid. Penjara bagi beliau
adalah tempat atau anugerah yang sangat besar, karena dimana pun beliau berada
beliau tetap akan meneruskan dakwahnya, meskipun di dalam penjara. Karena
meskipun beliau di penjara, beliau masih menulis karya-karyanya serta justru nara
pidana yang ada belajar dan menjadi murid-murid beliau.87 Ibnu Taimiyah hanya
takut kepada Allah dan takut jika aqidah Islam mengalami kemerosotan bahkan
kehancuran karena umat Islam sendiri pada waktu Ibnu Taimiyah hidup
aqidahnya telah ternodai oleh percikan-percikan bid‟ah, khurafat, serta kesyirikan-
kesyirikan yang lainnya.
Ibnu Taimiyah adalah penyeru kepada tauhid yang murni dan aqidah yang
terjaga dari kesesatan, pada waktu yang sama beliau juga penyeru kepada
kesatuan dan persatuan umat Islam berdasarkan prinsip-prinsip yang universal.

86
Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc; Wafi Marzuki. (Surabaya: CV. Fitrah Mandiri
Sejahtera, 2007) hal 160-161
87
Abdullah Ibnu Abdul Muhsin al-Turki, Mujmalu I‟tiqad Aimmah al-Salaf, Terj.
Ghazali Mukri, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1995) hal 72
48

Diantara ucapan dan perbuatan Ibnu Taimiyah dalam bidang ini adalah:
“Semua orang yang telah mengerti bahwa antara golongan Hambali dan golongan
Asy‟ari terjadi hubungan yang tidak enak. Sedang, saya adalah orang yang paling
besar perannya dalam menyatukan hati umat Islam dan mencari titik kesepakatan
antara mereka. Hal ini semata-mata hanya didorong oleh perintah Allah yang
memerintahkan kepada kita agar berpegang teguh kepada tali (agama) Allah.
Sekaligus saya berusaha untuk menghilangkan segala hubungan yang tidak
harmonis yang terdapat dalam setiap hati orang yang sekalian saya jelaskan
kepada mereka, bahwa Asy‟ari adalah termasuk pakar teologi yang
mengatasnamakan dirinya kepada Imam Ahmad bahkan dia termasuk para
pembela terhadap metode yang ditempuh oleh Imam Ahmad. Hal ini yang
dikemukakan sendiri oleh Asy‟ari dalam berbagai bukunya. 88 Ibnu Taimiyah, di
dalam buku Naqdh al-Manthiqnya (hal 16), menyatakan, “Al-Asy‟ari adalah
orang yang pandangan-pandangannya lebih dekat dengan pandang-pandangan
Imam Ahmad ibnu Hambal dan pendahulunya dari ulama sunnah dan hadits.”
Dalam buku tersebut Ibnu Taimiyah juga menyatakan, bahwa Asy‟ari setelah
mengundurkan diri dari Mu‟tazilah, mengikuti jalan yang ditempuh oleh ahlu
sunnah dan ahlu hadits, lalu ia berafiliasi kepada Imam Ahmad Ibnu Hambal,
sebagaimana ia nyatakan di dalam Al-Ibanah dan Maqalah Al-Islamiyyin-nya.89
Akhirnya golongan Asy‟ari dan golongan Hambali saling menerima dan bersatu,
maka gembiralah kaum muslimin dengan kesepakatan pendapat. Dan Ibnu
Taimiyah mengemukakan pendapat yang dipaparkan oleh Ibnu Asakir dalam kita
“Manaqib”: Golongan Hambali dan golonga Asy‟ariyah senantiasa bersepakat
sampai zaman Qusyairi. Setelah terjadi fitnah (bencana) di kota Bagdad, maka
pecah belahlah mereka. Perlu diketahui bahwa pada saat itu hampir semua

88
Abdullah Ibnu Abdul Muhsin al-Turki, Mujmalu I‟tiqad Aimmah al-Salaf, Terj.
Ghazali Mukri, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1995) hal 74
89
Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi,
terj. Faisal Saleh, Lc. M.Si, Khoerul Amru Harahap, Lc, M. Hi. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2005) hal. 168
49

golongan ada yang sudah menyimpang dan ada pula yang masih lurus. 90 Bagdad
pada awalnya merupakan pusat kejayaan Islam. Di kota ini banyak terdapat para
intelektual Islam serta banyak sekali buku-buku yang dikarang oleh intelektual
Islam tersebut. Setelah jatuhnya bagdad di tangan tentara salib, maka umat Islam
tersebut dibantai habis oleh para tentara salib termasuk juga para intelektual
Islam. Tentara salib tidak hanya sekedar ingin menduduki wilayah kekuasaan
Islam. Akan tetapi, mereka juga ingin menghancurkan agama Islam, baik dengan
cara terang-terangan maupun menyusupi dalam ajaran Islam dengan paham
mereka. Dan harapan mereka sedikit demi sedikit Islam mengalami kemerosotan
aqidah, dan pada akhirnya Islam hancur serta kembali kezaman jahiliyah.
Ibnu Taimiyah mengajak umat Islam untuk menyatukan kekuatan dalam
melawan tentara salib, baik itu kekuatan secara fisik maupun intelektual. Jika
umat Islam bersatu serta memiliki wawasan yang luas dalam keilmuan agama
maupun umum, terlebih lagi memiliki aqidah yang kokoh. Maka umat Islam sulit
untuk digoyakan dan umat Islam akan jaya. Dalam menyerukan kepada pokok-
pokok agama (aqidah) Ibnu Taimiyah tidak pernah kepada madzhab Hambali dan
selain Hambali. Dan beliau juga tidak pernah mati-matian untuk membela
madzhab tersebut, serta beliau pun tidak pernah mengemukakan pendapat
Hambali dalam setiap perkataannya. Beliau mengemukakan pendapat yang telah
disepakati dan telah ditetapkan oleh ulama salaf. Beliau akan memberikan waktu
kepada orang yang menyalahi pendapatnya selama tiga tahun, jika orang tersebut
datang dengan membawa satu huruf dari ulama-ulama yang hidup pada tiga
generasi, dan membuktikan jelas-jelas kesalahan pendapatnya. Maka beliau akan
mengakui hal itu.91 Dapat dipahami bahwa Ibnu Taimiyah menghindari dari taqlid
buta terhadap suatu mazhab. Karena taqlid buta dapat menibulkan kefanatikan
terhadap mazhab tertentu dan akan saling menyalahakan antar mazhab satu
dengan madzhab yang lain. Ibnu Taimiyah menyerukan kepada umat Islam hanya

90
Abdullah Ibnu Abdul Muhsin al-Turki, Mujmalu I‟tiqad Aimmah al-Salaf, Terj.
Ghazali Mukri, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah,………………….. hal 74
91
Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi,
terj. Faisal Saleh, Lc. M.Si, Khoerul Amru Harahap, Lc, M. Hi. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2005) hal. 170
50

untuk berpegang teguh kepada Salafus Shalih yang mereka senantiasa berpegang
teguh pada al-Qur‟an dan as-Sunnah.
Abu Hasan Ali An-Nadawi, memberi gambaran, begitu gigih dan getolnya
Ibnu Taimyah dalam usaha pemurnian aqidah terhadap ajaran Islam, ketika dalam
penjarapun tetap menyampaikan dakwah dan misinya. Ia mengajar para nara
pidana, sehingga disebutkan banyak kalangan nara pidana yang telah bebas dari
penjara, ingin selalu tetap bersama Ibnu Taimiyah kembali tinggal di penjara. 92
Melihat dari uraian-uraian sebelumnya, tentu menjadi semakin jelas,
bahwa Ibnu Taimiyah adalah orang yang sangat intres terhadap keselamatan
masyarakat diamana ia tinggal (muslim). Keselamatan itu tidak saja dari aspek
fisik karena serangan bangsa penjajah, tetapi lebih dari itu, aspek keselamatan
keagamaan yang berdampak pada kebahagiaan di hari akhirat.
Akhirnya, dapat disimpulkan, bahwa upaya pemurnian yang dilakukan
Ibnu Taimiyah, Sebagaimana ia jelaskan; “Amr ma‟ruf nahi munkar dan jihad
termsuk keutamaan yang diperintahkan Allah kepada kita. Namun, siapa yang
melakukan kewajiban ini tanpa pemahaman hukum dan fiqh dakwah, tanpa
kelembutan dan kesabaran, tanpa mau melihat mana yang harus diperbaiki, maka
ia telah melanggar perintah Allah, meskipun ia melakukan dengan keyakinan
menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. 93
Disamping usaha-usaha tersebut, prestasi yang paling monumental yang
pernah dicetuskan Ibnu Taimiyah adalah pembukaan kembali “pintu ijtihad”
setelah umat Islam terbuai dengan metoda taklid. Implikasi dari metoda pemikiran
itulah, dalam perkembangannya meskipun cukup panjang, meresap kedalam tubuh
intelegensia keagamaan dan berpengaruh secara perlahan, mengelaborasi dalam
perkembangan pemikiran pembaharu (pemurnian) dari gerakan-gerakan
keagamaan dalam sejarah Islam.

92
Abu Hasan Ali An-Nadawi, Syekh Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur.... hal. 97
93
Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc; Wafi Marzuki. (Surabaya: CV. Fitrah Mandiri
Sejahtera, 2007) hal 161-162
BAB IV
PENGARUH PEMURNIAN IBNU TAIMIYAH DI INDONESIA
Setiap kehidupan ini, paling tidak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
yang dapat membentuk seseorang, manakala lembaga pendidikan tidak bisa
melakukannya, kelahiran seorang ulama misalnya, sudah barang tentu
merupakan proses dari sebuah zaman disaat mana ia berada. Jika saat itu
rusak, maka rusak pulalah orang-orang di zaman itu, demikian pula
sebaliknya. Itulah sebuah fenomena yang sering menjadi suatu keniscayaan
dalam realitas kehidupan.
Akan tetapi, betapapun rusaknya sebuah zaman, terkadang pengaruh
yang muncul dari zaman itu, justeru dalam bentuk kontradiktif dengan
zamannya. Kekacauan politik, kerusakan dan kebejatan moral dan lain
sebagainya, dengan segala dampaknya, mendorong seseorang untuk
melakukan “sesuatu”, dengan menganalisis secara kritis, untuk mencari
faktor-faktor penyebab dari “keterlanjuran” kondisi zaman tersebut, mencoba
menggambarkan begitulah proses dialog yang terjadi antara Ibnu Taimiyah
dengan zamannya.
Reformisme yang dilakukan Ibnu Taimiyah, selama pemerintahan
Mamluk dalam sejarah Islam, mempunyai tujuan utama untuk mengajak umat
Islam agar kembali kepada dasar-dasar agama mereka dalam bentuknya yang
“murni”, yaitu al-Qur‟an dan as-Sunnah Rasul. Tujuan itu didasarkan pada
asumsi bahwa luka politik dan spiritual, yang melanda umat Islam selama
periode tersebut kebanyakan disebabkan oleh sikap mereka yang menjauhkan
diri dari sumber-sumber asli itu. Dalam aneka perdebatan dan polemiknya,

51
52

Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa sikap tersebut tercermin dalam dua faktor
; pertama kebiasaan taklid, dan kedua pengaruh faham-faham heterodoks,
terutama yang berasal dari para sufi dan golongan Syi‟ah.
Menurut Ibnu Taimiyah, jihad melawan khurafat, bid‟ah merupakan
kewajiban sepanjang hidup. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ia harus
menghadapi berbagai kendala dan “sikap keras” penguasa dan sentimen
penduduk di sekitar ia berada. Memang dalam sebuah perjuangan, ada
kalanya membuahkan hasil, tetapi jauh dari maksimal, sebab berbagai
kendala dan kegagalan memberi warna aktifitasnya.
Sejarah mencatat, saat Ibnu Taimiyah wafat (1328) seluruh warga
Damaskus mengiringkan jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhir, baik
dari mereka yang pro, simpatisan, maupun mereka yang kontra. Inilah sebuah
gambaran ketokohan Ibnu Taimiyah.
Betapapun, digambarkan Nurcholis Majid, bahwa Ibnu Taimiyah
belum mampu melakukan gerakan besar, 94 tetapi warisan intelektual Islam
terkemuka itu tetap dilestarikan oleh murid-muridnya, seperti Ibnu Qayyim,
Abdul Hadi, Azdzahabi dan lain sebagainya. Meskipun cukup tertunda,
pemikiran Ibnu Taimiyah juga mempengaruhi gerakan pembaharuan di
Indonesia pada awal abad ke-20. Gerakan-gerakan tersebut terkenal dengan
gerakan tiga serangkai yaitu; Muhammadiyah, al-Irsyad dan Persatuan Islam
(PERSIS). Disini penulis akan memeparkan sidikit tentang gerakan tersebut
secara satu-persatu serta gagasannya dalam pembaharuan Islam di Indonesia.
1. Gerakan Muhammadiyah
Pada tahun 1911, K. H. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah sekolah agama
yang diberi nama Muhammadiyah, perguruan ini tidak diadakan di surau atau
di masjid, tetapi bertempat di gedung yang menggunakan meja, kursi dan
papan tulis. Kemudian berdiri secara resmi pada tanggal 19 November 1912
bertepatan dengan 8 Zulhijjah 1330 H.95

94
Nurcholis Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hal. 43
95
Drs. H. M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan
Dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998) hal.100
53

K. H. Ahmad Dahlan yang pada waktu kecilnya bernama Muhammad


Darwis, lahir pada tahun 1968 dari pernikahan K. H. Abu Bakar dengan Siti
Aminah. K. H. Abu Bakar adalah khatib di Masjid Agung Kesultanan
Yogyakarta, sedangkan ayah Siti Aminah adalah penghulu besar di
Yogyakarta.96
Semenjak kecil, dahlan diasuh dan didik sebagai putera kiyai.
Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji al-
Qur‟an dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari
ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama
kepada beberapa ulama besar waktu itu. Di antaranya ia K. H. Muhammmad
Saleh (ilmu fiqh), K. H. Muhsin (ilmu nahwu), K. H. R. Dahlan (ilmu falak),
K. H. Mahfuldz dan Syeikh Khayyat Sattokh (Ilmu hadits), Syeikh Amin dan
Sayyid Bakri (qira‟at al-Qur‟an), serta beberapa guru lain. 97 Dengan data ini,
tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai
disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat
dirinya selalu tidak puas dengan ilmu yang dipelajarinya dan terus berupaya
untuk lebih mendalaminya.
Setelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun
1890 ia berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studiya dan bermukim
disana selama setahun. Merasa tidak puas dengan kunjungannya yang
pertama, maka pada tahun 1903, ia berangkat lagi ke Mekkah dan menetap
selama dua tahun. Kepergian Ahmad Dahlan ke Mekkah yang kedua kali ini
merupakan pengalaman yang sangat berharga baginya. Di Mekah ia
memperdalam berbagai disiplin ilmu, ilmu fiqh, ilmu falak, ilmu qiraah.
Ahmad Dahlan bahkan sempat berdiskusi dengan beberapa ulama yang
berasal dari Indonesia antara lain: Muhammad Khatib dari Minangkabau,
Kiyai Nawawi dari Banten, Kiyai Mas Abdullah dari Serabaya, Kiyai Pagih

96
Weinata Sairin, MTh. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2008) hal. 39
97
Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: PT. Ciputat
Press Group, 2005) hal. 202-203
54

Kumambang dari Gersik. Penting sekali dicatat bahwa dalam kepergian


kedua kali ke Mekah ini, Ahmad Dahlan sempat berjumpang dengan Rasyid
Ridha, tokoh pembaharu Islam dari Mesir. Perjumpaannya dan dialog dengan
Rasyid Ridha ini memberikan pengaruh yang kuat terhadap pemikiran Ahmad
Dahlan, karena pandangan para pembaharu Islam itu menitikberatkan pada
pemurnian tauhid (keesaan Allah), tidak beriman secara taqlid (secara
membabibuta percaya kepada keterangan seseorang tanpa mengetahui
landasan yang primer); yang selama ini juga dipikirkan oleh Ahmad Dahlan. 98
Selain itu juga Ahmad Dahlan menelaah berbagai buku dan memperdalam
Ibnu Taimiyah serta Muhammad Abduh yang dipublikasikan oleh majalah al-
Urwatul Wutsqa (Tali yang Kuat) dan al-Mannar (Mercu Suar).99 Dari para
ulama terutama Rasyid Ridha itulah akhirnya pada tanggal 19 November
1912 bertepatan dengan 8 Zulhijjah 1330 H., Ahmad Dahlan mendirikan
gerakan yang dinamakan Muhammadiyah dengan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1. Memurnikan ajaran Islam dengan membersihkan praktek serta
pengaruh yang bukan dari ajaran Islam.
2. Reformasi ajaran dan pendidikan Islam.
3. Reformasi doktrin-doktrin dengan pandangan alam pikiran
modern.
4. Mempertahankan Islam dari pengruh dan serangan dari luar
Islam. 100
Dalam pengembangan wawasan keagamaan atau prinsip-prinsipnya
ini, Muhammadiyah cenderung menitikberatkan pada tranformasi nilai-nilai
lewat sarana kultural yang tidak menimbulkan kegoncangan, misalnya lewat

98
Weinata Sairin, MTh. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2008) hal. 43-46
99
Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: PT. Ciputat
Press Group, 2005) hal. 203
100
Drs. H. M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan
Dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998) hal. 100
55

tabligh dan pendidikan. Dengan cara yang demikian, maka Muhammadiyah


dapat mengembangkan sayapnya ke seluruh Nusantara.
2. Gerakan al-Irsyad
Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam‟iyat al-Islah wal Irsyad al-
Islamiyyah) kemudian dikenal dengan nama al-Irsyad berdiri pada 6
September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tanggal itu mengacu pada pendirian
Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di Jakarta. Pengakuan
hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11
Agustus 1915.
Pendiri al-Irsyad adalah Syeikh Ahmad Surkati yang nama lengkapnya
ialah Ahmad bin Muhammad Surkati al-Kharrajn al-Anshari. Ia lahir pada
tahun 1872 di Afdu Donggalan Sudan dari keluarga yang taat beragama.
Ayahnya bernama Muhammad, seorang yang dianggap masih memiliki
hubungan dengan Jabir bin Abdul al-Anshari (sahabat Rasul SAW).101 Syeikh
Ahmad Surkati yang sampai ke Jakarta dalam bulan februari 1912, seorang
alim yang terkenal dalam agama Islam. Beberapa lama kemudian
meninggalkan Jami‟at Khair dan mendirikan gerakan agama sendiri bernama
al-Ishlah wal Irsyad, dengan haluan mengadakan pembaharuan dalam Islam
(reformisme).102
Pendiri-pendiri al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang, tetapi guru
sebagai tempat memintak fatwa ialah Syeikh Ahmad Surkati yang sebagian
besar dari umurnya dicurahkan bagi penelaahan pengetahuan. Ia telah banyak
mengetahui ayat-ayat al-Qur‟an ketika masih kecil dan akhirnya ia menjadi
seorang penghafal al-Qur‟an terkenal di Sudan. Tetapi, ia tidak dapat
memenuhi keinginannya untuk belajar di Mesir, karena ketika ayahnya
meninggal nasib membawa ia ke negeri Arab dan tinggal di Madinah selama
empat tahun untuk menuntut ilmu disana. Selama menuntut ilmu, Ahmad
Surkati selalu memperlihatkan prestasi yang sangt gemilang. Sehingga pada

101
Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: PT. Ciputat
Press Group, 2005) hal. 55
102
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010) hal. 162
56

tahun 1906, ketika berumur 34 tahun, ia berhasil memperoleh ijazah tertinggi


guru agama (al-allamah) dari pemerintah Istambul. Dengan prestasinya yang
gemilang, menempatkan seorang pelajar Sudan pertama memperoleh ijazah
tersebut, bahkan ia termasuk salah seorang di antara empat orang guru agama
di Arab Saudi yang memperoleh penghargaan dari prestasi tersebut.
Penghargaan tersebut deserahkan oleh majelis ulama Mekkah. 103 Dengan
demikian, tidak diragukan lagi keluasan pengetahuan ilmu agama yang
dimiliki oleh Surkati. Dan suatu tindakan yang tepat baginya memilih
Indonesia untuk berdakwah (jihad) meneruskan perjuang Nabi SAW dengan
mendirikan al-Irsyad, karena ketika itu masyarakat Indonesia dalam tekanan
kolania Belanda dan masyarak Islam Indonesia khususnya, aqidah mereka
tidak murni lagi karena ternodai oleh khurafat, bid‟ah dan perbuatan-
perbuatan menyimpang lainnya.
Di antara prinsip-prinsip gerakan al-Irsyad yang diusung oleh Surkati
adalah:
1. Untuk mengukuhkan doktrin persatuan dengan membersihkan
shalat dan doa dari kontaminasi unsur politheisme.
2. Untuk mewujudkan kesetaraan di antara kaum muslimin dan
mencari dalil yang shahih dalam al-Qur‟an dan sunnah dan
mengikuti jalan yang benar untuk semua solusi masalah agama
yang diperdebatkan.
3. Untuk memerangi taqlid „am (penerimaan membabi buta) yang
bertentangan dengan dalil aqli dan naqli.
4. Untuk mensyiarkan pengetahuan alam sesuai Islam dan
menyebarkan kebudayaan Arab yang sesuai dengan ajaran Allah.
5. Mencoba untuk menciptakan pemahaman dua arah antara dua
muslim yaitu Indonesia dan Arab. 104

103
Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: PT. Ciputat
Press Group, 2005) hal. 57
104
Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: PT. Ciputat
Press Group, 2005) hal. 57-58
57

Dari prinsip-prinsip gerakan al-Irsya di atas terlihat bahwa, al-Irsyad


yang dimotori Ahmad Surkati telah membawa peradaban baru dunia
pendidikan di nusantara, serta memberikan kontribusi yang sangat signifikan
terhadap perkembangan agama Islam masa selanjutnya.
3. Gerakan Persatuan Islam (PERSIS)
Persatuan Islam didirikan di Bandung pada tanggal 17 September 1923
oleh K. H. Zamzam. Ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah
lebih dahulu maju dalam usaha untuk mengadakan pembaharuan dalam
agama. Bandung kelihatan agak lambat dalam pembaharuan ini dibandingkan
dengan daerah-daerah lain, sungguhpun Sarekat Islam telah beroprasi di kota
ini semenjak tahun 1913. Kesadaran tentang keterlambatan ini merupakan
salah satu sebuah cambuk untuk mendirikan organisasi.
Pendirian Persatuan Islam merupakan usaha sejumlah umat Islam yang
memperluas diskusi-diskusi tentang topik-topik keagamaan yang telah
dilakukan pada basis informal selama beberapa bulan. Umat Islam yang
terlibat dalam diskusi-diskusi ini semuanya adalah kelas pedagang dan
berasal dari kelompok-kelompok keluarga yang dua generasi lebih awal telah
migrasi, karena alasan-alasan perdagangan, dari daerah Palembang di
Sumatera ke daerah Jawa Barat dimana akhirnya mereka menyatakan diri
sebagai orang-orang Sunda, kelompok etnis yang paling dominan di Jawa
Barat. Dua tokoh utama dalam diskusi-diskusi ini adalah H. Zamzam dan H.
Muhammad Yunus. H. Zamzam menghabiskan tiga setengah tahun belajar di
Dar al-Ulum di Mekah kemudian menjadi guru di Madrasah Darul
Muta‟allimun di Bandung.
Diskusi-diskusi yang menghantarkan pada pendirian Persatuan Islam
tidak begitu terpusat pada ajaran-ajaran yang aktual sebagaimana pada
gagasan-gagasan baru kaum reformis yang kemudian menikmati popularitas
besar di Sumatera, dengan beberapa kemudian di Jawa, dan pada konflik
antara ide-ide baru ini dengan sistem-sistem keagamaan yang mapan. Mereka
mendiskusikan isi al-Manar (manara), publikasi Islam modernis yang
diterbitkan di Kairo, dan al-Munir (cahaya), sebuah kecenderungan seminar
58

yang diterbitkan di Singapura dan diselundupkan di Indonesia. Mereka juga


mengikuti perdebatan antara al-Irsyad dan Jamiyyatul Khair (juga al-
Jamiyyatul al-Khariyya), organisasi-organisasi terpenting bagi orang-orang
Arab yang tinggal di Indonesia, mengenai status orang-orang Arab di tengah-
tengah umat Islam non-Arab. 105
Tokoh yang sangat berperan peting dalam kemajuan gerakan Persis
adalah Ahmad Hasan. Sehingga tidak heran jika terdapat dibeberapa buku
gerakan Persisi didirikan oleh Ahmad Hasan. Ahmad Hasan memiliki
karakter yang keras dan tegas. Untuk menyebarkan fahamnya, Ahmad Hasan
pada tahun 1926 telah memilih Persis yang telah berdiri pada tahun 1923 di
Bandung. Ahmad Hasan masuk Persis sebenarnya bukan karena tertarik pada
faham-fahamnya, bahkan Ahmad Hasan-lah yang membawa Persis untuk
menjadi gerakan Ishlah. Ahmad Hasan Sadar bahwa pemikirannya harus
dituangkan dalam sebuah gerakan agar bisa berkembang secara efektif. Dan
tampaknya gabungan watak Ahmad Hassan yang tajam dan ciri Persis yang
keras telah menghasilkan sebuah gerakan faham yang cepat meluas. 106
Ahmad Hasan akan mangkritik dengan cara yang tajam dan terbuaka
terhadap siapa saja yang dianggap salah. Dalam salah satu perdebatannya
yang paling sukses, yakni dengan para wali dari Ahmadiyah Qadiyah di
Batavia pada bulan April 1933, sebanyak 2.000 orang hadir, termasuk
seorang pejabat Kantor Departemen Dalam Negeri Hindia Belanda, wartawan
dari beberapa surat kabar dan majalah terkemuka, dan para wakil dari
sejumlah organisasi Islam Jawa Barat.107 Meskipun perdebatan ini tampaknya
merupakan perdebatan terbesar, perdebatan-perdebatan lain juga dihadiri oleh
ratusan orang.

105
Howard M. Pederspeil, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX,
(Ypgyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996) cet. I hal. 15-16
106
LIPPM, Pak Natsir 80 Tahun; Penghargaan dan Pnghormatan Generasi Muda,
(Jakarta: Media Da‟wah Anggota IKAPI, 1981) cet. I, Hal. 168-169
107
Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si, Sosiologi Agama: Kajian Tentang Perilaku
Institusional dalam Beragam Anggota Persis dan Nahdatul Ulama, (Bandung: PT. Reifika
Aditama, 2007) cet I, Hal. 102
59

Dari berbagai perjuangan yang dilakukan Ahmad Hasan Bersama


Persis, maka Persis identik dengan Ahmad Hassanya, serta dapat
mempengaruhi pemikiran dasar Persis itu sendiri.
Beberapa pemikiran dasar Persis itu sendiri dalam masalah-masalah
berikut adalah:
1. Sumber pokok ajaran: al-Qur‟an dan Hadits
2. Teologi: Allah mempunyai sifat
3. Fiqih: tidak berdasarkan suatu madzhab, tetapi berdasarkan al-
Qur‟an dan Hadits.
4. Akhlak: berdasarkan al-Qur‟an dan Hadits.
5. Filsafat: panduan ayat al-Qur‟an tentang ketuhanan alam semesta
dan manusia dengan pendapat ahli pengetahuan modern.
6. Tasawuf: tidak jauh menyimpang dari rasio yang sangat diperlukan
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
7. Tarikh: zaman Rasullulah SAW dan al-Khulafa ar-Rasyidin adalah
masa yang dianggap menggambarkan Islam yang sebenarnya. 108
Dari prinsip-prinsip tersebut dan di bawah kepemimpinan Ahmad
Hasan, Persis mampu berkembang cepat dan meluas. Dan sangat berperan
penting dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat Islam Indonesia
dan khusunya msyarakat Islam di Bandung, bagaimana aqidah Islam yang
sebenarnya yang tidak bercampur dengan kesyirikan, khurafat dan tahayyul.
Itulah tiga gerakan Islam di Indonesia sebagai dari pengaruh
pemurnian Ibnu Taimiyah. Dan dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tiga
gerakan (Muhammadiyah, al-Irsyad, dan Persis) di atas mempunyai tujuan
yang sama yaitu:
1. Membersihkan Islam dari pengaruh kebiasaan non Islam.
2. Reformasi doktrin Islam dengan pandanga alam pikiran modern.
3. Reformasi pendidikan dan ajaran Islam.
4. Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan dari luar.

108
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1993)
Jilid. IV, Cet. I, Hal. 96
60

5. Melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan.


Akan tetapi dalam praktiknya mereka mempunyai metode yang
berbeda. Gerakan al-Irsyad dan Persis menempuh cara polemik dan debat
sekalipun, sedangkan Muhammadiyah cenderung menitikberatkan pada
tranformasi nilai-nilai lewat sarana kultural yang tidak menimbulkan
kegoncangan, misalnya lewat tablig dan pendidikan. Itulah metode
pembaharuan Muhammadiyah. Dengan cara yang demikian maka
Muhammadiyah dapat mengembangkan sayapnya ke seluruh Nusantara, tidak
seperti al-Irsyad dan Persis tidak menyebar di Nusantara
BAB V
KESIMPULAN
A. Penutup
Pemurnian(tajdid) dalam istilah islam berarti menghidupkan kembali
rambu-rambu Islam dan menegakkan kembali pilar-pilar Islamiyah agama ini
dengan menjaga nash-nash yang shahih secara bersih, dan membersihkan
agama ini dari bid‟ah dan penyimpangan yang mengotorinya, baik dalam
bidang Nazhariyah (pemikiran), Amaliyah (ibadah) maupun bidang Sulukiyah
(perilaku akhlak).
Gerakan pemurnian (tajdid) dilakukan karena terjadinya krisis akidah,
kemerosotan moral, kelemahan politik dan ekonomi, serta jumud dalam
pemikiran. Dapat diartikan juga bahwa kondisi tersebut terjadi karena adanya
sikap yang melampaui batas dalam urusan agama yang tidak sesuai dengan
syari‟at Islam.
Salah satu tokoh ulama yang mengusung gerakan pemurnian ini adalah
Syekh Ibnu Taimiyah. Tema utama pemikiran Ibnu Taimiyah ialah gerakan
al-ruju ila al-Quran wa as-Sunnah (kembali pada sumber ajaran Islam, yakni
al-Qur‟an dan Sunah). Dengan tekanan pada pemurnian akidah, gerakan ini
sering disebut dengan muhyi atsar al-salaf (menghidupkan kembali ajaran
ulama salaf yang saleh), yakni praktik ajaran Islam sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah SAW dan tiga generasi sesudahnya, yakni generasi para
sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.
Gerakan pemurnian yang diusung Ibnu Taimiyah saat itu sejalan dengan
pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal, yang menghidupkan ajaran salafiyah,

61
62

tetapi sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran akidah, tetapi
terbuka pada ijtihad. Karena dalam perkembangan berikutnya, gerakan
pemurnian tersebut menjadi bersenyawa dengan spirit ijtihad dan berorientasi
pada bagaimana membangkitkan kembali kemajuan umat Islam dari
kemunduran dan kejumudan. Ibnu Taimiyyah memandang bahwa Islam telah
dikotori oleh tasawuf dan tarekat yang sama sekali tidak berorientasi kepada
Sunnah Nabi. Tarekat yang dimaksud mengetengahkan konsep-konsep wali,
wasilah, dan karamah yang mengandung unsur khurafat dan syirik yang salah
satunya adalah seperti kelompok sufi al-Ahmadiayah pada zamannya. Selain
itu juga masuknya pengaruh pemikiran barat seperti kelompok sporadis
Majusi, Nasrani, serta filsafat Yunani yang telah merasuk kedalam dunia
Islam yang melakukan tipu daya untuk menhancurkan kaum Muslim. Ibnu
Taimiyyah berusaha menghilangkan itu semua dengan menyerukan “kembali
kepada tauhid”.
Begitu pentingnya aspek pemurnian dan ketahuidan dalam pandangan
Ibnu Taimiyah, maka dalam banyak tulisannya, hampir separo atau bahkan
dua pertiga dari jumlah karangannya, memfokuskan bahasannya tentang ilmu
kalam (tauhid). Informasi ini paling tidak memberi indikasi, bahwa Ibnu
Taimiyah dalam usaha pemurniannya, lebih bersifat akademik dan kurang
bersifat praktis.
Itulah sedikit gambaran mengenai karakteristik pemurnian yang
diusung oleh Ibnu Taimiyah yang lebih berorientasi kepada pemurnian aqidah
Islam yang sesuai dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah, atau disebut juga dengan
aqidah salafiyah, aqidah firqah najiah (golongan selamat), yakni aqidah
tauhid.
Khazanah pemikiran intelektula yang digagas Ibnu Taimiyah tetap
menggelinding dan mengelaborasi dalam sejarah pemikiran dalam Islam.
Pemikiran Ibnu Taimiyah kendatipun cukup tertunda, ternyata mempengaruhi
gerakan pemurnian di Indonesia yang dikenal dengan gerakan tiga serangaki
yaitu; Muhammadiyah, al-Irsyad dan Persis yang muncul pada abad ke 20 M.
Keterpengaruhan gerakan ini terhadap wancan pemikiran Ibnu Taimiyah,
63

paling tidak gagasan untuk merujuk kembali kepada ajaran Islam murni yaitu
al-Qur‟an dan sunnah rasul plus paradigma pemikiran kaum salaf dan sikap
anti terhadap segala bentuk kesyirikan, khurafat dan bid‟ah.
B. Saran
Ibnu Taimiyah adalah ulama salaf yang menggagas pemurnian ajaran
agama islam salah satunya di bidang akidah pada zamannya yang dikenal
ketegasannya dalam meluruskan kepada akidah yang murni sesuai dengan al-
Qur‟an dan as-Sunnah apabila masyarakat melenceng dari akidah yang benar.
Hal tersebut patut kita jadikan sebagai tauladan karena sebagai sesama muslim
kita harus saling mengingatkan apabila saudara kita melakukan kesalahan.
Salah satu bentuk kesyirikan yang diperangi oleh Ibnu Taimiyah adalah
bentuk ziarah kubur yang berlebihan, dimana orang-orang berdoa dan
memohon, memintak kepada ahli kubur tersebut. Hal ini juga masih sering
terjadi pada masyarakat kita walaupun hanya sebagian kecil seperti berziarah
ke para makam wali, Gusdur, dan lain sebagainya. Perbuatan tersebut
dibolehkan apabila ziarah tersebut dimaksudkan untuk mendoakan ahli kubur
dan yang paling terpenting mengingatkan kita dengan kematian sehingga
menambah keimanan kita kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin, I‟tiqad Ahlussunnah Wal-Jama‟ah, (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1996)

Abu, Darwis Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar 2008)

Abdul, Said Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi, terj.
Faisal Saleh, Lc. M.Si, Khoerul Amru Harahap, Lc, M. Hi. (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2005)

Ahmad, Beni, Saebani, M. Si, Sosiologi Agama: Kajian Tentang Perilaku


Institusional dalam Beragam Anggota Persis dan Nahdatul Ulama,
(Bandung: PT. Reifika Aditama, 2007)

Ahmad, Hafiz al-Hakami, Benarkah Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah, (Jakarta:


Gema Insani Press,t.t)

Al-Jamal, M. Hasan Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam


Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005)

Arif, Syamsudin. Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Depok: Gema Insani


2008)

Ash-Shiddieqy, Hasbi Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an (Jakarta: Bulan


Bintang 1988)

Asmuni, Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam


Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998)

at-Tamimi, Muhammad, Kasyfusy Syubuhaat fit Tauhid, terj. Ainul Haris, Ahmad
Amin Syihab (Jakarta: Yayasan al-Sofwa, 1997)

Bakar, Abu Jabir al-Jazairi. Aqiidatul Mukmin, terj. Salim Bazemool. Aqidah
Seorang Mukmin (Solo: CV. Pustaka Mantiq 1994)

64
65

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru,


1993)

Hasan, Agus, Bashari. Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi al-Qur‟an,


(Surabaya: Pustaka as-Sunnah 2003)

Hasan, Abul Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:
Pustaka Mantiq, 1995)

Halimuddin. Kembali Kepada Akidah Islam, (Jakarta: Rineka Cipta 1990)

Haque, M. Atiqul, Hundred Muslim Heroes of the World , terj. Ira Puspitorini,
100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia (Jogjakarta: Diglossia,
2007) hal. 82

Ibnu, Ahmad, Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc; Wafi Marzuki.
(Surabaya: CV. Fitrah Mandiri Sejahtera, 2007)

Ibnu, Abdullah, Abdul Muhsin al-Turki, Mujmalu I‟tiqad Aimmah al-Salaf, Terj.
Ghazali Mukri, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1995)

Ibnu, Nasir „Abdul Karim al-„Aql. Mujmal Ushul Ahlisunnah Wal Jama‟ah fi al-
„Aqidah, ter. Muhammad Yusuf Harun MA. Prinsip-Prinsib Aqidah
Ahlussunnah Wal Jama‟ah. (Jakarta: Gema Insani Press 1993)

Ibrahim, Khalid Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibnu


Taimiyah, terj. Masroni, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995 )

Ilyas, Yunahar Lc., MA. Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI 2000)

Khoiri, Imam. Dekontruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam. (Yogyakarta:


LkiS.2000)

LIPPM, Pak Natsir 80 Tahun; Penghargaan dan Pnghormatan Generasi Muda,


(Jakarta: Media Da‟wah Anggota IKAPI, 1981)
66

Madjid, Nurcholish. Kaki Langit Peradaban Islam. (Jakarta: Paramadina, 1997)


Majid, Nurholis, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)

Malik, „Abdul bin Ahmad Ramadhani. Sittu Durar min Ushuli Ahli Atsar,terj.
Mubarak B. M Bamuallim, Lc. 6 Pilar Utama Dakwah Salafiyyah.
(Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟I 2005)

M. Howard, Pederspeil, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad


XX, (Ypgyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996)

Munawir Sjadzaki. Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran),
(Jakarta: UI- Press 2008)

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya, (Jakarta: UI-Press


1985)

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,


(Jakarta: Bulan Bintang,1982)

Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam;


Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia,
(Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005)

Rizal, Rusli. Berlebih-lebihan dalam agama, (jakarta: Pustaka Azzam 2002)

Sairin, Weinata, MTh. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 2008)

Sami‟, Ali al-Nasysyar, dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah


Syar‟iyah; Etika Politik Islam, terj. H. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena
(Djawatan Penerangan Agama), 1960)

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: UI-Press, 2003)

Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada, 2005)
67

Suwito, MA, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008)

Taimiyah, Ibnu, Manhaj Da‟wah Salafiyah, terj. Amiruddin bin Abdul Jalil
(Jakarta: Pustaka Azzam 2001)

Taimiyah, Ibnu Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim, Majmu‟ al-Fatawa,


(Riyadh: Darul Buhuts)

Taimiyah, Ibnu, Tawassul wa Wasilah, Terj. Prof. Dr. Ahmad Tafsir (Bandung:
PT Remaja Rosada, 2006)

Taimiyah, Ibnu, Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiayh, Jilid 3 terj. Abdurrahim Sufandi,
dkk. Kumpulan fatwa Ibnu Taimiyah; Kitab Aqidah Salaf, Kita Nama-
Nama dan Sifat-Sifat Allah SWT (Jakarta; Pustaka Azzam, 2010)

Taimiyah, Ibnu, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa


Ibnu Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan,
Hukum Murtad, Pengadilan Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan
Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008)

Taimiyah, Ibnu, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul


Munir. Lc, dkk. Ibadah Tanpa Peantara, Kaidah-Kaidah dalam
Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006)

Thaha, Ahmadie, Ibnu Taimiyah Hidup dan Pikiran-Pikirannya, (Surabaya: Bina


Ilmu, 1982)

Zaini, Syahminan, Pedoman Aqidah Islam, (Bekasi: Pustaka Darul Ilmi 2006)

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010)

Anda mungkin juga menyukai