AQIDAH ISLAMIYAH
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)
Oleh
Frengki Swito
NIM: 107011000943
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)
Oleh
Frengki Swito
NIM: 107011000943
Pembimbing,
Dr. Khalimi, M. Ag
NIP: 196505151994031006
Frengki Swito
ABSTRAK
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT penulis sampaikan, shalawat dan salam
penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarganya dan para
sahabatnya yang telah membawa umatnya dari alam kegelapan menuju alam
terang benerang.
Berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu, perkenankanlah penulis menghanturkan terima kasih
kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu baik dari segi spiritual
maupun material terhadap penyelesaian skripsi ini, yaitu antara lain:
1. Dra. Nurlena Rifai, MA., Ph.D Pgs. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan
pengarahan dan bimbingan.
3. Dr. Khalimi, M.Ag, pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang ditengah-
tengah kesibukannya beliau menyediakan waktu untuk memberikan motivasi,
pengarahan, bimbingan dan petunjuk dengan kesabaran dan keikhlasan.
4. Bapak Ibu Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan yang telah
banyak memberikan masukan dan bimbingan serta arahan.
5. Pimpinan dan staf Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu memberikan fasilitasnya.
I
6. Ayahanda Sahori dan Ibunda Darmia selaku orang tua penulis yang telah
memberikan doa restu, dorongan dan bantuan baik moril maupun materil
spiritual kepada penulis dengan penuh kesabaran dan hrapan sehingga penulis
dapt menyelesaikan skripsi ini.
7. Kakanda Ashadi dan Ratna Juwita serta adik penulis yang bernama Ivan Syah,
yang selalu memberikan dorongan kesemangatan sehingga skripsi ini bisa
terselesaikan.
8. Tema penulis terutama seluru anggota kelas VIII B 2007 Pendidikan Agama
Islam yang telah memberikan dorongan dan masukan kepada saya sehingga
saya bisa menyelesaikan skripsi ini.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak
mungkin penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata, penulis hanya dapat memohon doa kepada Allah SWT semoga
keikhlasan semua pihak dalam membantu kelancaran penulisan skripsi ini
mendapatkan balasan dari-Nya. Jazaakumullahu khairan katsiran.
Frengki Swito
II
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
III
3. Karya-karya Ibnu Taimiyah ...................................................... 35
B. Karakteristik Pemurnian Ibnu Taimiyah ....................................... 37
C. Jihad yang Benar Dalam Membela dan Mempersatukan
Aqida dalam Pandangan Ibnu Taimiyah........................................ 44
BAB IV PENGARUH PEMURNIAN IBNU TAIMIYAH DI
INDONESIA
A. Gerakan Muhammadiyah ............................................................. 52
B. Gerakan al-Irsyad ......................................................................... 55
C. Gerakan Persatuan Islam (PERSIS) .............................................. 57
BAB V KESIMPULAN
A. Penutup........................................................................................ 61
B. Saran............................................................................................ 63
IV
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Pembaharuan(Pemurnian) merupakan terjemahan bahasa Barat
“modernisasi,” atau dalam bahasa Arab al-tajdid, mempunyai pengertian “pikiran,
gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan
perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern.” Dengan jalan itu pemimpin-pemimpin Islam modern
mengharap akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran kepada
kemajuan. 1
Tajdid (pembaharuan) dalam istilah islam berarti menghidupkan kembali
rambu-rambu Islam dan menegakkan kembali pilar-pilar Islamiyah agama ini
dengan menjaga nash-nash yang shahih secara bersih, dan membersihkan agama
ini dari bid‟ah dan penyimpangan yang mengotorinya, baik dalam bidang
Nazhariyah (pemikiran), Amaliyah (ibadah) maupun bidang Sulukiyah (perilaku
akhlak).2
Ada sejumlah ayat yang dapat dikemukakan yang sering menjadi dasar
bagi kaum muslim dalam mencari kemurnian Islam yaitu ayat al-Quran yang
paling sering dikutip adalah :
1
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang,1982)hal. 1
2
Agus Hasan Bashari, LC. Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi al-Qur‟an, (Surabaya:
Pustaka as-Sunnah 2003)hal.35
1
2
Artinya: “Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kamu sekalian agamamu,
dan Aku sempurkan nikmat-Ku bagimu, Aku ridhai Islam sebagai agamamu” (QS.
5: 3). Juga sebuah hadits yang sering dikemukakan adalah yang artinya: “Aku
tinggalkan untukmu dua perkara yang tidak akan sesat bila kamu sekalian
memegangi keduanya (yakni) Al-Quran dan Sunnah Rasulullah”.
Gerakan kemurnian (pembaharuan) dilakukan karena terjadinya krisis
akidah, kemerosotan moral, kelemahan politik dan ekonomi, serta jumud dalam
pemikiran. Dapat diartikan juga bahwa kondisi tersebut terjadi karena adanya
sikap yang melampaui batas dalam urusan agama yang tidak sesuai dengan
syari‟at Islam.
Sesunguhnya sikap melampaui batas itu tidak hanya terdiri dari satu
macam, melainkan terdiri dari beberapa macam tergantung dengan jenis perbuatan
yang dilakukan para hambah. Akan tetapi secara umum terbagi menjadi dua
macam, yaitu: i‟tiqadi atau yang berhubungan dengan akidah dan amali atau yang
berhubungan dengan muamalah.
Terdapat banyak faktor yang menyebabkan seseorang atau kelompok
melenceng dari jalan yang lurus dan jauh dari manhaj yang benar yang telah
dibawa Rasulallah SAW dan manhaj para sahabat dan tabi‟in setelah mereka. Di
antara faktor-faktor itu terdapat faktor-faktor yang bersifat eksternal dan internal.
Salah satu contoh faktor eksternal adalah masuknya para misionaris dari umat
Yahudi, Majusi dan dari penganut agama-agama sesat lainnya ke dalam agama
islam dengan tujuan untuk melakukan tipu daya, serta ambisi mereka untuk
menghancurkan islam lalu menggantikan agama islam dengan kesesatan. Mereka
melakukan itu dengan cara menjauhkan kaum muslimin dari agama mereka yang
benar dengan menimbulkan keraguan di hati mereka terhadap agama mereka,
serta dengan membuat hal-hal baru di dalam agama yang bertentangan dengan apa
yang telah dijalani oleh golongan Salafus-Shalih dari umat ini.
3
3
Rusli, Rizal. Berlebih-lebihan dalam agama, (jakarta: Pustaka Azzam 2002)hl 86-89
4
Imam Khoiri. Dekontruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam. (Yogyakarta:
LkiS.2000)hl. 19-20
4
Tema utama pemikiran Ibnu Taimiyah ialah gerakan al-ruju ila al-Quran
wa As-Sunnah (kembali pada sumber ajaran Islam, yakni Alquran dan sunah).
Dengan tekanan pada pemurnian akidah, gerakan ini sering disebut dengan muhyi
atsar al-salaf (menghidupkan kembali ajaran ulama salaf yang saleh), yakni
praktik ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW dan tiga
generasi sesudahnya, yakni generasi para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.
Gerakan pemurnian yang diusung Ibnu Taimiyah saat itu sejalan dengan
pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal, yang menghidupkan ajaran salafiyah, tetapi
sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran akidah, tetapi terbuka pada
ijtihad. Karenanya, dalam perkembangan berikutnya, gerakan pemurnian tersebut
menjadi bersenyawa dengan spirit ijtihad dan berorientasi pada bagaimana
membangkitkan kembali kemajuan umat Islam dari kemunduran dan kejumudan.
Ibnu Taymiyyah memandang bahwa Islam telah dikotori oleh tasawuf dan tarekat
yang sama sekali tidak berorientasi kepada Sunnah Nabi. Tarekat yang dimaksud
mengetengahkan konsep-konsep wali, wasilah, dan karamah yang mengandung
unsur khurafat dan syirik seperti kelompok sufi al-Ahmadiyah pasa masa Ibnu
5
5
Ibnu, Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu
Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan
Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal.23-
24
6
Nurcholish, Madjid. Kaki Langit Peradaban Islam. (Jakarta: Paramadina, 1997)hal.157
6
dengan kalimat yang lebih rinci: Bagaimanakah akidah islam yang benar dalam
pandangan Ibnu Taimiyah, yaitu aqidah para salafus shalah(ahlu sunnah wal
jamaah)?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui konsep kemurnian
ajaran agama islam dalam pandangan Ibnu Taimiyah. Salah satu indikasinya
adalah penerapan akidah yang benar tersebut dalam kehidup umat islam. Maka
kemurnian ajaran/ akidah yang benar harus diterapkan sebagaimana pandangan
pemikiran Ibnu Taimiyah yaitu gerakan al-ruju ila al-Quran wa As-Sunnah
(kembali pada sumber ajaran Islam, yakni Alquran dan sunah), dengan tekanan
dalam pemurnian akidah.
Hasil yang diperoleh dari skripsi ini diharapkan memberi manfaat praktis
yang dapat menumbuh kembangkan akidah yang benar yang sesuai dengan
syari‟at islam baik itu dalam hubungannya dengan Allah atau dengan sesama
manusia itu sendiri. Serta menuntun umat islam sehingga terhindar dari kesesatan
dan bangkitan dari keterpurukan.
F. Metodelogi Penelitian
1. Jenis Penelitain
Penelitian yang sedang dilakukan ini, jika dilihat dari bahan-bahan atau
obyek yang akan diteliti, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian
kepustakaan (library research) karena penelitian ini menggunakan buku-buku dan
majalah-majalah. Jika penelitian ini dilihat dari segi cara analisisnya, maka
peneltian ini bersifat kualitatif.
Cara penyajiannya bersifat deskriptif analitik. Penyajian deskriptif adalah
menjelaskan tentang pengertian, maksud dan tujuan dari kemurnian ajaran agama
islam serta pengaruhnya dalam masyarakat. Analisisnya adalah menganalisa
pemikiran Ibnu Taimiyah dengan berbagai dalil-dalil yang memiliki keterkaitan,
baik dari al-Qur‟an, Hadits, dan beberapa disiplin ilmu pengetahuan.
2. Metode Penulisan
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan. Untuk mendapatkan data-data penelitian, penulis mengupulkan
8
2. Teknik Penulisan
Teknik penulisan Skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan
Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
BAB II
KONSEP KEMURNIAN AQIDAH ISLAM
A. Pengertian Kemurnian (Tajdid)
Secara bahasa, kata tajdid berarti ia merupakan proses menjadikan sesuatu
yang terlihat usang untuk dijadikan baru kembali. Dalam hal ini tajdid-
aktivitas koreksi ulang atau konseptualisasi ulang pada hakikatnya selalu
berorientasi pada pemurnian yang sifatnya kembali pada ajaran asal dan bukan
adopsi pemikiran asing dalam pelaksanaannya diperlukan pemahaman yang
dalam akan paradigma dan pandangan hidup islam yang bersumber dari al-
Qur‟an dan as-Sunnah, serta pendapat para ulama yang terdahulu yang secara
ijma‟ dianggap shahih. Selain itu diperlukan juga pemahaman terhadap
kebudayaan asing dan pemikiran yang menjadi asasnya, namun pemahaman
yang dimaksud bukanlah mengambil konsep asing tersebut.7
Pemurnian dalam istilah islam berarti menghidupkan kembali rambu-
rambu Islam dan menegakkan kembali pilar-pilar Islamiyah agama ini dengan
menjaga nash-nash yang shahih secara bersih, dan membersihkan agama ini
dari bid‟ah dan penyimpangan yang mengotorinya, baik dalam bidang
Nazhariyah (pemikiran), Amaliyah (ibadah) maupun bidang Sulukiyah
(perilaku akhlak).8
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembaharuan islam
bukanlah sesuatu yang evolusioner melainkan lebih cenderung devolusioner,
7
http://www.scribd.com/doc/15189839/Konsep-Pembaruan-Dalam-Islam
8
Agus Hasan Bashari, LC. Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi al-Qur‟an, (Surabaya:
Pustaka as-Sunnah 2003)hal.35
10
11
9
DSyamsudin Arif. Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Depok: Gema Insani 2008)hal.
167
10
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005) hal. 302
12
11
Darwis Abu Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar 2008)hal. 48-53
13
sudah masyur diketahui bahwa pembagian ini sudah disepakati oleh jumhur
ulama dengan dalil-dalil yang shahih dan qoth‟i.
Dalam bahasa Arab, Tuhan disebut sebagai Allah. Kata ini secara
etimologis terhubung dengan ilah “ketuhanan“, Allah adalah juga kata yang
digunakan oleh orang Kristen (Nasrani) dan Yahudi Arab sebagai terjemahan
dari ho theos dari Perjanjian Baru dan Septuaginta.
Nama “Allah” tidak memiliki bentuk jamak dan tidak diasosiasikan
dengan jenis kelamin tertentu. Dalam Islam sebagaimana disampaikan dalam
Al Qur‟an dikatakan:
“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis
kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-
pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu.
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha
Mendengar dan Melihat”. (QS 42-11)
Allah adalah Nama Tuhan (ilah) dan satu-satunya Tuhan sebagaimana
perkenalan-Nya kepada manusia melalui Al Quran :
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS.
20 : 14)
Pemakaian kata Allah secara linguistik mengindikasikan kesatuan. Umat
Islam percaya bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah sama dengan Tuhan
umat Yahudi dan Nasrani, dalam hal ini adalah Tuhan Ibrahim. Namun, Islam
menolak ajaran Kristen menyangkut paham Trinitas dimana hal ini dianggap
Politheisme.
Mengutip Qur‟an, surat An-Nisa(4) :171:
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agama dan
janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.
Sesungguhnya Al-Masih, Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang
diciptakan dengan kalimat-Nya) yang disampaikannya kepada Maryam dan
(dengan tiupan ) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya. Dan janganlah kamu mengatakan :”Tuhan itu tiga”,
berhentilah dari ucapan itu. Itu lebih baik bagi kamu. Sesungguhnya Allah
Tuhan yang Maha Esa. Maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di
14
4. Hakikat.
Inti ajaran diserap/diterima tetapi syariatnya tidak dilaksanakan.
Contohnya, karena inti ajaran sholat adalah berdoa dan ingat kepada Allah,
maka mereka meninggalkan sholat. Yang mereka lakukan hanya doa dan
ingat. Melakukan puasa cukup hanya tidak memakan makanan tertentu saja
atau puasa khusus lainnya tanpa tuntunan syariat.
Untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, Islam harus
dihayati dan diamalkan secara kaffah (utuh), tidak sepotong-potong atau
sebagian. Penghayatan Islam secara kaffah dilakukan dengan cara
menggabungkan penghayatan yang sepotong-potong, sehingga menghasilkan
penghayatan yang utuh.
2. Kejelasan Ruang Lingkup Aqidah Islam
Meminjam sistematika Hasan al-Banna maka ruang lingkup pembahasab
aqidah adalah:
a. Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang behubungan
dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-
sifat Allah, af‟al Allah dan lain-lain.
b. Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang kita-kitab
Allah, mu‟jizat, keramat dan lain sebagainya.
c. Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis
Syaitan, Roh dan lain sebagainya.
d. Sam‟iyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bias
diketahui lewat sam‟I (dail naqli berupa al-Qur‟an dan Sunnah) seperti
alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surge neraka
dan lain-lain sebagainya.12
Disamping sistematika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti
sistematika arkanul iman yaitu: “ Iman kepada Allah, iman kepada Malaikat
(termasuk pembahasan tentang makhluk rohani lainnya seperti Jin, Iblis dan
12
Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., MA. Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI 2000) hal. 6
16
Syaitan), iman kepada kita-kita Allah, iman kepada Nabi dan Rasul, iman
kepada Hari Akhir, dan iman kepada Taqdir Allah.
3. Kejelasan Sumber Aqidah Islam
Para ulama, semoga Allah merahmati mereka semua, telah sepakat aqidah
islam yang suci mulia ini bersumber kepada:
1. Al-Qur‟an
Secara bahasa al-Qur‟an berasal dari kata qur‟aana yang artinya bacaan
atau yang dibaca, yang asal katanya adalah qara. Inilah pendapat yang terkuat
menurut Dr. Shubhi Ash-Shalih yang dikutip pula oleh Depag RI. Sedangkan
istilah syara‟, al-Qur‟an adalah kalam (firman) Allah SWT yang merupakan
mu‟jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW dan
yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya
adalah ibadah. 13
Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy, mengatakan al-Qur‟an itu wahyu illahi
yang diturunkan kepada Muhammad SAW, yang telah diturunkan kepada kita
umatnya dengan jalan mutawatir, yang dihukum kafir orang yang
mengingkarinya.14
Setelah ditampilkan berbagai definisi, dapat dikatakan bahwa al-Qur‟an
adalah firman Allah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui
Malaikat Jibril secara mutawatir, berbahasa Arab, sebagai mu‟jizat, untuk
menuntun manusia, agar memperoleh kebahagian dunia dan akhirat serta
membacanya mendapat pahala.
Bagi kaum muslimin, al-Qur‟an merupakan sumber utama dalam segala
hal yang meliputi masalah aqidah (keyakinan), syari‟at (hukum), akhlak
(moral), dan masalah-masalah lainnya yang menyangkut tashauwur
(konsepsi). Mereka meyakini bahwa al-Qur‟an kalam Allah yang merupakan
13
Darwis Abu Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar 2008) hal. 10
14
Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an (Jakarta: Bulan
Bintang 1988) hal. 17
17
15
Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim, Majmu‟ al-Fatawa, (Riyadh:
Darul Buhuts) Jilid 13, hal.157
16
Darwis Abu Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar 2008) hal. 10
18
Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan
tanpa fondasi.
Kalau ajaran Islam kita bagi dalam sistematika Aqidah, Ibadah, Akhlak
dan Mu‟amalat atau Aqidah, Syari‟ah dan Akhlah, atau Iman, Islam dan Ihsan,
maka ketiga aspek atau keempat aspek di atas tidak dapat dipisahkan sama
sekali. Satu sama lain saling terikat.
Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan
ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan bermu‟amalat dengan
baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah SWT kalau tidak
dilandasi dengan aqidah. Seseorang tidaklah dinamai berakhlak mulia bila
tidak memiliki aqidah yang benar. Begitu seterusnya bolak- balik dan
bersilang. 17
Dengan demikian, aqidah Islam adalah aqidah yang dapat menyelamatkan
umat manusia yang penuh dengan segala kekurangan dan kelemahan dari
berbagai penyimpangan dan penyelewengan yang berakibat kepada
kezhaliman. Karenanya, aqidah Islam merupakan aqidah yang bersumber dari
Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur, Yang Maha Tahu dengan segala
persoalan yang dihadapi oleh para hambaNya, berfunsi untuk menuntun agar
manusia tersebut dapat menjalani kehidupannya sebagaimana layaknya
seorang hambah Allah yang sesunggunya.
C. Upaya-Upaya Pemurnian Aqidah Islam
Kemunculan ide pembaruan dilatarbelakangi oleh suatu proses yang
panjang. Sejak awal abad ke-2 H (8M). Islam dalam perkembangan
dakwahnya yang makin meluas mengharuskan Islam berinteraksi dengan
peradaban dan agama lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara
Islam dengan pemikiran asing. Hal ini mendorong para pemikir Islam untuk
membahas aqidah Islam dari berbagai segi. Termasuk mengemukakan
argumentasi untuk mempertahankan aqidah Islam ketika menghadapi aqidah
lain (terutama Nashrani dengan menggunakan cara berfikir filsafat Yunani).
Akhirnya untuk menghadapi orang-orang Nashrani, umat Islam pun
17
Darwis Abu Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah……………..hal. 10
19
18
http://www.angelfire.com/md/alihsas/tinjauan.html
19
„Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani. 6 Pilar Utama Dakwah Salafiyyah. (Jakarta:
Pustaka Imam asy-Syafi‟I 2005)hal. 257
BAB III
GERAKAN PEMURNIAN AQIDAH IBNU TAIMIYAH
A. Biografi Ibnu Taimiyah
1. Riwayat Hidup Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah, nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Taqiyuddin
Ibnu as-Syaikh Syihabuddin Abi al-Mahasin Abdul al-Halim Ibnu as-Syaikh
Majdi ad-Din Abi al-Barakat Abdu as-Salam Ibnu Abi Muhammad Abdillah Abi
al-Qosim al-Khadhri. 20 Ia lahir pada tanggal 10 R. Awal 661 H./ 22 Januari 1263
M. di Harran, daerah Palestina dekat Damaskus, dari keluarga ulama Syiria yang
setia dengan ajaran puritan dan amat terikat dengan mazhab Hambali. 21 Kakeknya
adalah Abdu as-Salam adalah seoarang ulama pemuka agama tersohor di Bagdad.
Tradisi ini turun-temurun sampai Abdul al-Halim ayahnya Ibnu Taimiyah yang
menjabat kepala sekolah terkemuka di Damaskus. 22
Julukan Ibnu Taimiyah adalah Abul Abbas, namanya adalah Ahmad dan
gelarnya adalah Taqiyuddin. Lengkapnya adalah Abul Abbas Ahmad Taqiyuddin.
Sedangkan sebab munculnya laqab “Ibnu Taimiyah” menurut suatu riwayat,
Kakek Syaikhul Islam, Muhammad bin Khadir pergi menunaikan haji dan dia
memiliki seorang istri yang tengah hamil (yang ditinggalkannya) melewati daerah
Taima‟. Disana kakenya melihat seorang anak perempuan masih kecil keluar dari
tempat persembunyiannya (karena sedang bermain). Ketika sang kakek kembali
20
Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam
Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 203
21
Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibnu
Taimiyah, terj. Masroni, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995 ) hal. 20
22
Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:
Pustaka Mantiq, 1995) hal. 47
21
22
23
Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu
Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan
Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal. 18
24
Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi,
terj. Faisal Saleh, Lc. M.Si, Khoerul Amru Harahap, Lc, M. Hi. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2005) hal. 17
23
majelis ilmu guru beliau yang pertama, asy-Syekh Zainuddin Ahmad bin ad-
Da‟im al-Maqdisi. 25
Ketika pindah ke Damaskus tersebut, Ibnu Taimiyah baru berusia 6 tahun.
Orang tuanya mempunyai pandangan jauh kedepan dan mengerti pentingnya
pendidikan. Oleh sebab itu ia diasuh dan di didik dengan baik. Dengan pendidikan
yang begitu terarah, sehingga dalam usia yang relatif muda sudah hafal al-Qur‟an.
Di samping potensi kecerdasannya, lingkungan keluarga, ia sangat mencintai ilmu
dan giat mencarinya pada siapa, dimana dan kapan saja. Tiada hari baginya tanpa
membaca, mendengar dan berdiskusi.
Di Damaskus Ibnu Taimiyah berhasil menyelesaikan studinya, di bawa
bimbingan sang ayah. Dirasah dan studi yang ditekuninya didasarkan paradigma
dan kaedah-kaedah mazhab Hambali. Ia jg banyak belajar kepada syekh-syekh
yang lain, oleh sebab itu tidak mengherankan jika kemudian ia sangat menguasai
berbagai disiplin ilmu seperti, alQur‟qn, hadist, tafsir, fiqh, ushul fiqh, bahasa,
berhitung, logika dan filsafat,26 dan juga belajar kaligrafi, ilmu olah raga.
Ilmu tafsir adalah disipil ilmu yang paling disukai oleh Ibnu Taimiyah.
Minatnya terhadap ilmu yang satu ini kelihatannya sangat begitu tinggi, hal ini
dapat dipahami dari pernyataannya bahwa dia telah mempelajari lebih dari seratus
kitab tafsir al-Qur‟an.27 Agaknya minat dan kecerdasannya dalam lapangan ilmu
tafsir inilah; yang membuat ia begitu independen dalam pemahamannya dalam
berbagai persoalan keagamaan, disamping penguasaan ilmu lainnya.
Disebutkan bahwa, pendidikan Ibnu Taimiyah dimulai dengan mengaji
kepada ayah dan pamannya. Ia juga belajar kepada beberapa ulama terkemuka
terutama di Damaskus dan sekitarnya. Jumlah ulama dan guru besar Ibnu
25
Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu
Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan
Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal. 19
26
Persoalan filsafat banyak dibicarakannya,ketika melancarkan kritik terhadap kesesatan
dan kekeliruan dalam alur logika, terutama filsafat Yunani. Masalah tersebut banyak dimuatnya
dalam sebuah kitab; Naqd al-Mantiq, lihat Nurholis Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984) hal. 39-40
27
Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:
Pustaka Mantiq, 1995) hal. 45
24
Taimiyah mencapai lebih dari dua ratus syikh. 28 Di antara sekian banyak guru
yang telah mentransformasi ilmunya dapat disebutkan antara lain:
1. Syam ad-Din Abd Rahman Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad al-Maqdisi
(597-682 H.) adalah seorang ahli hukum Islam (fiqih) dan Hakim Agung
pertama dari kalangan mazhab Hambali di Siria, setelah Sultan Baybars
(1260-1277 M) melakukan pembaharuan di bidang peradilan. 29
2. Al-Munaja‟ Ibnu „Utsman al-Tanukhi (611-695 H.). Ia seorang guru Ibnu
Taimiyah di bindang fiqih, tokoh tersohor bidang fiqih pada zamannya di
Syam (Suriah). Ia juga seorang Mufassir dan ahli nahwu, pemberi fatwa
dan pengarang. Karangannya antara lain; Syarh al-Mughni sebanyak
empat jilid, Tafsir al-Qur‟an, ikhtisar al-Mashul, dan lain sebagainya.
3. Ibnu Abd al-Qawiyy (603-699 H.) adalah seorang ahli hadist, fiqh, nahwu
dan pengarang, karyanya antara lain; Kitab al-Furuq.
4. Ibnu Abd al-Da‟im (557-678 H.) seorang guru Ibnu Taimiyah di bidang
hadist. Di antara ulama yang meriwayatkan hadist darinya adalah al-
Syaikh al-Muhy al-Din al-Nawawi dan Ibnu Daqiq al-„id. Ibnu Taimiyah
belajar dengannya Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Shahih Enam
(Kutub al-Sittah).30
Melihat jumlah dan kualitas guru-guru Ibnu Taimiyah, di samping
keberadaan sosok Ibnu Taimiyah sendiri, maka dapat dimengerti mengapa ia
menjadi seorang yang berilmu luas, kritis dan berpandang orisinil. Dan pada
gilirannya ia mampu melahirkan muri-murid yang memiliki kualitas ilmu
keagamaan yang handal; al-Hafiz Ibnu Qoyyim, 31 al-Hafiz Ibnu Katsir, 32 al-
Hafiz IbnuAbdil Hadi, 33 al-Hafiz Ibnu Rajab34 dan lain-lain.
28
Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,
dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006)
cet I hal. 16
29
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008) hal. 85
30
Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:
Pustaka Mantiq, 1995) hal. 45
31
Ia adalah murid yang paling pintar, yakni seorang yang ahli fiqh mazhab Hambali, ahli
ilmu ushul, hadist, nahwu, sastra dan orator dan karyanya tidak kurang dari 40 jilid (w. 751 H.)
lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah
Reformasi... hal. 18
25
32
Ia adalah ahli tafsir, hadist dan fiqh. Ia adalah seorang yang bermazhab Syafi‟i namun
berguru kepada Ibnu Taimiyah dan merasa takjub kepadanya dan karangnya yang paling populer
tafsir al-Qur‟an al-Azhim (tafsir Ibnu Katsir) dan buku yang lain, al-bidayah wa an-Nihayah, lebih
jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi...
hal. 19-20
33
Seorang faqih, mempuni, ahli dalam ilmu tajwid, ahli hadist, hafizh, ahli nahwu, cerdas
dan mempunyai wawasan yang luas, lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah
Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi... hal. 19
34
Seorang imam yang hafiz yang menjadi rujukan bagi faqih, seorang ulama, guru para
ahli hadist serta penasehat kaum muslimin, lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu
Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi... hal. 20
35
Ali Sami‟ al-Nasysyar dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah;
Etika Politik Islam, terj. H. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena (Djawatan Penerangan Agama),
1960) hal. 16
26
36
Ahmadie Thaha, Ibnu Taimiyah Hidup dan Pikiran-Pikirannya, (Surabaya: Bina Ilmu,
1982) hal. 20-21
37
Komentar Siradjuddin Abbas, I‟tiqad Ahlussunnah Wal-Jama‟ah, (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1996) hal. 278
38
M. Atiqul Haque, Hundred Muslim Heroes of the World , terj. Ira Puspitorini, 100
Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia (Jogjakarta: Diglossia, 2007) hal. 82
39
Mamalik adalah nama dinasti yang berkuasa di Mesir (1250-1517) setelah Dinasti al-
Ayyubiyah runtuh. Dinasti Mamalik ni dibagi menjadi dua periode. Pertama, periode kekuasaan
Mamluk Bahri, sejak berdirinya (1250 M) sampai berakhirnya pemerintahan Hajji II tahun 1389
M. Kedua periode kekuasaan Mamluk Burji, sejak berkuasanya Burquq untuk kedua kalinya tahun
1389 M sampai kerajaan ini dikalahkan oleh kerajaan Usmani tahun 1517 M.
27
kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Sebagai akibat sering
terjadi perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat tinggi. Dalam satu
wilaya banyak macam bangsa; Arab asal Irak, Arab asal Suriah, Mesir, Turki,
Tartar yang jatuh tertawan dan kemudian menetap, Armenia, dan sebagainya,
sedang mereka semua berbeda satu sama lain dalam adat istiadat, tradisi, prilaku,
dan alam pikiran. Hal itu jelas menimbulkan kerawanan-kerawanan kehidupan
bernegara. Dalam suasana demikian sukar diciptakan stabilitas politik, keserasian
sosial dan pemupukan moral serta akhlak. Yang lebih parah lagi, pada waktu itu
masalahnya tidak hanya banyak agama yang berbeda satu sama lain, tetapi juga
banyak mazhab, termasuk juga mazhab-mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan
Hambali. 40
Disamping kondisi sosial politik yang begitu semerawut, ternyata pada
tataran selanjutnya, bermplikasi pada dinamika perkembangan ilmu pengetahuan,
dimana kondisi keilmuan pada abad ini boleh dikatakan kurang mendapat
perhatian, sehingga tidak diperluas dan diperdalam. Kecendrungan yang ada
hanya mengkopi dan mengambil “begitu saja” pada pemikiran dan pengkajian
dalam disiplin ilmu tertentu. Tiap-tiap penganut mazhab fiqih bersikap kaku, tidak
memiliki kelembutan dan kelonggaran, meskipun ada semboyan; bahwa
kebenaran itu berkisar pada mazhab empat, kenyataannya, para pengikut masing-
masing mazhab telah membatasi kebenaran dalam mazhabnya. Kelapangan
mereka tidak lebih dari mengatakan “ Imam kami melihat kebenaran yang boleh
jadi salah, sedangkan selain kami melihat kesalahan yang boleh jadi benar. 41
Dengan kondisi seperti ini, tidak jarang terjadinya pertentangan-pertentangan
sengit, karena timbulnya sentimen politik dan ambisi perorangan demi
kepentingan mazhab dan kelompok tertentu. Sehingga pada puncaknya mereka
sepakat untuk mengklaim, bahwa pintu ijtihad perlu ditutup.
Kalau Ibnu Taimiyah sering keluar masuk penjara, bukan berarti dia
memusuhi penguasa, namun tidak lebih dari pengaduan atau tuntutan dari
40
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-
Press, 2003) hal. 80-81
41
Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:
Pustaka Mantiq, 1995) hal. 37
28
42
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-
Press, 2003) hal. 81
43
Juhaya S. Praja, Epistemologi Hukum Islam, (Jakata: 1988) hal. 36
44
Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,
dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006)
cet I hal. 70
45
Ali Sami‟ al-Nasysyar dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah;
Etika Politik Islam, terj. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena (Djawatan Penerangan Agama), 1960)
hal. 17
29
46
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-
Press, 2003) hal. 81-82
30
100.000 orang pelayat bahkan lebih. 47 Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat
dan keridhaan-Nya kepadanya, Amin.
2. Perkembangan Spritual dan Intelektual Ibnu Taimiyah
Sejak masih kecil Ibnu Taimiyah sudah mulai menghafal al-Qur‟an, yang ia
lanjutkan dengan menghafal hadist serta riwayatnya, ia juga telah belajar kitab
dari syikh ternama dan dari buku-buku induk dalam hadits seperti Musnad Imam
Ahmad, Shahih al-Bukhari dan Muslim, Jami‟ at-Tirmidzi, Sunnah Abi Dawud
dan an-Nasa‟i, Ibnu Majah serta Darul Quthni.
Para ulama berkata; “Buku pertama yang ia hafal adalah “al-Jam‟u baina as-
Shahihaini” karya Imam al-Humaidi”, mereka juga berkata, “Sesungguhnya ia
telah mendengar hafalan Musnad Imam Ahmad beberapa kali.”
Selain memperdalam ilmu hadits ia juga belajar ilmu lain seperti matematika,
sangat perhatian terhadap ilmu-ilmu bahasa Arab, menghafal beberapa matan
dalam berbagai disiplin ilmu dan sejarah bangsa Arab klasik, ia mempunyai
pandangan dan perhatian khusus terhadap buku Sibawaih sehingga buku ini
didalami dengan sangat teliti. 48
Oleh karena kesungguhan dan kecerdasan otaknya, maka sebelum berusia
genap 20 tahun, ia telah menjadi seorang yang alim yang disegani. Dalam usianya
yang masih sangat muda itu, Ibnu Taimiyah telah menjadi seorang ahli Agama
dan ahli hukum. Bahkan menurut Prof. Gibb, ia berhasil menjadi professor dari
Mazhab Hambali dalam ilmu hukum. 49 Ia memiliki perhatian yang tinggi terhadap
fiqih Hambali, dengan cara mengikuti dan meneliti mazhab ini dari masa ke masa,
namun ia tidak meninggalkan mazhab lain terutama Mazhab Syafi‟i.
Pada usianya yang belum genap 20 tahun itu juga ia harus kehilangan
ayahnya. Dan pada usia 22 tahun kemudian Ibnu Taimiyah menggantikan posisi
ayahnya sebagai guru besar hukum mazhab Hambali serta menggantikannya
47
Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam
Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 225-226
48
Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam
Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 205-206
49
Ali Sami‟ al-Nasysyar dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah;
Etika Politik Islam, terj. H. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena (Djawatan Penerangan Agama),
1960) hal. 9
31
dalam mengajar Hadits; sejajar dengan Ibnu Daqiq a-„Ied dan para ulama besar
lainya yang pada zaman itu sedang naik daun, dan sudah mengajar di berbagai
sekolah dan Masjid Jami‟ di Damaskus. Namun demikian kredebilitas Ibnu
Taimiyah bila tidak bisa dikatakan melebihi, tidak lebih rendah pula.
Ayahnya (Abdul Hamid bin Abdussalam Syihabuddin) merupakan sebaik-
baik pendidik bagi anaknya, karena ia merupakan ulama besar dalam Mazhab
Hambali serta seorang ulama Hadits yang sangat otoritatif (menonjol). Ia melihat
anaknya memiliki kelebihan dibanding teman sebayanya dalam hal kesungguhan
dan perhatian kepada hal-hal yang bermanfaat dalam bidang ilmu dan studi, akal
dan hatinya terbuka terhadap hal-hal disekelilingnya, ia memiliki ingatan yang
cukup tajam, pikiran yang selalu siaga, hafalan yang cukup kuat, pemikiran yang
lurus serta kecerdasan semenjak kanak-kanak.
Ia menggunakan seluruh apa yang dianugerahkan Allah kepadanya di jalan
ilmu pengetahuan untuk mendalami pendapat dan gagasan para Sahabat. Dengan
menggunakan methode induktif ia meneliti dan mempelajari kajian-kajian fiqih
yang telah ditulis oleh ulama-ulama yang sangat otoritatif dalam bidang teori dan
esperimen empiris seperti seperti Umar bin al-Khathab, Ali bin Abi Thalib,
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhum. Ia juga sangat intens mempelajari
fatwa-fatwa Said bin al-Musayyib, Ibrahim Nahk‟i, a-Qasim bin Muhammad dan
ulama-ulama Tabi‟iin yang lain.
Semua ilmu ini ia sinergikan dengan pengetahuan yang berkembang pada
zamannya, sehingga dapat disimpulkan tidak ada satu bidang ilmu pun yang tidak
ia dalami.
Salah seorang ulama zamannya berkata; “Sungguh Allah telah melembutkan
ilmu pengetahuan dihadapan Ibnu Taimiyah sebagaimana Allah Subhanallah wa
Ta‟ala telah melembutkan besi dihadapan Nabi Dawud, apabila ia ditanya tentang
disiplin ilmu tertentu, orang-orang yang saat itu mendengar jawabannya pasti akan
mengira bahwa ia tidak menguasai disiplin ilmu lain selain itu, dan akan
menyimpulkan bahwa tidak ada orang lain yang lebih menguasai darinya.
Adapun kakeknya (Adussalam bin abdullah), seorang faqih dari mazhab
hambali, ia seorang imam, ahli Hadits, juga mufassir yang faqih dan menguasai
32
50
Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam
Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 205-206
33
51
Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu
Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan
Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal.
19-40
34
melihat yang semisal dengannya dan mata beliau tidak melihat orang yang
semisal dengannya.
3. Imam Abu al-Hajjaj Yusub al-Mizzy (wafat tahun 742 H.) berkata: “ saya
tidak melihat semisalnya dan dia tidak melihat orang semisal dengannya.
Saya tidak melihat orang yang lebih mengetahui tentang Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah dan tidak lebih mengetahui keduanya (a-Qur‟an dan
sunnah) dari padanya.
4. al-Allamah Kamaluddin bin al-Zamlaki berkata: “Jika ditanya salah satu
cabang ilmu, orang yang melihat dan mendengarnya menyangka bahwa
dia tidak mengetahui selain cabang ilmu tersebut dan menghukumi bahwa
tidak ada seorangpun yang mengetahui cabang ilmu tersebut seperti dia.
Para ahli fiqih dari berbagai kelompok jika duduk bersamanya, mereka
mengambil dari padanya faedah dalam mazhab-mazhab mereka yang tidak
mereka ketahui sebelumnya, tidak pernah diketahui bahwa beliau
bermunadzarah (berdebat) dengan seseorang kemudian dia terputus
(kalah), tidak berbicara dalam suatu ilmu baik ilmu syariah maupun ilmu
yang lainnya kecuali ia mengungguli para ahlinya dan para ilmuan yang
menisbahkan dirinya pada ilmu tersebut, ia mempunyai tangan panjang
dalam mengarang dengan bagusnya kata-kata pilihan, urutan, pembagian
dan penjelasan, dan terkumpul pada dirinya syarat-syarat ijtihad.”52
5. Al-Qadhi al-Imam Ibnu Daqiq al-„Id berkata: “Ketika saya bertemu
dengan Ibnu Taimiyah, saya melihat seorang laki-laki yang pada dirinya
terkumpul semua disiplin ilmu di hadapanya. Beliau mengambil apa yang
beliau inginkan dan meninggalkan apa yang beliau inginkan.” (Dinukil
oleh al-Allamah Shiddiq Hasan Khan dalam Abjad al-Ulum).53 Dan masih
banyak lagi pandang tokoh-tokoh Islam lainnya tentang Ibnu Tamiyah.
Namun demikian, Ibnu Taimiyah tidak selalu mendapat komentar positif.
Banyak juga kalangan yang justru menyudutkannya, ia dituduh sebagai seorang
52
Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu
Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan......... hal. 42
53
Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,
dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul.... hal. 13-14
35
yang tidak pernah naik haji atau melarang naik haji. 54 Bahkan pada tingakat yang
paling ekstrim, Ibnu Taimiyah dituduh seorang “atheis”. Akan tetapi merupakan
suatu hal yang alamiah jika kekerasannya terhadap musuh-musuhnya
mendatangkan reaksi yang keras juga. Ada juga yang menuduhnya zindik, seperti
Ibnu Bathuthah, Ibnu Hajar al-Haytami, Taqiyuddin al-Subki, Izzuddin bin
Jama‟ah, Abu Hayyan al-Zhahiri al-Andalusi. Diantara mereka juga ada yang
memintak sultan untuk mengenakan sanksi kepadanya. Usulan itu mendapatkan
sambutan. Beberapa tahun lamanya ia menjalani hidup dalam beberapa penjara di
Mesir dan Damaskus. Sebenarnya lawan-lawannya itu tidak mampu
menandinginya dalam hal pengetahuan, tetapi mereka melebihinya dalam hal
persengkokolan.
Demikianlah sedikit mengenai perkembangan spritual dan intelektual Ibnu
Taimiyah, dan bagaimana sikapnya yang sangat tegas dan bersungguh-sungguh
dalam menegakkan kalimatullah di muka bumi ini. Ia tidak hanya menyerang
dengan pena, tetapi juga dengan sekuat tenaga (dengan pedang), terlebih lagi
dengan musuh-musuh Islam.
3. Karya-karya Ibnu Taimyah
Karya-karya imam ini banyak sekali, yang mana para murid dan pencintanya
tidak mampu untuk menghitungnya, salah satu muridnya Ibnu Qoyim berkata:
“Amma ba‟da, Sesungguhnya sekelompok pencinta sunnah dan ilmu memintak
kepadaku agar aku menyebutkan karya-karya Syikh al-Islam Ibnu Taimiyah,
maka saya katakan kepada mereka bahwa saya tidak mampu untuk menyebutkan
secara pasti jumlahnya karena beberapa hal yang saya sebutkan kepada sebagian
mereka dan akan saya sebutkan insya Allah seperti ini.”
Kemudian beliau berkata:
1. “Di antara yang saya lihat dalam bidang tafsir”, kemudian dia
menyebutkan 92 karya tulis yang berupa risalah maupun kaidah.
2. “Di antara yang dikarang dalam bidang ushul baik ia karang sejak awal
ataupun karena menjawab penanya atau orang yang memberi i‟tiradh
54
Komentar Siradjuddin Abbas, I‟tiqad Ahlussunnah Wal-Jama‟ah, (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1996) hal. 278
36
55
Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,
dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006)
cet I hal. 17-18
56
Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu
Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan
Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal. 33
37
57
Kitab-kitab tersebut dilacak dan diinventaris penulis dari beberapa buku-buku yang
menjelaskan tentang ketokohan Ibnu Taimiayah.
58
Ali Sami‟ al-Nasysyar dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah;
Etika Politik Islam, terj. H. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena (Djawatan Penerangan Agama),
1960) hal. 17
38
59
Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,
dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006)
cet I hal. 70
60
Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:
Pustaka Mantiq, 1995) hal. 178-179
39
61
Ibnu Taimiyah, Tawassul wa Wasilah, Terj. Prof. Dr. Ahmad Tafsir (Bandung: PT
Remaja Rosada, 2006) hal. 38-41
62
Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah.... hal 170 disebutkan issu ini
dihembuskan oleh kalangan Syi‟ah.
63 63
Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibnu
Taimiyah, terj. Masroni, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995 ) hal.
64
Salaf adalah metode pemahaman Islam dan pengamalannya dengan kembali kepada
sejarah Salafus-Shalih; Para sahabat, generasi setelah sahabat dan kemudian manusia yang datang
setelah mereka. Jalan mereka adalah yang paling jelas, paling bijak, paling baik dan paling
selamat, lihat Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah
Reformasi, terj. Faisal Saleh.... hal. 34
40
65
Khalaf adalah golongan setelah tabi‟ tabiuun yang telah mempelajari filsafat dan logika
Yunani, bahkan telah terpengaruh dengan keduannya, lihat Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu
Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi, terj. Faisal Saleh.... hal. 34
66
Syakhul Muhammad at-Tamimi, Kasyfusy Syubuhaat fit Tauhid, terj. Ainul Haris,
Ahmad Amin Syihab (Jakarta: Yayasan al-Sofwa, 1997) hal. 26-27
67
Ibnu Taimiyah, Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiayh, Jilid 3 terj. Abdurrahim Sufandi, dkk.
Kumpulan fatwa Ibnu Taimiyah; Kitab Aqidah Salaf, Kita Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah SWT
(Jakarta; Pustaka Azzam, 2010) hal 502
68
Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi,
terj. Faisal Saleh.... hal. 156
41
69
Ibnu Taimiyah, Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiayh, Jilid 3 terj. Abdurrahim Sufandi, dkk.
Kumpulan fatwa Ibnu Taimiyah; Kitab Aqidah Salaf, Kita Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah SWT
(Jakarta; Pustaka Azzam, 2010) hal 508
70
Rafidhah (Syi‟ah) adalah aliran bid‟ah yang muncul pada masa pemerintahan Ali bin
Abi Thalib, yang mendukung pemerintahannya tersebut, lihat Dr. Ahmad ibnu Abdul Aziz al-
Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,… hal. 74
71
Khawarij adalah aliran ahli bid‟ah yang memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib.
Mereka terpecah menjadi beberapa cabang, dan salah satu yang terbesar adalah kaum Azariqah
dan Najdat, lihat Dr. Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,… hal. 74
72
Aliran bid‟ah yang berpendapat bahwa maksiat itu tidak memberikan mudharat bila
disertai dengan iman, sebagaimana ketaatan (ibadah) tidak akan memberikan manfaat bila disertai
dengan kufur. Mereka disebut “Murjuah” karena mereka memberikan “raja” (harapan) untuk
mendapatkan pahala disisi Allah bagi orang mukmin yang berbuat maksiat. Dan mereka
beranggapan bahwa iman kepada Allah hanyalah sekedar mengenal-Nya, mengenal Rasul-Nya dan
mengenal ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Menurut mereka pengakuan dengan lisan,
42
ketundukan dengan hati dan beramal dengan anggota badan bukanlah bagian dari iman. (Maqalatul
Islamiyin karya al-Asy‟ari, 1/214 dan al-Milal wa Nihal karya Asy-Syahrastani, 1/139), lihat Dr.
Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah,… hal. 74
73
Aliran bid‟ah yang dinisbahkan kapada Jahm bin Shafwan, orang pertama yang
bependapat bahwa al-Qur‟an adalah makhluk. Aliran ini menafikan sifat-sifat Allah Ta‟ala dan
menafikan kehendak bagi makhluk. Dan mereka berpendapat bahwa iman hanya sekedar
mengenal Allah. (Al-Mihal wan Nihal karya Asy-Syahrastani, 1/86-88), lihat Dr. Ahmad ibnu
Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,… hal.
74
74
Beliau adalah Abdullah bin Ustman al-Qurasyi at-Taimi ash-Shiddiq, Khalifah
Rasyidin pertama. Beliau wafat pada tahun 13 H. (al-Ishabah karya Ibnu Hajar, 6/115).
75
Al-Faruq, Khalifah Rasyidin kedua. Beliau syahid di Madinah pada tahun 23 H. (al-
Ishabah karya Ibnu Hajar, 7/74).
76
Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc; Wafi Marzuki. (Surabaya: CV. Fitrah Mandiri
Sejahtera, 2007) hal 115
77
Dinukil dari Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 12/468 oleh Dr. Ahmad ibnu Abdul
Aziz al-Hulaibi, lihat Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc... hal 114
43
78
Dinukil dari Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 1/4242-243 oleh Dr. Ahmad ibnu
Abdul Aziz al-Hulaibi, lihat Dr. Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala
Mubtadi‟ati inda Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc... hal 114-115
44
79
Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:
Pustaka Mantiq, 1995) hal. 97
80
Abdullah Ibnu Abdul Muhsin al-Turki, Mujmalu I‟tiqad Aimmah al-Salaf, Terj.
Ghazali Mukri, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1995) hal 68
45
81
Abu Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah....... hal. 62
82
Abu Hasan Ali an-Nadawi, Syekh Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur....... hal. 62-70
83
Abu Hasan Ali an-Nadawi, Syekh Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur....... hal. 62-70
46
wanita dan para pendeta yang memencilkan diri selama perang berlangsung. 84
Prinsip ini membuktukan bahwa perang dalam Islam menurut Ibnu Taimiyah,
hanya dimaksudkan untuk mempertahankan diri.
Islamisasi secara paksa kepada orang lain sangat tidak disukai Ibnu
Taimiyah, ia mengatakan, andai seorang kafir harus dibunuh lantaran tidak
bersedia masuk Islam, maka prilaku tersebut bertentangan dengan al-Qur;an (Q.S.
11: 256) yang menegaskan bahwa “tidak ada paksaan dalam memeluk Islam”. 85
Dengan demikian, orang-orang yang tidak bersenjata yang tidak terlibat dalam
peperangan atau menyerang umat Islam, apapun kepercayaannya, tidak boleh
untuk diserang, karena mereka tidak mempunyai daya untuk mempertahankan
diri. Disini tampak bahwa Ibnu Taimiyah sangat memandang aspek perdamaian
dalam hidup bermasyarakat.
Terlebih lagi dalam menghadapi sesama muslim, Ibnu Taimiyah
menegaskan bahwa pentingnya bekerja dengan syarat-syarat amr ma‟ruf nahi
munkar dalam mempertahankan sunnah dan melarang bid‟ah, serta
memperingatkan agar menjahui niat buruk dan kepentingan bahwa nafsu. Karena,
kedua hal itu bisa menyebabkan batalnya pahala amal dan berkembangnya
perpecahan.
Beliau menyatakan, “Memerintahkan sunnah dan melarang bid‟ah adalah
amr ma‟ruf nahi munkar. Itu merupakan salah satu amal shalih yang paling utama.
Karenanya, ia harus diniatkan untuk mencari ridha Allah dan dilaksanakan sesuai
denagan perintah. Di dalam hadits diterangkan bahwa orang yang melakukan amr
ma‟ruf nahi munkar haruslah mempunyai ilmu tentang apa yang diperintahkan
dan dilarang, bersikap lembut pada apa yang diperintahkan dan dilarang, juga
santun pada apa yang diperintahkan dan santun pada apa yang dilarang. Karena,
harus memiliki ilmu sebelum memerintah, bersikap lembut ketika memerintah,
dan harus bersikap santun ketika memerintah. Jika seseorang tidak memiliki ilmu
maka ia tidak boleh mengikuti sesuatu yang tidak ia kuasai ilmunya. Jika ia
84
Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa jilid 28 hal 354-355
85
Lihat Lahmuddin Mardjuni (Sebuah Tesisi tentang Pemurnian dan Pengaruhnya
Terhadap Gerakan Wahabi) dinukil dari Majid Khudduri, The Islamic Law of Nations,
(Baltimore: Jhon Hopkins Press, 1966) hal 59
47
memiliki ilmu tapi tidak bisa bersikap lembut, maka ia seperti dokter yang tidak
bisa bersikap lembut. Ia bersikap kasar terhadap pasien, sehingga si pasien tidak
mau menerima nasihatnya. Atau, seperti pendidik yang bersifat kasar dan yang
tidak bisa diterima oleh si anak. Hal ini sesuai dengan firman Allah yakni ketika
berfirman kepada Musa dan Harun: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia mau menerima
peringatan atau merasa takut.” (QS, Thahah: 44).86 Jadi dalam mengajak
melakukan amr ma‟ruf nahi munkar menurut Ibnu Taimiyah adalah menyeruhkan
yang ma‟ruf dengan cara ma‟ruf pula serta menyeruhkan kepada nahi mungkar
harus dengan cara ma‟ruf pula.
Ibnu Taimiyah juga memiliki sifat tegar serta teguh pendirian dalam
berpendapat (jihad dalam membela aqidah) bila mana pendapatnya itu sesuai
dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah. Ibnu Taimiyah tidak takut dengan ancaman dari
manapun. Beliau tidak takut kepada lembaga, tuan tanah, tidak pula kepada harta,
kedudukan maupun penguasa (raja) sekalipun. Bila mana beliau mati dibunuh
karena membela aqidah yang benar berarti beliau mati syahid. Penjara bagi beliau
adalah tempat atau anugerah yang sangat besar, karena dimana pun beliau berada
beliau tetap akan meneruskan dakwahnya, meskipun di dalam penjara. Karena
meskipun beliau di penjara, beliau masih menulis karya-karyanya serta justru nara
pidana yang ada belajar dan menjadi murid-murid beliau.87 Ibnu Taimiyah hanya
takut kepada Allah dan takut jika aqidah Islam mengalami kemerosotan bahkan
kehancuran karena umat Islam sendiri pada waktu Ibnu Taimiyah hidup
aqidahnya telah ternodai oleh percikan-percikan bid‟ah, khurafat, serta kesyirikan-
kesyirikan yang lainnya.
Ibnu Taimiyah adalah penyeru kepada tauhid yang murni dan aqidah yang
terjaga dari kesesatan, pada waktu yang sama beliau juga penyeru kepada
kesatuan dan persatuan umat Islam berdasarkan prinsip-prinsip yang universal.
86
Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc; Wafi Marzuki. (Surabaya: CV. Fitrah Mandiri
Sejahtera, 2007) hal 160-161
87
Abdullah Ibnu Abdul Muhsin al-Turki, Mujmalu I‟tiqad Aimmah al-Salaf, Terj.
Ghazali Mukri, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1995) hal 72
48
Diantara ucapan dan perbuatan Ibnu Taimiyah dalam bidang ini adalah:
“Semua orang yang telah mengerti bahwa antara golongan Hambali dan golongan
Asy‟ari terjadi hubungan yang tidak enak. Sedang, saya adalah orang yang paling
besar perannya dalam menyatukan hati umat Islam dan mencari titik kesepakatan
antara mereka. Hal ini semata-mata hanya didorong oleh perintah Allah yang
memerintahkan kepada kita agar berpegang teguh kepada tali (agama) Allah.
Sekaligus saya berusaha untuk menghilangkan segala hubungan yang tidak
harmonis yang terdapat dalam setiap hati orang yang sekalian saya jelaskan
kepada mereka, bahwa Asy‟ari adalah termasuk pakar teologi yang
mengatasnamakan dirinya kepada Imam Ahmad bahkan dia termasuk para
pembela terhadap metode yang ditempuh oleh Imam Ahmad. Hal ini yang
dikemukakan sendiri oleh Asy‟ari dalam berbagai bukunya. 88 Ibnu Taimiyah, di
dalam buku Naqdh al-Manthiqnya (hal 16), menyatakan, “Al-Asy‟ari adalah
orang yang pandangan-pandangannya lebih dekat dengan pandang-pandangan
Imam Ahmad ibnu Hambal dan pendahulunya dari ulama sunnah dan hadits.”
Dalam buku tersebut Ibnu Taimiyah juga menyatakan, bahwa Asy‟ari setelah
mengundurkan diri dari Mu‟tazilah, mengikuti jalan yang ditempuh oleh ahlu
sunnah dan ahlu hadits, lalu ia berafiliasi kepada Imam Ahmad Ibnu Hambal,
sebagaimana ia nyatakan di dalam Al-Ibanah dan Maqalah Al-Islamiyyin-nya.89
Akhirnya golongan Asy‟ari dan golongan Hambali saling menerima dan bersatu,
maka gembiralah kaum muslimin dengan kesepakatan pendapat. Dan Ibnu
Taimiyah mengemukakan pendapat yang dipaparkan oleh Ibnu Asakir dalam kita
“Manaqib”: Golongan Hambali dan golonga Asy‟ariyah senantiasa bersepakat
sampai zaman Qusyairi. Setelah terjadi fitnah (bencana) di kota Bagdad, maka
pecah belahlah mereka. Perlu diketahui bahwa pada saat itu hampir semua
88
Abdullah Ibnu Abdul Muhsin al-Turki, Mujmalu I‟tiqad Aimmah al-Salaf, Terj.
Ghazali Mukri, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, (Yogyakarta: Titian Ilahi
Press, 1995) hal 74
89
Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi,
terj. Faisal Saleh, Lc. M.Si, Khoerul Amru Harahap, Lc, M. Hi. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2005) hal. 168
49
golongan ada yang sudah menyimpang dan ada pula yang masih lurus. 90 Bagdad
pada awalnya merupakan pusat kejayaan Islam. Di kota ini banyak terdapat para
intelektual Islam serta banyak sekali buku-buku yang dikarang oleh intelektual
Islam tersebut. Setelah jatuhnya bagdad di tangan tentara salib, maka umat Islam
tersebut dibantai habis oleh para tentara salib termasuk juga para intelektual
Islam. Tentara salib tidak hanya sekedar ingin menduduki wilayah kekuasaan
Islam. Akan tetapi, mereka juga ingin menghancurkan agama Islam, baik dengan
cara terang-terangan maupun menyusupi dalam ajaran Islam dengan paham
mereka. Dan harapan mereka sedikit demi sedikit Islam mengalami kemerosotan
aqidah, dan pada akhirnya Islam hancur serta kembali kezaman jahiliyah.
Ibnu Taimiyah mengajak umat Islam untuk menyatukan kekuatan dalam
melawan tentara salib, baik itu kekuatan secara fisik maupun intelektual. Jika
umat Islam bersatu serta memiliki wawasan yang luas dalam keilmuan agama
maupun umum, terlebih lagi memiliki aqidah yang kokoh. Maka umat Islam sulit
untuk digoyakan dan umat Islam akan jaya. Dalam menyerukan kepada pokok-
pokok agama (aqidah) Ibnu Taimiyah tidak pernah kepada madzhab Hambali dan
selain Hambali. Dan beliau juga tidak pernah mati-matian untuk membela
madzhab tersebut, serta beliau pun tidak pernah mengemukakan pendapat
Hambali dalam setiap perkataannya. Beliau mengemukakan pendapat yang telah
disepakati dan telah ditetapkan oleh ulama salaf. Beliau akan memberikan waktu
kepada orang yang menyalahi pendapatnya selama tiga tahun, jika orang tersebut
datang dengan membawa satu huruf dari ulama-ulama yang hidup pada tiga
generasi, dan membuktikan jelas-jelas kesalahan pendapatnya. Maka beliau akan
mengakui hal itu.91 Dapat dipahami bahwa Ibnu Taimiyah menghindari dari taqlid
buta terhadap suatu mazhab. Karena taqlid buta dapat menibulkan kefanatikan
terhadap mazhab tertentu dan akan saling menyalahakan antar mazhab satu
dengan madzhab yang lain. Ibnu Taimiyah menyerukan kepada umat Islam hanya
90
Abdullah Ibnu Abdul Muhsin al-Turki, Mujmalu I‟tiqad Aimmah al-Salaf, Terj.
Ghazali Mukri, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah,………………….. hal 74
91
Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi,
terj. Faisal Saleh, Lc. M.Si, Khoerul Amru Harahap, Lc, M. Hi. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2005) hal. 170
50
untuk berpegang teguh kepada Salafus Shalih yang mereka senantiasa berpegang
teguh pada al-Qur‟an dan as-Sunnah.
Abu Hasan Ali An-Nadawi, memberi gambaran, begitu gigih dan getolnya
Ibnu Taimyah dalam usaha pemurnian aqidah terhadap ajaran Islam, ketika dalam
penjarapun tetap menyampaikan dakwah dan misinya. Ia mengajar para nara
pidana, sehingga disebutkan banyak kalangan nara pidana yang telah bebas dari
penjara, ingin selalu tetap bersama Ibnu Taimiyah kembali tinggal di penjara. 92
Melihat dari uraian-uraian sebelumnya, tentu menjadi semakin jelas,
bahwa Ibnu Taimiyah adalah orang yang sangat intres terhadap keselamatan
masyarakat diamana ia tinggal (muslim). Keselamatan itu tidak saja dari aspek
fisik karena serangan bangsa penjajah, tetapi lebih dari itu, aspek keselamatan
keagamaan yang berdampak pada kebahagiaan di hari akhirat.
Akhirnya, dapat disimpulkan, bahwa upaya pemurnian yang dilakukan
Ibnu Taimiyah, Sebagaimana ia jelaskan; “Amr ma‟ruf nahi munkar dan jihad
termsuk keutamaan yang diperintahkan Allah kepada kita. Namun, siapa yang
melakukan kewajiban ini tanpa pemahaman hukum dan fiqh dakwah, tanpa
kelembutan dan kesabaran, tanpa mau melihat mana yang harus diperbaiki, maka
ia telah melanggar perintah Allah, meskipun ia melakukan dengan keyakinan
menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. 93
Disamping usaha-usaha tersebut, prestasi yang paling monumental yang
pernah dicetuskan Ibnu Taimiyah adalah pembukaan kembali “pintu ijtihad”
setelah umat Islam terbuai dengan metoda taklid. Implikasi dari metoda pemikiran
itulah, dalam perkembangannya meskipun cukup panjang, meresap kedalam tubuh
intelegensia keagamaan dan berpengaruh secara perlahan, mengelaborasi dalam
perkembangan pemikiran pembaharu (pemurnian) dari gerakan-gerakan
keagamaan dalam sejarah Islam.
92
Abu Hasan Ali An-Nadawi, Syekh Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur.... hal. 97
93
Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc; Wafi Marzuki. (Surabaya: CV. Fitrah Mandiri
Sejahtera, 2007) hal 161-162
BAB IV
PENGARUH PEMURNIAN IBNU TAIMIYAH DI INDONESIA
Setiap kehidupan ini, paling tidak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi
yang dapat membentuk seseorang, manakala lembaga pendidikan tidak bisa
melakukannya, kelahiran seorang ulama misalnya, sudah barang tentu
merupakan proses dari sebuah zaman disaat mana ia berada. Jika saat itu
rusak, maka rusak pulalah orang-orang di zaman itu, demikian pula
sebaliknya. Itulah sebuah fenomena yang sering menjadi suatu keniscayaan
dalam realitas kehidupan.
Akan tetapi, betapapun rusaknya sebuah zaman, terkadang pengaruh
yang muncul dari zaman itu, justeru dalam bentuk kontradiktif dengan
zamannya. Kekacauan politik, kerusakan dan kebejatan moral dan lain
sebagainya, dengan segala dampaknya, mendorong seseorang untuk
melakukan “sesuatu”, dengan menganalisis secara kritis, untuk mencari
faktor-faktor penyebab dari “keterlanjuran” kondisi zaman tersebut, mencoba
menggambarkan begitulah proses dialog yang terjadi antara Ibnu Taimiyah
dengan zamannya.
Reformisme yang dilakukan Ibnu Taimiyah, selama pemerintahan
Mamluk dalam sejarah Islam, mempunyai tujuan utama untuk mengajak umat
Islam agar kembali kepada dasar-dasar agama mereka dalam bentuknya yang
“murni”, yaitu al-Qur‟an dan as-Sunnah Rasul. Tujuan itu didasarkan pada
asumsi bahwa luka politik dan spiritual, yang melanda umat Islam selama
periode tersebut kebanyakan disebabkan oleh sikap mereka yang menjauhkan
diri dari sumber-sumber asli itu. Dalam aneka perdebatan dan polemiknya,
51
52
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa sikap tersebut tercermin dalam dua faktor
; pertama kebiasaan taklid, dan kedua pengaruh faham-faham heterodoks,
terutama yang berasal dari para sufi dan golongan Syi‟ah.
Menurut Ibnu Taimiyah, jihad melawan khurafat, bid‟ah merupakan
kewajiban sepanjang hidup. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ia harus
menghadapi berbagai kendala dan “sikap keras” penguasa dan sentimen
penduduk di sekitar ia berada. Memang dalam sebuah perjuangan, ada
kalanya membuahkan hasil, tetapi jauh dari maksimal, sebab berbagai
kendala dan kegagalan memberi warna aktifitasnya.
Sejarah mencatat, saat Ibnu Taimiyah wafat (1328) seluruh warga
Damaskus mengiringkan jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhir, baik
dari mereka yang pro, simpatisan, maupun mereka yang kontra. Inilah sebuah
gambaran ketokohan Ibnu Taimiyah.
Betapapun, digambarkan Nurcholis Majid, bahwa Ibnu Taimiyah
belum mampu melakukan gerakan besar, 94 tetapi warisan intelektual Islam
terkemuka itu tetap dilestarikan oleh murid-muridnya, seperti Ibnu Qayyim,
Abdul Hadi, Azdzahabi dan lain sebagainya. Meskipun cukup tertunda,
pemikiran Ibnu Taimiyah juga mempengaruhi gerakan pembaharuan di
Indonesia pada awal abad ke-20. Gerakan-gerakan tersebut terkenal dengan
gerakan tiga serangkai yaitu; Muhammadiyah, al-Irsyad dan Persatuan Islam
(PERSIS). Disini penulis akan memeparkan sidikit tentang gerakan tersebut
secara satu-persatu serta gagasannya dalam pembaharuan Islam di Indonesia.
1. Gerakan Muhammadiyah
Pada tahun 1911, K. H. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah sekolah agama
yang diberi nama Muhammadiyah, perguruan ini tidak diadakan di surau atau
di masjid, tetapi bertempat di gedung yang menggunakan meja, kursi dan
papan tulis. Kemudian berdiri secara resmi pada tanggal 19 November 1912
bertepatan dengan 8 Zulhijjah 1330 H.95
94
Nurcholis Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hal. 43
95
Drs. H. M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan
Dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998) hal.100
53
96
Weinata Sairin, MTh. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2008) hal. 39
97
Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: PT. Ciputat
Press Group, 2005) hal. 202-203
54
98
Weinata Sairin, MTh. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2008) hal. 43-46
99
Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: PT. Ciputat
Press Group, 2005) hal. 203
100
Drs. H. M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan
Dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998) hal. 100
55
101
Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: PT. Ciputat
Press Group, 2005) hal. 55
102
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010) hal. 162
56
103
Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: PT. Ciputat
Press Group, 2005) hal. 57
104
Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan
Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: PT. Ciputat
Press Group, 2005) hal. 57-58
57
105
Howard M. Pederspeil, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX,
(Ypgyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996) cet. I hal. 15-16
106
LIPPM, Pak Natsir 80 Tahun; Penghargaan dan Pnghormatan Generasi Muda,
(Jakarta: Media Da‟wah Anggota IKAPI, 1981) cet. I, Hal. 168-169
107
Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si, Sosiologi Agama: Kajian Tentang Perilaku
Institusional dalam Beragam Anggota Persis dan Nahdatul Ulama, (Bandung: PT. Reifika
Aditama, 2007) cet I, Hal. 102
59
108
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1993)
Jilid. IV, Cet. I, Hal. 96
60
61
62
tetapi sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran akidah, tetapi
terbuka pada ijtihad. Karena dalam perkembangan berikutnya, gerakan
pemurnian tersebut menjadi bersenyawa dengan spirit ijtihad dan berorientasi
pada bagaimana membangkitkan kembali kemajuan umat Islam dari
kemunduran dan kejumudan. Ibnu Taimiyyah memandang bahwa Islam telah
dikotori oleh tasawuf dan tarekat yang sama sekali tidak berorientasi kepada
Sunnah Nabi. Tarekat yang dimaksud mengetengahkan konsep-konsep wali,
wasilah, dan karamah yang mengandung unsur khurafat dan syirik yang salah
satunya adalah seperti kelompok sufi al-Ahmadiayah pada zamannya. Selain
itu juga masuknya pengaruh pemikiran barat seperti kelompok sporadis
Majusi, Nasrani, serta filsafat Yunani yang telah merasuk kedalam dunia
Islam yang melakukan tipu daya untuk menhancurkan kaum Muslim. Ibnu
Taimiyyah berusaha menghilangkan itu semua dengan menyerukan “kembali
kepada tauhid”.
Begitu pentingnya aspek pemurnian dan ketahuidan dalam pandangan
Ibnu Taimiyah, maka dalam banyak tulisannya, hampir separo atau bahkan
dua pertiga dari jumlah karangannya, memfokuskan bahasannya tentang ilmu
kalam (tauhid). Informasi ini paling tidak memberi indikasi, bahwa Ibnu
Taimiyah dalam usaha pemurniannya, lebih bersifat akademik dan kurang
bersifat praktis.
Itulah sedikit gambaran mengenai karakteristik pemurnian yang
diusung oleh Ibnu Taimiyah yang lebih berorientasi kepada pemurnian aqidah
Islam yang sesuai dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah, atau disebut juga dengan
aqidah salafiyah, aqidah firqah najiah (golongan selamat), yakni aqidah
tauhid.
Khazanah pemikiran intelektula yang digagas Ibnu Taimiyah tetap
menggelinding dan mengelaborasi dalam sejarah pemikiran dalam Islam.
Pemikiran Ibnu Taimiyah kendatipun cukup tertunda, ternyata mempengaruhi
gerakan pemurnian di Indonesia yang dikenal dengan gerakan tiga serangaki
yaitu; Muhammadiyah, al-Irsyad dan Persis yang muncul pada abad ke 20 M.
Keterpengaruhan gerakan ini terhadap wancan pemikiran Ibnu Taimiyah,
63
paling tidak gagasan untuk merujuk kembali kepada ajaran Islam murni yaitu
al-Qur‟an dan sunnah rasul plus paradigma pemikiran kaum salaf dan sikap
anti terhadap segala bentuk kesyirikan, khurafat dan bid‟ah.
B. Saran
Ibnu Taimiyah adalah ulama salaf yang menggagas pemurnian ajaran
agama islam salah satunya di bidang akidah pada zamannya yang dikenal
ketegasannya dalam meluruskan kepada akidah yang murni sesuai dengan al-
Qur‟an dan as-Sunnah apabila masyarakat melenceng dari akidah yang benar.
Hal tersebut patut kita jadikan sebagai tauladan karena sebagai sesama muslim
kita harus saling mengingatkan apabila saudara kita melakukan kesalahan.
Salah satu bentuk kesyirikan yang diperangi oleh Ibnu Taimiyah adalah
bentuk ziarah kubur yang berlebihan, dimana orang-orang berdoa dan
memohon, memintak kepada ahli kubur tersebut. Hal ini juga masih sering
terjadi pada masyarakat kita walaupun hanya sebagian kecil seperti berziarah
ke para makam wali, Gusdur, dan lain sebagainya. Perbuatan tersebut
dibolehkan apabila ziarah tersebut dimaksudkan untuk mendoakan ahli kubur
dan yang paling terpenting mengingatkan kita dengan kematian sehingga
menambah keimanan kita kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjuddin, I‟tiqad Ahlussunnah Wal-Jama‟ah, (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah, 1996)
Abu, Darwis Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar 2008)
Abdul, Said Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi, terj.
Faisal Saleh, Lc. M.Si, Khoerul Amru Harahap, Lc, M. Hi. (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2005)
at-Tamimi, Muhammad, Kasyfusy Syubuhaat fit Tauhid, terj. Ainul Haris, Ahmad
Amin Syihab (Jakarta: Yayasan al-Sofwa, 1997)
Bakar, Abu Jabir al-Jazairi. Aqiidatul Mukmin, terj. Salim Bazemool. Aqidah
Seorang Mukmin (Solo: CV. Pustaka Mantiq 1994)
64
65
Hasan, Abul Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:
Pustaka Mantiq, 1995)
Haque, M. Atiqul, Hundred Muslim Heroes of the World , terj. Ira Puspitorini,
100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia (Jogjakarta: Diglossia,
2007) hal. 82
Ibnu, Ahmad, Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc; Wafi Marzuki.
(Surabaya: CV. Fitrah Mandiri Sejahtera, 2007)
Ibnu, Abdullah, Abdul Muhsin al-Turki, Mujmalu I‟tiqad Aimmah al-Salaf, Terj.
Ghazali Mukri, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1995)
Ibnu, Nasir „Abdul Karim al-„Aql. Mujmal Ushul Ahlisunnah Wal Jama‟ah fi al-
„Aqidah, ter. Muhammad Yusuf Harun MA. Prinsip-Prinsib Aqidah
Ahlussunnah Wal Jama‟ah. (Jakarta: Gema Insani Press 1993)
Ilyas, Yunahar Lc., MA. Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI 2000)
Malik, „Abdul bin Ahmad Ramadhani. Sittu Durar min Ushuli Ahli Atsar,terj.
Mubarak B. M Bamuallim, Lc. 6 Pilar Utama Dakwah Salafiyyah.
(Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟I 2005)
Munawir Sjadzaki. Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran),
(Jakarta: UI- Press 2008)
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran,
(Jakarta: UI-Press, 2003)
Suwito, MA, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008)
Taimiyah, Ibnu, Manhaj Da‟wah Salafiyah, terj. Amiruddin bin Abdul Jalil
(Jakarta: Pustaka Azzam 2001)
Taimiyah, Ibnu, Tawassul wa Wasilah, Terj. Prof. Dr. Ahmad Tafsir (Bandung:
PT Remaja Rosada, 2006)
Taimiyah, Ibnu, Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiayh, Jilid 3 terj. Abdurrahim Sufandi,
dkk. Kumpulan fatwa Ibnu Taimiyah; Kitab Aqidah Salaf, Kita Nama-
Nama dan Sifat-Sifat Allah SWT (Jakarta; Pustaka Azzam, 2010)
Zaini, Syahminan, Pedoman Aqidah Islam, (Bekasi: Pustaka Darul Ilmi 2006)