Anda di halaman 1dari 6

Perbandingan Pengaruh Luas Lahan Murbei Terhadap Produktivitas Kokon

pada Tiga Daerah Pengembangan1

Andi Sadapotto2

xFakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Kampus UNHAS Tamalanrea Makassar,


sadapotto@yahoo.com

Abstrak: Pengusahaan ulat sutera merupakan usahatani yang sifatnya padat karya yang sangat
bergantung pada kemampuan petani dalam mengelola usaha tani suteranya. Luas lahan merupakan salah satu faktor
produksi yang penting dalam pengusahaan kokon ulat sutera. Kepemilikan lahan bagi petani merupakan hal yang
krusial karena petani hanya memilki lahan yang relative sempit. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh luas
lahan murbei terhadap produktivitas kokon yang diusahakan oleh satu rumah tangga petani ulat sutera. Penelitian
dilaksanakan pada Januari 2008 dan Oktober 2008 berlokasi di Kabupaten Soppeng, Enrekang Propinsi Sulawesi
Selatan dan Luoding City, Guangdong Province, China. Penelitian ini termasuk penelitian survey dan hasil yang
didapatkan adalah suatu preskripsi untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh sesorang atau sekelompok
pengambil keputusan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi atau pengamatan lapangan, wawancara
terstruktur dan tidak terstruktur, pengisian kuesioner dan studi literature. Pengambilan data dilakukan dengan
purposive sampling dengan jumlah responden 34 orang di Kabupaten Enrekang, 30 orang di Kabupaten Soppeng, 20
orang di Luoding City. Data yang berhasil dikumpulkan dianalisis dengan analisis deskriptif dengan menggunakan
tabel dan scatter plot dan analisis regresi. Hasil menunjukkan bahwa semakin luas lahan murbei yang dimiliki dan
dikelola petani tidak berkorelasi positif dengan produktivitas kokon. Kemampuan petani dalam mengelola lahan murbei
mempunyai keterbatasan sehingga semkain luas areal yang dimiliki, produktivitas kokon yang dihasilkan justru
semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh karena sifat pengusahaan ulat sutera yang padat karya yang sangat
bergantung kepada fisik dari petani itu sendiri, kecuali pada petani yang menyewa tenaga kerja dari luar. Ketiga lokasi
menunjukkan karakteristik pengelolaan yang berbeda. Produktivitas kokon tertinggi dicapai di Luoding City, China
disusul oleh Kabupaten Enrekang dan Kabpaten Soppeng, tetapi rata-rata luas lahan di Luoding City China terendah
dibanding di Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Soppeng. Ini berarti bahwa pengelolaan sutera alam di Luoding City
sangat intensif dibanding di Sulawesi Selatan.

Kata kunci : Perbandingan, luas murbei, produktivitas kokon

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengembangan komoditas sutera alam dianggap mampu membuka lapangan kerja, memperbaiki lahan
kritis, meningkatkan pendapatan masyarakat, karena sifatnya yang padat karya, sifat tanaman murbei yang mampu
tumbuh pada lahan kritis, dan masa pemeliharaan ulat sutera sampai menghasilkan kokon yang bisa dijual yang relatif
pendek. Dalam bidang kehutanan, pengembangan komoditas sutera alam merupakan salah satu kegiatan perhutanan
sosial (social forestry) yang bertujuan memberikan alternatif lapangan kerja, pendapatan kepada masyarakat
pedesaan di sekitar hutan agar mereka tidak masuk ke dalam hutan yang bisa menyebabkan terjadinya kerusakan
hutan.
Sutera Alam di Sulawesi Selatan telah lama menjadi bagian dari kehidupan budaya masyarakat. Sarung
sutera merupakan salah satu perangkat yang dipergunakan pada tiap upacara kebudayaaan seperti perkawinan, pesta
adat. Budidaya sutera alam telah dikenal sejak tahun 1950 an dan sampai sekarang masih digeluti oleh sebagian
masyarakat pedesaan. Menurut Balai Persuteraan Alam, Departemen Kehutanan (2008b) di Sulawesi Selatan
terdapat 3 214 kepala keluarga yang menggeluti usahatani murbei dan kokon, dengan luas areal tanaman murbei 1
713 hektar yang tersebar di 11 kabupaten (data selengkapnya disajikan pada Lampiran 1). Sedangkan pada bagian
hilir, industri pertenunan di Kabupaten Wajo sebagai sentra pertenunan melibatkan 3 364 unit usaha yang
mempekerjakan 19 431 tenaga kerja dengan nilai investasi Rp5 518 627 000 (BPS Kabupaten Wajo, 2006). Sampai
saat ini produksi benang sutera Sulsel masih merupakan yang terbesar di Indonesia dengan produksi 54.3 ton dari
64.02 ton produksi nasional atau 84.8 persen (BPA, 2008b). Selain di Sulawesi Selatan, pengusahaan sutera alam
juga banyak terdapat di Jawa Barat. Tingginya produksi sutera alam di Sulawesi Selatan diperkirakan karena selain
faktor fisik juga karena faktor budaya.
Namun demikian, produksi kokon terus menurun karena berbagai sebab antara lain banyaknya petani yang
beralih ke komoditas lain seperti kakao dan masuknya benang sutera impor (Fajar, 2005). Produksi benang sutera
lokal terus mengalami penurunan dari 140 ton pada tahun 1971 menjadi 37.47 ton pada 2004. Pemerintah melalui
Departemen Kehutanan sudah mencoba berbagai langkah untuk memperbaiki kondisi tersebut dengan
berbagai kebijakan.
Produksi sutera alam Sulawesi Selatan sampai sekarang ini terus mengalami penurunan secara fluktuatif.
Produksi benang sutera Sulawesi Selatan pada tahun 2004 tercatat 37.47 ton dibanding produksi tahun 1971 sebesar
140 ton. Kebutuhan benang sutera di Sulawesi Selatan kurang lebih 120 ton yang diperuntukkan bagi industri sutera
yang menghasilkan kain sutera polos dan sarung sutera. Kain sutera polos ditenun dengan mesin Alat Tenun Bukan
Mesin yang sebagian besar dikirim ke Jawa untuk dilakukan proses pembatikan, sedangkan sarung sutera dikerjakan
oleh perajin glodogan sebagai industri rumah tangga dan sebagin besar untuk konsumsi lokal. Benang sutera lokal
mengisi kebutuhan untuk perajin sarung sutera dan sebagian kecil untuk produksi kain sutera polos. Sedangkan
benang impor seluruhnya untuk produksi kain sutera polos. Karena produksi dan kualitas benang sutera lokal tidak
mencukupi, maka dilakukan impor benang sutera dari Cina. Produksi sutera lokal 50 ton, sedangkan impor 70 ton
(Herlina, 2010).
Sejumlah program pemerintah telah dilaksanakan untuk mengembalikan ke kondisi seperti tahun 1971, tetapi
perkembangan sutera alam di Sulawesi Selatan belum bisa kembali seperti dulu. Rerung (2004) mendapatkan
sejumlah permasalahan kemitraan antara PT Kokon Sutera Sulawesi dengan petani yang menggunakan Kredit Usaha
Persuteraan Alam antara lain pasokan kokon dari petani mitra yang rendah, loyalitas petani mitra ke pihak perusahaan
yang rendah, posisi tawar menawar tidak seimbang, komitmen kerjasama antara kedua belah pihak belum kuat,
tingkat pengetahuan petani masih rendah, kurangnya informasi dan pembinaan bagi petani mitra.
Pendekatan kebijakan pengusahaan sutera alam represif terhadap penggunaan bibit lokal Polivoltin pada tahun
1970an. Pemerintah1 melarang penggunaan bibit lokal Polyvoltine karena dianggap menjadi penyebab menyebarnya
penyakit pebrine, suatu jenis penyakit ulat sutera yang disebabkan oleh Protozoa. Pemerintah kemudian secara
sepihak mewajibkan masyarakat membeli bibit impor Bivoltine yang ditunjuk oleh pemerintah. Hal ini membatasi hak
dan akses masyarakat untuk memilih bibit yang akan digunakan. Pemerintah yang bertindak seharusnya menjadi
pembina menjadi pemusnah bibit-bibit yang diusahakan oleh masyarakat. Bibit yang digunakan masyarakat sekarang
adalah produk Perum Perhutani. Sampai sekarang produsen telur legal satu-satunya adalah Perum Perhutani melalui
dua unit usahanya yang berada di Candiroto, Jawa Tengah dan Soppeng, Sulawesi Selatan. Walaupun demikian,
terdapat produsen bibit ilegal di Kabupaten Soppeng yang memproduksi telur dan menyalurkan ke masyarakat
walaupun dengan volume yang kecil (Salman et al. 2005). Hal ini merupakan monopoli yang dapat mengganggu
kinerja pengusahaan secara keseluruhan, dan dalam pendekatan SCP masuk ke dalam faktor struktur. Informasi
terakhir, kelompok tani di Kabupaten Soppeng memasukkan bibit impor dari Cina secara ilegal 2 dan sekarang dalam
proses untuk mendapatkan legalitas dari Departemen Kehutanan.
Banyaknya petani yang beralih ke komoditas lain seperti kakao karena usahatani sutera alam di Kabupaten
Soppeng yang tidak menguntungkan dan tidak efisien (Tambunan et al. 1998), sementara Asis (2005) menjelaskan
bahwa keuntungan dari usahatani kakao lebih besar Rp 254 125/ha/tahun dibanding keuntungan dari usahatani ulat
sutera.
Cina sampai saat ini merupakan produsen kokon dan benang.terbesar din dunia.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan luas tanaman murbei dan produktivitas kokon pada tiga
daerah pengembangan yaitu Enrekang, Soppeng dan Luoding City.

1) Makalah disampaikan pada Seminar Nasional MAPEKI 2 Nopember 2011


2) Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
II. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat


Penelitian Februari 2008 bertempat di Kabupaten Enrekang dan Soppeng, Sulawesi Selatan dan i Luoding
City Propinsi Guangdong, RRC pada Oktober sampai dengan Desember 2009.

B. Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian survey dan hasil pengetahuan yang didapatkan adalah suatu preskripsi
untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh seorang atau sekelompok pengambil keputusan dan bisa
digolongkan ke dalam studi kasus (Singarimbun et al. 1989; Irawan, 2006). Teknik yang digunakan merupakan
campuran metode kuantitatif dan kualitatif (Bungin, 2006; Creswell, 2003).
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui :
1. Observasi ; pengamatan di lapangan
2. Wawancara baik wawancara yang terstruktur maupun wawancara yang semi terstruktur kepada responden dan
informan
3. Pengisian kuesioner
4. Studi literatur dan dokumentasi dilakukan dengan mempelajari beberapa dokumen-dokumen kebijakan pengelolaan
sutera alam, kontrak, laporan-laporan, buletin, jurnal dan dokumen-dokumen lainnya yang relevan.

C. Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dengan purposive sampling. Penentuan kecamatan dalam kabupaten, desa
dalam kecamatan dan responden petani dilakukan secara purposive. Jumlah responden petani murbei dan ulat sutera
sebanyak 34 orang di Kabupaten Enrekang, 30 orang di Kabupaten Soppeng, 20 orang di Luoding City, Propinsi
Guangdong. Selain itu wawancara juga dilakukan terhadap responden dari staf Balai Persuteraan Alam, pemerhati
dan pelaku sejarah sutera Sulawesi Selatan, pakar persuteraan alam Sulsel, Direktur Perusahaan Daerah Enrekang,
staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Enrekang, staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Soppeng, Pimpinan Perum Perhutani Soppeng, pakar persuteraan alam Cina, produsen telur Cina, pengelola pabrik
pemintalan Cina, staf pusat penelitian persuteraan Cina. Data pembanding institusi diambil di Luoding City untuk
petani murbei dan ulat sutera di Propinsi Guangdong, China
Data sekunder diambil dari instansi yang terkait seperti Departemen Kehutanan, Pemda Kabupaten
Enrekang, Soppeng, Pusat Penelitian Sutera di Guangdong, hasil-hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan
pengelolaan sutera alam.

D. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah análisis regresi sederhana. Setelah itu dilakukan uji t untuk melihat
signifikansi (bermakna tidaknya) variabel independen terhadap variabel dependen. Adapun hipótesis pada uji t ini
adalah sebagai berikut :
- Ho : β1 = 0 (tidak terpengaruh)

- Ho : β1 ≠ 0 (berpengaruh)

Jika nilai t hitung lebih besar dibandingkan dengan nilai t maka Ho ditolak artinya terdapat pengaruh variable
independen terhadap variable dependennya, begitu juga sebaliknya.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Luas Tanaman Murbei dan Produksi Kokon di Sulawesi Selatan


Produksi kokon di Sulawesi Selatan menunjukkan terjadinya penurunan. Data selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 1
Tabel 1. Luas Tanaman Murbei, Produksi dan Produktivitas Kokon di Sulawesi Selatan 2010

No Kabupaten Luas tanaman murbei (ha) Produksi Kokon (kg) Produktivitas (kg/ha)
1 Tana Toraja 106.65 3,743.50 35.1
2 Enrekang 221 86,867.30 393.06
3 Sidrap 7 159,60 22.8
4 Soppeng 79.92 13,669.08 171.03
5 Wajo 11.35 11,531.00 1015.95
6 Barru 12.75 173.00 13.57
7 Sinjai 105.00 174.00 1.66
Sumber : BPA, 2010

Dari Tabel 1 atas terlihat bahwa produksi kokon terbesar dicapai di Kabupaten Enrekang, yaitu 86,867 kg,
disusul oleh Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Barru,
Kabupaten Sidrap. Produktivitas kokon terbesar dicapai oleh Kabupaten Wajo dengan produktivitas 1015.95 kg/ha
disusul oleh Kabupaten Enrekang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Sidrap, Kabupaten Sinjai.
Hasil pengumpulan data lapangan ditunjukkan pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2 . Luas Murbei Rata-rata, Produksi kokon rata-rata dan produktivitas kokon rata-rata

No Lokasi Luas murbei rata-rata (ha) Produktivitas kokon (kg/ha)


1 Enrekang 1.01 407
2 Soppeng 0.92 240
3 Luoding City 0.56 1618
Sumber : Data Diolah

Dari Tabel tersebut terlihat bahwa lokasi pengembangan di Luoding City memperlihatkan produktivititas kokon tertinggi
diikuti oleh Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Soppeng. Hal ini memperlihatkan bahwa luasan murbei yang sedikit
membuat petani mengelola lahan murbeinya dengan intensif , karena sesuai dengan cirri khas budidaya sutera alam
yang sifatnya padat karya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah :


1. Semakin luas lahan murbei yang dikelola maka semakin rendah produktivitas kokon yang
dihasilkan oleh petani
2. Produktivitas kokon tertinggi didapatkan oleh petani sutera alam di Luoding City, China

DAFTAR PUSTAKA

Asis. 2005. Kajian Komponen-Komponen Biaya dan Keuntungan Usahatani Ulat Sutera dan Usahatani Kakao di Desa
Kessing Kecamatan Donri-Donri Kabupaten Soppeng [Skripsi]. Makassar : Fakultas Pertanian dan
Kehutanan, Universitas Hasanuddin
Atmosoedarjo S, Kartasubrata J, Kaomini M, Saleh W, Moerdoko W. 2000. Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan
Sarana Wana Jaya.

[Balai Persuteraan Alam]. 2008b. Statistik Pembangunan Balai Persuteraan Alam. Gowa : BPA Direktorat Jendral
RLPS Departemen Kehutanan.

[BPS Kabupaten Wajo]. 2006. Statistik Kabupaten Wajo. Sengkang : BPS Kabupaten Wajo

Bupati Enrekang. 2007. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Enrekang dalam Pengembangan Usaha Sutera. Makalah
pada Workshop “ Mencari Format Baru Pengembangan Persuteraan Alam dalam Upaya Menjadikan
Sulawesi Selatan Sebagai Pusat Industri Sutera Nasional” pada 28 Februari 2007 di Makassar.

Bupati Wajo. 2007. Kebijakan Pengembangan Industri Persuteraan Alam di Kabupaten Wajo. Makalah pada Workshop
“Mencari Format Baru Pengembangan Persuteraan Alam dalam Upaya Menjadikan Sulawesi Selatan
Sebagai Pusat Industri Sutera Nasional” pada 28 Februari 2007 di Makassar.

Creswell JW. 2003. Research Design Qualitative-Quantitative and Mixed Methods Approaches. London : Sage
Publication

Ditjen RLPS. 2007. Sambutan Ditjen RLPS pada Pembukaan Workshop Persuteraan Alam 20 Agustus 2008 di
Makassar.

Guangdong Government. 2008. Guangdong Statistical Yearbook 2008. Guangzhou.


http://www.gdstats.gov.cn/tjnj/table/10/c10_13.htm [18 Ags 2009]

Harizanis PC. 2007. Manual of Sericulture Silkworm Rearing Mulberry Cultivation. Athens : Agricultural University of
Athens.

Herlina L. 2010. Sutra Sulsel Benang China. www. Bataviase.co.id [26 Juni 2010]

[International Sericultural Commission]. 2010. Fresh Cocoon Production.


http://www.inserco.org/uk/Freshcocoonsproductionfrom2007.php.htm. [13 Apr 2010]

Irawan P. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : Departemen Ilmu Administrasi
FISIP UI

[Japan International Cooperation Agency]. 1985. Proyek Pengembangan Persuteraan Alam di Indonesia : Buku
Pelengkap Audio-Visual. Jakarta : JICA

Jianmo H. 2002. China Endeavors To Become A Silk Power. [23 Jun 2004]

Kanto S. 2006. Sampling, Validitas, dan Reliabilitas dalam Penelitian Kualitatif. Di dalam Bungin, B. Edt. Analisis Data
Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta :
PT Rajagrafindo Persada.

Kiyokawa Y. 1993. Possibilities for Producing High Quality Raw Silk and Fostering a Skilled Work Force in the Indian
Silk-reeling Industry. Hitotsubashi Journal of Economics, 34(2) : 87 - 109

Krishnaswami S, Narasimhanna S, Suryanarayan S, Kumararaj S. 1973. Sericulture Manual : Silkworm Rearing.


Rome: FAO Of The United Nations.

Kumaresan P, Sinha RK, Raje Urs S. 2007. An Analysis of Genetic Variation and Divergence in Indian Tropical
Polyvoltine (Bombyx mori L) Genotypes. Caspian J. Env. Sci., 5(1) : 11 - 17

Omura, Seinosuke. 1980. Silkworm Rearing in The Tropics. Tokyo : Japan International Cooperation Agency
Rangaswami G, Narasimhanna S, Kasiviswanathan S, Sastry S. 1976. Sericulture Manual. 1 – Mulberry Cultivation.
Rome : FAO.

Rao CGP, Seshagiri SV, Ramesh C, Ibrahim BK, Nagaraju H, Chandrashekariah. 2006. Evaluation of Genetic
Potential of The Polyvoltine Silkworm (Bombyx mori L.) Germplasm and Identification of Parents for Breeding
Programme. J. Zhejiang Univ. Sci. B., 7(3) : 215 – 220

Ryu Choong-Hee. 1994. Panduan untuk Sericulture Seri ke –VI. Sukabumi : PT Indo Jado Wanasutera.

Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Ed. Rev. Jakarta : LP3ES

Anda mungkin juga menyukai