Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi HIV-AIDS

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan
oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang
termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.1

HIV adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae yang dapat menyebabkan
AIDS. Virus tersebut membunuh suatu jenis penting dari sel darah yaitu limfosit T CD4+ atau sel T, yang
merupakan lini kedua dari sistem kekebalan tubuh.2,3

2.2 Sejarah1

Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Virus penyebab AIDS diidentifikasi oleh Luc
Montaiger pada tahun 1983 yang pada waktu itu diberi nama LAV (Lymphadenopathy virus) sedangkan
Robert Gallo menemukan virus penyebab AIDS pada 1984 yang saat itu dinamakan HTLV-II. Sedangkan
tes untuk memeriksa antibodi terhadap HIV dengan cara ELISA baru tersedia pada tahun 1985.

Istilah pasien AIDS tidak dianjurkan dan istilah Odha (orang dengan HIV/AIDS) lebih dianjurkan agar
pasien AIDS diperlakukan lebih manusiawi, sebagai subjek dan tidak dianggap sebagai sekadar objek,
sebgai pasien.

Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi Departemen Kesehatan tahun 1987 yaitu pada
seseorang warga negara Belanda di Bali. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan
Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes ELISA tiga kali
diulang, menyatakan positif. Hanya, hasil tes Western Blot, yang saat itu dilakukan di Amerika Serikat,
hasilnya negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada
bulan Maret 1986 di RS Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia dan termasuk jenis non-
progressor, artinya kondisi kesehatan dan kekebalannya cukup baik selama 17 tahun tanpa pengobatan,
dan sudah dikonfirmasi dengan Western Blot, serta masih berobat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo
pada tahun 2002.

2.3 Epidemiologi

Menurut data baru dalam epidemi AIDS 2009, infeksi HIV baru telah berkurang sebesar 17% selama
delapan tahun terakhir. Sejak tahun 2001, ketika Deklarasi Komitmen tentang HIV-AIDS ditandatangani
oleh PBB, jumlah infeksi baru di sub-Sahara Afrika sekitar 15% lebih rendah yaitu sekitar 400.000 lebih
sedikit dibandingkan tahun 2008. Di Asia Timur infeksi HIV baru menurun hampir 25% dan di Asia
Selatan dan Asia Tenggara menurun sekitar 10% pada periode waktu yang sama. Namun, di beberapa
negara ada tanda-tanda bahwa infeksi HIV baru meningkat lagi.4

Di Indonesia sampai 30 Juni 1991 telah dilaporkan sebanyak 35 orang mengidap HIV, 16 orang menderita
AIDS yang pada akhir tahun 1991 orang yang mengidap AIDS meningkat menjadi 40 orang. Tahun 1993
menurut Departemen Kesehatan penderita AIDS sudah meningkat menjadi 85 orang. Pada tahun 2009
menurut Departemen Kesehatan dalam triwulan Januari sampai Maret 2009, dilaporkan 114 orang
menderita infeksi HIV dan 854 orang menderita AIDS. Angka kumulatif dari 1 Januari 1987 sampai 31
Maret 2009 (12 tahun) terdapat 23.632 orang dengan perincian 6.608 penyandang infeksi HIV dan
16.964 orang penderita AIDS. Dari jumlah tersebut propinsi Jawa Barat menempati urutan pertama
(3.102 orang) disusul DKI Jakarta (2.807 orang), Propinsi Jawa Timur (2.652 orang), Papua (2.499 orang)
dan Propinsi Bali (1.263 orang). Berdasarkan golongan umur, golongan umur 20-29 tahun menempati
urutan tertinggi (8.567 orang), disusul golongan umur 30-39 tahun (4.997 orang).5

2.4 Etiologi2

Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human immuno deficiency virus (HIV) ini
adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal 2
serotipe HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-2 disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang
sampai sekarang hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika. Sprektum penyakit yang
menimbulkannya belum banyak di ketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) yang
tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphothropic virus type III (HTLV III),
lymphadenopathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus. Secara morfologik HIV-1 berbentuk
bulat dan terdiri atas bagian inti (core) dan selubung (envelope).

Inti dari virus terdiri dari suatu protein sedang selubungnya terdiri dari suatu glikoprotein. Protein dari
inti terdiri dari genom RNA dan suatu enzim yang dapat mengubah RNA menjadi DNA pada waktu
replikasi virus, yang disebut enzim reverse trankriptase. Genom virus yang pada dasarnya yang terdiri
dari gen, bertugas memberikan kode baik bagi pembentukan protein inti, enzim reverse transkriptase
maupun glikoprotein dari selubung. sebenarnya masih ada gen lain yang berfungsi mengatur sintesis,
kemampuan infeksi (infeksisitas), replikasi dan fungsi yang lain dari virus. bagian envelope yang terdiri
dari glikoprotein, ternyata mempunyai peran yang penting pada terjadinya infeksi oleh karena
mempunyai afinitas yang besar terhadap reseptor spesifik dari sel penjamu.

Gambar 2.1 Struktur virus HIV


2.5 Cara penularan HIV-AIDS

Penularan HIV dan AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV. HIV dapat
diisolasi dari darah, semen, air mata, sekresi vagina atau serviks, urine, ASI dan air liur. Penularan yang
paling efisien melalui darah dan semen. HIV juga dapat ditularkan melalui air susu dan sekresi vagina
atau serviks. Cara penularannya yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun
heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang
terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Ibu-ibu tersebut dapat menularkan HIV kepada anaknya ketika
melahirkan atau melalui pemberian ASI.1,5,6

2.6 Patogenesis1

Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul
permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting.
Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif.

Kejadian infeksi HIV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus
(SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada mukosa vagina. Virus dibawa oleh antigen-
presenting cells ke kelenjar getah bening. Virus dideteksi pada kelenjar getah bening maka dalam 5 hari
setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat dideteksi
dengan hibridisasi in situ dalam 7 sampai 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dapat dideteksi 7-21 hari
setelah infeksi. Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening berhubungan
dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan limfoid
kemudian menurun secara cepat dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respon imun
spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya virema adalah peningkatan sel limfosit CD8 tetapi tidak dapat
dikatakan bahwa respons sel limfosit CD8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV.
Replikasi HIV berada pada keadaan steady state beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini bertahan
relatif stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi
tingkat replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh penjamu adalah
heterogeneitas kapasitas replikatif virus dan heterogeneitas intrinsik penjamu.

Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum dapat
dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai level steady state. Walaupun
sembuh, umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak
dapat mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibody dengan melakukan
adaptasi pada amplop-nya, termasuk kemampuannya mengubah glikosilasi-nya, akibatnya konfigurasi 3
dimensinya berubah sehingga netralisasi yang diperantai antibody tidak dapat terjadi.

2.7 Patofisiologi1

Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali pasien terinfeksi
HIV, seumur hidup akan tetap terinfeksi. Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan gejala atau
tanda tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah
terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa
tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun.

Seiring dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening,
diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes,dll.

Tanpa pengobatan ARV, secara bertahap kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan
akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi yang disebut
laten, manifestasi dari awal kerusakan sitem kekebalan tubuh adalah kerusakan mikro arsitektur folikel
kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan
pemeriksaan hiridisasi in situ. Sebagina besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening.

Pada waktu orang dengan infeksi infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkkan gejala, pada
waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan
mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran
limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa megkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4
sekita 109 sel setiap hari.

2.8 Manifestasi Klinis2

Setelah terjadi infeksi HIV tidak segera timbul gejala, oleh karena diperlukan waktu untuk terjadinya
replikasi virus yang kemudian memegang peran dalam timbulnya berbagai gejala klinis dan laboratorium.
Dengan demikian ini berarti masa inkubasi infeksi HIV sangat berbeda-beda tergantung pada dosis infeksi
dan daya tahan tubuh inang. Menurut Apradi dan Caspe (1950), pada infeksi yang terjadi vertikal lebih
dari 50% masa inkubasinya sekitar 1 tahun, 78% sekitar 2 tahun. Pada anak lebih besar, masa inkubasi ini
umumnya lebih panjang, walaupun lebih pendek jika dibandingkan dengan masa inkubasi pada orang
dewasa. pada 5% kasus, dijumpai masa inkubasi yang lebih dari 6-9 tahun. Setelah masa inkubasi timbul
gejala prodromal yang bersifat non spesifik setelah suatu selang waktu yang berbeda-beda.

Gejala non spesifik (prodromal)infeksi HIV adalah demam, gangguan pertumbuhan, kehilangan berat
badan (10% atau lebih), hepatomegali, limpadenopati (diameter lebih dari 0,5 cm pada 2 tempat atau
lebih), splenomegali, parotitis, dan diare. Gejala spesifik infeksi HIV adalah 1) gangguan tumbuh
kembang dan fungsi intelek, 2) Gangguan pertumbuhan otak, 3) Defisit motoris yang progresif yang
ditandai oleh 2 atau lebih gejala berikut paresis, tonus otot yang abnormal, refleks patologis, ataksi atau
gangguan melangkah 4) Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP), 5) Infeksi sekunder yang terdiri dari a)
Infeksi oportunistik seperti pneumonia oleh Pneumocystis carinii, kandidiasis, infeksi criptococcus, infeksi
mikrobakterial yang atifik b) Infeksi sekunder oleh Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza,
Neisseria meningitis, Salmonella enteritidis yang menimbulkan sepsis, meningitis, pneumonia dan abses
organ interna, c) Infeksi virus yang berat dan berulang stomatitis herpes yang kronik dan berulang,
herpes zoster multidermatomal atau luas, 6) Keganasan sekunder seperti limfoma susunan saraf pusat
primer hodgkin B-cell dan non Hodgkin's lymphoma, sarkoma Kaposi (umumnya pada orang dewasa), 7)
Penyakit tertentu yang lain seperti kardimiopati dengan gaggal jantung atau aritmia, beberapa kelainan
hematologi (tersering anemia dan trombositopenia), glomerulonefropati, kelainan kulit sperti eksim,
seborrhoe, molluscum contangiosum yang berat dan berjalan lama. Perlu dikemukakan bahwa sebelum
timbul gejala umumnya telah dapat dijumpai adanya gangguan fungsi imun.

2.9 Penanganan5

Infeksi HIV dan AIDS belum tersedianya kemoterapi dan imunoterapi efektif untuk mengobati AIDS dan
belum adanya vaksin yang efektif untuk mencegah AIDS. Namun demikian usaha pengobatan dan
pencegahannya telah dimulai walaupun belum begitu menonjol hasilnya. Obat pertama yang
memberikan harapan terhadap AIDS adalah azidothymidine (AZT) yang mula- mula dikembangkan utuk
obat anti kanker. AZT yang bekerja menghambat reverse transkriptase yang toksik khususnya untuk
sumsum tulang. Untuk mengurangi toksisitasnya, telah dicoba diberikan bersama-sama dengan obat lain
yang kurang toksik.

Kini terdapat empat kelas obat-obatan yang memeiliki sasaran pada 3 tahap dalam daur hidup retrovirus
telah digunakan di klinik, yaitu 1) Kelas inhibitor transkripsi mundur, sebagai obat yang merupakan
analog nukleosid/nukleotid yang disisipkan ke dalam untaian DNA virus yang sedang terbentuk, sehingga
mengarah penghentian terbentuknya untaian DNA virus yang pada gilirannya akan menghetikan
produksi HIV tapi diproduksi virus yang tidak infektif, 2) kelas inhibitor transkripsi mundur, sebagai obat
yang berbentuk non-nikleosid/nukleosid yang akan mengikat secara alosterik pada tempat yang jauh dari
“substrate binding site”, 3) kelas inhibitor protease virus akan menghambat pembelahan poliprotein gag
dan pol (protein yang dibentuk sebagai komponen virus), 4) kelas inhibitor fusi pertama, yang
merupakan obat berbentuk peptida yang mengikat gp41, sehingga menghambat fusi dengan membran
sel inang.

Masalah utama dalam terapi HIV adalah perkembangan resistensi obat. Hal tersebut disebabkan oleh
adanya kecemderungan kesalahan dalam transkripsi mundur, beban jumlah virus yang besar dan laju
keepatan replikasi virus. Resistensi terhadap banyak obat-obatan yang tergolong inhibitor protease dan
beberapa obat analog nukleosid yang mempuanyai potensi resisten, berkembang dalam beberapa hari,
karena adanya mutasi tunggal dalam enzim sasaran, akan berdampak adanya resistensi terhdap
sejumlah obat. Resistensi terhadap obat antiretrovirus lain, seperti misalnya zidovudine (AZT)
mensyaratkan mutasi multipel (3 atau 4 untuk AZT) dan berkembang lebih lama.

Karena cepatnya perkembangan resistensi terhadap semua obat-obatan anti-HIV yang diberikan secara
tunggal, untuk keberhasilan terapi penekan HIV, kini perlu menggunakan terapi kombinasi. Anti-
Retroviraltherapy (ART) mencakup pemberian kombinasi obat-obatan inhibitor nukleotid dan non-
nukleotid RT dan/ inhibitor protease dan dalam beberapa kasus inhibitor fusi: “enfuvirtide”. Selama 2
minggu pertama pengobatan, beban virus dalam darah menurun sangat cepat. Hal ini mencerminkan
adanya hambatan produksi virus dalam sel dan cepatnya pembersihan virus bebas dalam peredaran
darah (waktu paruh hidup sekitar 6 jam). Hasil tersebut menunjukan waktu paruh hidup dari
produktivitas sel-sel yang terinfeksi berkisar selama 3 hari. Pada akhir 2 minggu pengobatan, penurunan
kandungan virus dalam darah dapat mencapai 95%. Hal ini memberikan petunjuk bahwa lenyapnya
produktivitas sel T CD4+ yang terinfeksi hampir mencapai kesempurnaan. Sementara itu terjadi
peningkatan jumlah sel T CD4+ dalam peredarah darah perifer. Setelah replikasi HIV dan infeksinya dapat
dikendalikan, kenaikan sel T CD4+ disebabkan oleh redistribusi sel T CD4+ memori dari jaringan limfoid
ke dalam peredaran darah, pengurangan tingkat aktivitas imun yang abnormal yang terkait dengan
pembunuhan sel-sel terinfeksi oleh sel T CD8+, munculnya sel-sel T naiv dari kelenjar timus.

Setelah pembersihan awal secara cepat hampir sempurna, kematian virus dengan lambat terjadi pada
fase kedua mencerminkan adanya kematian produksi virus lambat dalam tempat “persediaan” virus yang
berumur panjang. Tempat tersebut misalnya dalam sel-sel dendritik dan makrofag dan sel T CD4+ yang
terinfeksi secara laten yang kemudian diaktivasi.

Fase ketiga telah dipostulatkan, bahkan berjalan lebih lambat lagi, hasil dari reaktivitas provirus dalam
sel-sel T memori dan reservoir infeksi yang lain. virus-virus yang tersimpan dalam sel dendritik dalam
jaringan limfoid dalam bentuk kompleks imun, membuat mereka menjadi sumber virus dalam jangka
panjang. Persediaan virus laten ini dapat berada untuk beberapa tahun dan mereka resisten terhadap
terapi obat anti-HIV yang kini ada.

2.10 Upaya Pencegahan dan penanggulangan

Ada beberapa jenis program yang dianjurkan oleh Badan Kesehatan Dunia, WHO, untuk dilaksanakan
secara sekaligus, yaitu a) pendidikan kesehatan produksi untuk remaja dan dewasa muda; b) program
penyuluhan sebaya (peer group education) untuk berbagai kelompok sasaran; c) program kerjasama
dengan media cetak dan elektronik; d) paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika,
termasuk program pengadaan jarum suntik streril; e) program pendidikan agama; f) program layanan
infeksi menular seksual (IMS); g) program promosi kondom di lokasi pelacuran dan panti pijat; h)
pelatihan keterampilan hidup; i) program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling; i)
dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak; k) integrasi program pencegahan dengan
program pengobatan, perawatan, dan dukungan dengan odha; l) program pencegahan penularan HIV
dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV 1

Program pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda, perlu dipikirkan strategi
penenrapannya di sekolah, akademi dan universitas dan untuk remaja di luar sekolah. Walaupun sudah
ada SK Mendiknas mengenai maslah ini, namun secara nasional belum diterapkan.1

Untuk program penyuluhan sebaya, cukup banyak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai
pengalaman dengan sasaran yang berbeda-beda. Program magang akan berguna untuk daerah-daerah
yang belum mengerjakan atau ingin memperluas cakupan kelompok sasarannya. System magang antar
LSM saat ini sudah berjalan terasa sekali manfaatnya dan perlu ditingkatkan.1
Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik sudah terbina dengan baik, sehingga tinggal
melanjutkan agar ada kesinambungan. Setiap momentum yang terkait dengan HIV/AIDS perlu
dimanfaatkan untuk mendorong partisipasi media untuk mendukung kegiatan-kegiatan tersebut.1

Kehidupan beragam yang berjalan baik tentu tidak lepas dari pendidikan agama di sekolah dan di rumah.
Tetapi strategi belajar mengajar yang berpinjak pada kehidupan sehari-hari, termasuk dalam
penggunaan bahas dan idiom-idiom yang disesuaikan dengan peserta didik. Sebagai misal, istilah khamr
atau alcohol tidak dikenal dalam bahasa sehari-hari remaja.1

Pelatihan keterampilan hidup amat diperlukan oleh remaja agar mengenal potensi diri, tahu
memanfaatkan sistem, serta mengenal kesempatan dan cara-cara mengembangkan diri. Bila kehidupan
ekonomi dan pendidikan membaik, penularan HIV/AIDS dapat ditekan.1

Pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling yang mudah dicapai dan suasana akrab dengan
klien akan menyebabkan orang-orang yang merasa mempunyai risiko tinggi mendatangi tempat-tempat
tes dan konseling HIV. Dengan konseling, diharapkan orang yang terinfeksi HIV akan menerapkan seks
aman dan tidak menularkan HIV ke orang lain.1

Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasan prostitusi anak memang bukan merupakan kegiatan
yang mudah dikerjakan. Untuk melaksanakan kegiatan ini diperlukan kepedulian dan partisipasi aktif
berbagai lapisan masyarakat seperti LSM, ahli hokum, ahli ilmu social, media massa, kepolisian,
Departemen Sosial, Departemen Kesehatan,dll.1

Mengintegrasikan program pencegahan dengan program pengobatan, perawatan dan dukungan untuk
odha merupakan syarat mutlak untuk keberhasilan program penanggualangan HIV/AIDS. Hasilnya tidak
akan sebaik bila dilakukan bersama program pengobatan, layanan dan dukungan untuk odha.masyarakat
yang mendapat penyuluhan saja, kemudian merasa risiko tingi tidak akan mau melakukan tes HIV bila ia
melihat tidak ada yang merawat atau bila ia mengetahui ada odha yang dipecat dari pekerjaanya dan
dikucilkan dari keluarga dan masyarakat.1

Penularan HIV secara seksual dapat dicegah dengan berpantang seks, hubungan monogami antara
pasangan yang tidak terinfeksi, seks non-penetratif, dan penggunaan kondom pria atau kondom wanita
secara konsisten dan benar.7

Bagi pengguna narkoba, langkah-langkah tertentu dapat diambil untuk mengurangi risiko kesehatan
masyarakat maupun kesehatan pribadi, yaitu: 1) Beralih dari napza yang harus disuntikkan ke yang dapat
diminum secara oral. 2) Jangan pernah menggunakan atau secara bergantian menggunakan semprit, air,
atau alat untuk menyiapkan napza. 3) Gunakan semprit baru (yang diperoleh dari sumber-sumber yang
dipercaya, misalnya apotek, atau melalui program pertukaran jarum suntikan) untuk mempersiapkan dan
menyuntikkan narkoba. 4) Ketika mempersiapkan napza, gunakan air yang steril atau air bersih dari
sumber yang dapat diandalkan. 5) Dengan menggunakan kapas pembersih beralkohol, bersihkan tempat
yang akan disuntik sebelum penyuntikan dilakukan. Cara tambahan yang lain untuk menghindari infeksi
adalah bila seorang pengguna narkoba suntikan, selalu gunakan jarum suntik atau semprit baru yang
sekali pakai atau jarum yang secara tepat disterilkan sebelum digunakan kembali, pastikan bahwa darah
dan produk darah telah melalui tes HIV dan standar standar keamanan darah dilaksanakan.7

Penularan dari Ibu ke Anak dapat dikurangi dengan cara berikut : 1) Pengobatan: Pengobatan preventatif
antiretroviral jangka pendek merupakan metode yang efektif dan layak untuk mencegah penularan HIV
dari ibu ke anak. Ketika dikombinasikan dengan dukungan dan konseling makanan bayi, dan penggunaan
metode pemberian makanan yang lebih aman, pengobatan ini dapat mengurangi risiko infeksi anak
hingga setengahnya. Regimen ARV khususnya didasarkan pada nevirapine atau zidovudine. Nevirapine
diberikan dalam satu dosis kepada ibu saat proses persalinan, dan dalam satu dosis kepada anak dalam
waktu 72 jam setelah kelahiran. Zidovudine diketahui dapat menurunkan risiko penularan ketika
diberikan kepada ibu dalam enam bulan terakhir masa kehamilan, dan melalui infus selama proses
persalinan, dan kepada sang bayi selama enam minggu setelah kelahiran. Bahkan bila zidovudine
diberikan di saat akhir kehamilan, atau sekitar saat masa persalinan, risiko penularan dapat dikurangi
menjadi separuhnya. Secara umum, efektivitas regimen obat-obatan akan sirna bila bayi terus terpapar
pada HIV melalui pemberian air susu ibu. Obat-obatan antiretroviral hendaknya hanya dipakai di bawah
pengawasan medis. 2) Operasi caesar merupakan prosedur pembedahan di mana bayi dilahirkan melalui
sayatan pada dinding perut dan uterus ibunya. Dari jumlah bayi yang terinfeksi melalui penularan ibu ke
anak, diyakini bahwa sekitar dua pertiga terinfeksi selama masa kehamilan dan sekitar saat persalinan.
Proses persalinanmelalui vagina dianggap lebih meningkatkan risiko penularan dari ibu ke anak,
sementara operasi caesar telah menunjukkan kemungkinan terjadinya penurunan risiko. Kendatipun
demikian, perlu dipertimbangkan juga faktor risiko yang dihadapi sang ibu. 3) Menghindari pemberian
ASI: Risiko penularan dari ibu ke anak meningkat tatkala anak disusui. Walaupun ASI dianggap sebagai
nutrisi yang terbaik bagi anak, bagi ibu penyandang HIV-positif, sangat dianjurkan untuk mengganti ASI
dengan susu formula guna mengurangi risiko penularan terhadap anak. Namun demikian, ini hanya
dianjurkan bila susu formula tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizi anak, bila formula bayi itu dapat
dibuat dalam kondisi yang higienis, dan bila biaya formula bayi itu terjangkau oleh keluarga.7

Para pekerja kesehatan hendaknya mengikuti Kewaspadaan Universal (Universal Precaution).


Kewaspadaan Universal adalah panduan mengenai pengendalian infeksi yang dikembangkan untuk
melindungi para pekerja di bidang kesehatan dan para pasiennya sehingga dapat terhindar dari berbagai
penyakit yang disebarkan melalui darah dan cairan tubuh tertentu. Kewaspadaan Universal meliputi: 1)
Cara penanganan dan pembuangan barang-barang tajam (yakni barang-barang yang dapat menimbulkan
sayatan atau luka tusukan, termasuk jarum, jarum hipodermik, pisau bedah dan benda tajam lainnya,
pisau, perangkat infus, gergaji, remukan/pecahan kaca, dan paku), 2) Mencuci tangan dengan sabun dan
air sebelum dan sesudah dilakukannya semua prosedur 3) Menggunakan alat pelindung seperti sarung
tangan, celemek, jubah, masker dan kacamata pelindung (goggles) saat harus bersentuhan langsung
dengan darah dan cairan tubuh lainnya 4) Melakukan desinfeksi instrumen kerja dan peralatan yang
terkontaminasi 5) Penanganan seprei kotor/bernoda secara tepat.Selain itu, semua pekerja kesehatan
harapnya berhati-hati dan waspada untuk mencegah terjadinya luka yang disebabkan oleh jarum, pisau
bedah, dan instrumen atau peralatan yang tajam. Sesuai dengan Kewaspadaan Universal, darah dan
cairan tubuh lain dari semua orang harus dianggap telah terinfeksi dengan HIV, tanpa memandang
apakah status orang tersebut baru diduga atau sudah diketahui status HIV-nya.7
BAB III

METODE DAN PROSEDUR KEGIATAN

3.1 Jenis Kegiatan

Jenis kegiatan pembelajaran luar kelas Blok 16 ini adalah penyuluhan kesehatan dengan menggunakan
metode ceramah dengan menggunakan media power point, leaflet dan metode tanya jawab. Adapun
materi yang akan disampaikan adalah mengenai pencegahan dan penularan HIV-AIDS.

3.2 Sasaran Kegiatan

Sasaran kegiatan penyuluhan adalah siswa-siswi kelas 8-G SMP N 1 Cimahi yang berjumlah 25 siswa.

3.3 Tempat dan Waktu Kegiatan

Kegiatan penyuluhan mengenai pencegahan dan penularan HIV-AIDS dilaksanakan di kelas 9-G SMP N 1
Kota Cimahi pada hari Rabu 4 April 2012 pukul 13.00-14.00 WIB.

3.4 Cara Kegiatan

Kegiatan pembelajaran luar kelas Blok 16 merupakan kegiatan penyuluhan yang dilakukan dengan
menggunakan metode ceramah yang dilengkapi dengan media berupa leaflet dan power point slide,
leaflet dan metode tanya jawab. Kegiatan penyuluhan ini diawali dengan sesi perkenalan selama 15
menit, kemudian pemateri menjelaskan materi mengenai pencegahan dan penularan HIV-AIDS kepada
peserta penyuluhan selama 20 menit. Setelah itu, dilakukan sesi tanya jawab mengenai materi
penyuluhan selama 20 menit dan terakhir dilakukan penutupan kegiatan selama 5 menit.

5.1 Simpulan

Setelah dilakukan penyuluhan, siswa siswi SMP N 1 Cimahi kelas 8-G dapat mengetahui bahaya penyakit
HIV-AIDS. Banyak murid antusias pada saat diberi kesempatan untuk bertanya dan pada saat diberi
kesempatan untuk menjawab, hal ini membuktikan bahwa penyuluhan berhasil.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyuluhan adalah bahasa yang digunakan saat pemaparan
materi jelas, penyampaian materi menggunakan media yang menarik power point dan pembagian
leaflet.

5.2 Saran

1. Siswa-siswi SMP N 1 Cimahi hendaknya mengikuti penyuluhan secara berkala agar dapat mencegah
penularan penyakit HIV-AIDS.

2. Pihak sekolah seharusnya menjadwalkan secara berkala penyuluhan mengenai penyuluhan


pencegahan dan penularan penyakit HIV-AIDS.

3. Penyuluh agar lebih mempersiapkan kegiatan penyuluhan berupa poster untuk mengantisipasi jika
terjadi listrik mati.

4. Dinas kesehatan sebaiknya dapat membina UKS sebagai upaya pertama untuk mencegah HIV-AIDS.

5. Pemerintah daerah hendaknya membuat penyuluhan secara berkala dan bekerja sama dengan
Fakultas Kedokteran dan institusi kesehatan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai