DISUSUN OLEH:
LAKSITA PARAMASTUTI G 99172100
PEMBIMBING :
dr. HENKY AGUNG NUGROHO, M.Si.Med., Sp.B(K)Onk.
Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Bedah Onkologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Presentasi kasus dengan judul:
Oleh:
2
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... 1
DAFTAR ISI ................................................................................................... 2
BAB I : STATUS PASIEN ............................................................................. 3
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 13
BAB III : SIMPULAN .................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 40
3
BAB I
STATUS PASIEN
I.ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Mojolaban, Sukoharjo
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 2 Juli 2018
Tanggal Periksa : 6 Juli 2018
No RM : 0141xxx
B. Keluhan Utama
Benjolan di leher
4
badan (-), sesak (-). Dirasa kondisi tidak mengalami perbaikan, pasien
memeriksakan diri ke RSDM.
5
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat minum jamu bebas : disangkal
Riwayat olahraga : jarang
Konsumsi garam beryodium : (+)
H. Anamnesis Sistemik
Kepala : pusing (-), nyeri kepala (-)
Mata : pandangan kabur (-/-),bengkak (-/-), mata merah
(-/-)
Hidung : pilek (-), hidung tersumbat (-), keluar darah (-)
Pipi : bengkak (-/-), nyeri (-/-)
Telinga : pendengaran berkurang (-/-), keluar cairan (-/-),
berdenging (-/-)
Mulut : mulut kering (-), bibir biru (-), sariawan (-), gusi
berdarah (-), bibir pecah-pecah (-), mulut berdarah
(-), mulut terasa pedih (-), bibir bengkak (-)
Leher : nyeri telan (-), suara serak (+), benjolan (+), nyeri
tekan (-), warna kulit berubah (-), kulit luka (-)
Respirasi : nyeri saat bernafas (-), sesak (-), dada terasa ampeg
(-), batuk (-), dahak (-), batuk darah (-), mengi (-)
Kardiovaskular : nyeri dada berat secara tiba-tiba (-), berdebar-debar
(-), pingsan (-), kaki bengkak (-), keringat dingin (-
)
Gastrointestinal : mual (-), muntah (-), perut terasa panas (-), kembung
(-), sebah (-), muntah darah (-), BAB warna hitam (-
), BAB sulit (-), perut buncit (-)
Genitourinaria : BAK warna kuning jernih (+), nyeri saat BAK (-),
BAK berpasir (-), nyeri pinggang (-)
Muskuloskeletal : nyeri otot (-), nyeri sendi (-)
Ekstremitas
Atas : pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-), terasa
6
dingin (-/-)
Bawah : luka (-/-), pucat (-/-), kebiruan (-/-), bengkak (-/-),
terasa dingin (-/-)
II.PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum
a. Keadaan umum : compos mentis, E4V5M6, tampak sakit sedang,
kesan gizi cukup
b. Vital sign :
TD : 120/80 mmHg
N : 80 kali per menit, regular, simetris, isi dan tegangan cukup
RR : 20 x/menit
T : 37O C per aksila
VAS : 0
B. General Survey
1. Kulit : kulit sawo matang, kering (-), ujud kelainan kulit (-),
hiperpigmentasi (-)
2. Kepala : mesocephal
3. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), cekung (-/-),
reflex cahaya (+/+), pupil isokhor 3mm/3mm
4. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-).
5. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-), keluar
darah (-).
6. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), lidah kotor (-), jejas (-).
7. Leher : JVP tidak meningkat, lihat status lokalis
8. Thorak : bentuk normochest, retraksi (-), gerakan dinding dada
simetris.
Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar.
7
Auskultasi : bunyi jantung I-II normal, regular, bising (-)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri.
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara tambahan
(-/-), ronki basah kasar (-/-)
9. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, perut distended
(-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, 12x/ menit
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
10. Genitourinaria : BAK nyeri (-), nyeri ketok costovertebra (-)
11. Ekstremitas : CRT < 2 detik
Akral dingin Oedema
- - - -
- - - -
C. Status Lokalis
1. Regio colli :
Kesan tampak asimetris
Inspeksi : tampak benjolan (+) di regio colli dextra et sinistra, warna
sama dengan kulit sekitarnya.
Palpasi : - dextra : teraba massa berukuran 7 x 7 x 2 cm dan 4 x 4 cm
di lateral dextra et sinistra, konsistensi kenyal, suhu sama
dibanding dengan kulit sekitar, permukaan rata, batas
tegas, terfiksir, bergerak saat menelan (+)
- palpasi A. carotis kanan dan kiri simetris
8
Infraclavicula kanan dan kiri : tidak teraba massa, nyeri tekan (-)
Supraclavicula kanan dan kiri : nyeri tekan kanan (-)
9
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Thoraks PA 4 April 2018
Kesimpulan:
Cor dan Pulmo dalam batas normal
IV. ASSESMENT I
Struma Multinodular Bilateral
10
V. PLAN I
1. CT Scan dengan Kontras
2. Pemeriksaan Laboratorium
3. Pasien mondok pro subtotal / total tiroidektomi
4. Kolaborasi operasi dengan bagian bedah thoraks dan kardiovaskular
VI.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium darah 2 Juli 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 12.1 g/dL 13.5 – 17.5
Hematokrit 36 % 33 – 45
Leukosit 5.5 Ribu/µl 4.5 - 11.0
Trombosit 213 Ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 3.91 Juta/µl 4.50 – 5.90
Golongan darah B
Golongan darah Rh positif
HEMOSTASIS
PT 13.1 detik 10-15
APTT 27.6 detik 20-40
INR 0.960
KIMIA KLINIK
SGOT 22 u/L < 31
SGPT 19 u/L < 34
Albumin 4.0 g/dl 3.4 - 4.6
Creatinin 1.1 mg/dl 0.6 - 1.4
Ureum 32 mg/dl < 50
Cholesterol total 149 mg/dl 50 – 200
LDL 99 mg/dl 83 – 210
11
HDL 33 mg/dl 30 – 74
Trigliserida 97 mg/dl <150
ELEKTROLIT
Natrium darah 137 mmol/l 132-146
Kalium darah 3.5 mmol/l 3.7-5.4
Klorida darah 108 mmol/l 98 – 106
SEROLOGI HEPATITIS
HbsAg Non-reactive Non-reactive
12
13
Kesimpulan :
1. Massa thyroid bilateral, kesan malignant meluas ke intra thorakal
superior, plica vocalis, sebagian kartilago thyroid, cricoid dan hyoid
serta prevertebral fascia disekitarnya, mendesak A. Carotis dan V.
Jugularis bilateral ke lateral serta mempersempit trakea dan esofagus
yang mendapat feeding arteries dari A. Thyroidea Superior dan A.
Laryngea Superior serta A. Infrahyoid Bilateral.
2. Multiple limfadenopati submandibula, colli bilateral, dan axilla
bilateral
3. Sinusitis maksillaris kanan
4. Tak tampak lesi di brain parenchyme
5. Staging menurut AJCC 2010 : T4bN1bM0 (Stadium IVB)
VII. ASSESSMENT II
Struma Multinodular Bilateral (T4bN1bM0)
14
VIII. PLAN II
1. Pro konsul BTKV untuk rencana embolisasi
2. Pro subtotal/ total tiroidektomi
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Embriologi Tiroid
Tiroid merupakan kelenjar endokrin pertama yang terbentuk pada
embrio, mulai dibentuk pada hari ke 24. Pembentukan ini dimulai dengan suatu
penebalan endoderm pada garis tengah lantai faring antara tuberculum impar
dan copula pada suatu titik yang kemudian dikenal sebagai foramen caecum.
Endoderm ini tumbuh memanjang kebawah membentuk divertikulum tiroid.
Sesuai pertambahan panjang embrio, tiroid turun kebawah, melewati bagian
depan kartilago laring dan tulang hioid. Selama proses penurunan ini tiroid
tetap terhubung dengan asalnya di lidah melalui saluran sempit duktus
tiroglosus sampai tujuannya tercapai di leher. Pada saatnya duktus tiroglosus
akan mengalami degenerasi dan biasanya komplit pada minggu ke tujuh,
namun bisa tertinggal sisa yang dikenal sebagai kista duktus tiroglosus. Kista
ini bisa terdapat dimana saja sepanjang garis penurunan tiroid. Posisi akhir
akan tercapai di depan trakea pada minggu ke tujuh. Pada akhirnya terbentuk
dua lobus dilateral dan dihubungkan oleh isthmus di tengah (Sadler, 2010).
Tiroid mulai berfungsi diperkirakan pada akhir bulan ketiga, dimana saat
pertama kali folikel tampak berisi koloid. Sel folikuler menghasilkan koloid
yang merupakan sumber tiroksin dan triiodotironin (Sadler, 2010).
16
pada pemeriksaan klinis rutin. Isthmus menghubungkan ke dua lobus,
mempunyai tinggi 12-15 mm. Kadang-kadang terdapat lobus piramidalis
ditengah diatas isthmus (Wartofsky, 2015). Variasi anatomi kelenjar tiroid dan
dijumpai dalam praktek klinik, satu yang paling umum adalah hemiagenesis
tiroid dengan hanya satu lobus dan satu isthmus kelenjar tiroid. Lobus
hemiagenesis tiroid memiliki kemungkinan kelainan yang sama dengan
kelenjar tiroid normal termasuk nodul dan kanker tiroid (Wartofsky, 2015).
Kelenjar tiroid diliputi oleh suatu kapsul fibrosa. Nodul yang terdapat
pada parenkim kelenjar juga diliputi kapsul atau pseudokapsul. Laporan
patologi dapat menunjukan adanya invasi suatu tumor melewati kapsul, dan
untuk penentuan stadium, prognosis dan pengelolaan. Ini penting untuk
diketahui apakah terdapat perluasan melewati kapsul kelenjar sekeliling
jaringan peritiroid. Beberapa struktur kunci berhubungan dengan kapsul dan
harus menjadi perhatian dalam pembedahan kelenjar tiroid adalah kelenjar
paratiroid dan nervus laringeal rekuren. Ini merupakan bagian penting pada
total tiroidektomi pada pasien kanker tiroid. Kelenjar paratiroid terdapat pada
aspek posterior kelenjar tiroid. Identifikasi dan preservasi kelenjar paratiroid
ini penting selama pembedahan dan dapat menjadi suatu hal yang sulit pada
kanker yang invasiv yang mana dibutuhkan pembedahan ekstensif untuk
reseksi yang komplit, termasuk diseksi leher modifikasi. Monitoring ketat
fungsi kelenjar paratiroid melalui pengukuran kadar kalsium pada periode awal
postoperasi adalah penting untuk mencegah atau pengobatan yang adekuat
terhadap hipoparatiroid postoperasi (Wartofsky, 2015).
Nervus laringeus rekuren merupakan struktur lain yang perlu
diperhatikan. Nervus ini memberikan bagian persarafan yang penting terhadap
laring, dan setiap cedera dapat menimbulkan gejala mulai dari suara serak
sampai stridor hingga membutuhkan suatu trakeostomi. Nervus laringeus
rekuren ini berasal dari nervus vagus dan pada lengkung aorta kembali menuju
atas ke trakeoesopageal groove (Wartofsky, 2015).
Suplai darah kelenjar tiroid berasal dari dua pasang arteri yang terletak
di lateral. Arteri tiroidea superior berasal dari arteri carotis eksterna. Arteri
17
tiroidea superior turun ke pole superior kelenjar tiroid, dan bergabung bersama
nervus laringeus superior. Nervus laringeus superior ini berasal dari ganglion
vagus inferior. Sewaktu mendekati laring nervus laringeus superior terbagi
menjadi cabang eksterna dan cabang interna. Cabang interna mensuplai
inervasi sensoris supraglotis laring, dan cabang eksterna menginervasi
muskulus krikotiroid. Ini biasanya direkomendasikan selama operasi
tiroidektomi. Ahli bedah harus meligasi arteri tiroidea superior sedekat
mungkin dengan kelenjar tiroid, untuk menghindari kerusakan setiap cabang
nervus laringeus superior (Wartofsky, 2015).
Arteri tiroidea inferior cabang dari arteri subclavia dan sangat dekat
dengan nervus laringeus rekuren. Kadang-kadang arteri tiroid ima (cabang
18
arcus aorta) juga menyediakan suplai darah untuk kelenjar tiroid dan berasal
dari trunkus servikalis atau cabang dari aorta. Aliran vena kelenjar tiroid terdiri
dari tiga pasang vena; superior, media dan inferior. Vena superior dan media
mengalir ke vena jugularis interna, dan vena inferior beranastomose dengan
vena-vena lain dianterior trakhea dan mengalir ke vena brakhiosefalika
(Wartofsky, 2015).
Tiroid mempunyai jaringan saluran getah bening yang menuju ke KGB
di daerah laring diatas isthmus (Delphian node), KGB paratrakeal berlokasi
dekat dengan N. Rekuren, KGB bagian depan trakea. Dari kelenjar tersebut
bergabung alirannya kemudian diteruskan ke KGB rantai jugular (Brunicardi
et al, 2010).
Kelenjar tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin yang mensekresikan
hormon Tiroksin atau T4, triiodotironin atau T3 dan kalsitonin. Di dalam darah
sebagian besar T3 dan T4 terikat oleh protein plasma yaitu albumin, Thyroxin
Binding Pre Albumin (TBPA) dan Thyroxin Binding Globulin (TGB). Sebagian
kecil T3 dan T4 bebas beredar dalam darah dan berperan dalam mengatur
sekresi TSH. Hormon tiroid dikendalikan oleh thyroid-stimulating hormone
(TSH) yang dihasilkan lobus anterior glandula hypofise dan pelepasannya
dipengaruhi oleh thyrotropine-releasing hormone (TRH). Kelenjar tiroid juga
mengeluarkan calcitonin dari parafolicular cell, yang dapat menurunkan
kalsium serum berpengaruh pada tulang.
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu Tiroksin (T4).
Bentuk aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal
dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh
kelenjar tiroid. Iodida inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan
bahan baku hormon tiroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi menjadi
bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam
tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin
(DIT). Senyawa DIT yang terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang
disimpan di dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4 dilepaskan ke
sirkulasi, sedangkan sisanya tetap didalam kelenjar yang kemudian mengalami
19
diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. (De Jong & Syamsuhidayat,
2015).
Pada dasarnya kelenjar tiroid hanya menghasilkan hormone T4 yang
kemudian dikonversikan menjadi T3 oleh 5’ monodeiodination di hati, ginjal,
otot tulang. T3 melakukan tugasnya melalui ikatannya dengan reseptor
hormone tiroid spesifik (THRs).
Tubuh memiliki mekanisme yang rumit untuk menyesuaikan kadar
hormon tiroid. Hipotalamus (terletak tepat di atas kelenjar hipofisa di otak)
menghasilkan thyrotropin-releasing hormone, yang menyebabkan kelenjar
hipofisa mengeluarkan thyroid-stimulating hormone (TSH). Sesuai dengan
namanya, TSH ini merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormone
tiroid. Jika jumlah hormon tiroid dalam darah mencapai kadar tertentu, maka
kelenjar hipofisa menghasilkan TSH dalam jumlah yang lebih sedikit; jika
kadar hormon tiroid dalam darah berkurang, maka kelenjar hipofisa
mengeluarkan lebih banyak TSH. Hal ini disebut mekanisme umpan balik.
Metabolisme T3 dan T4
20
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian
T4 endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi
menjadi T3. Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini
ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini
terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3’,5’ triiodotironin) yang tidak aktif, yang
digunakan mengatur metabolisme pada tingkat seluler (Djokomoeljanto, 2009).
Pengaturan faal tiroid
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid : (Djokomoeljanto,
2009)
1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)
Tripeptida yang disentesis oleh hipothalamus. Merangsang hipofisis
mensekresi TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya
kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi dan hiperfungsi
2. TSH (thyroid stimulating hormone)
Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam
sirkulasi akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-
reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon
meningkat
3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).
Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat
hipofisis. Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada
hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan
mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri
Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid
21
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi
intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula
glikogen otot menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi
insulin meningkat
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses
degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh lebih
cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah.
Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan
fosfolipid meningkat
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati
memerlukan hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat
dijumpai karotenemia
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati,
tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik sehingga terjadi
diare, gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan hipotiroidisme
C. Histologi
Sel-sel sekretorik utama tiroid tersusun menjadi gelembung-
gelembung berongga, yang masing-masing membentuk unit fungsional
yang disebut folikel. Dengan demikian sel-sel sekretorik ini sering disebut
sebagai sel folikel. Pada potongan mikroskopik, folikel tampak sebagai
cincin-cincin sel folikel yang meliputi lumen bagian dalam yang dipenuhi
koloid, yaitu bahan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan ekstrasel
untuk hormon-hormon tiroid.
22
Gambar 3. Histologi Tiroid
D. Struma
Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya
dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal.
Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar
sekali dan mengadakan penekanan pada trakea, membuat dilatasi sistem vena
serta pembentukan vena kolateral.
Morfologi dari pembesaran kelenjar tiroid ada berbagai macam. Struma
difus adalah pembesaran yang merata dengan konsistensi lunak pada seluruh
23
kelenjar tiroid. Struma nodusa adalah jika pembesaran tiroid terjadi akibat
nodul, apabila nodulnya satu maka disebut uninodusa, apabila lebih dari satu,
baik terletak pada satu atau kedua sisi lobus, maka disebut multinodusa.
Ditinjau dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi
hormon tiroksin, maka bisa kita bagi:
1. Hipertiroid, sering juga disebut sebagai toksika bila produksi hormon
tiroksin berlebihan.
2. Eutiroid, bila produksi hormon tiroksin dalam batas normal
3. Hipotiroid, bila produksi hormon tiroksin kurang dari normal.
Pada struma yang tanpa ada tanda-tanda hipertiroid, disebut struma non
toksika. Dari aspek histopatologi kelenjar tiroid, maka timbulnya struma bisa
kita jumpai akibat proses hiperplasia, keradangan atau inflamasi, neoplasma
jinak dan neoplasma ganas.
Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh:
1. Hiperplasi dan hipertrofi dari kelenjar tiroid
Setiap organ apabila dipacu untuk bekerja lebih berat maka akan
berkompensasi dengan jalan hipertrofi dan hiperplasi. Demikian pula
dengan kelenjat tiroid pada saat masa pertumbuhan atau paa kondisi
memerlukan hormon tiroksin lebih banyak, misal saat pubertas, gravid dan
sembuh dari sakit parah.
a. Non toxic goiter: difus, noduler
b. Toxic goiter: noduler (Parry’s disease), difus (Grave’s
disease)/Morbus Basedow
2. Inflamasi atau infeksi kelenjar tiroid
a. Tiroiditis akut
b. Tiroiditis sub-akut (de Quervain)
c. Tiroiditis kronis (Hashimoto’s disease dan struma Riedel)
3. Neoplasma
a. Neoplasma jinak (adenoma)
b. Neoplasma ganas (adenocarcinoma) : papiliferum,folikularis,
anaplastik
24
Adapun klasifikasi klinisnya adalah ebagai berikut:
a. Grade 0 : tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya normal
b. Grade IA : teraba struma, tapi tak terlihat
c. Grade IB : teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi kepala
menengadah
d. Grade II : struma dapat dilihat dalam posisi biasa
e. Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak 6 meter
f. Grade IV : struma yang amat besar
25
d. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar
tiroid
e. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-
kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna
26
Pada anamnesis dan pemerikasaan fisik untuk mengetahui adanya
gangguan fungsi pada penderita struma, maka harus ditanyakan dan
diperikasa hal-hal yang mendukung adanya hipertiroid, antara lain:
a. Berat badan turun, makannya banyak akan tetapi badan tetap kurus
(Paradoxa Muller)
b. Kulit basah (hiperhidrosis), telapak tangan terasa hangat/panas/lembab
dan kulit telapak tangan terasa halus akibat hipermetabolisme dan
hiperhidrosis pada kelenjar keringat. Penderita tidak tahan terhadap
hawa panas lebih tahan terhadap hawa dingin.
c. Takikardia, bila tidur nadinya tetap cepat, waspada ancaman atrial
fibrilasi
d. Tremor, gejala ini hamper selalu ada. Suruh penderita meluruskan
lengannya ke depan dan merentangkan jari-jarinya, sambil
memejamkan mata, diletakkan sehelai kertas diatas jari-jarinya, maka
akan terlihat ada atau tidak tremor
e. Eksoptalmus, hampir 50% penderita, bisa bilateral atau unilateral.
Patofisiologi belum jelas. Diduga akibat penambahan lemak dan
infiltrasi limfosit retrobulbar
1) Eksoptalmus ringan: melebarnya fisura palpebra superior
(Steilwag’s sign) akibat retraksi otot palpebra superior. Apabila
penderita kita suruh mengikuti gerakan tangan ke atas dan ke bawah
dengan agak cepat tampak palpebra superior ketinggalan gerak.
2) Eksoptalmus sedang: bila penderita menundukkan kepala kemudian
kita suruh melirik ke atas, maka kerutan di dahi akan tampak sedikit
sekali, bahkan tidak ada (Joffroy’s sign)
3) Eksoptalmus berat: lemak retrobulber sudah menumpuk, ditambah
edema retrobulber, sehingga dijumpai gejala kongestif intraorbital.
Optamoplegia, kelemahan otot mata akibat protusi bola mata,
sehingga bisa strabismus atau diplopia. Pada fase lanjut geraka
konvergensi bola mata terganggu (Mobius’s sign)
27
f. Gelisah, hipermetabolisme system saraf membuat niali ambang saraf
menurun, sehingga penderita menjadi iritabel, timbul tremor halus,
depresi
g. Diare, hipereristaltik pada sitem pencernaan, mengakibatkan absorbsi
tidak sempurna, dengan gejala akibatnya antara lain kekurangan vitamin
dan mineral
h. Thyroid thrill, hipervaskular pada tiroid
i. Gangguan keseimbangan hormonal lain, gangguan pola menstruasi
j. Kelainan kulit, karena hipermetabolisme kulit, maka kulit hangat dan
halus (fine texture) dan karena vasodilatasi, bila digores akan membekas
(dermografi).
k. Basal Metabolisme Rate (BMR). Pengukuran mengguanakan
Spirometri (Oxygen consumption rate) atau secara klinis kita bisa
mengukur dengan rumus empiris:
% BMR = 0,75 {0,74(s-d)+n}-72
s = sistole, d = diatole, n = nadi
tensi dan nadi diukur pada keadaan basal
harga normal (-)10% sampai (+)10%
Biasanya penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipo atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi
kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi.
Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena
pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar
tanpa gejala kecuali benjolan di leher.
Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan
strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma nodosa tidak
mengganggu pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat
menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. Struma
nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah
kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan
gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan
28
pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar.
Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik
untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi
pada trakea.
Pemeriksaan fisik pada pasien struma dilakukan secara sistematis
(urut dari atas ke bawah), simetris (bandingkan kanan dan kiri), simultan
(kanan dan kiri bersamaan). Secara rutin harus dievaluasi juga keadaan
kelenjar getah bening lehernya, adakah pembesaran, dianjurkan penderita
membuka bajunya.
Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala
penderita sedikit fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea
relaksasi, dengan demikan tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi.
Gunakan kedua tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di tengkuk
penderita sedang keempat jari yang lain dari arah lateral mengeveluasi
tiroid serta mencari pole bawah kelenjar tiroid sewaktu penderita disuruh
menelan.
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal, maka tidak dapat
diraba trakea dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba
sebagai bentukan yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan.
Biasanya struma masih bisa digerakkan ke arah lateral dan susah
digerakkan ke arah vertikal. Struma menjadi terfiksir apabila sangat besar,
keganasan yang sudah menembus kapsul, tiroiditis dan sudah ada jaringan
fibrosis setelah operasi. Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu
lobus (misalnya lobus kiri penderita), maka dilakukan dengan jari tangan
kiri diletakkan di medial di bawah kartilago tiroid, lalu dorong benjolan
tersebut ke kanan. Kemudian ibujari tangan kanan diletakkan di
permukaan anterior benjolan. Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi
belakang muskulus sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral
kelenjar tiroid tersebut (Bickley, 2012).
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan (Bickley, 2012):
a. lokasi: lobus kanan, lobus kiri, ismus
29
b. ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
c. jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
d. konsistensi: kistik, lunak, kenyal, keras
e. nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
f. mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoideus
g. pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemerikasaan penunjang yang digunakan dalam diagnosis
penyakit tiroid terbagi atas:
a. Pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi tiroid: Pemerikasaan
hormon tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-
assay (RIA) dan cara enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam
serum atau plasma darah. Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua
penderita penyakit tiroid, kadar normal pada orang dewasa 60-150
nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat membantu untuk hipertiroidisme,
kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6 nmol/L atau 0,65-1,7
ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer
di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang meningkat
sampai 3 kali normal.
b. Pemeriksaan laboratorium untuk menunjukkan penyebab gangguan
tiroid: Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada
serum penderita dengan penyakit tiroid autoimun.
1) antibodi tiroglobulin
2) antibodi mikrosomal
3) antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
4) antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
5) thyroid stimulating hormone antibody (TSA)
c. Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya
deviasi trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada
30
umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi
AP dan Lateral diperlukan untuk evaluasi kondisi jalan nafas
sehubungan dengan intubasi anastesinya. Bahkan tidak jarang untuk
konfirmasi diagnostik tersebut sampai memerlukan CT-scan leher.
d. USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk:
1) menentukan jumlah nodul
2) membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
3) mengukur volume dari nodul tiroid
4) mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
e. Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah. Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil
pengobatan.
f. Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji tangkap tiroid, yaitu
dengan prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap
radioaktivitas yang lebih tinggi. Metabolisme hormon tiroid sangat erat
hubungannya dengan yodium, sehingga dengan yodium yang dimuati
bahan radioaktif kita bisa mengamati aktivitas kelenjar tiroid maupun
bentuk lesinya.
g. Pemeriksaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle
aspiration biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar
jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil
FNAB saja.
h. Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi
tiroidektomi diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi
tersebut suatu keganasan atau bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang
dilakukan VC dilakukan pemeriksaan patologi anatomis untuk
memastikan proses ganas atau jinak serta mengetahui jenis kelainan
histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.
31
4. Diagnosis
Dalam membuat diagnosis kerja pada penderita struma, maka
hendaknya bisa menyampaikan kondisi struma tersebut dari aspek
morfologi, aspek fungsi, dan kalau memang memungkinkan aspek
histopatologinya. Dalam melakukan diagnosis untuk penderita struma,
usahakan untuk bisa mencantumkan diagnosis mencakup ketiga aspek
tersebut.
Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan
pemeriksaan penunjang. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia
muda dan berkembang menjadi multinoduler pada saat dewasa. Struma
multinodosa biasanya terjadi pada wanita berusia lanjut dan perubahan
yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai bentuk involusi.
Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh tiroksin. Sekitar 5
% dari struma nodosa mengalami keganasan. Tanda keganasan ialah setiap
perubahan bentuk, perdarahan lokal dan tanda penyusupan di kulit, n.
rekurens, trakea atau esofagus.
5. Penatalaksanaan
a. Terapi Supresi dengan Hormon Levothyroxine
Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH
(<0.1 µIU/mL) masih dalam kontroversi. Tujuannya adalah untuk
mengecilkan nodul tiroid dan mencegah kembali munculnya nodul baru
atau pertumbuhan kecil massa yang serupa dengan nodul awal. (AME
Guideline, 2006)
Beberapa laporan menyebutkan bahwa pengecilan nodul tiroid lebih
sering terjadi pada penderita dengan kombinasi terapi long-term-TSH di
banding dengan penderita yang tanpa kombinasi TSH. Lebih dari 50%
kasus nodul dapat mengecil, tetapi jika hanya dengan terapi
Levothyroxine (LT4) saja maka persentase keberhasilannya hanya 20%.
(AME Guideline, 2006)
32
Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu
jam sebelum makan (kondisi lambung kosong) agar absorbsinya
maksimal. Disarankan agar minum tablet Levothyroxine (LT4) dengan
menggunan segelas air agar tablet lebih mudah larut dan mudah terserap.
Jangan mengkonsumsi tablet calcium, iron supplements, dan antasida
karena akan menghambat absorbsi obat Levothyroxine (LT4). Dosis
maksimum yang diberikan adalah 400 microgram per hari. (GNU-
Wikipedia, 2007)
Saat ini, pengobatan Levothyroxine (LT4) secara rutin pada penderita
dengan nodule tiroid tidak direkomendasikan. Pengunaan Levothyroxine
(LT4) harus dihindari pada penderita: (1) dengan nodule yang besar
(large nodule), (2) pada kasus long-standing goiter, (3) jika level TSH
<1 µIU/mL, (4) wanita post-menopause, (5) penderita usia lebih dari 60
tahun, (6) penderita dengan osteoporosis, (7) penderita dengan penyakit
kardiovaskuler, dan (8) penderita dengan systemic illness. (AME
Guideline, 2006)
Berikut ini adalah hal-hal penting lain yang perlu diperhatikan
terhadap penggunaan Levothyroxine (LT4), antara lain: Pengobatan
dengan Levothyroxine (LT4) hanya menunjukkan hasil klinis yang
signifikan pada minoritas jumlah penderita dan variasi respons-nya
belum diketahui dengan baik. Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4)
hendaknya tidak boleh terlalu suppressive karena akan menimbulkan
adverse effect. Jika nodul tiroid tidak mengecil dengan pemberian
Levothyroxine (LT4), tindakan reaspiration harus segera dilakukan.
Pengobatan dengan Levothyroxine (LT4) tidaklah berguna untuk
tindakan pencegahan recurrent goiter pasca tindakan lobectomy. (AME
Guideline, 2006)
b. Pembedahan
Operasi tiroid (tiroidektomi) merupaka operasi bersih dan tergolong
operasi besar. Berapa luas kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung
patologiya serta ada tidaknya penyebaran dari karsinomanya. Ada 6
33
macam operasi, yaitu:
1) Lobektomi subtotal; pengangkatan sebagian lobus tiroid yang
mengandung jaringan patologis
2) Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi);
pengangkatan satu sisi lobus tiroid
3) Tiroidektomi subtotal; pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang
mengandung jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid
4) Tiroidektomi near total; pengangkatan seluruh lobus tiroid yang
patologis berikut sebagian besar lobus kontralateralnya.
5) Tiroidektomi total; pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
6) Operasi yang sifatnya ”extended”:
a) Tiroidektomi total + laringektomi total
b) Tiroidektomi total + reseksi trakea
c) Tiroidektomi total + sternotomi
d) Tiroidektomi total + FND atau RND
Indikasi operasi pada struma adalah:
1) struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
2) struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
3) struma dengan gangguan tekanan
4) kosmetik.
Kontraindikasi operasi pada struma:
1) struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
2) struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang
lain yang belum terkontrol
3) struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit
digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang
demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang jelek
prognosanya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat
sekaligus dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi
perlekatan dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan
eksisi yang baik.
34
4) struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya
karena metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun
telah dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan
mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal
c. Terapi dengan Iodium Radioaktif (Radioiodine 131)
Pengobatan dengan radioiodine 131 diindikasikan untuk: (1) small
goiter (volume <100 mL), (2) tanpa ada kecurigaan malignancy, (3)
penderita dengan riwayat operasi sebelumnya, (4) penderita dengan
resiko tindakan bedah. (AME Guideline, 2006)
Jika penderita mempunyai lesi nodul yang besar maka ia akan
membutuhkan radioiodine dalam jumlah banyak dan hal ini dapat
menyebabkan terjadinya efek resiten terhadap terapi. Satu satunya kontra
indikasi prosedur ini adalah kehamilan dan laktasi, yang bisa dideteksi
segera dengan tes kehamilan pada penderita. (AME Guideline, 2006)
Terapi dengan radioiodine berhasil pada 85% - 100% penderita
tiroid nodul. Masa nodul dapat mengecil sebesar 35% setelah tiga bulan,
bahkan mengecil sampai 45% setelah 24 bulan terapi). Pengobatan ini
efektif dan aman, meskipun penelitian lain melaporkan bahwa
pengunaan dosis tinggi dapat menyebabkan thyroid cancer, leukemia;
namun demikian, studi epidemiologi tidak menunjukkan efek klinis yang
signifikan terhadap timbulnya carcinoma dan leukemia. (AME
Guideline, 2006)
Penggunaan high-iodine-content-drugs (misalnya: amiodarone)
hendaknya dihindari sebelum melakukan prosedur terapi dengan
radioiodine, agar tidak mempengaruhi thyroid radioiodine uptake. Jika
mungkin, obat anti-tiroid hendaknya distop tiga mingu sebelim prosedur
pengobatan, dan tidak boleh diberikan selama 3-5 hari pasca prosedur
terapi dengan radioiodine, untuk mencegah menurunnya efektifitas
terapi. (AME Guideline, 2006)
Jumlah radioiodine yang dipergunakan secara fixed adalah 300 –
1800 MBq, dosis ini tanpa mempertimbangkan ukuran nodul. Sehinga
35
prosedur ini simple, murah, dan hasilnya memuaskan. (AME Guideline,
2006)
Prosedur ini dibilang berhasil jika nilai TSH mecapai 0,5 µIU/mL.
Jika kondisi ini belum tercapai, maka terapi dapat diulang setelah 3
sampai 6 bulan. (AME Guideline, 2006; Suyatno et al, 2009)
6. Komplikasi
Pada tindakan operasi tiroidektomi, bisa dijumpai komplikasi awal dan
lanjut. Disamping itu ada pula yang membagi komplikasi yang terjadi
dalam metabolik dan non metabolik. Komplikasi awal antara lain:
a. perdarahan
b. paralise n. laringeus rekuren, paralise n. rekuren superior
c. trakeomalasia
d. infeksi
e. tetani hipokalsemia
f. krisis tiroid (thyroid storm)
Sedangkan komplikasi lanjut berupa:
a. keloid;
b. hipotiroiditi;
c. hipertiroiditi yang kambuh
7. Diagnosis Banding
a. Colloid goiter
b. Tiroiditispenyakit autoimun misal Tiroiditis Hashimoto
b. Dishormogenetik Goiterdefisiensi enzim kongenital
c. Struma Reidelidiopatik
d. Neoplasma
8. Prognosis
Prognosis tergantung pada luasnya invasi saat tumor ditemukan, dan
lebih kurang 75 sampai 80% pasien karsinoma folikular dengan invasi
yang luas akan mengalami metastase, hampir separuhnya akan meninggal
36
dunia karena penyakitnya dalam waktu 10 tahun. Hal ini sangat berbeda
dengan karsinoma folikular dengan invasi yang minimal dan memiliki
angka kelangsungan hidup 10 tahun lebih dari 90 % (Kumar et al., 2005).
Faktor yang memperburuk prognosis termasuk bila dijumpainya
metastase, metastase pada beberapa tempat, usia lebih dari 50 tahun,
ukuran tumor yang besar, invasi pembuluh darah, penyebaran
ekstrakapsular dan area dengan diferensiasi buruk pada tumor (Orell et al.,
1997).
37
BAB III
SIMPULAN
38
DAFTAR PUSTAKA
39
Wartofsky L (ed) (2015). Penyakit tiroid. Dalam: Isselbacher KJ, Braunwald E,
Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL (eds). Harrison prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam volume 5. Jakarta: EGC, pp: 2144-2168.
Djokomoeljanto, R. 2009. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme.
Dalam : Sudoyo A.W. et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi V. Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat.
(Brunicardi FC, Andersen DK, Biliar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB,
Pollock RE. Schwartz’s Principle of Surgery. 9th Edition.)
Bickley L.S, Szilagyi P.G (2012). Bates: Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat
Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
40