Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

ENSEFALITIS

Pembimbing:
dr. Haryo Teguh, Sp.S, MSi.Med

Disusun oleh:
Devi Sawitri
NIM: 030.14.048

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
PERIODE 18 FEBRUARI – 23 MARET 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul:

“Ensefalitis”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal
Periode 18 Februari – 23 Maret 2019

Disusun oleh :
Devi Sawitri
NIM: 030.14.048

Tegal, Maret 2019


Mengetahui,

dr. Haryo Teguh, Sp.S, MSi.Med


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT karena atas izin-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul “Ensefalitis”. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota
Tegal periode 18 Februari – 23 Maret 2019. Penulisan laporan kasus ini tidak akan selesai
tanpa bantuan, dukungan, dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Haryo Teguh, Sp.S selaku pembimbing atas
waktu, pengarahan, masukan, serta berbagai ilmu yang telah diberikan.
Adapun tugas ini disusun berdasarkan pedoman dari berbagai sumber. Penulis
menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat diperlukan untuk melengkapi laporan kasus ini. Akhir kata,
semoga Tuhan yang Maha Esa membalas kebaikan semua pihak dan laporan kasus ini dapat
memberi wawasan kepada pembaca, serta bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
profesi, dan masyarakat, terutama dalam bidang ilmu penyakit saraf.

Tegal, Maret 2019

Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN
Nama Mahasiswa : Devi Sawitri
NIM : 030.14.048
Dokter Pembimbing : dr. Haryo Teguh, Sp.S, Msi.Med

1.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. M
Usia : 21 tahun
Tanggal Lahir : 17 Februari 1998
Alamat : Desa Pesayangan RW 14/RT 03, Kecamatan Talang, Kota Tegal
Status perkawinan : Belum menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta

1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dari ayah pasien yang tinggal serumah pada
tanggal 20 Februari 2019, pukul 07.00 WIB, di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota
Tegal.
a. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak ± 30 menit SMRS.
b. Keluhan Tambahan
Demam sejak 4 hari SMRS, nyeri kepala sejak 4 hari SMRS, perut terasa keras sejak 15
hari SMRS, post rawat inap di klinik selama 10 hari.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dibawa oleh keluarga pasien ke IGD RSUD Kardinah Kota Tegal
pada Hari Minggu, tanggal 17 Februari 2019 dengan keluhan pasien mengalami penuruan
kesadaran sejak ± 30 menit SMRS. Riwayat trauma disangkal oleh keluarga pasien.
Pasien mengeluh perut terasa keras sejak 15 hari SMRS, keluhan disertai mual, namun
muntah disangkal. Adanya keluhan demam sejak 4 hari SMRS, demam timbul terus
menerus disertai dengan sakit kepala berdenyut. Keluhan batuk dan keringat malam hari

4
disangkal oleh keluarga pasien. Pasien sudah berobat dan di rawat selama 10 hari di
klinik Sejahtera namun tidak ada perbaikan. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat pengobatan
paru-paru disangkal oleh keluarga pasien. Riwayat hipertensi dan diabetes melitus
disangkal. Riwayat penyakit jantung, riwayat penyakit ginjal, riwayat penyakit kuning
dan alergi obat dan makanan disangkal oleh keluarga pasien.

e. Riwayat Keluarga
Keluarga dan orang tua pasien tidak ada yang memiliki keluhan atau penyakit
serupa. Riwayat hipertensi, riwayat penyakit diabetes melitus dan penyakit keturunan di
keluarga dan orang tua pasien disangkal. Riwayat pegobatan paru-paru, riwayat penyakit
jantung, riwayat penyakit ginjal, riwayat penyakit kuning dan alergi obat dan makanan
disangkal oleh keluarga pasien.
f. Riwayat Kebiasaan
Pasien merokok sejak sekitar 3 tahun, penggunaan NAPZA dan minum minuman
beralkohol disangkal oleh keluarga. Pasien berolahraga dengan naik sepeda setiap
2x/minggu.

1.3 Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalis
Keadaan umum Kesadaran: Sopor, GCS E4M5V2
Kesan sakit: Tampak sakit berat
Tanda vital Tekanan darah: 110/60 mmHg
Nadi: 89 x/menit
Respirasi: 24 x/menit
Suhu: 39,1 °C
Kepala Normosefali, rambut hitam, tidak rontok, terdistribusi merata, jejas
atau luka (-)
Mata: Pupil bulat isokor diameter 3 mm, refleks pupil +/+, refleks
cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+,
conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Telinga: Normotia, Otorea (-)
Hidung: Normosepti, deformitas (-), jejas atau luka (-), sekret (-),
pernapasan cuping hidung (-)
Mulut: mukosa bibir tampak pucat
Leher Kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid tidak membesar, JVP 5+2
cm H2O
Thorax Inspeksi: Bentuk dada normal, gerak dinding dada statis simetris,
5
tipe pernapasan torakoabdominal
Palpasi: Gerak dinding dada statis simetris, vocal fremitus simetris
dan sama kuat pada kedua lapang paru, ictus cordis teraba di ICS V
linea midclavicularis sinistra
Perkusi: Kedua lapang paru sonor, batas paru dan hepar setinggi
ICS VI linea midclavicularis dextra dengan perkusi sonor ke redup,
batas bawah paru dan lambung setinggi ICS VIII linea axillaris
anterior sinistra dengan perkusi sonor ke timpani. Batas paru dan
jantung kanan setinggi ICS IV linea parasternal dextra dengan
perkusi sonor ke redup, batas paru dan jantung kiri setinggi ICS V
linea midclavicularis sinistra dengan perkusi sonor ke redup, batas
atas jantung ICS II linea parasternalis sinistra dengan perkusi sonor
ke redup, pinggang jantung setinggi ICS III linea parasternal sinistra
dengan perkusi sonor ke redup
Auskultasi: Suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-,
Bunyi Jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen Inspeksi: Datar, smiling umbilicus (-), spider naevi (-), benjolan (-)
Auskultasi: Bising usus 3x/menit, arterial bruit (-)
Palpasi: Supel, lien tidak teraba, hepar teraba 2 jari dibawah arcus
costae dengan konsistensi kenyal, permukaan licin, tepi tajam
ballottement ginjal (-), nyeri tekan + + -

- - -
- - -
Perkusi: shifting dullness (-)
Ekstremitas Ekstremitas Atas
Turgor kulit baik, deformitas -/-, CRT < 2 detik, akral hangat +/+,
oedem -/-
Ekstremitas Bawah
Turgor kulit baik, deformitas -/-, CRT < 2 detik, akral hangat +/+,
oedem +/+

B. Status Neurologis
- Kesadaran
GCS: E4V2M5  11
- Rangsangan Meningeal
• Kaku kuduk : Ditemukan adanya tahanan
• Brudzinsky 1 : Tidak ditemukan
• Brudzinsky 2 : Tidak ditemukan
• Brudzinsky 3 : Tidak ditemukan
6
• Brudzinsky 4 : Tidak ditemukan
• Kernig : Ditemukan adanya tahanan
• Laseque : Tidak ditemukan tahanan dan rasa nyeri
- Nervus Cranialis
1. N I (Olfaktorius) : Tidak dilakukan pemeriksaan
2. N II (Optikus)
• Visus : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Warna : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Funduskopi : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Lapang pandang : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. N III, IV, VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens)
• Gerakan bola mata : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Ptosis : Tidak ada
• Pupil : Isokor, bulat, 3mm / 3mm
• Refleks pupil : Langsung + / +, tidak langsung + / +
4. N V (Trigeminus)
Sensorik
• N-V1 (ophtalmicus) : Tidak dilakukan pemeriksaan
• N-V2 (maksilaris) : Tidak dilakukan pemeriksaan
• N-V3 (mandibularis) : Tidak dilakukan pemeriksaan
Motorik : Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks kornea : Tidak ada kelainan (+/+)
5. N VII (Fasialis)
Sensorik (Indra pengecap): Tidak dilakukan pemeriksaan
Motorik
• Angkat alis : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Menutup mata : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Menyeringai : Tidak ada kelainan
6. N VIII (Vestibulocochlearis)
Keseimbangan
• Nistagmus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pendengaran
• Tes Rinne, Schwabach, Weber: Tidak dilakukan pemeriksaan
7. N IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
• Refleks menelan :-
• Refleks batuk :-
• Perasat lidah 1/3 anterior :Tidak dilakukan pemeriksaan
• Refleks muntah : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Posisi uvula : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Posisi arkus faring : Tidak dilakukan pemeriksaan
8. N XI (Akesorius)
• Kekuatan M. Sternocleidomastoideus: Tidak dilakukan pemeriksaan
• Kekuatan M. Trapezius: Tidak dilakukan pemeriksaan
9. N XII (Hipoglosus)
• Tremor lidah : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Gerakan lidah : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Ujung lidah saat dijulurkan : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Fasikulasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Pemeriksaan Motorik

7
Pemeriksaan Kekuatan Tonus Atrofi
Tidak dilakukan
Anggota badan atas Normotonus Tidak ada
pemeriksaan
Tidak dilakukan
Anggota badan bawah Normotonus Tidak ada
pemeriksaan

- Gerakan Involunter
Refleks Fisiologis
• Biceps :+/+
• Triceps :+/+
• Achiles :+/+
• Patella :+/+
Refleks Patologis
• Babinski : -/-
• Oppenheim : -/-
• Chaddock : -/-
• Schaeffer : -/-
• Hoffman-Tromner : -/-
• Gonda : -/-
• Gordon : -/-
• Bing : -/-
• Rosolimo : -/-
- Costovertebra - Autonomic Nervus Sistem
a. CV : Gibus (-), luka (-), nyeri ketuk (-)
b. ANS : Inkontinensia urin (-), hipersekresi keringat (-)
- Cerebellar sign
Sistem Koordinasi
1. Romberg test : Tidak dilakukan pemeriksaan
2. Tandem walking : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. Finger to finger test : Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Finger to nose test : Tidak dilakukan pemeriksaan
5. Disdiadokokinesis : Tidak dilakukan pemeriksaan
6. Rebound phenomenon : Tidak dilakukan pemeriksaan
7. Tes tumit lutut : Tidak dilakukan pemeriksaan
Sistem Ekstrapiramidal
• Gerakan involunter : Tidak ada
8
- Fungsi Luhur
1. Fungsi bahasa : Tidak dilakukan pemeriksaan
2. Fungsi orientasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. Fungsi memori : Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Fungsi emosi : Tidak dilakukan pemeriksaan

- Sensibilitas
 Eksteroseptif/Rasa permukaan (Superior dan inferior)
1. Rasa raba : Tidak dilakukan
2. Rasa nyeri : Tidak dilakukan
3. Rasa suhu panas : Tidak dilakukan
4. Rasa suhu dingin : Tidak dilakukan
 Proprioseptif/Rasa dalam
1. Rasa sikap : Tidak dilakukan
2. Rasa getar : Tidak dilakukan
3. Rasa nyeri dalam : Tidak dilakukan

1.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium darah
Pemeriksaan (17/02/2019) Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
CBC + Diff
Hemoglobin 10,4 13,7 – 17,7 g/dl
Hematokrit 28,2 42 – 52 %
Trombosit 28 150 – 521 ribu/uL
Leukosit 5,9 4,4 – 11,3 ribu/uL
Eritrosit 4,2 4,5 – 5,9 juta/uL
RDW 20 11,5 – 14,5 %
MCV 67,6 80 – 96 Unit
MCH 24,9 28 – 33 Pcg
MCHC 36,9 33 – 36 g/dL
DIFF COUNT
Neutrofil 3,1 50 – 70 %
Limfosit 39,9 25 – 40 %
Monosit 56,7 2–8 %
Eosinofil 0 2–4 %
Basofil 0,3 0–1 %
ELEKTROLIT

9
Natrium 133,5 135-145 mmol/L
Kalium 5,06 3,8-5,1 mmol/L
Clorida 105,4 96-106 mmol/L
KIMIA KLINIK
SGOT 153,8 <35 U/L
SGPT 73 <46 U/L
Ureum 155,9 19,0 – 44,0 mg/dl
Creatinine 3,05 0,70 – 1,30 mg/dl

SEROIMUNOLOGI
HbsAg Negatif Negatif
Anti HIV Non reaktif Non Reaktif

Pemeriksaan (20/02/2019) Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
CBC
Hemoglobin 7,9 13,7 – 17,7 g/dl
Hematokrit 20,9 42 – 52 %
Trombosit 8 150 – 521 ribu/uL
Leukosit 1,0 4,4 – 11,3 ribu/uL
Eritrosit 3,2 4,5 – 5,9 juta/uL
RDW 19,5 11,5 – 14,5 %
MCV 65,1 80 – 96 Unit
MCH 24,6 28 – 33 Pcg
MCHC 37,8 33 – 36 g/dL
KIMIA KLINIK
Ureum 204,3 19,0 – 44,0 mg/dl
Creatinine 3,58 0,70 – 1,30 mg/dl

SEROIMUNOLOGI
Anti Dengue IgG Negatif Negatif
Anti Dengue IgM Negatif Negatif

GAMBARAN DARAH TEPI


Eritrosit
- Anisositosis ringan
- Mikrositik hipokrom (dominasi ovalosit)
- Eritrosit berinti (-)/negative
Tombosit
- Jumlah menurun
- Morfologi dalam batas normal
- Clumping trombosit (-)/negative
Leukosit
- Estimasi jumlah tampak menurun
10
- Morfologi dalam batas normal
- Sel blast (-)/negative
Kesan :
- Pansitopeni
- DD = ITP, infeksi
Saran
- Tidak ada tanda keganasan hematologi
- PT, APTT
- CRP
- Elektrolit
Lain-lain :
Pada hitung jenis leukosit ditemukan 70 sel, terdiri dari :
- Limfosit = 63 sel
- Neutrofil segmen = 3 sel
- Monosit = 4 sel

2. CT Scan kepala non kontras (19/02/2019)

 Tak tampak lesi hiperdens dan hipodens intraserebral


 Giry dan sulcy normal
 Sisterna ventrikel dan fisura Sylvii tidak menyempit
 Struktur mediana tak durasi
KESAN:
- Head CT scan normal

11
Foto Thorax (AP)

 Cor : bentuk dan letak jantung normal


 Pulmo : corakan bronkovaskular tampak meningkat
 Tak tampak bercak pada kedua lapang paru
 Tak tampak penebalan hilus kanan kiri
 Sinus costophrenicus kanan kiri tampak lancip
 Tak tampak kelainan pada tulang maupun soft tissue
KESAN :
Cor tak membesar
Gambaran Bronchitis

1.5 Resume
Tn M usia 21 tahun datang dibawa oleh keluarga pasien ke IGD RSUD Kardinah
Kota Tegal pada Hari Minggu, tanggal 17 Februari 2019 dengan keluhan pasien
mengalami penuruan kesadaran sejak ± 30 menit SMRS. Riwayat trauma disangkal oleh
keluarga pasien. Pasien mengeluh perut terasa keras sejak 15 hari SMRS, keluhan disertai
mual, namun muntah disangkal. Adanya keluhan demam sejak 4 hari SMRS, demam
timbul terus menerus disertai dengan sakit kepala berdenyut. Keluhan batuk dan keringat
malam hari disangkal oleh keluarga pasien. Pasien sudah berobat dan di rawat selama 10
hari di klinik Sejahtera namun tidak ada perbaikan. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat pengobatan
paru-paru disangkal oleh keluarga pasien. Keluarga dan orang tua pasien tidak ada yang
memiliki keluhan atau penyakit serupa. Pasien merokok sejak sekitar 3 tahun, penggunaan
NAPZA dan minum minuman beralkohol disangkal oleh keluarga. Pasien berolahraga
dengan naik sepeda setiap 2x/minggu.
12
Pemeriksaan fisik yang dilakukan di Bangsal HCU, RSUD Kardinah Kota Tegal,
pada Hari Rabu, Tanggal 20 Februari 2019, pukul 08.00, didapatkan keadaan umum
tampak sakit berat dan kesadaran sopor (E4V2M5). Tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 89
x/menit, respirasi 24x/menit, suhu 39,1°C. Pemeriksaan status generalis ditemukan
pembesaran hepar 2 jari dibawah arcus costae, dengan nyeri tekan abdomen regio
epigastrium dan region hipokondrium dextra, serta adanya udema pada kedua ekstremitas
bawah. Pemeriksaan rangsang meningeal ditemukan adanya kaku kuduk dan pemeriksaan
kernig ditemukan adanya tahanan pada kedua tungkai. Pemeriksaan nervus cranialis,
tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan motorik dan sensoris tidak dapat dilakukan.
Hasil dari pemeriksaan penunjang laboratorium darah pada Hari Senin, Tanggal 17
Februari 2019, didapatkan pansitopenia dengan Hb 10,4 g/dl, leukosit 5,9ribu/ul, Ht 28,2
%, trombosit 28ribu/ul, Eritrosit 4,2 juta/µL, RDW 20,1%, MCV 67,6 U, MCH 24,6 Pcg,
MCHC 36,9 g/dL, netrofil 3,1%, Monosit 56,7 %, Basofil 0 %, Natrium 133,5 mmol/L,
SGOT 153,8 U/L, SGPT 73,7 U/L, ureum 155,9 mg/dL, creatinin 3,05 mg/dL. Pada
pemeriksaan morfologi darah tepi didapatkan kesan pansitopeni dd ITP dan infeksi. Pada
pemeriksaan foto thorax AP didapatkan kesan Cor tak membesar dan gambaran
bronchitis. Pada pemeriksaan CT scan kepala non kontras didapatkan kesan CT scan
kepala normal.

1.6 Diagnosis
• Diagnosis klinis : penurunan kesadaran, demam, cefalgia sekunder,
pansitopenia, rangsang meningeal sign (+)
• Diagnosis topis : selaput otak (meningen), hemisfer cerebri
• Diagnosis etiologis : meningoensefalitis susp TB
• Diagnosis patologis : inflamasi
1.7 Diagnosis Banding
- Meningoensefalitis susp bakteri
- Meningoensefalitis susp viral
1.8 Tatalaksana
Non Medikamentosa
• Edukasi keluarga pasien tentang penyakit pasien
• O2 4lpm dengan nasal kanul
• Infus RL 20 tpm
• Inj Citicolin 2 x 1 g IV
• Inj Ceftriaxone 2 x 1 g iv
• Inj Dexametasone 3 x 1 iv
• Inj Omeprazole 1 x1 iv
• Inj Paracetamol 3 x 1g iv
• Pasang DC
13
• Pasang NGT
1.9 Prognosis
Ad Vitam : Ad Malam
Ad Functionam : Ad Malam
Ad Sanationam : Ad Malam

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ensefalitis


Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai
(1)
mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit, fungus dan riketsia. Ensefalitis adalah
penyakit disfungsi akut sistem saraf pusat, ditandai dengan terjadinya infeksi dan inflamasi
parenkim otak yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik maupun histopatologik.
Adapun disfungsi sistem saraf pusat tersebut menyebabkan terjadinya kejang berulang, defisit
neurologis fokal, dan penurunan kesadaran. (2)

2.2 Epidemiologi Ensefalitis


Menurut Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) pada jurnal pediatrics in
review yang menggunakan National Hospital Discharge Survey mengestimasi perawatan inap
di RS yang disebabkan oleh ensefalitis di AS, dimana per tahun ditemukan kasus 7.3/100.000
dengan data rata- rata per tahun lebih dari 200.000 hari perawatan inap di RS, dan 1.400
kematian. Insiden tertinggi terjadi pada anak- anak dibawah usia 1 tahun dengan kasus
13.7/100.000 dan orang dewasa diatas 65 tahun dengan kasus 10.6/100.000 per tahun. Karena
keterbatasan data sehingga kriteria diagnostik spesifiknya pun terbatas. Dalam analisis
National Hospital Discharge, didapatkan data penyebab ensefalitis 60% adalah tidak
diketahui, dan dari yang diketahui didapatkan penyebab tersering adalah herpes virus, varisela
dan arbovirus. (3)
2.4 Etiologi Ensefalitis (2)
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis, misalnya bakteri,
parasit, jamur, spirokaeta dan virus. Penyebab yang terpenting dan tersering ialah virus.
Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak atau reaksi radang akut karena
infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu. Berbagai jenis virus dapat menimbulkan ensefalitis,
meskipun gejala klinisnya sama. Sesuai dengan jenis virus, serta epidemiologinya, diketahui
berbagai macam ensefalitis virus.
Data mengenai agen penyebab Ensefalitis sudah banyak berubah selama 30 tahun ini.
Hal ini dikarenakan sudah banyak agen infeksi seperti campak, varisela, rubella, dan pertusis,
yang bisa dicegah dengan pemberikan vaksin. Di lain pihak, beberapa agen infeksi baru-baru

15
ini ditemukan ternyata bisa menyebabkan ensefalitis. Pengobatan sesuai agen infeksi diyakini
sangat membantu dalam tata laksana penyakit Ensefalitis. (2)
Klasifikasi yang diajukan oleh Robin berdasarkan etiologi virus:
1. Infeksi virus yang bersifat epidemic
a. Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.
b. Golongan virus ARBO : Western equine encephalitis, St. Louis encephalitis, Eastern
equine encephalitis, Japanese B encephalitis, Russian spring summer encephalitis, Murray
valley encephalitis.
2. Infeksi virus yang bersifat sporadik : Rabies, Herpes simplex, Herpes zoster,
Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis lain yang dianggap
disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
3. Ensefalitis pasca infeksi : pasca morbili, pasca varisela, pasca rubela, pasca vaksinia, pasca
mononukleosis infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi traktus respiratorius yang
tidak spesifik.
Tabel. Mikroorganisme Penyebab Ensefalitis

2.5. Faktor Risiko


Beberapa faktor yang menyebabkan risiko lebih besar adalah:
1. Umur
Beberapa jenis ensefalitis lebih lazim atau lebih parah pada anak-anak atau orang tua.
2. Sistem kekebalan tubuh yang lemah.
16
Jika memiliki defisiensi imun, misalnya karena AIDS atau HIV, melalui terapi kanker atau
transplantasi organ, maka lebih rentan terhadap ensefalitis.
3.Geografis daerah
Mengunjungi atau tinggal di daerah di mana virus nyamuk umum meningkatkan risiko
epidemi ensefalitis.
4.Kegiatan luar
Jika memiliki pekerjaan outdoor atau mempunyai hobi seperti berkebun, joging, golf atau
mengamati burung, harus berhati-hati selama wabah ensefalitis.
5.Musim
Penyakit yang disebabkan nyamuk cenderung lebih menonjol di akhir musim panas dan awal
musim gugur di banyak wilayah Amerika Serikat.

2.6 Patogenesis Dan Patofisiologi


Virus dapat menyebabkan kerusakan neural SSP melalui invasi langsung dan akibat
multiplikasi aktif virus (ensefalitis primer atau infeksius) atau melalui mekanisme respon
autoimun jaringan SSP terhadap antigen virus pada infeksi sistemik ( acute disseminated
encephalomyelitis - ADEM). (4)
Virus menyebar ke SSP melalui dua mekanisme utama :
(1) Penyebaran hematogen
Setelah masuk ke tubuh, virus bermultiplikasi secara lokal kemudian dapat terjadi viremia dan
bersarangnya virus diretikulo-endotelial sitem (RES); terutama dihati, limpa, kelenjar limfe,
dan kadang-kadang muskulus. Dengan berlanjutnya replikasi, viremia sekunder
memungkinkan bersarangnya virus diorgan lain termasuk SSP. Pada umumnya virus dapat
dicegah masuk kejaringan SSP oleh sawar darah otak. Virus dibersihkan dalam darah oleh
sistem retikuolendotelial, teteapi bila terjadi viremia masif atau terdapat keadaan lain yang
menguntungkan virus, maka virus akan masuk SSP melalui pleksus koroideus, migrasi fagosit
yang terinfeksi, replikasi virus dalam sel endotel atau transfer pasif melalui sawar darah otak.
(2) Penyebaran neuronal
Penyebaran neuronal (lebih jarang) terjadi melalui saraf perifer dan kranial. Virus masuk
jaringan SSP secara sentripetal melalui transmisi aksonal sepanjang endoneurium, sel
Schwann dan fibrosit sraf. Penyebaran neuronal dapat terjadi pada rabies, herpes simpleks,
VZV, dan virus polio. HSV dapat menyebar ke SSP melalui neuron olfaktorius dimukosa
hidung, kemudian melaui N.olfaktorius terjadi sinaps dibulbus olfaktorius diotak. Virus

17
tertentu lebih menyenangi sel otak tertentu, misalnya virus polio menyukai sel motorik, rabies
menyukai sel limbik dan mumps menyukai sel ependimal. Korteks serebral, terutama lobus
temporal sering mengalami kerusakan berat oleh virus herpes simpleks; arbovirus cendrung
melibatkan seluruh otak; sedangkan predileksi kelainan pada rabies ialah pada daerah basal
otak. Keterlibatan medula spinalis, akar saraf dan saraf perifer bervariasi. (4)
Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari virulensi virus,
kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen tubuh yang dapat menghambat
multiplikasi virus. Banyak virus yang penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau kutu
menginokulasi virus Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui gigitan binatang. Pada
beberapa virus seperti varisella-zoster dan citomegalo virus, pejamu dengan sistem imun yang
lemah, merupakan faktor resiko utama. (4)
Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik melalui peredaran
darah atau melalui sistem neural (Virus Herpes Simpleks, Virus Varisella Zoster). Setelah
melewati sawar darah otak, virus memasuki sel-sel neural yang mengakibatkan fungsi-fungsi
sel menjadi rusak, kongesti perivaskular, dan respons inflamasi yang secara difus
menyebabkan ketidakseimbangan substansia abu-abu (nigra) dengan substansia putih (alba).
Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor membran sel saraf yang
hanya ditemukan pada bagian-bagian khusus otak. Sebagai contoh, virus herpes simpleks
mempunyai predileksi pada lobus temporal medial dan inferior. (5)
Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih belum jelas
dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya transmisi neural secara langsung
dari perifer ke otak melaui saraf trigeminus atau olfaktorius.

18
Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas dan ludah. Infeksi primer
biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja. Biasanya subklinis atau berupa somatitis,
faringitis atau penyakit saluran nafas. Kelainan neurologis merupakan komplikasi dari
reaktivasi virus. Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam ganglia trigeminal. Beberapa
tahun kemudian, rangsangan non spesifik menyebabkan reaktivasi yang biasanya
bermanifestasi sebagai herpes labialis. (5)
Pada ensefalitis bakterial, organisme piogenik masuk ke dalam otak melalui peredaran
darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus. Penyebaran melalui peredaran darah
dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran
langsung dapat melalui tromboflebitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah dan sinus
paranasalis. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada jaringan otak. Biasanya terdapat di
bagian substantia alba, karena bagian ini kurang mendapat suplai darah. Proses peradangan ini
membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah dan agregasi leukosit
yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan tadi timbul edema, perlunakan dan
kongesti jaringan otak disertai peradangan kecil. Di sekeliling abses terdapat pembuluh darah
dan infiltrasi leukosit. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk ruang abses. Mula-
mula dindingnya tidak begitu kuat, kemudian terbentuk dinding kuat membentuk kapsul yang
konsentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit PMN, sel-sel plasma dan limfosit.
Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang
subarakhnoid yang dapat mengakibatkan meningitis. Proses radang pada ensefalitis virus
selain terjadi jaringan otak saja, juga sering mengenai jaringan selaput otak. Oleh karena itu
ensefalitis virus lebih tepat bila disebut sebagai meningo ensefalitis. (6)
Plasmodium falsiparun menyebabkan eritrosit yang terifeksi menjadi lengket. Sel-sel
darah yang lengket satu sama lainnya dapat menyumbat kapiler-kapiler dalam otak. Akibatnya
timbul daerah-daerah mikro infark. Gejala-gejala neurologist timbul karena kerusakan
jaringan otak yang terjadi. Pada malaria serebral ini, dapat timbul konvulsi dan koma. Pada
toxoplasmosis kongenital, radang terjadi pada pia-arakhnoid dan tersebar dalam jaringan otak
terutama dalam jaringan korteks. (6)
Sangatlah sukar untuk menentukan etiologi dari ensefalitis, bahkan pada postmortem.
Kecuali pada kasus-kasus non viral seperti malaria falsifarum dan ensefalitis fungal, dimana
dapat ditemukan indentifikasi morfologik. Pada kasus viral, gambaran khas dapat dijumpai
pada rabies (badan negri) atau virus herpes (badan inklusi intranuklear). (6)

2.7 Diagnosis Ensefalitis


19
Anamnesis yang cermat, tentang kemungkinan adanya infeksi akut atau kronis, keluhan,
kemungkinan adanya peningkatan tekanan intra kranial, adanya gejala, fokal
serebral/serebelar, adanya riwayat pemaparan selama 2-3 minggu terakhir terhadap penyakit
melalui kontak, pemaparan dengan nyamuk, riwayat bepergian ke daerah endemik dan lain-
lain. Pemeriksaan fisik/neurologik, perlu dikonfirmasikan dengan hasil anamnesis dan
sebaliknya anamnesis dapat diulang berdasarkan hasil pemeriksaan. Diagnosis pasti untuk
ensefalitis ialah berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi jaringan otak. Scara praktis
diagnostik dibuat berdasarkan manifestasi neurologik dan informasi epidemiologik. (7)

2.8 Manifestasi Klinis


Secara umum gejala berupa trias ensefalitis :
1. Demam
2. Kejang
3. Kesadaran menurun
Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum dengan tanda-
tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu : nyeri kepala yang kronik dan progresif,
muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun. Pada pemeriksaan mungkin terdapat
edema papil. Tanda-tanda deficit neurologis tergantung pada lokasi dan luasnya abses.
Ensefalitis memiliki penyebab yang banyak sehingga sulit untuk mengeneralisasikan
tanda dan gejalanya. Manifestasi pertamanya adalah demam dan sakit kepala, diikuti dengan
perubahan status mental dan berkembangnya gejala neurologi fokal. Manifestasi yang terjadi
bisa memberi kesan bahwa encephalitis yang terjadi fokal atau difus. Contohnya, kebanyakan
aboviral enchepalitis melibatkan otak secara difus dengan demam yang lebih awal, muntah
dan koma. Sedangkan sebaliknya pada encephalitis HSV dimulai dengan hemiparesis, kejang
atau defek saraf kranial. Demam dan sakit kepala bisa ditemukan beberapa jam sampai
beberapa hari setelah itu. (8)
Tanda dan gejala pada encephalitis pada anak dan dewasa itu sama. Gejala pada bayi
merupakan suatu emergensi medis. Tanda dan gejala di atas bisa terjadi dua sampai tiga
minggu dan bisa terdapar satu atau beberapa gejala berikut: (9)
o Demam
o Kelelahan
o Sakit tenggorokan
o Kaku leher dan punggung
o Sakit kepala
20
o Muntah
o Light-phobia
Pada kasus-kasus yang lebih berat mungkin terdapat tanda dan gejala sebagai berikut: (9)
o Kejang
o Kelemahan otot
o Paralisis
o Hilang ingatan
o Apatis
Riwayat anamnesis lengkap diperlukan, karena umumnya pasien sering datang dengan
penurunan kesadaran, disorientasi, delirium atau bahkan koma. Selain demam akut seperti
pada meningitis, pasien dengan ensefalitis umumnya mengalami konfusi/kebingungan,
kelainan perilaku, tingkat kesadaran yang berubah, terdapat tanda dan gejala kelainan
neurologis lainnya. Perubahan tingkat kesadaran dapat terjadi, mulai dari kelesuan yang
ringan sampai koma dalam. Pasien dengan ensefalitis mungkin memiliki halusinasi, agitasi,
perubahan kepribadian, gangguan perilaku, dan kadang-kadang terjadi keadaan psikotik. (10)

2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan hematologi
Pada pemeriksaan hematologi sering menunjukan leukositosis dengan predominasi limfosit
dan peninggian laju endap darah (LED).
2. Cairan serebro-spinal
CSS pada penyakit virus SSP biasanya menunjukan pleiositosis mononuclear (5-500
sel/mm3). Jenis sel pada awal perjalanan penyakit sering polimorfonuklear (PMN) yang
kemudian akan didominasi sel mononuklear. Perubahan jenis sel ini akan terlihat pada 2
sampel CSS yang diambil dengan perbedaan waktu sedikitnya 8-12 jam. Kadar protein
cendrung normal atau sedikit meningkat (biasanya <200mg/dl), tetapi dapat sangat tinggi bila
kerusakan otaknya luas seperti pada ensefalitis HSV. Kadar glukosa biasanya normal
walaupun pada beberapa infeksi, seperti mumps dan HSV, kadar glukosa dapat menurun
sampai 25-50 mg/dl, tetapi jarang sampai dibawah 20 mg/dl. Sebanyak 5-15% penderita
ensefalitis HSV, CSSnya normal diawal perjalanan penyakit. (11)
Pungsi lumbal tidak dilakukan bila terdapat edema papil. Bila dilakukan pemeriksaan
cairan serebrospinalis maka dapat diperoleh hasil berupa biasanya cairan jernih, jumlah sel 50
– 200 dengan dominasi limfosit. Kadar protein kadang – kadang meningkat, sedangkan
glukosa masih dalam batas normal. Tekanan LCS dapat normal atau meningkat. (11)
21
3. Elektroensefalografi
EEG sangat membantu diagnosis pada ensefalitis herpes simpleks bila ditemukan gambaran
perlambatan fokal di daerah temporal atau frontotemporal. Lebih sering EEG hanya
memperlihatkan perlambatan umum yang menunjukkan disfungsi otak menyeluruh. Pada
ensefalitis virus yang disebabkan oleh herpes simpleks tipe 1, gambaran EEG berupa aktivitas
gelombang tajam periodik di temporal dengan latar belakang fokal atau difus. (11)
4. Pemeriksaan CT scan atau MRI kepala menunjukkan gambaran edema otak.
Manfaat pemeriksan pencitraan terutama bukan dalam menetukan penyebab
meningoensefalitis, tetapi dalam menilai tingkat kerusakan SSP. Dalam hal ini MRI lebih
unggul daripada CT scan. Sensitivitas MRI juga melebihi CT scan dalam mendeteksi lesi pada
ensefalomielitis diseminata akut yang berupa demielinisasi multifokal dimassa putih
serebrum, serebelum, dan batang otak. (11)
5. Pemeriksaan diagnostik khusus
Isolasi virus dalam cairan serebrospinal secara rutin tidak dilakukan karena sangat jarang
menunjukkan hasil yang positif. Titer antibodi terhadap VHS dapat diperiksa dalam serum
dan cairan serebrospinal. Titer antibodi dalam serum tergantung apakah infeksi merupakan
infeksi primer arau infeksi rekuren. Pada infeksi primer, antibodi dalam serum menjadi positif
setelah 1 sampai beberapa minggu, sedangkan pada infeksi rekuren kita dapat menemukan
peningkatan titer antibody dalam dua kali pemeriksaan, fase akut dan rekonvalesen. Kenaikan
titer 4 kali lipat pada fase rekonvalesen merupakan tanda bahwa infeksi VH sedang aktif.
Harus diiongat bahwa peningkatan kadar antibodi serum belum membuktikan disebabkan
oleh VHS. Titer antibodi dalam cairan serebrospinal merupakan indikator yang lebih baik,
karena hanya diproduksi bila terjadi kerusakan sawar darah otak, akan tetapi kemunculan
antibodi dalam cairan serebrospinal sering terlambat, dan baru dapat dideteksi pada hari ke
10-12 setelah permulaan sakit. Hal ini merupakan kendala terbesar dalam menegakkan
diagnosis EHS, dan hanya berguna sebagai diagnosis retrospektif. Penggunaan perbandingan
antara titer antibodi serum dan cairan serebrospinal < 20 tidak memeperbaiki sensitivitas
diagnosis dalam 10 hari sakit. (2)
o Teknik diagnostik yang tersedia diantranya pemeriksaan serologik, biakan sel,
imunohistologik dan biologi molekuler (PCR). Polymerase chain reaction (PCR)
sekarang menjadi baku emas untuk mengevaluasi ensefalitis atau meningoensefalitis
HSV dengan mendeteksi DNA HSV didalam CSS. Spesifisitas PCR pada ensefalitis
HSV mendekati 100%, sedangkan sensitivitasnya berkisar antara 75-95%. PCR juga

22
dapat dipakai untuk diagnosis cepat infeksi dengan CMV, enterovirus, human herpes
virus, virus varicella-Zoster dan HIV.
o Enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) yang dapat mendeteksi antibodi
imunoglobin M (IgM) dalam CSS, snsitif dan spesifik pada penderita yang diduga
menderita ensefalitis Japanese.

2.10 Tatalaksana
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah sakit.
Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut adalah
mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan perawatan pasien koma
yaitu mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian makanan secara enteral atau
parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam basa darah.
Terapi suportif :
Tujuannya untuk mempertahankan fungsi organ, dengan mengusahakan jalan nafas
tetap terbuka (pembersihan jalan nafas, pemberian oksigen, pemasangan respirator bila henti
nafas, intubasi, trakeostomi), pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi gangguan asam basa darah. Untuk pasien dengan
gangguan menelan, akumulasi lendir pada tenggorok, dilakukan drainase postural dan aspirasi
mekanis yang periodik.
Terapi kausal :
Pengobatan anti virus diberikan pada ensefalitis yang disebabkan virus, yaitu dengan
memberikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari IV setiap 8 jam selama 10-14 hari. Preparat asiklovir
tersedia dalam 250 mg dan 500 mg yang harus diencerkan dengan aquadest atau larutan
garam fisiologis. Pemeberian secara perlahan-lahanm diencerkan menjadi 100 ml larutan,
diberikan selama 1 jam. Efek sampingnya adalah peningkatan kadar ureum dan keratinin
tergantung kadar obat dalam plasma. Pemberian asiklobir perlahan-lahan akan mengurangi
efek samping. Bila selama pengobatan terbukti bukan infeksi Virus Herpes Simpleks, maka
pengobatan dihentikan.
Pada pasien yang terbukti secara biopsi menderita Ensefalitis Herpes Simpleks dapat
diberikan Adenosine Arabinose 15mg/kgBB/hari IV, diberikan selama 10 hari. Pada beberapa
penelitian dikatakan pemberian Adenosisne Arabinose untuk herpes simpleks ensefalitis dapat
menurunkan angka kematian dari 70% menjadi 28%.

23
Terapi Ganciklovir merupakan pilihan utama untuk infeksi citomegali virus. Dosis
Ganciklovir 5 mg/kgBB dua kali sehari.kemudian dosis diturunkan menjadi satu kali, lalu
dengan terapi maintenance.
Pemberian antibiotik parenteral tetap diberikan sampai penyebab bakteri dikesampingkan, dan
juga untuk kemungkinan infeksi sekunder. Pada ensefalitis supurativa diberikan:
- Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.
- Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.
Preparat sulfa (sulfadiasin) untuk ensefalitis karena toxoplasmosis.
Terapi Simptomatik :
Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang. Tergantung dari
kebutuhan obat diberikan IM atau IV. Obat yang diberikan ialah diazepam 0,3-0,5 mg/Kg BB/
hari dilanjutkan dengan fenobarbital. Perlunya diperiksa kadar glukosa darah, kalsium,
magnesium harus dipertahankan normal agar ancaman konvulsi menjadi minimum.
Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan surface cooling dengan menempatkan es pada
permukaan tubuh yang mempunyai pembuluh besar, misalnya pada kiri dan kanan leher,
ketiak, selangkangan, daerah proksimal betis dan diatas kepala. Dapat juga diberikan
antipiretikum seperti parasetamol dengan dosis 10-15mg/kgBB, bila keadaan telah
memungkinkan pemberian obat peroral.
Untuk mengurangi edema serebri dengan deksametason 0,2 mg/kgBB/hari IM dibagi 3
dosis dengan cairan rendah natrium, dilanjutkan dengan pemberian 0,25-0,5mg/kgBB/hari.
Bila terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan manitol 0,5-2 g/kgBB
IV dalam periode 8-12 jam.
Nyeri kepala dan hiperestesia diobati dengan istirahat, analgesik yang tidak
mengandung aspirin dan pengurangan cahaya ruangan, kebisingan, dan tamu.
Terapi rehabilitatif:
Upaya pendukung dan rehabilitatif amat penting sesudah penderita sembuh. Inkoordinasi
motorik, gangguan konvulsif, strabismus, ketulian total atau parsial, dan gangguan konvulsif
dapat muncul hanya sesudah jarak waktu tertentu. Fasilitas khusus dan kadang-kadang
penempatan kelembagaan mungkin diperlukan. Beberapa sekuele infeksi dapat amat tidak
kentara. Karenanya evaluasi perkembangan saraf dan audiologi harus merupakan bagian dari
pemantauan rutin anak yang telah sembuh dari mengoensefalitis virus, walaupun mereka
tampak secara kasar normal.
2.11Komplikasi

24
Pada ensefalitis viral akut yang cukup banyak terjadi adalah peningkatan tekanan intrakranial,
infark serebral, trombosis vena serebral, syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic
hormone, pneumonia aspirasi, perdarahan saluran cerna bagian atas, infeksi saluran kemih
dan koagulopati intravaskular diseminata. Sequele dari ensefalitis viral akut bergantung pada
usia, etiologi ensefalitis dan keparahan gejala klinis.
2.12 Prognosis
Prognosis ensefalitis virus sangat bervariasi tergantung pada usia, keadaan medis yang
mendasarinya, virulensi virus, kompetensi imun penderita dan tersedianya terapi antivirus
spesifik.
Kebanyakan anak sembuh secara sempurna dari infeksi virus pada sistem saraf sentral,
walaupun prognosis tergantung pada keparahan penyakit klinis, etiologi spesifik, dan umur
anak. Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya keterlibatan parenkim, prognosis jelek,
dengan kemungkinan defisit yang bersifat intelektual, motorik, psikiatrik, epileptik,
penglihatan, ataupun pendengaran. Sekuele berat juga harus dipikirkan walaupun beberapa
kepustakaan menyarankan bahwa penderita bayi yang menderita ensefalitis virus mempunyai
hasil akhir jangka panjang lebih jelek daripada nak yang lebih tua, data baru membuktikan
bahwa observasi ini tidak benar. walaupun sekitar 10% anak sebelum usia 2 tahun dengan
infeksi virus menampakkan komplikasi akut seperti kejang, tekanan intrakranial naik, atau
koma, hampir semua hasil akhir neurologis jangka lama baik.
Pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simpleks yang tidak diobati sangat buruk
dengan kematian 70-80% setelah 30 hari dan meningkat menjadi 90% dalam 6 bulan.
Pengobatan dini dengan asiklovir akan menurunkan mortalitaas menjadi 28%. Gejala sisa
lebih sering ditemukan dan lebih berat pada kasus yang tidak diobati. Keterlambatan
pengobatan yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk, demikian juga koma; pasien
yang mengalami koma seringkali menggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono M, Sidarta P. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. 2014:313


2. Lewis, P., Glacor, C., Encephalitis. American Academic of Pediatrics: Pediatrics in
Review. 2005:26;353-363
3. Ebaugh, Franklin, G., Neuropsychiatric Sequelae of Acute Epidemic Encephalitis in
children. Journal of Attention Disorders. SAGE publication. 2007
4. Prober Charles, G. Infeksi Sistem Saraf Pusat. Dalam: Richard E, Behrman, Robert M,
Kliegman, Hal B, Jenson, Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition, USA: Elsevier.
2007. Chapter 169.2
5. Soedarmo, S.S.P., Herpes Simpleks. Dalam: Soedarmo, S.S.P.,Garna H. Infeksi&
Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI. 2010.143-154.
6. Hom, Jeffrey. Pediatric Meningitis and Encephalitis. Department of
Pediatrics/Emergency Service. New York University School of Medicine. 2011
7. Behrman,R., Kliegman, R., Arvin, A., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Nelson
(Nelson Textbook of Pediatrics) . 15th Edition. EGC.2007 ; p880-881
8. Paul lewis MD, Carol A. Glaser,DVM,MD .Encephalitis. article in pediatrics in review
2005;26;353
9. Medical Author:Charles Patrick Davis, MD, PhD Medical Editor:Melissa Conrad
Stöppler, MD,Chief Medical Editor available from URL:
http://www.emedicinehealth.com/encephalitis/page3_em.htm#encephalitis_symptoms
_and_signs
10. Roos L.Karen, Tyler L. Kenneth. Meningitis, Encephalitis, Brain Abses,and Empyema.
In: Kasper, Brounwald, Fauci, Hauser,Longo, Jameson, eds. Harrison’s Principal of
Internal Medicine. 16th ed. New York: Mc Graw Hill Companies; 2005:2480-83
11. Sastroasmoro, S. Ensefalitis. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. 2007

26

Anda mungkin juga menyukai