ENSEFALITIS
Pembimbing:
dr. Haryo Teguh, Sp.S, MSi.Med
Disusun oleh:
Devi Sawitri
NIM: 030.14.048
“Ensefalitis”
Disusun oleh :
Devi Sawitri
NIM: 030.14.048
Segala puji bagi Allah SWT karena atas izin-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul “Ensefalitis”. Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota
Tegal periode 18 Februari – 23 Maret 2019. Penulisan laporan kasus ini tidak akan selesai
tanpa bantuan, dukungan, dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Haryo Teguh, Sp.S selaku pembimbing atas
waktu, pengarahan, masukan, serta berbagai ilmu yang telah diberikan.
Adapun tugas ini disusun berdasarkan pedoman dari berbagai sumber. Penulis
menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat diperlukan untuk melengkapi laporan kasus ini. Akhir kata,
semoga Tuhan yang Maha Esa membalas kebaikan semua pihak dan laporan kasus ini dapat
memberi wawasan kepada pembaca, serta bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan,
profesi, dan masyarakat, terutama dalam bidang ilmu penyakit saraf.
Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
Nama Mahasiswa : Devi Sawitri
NIM : 030.14.048
Dokter Pembimbing : dr. Haryo Teguh, Sp.S, Msi.Med
1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dari ayah pasien yang tinggal serumah pada
tanggal 20 Februari 2019, pukul 07.00 WIB, di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota
Tegal.
a. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak ± 30 menit SMRS.
b. Keluhan Tambahan
Demam sejak 4 hari SMRS, nyeri kepala sejak 4 hari SMRS, perut terasa keras sejak 15
hari SMRS, post rawat inap di klinik selama 10 hari.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dibawa oleh keluarga pasien ke IGD RSUD Kardinah Kota Tegal
pada Hari Minggu, tanggal 17 Februari 2019 dengan keluhan pasien mengalami penuruan
kesadaran sejak ± 30 menit SMRS. Riwayat trauma disangkal oleh keluarga pasien.
Pasien mengeluh perut terasa keras sejak 15 hari SMRS, keluhan disertai mual, namun
muntah disangkal. Adanya keluhan demam sejak 4 hari SMRS, demam timbul terus
menerus disertai dengan sakit kepala berdenyut. Keluhan batuk dan keringat malam hari
4
disangkal oleh keluarga pasien. Pasien sudah berobat dan di rawat selama 10 hari di
klinik Sejahtera namun tidak ada perbaikan. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat pengobatan
paru-paru disangkal oleh keluarga pasien. Riwayat hipertensi dan diabetes melitus
disangkal. Riwayat penyakit jantung, riwayat penyakit ginjal, riwayat penyakit kuning
dan alergi obat dan makanan disangkal oleh keluarga pasien.
e. Riwayat Keluarga
Keluarga dan orang tua pasien tidak ada yang memiliki keluhan atau penyakit
serupa. Riwayat hipertensi, riwayat penyakit diabetes melitus dan penyakit keturunan di
keluarga dan orang tua pasien disangkal. Riwayat pegobatan paru-paru, riwayat penyakit
jantung, riwayat penyakit ginjal, riwayat penyakit kuning dan alergi obat dan makanan
disangkal oleh keluarga pasien.
f. Riwayat Kebiasaan
Pasien merokok sejak sekitar 3 tahun, penggunaan NAPZA dan minum minuman
beralkohol disangkal oleh keluarga. Pasien berolahraga dengan naik sepeda setiap
2x/minggu.
- - -
- - -
Perkusi: shifting dullness (-)
Ekstremitas Ekstremitas Atas
Turgor kulit baik, deformitas -/-, CRT < 2 detik, akral hangat +/+,
oedem -/-
Ekstremitas Bawah
Turgor kulit baik, deformitas -/-, CRT < 2 detik, akral hangat +/+,
oedem +/+
B. Status Neurologis
- Kesadaran
GCS: E4V2M5 11
- Rangsangan Meningeal
• Kaku kuduk : Ditemukan adanya tahanan
• Brudzinsky 1 : Tidak ditemukan
• Brudzinsky 2 : Tidak ditemukan
• Brudzinsky 3 : Tidak ditemukan
6
• Brudzinsky 4 : Tidak ditemukan
• Kernig : Ditemukan adanya tahanan
• Laseque : Tidak ditemukan tahanan dan rasa nyeri
- Nervus Cranialis
1. N I (Olfaktorius) : Tidak dilakukan pemeriksaan
2. N II (Optikus)
• Visus : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Warna : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Funduskopi : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Lapang pandang : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. N III, IV, VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens)
• Gerakan bola mata : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Ptosis : Tidak ada
• Pupil : Isokor, bulat, 3mm / 3mm
• Refleks pupil : Langsung + / +, tidak langsung + / +
4. N V (Trigeminus)
Sensorik
• N-V1 (ophtalmicus) : Tidak dilakukan pemeriksaan
• N-V2 (maksilaris) : Tidak dilakukan pemeriksaan
• N-V3 (mandibularis) : Tidak dilakukan pemeriksaan
Motorik : Tidak dilakukan pemeriksaan
Refleks kornea : Tidak ada kelainan (+/+)
5. N VII (Fasialis)
Sensorik (Indra pengecap): Tidak dilakukan pemeriksaan
Motorik
• Angkat alis : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Menutup mata : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Menyeringai : Tidak ada kelainan
6. N VIII (Vestibulocochlearis)
Keseimbangan
• Nistagmus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Pendengaran
• Tes Rinne, Schwabach, Weber: Tidak dilakukan pemeriksaan
7. N IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
• Refleks menelan :-
• Refleks batuk :-
• Perasat lidah 1/3 anterior :Tidak dilakukan pemeriksaan
• Refleks muntah : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Posisi uvula : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Posisi arkus faring : Tidak dilakukan pemeriksaan
8. N XI (Akesorius)
• Kekuatan M. Sternocleidomastoideus: Tidak dilakukan pemeriksaan
• Kekuatan M. Trapezius: Tidak dilakukan pemeriksaan
9. N XII (Hipoglosus)
• Tremor lidah : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Gerakan lidah : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Ujung lidah saat dijulurkan : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Fasikulasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Pemeriksaan Motorik
7
Pemeriksaan Kekuatan Tonus Atrofi
Tidak dilakukan
Anggota badan atas Normotonus Tidak ada
pemeriksaan
Tidak dilakukan
Anggota badan bawah Normotonus Tidak ada
pemeriksaan
- Gerakan Involunter
Refleks Fisiologis
• Biceps :+/+
• Triceps :+/+
• Achiles :+/+
• Patella :+/+
Refleks Patologis
• Babinski : -/-
• Oppenheim : -/-
• Chaddock : -/-
• Schaeffer : -/-
• Hoffman-Tromner : -/-
• Gonda : -/-
• Gordon : -/-
• Bing : -/-
• Rosolimo : -/-
- Costovertebra - Autonomic Nervus Sistem
a. CV : Gibus (-), luka (-), nyeri ketuk (-)
b. ANS : Inkontinensia urin (-), hipersekresi keringat (-)
- Cerebellar sign
Sistem Koordinasi
1. Romberg test : Tidak dilakukan pemeriksaan
2. Tandem walking : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. Finger to finger test : Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Finger to nose test : Tidak dilakukan pemeriksaan
5. Disdiadokokinesis : Tidak dilakukan pemeriksaan
6. Rebound phenomenon : Tidak dilakukan pemeriksaan
7. Tes tumit lutut : Tidak dilakukan pemeriksaan
Sistem Ekstrapiramidal
• Gerakan involunter : Tidak ada
8
- Fungsi Luhur
1. Fungsi bahasa : Tidak dilakukan pemeriksaan
2. Fungsi orientasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
3. Fungsi memori : Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Fungsi emosi : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Sensibilitas
Eksteroseptif/Rasa permukaan (Superior dan inferior)
1. Rasa raba : Tidak dilakukan
2. Rasa nyeri : Tidak dilakukan
3. Rasa suhu panas : Tidak dilakukan
4. Rasa suhu dingin : Tidak dilakukan
Proprioseptif/Rasa dalam
1. Rasa sikap : Tidak dilakukan
2. Rasa getar : Tidak dilakukan
3. Rasa nyeri dalam : Tidak dilakukan
9
Natrium 133,5 135-145 mmol/L
Kalium 5,06 3,8-5,1 mmol/L
Clorida 105,4 96-106 mmol/L
KIMIA KLINIK
SGOT 153,8 <35 U/L
SGPT 73 <46 U/L
Ureum 155,9 19,0 – 44,0 mg/dl
Creatinine 3,05 0,70 – 1,30 mg/dl
SEROIMUNOLOGI
HbsAg Negatif Negatif
Anti HIV Non reaktif Non Reaktif
SEROIMUNOLOGI
Anti Dengue IgG Negatif Negatif
Anti Dengue IgM Negatif Negatif
11
Foto Thorax (AP)
1.5 Resume
Tn M usia 21 tahun datang dibawa oleh keluarga pasien ke IGD RSUD Kardinah
Kota Tegal pada Hari Minggu, tanggal 17 Februari 2019 dengan keluhan pasien
mengalami penuruan kesadaran sejak ± 30 menit SMRS. Riwayat trauma disangkal oleh
keluarga pasien. Pasien mengeluh perut terasa keras sejak 15 hari SMRS, keluhan disertai
mual, namun muntah disangkal. Adanya keluhan demam sejak 4 hari SMRS, demam
timbul terus menerus disertai dengan sakit kepala berdenyut. Keluhan batuk dan keringat
malam hari disangkal oleh keluarga pasien. Pasien sudah berobat dan di rawat selama 10
hari di klinik Sejahtera namun tidak ada perbaikan. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat pengobatan
paru-paru disangkal oleh keluarga pasien. Keluarga dan orang tua pasien tidak ada yang
memiliki keluhan atau penyakit serupa. Pasien merokok sejak sekitar 3 tahun, penggunaan
NAPZA dan minum minuman beralkohol disangkal oleh keluarga. Pasien berolahraga
dengan naik sepeda setiap 2x/minggu.
12
Pemeriksaan fisik yang dilakukan di Bangsal HCU, RSUD Kardinah Kota Tegal,
pada Hari Rabu, Tanggal 20 Februari 2019, pukul 08.00, didapatkan keadaan umum
tampak sakit berat dan kesadaran sopor (E4V2M5). Tekanan darah 110/60 mmHg, nadi 89
x/menit, respirasi 24x/menit, suhu 39,1°C. Pemeriksaan status generalis ditemukan
pembesaran hepar 2 jari dibawah arcus costae, dengan nyeri tekan abdomen regio
epigastrium dan region hipokondrium dextra, serta adanya udema pada kedua ekstremitas
bawah. Pemeriksaan rangsang meningeal ditemukan adanya kaku kuduk dan pemeriksaan
kernig ditemukan adanya tahanan pada kedua tungkai. Pemeriksaan nervus cranialis,
tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan motorik dan sensoris tidak dapat dilakukan.
Hasil dari pemeriksaan penunjang laboratorium darah pada Hari Senin, Tanggal 17
Februari 2019, didapatkan pansitopenia dengan Hb 10,4 g/dl, leukosit 5,9ribu/ul, Ht 28,2
%, trombosit 28ribu/ul, Eritrosit 4,2 juta/µL, RDW 20,1%, MCV 67,6 U, MCH 24,6 Pcg,
MCHC 36,9 g/dL, netrofil 3,1%, Monosit 56,7 %, Basofil 0 %, Natrium 133,5 mmol/L,
SGOT 153,8 U/L, SGPT 73,7 U/L, ureum 155,9 mg/dL, creatinin 3,05 mg/dL. Pada
pemeriksaan morfologi darah tepi didapatkan kesan pansitopeni dd ITP dan infeksi. Pada
pemeriksaan foto thorax AP didapatkan kesan Cor tak membesar dan gambaran
bronchitis. Pada pemeriksaan CT scan kepala non kontras didapatkan kesan CT scan
kepala normal.
1.6 Diagnosis
• Diagnosis klinis : penurunan kesadaran, demam, cefalgia sekunder,
pansitopenia, rangsang meningeal sign (+)
• Diagnosis topis : selaput otak (meningen), hemisfer cerebri
• Diagnosis etiologis : meningoensefalitis susp TB
• Diagnosis patologis : inflamasi
1.7 Diagnosis Banding
- Meningoensefalitis susp bakteri
- Meningoensefalitis susp viral
1.8 Tatalaksana
Non Medikamentosa
• Edukasi keluarga pasien tentang penyakit pasien
• O2 4lpm dengan nasal kanul
• Infus RL 20 tpm
• Inj Citicolin 2 x 1 g IV
• Inj Ceftriaxone 2 x 1 g iv
• Inj Dexametasone 3 x 1 iv
• Inj Omeprazole 1 x1 iv
• Inj Paracetamol 3 x 1g iv
• Pasang DC
13
• Pasang NGT
1.9 Prognosis
Ad Vitam : Ad Malam
Ad Functionam : Ad Malam
Ad Sanationam : Ad Malam
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
15
ini ditemukan ternyata bisa menyebabkan ensefalitis. Pengobatan sesuai agen infeksi diyakini
sangat membantu dalam tata laksana penyakit Ensefalitis. (2)
Klasifikasi yang diajukan oleh Robin berdasarkan etiologi virus:
1. Infeksi virus yang bersifat epidemic
a. Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.
b. Golongan virus ARBO : Western equine encephalitis, St. Louis encephalitis, Eastern
equine encephalitis, Japanese B encephalitis, Russian spring summer encephalitis, Murray
valley encephalitis.
2. Infeksi virus yang bersifat sporadik : Rabies, Herpes simplex, Herpes zoster,
Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis lain yang dianggap
disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
3. Ensefalitis pasca infeksi : pasca morbili, pasca varisela, pasca rubela, pasca vaksinia, pasca
mononukleosis infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi traktus respiratorius yang
tidak spesifik.
Tabel. Mikroorganisme Penyebab Ensefalitis
17
tertentu lebih menyenangi sel otak tertentu, misalnya virus polio menyukai sel motorik, rabies
menyukai sel limbik dan mumps menyukai sel ependimal. Korteks serebral, terutama lobus
temporal sering mengalami kerusakan berat oleh virus herpes simpleks; arbovirus cendrung
melibatkan seluruh otak; sedangkan predileksi kelainan pada rabies ialah pada daerah basal
otak. Keterlibatan medula spinalis, akar saraf dan saraf perifer bervariasi. (4)
Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari virulensi virus,
kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen tubuh yang dapat menghambat
multiplikasi virus. Banyak virus yang penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau kutu
menginokulasi virus Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui gigitan binatang. Pada
beberapa virus seperti varisella-zoster dan citomegalo virus, pejamu dengan sistem imun yang
lemah, merupakan faktor resiko utama. (4)
Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik melalui peredaran
darah atau melalui sistem neural (Virus Herpes Simpleks, Virus Varisella Zoster). Setelah
melewati sawar darah otak, virus memasuki sel-sel neural yang mengakibatkan fungsi-fungsi
sel menjadi rusak, kongesti perivaskular, dan respons inflamasi yang secara difus
menyebabkan ketidakseimbangan substansia abu-abu (nigra) dengan substansia putih (alba).
Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor membran sel saraf yang
hanya ditemukan pada bagian-bagian khusus otak. Sebagai contoh, virus herpes simpleks
mempunyai predileksi pada lobus temporal medial dan inferior. (5)
Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih belum jelas
dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya transmisi neural secara langsung
dari perifer ke otak melaui saraf trigeminus atau olfaktorius.
18
Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas dan ludah. Infeksi primer
biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja. Biasanya subklinis atau berupa somatitis,
faringitis atau penyakit saluran nafas. Kelainan neurologis merupakan komplikasi dari
reaktivasi virus. Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam ganglia trigeminal. Beberapa
tahun kemudian, rangsangan non spesifik menyebabkan reaktivasi yang biasanya
bermanifestasi sebagai herpes labialis. (5)
Pada ensefalitis bakterial, organisme piogenik masuk ke dalam otak melalui peredaran
darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus. Penyebaran melalui peredaran darah
dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran
langsung dapat melalui tromboflebitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah dan sinus
paranasalis. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada jaringan otak. Biasanya terdapat di
bagian substantia alba, karena bagian ini kurang mendapat suplai darah. Proses peradangan ini
membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah dan agregasi leukosit
yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan tadi timbul edema, perlunakan dan
kongesti jaringan otak disertai peradangan kecil. Di sekeliling abses terdapat pembuluh darah
dan infiltrasi leukosit. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk ruang abses. Mula-
mula dindingnya tidak begitu kuat, kemudian terbentuk dinding kuat membentuk kapsul yang
konsentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit PMN, sel-sel plasma dan limfosit.
Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang
subarakhnoid yang dapat mengakibatkan meningitis. Proses radang pada ensefalitis virus
selain terjadi jaringan otak saja, juga sering mengenai jaringan selaput otak. Oleh karena itu
ensefalitis virus lebih tepat bila disebut sebagai meningo ensefalitis. (6)
Plasmodium falsiparun menyebabkan eritrosit yang terifeksi menjadi lengket. Sel-sel
darah yang lengket satu sama lainnya dapat menyumbat kapiler-kapiler dalam otak. Akibatnya
timbul daerah-daerah mikro infark. Gejala-gejala neurologist timbul karena kerusakan
jaringan otak yang terjadi. Pada malaria serebral ini, dapat timbul konvulsi dan koma. Pada
toxoplasmosis kongenital, radang terjadi pada pia-arakhnoid dan tersebar dalam jaringan otak
terutama dalam jaringan korteks. (6)
Sangatlah sukar untuk menentukan etiologi dari ensefalitis, bahkan pada postmortem.
Kecuali pada kasus-kasus non viral seperti malaria falsifarum dan ensefalitis fungal, dimana
dapat ditemukan indentifikasi morfologik. Pada kasus viral, gambaran khas dapat dijumpai
pada rabies (badan negri) atau virus herpes (badan inklusi intranuklear). (6)
22
dapat dipakai untuk diagnosis cepat infeksi dengan CMV, enterovirus, human herpes
virus, virus varicella-Zoster dan HIV.
o Enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) yang dapat mendeteksi antibodi
imunoglobin M (IgM) dalam CSS, snsitif dan spesifik pada penderita yang diduga
menderita ensefalitis Japanese.
2.10 Tatalaksana
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah sakit.
Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut adalah
mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan perawatan pasien koma
yaitu mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian makanan secara enteral atau
parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam basa darah.
Terapi suportif :
Tujuannya untuk mempertahankan fungsi organ, dengan mengusahakan jalan nafas
tetap terbuka (pembersihan jalan nafas, pemberian oksigen, pemasangan respirator bila henti
nafas, intubasi, trakeostomi), pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi gangguan asam basa darah. Untuk pasien dengan
gangguan menelan, akumulasi lendir pada tenggorok, dilakukan drainase postural dan aspirasi
mekanis yang periodik.
Terapi kausal :
Pengobatan anti virus diberikan pada ensefalitis yang disebabkan virus, yaitu dengan
memberikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari IV setiap 8 jam selama 10-14 hari. Preparat asiklovir
tersedia dalam 250 mg dan 500 mg yang harus diencerkan dengan aquadest atau larutan
garam fisiologis. Pemeberian secara perlahan-lahanm diencerkan menjadi 100 ml larutan,
diberikan selama 1 jam. Efek sampingnya adalah peningkatan kadar ureum dan keratinin
tergantung kadar obat dalam plasma. Pemberian asiklobir perlahan-lahan akan mengurangi
efek samping. Bila selama pengobatan terbukti bukan infeksi Virus Herpes Simpleks, maka
pengobatan dihentikan.
Pada pasien yang terbukti secara biopsi menderita Ensefalitis Herpes Simpleks dapat
diberikan Adenosine Arabinose 15mg/kgBB/hari IV, diberikan selama 10 hari. Pada beberapa
penelitian dikatakan pemberian Adenosisne Arabinose untuk herpes simpleks ensefalitis dapat
menurunkan angka kematian dari 70% menjadi 28%.
23
Terapi Ganciklovir merupakan pilihan utama untuk infeksi citomegali virus. Dosis
Ganciklovir 5 mg/kgBB dua kali sehari.kemudian dosis diturunkan menjadi satu kali, lalu
dengan terapi maintenance.
Pemberian antibiotik parenteral tetap diberikan sampai penyebab bakteri dikesampingkan, dan
juga untuk kemungkinan infeksi sekunder. Pada ensefalitis supurativa diberikan:
- Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.
- Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.
Preparat sulfa (sulfadiasin) untuk ensefalitis karena toxoplasmosis.
Terapi Simptomatik :
Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang. Tergantung dari
kebutuhan obat diberikan IM atau IV. Obat yang diberikan ialah diazepam 0,3-0,5 mg/Kg BB/
hari dilanjutkan dengan fenobarbital. Perlunya diperiksa kadar glukosa darah, kalsium,
magnesium harus dipertahankan normal agar ancaman konvulsi menjadi minimum.
Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan surface cooling dengan menempatkan es pada
permukaan tubuh yang mempunyai pembuluh besar, misalnya pada kiri dan kanan leher,
ketiak, selangkangan, daerah proksimal betis dan diatas kepala. Dapat juga diberikan
antipiretikum seperti parasetamol dengan dosis 10-15mg/kgBB, bila keadaan telah
memungkinkan pemberian obat peroral.
Untuk mengurangi edema serebri dengan deksametason 0,2 mg/kgBB/hari IM dibagi 3
dosis dengan cairan rendah natrium, dilanjutkan dengan pemberian 0,25-0,5mg/kgBB/hari.
Bila terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan manitol 0,5-2 g/kgBB
IV dalam periode 8-12 jam.
Nyeri kepala dan hiperestesia diobati dengan istirahat, analgesik yang tidak
mengandung aspirin dan pengurangan cahaya ruangan, kebisingan, dan tamu.
Terapi rehabilitatif:
Upaya pendukung dan rehabilitatif amat penting sesudah penderita sembuh. Inkoordinasi
motorik, gangguan konvulsif, strabismus, ketulian total atau parsial, dan gangguan konvulsif
dapat muncul hanya sesudah jarak waktu tertentu. Fasilitas khusus dan kadang-kadang
penempatan kelembagaan mungkin diperlukan. Beberapa sekuele infeksi dapat amat tidak
kentara. Karenanya evaluasi perkembangan saraf dan audiologi harus merupakan bagian dari
pemantauan rutin anak yang telah sembuh dari mengoensefalitis virus, walaupun mereka
tampak secara kasar normal.
2.11Komplikasi
24
Pada ensefalitis viral akut yang cukup banyak terjadi adalah peningkatan tekanan intrakranial,
infark serebral, trombosis vena serebral, syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic
hormone, pneumonia aspirasi, perdarahan saluran cerna bagian atas, infeksi saluran kemih
dan koagulopati intravaskular diseminata. Sequele dari ensefalitis viral akut bergantung pada
usia, etiologi ensefalitis dan keparahan gejala klinis.
2.12 Prognosis
Prognosis ensefalitis virus sangat bervariasi tergantung pada usia, keadaan medis yang
mendasarinya, virulensi virus, kompetensi imun penderita dan tersedianya terapi antivirus
spesifik.
Kebanyakan anak sembuh secara sempurna dari infeksi virus pada sistem saraf sentral,
walaupun prognosis tergantung pada keparahan penyakit klinis, etiologi spesifik, dan umur
anak. Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya keterlibatan parenkim, prognosis jelek,
dengan kemungkinan defisit yang bersifat intelektual, motorik, psikiatrik, epileptik,
penglihatan, ataupun pendengaran. Sekuele berat juga harus dipikirkan walaupun beberapa
kepustakaan menyarankan bahwa penderita bayi yang menderita ensefalitis virus mempunyai
hasil akhir jangka panjang lebih jelek daripada nak yang lebih tua, data baru membuktikan
bahwa observasi ini tidak benar. walaupun sekitar 10% anak sebelum usia 2 tahun dengan
infeksi virus menampakkan komplikasi akut seperti kejang, tekanan intrakranial naik, atau
koma, hampir semua hasil akhir neurologis jangka lama baik.
Pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simpleks yang tidak diobati sangat buruk
dengan kematian 70-80% setelah 30 hari dan meningkat menjadi 90% dalam 6 bulan.
Pengobatan dini dengan asiklovir akan menurunkan mortalitaas menjadi 28%. Gejala sisa
lebih sering ditemukan dan lebih berat pada kasus yang tidak diobati. Keterlambatan
pengobatan yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk, demikian juga koma; pasien
yang mengalami koma seringkali menggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat.
25
DAFTAR PUSTAKA
26