Anda di halaman 1dari 5

Patogenesis Asma

Asma adalah gangguan inflamasi saluran napas yang mengalami perubahan struktural
dan fungsional, yang mengarah pada bronkial hiperesponsif non spesifik dan obstruksi saluran
napas yang berfluktuasi dari waktu ke waktu. Ini merupakan salah satu kondisi kronis yang
paling umum di negara Barat yang berdampak pada 1 dari 7 anak-anak dan 1 dari 12 dewasa
(seimbang dengan 5.1 juta orang di U.K.), dan bertanggung jawab pada 1500 kematian yang
dapat dihindari, begitu pula 20 juta hari tidak bekerja.1 Anak-anak mempunyai persentase
tertinggi asma dibandingkan kelompok generasi lainnya. Secara umum, kebanyakan asma
dimulai dari masa kanak-kanak dalam hubungannya dengan sensitisasi pada alergen yang biasa
terhirup, seperti debu rumah, kutu, kecoa, jamur dan serbuk bunga.2
Alergen yang terhirup ini menstimulasi proliferasi sel T helper tipe 2 (Th2), kemudian
produksi dan pelepasan sitokin Th2, interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13. Banyak penelitian
dasar dan klinis menyarankan inflamasi saluran napas merupakan kunci utama dalam
patofisiologi penyakit ini. Keberadaan inflamasi saluran napas kronis pada asma telah dikenali
selama bertahun-tahun. Inflamasi ini diinduksi dengan pelepasan mediator kimia poten dari sel
inflamasi. Menghasilkan inflamasi saluran napas kronis, remodelling saluran udara, dicirikan
dengan penebalan semua kompartemen dari dinding saluran napas, terjadi dan mungkin
mempunyai konsekuensi berkelanjutan dari penyempitan saluran napas pada asma dan
berkontribusi pada perjalanan dan kronisitas penyakit.2 Penelitian selama tiga dekade terakhir
menunjukkan bukti kuat dari peran penting sel mast, eosinofil, dan basofil yang diatur oleh sel
penyaji antigen melalui limfosit B dan T. Setidaknya, komponen asma didukung dengan efikasi
intervensi spesifik target seperti antagonis reseptor leukotriene dan antibodi monoklonal anti-
human IgE.3
Dengan sensitisasi alergi, alergen dapat diambil dengan sel dendritic (DCs), yang mana
proses molekul antigenik dan menyajikan mereka pada sel naive T-helper. Kemudian aktivasi
sel Th2 spesifik alergen terjadi, sel berperan penting dalam mengembangkan asma. Sekarang
ini, diketahui bahwa sel Th17 dan sel Th9 juga dapat memodulasi penyakit. Sel Th17
memproduksi IL-17A, IL-17F, dan IL-22. Sitokin menginduksi inflamasi saluran napas dan
IL-17A memicu kontraktilitas otot polos.2
Gambar 1. Regulasi kontraktilitas otot polos saluran napas2
Perubahan struktural pada saluran udara menghasilkan proses inflamasi dan remodelling
interdependen. Pada prosesnya, gejala umum inflamasi terjadi, kongesti vaskuler, eksudasi dan
perekrutan sel inflamasi ke jaringan interstisial. Lebih lanjut lagi, sekresi mucus dan
deskuamasi sel epithelial meningkat. Perubahan inflamasi kronis mengarah pada interaksi
epitelium-mesenkimal. Jumlah miofibroblas, yang mendeposit kolagen, meningkatkan deposit
kolagen, meningkatkan jaringan di bawah epitel, proksimitas dari lapisan otot polos dan lamina
retikularis pada pasien. Kolagen subepitel menyebabkan penebalan dan peningkatan densitas
dasar membran.2
Inflamasi saluran napas memberikan kerusakan pada epitelium dan kerusakan sel epitel
akan diperbaiki dengan siklus perbaikan kerusakan. Kerusakan epitelium menyebabkan
Peningkatan pada reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGF / epidermal growth factor)
terlokalisata dan persisten, sebuah mekanisme yang mungkin menyebabkan epitelium terkunci
dalam fase perbaikan memproduksi beberapa mediator profibrotic, termasuk transforming
growth factor-β (TGF-β), faktor pertumbuhan fibroblast dan endotelin, yang meregulasi
fibroblast dan miofibroblas untuk melepaskan kolagen, fiber elastik, proteoglikan dan
glikoprotein dan substansi ini menginduksi penebalan dinding saluran napas.2
Ketika permukaan epitel mengalami kerusakan, respon normal adalah mereka
meningkatkan regulasi reseptor, anggota spesifik dari reseptor faktor pertumbuhan epidermal
(EGFR) yang mendorong proliferasi dan perbaikan. Biopsi asma mendemonstrasikan tanda
peningkatan ekspresi reseptor EGF, dimana ekspresi meningkatkan proporsi keparahan
penyakit dan kronisitas. Immunostaining EGFR pada asma berat dipikirkan karena perbaikan
epitelium dan juga permukaan luminal, fitur yang tidak diamati pada epitelium normal. Secara
in vitro, kerusakan epitelium saluran napas pada kultur menghasilkan sekresi ligand EGFR
(meliputi EGF, transforming growth factor [TGF]-α dan amfiregulin), EGFR yang dibuat
menjadi dimer, menghasilkan aktivasi tirosin kinase dan proliferasi sel melalui jalur protein
kinase yang diaktivasi mitogen. Meskipun, berkebalikan dengan ekspektasi, kadar ekspresi
EGFR yang tinggi pada epitelium penderita asma tidak parallel dengan peningkatan penanda
proliferasi sel seperti antigen nuclear proliferasi sel, bahkan pada pasien dengan asma berat
yang menerima kortikosteroid dosis tinggi. Pada asma berat, p21 ditemukan pada epitelium
dan spesifik pada lokasi inti, dimana gangguan proliferasi dengan sel yang tertahan pada fase
G1 dari siklus sel. Temuan ini memperlihatkan pada asma kronis, sel epitel saluran napas tidak
mampu untuk mengembalikan dirinya seperti semula setelah kerusakan, dan akibatnya,
memasuki respon luka kronis.3
Penelitian menunjukkan pada biopsi asma kronis bahwa dinding saluran napas
mengalami penebalan. Ini meliputi deposisi kolagen interstisial pada lamina retikularis,
deposisi matriks pada submucosal, hyperplasia otot polos, dan proliferasi mikrovaskuler dan
neuronal. Penebalan lamina retikularis adalah diagnosis asma, dan merupakan pengukuran
dasar pada saluran napas manusia, dan tampak mencerminkan penebalan dari seluruh dinding
saluran napas, termasuk otot polos saluran napas. Lapisan sel mesenkimal subepitelial dengan
monofibroblas ditemukan meningkat pada asma.3
Asma dipertimbangkan sebagai penyakit klasik Th2, dengan peningkatan IgE dan
inflamasi eosinofilik yang disebabkan peningkatan kadar sitokin tipe Th2. Meskipun demikian,
paradigma ini ditantang karena realisasi strategi didasarkan untuk menekan fungsi Th2 tidak
efektif pada semua pasien. Fenotipe klinis asma sangat heterogen. Terlihat pada bagan berikut
proses imunitas seluler pada saluran napas asma.2
Gambar 2. Respon imun sel T pada saluran napas penderita asma2

Gambar 3. Subset sel T helper dan profil sitokin


Aktivasi sel Th2 membutuhkan penyaji antigen oleh DC. DC memainkan peran penting
pada inisiasi dan pemeliharaan inflamasi saluran napas alergik dan asma, mengontrol banyak
aspek dari penyakit, termasuk hiperesponsif bronkial dan metaplasia sel goblet, dengan
mengontrol perekruitan dan aktivasi sel Th2. Penelitian menunjukkan ekspresi sitokin tipe Th2,
seperti IL-4, IL-5, dan IL-13 pada paru-paru penderita alergi. IL-13 terutama mengatur kunci
patologi respon alergi. Terlebih, blokade Th2 sangat efektif menekan fitur alergi ini. Fenotipe
asma klasik adalah salah satu konkomitan eosinophilia dengan kadar IgE tinggi. Meskipun
anak dengan asma berat mempunyai inflamasi eosinofilik, steroid dosis tinggi secara efektif
menekan sitokin tipe Th2, seperti IL-13 dan IL-5, tetapi gejala tetap dengan eosinophilia
persisten. Sehingga asma tidak lagi disebut sebagai penyakit yang dimediasi Th2.2
Sel Th17 mempunyai peranan penting dalam meregulasi inflamasi neutrofilik dan
makrofag pada penyakit autoimun, dan lebih baru mereka diduga berperan dalam asma dan
insensitivitas kortikosteroid. Reduksi pada kontraksi otot polos pada saluran napas reversibel
oleh IL-17A, mengindikasikan keterlibatan sitokin yang diarahkan langsung pada otot polos
saluran napas. Respons kuat Th17 berkaitan dengan neutrofilia saluran napas dan
hiperesponsif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Holgate ST, Arshad HS, Roberts GC, Howarth PH, Thurner P, Davies DE. Review : a
new look at the pathogenesis of asthma. Clinical Science. 2010(118); 439-450.
2. Kudo M, Ishigatsubo Y, Aoki I. Pathology of asthma. Frontiers in microbiology. 2013.
263(4); 1—16
3. Holgate ST, Holloway J, Wilson S, Bucchleri F, Puddicombe S, Davies DE. Epithelial-
mesenchymal communication in the pathogenesis of chronic asthma. Proceedings of
the American Thoracic Society. 2004. 1; 93-98

Anda mungkin juga menyukai